UNDANG KEPERAWATAN
Oleh : Filia Sofiani Ikasari, S.Kep., Ns
Sumber:
http://www.tribunnews.com/regional/2016/12/08/kasus-dugaan-salah-transfusi-darah-perawat-rs-
arun-jadi-tahanan-kota
http://aceh.tribunnews.com/2016/12/01/kasus-salah-transfusi-darah-belum-tuntas
http://www.lintasatjeh.com/2016/04/ppni-aceh-mutia-dijadikan-tersangka-polisi-bekerja-
serampangan.html
http://www.acehtrend.co/kenapa-kasus-salah-tranfusi-darah-di-rs-arun-mandek/
http://www.lintasnasional.com/2017/10/04/akibat-salah-transfusi-darah-kondisi-badriah-sangat-
memprihatinkan/
Analisis Kasus Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014
tentang Keperawatan
Ditinjau dari UU RI Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, pada kasus salah transfuse
darah ini, terdapat beberapa hal yang tidak sesuai dengan beberapa pasal berikut, yaitu: (1) Pasal
2 huruf d tentang praktik keperawatan harus berasaskan manfaat. Arti dari asas manfaat ini adalah
bahwa keperawatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam
rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Adapun tindakan yang
dilakukan perawat M tidak memberikan manfaat kepada pasien, sebaliknya hal ini memberikan
kerugian pada pasien. (2) Pasal 28 ayat 3 yang isinya bahwa praktik keperawatan harus didasarkan
pada kode etik, standar pelayanan, standar profesi dan standar prosedur operasional. Adapun
tindakan yang dilakukan perawat M telah melanggar pasal 28 ayat 3 ini, karena perawat M tidak
melakukan tindakan sesuai standar prosedur operasional (SPO), yaitu kewajiban untuk melakukan
pengecekan terhadap segala hal tentang darah yang akan diberikan untuk transfusi baik itu tanggal
kadaluarsa darah, serta golongan darah, walaupun tindakan dilakukan oleh bidan, namun perawat
M sebagai leader berdasarkan pemaparan di kasus telah mengetahui adanya perbedaan golongan
darah dari UPTD PMI dan tetap memberikan darah kepada pasien tanpa melakukan kroscek ulang.
Adapun sebagai perawat, perawat M telah melakukan tindakan sesuai dengan pasal 29 ayat 1 huruf
e yaitu dalam menyelenggarakan praktik keperawatan, perawat bertugas sebagai pelaksana tugas
berdasarkan pelimpahan wewenang, pasal 32 ayat 1, pelimpahan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam pasal 29 ayat 1 huruf e hanya dapat diberikan secara tertulis oleh tenaga medis
kepada perawat untuk melakukan suatu tindakan medis dan melakukan evaluasi pelaksanaannya.
Sesuai dengan bunyi ayat ini, perawat telah mendapat mandat secara tertulis dari dokter untuk
melakukan transfuse darah. Namun, saying sekali yang melakukan adalah bidan, padahal perawat
adalah yang berwenang menerima pelimpahan wewenang ini. Selain itu, pada kasus ini tidak ada
yang melakukan pengawasan terhadap tindakan yang dilakukan perawat, sebagaimana yang
tertulis pada pasal 32 ayat 5 bahwa pelimpahan wewenang secara mandat diberikan oleh tenaga
medis kepada perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis di bawah pengawasan. Jadi,
seharusnya ada yang melakukan pengawasan terhadap tindakan berdasarkan pelimpahan
wewenang ini.
Pada kasus ini, kepolisian menetapkan tersangka hanya pada perawat M, dan dua petugas
UPTD PMI, padahal menurut pasal 32 ayat 6 yang isinya adalah tanggung jawab atas tindakan
medis pada pelimpahan wewenang mandat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berada pada
pemberi pelimpahan wewenang. Dalam hal ini dokter adalah yang melimpahkan wewenang,
sehingga seharusnya dokter juga bertanggung jawab atas terjadinya malpraktek ini.
Pada kasus ini, sebenarnya perawat M memiliki hak seperti yang tertuang dalam pasal 36
huruf a yaitu perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan berhak memperoleh pelindungan
hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, standar
prosedur operasional, dan ketentuan peraturan perundang-undangan, namun karena pada kasus ini
perawat M tidak melakukan tindakan sesuai SPO maka perawat M tidak dapat memperoleh ha
katas perlindungan hukum ini.