OLEH :
Adinda Pramitra Permatasari
NIM : 109103000027
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyeleseikan penelitian yang berjudul
PENGARUH STATUS GIZI TERHADAP DEMAM BERDARAH DENGUE DI
INSTALASI RAWAT INAP ANAK RSUD TANGERANG TAHUN 2011. Shalawat
serta salam saya sampaikan kepada Nabi besar Muhammad SAW, suri tauladan kita
dengan sebaik-baiknya akhlak. Saya menulis laporan penelitian ini untuk memenuhi
syarat kelulusan memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada Program Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Prof. Dr. (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp.And sebagai Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syaruf Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. dr. Syarief Hasan Lutfie, Sp.KFR sebagai Ketua Program Studi Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syaruf Hidayatullah
Jakarta.
3. dr. Riva Auda, Sp.A, M.Kes sebagai dosen pembimbing I dan dr. Erike Anggraini
S, M.Pd sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak menyediakan waktu,
tenaga dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan saya dalam penyususnan
penelitian ini.
4. Direktur serta semua staf bagian diklit dan rekam medik RSUD Tangerang yang
sudah mengizinkan dan membantu saya untuk melakukan penelitian di RSUD
Tangerang.
5. Kedua orang tua tercinta, Bapakku Drs. Sunarko dan Ibuku Catur Widya Andini,
M.Pd, yang telah memberikan kasih sayang, dorongan berupa moril dan materil
dan tak pernah lelah selalu mendoakan anak gadisnya ini, serta adikku tercinta
v
Adam Al Hakim yang selalu memberikanku hiburan dalam menulis laporan
penelitian ini.
6. Seluruh teman sejawat mahasiswa Pendidikan Dokter angkatan 2009 yang selalu
bersama-sama menempuh pendidikan selama ini.
Akhir kata saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
dari semua pihak yang telah membantu saya menyeleseikan penelitian ini. Semoga
penelitian ini dapat membawa manfaat bagi perkembangan ilmu khususnya dalam
bidang kedokteran.
Penulis
vi
ABSTRAK
Adinda Pramitra Permatasari. Program Studi Pendidikan Dokter. Pengaruh status gizi
terhadap demam berdarah dengue di instalasi rawat inap anak RSUD Tangerang
2011. Tahun 2012
Anak dengan status gizi lebih (obesitas) akan menderita penyakit demam
berdarah dengan derajat yang lebih parah dibandingkan dengan status gizi kurang
dan status gizi baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh status
gizi terhadap penyakit demam berdarah dengue di instalasi rawat inap anak RSUD
Tangerang tahun 2011. Penelitian ini bersifat analitik dengan rancangan cross-
sectional. Sampel diambil secara total sampling, dengan jumlah 98 orang. Hasil
penelitian dengan menggunakan uji chi square menunjukkan bahwa pasien anak
status gizi lebih (obesitas) dengan diagnosis DBD derajat 3 dan 4 (berat) 54,5%,
status gizi lebih dengan diagnosis DBD derajat 1 dan 2 (ringan) 45,5%, status gizi
baik dan kurang dengan diagnosis DBD derajat 3 dan 4 (berat) 26,3%, status gizi
baik dan kurang dengan diagnosis DBD derajat 1 dan 2 ( ringan) 73,7%. Terdapat
pengaruh status gizi dengan derajat demam berdarah p=0,013 (p<0,05). Sehingga
dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara status gizi terhadap derajat
demam berdarah di instalasi rawat inap anak RSUD Tangerang tahun 2011 dengan
odds ratio 3,4 (95% CI 1,258 – 8,973).
ABSTRACT
Children with obese will suffer from dengue hemorrhagic fever with a more
severe degree than the malnutrition and good nutritional status. The purpose of this
study was to determine the effect of nutritional status on dengue hemorrhagic fever
in children pediatric ward of Tangerang District Hospital in 2011. This research was
an analytical cross-sectional design. Samples taken by total sampling, (n=98). The
results using the chi square test showed patients obese with a diagnosis of DHF grade
3 and 4 (severe) 54.5%, patients obese with a diagnosis of DHF grade 1 and 2 (mild)
45, 5%, and patients non obese with a diagnosis of DHF grade 3 and 4 (severe)
26.3%, patients non obese with a diagnosis of DHF degrees 1 and 2 (mild) 73.7%.
There is a degree of influence the nutritional status of dengue hemorrhagic fever p =
0.013 (p <0.05). It can be concluded that there is influence of nutritional status on the
degree of dengue hemorrhagic fever in children pediatric ward of Tangerang District
Hospital in 2011 with odds ratio 3,4 (95% CI 1,258 – 8,973).
vii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERNYATAAN................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN............................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN................................................................. iv
KATA PENGANTAR......................................................................... v
ABSTRAK/ABCTRACT.................................................................... vii
DAFTAR ISI........................................................................................ viii
DAFTAR TABEL................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR........................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN..................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 2
1.3 Hipotesis.......................................................................................... 2
1.4 Tujuan Penelitian............................................................................. 3
1.5 Manfaat Penelitian........................................................................... 3
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 44
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
xi
DAFTAR SINGKATAN
RS : Rumah Sakit
NS : Nonstruktural
Ig : Imunoglobulin
IL : Interleukin
USG : ultrasonography
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan Khusus
1. RSUD Tangerang
Penelitian ini dapat memberikan informasi atau masukan tentang
pengaruh status gizi terhadap beratnya demam berdarah dengue.
2. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Hasil Penelitian ini dapat dijadikan masukan dan pertimbangan
dalam membuat kebijakan-kebijakan di bidang kesehatan di masa
mendatang khususnya dalam penatalaksanaan penderita demam berdarah
dengue pada anak. Hasil penelitian juga diharapkan dapat menjadi data
dasar bagi penelitian selanjutnya.
3. Peneliti
a. Sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan program sarjana
kedokteran.
b. Melalui penelitian ini peneliti dapat menerapkan dan
memanfaatkan ilmu yang didapat selama pendidikan dan
menambah pengetahuan dan pengalaman dalam membuat
penelitian ilmiah.
c. Menambah pengetahuan peneliti tentang pengaruh status gizi
terhadap demam berdarah dengue.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.I.2 Epidemiologi
Sebanyak 1,8 milliar (lebih dari 70%) dari populasi di seluruh dunia yang
tinggal di negara-negara anggota dari WHO, Asia Tenggara, dan Pasifik wilayah
Barat berisiko terkena demam berdarah dengue dan hampir 75% dari beban
penyakit global akibat demam berdarah dengue.3
Wabah demam berdarah adalah masalah kesehatan terbesar di Indonesia,
Myanmar, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste yang berada di zona khatulistiwa
dan musim tropis. Aedes aegypti tersebar luas di perkotaan dan pedesaan, serotipe
virus beredar dan demam berdarah adalah penyebab utama rawat inap dan
kematian pada anak-anak. Lebih dari 35% dari penduduk Indonesia tinggal di
daerah perkotaan, 150.000 kasus dilaporkan pada tahun 2007 (rekor tertinggi)
dengan lebih dari 25.000 kasus dilaporkan dari Jakarta dan Jawa Barat.3
Wabah di Kuba tahun 1981, dilaporkan kasus demam berdarah dengue
pada anak dan dewasa terpajan sama. Hal ini menunjukkan terjadi sindrom
permeabilitas vaskuler akut. Terjadi hampir selalu pada anak usia 14 tahun dan
5
yang lebih muda. Pada orang dewasa penyakit ini lebih sering disertai fenomena
perdarahan.7
Virus dengue (DEN) adalah virus RNA kecil beruntai tunggal yang terdiri
dari empat serotipe yang berbeda (DEN 1, DEN 2, DEN 3, dan DEN 4). Virus ini
terkait erat serotipe virus dengue memiliki genus flavivirus, dan famili
flaviviridae.3 Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap
serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe
lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai
terhadap serotipe lain tersebut.5 Di Asia genotipe DEN 2 dan DEN 3 sering terkait
dengan penyakit berat yang menyertai infeksi dengue sekunder.3
Genom RNA virus Dengue mengkode tiga protein struktural, kapsid (C),
membran (M), dan selubung (E) serta tujuh protein nonstruktural, yaitu NS1,
NS2a, NS2b, NS3, NS4a, NS4b, dan NS5.12
2.1.3.2 Vektor
2.1.3.3 Host
Setelah masa inkubasi 4-10 hari, infeksi salah satu virus dari empat serotipe
dapat menghasilkan spektrum yang luas dari penyakit, walaupun infeksi tanpa
gejala atau subklinis. Infeksi primer menyebabkan kekebalan perlindungan
seumur hidup terhadap infeksi serotipe. Individu yang terkena infeksi akan
dilindungi dari penyakit dengan serotipe yang berbeda dalam 2-3 bulan infeksi
primer tetapi tanpa kekebalan jangka panjang.3
Faktor-faktor risiko yang menentukan derajat keparahan penyakit yaitu infeksi
sekunder, usia, etnis, dan mungkin penyakit kronis (asma, anemia sel sabit, dan
diabetes melitus). Pada usia anak, kurang mampu mengkompensasi kebocoran
kapiler sehingga dapat berisiko besar menjadi sindrom syok dengue.3
Virus dengue memasuki tubuh manusia melalui proses gigitan nyamuk yang
menembus kulit. Setelah nyamuk menggigit manusia disusul oleh periode tenang
kurang lebih 4 hari, virus melakukan replikasi secara cepat dalam tubuh manusia
virus akan memasuki sirkulasi darah (viraemia) apabila jumlah virus sudah cukup,
dan manusia yang terinfeksi akan mengalami gejala panas. Tubuh memberi reaksi
7
setelah adanya virus dengue dalam tubuh manusia. Bentuk reaksi terhadap virus
antara manusia yang satu dengan manusia yang lain dapat berbeda dan
memanifestasikan perbedaan penampilan gejala klinis dan perjalanan penyakit.12
Manusia adalah host utama dari virus. Virus dengue yang beredar dalam
sirkulasi darah manusia yang ditularkan oleh nyamuk betina yang terinfeksi. Virus
ini kemudian menginfeksi usus nyamuk dan kemudian menyebar secara sistemik
selama periode 8-12 hari yang selanjutnya siap ditularkan kembali kepada
manusia lainnya. Masa inkubasi ekstrinsik dipengaruhi sebagian oleh kondisi
lingkungan, terutama suhu lingkungan. Aedes agypti adalah salah satu vektor yang
paling efisien untuk arbovirus karena sangat antropofilik dan selalu berada di
dekat manusia.3
2.1.4 Patofisiologi
2.1.4.1 Sistem Vaskular
Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak
dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang
8
berlangsung 5-7 hari. Setelah itu muncul respon imun baik humoral maupun
seluler. 12
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar
demam hari ke 5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan
menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat
sekitar demam hari ke 14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat
pada hari kedua. Oleh karena itu, diagnosis dini infeksi primer hanya dapat
ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis
infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi
IgG dan IgM yang cepat.12
2.1.4.3. Trombositopenia
faktor II, V, VII, VIII, X, dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi
peningkatan fibrinogen degradation products (FDP). 1
2.1.5 Patogenesis
Mekanisme
Mekanisme aferen
eferen
Monosit terinfeksi
Sitokin
Komplemen
Hati, limpa,
usus, sum -
sum tulang Tromboplastin Mediator Kimiawi
Permeabilitas
Kapiler
Viremia
Aktivasi sistem
koagulasi
Selain kedua teori tersebut masih ada teori-teori lain tentang patogenesis
DBD diantaranya, adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan
serotipe virus dengue Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4. Semuanya dapat
ditemukan pada kasus yang fatal, tetapi berbeda antara daerah yang satu dengan
yang lain.12
Teori antigen-antibodi, menjelaskan bahwa pada penderita DBD terjadi
penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai dengan penurunan kadar C3,
C4, dan C5. Empat puluh delapan sampai tujuh puluh dua persen penderita DBD
terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus dengue, selanjutnya kompleks
imun tersebut dapat menempel pada trombosit, sel B, dan sel dalam organ tubuh
lain. Terbentuknya kompleks imun tersebut akan memengaruhi aktivitas
komponen sistem imun yang lain.12
1. Fase febris.
Biasanya demam mendadak tinggi 2-7 hari, disertai muka kemerahan,
eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia, dan sakit kepala.
Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, faring hiperemis, injeksi
konjungtiva, anoreksia, mual, dan muntah. 3
Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti petekie,
perdarahan mukosa, dan dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan
perdarahan gastrointestinal walaupun jarang. Hepatomegali timbul saat
beberapa hari setelah demam.3
2. Fase kritis.
Terjadi pada hari ke 3-7 dengan penurunan suhu tubuh menjadi 37,5-380C
atau kurang, disertai peningkatan permeabilitas kapiler secara paralel
dengan hematokrit menigkat, merupakan tanda awal fase kritis. Timbulnya
kebocoran plasma biasanya berlangsung selama 24-48 jam. Kebocoran
plasma sering didahului oleh leukopeni progresif disertai penurunan hitung
trombosit.3
Tingkat kebocoran plasma bervariasi. Efusi pleura dan asites secara klnis
terdeteksi tergantung pada tingkat kebocoran plasma dan volume dari
terapi cairan. Foto dada dan USG abdomen sangat berguna untuk
penegakan diagnosis. Tingkat kenaikan hematokrit juga merupakan dasar
yang menggambarkan tingkat keparahan kebocoran plasma.3
Syok dapat terjadi ketika volume plasma menghilang melalui kebocoran
plasma, hal ini sering ditandai dengan suhu tubuh di bawah normal.
Dengan syok berkepanjangan akan menyebabkan hipoperfusi organ,
14
Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau
hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan diagnosis kerja DBD.11
Kelainan hematologis lain yaitu waktu perdarahan memanjang, kadar
protombin menurun (jarang ditemukan < 40% kontrol), kadar fibrinogen mungkin
subnormal dan produk-produk pecahan fibrin naik, kenaikan kadar transaminase
serum, konsumsi komplemen, asidosis metabolik ringan dengan hiponatremia,
dan kadang-kadang hipokloremia, sedikit kenaikan urea nitrogen serum, dan
hipoalbuminemia. Roentgenogram dada menunjukkan efusi pleura pada hampir
semua penderita.7
16
Derajat III: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,
sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak
gelisah.
Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak terukur.11
2.1.8.2 Penatalaksanaan
Pengobatan suportif lain yang dapat diberikan antara lain larutan oralit, larutan
gula garam, jus buah, susu, dan lain-lain. Apabila pasien mulai terlihat tanda -
tanda dehidrasi pemberian cairan oral dapat diberikan untuk mencegah dehidrasi.
Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama. Setelah
keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB
dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI, tetap harus diberikan ASI
selain larutan oralit. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak
dapat minum, muntah, atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena
rumatan perlu diberikan.5
Peningkatan nilai hematokrit 10-20% menandakan pasien memasuki fase
kritis dan memerlukan pengobatan cairan intravena apabila pasien tidak dapat
minum oral. Pasien harus dirawat dan diberikan cairan sesuai kebutuhan. Tanda
vital, hasil laboratorium, asupan dan keluaran cairan harus di catat dalam lembar
khusus. Penurunan hematokrit merupakan tanda-tanda perdarahan. Umumnya
pada fase ini pasien tidak dapat makan dan minum karena anoreksia dan muntah.
Kewaspadaan perlu ditingkatkan pada pasien dengan risiko tinggi, seperti bayi,
DBD derajat III dan IV, berbadan gemuk, perdarahan berat, dan penurunan
kesadaran.13
Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan
kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%.
Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena
bolus perlahan-lahan. Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka
komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan
komposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi diare ringan
sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera
pada tabel 2.2 di bawah ini. Jenis cairan adalah golongan kristaloid (ringer laktat,
atau ringer asetat) dan koloid.5
18
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur
dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan
derajat hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan
berat badan ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat
diperhitungan dari tabel 2.3 berikut.5
berikan cairan sebanyak-banyaknya 10-20 ml/kgBB atau tetesan lepas selama 10-
15 menit sampai tekanan darah dan nadi dapat diukur, kemudian turunkan sampai
10 ml/kg/jam. Berikan oksigen pada kasus dengan syok.13
Setelah itu ulangi pemeriksaan hematokrit. Apabila ada kenaikan
hematokrit, ganti cairan dengan koloid yang sesuai (diindikasikan pada keadaan
syok berulang atau syok berkepanjangan), dengan tetesan 10 ml/kg/jam. Apabila
syok masih berkepanjangan dan didapatkan penurunan hematokrit, maka mungkin
terdapat perdarahan bermakna yang memerlukan transfusi darah. Apabila ada
penurunan hematokrit dan tanda vital yang tidak stabil meski sudah telah diberi
cairan pengganti dengan volume cukup banyak, berikan packed red cell (PRC) 5
ml/kg/kali. Apabila tidak tersedia, dapat diberikan sediaan darah segar 10
ml/kg/kali.13
penilaian status gizi merupakan bagian terpenting dalam hal evaluasi klinis dan
perawatan pada pasien anak.16
Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian
yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Tetapi dalam lingkungan
masyarakat itu sendiri, cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan
adalah antropometri gizi.14
2.2.1 Antropometri
Berat badan adalah pengukuran status gizi secara keseluruhan dengan usia,
jenis kelamin, dan panjang/tinggi badan diperlukan untuk interpretasi yang
optimal. Berat badan seharusnya diukur di tempat terang dan tidak menggunakan
pakaian. Bayi tidak menggunakan popok. Berat badan dicatat dengan ketepatan
0,01 kg pada bayi dan 0,1 kg pada anak yang lebih tua.16
Berat badan merupakan pilihan utama karena berbagai pertimbangan,
antara lain :
1. Parameter yang paling baik, mudah terlihat perubahan dalam waktu singkat
karena perubahan-perubahan konsumsi makanan dan kesehatan.
2. Memberikan gambaran status gizi sekarang dan kalau dilakukan secara
periodik memberikan gambaran yang baik tentang pertumbuhan.
3. Merupakan ukuran antropometri yang sudah dipakai secara umum dan luas
di Indonesia sehingga tidak merupakan hal baru yang memerlukan
penjelasan secara meluas.
4. Ketelitian pengukuran tidak banyak dipengaruhi oleh keterampilan
pengukur.
22
5. KMS (Kartu Menuju Sehat) yang digunakan sebagai alat yang baik untuk
pendidikan dan memonitor kesehatan anak menggunakan juga berat badan
sebagai dasar pengisiannya.
6. Karena masalah umur merupakan faktor untuk penilaian status gizi, berat
badan terhadap tinggi badan sudah dibuktikan sebagai indeks yang tidak
tergantung pada umur.
7. Alat pengukur dapat diperoleh di daerah pedesaan dengan ketelitian yang
tinggi dengan menggunakan timbangan gantung yang sudah dikenal oleh
masyarakat.18
merupakan indikator yang kurang sensitif bila dibandingkan dengan berat badan
dan tinggi badan. Lingkar kepala tidak dapat digunakan pada anak yang menderita
hidrosefalus.16
Lingkar kepala diukur dengan menempatkan pita ukur pada supraorbital
sampai dengan oksipital. Pengukuran harus dicatat dengan nilai kesalahan 0,1
cm.16
Berdasarkan Bruce Cogill dari Anthropometric Indicators Measurement
Guide terdapat 3 indikator yang biasa digunakan untuk menilai status gizi pada
anak :
a. Berat badan terhadap umur.
b. Tinggi badan atau panjang badan terhadap umur.
c. Berat badan terhadap tinggi badan atau panjang badan.17
Dalam antropometri gizi digunakan indeks antropometri sebagai dasar
penilaian status gizi, beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu
Berat badan menurut Umur (BB/U), Tinggi badan menurut Umur (TB/U), dan
Berat badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). 19
Diantara bermacam-macam indeks antropometri, BB/U merupakan indikator
yang paling umum digunakan sejak tahun 1972. Indeks BB/U adalah pengukuran
total berat badan termasuk air, lemak, tulang, dan otot.19
24
Interpretasi dari TB/U dengan acuan standard (CDC 2000) dan dinyatakan
dalam persentase :
1. 90-110% : baik/normal.
2. 70-89% : tinggi kurang.
3. < 70% : tinggi sangat kurang.20
BB/TB (%) = Interpretasi dari BB/TB dengan acuan standard (CDC 2000
dan dinyatakan dalam persentase :
1. >120% : obesitas.
2. 110-120% : overweight.
3. 90-110% : normal.
4. 70-90% : gizi kurang.
5. < 70% : gizi buruk.20
25
Penimbunan
Jaringan
Kebocoran Plasma ↑ Perdarahan ↑
Adiposa
berlebihan
Keterangan :
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Diketahui :
OR : 4,927 (kepustakaan)9
P2 : 0,434 (kepustakaan)9
= 55,7
Ditambah 10%, Jadi besar sample yang diambil adalah 61,27. Dibulatkan menjadi
62
Pada penelitian ini, pengambilan sampel secara keseluruhan (total sampling).
29
1. Data pasien anak yang tidak terdiagnosis pasti demam berdarah dengue.
2. Data rekam medik yang tidak lengkap.
Persetujuan Pembimbing
Pembuatan Proposal
Pengambilan Data
Pengolahan Data
Data diperoleh dari bagian rekam medik RSUD Tangerang. Data berupa
rekam medik pasien DBD di Instalasi rawat inap anak RSUD Tangerang periode
bulan Januari sampai dengan Desember 2011.
31
BAB IV
Pada periode Januari sampai dengan Desember 2011 dijumpai 121 pasien
DBD dirawat di bagian anak, RSUD Tangerang. Dari 121 pasien tersebut hanya
98 pasien yang memiliki data lengkap dan digunakan untuk analisis data. Kriteria
pasien anak dalam penelitian ini adalah anak dengan usia 0-14 tahun.
52
51
51
50
49
48 52%
47
47
46 48%
45
Laki-laki Perempuan
juga pada penelitian di RS. M. Djamil Padang yang mendapatkan kelompok usia
terbanyak 5 – 10 tahun (49,8%).23
Menurut penelitian oleh Raihan dkk di bagian anak RSUP Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta mendapatkan bahwa kerentanan untuk terjadi syok relatif
konstan antara umur 4 sampai 12 tahun dan menurun pada usia remaja.
Kemungkinan disebabkan karena pada anak yang lebih muda endotel pembuluh
darah kapiler lebih rentan terjadi pelepasan sitokin sehingga terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler. Selain itu perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena
terjadinya perubahan pola transmisi. Awal era DBD transmisi umumnya terjadi di
rumah namun saat ini telah beralih ke fasilitas publik seperti sekolah dan tempat
bermain anak-anak sehingga banyak kasus ditemukan pada usia sekolah.24
Kejadian DBD pada usia lebih dari 5 tahun bahkan dewasa berhubungan
dengan teori secondary heterolog infection bahwa penyakit akan muncul apabila
seseorang setelah terinfeksi virus dengue untuk pertama kali kemudian
mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6
bulan sampai 5 tahun.9
60 54
50
40
30 27
55,1%
20 17
27,6%
10
17,3%
0
0-5 tahun 6-10 tahun 11-14 tahun
memiliki status gizi baik 46 orang (46,9%), selanjutnya status gizi kurang 30
orang (30,6%), dan status gizi lebih 22 orang (22,4%).
70
61
60
50
37
40
30 62,2%
20 37,8%
10
0
musim hujan musim kemarau
(oktober-april) (mei-september)
Rerata lama rawat inap subyek penelitian ini adalah 4,96 ± 2,149 hari
dengan rawat inap terlama 16 hari. Rerata pasien masuk rumah sakit demam hari
ke 4,15 ±1,187 dengan riwayat demam masuk terlama hari ke 7.
Hasil penelitian tersebut hampir sama dengan penelitian di bangsal anak
RSUP Dr. Kariadi Semarang ditemukan hasil rerata lama perawatan adalah 5,2 ±
4,41 hari, dengan lama perawatan terpanjang 23 hari. Rerata hari demam sebelum
dirawat adalah 4,1 ± 1,57 hari.26
Penelitian pada bagian anak RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta,
hampir 80% pasien anak dirawat setelah mengalami demam tiga hari di rumah
atau sakit hari keempat.24
Lama sakit menentukan perjalanan penyakit DBD berada pada suatu fase
dari tiga fase yang ada yaitu fase demam (hari sakit ke 1-3), fase kritis/syok (hari
sakit ke 4-7) kebocoran plasma terhebat terjadi setelah demam 3 hari dan
berlangsung selama 24-48 jam. Fase penyembuhan yaitu apabila fase kritis
terlewati dan terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke intravaskuler
secara perlahan pada 48-72 jam setelahnya (hari sakit lebih dari 7).24
Berdasarkan penggolongan kelas rawat inap, subjek sebagian besar berada
di kelas 3 sebanyak 59 orang (60,2%), selanjutnya kelas 2 sebanyak 18 orang
(18,4%) dan kelas 1 sebanyak 18 orang (18,4%). Pasien anak yang datang dengan
keadaan kritis langsung masuk ke ruang ICCU sebanyak 3 orang (3,1%).
70
59
60
50
40
30 60,2%
18 18
20
10 18,4% 18,4% 3 (3,1%)
3
0
Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Ruang ICCU
Kadar trombosit saat hari pertama penderita masuk rumah sakit atau
demam hari ke 4 , rata-rata 89.084/mm3 ± 60.873/mm3. Ditemukan juga hal yang
sama, di bagian anak RSUPN CM Jakarta yaitu kadar trombosit 50.000-
100.000/mm3 sebesar 67,4%.24
Mekanisme terjadinya trombositopenia pada DBD/SSD kemungkinan
bersifat multifaktorial. Terdapat beberapa asumsi mengenai keadaan ini,
diantaranya menyatakan bahwa kombinasi dari difusi cedera sel endotel,
peningkatan aktivasi platelet, dan disseminated intravascular coagulation akan
mengakibatkan peningkatan konsumsi trombosit.
Trombositopenia di bawah 100.000/mm3 merupakan salah satu kriteria
diagnosis DBD, nilai trombosit mulai menurun pada masa demam hari ke 3 dan
mencapai nilai terendah pada masa syok. Beberapa studi menunjukkan bahwa
keadaan trombositopenia tidak dapat digunakan dalam menilai derajat suatu
penyakit DBD/SSD. Sehingga trombositopenia hanya digunakan sebagai salah
satu kriteria laboratoris dalam menegakkan diagnosis DBD/SSD.27
Kadar hematokrit awal pada pasien anak DBD dalam penelitian ini antara
25-53% dengan rerata kadar hematokrit 38,33% ± 6.075. Kadar hematokrit
tertinggi selama rawat inap pada pasien anak DBD dalam penelitian ini antara 42-
55% dengan rerata 48,13 ± 2,693.
Hal ini ditemukan sama pada penelitian yang dilakukan pada RS. M.
Djamil Padang, terdapat pasien anak DBD dengan kadar hematokrit <42% pada
saat masuk.23 Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di RSUPN CM Jakarta
berdasarkan karakteristik hematokrit, ditemukan kadar hematokrit >42% sebesar
54,3% dari pasien DBD anak.24
Nilai hematokrit yang tinggi diasosiasikan dengan kebocoran plasma.
Makin besar kebocoran yang terjadi makin tinggi nilai hematokritnya. Kebocoran
plasma ini mencapai puncaknya pada saat syok. Hemokonsentrasi yang ditandai
dengan peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencerminkan peningkatan
permeabilitas kapiler, perembesan plasma, dan berhubungan dengan beratnya
penyakit. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% atau lebih
dianggap menjadi bukti definitif adanya peningkatan permeabilitas vaskular dan
38
80
60
96,9%
40
20
3 (3,1%)
3
0
sembuh meninggal
Dari tabel 4.2.1 di didapatkan hasil bahwa status gizi baik memiliki angka
kejadian yang lebih tinggi terkena DBD pada pasien anak di RSUD Tangerang.
39
Dari hasil analisis statistik, didapatkan hasil uji analisis statistik Chi
Square dan diperoleh nilai p value adalah 0,013. Nilai p < α (0,05) yang berarti
H0 ditolak. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara status gizi
terhadap derajat demam berdarah dengue pada penderita DBD anak di RSUD
Tangerang. Hal ini berarti bahwa status gizi berpengaruh terhadap derajat demam
berdarah dengue.
Tabel 4.2.2 Hasil Analisis Bivariat status gizi dengan derajat DBD anak
merupakan salah satu sitokin utama yang diproduksi oleh jaringan adiposa
menyebabkan peningkatan produksi dari sitokin Th2 seperti IL-4 dan IL-5.30
Oleh karena itu dengan adanya peningkatan sitokin pro inflamasi yang
berasal dari obesitas, hal ini menyebabkan peningkatan kejadian pada penderita
DBD. Patogenesis DBD berdasarkan teori Infection Enhancing Antibody dan teori
mediator makrofag yang terinfeksi virus dengue akan menjadi aktif dan akan
melepaskan sitokin yang memiliki sifat vasoaktif atau prokoagulasi diantaranya
IL-1, IL-6 dan TNF α juga Platelet Activating Factor (PAF). Bahan-bahan
mediator tersebut akan memengaruhi sel-sel endotel dinding pembuluh darah dan
sistem hemostatik yang akan mengakibatkan kebocoran plasma dan perdarahan.
1. Pengaturan berkas pasien yang tidak terletak dalam satu ruangan dan tidak
teratur menyebabkan pencarian berkas tersebut membutuhkan waktu yang
cukup lama.
2. Dari data pengumpulan rekam medik banyak data yang tidak lengkap
sehingga banyak data yang tidak terpakai. Tetapi kelemahan ini bisa di
kurangi pada penelitian ini dengan mengambil data pasien dengan data
yang lengkap saja.
42
BAB V
5.1 KESIMPULAN
a. Jenis kelamin anak laki-laki 51 orang (52%) dan jenis kelamin anak
perempuan 47 orang (48%).
b. Penggolongan umur, didominasi oleh anak berumur 6-10 tahun 54 orang
(55,1%), kelompok umur 0-5 tahun 27 orang (27,6%), dan kelompok 11-
14 tahun 17 orang (17,3%).
c. Rerata berat badan adalah 25,69 ±13,597 kg dengan berat badan terkecil 6
kg dan terberat 62 kg. Berdasarkan status gizi sebagian besar yaitu
memiliki status gizi baik 46 orang (46,9%), selanjutnya status gizi kurang
30 orang (30,6%), dan status gizi lebih 22 orang (22,4%).
d. Bulan perawatan dijumpai sebagian besar saat musim hujan 61 orang
(62,2%), sedangkan saat musim kemarau periode didapatkan 37 orang
(37,8%). Rerata pasien masuk rumah sakit demam hari ke 4,15 ±1,187 dan
riwayat demam masuk RS terlama yaitu hari ke 7.
e. Penggolongan kelas rawat inap, sebagian besar berada di kelas 3 59 orang
(60,2%), kelas 2 18 orang (18,4%), kelas 1 18 orang (18,4%), dan ruang
ICCU 3 orang (3,1%).
f. Kadar trombosit saat hari pertama penderita masuk rumah sakit atau
demam hari ke 4, rata-rata 89.084/mm3 (antara 9.000-293.000/mm3).
Kadar hematokrit awal antara 25-53% dengan rerata kadar hematokrit
38,33% ± 6.075. Kadar hematokrit tertinggi selama rawat inap 42-55%
dengan rerata 48,13 ± 2,693.
g. Keadaan akhir pasien keluar dari rumah sakit sebagian besar 95 pasien
sembuh (96,9%) dan 3 pasien yang meninggal (3,1%) dengan status gizi
kurang.
h. Pengaruh status gizi dengan beratnya penyakit demam berdarah dengue
pada anak dengan nilai p value adalah 0,013 dan besarnya risiko demam
43
berdarah dengue berat pada anak status gizi lebih 3,4 kali lebih besar
dibandingkan dengan anak status gizi baik dan kurang.
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi
Kedua. Jakarta:IDAI;2012.h.155-181.
2. World Health Organization.Global Alert and Response (GAR), Impact of
Dengue. Diunduh dari website :
http://www.who.int/csr/disease/dengue/impact/en/. Diakses tanggal 23
Januari 2012.
3. World Health Organization and the Special Programme for Research and
Training in Tropical Disease. Dengue guidlines for diagnosis, treatment,
prevention and control. New edition. World Health Organization;
2009.h.1-86.
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Database Kesehatan
Departemen Kesehatan RI. Diunduh dari website :
http://www.bankdata.depkes.go.id/nasional/public/report/. Diakses tanggal
10 Juli 2011.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman tata laksana klinis
infeksi dengue sarana pelayanan kesehatan. Departemen Kesehatan.
Jakarta. 2005.h. 25-43.
6. Pencegahan dan pengendalian dengue dan demam berdarah dengue :
Panduan lengkap / WHO ; alih bahasa , Palupi Widyastuti; editor bahasa
indonesia Salmiyatun. Jakarta : EGC; 2004.h.25-30.
7. Behrman RE, Kliegman RM, dan Arvin AM. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak. Ed 15 Vol 2. Jakarta: EGC; 2000.h.1134-35.
8. Kalayanarooj S, Nimmannitya S. Is dengue severity related to nutritional
status. SouthEast Asian J Trop Med Public Health 2005;36:380-4.
9. Saniathy E, Arhana BNP, Suandi IKG, Sidiartha IGL. Obesitas sebagai
faktor risiko sindrom syok dengue di RSUP Sanglah Denpasar. Sari
Pediatri. 2009; 11( 4):238-43.
10. Citraresmi E, Hadinegoro SR, Akib AAP. Diagnosis dan tata laksana
demam berdarah dengue pada kejadian luar biasa tahun 2004 di enam
rumah sakit di Jakarta. Sari Pediatri. 2007; 8(3): 8-14.
11. WHO. Dengue hemorrhagic fever : diagnosis, treatment, prevention, and
control. Geneva, 1997.h.1-66.
45
25. Iriani Y. Hubungan antara curah hujan dan peningkatan kasus demam
berdarah dengue anak di Kota Palembang. Sari Pediatri. 2012 ; 13(3): 378-
83.
26. Santosa B, RMD Kisdjamiatun, Ermin T, Mahayani NPA. Korelasi Kadar
plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1) plasma dengan enzim
transaminase serum pada demam berdarah dengue. Sari Pediatri. 2010;
12(1): 6-10.
27. Gunawan S, Sutanto FC, Tatura SNN, Mantik MFJ. Platelet distribution
width dan mean platelet volume : hubungan dengan derajat penyakit
demam berdarah dengue. Sari Pediatri. 2010;12( 2): 74-77.
28. Aji FD. Kualitas hidup anak pasca sindrom syok dengue. Tesis. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro; 2004.
29. Hersoug L-G, Linneberg A. The link between the epidemics of obesity and
allergic diseases: does obesity induce decreased immune tolerance allergy.
2007;62:1205-13.
30. Fanani MZ. Arsitektur genom virus dengue dan peluang desain inhibitor.
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga : Surabaya; 2011.
31. Dahlan, Sopiyudin. Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam
penelitian kedokteran dan kesehatan. Edisi ke 2. Jakarta : Salemba
Medika. 2009.h.1-77.
Lampiran 1
Alat Pengukur
(Lanjutan)
(Lanjutan)
(Lanjutan)
Lampiran 3
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
umur
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Berat Badan
N Valid 98
Missing 0
Mean 25.69
Median 20.50
Mode 20
Variance 184.874
Skewness .796
Kurtosis -.393
Minimum 6
Maximum 62
(Lanjutan)
Bulan Perawatan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
N Valid 98
Missing 0
Mean 4.96
Median 5.00
Mode 5
Variance 4.617
Skewness 1.906
Kurtosis 6.984
Minimum 1
Maximum 16
(Lanjutan)
N Valid 98
Missing 0
Mean 4.15
Median 4.00
Mode 5
Variance 1.409
Skewness .188
Kurtosis .314
Minimum 1
Maximum 7
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
N Valid 98
Missing 0
Mean 8.91E4
Median 7.40E4
Mode 22000
Variance 3.706E9
Skewness 1.190
Kurtosis 1.275
Minimum 9000
Maximum 293000
Ht paling tinggi
N Valid 98
Missing 0
Mean 48.13
Median 48.00
Mode 48
Variance 7.250
Skewness .752
Kurtosis .535
Minimum 42
Maximium 55
(Lanjutan)
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
diagnosis
Total Count 32 66 98
Chi-Square Tests
Linear-by-Linear
6.120 1 .013
Association
b
N of Valid Cases 98
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,18.
Risk Estimate
N of Valid Cases 98
Lampiran 4
Riwayat Penulis
Agama : Islam
Email : adindapramitra@ymail.com
Riwayat pendidikan :