Anda di halaman 1dari 23

ACARA II

KERUSAKAN BAHAN PANGAN OLEH MIKROBA

A. TUJUAN
Tujuan dari praktikum acara II “Kerusakan Bahan Pangan oeeh
Mikrobia” adalah:

1. Mempelajari tipe-tipe kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas mikroba


2. Menghitung jumlah cemaran mikroba pada bahan pangan
B. TINJAUAN PUSTAKA

Aktivitas mikrobia adalah penyebab utama kerusakan bahan pangan


yang mengurangi kualitas dan keamanan. Mengacu pada mikroorganisme
patogen dan permbusuk pada makanan, akan meningkat seiring dengan
pertambahan waktu. Bakteri gram positif Staphylococcus aureus adalah
mikroorganisme utama yang bertanggung jawab dalam infeksi pasca
pengolahan, sindrom shock toksik, endokarditis, osteomyelitis dan keracunan
makanan. Bakteri gram negatif Escherichia coli, hadir dalam usus manusia
dan menyebabkan infeksi, gangguan kolon/septicaemia (Rahman dkk., 2009).
Kontaminasi E. coli tertinggi pada jus leci, jus jambu dan jus mangga. Jumlah
sampel akan mempengaruhi kontaminasi E. coli (Susanna, 2011). Kehadiran
patogen dalam penyediaan makanan dalam jumlah yang rendah tidak
diinginkan dan dianggap sebagai penyebab utama penyakit pencernaan di
seluruh dunia (McDonald, 1999).
Foodborne disease merupakan penyakit yang diakibatkan karena
mengkonsumsi makanan yang tercemar mikroba patogen (Djaafar, 2007).
Seperti yang disebutkan oleh Gustisni (2009) bahwa Foodborne disease
adalah suatu penyakit yang merupakan hasil dari pencernaan dan penyerapan
makanan yang mengandung mikroba oleh tubuh manusia. Mikroba yang
menimbulkan penyakit dapat berasal dari makanan produk ternak yang
terinfeksi atau tanaman yang terkontaminasi.
Food spoilage adalah merupakan rusaknya makanan yang menjadikan
makanan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi lagi. Kerusakan pangan dapat
mengurangi kandungan gizi dan nutrisi dalam bahan pangan. Food spoilage
sering disebabkan oleh adanya pertumbuhan mikroorganisme, pengaruh
lingkungan sekitar bahan atau aktivitas enzim yang mengakibatkan berbagai
perubahan fisik dan kimiawi yang tidak diinginkan (Buckle, 2010).
Buah-buahan setelah penyimpanan dapat menjadi sumber kontaminasi
untuk produk lain. Oleh karena itu, teknologi produksi mengenai
penyimpanan perlu dikembangkan, agar dimungkinkan untuk
mempertahankan nilai gizi buah sekaligus mengurangi perkembangan
mikroorganisme. Untuk buah apel, metode yang paling prospektif adalah
penyimpanan dengan modifikasi atmosfer terkontrol dengan campuran gas
yang tepat. Metode ini semakin digunakan karena memperpanjang
penyimpanan buah hingga satu tahun dan mengurangi perkembangan
mikroorganisme (Juhnevica, 2011). Vitamin yang larut dalam lemak banyak
terdapat dalam daging ikan, minyak ikan dan biji-bijian. Sumber minyak
seperti kacang tanah, kacang kedelai dan sebagainya (Winarno, 2008)
Susu merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri dan
dapat menjadi sarana bagi penyebaran bakteri yang membahayakan kesehatan
manusia. Susu akan mudah tercemar mikroorganisme bila penanganannya
tidak memperhatikan aspek kebersihan. Upaya memenuhi ketersediaan susu
harus disertai dengan peningkatan kualitas dan keamanan produk susu, karena
seberapa pun tinggi nilai gizi suatu bahan pangan akan menjadi tidak berarti
bila bahan pangan tersebut berbahaya bagi kesehatan. Pada umumnya, bakteri
merupakan penyebab utama penyakit yang ditularkan dari ternak ke manusia
melalui pangan. Bakteri yang menyerang ternak saat di kandang dapat
menular ke manusia karena pemeliharaan dan proses panen yang tidak
higienis. Pemerahan susu yang tidak sesuai anjuran dapat menyebabkan susu
tercemar mikroorganisme dari lingkungan sekitar sehingga kualitas susu
menurun (Gustiani, 2009). Pada buah-buahan yang masih muda banyak
mengandung asam-asam organik dimana selama proses pematangan buah,
kandungan asam organik ini akan menurun (Muchtadi dkk., 2010).

C. Metodologi
1. Alat
a. Beaker glass
b. Bunsen
c. Cotton bud / pengoles
d. Handtally counter
e. Karet
f. Keras coklat untuk membungkus
g. Petridish steril
h. Pipet 1 ml steril
i. Rak tabung reaksi
j. Tabung reaksi
k. Tisu
l. Vortex
2. Bahan
a. Ikan bandeng ( pagi dan 1 hari)
b. Ikan lele ( pagi dan 1 hari)
c. Ikan pindang ( pagi dan 1 hari)
d. Jus belimbing ( pagi dan 1 hari)
e. Jus melon ( pagi dan 1 hari)
f. Jus wortel ( pagi dan 1 hari)
g. Larutan fisiologis steril
h. Medium Plate Count Agar (PCA)
i. Susu kambing ( pagi dan 1 hari)
j. Susu pasteurisasi ( pagi dan 1 hari)
k. Susu sapi segar ( pagi dan 1 hari)
3. Cara Kerja
Sampel pagi dan sampel 1 hari (ikan bandeng, ikan
lele, ikan pindang, jus belimbing, jus melon, jus wortel,
susu kambing, susu pasteurisasi, susu sapi segar)

Pengamatan perbedaan antara sampel pagi dan


1 hari (bau, warna, gas, dan kekentalan)

Pengambilan dan pemasukan ke 9ml larutan fisiologis


1ml bahan
ikan, jus, steril (pengambilan sampel ikan dengan metode oles 2cm x
atau susu
2cm, lalu pemasukan ke 10 ml larutan fisiologis steril)

Penggojogan agar tersuspensi homogen

Pendiaman sebentar agar partikel padat

1 ml suspensi Pembuatan seri pengenceran ( sampai 10-4 untuk


ian, jus, atau sampel pagi dan 10-6 untuk sampel 1 hari)
susu
Penginokulasian secara aseptik dari tiga
pengenceran terakhir ke dalam petridish dan
pembuatan ulangannya (duplo)

Media PCA Penuangan ke dalam petridish

Penginkubasian pada suhu kamar


selama 2 hari

Perhitungan koloni yang tumbuh pada media

Gambar 2.1 Diagram Alir Pengujian Kerusakan Bahan Pangan oleh Mikroba
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 2.1 Pengamatan Perbedaan Sampel Pagi dan 1 Hari

Shi Ga Kekentala
Kelompok Sampel Bau Warna
ft s n
1 Jus melon melon Hijau
1 - -
pagi segar kekuningan

Jus melon melon Kuning


2 + +
1 hari masam keruh

Ikan
amis
3 pindang Krem - -
segar
pagi
Ikan
amis
4 pindang 1 Coklat krem - -
busuk
hari

Susu sapi khas


5 Putih tulang - ++
segar pagi susu basi

Susu sapi
khas
6 segar 1 Putih tulang - ++
susu basi
hari

Jus wortel buah Oranye


7 - ++
pagi segar cerah

Jus wortel buah


8 Oranye ++ +
1 hari asam

Ikan
2 9 bandeng 1 busuk Kekuningan - ++
hari
Ikan
khas ikan
10 bandeng Abu-abu - -
bandeng
pagi
Susu khas
11 kambing susu Putih susu - -
pagi kambing
Susu khas
Putih
12 kambing 1 susu ++ +
kekuningan
hari kambing
Jus Bau khas
Oranye
13 belimbing belimbin - -
pucat
pagi g
Jus
Kecut Oranye
14 belimbing - -
busuk pucat
1 hari
Ikan lele Bau amis
15 Abu-abu tua - -
pagi ikan
Ikan lele 1 Bau Hitam
16 - -
hari busuk kehijauan
Susu
Bau khas
17 pasteurisas Putih susu - -
susu
i pagi
Susu
Bau khas
18 pasteurisas putih - -
susu
i 1 hari
Sumber: Laporan Sementara
Keterangan:
Kekentalan: - normal Gas: - tidak ada gelembung
+ agak kental + sedikit
++ kental ++ banyak
+++ sangat kental +++ sangat banyak

Pada Tabel 2.1 terdapat berbagai perbedaan sifat sensori dari beberapa
sampel bahan pangan. Sampel tersebut diantaranya jus melon, ikan pindang,
susu sapi segar, jus wortel, ikan bandeng, susu kambing, jus belimbing, ikan
lele, dan susu pasteurisasi. Masing-masing sampel tersebut dibedakan lagi
menjadi 2 yaitu sampel pagi dan sampel 1 hari. Sampel pagi adalah sampel
yang masih segar. Sedangkan sampel 1 hari adalah sampel yang telah
disimpan selama 1 hari lamanya. Dari semuanya akan diamati perbedaan
antara sampel pagi dengan sampel 1 hari. Perbedaan yang diamati dimulai dari
bau, warna, gas dan kekentalan.
Pada Tabel 2.1 dapat diketahui pada sampel jus melon untuk
kelompok 1 dengan sampel jus melon pagi memiliki bau melon segar, warna
hijau kekuningan, tidak ada gelembung dan kekentalan normal. Sedangkan
untuk kelompok 2 dengan sampel jus melon 1 hari memiliki bau melon
masam, warnanya kuning keruh, sedikit gelembung, dan agak kental. Pada
sampel ikan pindang untuk kelompok 3 dengan sampel ikan pindang pagi
memiliki bau amis segar, warna krem, tidak ada gelembung dan kekentalan
normal. Sedangkan untuk kelompok 4 dengan sampel ikan pindang 1 hari
memiliki bau amis busuk, warnanya coklat krem, tidak ada gelembung, dan
kekentalan normal. Pada sampel susu sapi untuk kelompok 5 dengan sampel
susu sapi pagi memiliki bau khas susu basi, warna putih tulang, tidak ada
gelembung dan kental. Sedangkan untuk kelompok 6 dengan sampel susu sapi
1 hari memiliki bau khas susu basi, warna putih tulang, tidak ada gelembung
dan kental.
Pada sampel jus wortel untuk kelompok 7 dengan sampel jus wortel
pagi memiliki bau buah segar, warna oranye cerah, tidak ada gelembung dan
kental. Sedangkan untuk kelompok 8 dengan sampel jus wortel 1 hari
memiliki bau asam, warna oranye, banyak gelembung dan agak kental. Pada
sampel ikan bandeng untuk kelompok 9 dengan sampel ikan bandeng 1 hari
memiliki bau busuk, warna kekuningan, tidak ada gelembung dan kental.
Sedangkan untuk kelompok 10 dengan sampel ikan bandeng pagi memiliki
bau khas ikan bandeng, warna abu-abu, tidak ada gelembung dan kekentalan
normal. Pada sampel susu kambing untuk kelompok 11 dengan sampel susu
kambing pagi memiliki bau khas susu kambing, warna putih susu, tidak ada
gelembung dan kekentalan normal. Sedangkan untuk kelompok 12 dengan
sampel susu kambing 1 hari memiliki bau khas susu kambing, warna putih
kekuningan, banyak gelembung dan agak kental.
Pada sampel jus belimbing untuk kelompok 13 dengan sampel jus
belimbing pagi memiliki bau khas belimbing, warna oranye pucat, tidak ada
gelembung dan kekentalan normal. Sedangkan untuk kelompok 14 dengan
sampel jus belimbing 1 hari memiliki bau kecut busuk, warna oranye pucat,
tidak ada gelembung dan kekentalan normal. Pada sampel ikan lele untuk
kelompok 15 dengan sampel ikan lele pagi memiliki bau amis ikan, warna
abu-abu tua, tidak ada gelembung dan kekentalan normal. Sedangkan untuk
kelompok 16 dengan sampel ikan lele 1 hari memiliki bau busuk, warna hitam
kehijauan, tidak ada gelembung dan kekentalan normal. Pada sampel susu
pasteurisasi untuk kelompok 17 dengan sampel susu pasteurisasi pagi
memiliki bau khas susu, warna putih susu, tidak ada gelembung dan
kekentalan normal. Sedangkan untuk kelompok 18 dengan sampel susu
pasteurisasi 1 hari memiliki khas susu, warna putih, tidak ada gelembung dan
kekentalan normal.
Pada hasil praktikum perubahan bau, warna, gas dan kekentalan pada
ikan pagi dan 1 hari pada semua sampel ikan diantaranya sampel ikan pindang
pagi dan 1 hari (kelompok 4 dan 5), ikan bandeng pagi dan 1 hari (10 dan 9),
ikan lele pagi dan 1 hari (kelompok 15 dan 16) berbeda dikarenakan beberapa
hal. Menurut Buckle (2013), bahwa salah satu penyebab keadaan kerusakan
adalah tingginya pH akhir daging ikan, biasanya pH 6,4-6,6, karena rendahnya
cadangan glikogen dalam daging ikan. Lagipula, ikan sukar ditangkap dalam
jumlah besar tanpa pergulatan yang selanjutnya mengakibatkan turunnya
cadangan glikogen. Walaupun begitu, ikan tidak akan mengalami kerusakan
karena bakteri sampai kekejangan mati (rigor mortis) selesai. Pendinginan
segera sesudah penangkapan akan memperlambat berlangsungnya rigor akibat
lanjutannya, oleh karena itu kerusakan oleh mekanisme ini akan terhambat
dan berakibat memperlambat pertumbuhan bakteri. Bakteri proteolitik mudah
tumbuh pada ikan segar dan menyebabkan bau busuk hasil metabolisme
protein. Biasanya, pada tubuh ikan yang telah membusuk akan terjadi
perubahan, seperti timbulnya bau busuk, daging jadi lebih kaku, sorot mata
pudar, serta adanya lendir pada tubuh bagian luar. Oleh karena itu hasil
praktikum sudah sesuai dengan teori (Buckle, 2013).
Pada hasil praktikum perubahan bau, warna, gas dan kekentalan pada
susu pagi dan 1 hari pada semua sampel susu diantaranya sampel susu sapi
segar pagi dan 1 hari (kelompok 5 dan 6), susu kambing pagi dan 1 hari (11
dan 12), susu pasteurisasi pagi dan 1 hari (kelompok 17 dan 18) berbeda
dikarenakan beberapa hal. Menurut (Buckle, 2013), susu mengandung
bermacam-macam unsur dan sebagian terdiri dari zat makanan yang juga
diperlukan bagi pertumbuhan bakteri. Oleh karenanya pertumbuhan bakteri
dalam susu sangat cepat, pada suhu yang sesuai. Susu dalam ambing ternak
yang sehat pun tidak bebas hama, dan mungkin mengandung sampai 500
organisme/ml. Hasil praktikum sudah sesuai dengan teori, susu yang disimpan
dalam waktu 1 hari. Bau, warnanya berbeda jauh dengan susu segar. Warna
putih susu segar merupakan refleksi cahaya oleh globula lemak, kalsium
kaseinat, koloid fosfat, laktorom atau riboflavin. Lalu aroma susu yang
menjadi berubah akibat susu ditempatkan dalam wadah yang terbuka selama 1
hari. Udara lingkungan akan terserap dalam susu, sehingga aroma susu segar
akan hilang. Aroma asam yang timbul pada susu 1 hari disebabkan pula oleh
kandungan laktosa yang tinggi pada susu yang membuat banyaknya bakteri
asam laktat menyerang, dan menyebabkan penurunan pH (asam) (Buckle,
2013).
Pada hasil praktikum perubahan bau, warna, gas dan kekentalan pada
jus pagi dan 1 hari pada semua sampel jus diantaranya sampel jus melon pagi
dan 1 hari ( kelompok 1 dan 2), jus wortel pagi dan 1 hari (7 dan 8), jus
belimbing pagi dan 1 hari (kelompok 13 dan 14) berbeda dikarenakan
terdapatnya mikrobia yang menyebabkan kerusakan pada jus buah. Menurut
Krisch dkk (2011) khamir fermentatif etanol, Saccharomyces,
Schizosaccharomyces, Zygosaccharomyces menyebabkan kerusakan jus buah,
minuman ringan, sari buah, dan produk pangan sehari-hari. Sehingga hasil
praktikum sesuai dengan teori tersebut.
Tabel 2.2 Pengamatan Jumlah Koloni
Pengenceran Jumlah
Kete-
Kel Sampel -2 -3 -4 -5 -6 koloni
10 10 10 10 10 rangan
(CFU/ml)
Jus melon T 46 33 - -
1 4,6. 104
pagi T T T - -
Jus melon 1 - - 64 T T
2 5,8. 105
hari - - 52 T T
Ikan pindang 1 66 38 - -
3 2,49. 104
pagi 249 89 12 - -
Ikan pindang - - T 279 96
4 2,85 . 107
1 hari - - T 290 94
Susu sapi 111 60 68 - -
5 8,45. 103
segar pagi 58 T T - -
Susu sapi - - T T T
6 1,08. 107
segar 1 hari - - T 108 287
7 Jus wortel 208 T 43 - - 3,58 . 105
pagi 179 256 46 - -
Jus wortel 1 - - 59 6 12
8 8,3. 105
hari - - 54 16 46
Ikan bandeng - - T 122 40
9 1,3. 107
1 hari - - T 140 39
Ikan bandeng
10 T T T - - - TBUD
pagi
Susu
11 157 87 T - - 1,57. 104
kambing pagi
Susu
12 kambing 1 - - T 122 109
1,2. 107
hari
Jus belimbing
13 T T 83 - - 8,3. 105
pagi
Jus belimbing
14 - - T T T - TBUD
1 hari
15 Ikan lele pagi T 203 103 - - 2,0.105
Ikan lele 1
16 - - T T T - TBUD
hari
Susu
17 pasteurisasi T T T - - - TBUD
pagi
Susu
18 pasteurisasi 1 - - T T 30 3.107
hari
Sumber: Laporan Sementara
Keterangan:
T : Spreader (jumlah koloni yang sangat besar pada permukaan agar bagian
bawah cawan)
TBUD : Terlalu banyak untuk dihitung (jumlah koloni lebih dari 300)
Pada Tabel 2.2 di atas, terdapat beberapa sampel bahan pangan.
Sampel tersebut diantaranya jus melon, ikan pindang, susu sapi segar, jus
wortel, ikan bandeng, susu kambing, jus belimbing, ikan lele, dan susu
pasteurisasi. Masing-masing sampel tersebut dibedakan lagi menjadi 2 yaitu
sampel pagi dan sampel 1 hari. Sampel pagi adalah sampel yang masih segar.
Sedangkan sampel 1 hari adalah sampel yang telah disimpan selama 1 hari
lamanya. Dan dibuat suatu seri pengenceran yaitu 10-2, 10-3, 10-4, 10-5, 10-6.
Untuk sampel pagi, digunakan pengenceran 10-2, 10-3, dan 10-4. Sedangkan
untuk sampel 1 hari digunakan pengenceran 10-4, 10-5, dan 10-6. Hal ini
dilakukan karena pada sampel 1 hari telah mengalami kerusakan bahan dan
pembusukan akibat aktivitas mikroba dalam bahan pangan sehingga
pengenceran sampel 1 hari lebih tinggi dibandingkan dengan sampel pagi.
Pengenceran sendiri dilakukan dengan tujuan untuk melarutkan atau
melepaskan mikroba dari substratnya ke dalam air sehingga lebih mudah
penanganannya. Pengenceran dilakukan untuk memperkecil kepadatan
bakteri. Selain memperkecil, pengenceran juga mengurangi kepadatan bakteri
pada sampel. Tujuan pengenceran adalah supaya diperoleh isolat yang tidak
begitu padat dan mewakili semua jenis bakteri yang terdapat pada sampel
(Pastra, 2012). Dari semuanya akan diamati perbedaan antara sampel pagi
dengan sampel 1 hari. Setelah itu dilakukan perhitungan jumlah koloni.
Pada Tabel 2.2 dapat diketahui bahwa seluruh sampel 1 hari
mempunyai jumlah koloni mikroba lebih banyak dibandingkan dengan sampel
pagi. Pada kelompok 1 dengan sampel jus melon pagi dengan jumlah koloni
4,6. 104 (CFU/ml), kelompok 2 dengan sampel jus melon 1 hari dengan jumlah
koloni 5,8. 105(CFU/ml), kelompok 3 dengan sampel ikan pindng pagi dengan
jumlah koloni 2,49.104(CFU/ml), kelompok 4 dengan sampel ikan pindang 1
hari dengan jumlah koloni 2,85.107(CFU/ml), kelompok 5 dengan sampel susu
sapi segar pagi jumlah koloni 8,45.103(CFU/ml), kelompok 6 sampel susu sapi
seegar 1 hari dengan jumlah koloni 1,08.107(CFU/ml), kelompok 7 sampel jus
wortel pagi dengan jumlah koloni 3,58.105(CFU/ml), kelompok 8 sampel jus
wortel 1 hari dengan jumlah koloni 8,3.105(CFU/ml), pada kelompok 9
sampel ikan bandeng 1 hari dengan jumlah koloni 1,3.107(CFU/ml), kelompok
10 sampel ikan bandeng pagi dengan jumlah koloni TBUD, kelompok 11
sampel susu kambing pagi dengan jumlah koloni 1,57.104(CFU/ml),
kelompok 12 sampel susu kambing 1 hari dengan jumlah koloni
1,2.107(CFU/ml), kelompok 13 sampel jus belimbing pagi dengan jumlah
koloni 8,3.105(CFU/ml), kelompok 14 sampel jus belimbing 1 hari dengan
jumlah koloni TBUD, kelompok 15 sampel ikan lele pagi dengan jumlah
koloni 2,0.105(CFU/ml), kelompok 16 sampel ikan lele 1 hari dengan jumlah
koloni TBUD, kelompok 17 sampel susu pasteurisasi pagi dengan jumlah
koloni TBUD, kelompok 18 sampel susu pasteurisasi 1 hari dengan jumlah
koloni 3.107(CFU/ml). Pada kelompok 17 pada pengenceran 10-2,10-3,10-4
koloni berbentuk spreader. Bentuk spreader ini terlihat sebagai kumpulan
mikroba yang berukuran besar yang hampir memenuhi sebagian dasar
petridish. Hal tersebut bisa saja terjadi apabila saat inkubasi petridish dengan
api bunsen, panas yang mengenai petridish itu terlalu panas. Sehingga ada
kemungkinan kematian mikroorganisme yang mengakibatkan spreader yang
tidak dapat dihitung jumlah mikrobanya. Sedangkan TBUD (terlalu banyak
untuk dihitung) merupakan keadaan di mana jumlah mikroba lebih dari 300.
Suatu bahan makanan baik yang berasal dari hewan atau tumbuhan
pasti dapat mengalami kerusakan. Kerusakan bahan pangan adalah keadaan
dimana suatu bahan pangan mengalami penyimpangan – penyimpangan yang
melewati batas, sehingga bahan makanan tersebut tidak dapat diterima secara
normal oleh panca indra manusia atau oleh parameter lain yang biasa
digunakan. Kerusakan pangan disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu
pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme, kerusakan karena serangga atau
hewan pengerat, aktivitas enzim pada tanaman atau hewan, reaksi kimia non
enzimatik, kerusakan fisik misalnya karena pembekuan, hangus, pengeringan,
tekanan, dan lain-lain. Berbagai tanda-tanda kerusakan pangan dapat dilihat
tergantung dari jenis pangannya, beberapa tanda yang sering muncul
diantaranya adalah:
1. Pelunakan tekstur pada sayur-sayuran, terutama disebabkan oleh Erwina
carotovora, Pseudomonas marginalis, dan Sclerotinia sclerotiorum.
2. Pembentukan lendir pada produk-produk daging,ikan, dan sayuran, yang
antara lain disebabkan oleh pertumbuhan berbagai mikroba seperti kamir,
bakteri asam laktat (terutama oleh Lactobacillus,misalnya L.
Viredencesyng membentuk lendir berwarna hijau), Enterococcus, dan
Bacillusthermosphacta. Pada sayuran pembentukan lendir sering
disebabkan oleh P. marjinalis dan Rhizoctonia sp.
3. Pembentukan warna hijau pada produk-produk daging, terutama
disebabkan oleh:
- Pembentukan hidrogen peroksida (H2O2) oleh L. Viridescens, L.
fructovorans, L.jensenii, Leuconostoc, Enterococcus faecium dan
E.faecalis
- Pembentukan hidrogen sulfida (H2S) oleh Pseudomonas mephita,
Shewanell putrefaciens, dan Lactobacillus sake.
4. Perubahan warna pada biji-bijian dan serealia karena pertumbuhan
berbagai kapang, misalnya Penicillum sp. (biru-hijau), Aspergillus sp.
(hijau), Rhizopus sp. (hitam), dan lain-lain.
5. Perubahan bau, misalnya:
- timbulnya bau busuk oleh berbagai bakteri karena terbentuknya
amonia, H2S, Indol,dan senyawa-senyawa amin seperti diamin
kadaverin dan putresin.
- Timbulnya bau anyir pada produk-produk ikan karena
terbentuknya trimetilamin (TMA) dan histamine (Sagian, 2010)
Salah satu penyebab keadaan kerusakan adalah tingginya pH akhir
daging ikan, biasanya pH 6,4-6,6, karena rendahnya cadangan glikogen dalam
daging ikan. Lagipula, ikan sukar ditangkap dalam jumlah besar tanpa
pergulatan yang selanjutnya mengakibatkan turunnya cadangan glikogen.
Walaupun begitu, ikan tidak akan mengalami kerusakan karena bakteri
sampai kekejangan mati (rigor mortis) selesai. Pendinginan segera sesudah
penangkapan akan memperlambat berlangsungnya rigor akibat lanjutannya,
oleh karena itu kerusakan oleh mekanisme ini akan terhambat dan berakibat
memperlambat pertumbuhan bakteri. Bakteri proteolitik mudah tumbuh pada
ikan segar dan menyebabkan bau busuk hasil metabolisme protein. Biasanya,
pada tubuh ikan yang telah membusuk akan terjadi perubahan, seperti
timbulnya bau busuk, daging jadi lebih kaku, sorot mata pudar, serta adanya
lendir pada tubuh bagian luar. Susu mengandung bermacam-macam unsur
dan sebagian terdiri dari zat makanan yang juga diperlukan bagi pertumbuhan
bakteri. Oleh karenanya pertumbuhan bakteri dalam susu sangat cepat, pada
suhu yang sesuai. Susu dalam ambing ternak yang sehat pun tidak bebas
hama, dan mungkin mengandung sampai 500 organisme/ml. Selain
organisme yang biasa terdapat dalam susu di dalam ambing, ada juga
pencemaran yang terjadi pada susu ketika tertutup dan biasanya basah, dan
telah diketahui bakteri dapat tumbuh sedikit agak jauh ke dalam puting. Jenis-
jenis Micrococcus dan Corybacterium sering terdapat dalam susu yang baru
di ambil. Pencemaran berikutnya timbul dari sapi, alat-alat pemerahan yang
kurang bersih dan tempat penyimpanan yang kurang bersih, debu, udara, lalat
dan penanganan oleh manusia (Buckle, 2013).
Khamir fermentatif etanol, Saccharomyces, Schizosaccharomyces,
Zygosaccharomyces menyebabkan kerusakan jus buah, minuman ringan, sari
buah, dan produk pangan sehari-hari. Khamir pembentuk lapisan tipis, Pichia
anomala, dilaporkan menyebabkan kerusakan pada anggur, jus buah,
minuman ringan, pickled vegetables, yoghurt, dan kue krim. Khamir
berfilamen Geotrichum candidum, dapat ditemukan di susu segar dalam
pembentukan krim keju dan membuat rasa agak pahit (Krisch dkk, 2011).
Foodborne disease merupakan penyakit yang diakibatkan karena
mengkonsumsi makanan yang tercemar mikroba patogen (Djaafar, 2007).
Seperti yang disebutkan oleh Gustisni (2009) bahwa Foodborne disease
adalah suatu penyakit yang merupakan hasil dari pencernaan dan penyerapan
makanan yang mengandung mikroba oleh tubuh manusia. Mikroba yang
menimbulkan penyakit dapat berasal dari makanan produk ternak yang
terinfeksi atau tanaman yang terkontaminasi.
Food spoilage adalah merupakan rusaknya makanan yang menjadikan
makanan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi lagi. Kerusakan pangan dapat
mengurangi kandungan gizi dan nutrisi dalam bahan pangan. Food spoilage
sering disebabkan oleh adanya pertumbuhan mikroorganisme, pengaruh
lingkungan sekitar bahan atau aktivitas enzim yang mengakibatkan berbagai
perubahan fisik dan kimiawi yang tidak diinginkan (Buckle, 2010).
Larutan fisiologis merupakan larutan yang tediri dari garam (biasanya
NaCl, NaSO4, HgCl2) yang diencerkan dalam aquades yang kemudian
dimurnikan. Larutan fisiologis ini berfungsi sebagai larutan pengencer pada
sel sehingga tidak terlalu pekat dan dapat dihitung apabila dilakukan suatu
perhitungan. Sebagai contoh pada perhitungan sel darah, darah diencerkan
dengan larutan fisiologis sehingga bersifat isotonis dan fiksatif terhadap
eritrosit dan dapat dihitung. Selain sebagai pengencer sel, larutan fisiologis
digunakan sebagai larutan pengencer bakteri. Biasanya pada proses
penginokulasian bakteri, bakteri dimasukkan terlebih dahulu ke dalam larutan
NaCl fisiologis 0,9% yang bertujuan membuat pertumbuhan bakteri merata
selama inokulasi dan dapat dihitung setelahnya. Larutan fisiologis 0,9%
memiliki artian, dalam setiap 100 ml aquades, terdapat 0,9 gram NaCl
(Sundaryono, 2011).
Menurut Hudaya (1980), kadar air bahan yang tinggi ditandai dengan
permukaan bahan yang basah. Permukaan bahan yang basah ini merupakan
media yang baik (cocok) untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan beberapa
jenis mikroorganisme, terutama bakteri dan kapang. Kerusakan pangan
disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu pertumbuhan dan aktivitas
mikroorganisme, kerusakan karena serangga atau hewan pengerat, aktivitas
enzim pada tanaman atau hewan, reaksi kimia non enzimatik, kerusakan fisik
misalnya karena pembekuan, hangus, pengeringan, tekanan, dan lain-lain.
Berbagai tanda-tanda kerusakan pangan dapat dilihat tergantung dari jenis
pangannya (Siagian, 2010). Pada penelitian Badge dkk (2011) salah satu
sampelnya yaitu jus tomat, kerusakan pada sampel jus tomat banyak
disebabkan karena adanya mikroorganisme patogen. Miroorganisme tersebut
tumbuh akibat kadar air yang tinggi pada jus tomat. Mikroorganisme yang
tumbuh antara lain Staphylococcus aureus, Eschericia coli dan Salmonella
thypi
Batas cemaran mikroba pada susu segar ( susu sapi, kuda, kambing
dan ternak lain) menurut SNI 7388 : 2009 antara lain jika cemarannya ALT
(30°C, 72 jam) batas maksimumnya 1 x 106 koloni/ml, lalu jika cemarannya
Coliform batas maksimumnya 2 x 101 koloni/ml, jika cemarannya Escheresia
coli batas maksimumnya adalah <3/ml. Kemudian pada cemaran Salmonella
sp batas maksimumnya negatif/25 ml, terakhir apabila cemaran berupa
Staphylococcus aureus batas maksimumnya 1 x 102 koloni/ml. Pada susu
pasteurisasi menurut SNI 7388 : 2009 antara lain jika cemarannya ALT (30°C,
72 jam) batas maksimumnya 5 x 104 koloni/ml, lalu jika cemarannya Coliform
batas maksimumnya 10 koloni/ml, jika cemarannya Escheresia coli batas
maksimumnya adalah <3/ml. Kemudian pada cemaran Salmonella sp batas
maksimumnya negatif/25 ml, cemaran berupa Staphylococcus aureus batas
maksimumnya 1 x 102 koloni/ml. Pada cemaran Listeria monocytogenes batas
maksimumnya negatif/25 ml. Berdasarkan hasil praktikum susu sapi segar
pagi 8,45.103 dan susu kambing pagi 1,57.104 sehingga belum mencapai
cemaran batas maksimum dan masih aman untuk dikonsumsi, sedangkan pada
sampel susu sapi segar 1 hari 1,08. 107, susu kambing 1 hari 1,2. 107 , susu
pasteurisasi pagi TBUD dan susu pasteurisasi 1 hari 3.107 sudah melebihi
batas maksimumnya sehingga tidak aman untuk dikonsumsi.
Batas cemaran mikroba pada jus menurut SNI 7388 : 2009 adalah
sebagai berikut, apabila cemarannya ALT (30°C, 72 jam) batas maksimumnya
adalah 1 x 104 koloni/ml, jika cemarannya Coliform batas maksimumnya 2 x
101 koloni/ml. Kemudian jika cemarannya APM Escheresia coli batas
maksimumnya <3/ml, jika cemarannya berupa Salmonella sp batas
maksimumnya negatif/25 ml. Apabila cemarannya Staphylococcus aureus
batas maksimumnya negatif/ml dan yang terakhir jika cemarannya kapang dan
khamir batas maksimumnya 1x102 koloni/ml. Berdasarkan hasil praktikum jus
melon pagi sebesar 4,6. 104, jus melon 1 hari sebesar 5,8. 105, jus wortel pagi
sebesar 3,58 . 105, jus wortel 1 hari sebesar 8,3. 105, jus belimbing pagi sebesar
8,3. 105, jus belimbing 1 hari TBUD sehingga semua sampel jus melebihi
batas cemaran maksimum dan tidak aman untuk dikonsumsi.
Batas cemaran mikroba pada ikan menurut SNI 7388 : 2009 antara lain
apabila cemarannya ALT (30°C, 72 jam) maka batas maksimumnya adalah 5
x 105, jika cemarannya Escheresia coli maka batas maksimumnya < 3/g.
Apabila cemarannya adalah Salmonella sp maka batas maksimumnya
negatif/25 g. Kemudian apabila cemarannya adalah Vibrio coholerae maka
batas maksimumnya negative/ 5 g dan jika cemarannya Vibrio
parahaemolyticus maka batas maksimumnya 1 x 102 negatif/25 g.
Berdasarkan hasil praktikum Ikan pindang pagi sebesar 2,49. 104 , Ikan lele
pagi sebesar 2,0.105 sehingga belum mencapai cemaran batas maksimum dan
masih aman untuk dikonsumsi, sedangkan pada sampel Ikan pindang 1 hari
sebesar 2,85 . 107, Ikan bandeng 1 hari sebesar 1,3. 107, Ikan bandeng pagi
TBUD dan Ikan lele 1 hari TBUD sudah melebihi batas maksimumnya
sehingga tidak aman untuk dikonsumsi.
E. KESIMPULAN
Kesimpulan dari acara II Kerusakan Bahan Pangan oleh Mikroba
adalah :
1. Foodborne disease merupakan penyakit yang diakibatkan karena
mengkonsumsi makanan yang tercemar mikroba patogen sedangkan Food
spoilage adalah merupakan rusaknya makanan yang menjadikan makanan
tersebut tidak layak untuk dikonsumsi lagi
2. Pada hasil praktikum diketahui seluruh sampel 1 hari mempunyai jumlah
cemaran mikroba lebih banyak dibandingkan dengan sampel pagi. Seluruh
sampel tidak aman untuk dikonsumsi karena telah melebihi batas cemaran
mikroba kecuali pada sampel susu sapi segar pagi, susu kambing pagi,
ikan pindang pagi, ikan lele pagi masih aman untuk dikonsumsi karena
belum melebihi batas cemaran mikroba.
DAFTAR PUSTAKA

Buckle, K. A, R. A. Edwards, G. H. Fleet, M. Wootton. 2013. Ilmu Pangan. UI-


Press. Jakarta.
Djaafar, Titiek F., dan Siti Rahayu. 2007. Cemaran Mikroba Pada Produk
Pertanian, Penyakit Yang Ditimbulkan Dan Pencegahanya. Jurnal litbang
pertanian 26 (2)
Krisch, Judit, Tserennadmid, dan Vagvolgyl. 2011. Essential Oils against Yeasts
and Moulds Causing Food Spoilage. Communicating current research and
technological advances. Hungary.
Gustiani, Erni. 2009. Pengendalian Cemaran Mikroba Pada Bahan Pangan Asal
Ternak (Daging Dan Susu) Mulai Dari Peternakan Sampal Dihidangkan.
Jurnal Litbang Pertanian 28(3), 2009.
Juhnevica, Karina. 2011. Evaluation of microbiological contamination of apple
fruit stored in a modified atmosphere. Environmental and Experimental
Biology.
McDonald, Karl and Da-Wen Sun. 1999. Predictive food microbiology for the
meat industry: a review. International Journal of Food Microbiology 52
(1999) 1–27
Muchtadi, Tien, Sugiyono, dan Ayustaningwarno. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan
Pangan. Alfabeta. Bandung.
Pastra, Defin Ari.,Melki., dan Heron Surbakti. 2012. Penapis Bakteri Yang
Bersimbiosis Dengan Spons Jenis Aplysina Sp Sebagai Penghasil
Antibakteri Dari Perairan Pulau Tegal Lampung. Maspari Journal Vol 4 (1)
77-82
Rahman, Atiqur dan Kang, Sun. 2009. In Vitro Control of Food-Borne and Food
Spoilage Bacteria by Essential Oil and Ethanol Extracts of Lonicera
Japonica Thunb. Food Chemistry Journal. Vol 116. Hal 670-675.
Kyoungsan
Siagian, Albiner. 2010. Mikroba Patogen Pada Makanan Dan Sumber
Pencemaranya. USU digital library
Standar Nasional Indonesia. Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas
Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. SNI No.: 7388 :
2009
Sundaryono, Agus. 2011. Uji Aktivitas Flavonoid Total dari Gynura Segentum
(lour) terhadap Peningkatan Eritrosit dan Penurunan Leukosit pada
Mencit. Jurnal Exacta, Vol. IX No.2 Desember 2011.
Susanna, Dewi. 2011. The level of Escherichia coli contamination in foods and
drinks sold at canteens campus. Med J Indones. Vol 20 No.1
Winarno, F. G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
LAMPIRAN PERHITUNGAN

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑖𝑘𝑟𝑜𝑏𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖


Jumlah koloni pada sampel = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑖𝑘𝑟𝑜𝑏𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ

Jika hasil perhitungan hasilnya lebih dari 2 (>2) maka diambil jumlah koloni
terkecil namun jika perhitungan hasilnya kurang dari 2 (<2) maka diambil jumlah
koloni terbesar
33𝑥104
 Jumlah koloni kel.1 = = 7,174
46𝑥103

Karena jumlah koloni lebih dari 2, maka dipilih data pengenceran terkecil
yaitu 104 yaitu dengan jumlah mikroba 33.104CFU’s/ml setara dengan
33.106CFU’s/ml.
(64 x 104 ) + (52 x 104)
 Jumlah koloni kel.2 = = 58 x 104 = 5,8 x 105 CFUs/mL
2

 Kelompok 3
Sampel : Ikan pindang pagi
77,5 × 103
= 3,112 → > 2
249 × 102
38 × 104
= 4,903 → > 2
77,5 × 103
Karena 3,112 < 4,903 dan lebih dari 2, maka jumlah koloni 2,49 x 104
CFU’s/ml
95𝑥10−6
 Jumlah koloni kel.4 = = 3,34
284,5𝑥10−5

Karena nilainya > 2 maka menggunakan pengenceran yan terkecil, sehingga


jumlah koloni yang didapatkan adalah 2,85.107 CFU’s/ml
 Kelompok 5

60 𝑥 103
= 7,1 > 2
84,5 𝑥 102

68 x104
= 10,8 > 2
60 x 103

Karena 10,8 > 7,1 dan lebih dari 2, maka jumlah koloninya 8,45 x 103
CFU’s/ml
287 𝑥 106
 Jumlah koloni pada sampel kel.6 = 108 𝑥 105

= 2,6514

Karena lebih dari 2, maka jumlah koloni pada sampel 1,08 x 107 CFU’S/ml
 Kelompok 7

Ulangan 1
10−3 256 𝑥 103
= = 12,31 > 2
10−2 208 𝑥 102
10−4 43 𝑥 104
= = 1,67 < 2
10−3 256 𝑥 103
Ʃ mikroba / ml = 236 x 104 Cfu’s/ml
Ulangan 2
10−3 256 𝑥 103
= = 14,30 > 2
10−2 179 𝑥 102
10−4 46 𝑥 104
= = 1,79 < 2
10−3 256 𝑥 103
Ʃ mikroba / ml = 245 x 104 Cfu’s/ml
Rerata Ʃ mikroba / ml
= (236 x 104 + 245 x 104) : 2
= 240,5 x 104
 Kelompok 8
11𝑥105
= 1,95 < 2
56,5 𝑥104
29𝑥106
= 26,36>2
11𝑥105
110+56,5
Rata2= 𝑥104 = 83,25 x104 = 8,3 x 105 CFU’s/ml
2

 Kelompok 9

122+140
pengenceran 105 = = 131
2
𝟕𝟒,𝟓 𝒙𝟏𝟎𝟔
110+39 = 5,697 > 2
pengenceran 106 = = 74,5 𝟏𝟑𝟏 𝒙𝟏𝟎𝟓
2

Ambil pengenceran terkecil yaitu 131 x 105 = 1,3 x 107 CFU’s/ml


87𝑥103
 Jumlah koloni kel.11 = 157𝑥102
= 5,54
Karena nilainya > 2 maka menggunakan pengenceran yan terkecil, sehingga
jumlah koloni yang didapatkan adalah 1,57𝑥10−4 CFU’s/ml
109 𝑥 10−6
 Jumlah koloni(CFU/ml)kel.12 = = 8,9
122 𝑥10−5

Karena 8,9 > 2, maka yang diambil jumlah koloni yang terendah, yaitu
1,2 x 107 CFU’s/ml
 Jumlah koloni kel.13 = 8,3 x 105 CFU’s/ml

103 x 10000
 Jumlah koloni kel.15 = = 5,0742 > 2
203000

Sehingga jumlah koloni yang digunakan adalah data pengenceran terkecil


2,03 x 105 Cfu/ml
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑥 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
- Jumlah mikroba kel.18 = 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚𝑛𝑦𝑎

= 30 x 106
= 3 x 107 CFU’s/ml
LAMPIRAN DOKUMENTASI

Gambar 2.2 Pembungkusan Gambar 2.3 Alat dan Bahan acara 2


Petridish

Gambar 2.4 Penghomogenan dengan vortex


LAPORAN PRAKTIKUM
MIKROBIOLOGI PENGOLAHAN PPANGAN
ACARA 2
KERUSAKAN BAHAN PANGAN OLEH MIKROBA

Disusun Oleh
Kelompok 17
Anggota: 1. Dea Wiyastuti H0915018
2. Kennard Nathanael H0915039
3. Nurmawati H0915059
4. Santy Maharani H0915077
5. Yuliana Ispriyanti H0915087

ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017

Anda mungkin juga menyukai