Anda di halaman 1dari 49

HALAMAN PENGESAHAN

Journal Reading dengan Judul:

“Pewarnaan Hemolitik pada Intima dari Cabang Aorta pada Kasus


Tenggelam di Air Tawar”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Menempuh Ujian Kepaniteraan Klinik


Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Aditya Yogarama 030.11.006


Azahrah Purnamaladi 030.12.044
Bina Lauringga Andora 030.12.051
Marlene Kamil 030.11.179
Nathania Kosuhary 030.12.188
Ratika Yos Widya 030.09.192

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Julia Ike Haryanto, MH, Sp.KF selaku
dosen penguji journal reading.

Semarang, Maret 2018


Dosen penguji

dr. Julia Ike Haryanto, MH, Sp.KF


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat,
rahmat, dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah
journal reading yang berjudul “Pewarnaan Hemolitik pada Intima dari Cabang Aorta
pada Kasus Tenggelam di Air Tawar”. Makalah journal reading ini disusun untuk
memenuhi syarat menempuh ujian kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang.
Dalam penulisan makalah journal reading ini, tidak sedikit kendala yang
penulis hadapi. Namun berkat bimbingan, bantuan, dan kerjasama dari berbagai pihak
sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi dapat teratasi. Pada kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:
1. dr. Julia Ike Haryanto, MH, Sp.KF selaku dosen penguji yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk meningkatkan ilmu dan pengetahuan
2. dr. Dadan Rusmanjaya dan dr. Liya Suwarni selaku residen pembimbing yang
telah dengan sabar, tulus, dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam
memberikan bimbingan, motivasi, dan saran-saran yang sangat berharga kepada
penulis selama penulisan makalah journal reading.
Penulis menyadari perlunya saran dan kritik yang membangun untuk
kesempurnaan makalah journal reading ini. Akhir kata, penulis berharap makalah
journal reading ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu khususnya dibidang
kesehatan.
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................................................


KATA PENGANTAR ....................................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................................
DAFTAR TABEL ............................................................................................................................
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................................
BAB I ...................................................................................................................................................
PENDAHULUAN ............................................................................................................................
1.1. Latar Belakang ...................................................................................................................
1.2. Perumusan Masalah ..........................................................................................................

1.3. Tujuan dan Manfaat ....................................................................................


BAB II ......................................................................................................................
JURNAL ..................................................................................................................
BAB III ..................................................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................
BAB IV ..............................................................................................................................................
PEMBAHASAN .............................................................................................................................
BAB V ...............................................................................................................................................
PENUTUP ........................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara
pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan
karbondioksida (hiperkapnea). Adapun salah satu penyebab kematian akibat terjadinya asfiksia
adalah pada kasus Tenggelam. 1
Tenggelam adalah kematian akibat mati lemas (asfiksia) disebabkan masuknya cairan ke
dalam saluran pernapasan. Tenggelam tidak hanya terbatas di dalam air dalam seperti laut,
sungai, danau atau kolam renang, tetapi mungkin pula terbenam dalam kubangan atau selokan
dengan hanya muka berada di bawah permukaan air. 1 Mekanisme kematian pada saat tenggelam
secara akut adalah anoksia serebral yang ireversibel atau yang sering disebut dengan asfiksia,
gangguan elektrolit, dan aritmia jantung. 2
Menurut WHO tahun 2014 di seluruh dunia ada 372.000 kejadian tenggelam tidak sengaja.
Dimana, angka tersebut menempati urutan kedua setelah kecelakaan lalu lintas. Di Indonesia
diketahui 53.5% kejadian tenggelam di Indonesia terjadi di wilayah air laut, 25,4% terjadi di air
tawar, dan 21,1% tanpa keterangan tempat. Selain itu, buruknya sistem transportasi laut di
Indonesia menjadi salah satu faktor pemicu kejadian tenggelam. Insiden terjadinya kasus
tenggelam ini berbeda-beda tingkatan pada tiap-tiap negara, dimana insiden paling banyak terjadi
pada negara berkembang, terutama pada anak-anak kurang dari 5 tahun dan orang dewasa umur
15-24 tahun. 3
Mekanisme kematian tenggelam di air tawar berbeda dengan kematian akibat tenggelam
di air asin. Dimana, Air tawar bersifat hipotonik terhadap plasma tubuh sehingga akan terjadi
hemodelusi darah, air massuk kedalam aliran darah sekitar alveoli dan mengakibatkan pecahnya
sel darah merah ( hemolysis). Kemudian tubuh mencoba mengatasi keadaan ini dengan
melepaskan ion kalium dari serabut otot jantung sehingga terjadi ketidak seimbangan ion K+ dan
Ca++ dalam serabut otot jantung dan mendorong terjaidnya vibrilasi atrium. 1
1.2. Perumusan Masalah
 Apakah yang dimaksud dengan tenggelam ?
 Bagaimana mekanisme terjadinya kematian pada korban tenggelam?
 Bagaiman klasifikasi kasus tenggelam ?
 Apakah perbedaan mati tenggelam di air tawar, air asin dan air payau ?
 Bagaimana cara mendiagnosis kematian akibat tenggelam?
 Bagaimana pemeriksaan forensik pada kasus kematian akibat tenggelam?
 Apakah pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus kematian akibat tenggelam?

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang kasus tenggelam dalam bidang
forensik.
1.3.2 Tujuan Khusus
 Mengetahui definisi tenggelam
 Mengetahui mekanisme kematian akibat tenggelam
 Mengetahui klasifikasi kasus tenggelam
 Mengetahui perbedaan kematian akibat tenggelam di air tawar, air asin dan air payau
 Mengetahui penegakan diagnosis kasus tenggelam
 Mengetahui pemeriksaan forensik pada kasus kematian akibat tenggelam
 Mengetahui pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus kematian akibat
tenggelam

1.4 Manfaat
1.4.1 Teoritis
 Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai kasus tenggelam.
1.4.2 Aplikatif
 Bagi dunia pendidikan : menambah pengetahuan mengenai kasus tenggelam.
 Bagi institusi forensik : menambah pengetahuan mengenai pemeriksaan yang
dapat dilakukan terhadap jenazah yang diduga tenggelam.
 Bagi institusi hukum : menambah pengetahuan mengenai kasus tenggelam dan
menunjang suatu kasus pidana atau perdata.
1.4.3 Bagi Masyarakat
 Memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat tentang kasus
tenggelam
BAB II

JURNAL

Pewarnaan Hemolitik pada Intima dari Cabang Aorta pada Kasus Tenggelam di Air
Tawar

Sebuah Penelitian Retrospektif


Michael Tsokos, MD, Glenda Cains, and Roger W. Byard, MBBS, MD

Abstrak
Sebuah penelitian retrospektif dilakukan terhadap berkas pada Institusi Medikolegal di Hamburg,
Jerman dari tahun 1998 sampai dengan 2003 dari seluruh kasus tenggelam yang belum terjadi
pembusukan, untuk mendokumentasikan angka pencatatan dari pewarnaan hemolitik pada intima
dari pembuluh darah besar. Seluruh kasus telah sepenuhnya di investigasi oleh polisi dengan
melihat riwayat, barang bukti penting, dan temuan otopsi. Serangkaian subyek kontrol yang
meninggal akibat berbagai penyebab baik secara alami maupun tidak alami yang bukan akibat
tenggelam, yang memiliki kesamaan usia, jenis kelamin, dan interval post-mortem juga
dipelajari. Seratus dua puluh kasus tenggelam di air tawar teridentifikasi. Terdapat 1 kasus
tenggelam yang terjadi pada kolam taman , 2 kasus pada bak mandi, dan 117 kasus pada sungai
Elbe. Rentang usia adalah dari 2 sampai dengan 91 tahun (mean=55 tahun; M:F=1:1,8).
Pewarnaan hemolitik Intima tercatat terdapat pada 6 kasus (6 dari 120;5%). Yang dimaksud
adalah perubahan warna menjadi kemerahan pada bagian proximal dari cabang aorta, tanpa
adanya pewarnaan yang signifikan dari proximal Arteri Pulmonal. Tidak didapatkan adanya
pewarnaan hemolitik yang signifikan dari Intima pembuluh darah besar yang tercatat dari 120
subyek kontrol. Meskipun kurang pelaporan mungkin terjadi dari analisis retrospektif, penelitian
ini menunjukkan bahwa setidaknya 5% dari kasus tenggelam menunjukkan adanya perbedaan
pewarnaan dari cabang pulmonal dan aorta, dengan perubahan warna hemolitik pada intima
aorta. Jika ditemukan, pewarnaan hemolitik dari intima cabang aorta dapat berguna dan
kemungkinan merupakan tanda yang dapat mendukung kasus tenggelam di air tawar yang belum
dikenal.

Meskipun pewarnaan hemolitik dari intima aorta telah ditulis pada berbagai literatur sebagai
tanda dari tenggelam pada air tawar, namun masih merupakan tanda yang kurang dikenal karena
jarang ditulis pada buku acuan. Penelitian yang dilakukan oleh kelompok kami menyarankan
bahwa tanda ini merupakan tanda yang spesifik, meskipun tidak terlalu sensitif. Penelitian ini
dilakukan agar menyediakan indikasi bahwa seberapa sering hal ini dicatat dalam serangkain
kasus dari tenggelam di air tawar pada ranah medikolegal.

1. Metode dan material

Berkas otopsi dari Institut Medikolegal, Universitas Hamburg, Hamburg, Jerman di kaji
secara retrospektif selama periode 5 tahun (1999-2003) untuk kasus tenggelam. Seluruh kasus
telah diselidiki polisi secara penuh, dengan kajian dari riwayat sebelumnya, barang bukti
penting, dan temuan otopsi. Sebuah studi case-control dilakukan dengan subyek kontrol adalah
yang telah meninggal akibat berbagai penyebab baik secara natural maupun tidak natural, yang
bukan merupakan kasus tenggelam yang memiliki kesamaan secara usia, jenis kelamin, dan
interval post-mortem. Kasus yang telah mengalami perubahan pembusukan, termasuk marbling
vena, pelicinan kulit, pengeluaran cairan pembusukan, bau busuk, dan infestasi serangga di
ekslusikan dari penelitian.

2. Hasil

Ditemukan seratus dua puluh kasus tenggelam di air tawar. Satu kasus tenggelam terjadi
pada kolam taman, dua kasus pada bak mandi, dan 117 pada Sungai Elbe. Rentang usia adalah
dari 2 sampai dengan 91 tahun (mean=55 tahun) dengan perbandingan laki-laki dan perempuan
adalah 1:1,8. Pewarnaan hemolitik Intima tercatat pada 6 kasus (6 dari 120;5%). Yang dimaksud
adalah perubahan warna menjadi kemerahan pada bagian proximal dari cabang aorta, tanpa
adanya pewarnaan yang signifikan dari proximal Arteri Pulmonal.
Kematian pada kontrol disebabkan oleh berbagai penyebab natural (termasuk penyakit
jantung iskemik, emboli paru, pneumonia, perdarahan gastrointestinal, asma, efisema, dan
pankreatitis) dan penyebab non-natural (termasuk trauma akibat jatuh dari ketinggian,
penusukan, luka tembak, gantung, dan intoksikasi obat). Rentang usia dari subyek kontrol adalah
1 sampai degan 99 tahun. (mean 61 tahun) dengan perbandingan laiki-laki dan perempuan adalah
1,6:1. Tidak terdapat adanya pewarnaan hemolitik pada intima dari pembuluh darah besar yag
tercatat dari 120 subyek kontrol (Tabel 1).
Pewarnaan Intima Aorta
Negatif Positif
Tenggelam di air tawar 114 6 (5%)
(N=120)
Kontrol (N=120) 120 0

Tabel 1. Kejadian Pewarnaan Intima pada cabang Aorta pada 120 kasus tenggelam di air tawar
dan 120 kasus kontrol

3. Diskusi
Diagnosis otopsi dari tenggelam selalu menemui kesulitan bagi ahli patologi karena
temuan fisik relatif tidak spesifik dan mungkin tidak dapat mengeksklusikan penyebab kematian,
apakah alami atau tidak alami pada tubuh yang tenggelam. Terdapat penyebab kematian lain
seperti sindroma QT memanjang yang dapat menyebabkan kematian mendadak saat korban
sedang berenang, dan mungkin saja tidak terdeteksi setelah dilakukan otopsi. Persentase
kematian di air secara signifikan mungkin disebabkan, atau di inisiasi oleh kondisi organik yang
menyertai.
Berbagai usaha telah dilakukan dalam mencari marker diagnostik pada kasus tenggelam
secara biokimia, namun sifat kinetik dan keistimewaan dari proses agonal mengakibatkan belum
adanya tes yang dapat diandalkan belum ditemukan. Tes Klorida Gettler merupakan salah satu
contoh suatu tes yang digunakan untuk mencari perubahan pada kadar klorida darah pada korban
tenggelam, namun masih diperdebatkan. Sayangnya hampir seluruh penelitian terkonsentrasi
pada perubahan biokimia namun tidak menjabarkan analisa atau deskripsi dari ciri patologis
yang berhubugan. Hasil dari evaluasi diatom juga tidak terlalu berguna.
Pada penelitian sebelumnya kami telah memastikan bahwa tenggelam di air tawar
berhubungan dengan lebih rendahnya kadar natrium pada ventrikel kiri jika dibandingkan
dengan tenggelam di air tawar, dan kami juga mengamati bahwa kadar natrium vitreous humor
juga menurun pada kasus tenggelam. Kami juga menemukan bahwa terdapat pewarnaan
hemolitik intima aorta pada hewan babi ketika ventrikel kirinya di injeksi dengan darah yang
telah hemolysis atau dengan air. Terakhir, pada sebuah penelitian kecil, kami menemukan bahwa
terdapat pewarnaan hemolitik merah pada intima cabang aorta tanpa adanya perubahan warna
pada cabang pulmonal hanya pada korban yang tenggelam di air tawar, dan tidak pada subyek
kontrol yang tenggelam di air asin. Kasus pada korban yang telah mengalami pembusukam
biasanya memperlihatkan perubahan warna menjadi merah tua pada arteri pulmonalis dan juga
aorta. Namun sampai saat ini belum ada data yang tersedia mengenai sensitivitas dari pewarnaan
hemolitik sebagai tanda dari tenggelam di air tawar.
Meskipun data dari pemeriksaan otopsi pada studi retrospektif dipersulit oleh
kemungkinan dari kurangnya pelaporan dari ciri-ciri tersebut, penelitian saat ini memberikan
pengetahuan mengenai berapa banyak pencatatan dari pewarnaan intima pada intima aorta; bisa
disimpulkan bahwa adanya pewarnaan hemolitik pada intima aorta adalah setidaknya sejumlah
5%. Mengenai hal ini, tanda ini juga cukup dikenal pada literatur Jerman, dan juga dianggap
akan diperhatikan secara rutin dan dicatat pada institusi; sehingga seburuk-buruknya penelitian
ini minimal menggambarkan bagaimana pencatatan tanda ini dilakukan. Jika keberatan ini
diterima, data akan mengkonfirmasi bahwa tanda pewarnaan hemolitik pada aorta benar-benar
terjadi pada kasus tenggelam di air tawar meskipun sepertinya tidak juga sesering itu terjadi.
Sehingga lebih sesuai dengan pengajuan bahwa tanda ini bersifat spesifik, namun tidak terlalu
sensitif, sebagai tanda tenggelam pada air tawar.
Pewarnaan hemolitik dari intima pembuluh daarah terjadi pada situasi dimana terjadinya
lisis dari sel darah merah. Hal ini mungkin terjadi akibat pembusukan, sepsis, koagulopati, atau
cedera panas dimana kondisi intravaskular menyebabkan rusaknya membrane eritrosit.
Mengingat hemodilusi memberikan hasil yang serupa, dan hemodilusi merupakan kondisi yang
diterima secara luas sebagai hasil dari tenggelam di air tawar, hal ini mengejutkan bahwa
perubahan warna seperti ini tidak sering ditemukan pada kasus tenggelam di air tawar. Meskipun
tidak adanya pewarnaan hemolitik pada intima aorta pada kasus-kasus yang dicurigai akibat
tenggelam di air tawar sebagai alat diagnostik yang terbatas digunakan, adanya tanda ini tanpa
adanya perubahan pembusukan dapat menambah kemungkinan penyebab kematian adalah akibat
tenggelam di air tawar.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Asfiksia
Pada umumnya asfiksia diartikan sebagai kekurangan oksigen. Berdasarkan asal katanya
dari bahasaYunani, yaitu terdiri dari “a” yang berarti “tidak”, dan “sphinx” yang artinya “nadi”.
Jadi secara harfiah, asfiksia diartikan sebagai “tidak ada nadi” atau “tidak berdenyut”. Terdapat
hubungan kekurangan atau ketidakberadaan oksigen dengan pulsasi. Pada kenyataannya oksigen
dibutuhkan dalam kelangsungan hidup, oksigen dibawa oleh darah, dalam ikatan dengan
hemoglobin, pergerakan oksigen tetap terjadi seiring dengan pergerakan dari darah (melalui
denyutan/pompa dari jantung). Oleh karena itu, apabila terdapat suatu gangguan dari salah satu
komponen memberikan dampak pada komponen lainnya.
Definisi asfiksia menurut Adelson adalah suatu keadaan fisiologik dan kimiawi pada
organisme hidup, secara akut mengalami kekurangan kadar oksigen yang diperlukan dalam
metabolisme sel yang dihubungkan dengan ketidakmapuan dalam pengeluaran kelebihan karbon
dioksida.
Dalam medikolegal asfiksia dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu mekanik dan non
mekanik. Mekanik asfiksia diartikan sebagai terjadinya hambatan aliran udara melalui beberapa
hambatan fisik, berdasarkan letak lokasi yang terganggu. Sebgaai contoh, tekanan disekitar
bagian luar leher pada kasus jerat, hambatan aliran udara pada jalan nafas dari luar seperti pada
kasus pembekapan, hambatan aliran udara pada jalan nafas dari dalam seperti tersedak, tekanan
pada dinding dada yang menyebabkan gangguan dinding dada terhambat seperti pada kasus
traumatik asfiksia, dan seperti pada kasus kematian akibat tenggelam merupakan proses asfiksia
yang cukup kompleks, dapat terjadi hambatan aliran udara karena cairan dan terjadinya
perubahan biokimiawi darah. Sedangkan, non mekanik asfiksia adalah gangguan fisiologik
ikatan oksigen dan digantikan dengan ikatan gas lain contohnya pada keracunan gas karbon
monoksida, sianida.
3.2. Tenggelam
3.2.1 Definisi tenggelam
Tenggelam adalah gangguan paru yang disertai hilangnya fungsi pernapasan oleh karena
jalan napas terisi air.3,6 Berdasarkan definisi tersebut, pada kasus tenggelam seluruh tubuh tidak
perlu terbenam di dalam air, asalkan lubang hidung dan mulut berada di bawah permukaan air
sudah memenuhi kriteria suatu kasus tenggelam.7 Mekanisme kematian pada saat tenggelam
secara akut adalah anoksia serebral yang ireversibel atau yang sering disebut dengan asfiksia,
gangguan elektrolit, dan aritmia jantung.6
3.2.2 Epidemiologi Tenggelam
Tenggelam merupakan penyebab kematian akibat cedera yang tidak disengaja urutan
ketiga, sebesar 7% dari semua kematian terkait cedera. Pada tahun 2015,diperkirakan 360.000
orang meninggal akibat tenggelam, sebesar lebih 9% kematian dari kasus cedera di dunia .
Melihat hal tersebut, hal ini merupakan suatu masalah utama pada masyarakat.
Menurut survei WHO 2014, pria memiliki faktor risiko dua kali lebih besar dibandingkan
wanita, pekerjaan yang berhubungan dengan air, bencana banjir, dan berekreasi di wisata air
memiliki faktor risiko yang leboh tinggi. Faktor risiko lainnya seperti status sosial ekonomi
rendah, kemampuan berenang, anak-anak yang tidak terawasi, penggunaan alkohol dan kondisi
medis umum yang mendasari. Terjadi peningkatan 39-50% angka kematian akibat tenggelam di
negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia dan Finlandia, dan peningkatan lima kali
lipat lebih besar di negara-negara miskin dan berkembang. Pada negara berkembangterdapat
lebih dari 90% kasus kematian tenggelam yang tidak disengaja.
Menurut studi penelitian Tyler MD et al., tenggelam merupakan penyebab kematian yang
signifikan khususnya di negara berkembang, Pria usia muda yang tidak terawasi pada daerah
pedesaan dan memiliki kemampuan berenang yang terbatas merupakan risiko terbesar kejadian
tenggelan di lokasi perairan kecil yang terletak disekitar rumah. Hasil penelitian tersebut terdapat
beberapa faktor risiko tenggelam termasuk usia muda (<17 tahun- 20 tahun), jenis kelamin pria
sebesar 75% lebih besar dari wanita, 86% terjadi pada daerah pedesaan dibandingkan daerah
perkotaan, waktu terjadi tenggelam 95% pada siang hari,hanya 5% terjadi pada malam hari,
sebesar 76% orang tidak memiliki kemampuan dalam berenang.Mengenai lokasi terjadinya
tenggelam memiliki risiko yang hampir sama, antara lokasi perairan yang kecil dengan perairan
yang besar (42% pada parit, sumur, empang dan kali, 46% pada danau,sungai, laut dan
samudera).
3.2.3. Lima Tahapan Tenggelam
Terdapat lima tahapan pada kejadian tenggelam. Proses tenggelam diawali dengan
kepanikan atau perlawanan, kemudian diikuti oleh tenggelam dengan menahan nafas. Kemudian
korban mulai menelan air sebelum akhirnya mulai kehilangan kesadaran. Tahap ini dimulai kira-
kira setelah tiga menit berada di dalam air. Dalam lima menit, otak mulai mengalami kerusakan.
Denyut jantung mulai tidak teratur, sebelum akhirnya berhenti berdenyut.9
Ketika seseorang terbenam di bawah permukaan air, reaksi awal yang dilakukan adalah
mempertahankan nafasnya, tetapi tidak dapat lebih dari satu menit. Hal ini berlanjut hingga
tercapainya batas kesanggupan, dimana orang itu harus kembali menarik nafas kembali. Batas
kesanggupan tubuh ini ditentukan oleh kombinasi tingginya konsentrasi karbondioksida dan
rendahnya konsentrasi oksigen di mana oksigen dalam tubuh banyak digunakan dalam sel. Batas
ini tercapai ketika kadar PCO2 berada di bawah 55 mm Hg atau merupakan ambang hipoksia,
dan ketika kadar PaO2 berada di bawah 100 mmHg ketika PCO2 cukup tinggi.10,11
Ketika mencapai batas kesanggupan ini, korban terpaksa harus menghirup sejumlah besar
volume air. Sejumlah air juga sebagian tertelan dan bisa ditemukan di dalam lambung. Selama
pernapasan dalam air ini, korban bisa juga mengalami muntah dan selanjutnya terjadi aspirasi
terhadap isi lambung. Pernapasan yang terengah-engah di dalam air ini akan terus berlanjut
hingga beberapa menit, sampai akhirnya respirasi terhenti. Kadang terjadi spasme laring tetapi
biasanya cepat menghilang oleh onset hipoksia otak. Hipoksia serebral akan semakin buruk
hingga tahap irreversibel dan terjadilah kematian. Gangguan ritme jantung diawali dengan
takikardi, diikuti dengan bradikardi, aktivitas kelistrikan tanpa nadi, dan terakhir asistol. Secara
garis besar, tahapan kejadian pada korban yang tenggelam10,11:
1. Fase surprise respiration 5-10 detik, masih dapat bernapas sekali atau dua kali, korban
panik.
2. Fase pertama henti napas, berlangsung selama kurang lebih 1 menit, korban berusaha
mencapai permukaan, mulut tertutup dan pernapasan terhenti sesaat.
3. Fase respirasi dalam, berlangsung selama kurang lebih 1 menit, muncul busa putih ke
permukaan, mulut terbuka, menelan cairan yang cukup banyak.
4. Fase kedua henti napas, berlangsung selama kurang lebih 1 menit, tidak terjadi
pergerakan dada, refleks kornea dan terdapat dilatasi pupil.
5. Fase terminal, berlangsung selama kurang lebih 30 menit. Terjadi kontraksi yang tak
beraturan dari bibir dan rahang, dapat terjadi konvulsi hipoksik.

Gambar 2.1. Tahapan Tenggelam


Faktor-faktor yang juga menentukan seberapa cepat anoksia serebral menjadi irreversibel
adalah umur korban dan suhu di dalam air. Pada air hangat, kerusakan otak yang ireversibel
terjadi dalam waktu 3-10 menit. Pada anak-anak yang tenggelam dalam air dingin lalu dilakukan
resusitasi dan berhasil, tidak ditemukan kelainan neurologis yang berarti selama masih kurang
dari 66 menit di dalam air. Hal ini karena otak yang imatur lebih tahan terhadap anoksia dan pada
bayi dan anak-anak masih terdapat refleks menyelam (mammalian dive reflex). Reflek ini
dijumpai pada mamalia yang tenggelam di air dingin (kurang dari 68°F atau 20°C) dan berfungsi
untuk melindungi tubuh dengan cara menghemat oksigen agar bisa bertahan lebih lama di air,
dengan cara penurunan metabolisme tubuh seperti pengaliran darah hanya ke jantung, paru, dan
otak. Ada tiga prinsip dasar, yaitu:10
1. Bradikardia, yaitu penurunan denyut jantung. Pada manusia penurunan denyut jantung ini
bisa mencapai 50%.
2. Vasokonstriksi perifer, yaitu penghambatan aliran darah ke ekstremitas dengan tujuan
untuk meningkatkan pasokan darah dan oksigen ke organ-organ vital, terutama otak.
3. Blood shift, pengalihan aliran darah ke rongga dada, yaitu daerah antara diafragma dan
leher, untuk menghindari kolaps paru karena semakin dalam korban tenggelam, tekanan
air akan semakin tinggi.
Hipotermia yang berhubungan dengan tenggelam dapat menyediakan mekanisme
protektif yang menyebabkan seseorang lebih lama selamat. Hipotermia dapat menurunkan
konsumsi oksigen otak, serta menunda anoksia seluler dan pengurangan ATP. Hipotermia
mengurangi aktivitas metabolik dan kelistrikan otak. Laju konsumsi oksigen oleh otak menurun
dengan ±5% untuk setiap penurunan 1°C pada suhu antara 37°C sampai 20°C. Penurunan
kesadaran selalu terjadi dalam waktu tiga menit setelah tenggelam10,11
Jika korban terlebih dahulu melakukan hiperventilasi saat terendam ke dalam air, akan
terjadi penurunan kadar CO2 yang signifikan. Kemudian hipoksia serebral karena rendahnya PO2
dalam darah, bersamaan dengan penurunan hingga hilangnya kesadaran, dapat terjadi sebelum
batas kesanggupan (breaking point) tercapai.10
Bila korban selamat, gambaran klinis dominan ditentukan oleh jumlah air yang diaspirasi
dan efeknya. Air di dalam alveoli menyebabkan disfungsi dan hilangnya surfaktan. Tenggelam di
air asin maupun di air tawar menyebabkan derajat perlukaan yang mirip, walaupun dengan
perbedaan dalam gradien osmotik. Efek gradien osmotik pada membran kapiler alveolus ialah
mengganggu integritas membran, meningkatkan permeabilitas, dan pengeluaran cairan, plasma,
dan pertukaran elektrolit. Gambaran klinis dari kerusakan membran kapilar alveolar adalah
bercak darah dan edema pulmonal yang menurunkan pertukaran oksigen dan karbon dioksida.11
3.2.4. Klasifikasi Kasus Tenggelam
Tenggelam dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe, yaitu berdasarkan lokasi
kematiannya dan berdasarkan mekanisme kematiannya.
3.2.4.1. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Tenggelam
Berdasarkan lokasi tenggelamnya, kasus tenggelam dibedakan atas tenggelam dalam air
tawar dan tenggelam dalam air asin. Sifat daripada air tawar dan air asin ialah sebagai berikut:
1. Air tawar (tipe II A): Air tawar merupakan air yang tidak mengandung banyak larutan
garam dan larutan mineral di dalamnya. Air tawar pada umumnya tidak berwarna,
sehingga tampak bersih, bening dan jernih. Air yang normal pada dasarnya tidak
mempunyai rasa. Air tawar antara lain air sumur, danau, sungai, dan salju. Air tawar
bersifat hipotonik terhadap plasma tubuh.6 Korban yang tenggelam pada air tawar akan
mengalami kematian dalam 4-5 menit.2
2. Air asin (tipe IIB): Air laut merupakan campuran dari 96,5% air murni dan 3,5%
material lainnya seperti garam-garam, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik, dan
partikel-partikel tak terlarut. Air laut bersifat asin karena memiliki kadar garam ±3,5%.
Air asin bersifat hipertonik terhadap plasma tubuh.2,6 Korban yang tenggelam pada air
asin akan mengalami kematian dalam 8-12 menit.12
3. Air Payau
Pertemuan antara air laut dan air tawar, lokasi yang biasa ditemuan air payau pada
muara (percampuran air laut dan air tawar). Air payau meliputi hutan mangrove, rawa,
dan tambak. Memiliki kandungan garam 0,5-30 gram/liter dan kandungan pH normal 6-
8.
3.2.4.2. Klasifikasi Berdasarkan Mekanisme Kematian
Berdasarkan mekanisme kematiannya, kasus tenggelam dibedakan menjadi:
1. Wet drowning (tipikal): Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernapasan
setelah korban tenggelam. Kematian terjadi setelah korban menghirup air. Jumlah air
yang dapat mematikan, jika dihirup paru-paru adalah sebanyak 2 liter untuk orang
dewasa dan 30-40 ml untuk bayi.3,7 Kelainan yang disebabkan oleh masuknya air ke
dalam saluran udara berbeda sesuai dengan jenis air dimana terjadi tenggelam, yaitu air
tawar (Tipe II A) atau air asin (Tipe II B)
2. Dry drowning (atipikal): Pada keadaan ini cairan tidak masuk ke dalam saluran
pernapasan. Kematian terjadi akibat spasme laring dan kematian terjadi sebelum korban
dapat menghirup air masuk ke dalam saluran pernapasannya.3,7 Menurut Simpson’s
Forensic Medicine, istilah drowning atau true drowning hanya terbatas pada kasus
dimana cairan masuk ke dalam saluran pernapasan dengan akibat hipoksia yang berujung
pada kematian. Bila cairan tidak masuk ke dalam saluran pernapasan dan terjadi kematian
akibat sebab yang lain maka hal tersebut tidak dianggap sebagai drowning. Oleh karena
itu dalam buku ini, istilah dry drowning digunakan untuk menggambarkan keadaan
dimana pada jenazah saat dilakukan otopsi tidak ditemukan adanya cairan dalam saluran
pernapasan dan paru-paru. Cairan tidak ditemukan karena sudah diserap masuk ke dalam
sirkulasi pulmonal. Saat pemeriksaan dalam pada korban tenggelam, didapatkan paru-
paru korban tidak berat, tidak basah, tidak membengkak, dan tidak ada tanda-tanda khas
tenggelam.6 Mekanisme penyebab kematian pada korban tersebut disebabkan oleh:
 Vagal refleks atau immersion syndrome (Tipe I A)
 Spasme laring (Tipe I B)
 Submersion of the unconscious atau shallow water drowning
3. Secondary drowning atau post-immersion syndrome atau near drowning: Pada secondary
drowning, gejala terjadi beberapa hari setelah korban tenggelam dan korban meninggal
akibat komplikasi.3
3.2.5 Mekanisme Tenggelam Secara Umum
Mekanisme kematian akibat tenggelam secara umum, antara lain:
1. Asfiksia akibat spasme laring
2. Asfiksia akibat gagging dan choking
3. Refleks vagal
4. Fibrilasi ventrikel (dalam air tawar)
5. Edema pulmonal (air laut)
Hipoksia merupakan masalah utama saat tenggelam. Ketika sejumlah kecil volume air
memasuki laring atau trakea, terjadi spasme laring akibat pengaruh reflex vagal. Spasme laring
tidak dapat ditemukan pada saat otopsi karena pada kematian telah terjadi relaksasi otot-otot
laring. Mukosa yang kental, berbusa, dan berbuih juga dihasilkan ketika seseorang tenggelam,
hingga menciptakan suatu perangkap fisik yang menyumbat jalan napas. Pada tenggelam, terjadi
peningkatan tekanan alveoli-arterial yang cepat pula sehingga timbul hipoksia progresif.13,15
3.2.6 Mekanisme Mati Tenggelam di Air Tawar
Air tawar bersifat hipotonik terhadap plasma tubuh. Saat air masuk ke dalam alveoli
paru-paru terjadi transfer cairan dari alveoli ke sistem vaskular melalui membran alveoli. Hal ini
terjadi karena perbedaan osmotik antara air di paru-paru dan plasma. Perpindahan cairan ini
mengakibatkan peningkatan volume darah sebanyak 50% dalam satu menit dan 70% dalam 3
menit sehingga terjadilah hipervolemi dan hemodilusi.2,6 Peningkatan volume darah yang cepat
mengakibatkan plasma menjadi hipotonik sehingga pada akhirnya terjadilah hemolisis sel darah
merah. Akibat pengenceran darah yang terjadi, tubuh melepaskan ion kalium dari serabut otot
jantung hingga kadar ion kalium plasma meningkat. Ketidakseimbangan ion K+ dan Ca++ dalam
serabuit otot jantung dapat memicu terjadinya fibrilasi ventrikel dan penurunan tekanan darah
yang kemudian menyebabkan timbulnya kematian akibat anoksia otak. Korban yang tenggelam
pada air tawar akan mengalami kematian dalam 4-5 menit.2

Inhalasi air tawar ke saluran respirasi saat menangis/berteriak


meminta pertolongan selama proses tenggelam

Penambahan volume darah yang masif menyebabkan


hemolisis dan peningkatan ion K+

Air terabsorbsi kedalam sirkulasi menghasilkan


hemodelusi hebat

Elektrolit imbalance

Ventricular fibrillation

Anoksia Cerebri

Bagan 1. Mekanisme Tenggelam Air Tawar

3.2.7 Mekanisme Mati di Air Asin


Air asin bersifat hipertonik terhadap plasma tubuh. Saat air masuk ke dalam alveoli paru-
paru terjadi transfer cairan yang cepat dari sirkulasi pulmonal ke jaringan interstitial paru dan
kenaikan konsentrasi natrium plasma yang menimbulkan edema paru, berkurangnya cairan
intravaskular (hipovolemia), dan hemokonsentrasi.2,6 Korban yang tenggelam pada air asin akan
mengalami kematian dalam 8-12 menit.12
Inhalasi air asin masuk ke alveolus

Penambahan volume darah yang masif


menyebabkan hemolisis dan peningkatan ion K+

Cairan tertarik dari sirkulasi dalam


jumlah besar

Edema pulmonal dan hemokonsentrasi

Hipovolemik+ Hematokrit meningkat

Gagal Jantung

Bagan 2. Mekanisme Tenggelam Air Asin

Tabel 1. Perbedaan Tenggelam Air Tawar dan Air Laut


AIR TAWAR AIR ASIN
Profil darah: Profil darah
Berat jenis 1,005 Berat jenis 1,05959-1,60
Hipotonik Hipertonik
Hemodilusi Hemokonsentrasi
Hipervolemi Hipovolemi
Hiperkalemi Hipokalemi
Hiponatremi Hipernatremi
Hipoklorida Hiperklorida
Kematian lebih cepat Kematian lebih lama
Paru berukuran biasa dan Paru besar dan berat
ringan
Paru relatif kering Paru basah
Warna paru merah pucat Warna ungu kebiruan dengan
permukaan licin
Terdapat krepitasi Krepitasi tidak ada
Busa banyak dikeluarkan Busa sedikit, cairan banyak
Korban meninggal dalam waktu Korban meninggal dalam waktu
5 menit dengan volume cairan 5-10 menit dengan volume
yang teraspirasi 40 ml/kgBB aspirasi 20 ml/kg BB

Adapun mekanisme tenggelam berdasarkan kondisi paru adalah:


1. Typical drowning (wet drowning)
Pada typical drowning ditandai dengan adanya hambatan pada saluran napas dan paru karena
adanya cairan yang masuk ke dalam tubuh. Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran
pernapasan setelah korban tenggelam. Pada kasus wet drowning ada tiga penyebab
kematian yang terjadi, yaitu akibat asfiksia, fibrilasi ventrikel pada kasus tenggelam di air
tawar, dan edema paru pada kasus tenggelam di air asin. Tanda yang ditemukan pada typical
drowning berupa busa halus pada saluran napas, emphysema aquosum (emphysema hydroaerique),
adanya benda asing di saluran napas, paru atau lambung, perdarahan diliang telinga,
perdarahan konjungtiva dan kongesti pembuluh darah vena.
2. Atypical drowning (dry drowning)
Pada atypical drowning ditandai dengan sedikitnya atau bahkan tidak adanya cairan
dalam saluran napas. Karena tidak khasnya tanda otopsi pada korban atypical drowning maka
untuk menegakkan diagnosis kematian selain pemeriksaan luar juga diperlukan penelusuran
keadaan korban sebelum meninggal dan riwayat penyakit dahulu. Dry drowning dapat terjadi
secara klinis, atau karena penyakit atau kecelakaan atau karena cedera berulang seperti pada
olahraga selancar. Mekanisme yang dapat menyebabkan dry drowning antara lain:
 Paralisis otot
 Luka tusuk pada rusuk yang mempengaruhi kemampuan diafragma untuk
melakukan gerakan respirasi
 Perubahan pada jaringan yang mengabsorbsi oksigen
 Spasme laring yang persisten pada saat terbenam di air
 Menghirup udara selain oksigen yang tidak membunuh secara langsung
seperti helium
 Kelebihan cairan dalam tubuh yang menyebabkan penurunan kadar sodium
dalam darah yang kemudian menyebabkan edema otak.
Atypical drowning dibedakan menjadi:
a. Spasme laring
Spasme laring adalah kematian anoksia anoksik akibat penutupan jalan napas.
Ketika korban tenggelam, sejumlah kecil air terinhalasi dan teraspirasi ke dalam
laring atau trakea dan menyebabkan terpicunya refleks laring yang segera menutup
jalan nafas. Sejumlah kecil air yang lolos teraspirasi akan mengiritasi dinding
bronkus yang akan menyebabkan mukosa bronkus mensekresi mukus tebal sebagai
langkah proteksi. Ketika kadar karbondioksida sudah sangat tinggi dan korban sangat
hipoksia, korban terpicu untuk menarik nafas. Diafragma akan turun dan otot-otot
pernafasan mengembang, menyebabkan meningkatnya volume paru dan menurunnya
tekanan dalam paru. Karena trakea dalam keadaan tersumbat, udara tidak dapat
masuk untuk menyeimbangkan tekanan negatif yang timbul sehingga darah dari
kapiler paru tertarik masuk ke dalam alveoli dan menyebabkan rusaknya surfaktan
dan alveoli. Air yang teraspirasi tadi akan bercampur dengan mukus membentuk
busa berwarna putih, bila cukup banyak darah yang masuk ke alveoli maka busa akan
berwarna pink. Spasme laring akan berelaksasi segera sebelum kematian terjadi.
Namun sumbatan fisik pada jalan nafas masih tetap ada.13 Kasus tenggelam akibat
spasme laring terjadi pada 10-15% kasus.14 Sianosis adalah ciri khas dari kematian
ini.12 Buih timbul juga pada keadaan seseorang mengalami keracunan. Perbedaan
dengan buih yang terjadi pada keracunan misalnya keracunan organoforus, zat ini
sangat larut dalam lemak dan mudah terabsorpsi melalui kulit, membrana mukosa
mulut, konjungtiva dan saluran pencernaan maupun pernafasan. Zat ini mengaktivasi
saraf parasimpatik, sehinggah muncul manifestasi bronchorrhea (produksi mucus
lebih dari 100 ml per hari sputum cair), rinorrhea (meningkatkan jumlah cairan
hidung), laringospasme (terjadi kontraksi involuter dari laring). Hal diatas
merupakan mekanisme terjadinya buih pada keracunan.
Volume darah sirkulasi meningkat pada daerah paru akibat penarikan semua
darah dari abdomen, kepala, dan ekstremitas yang ditimbulkan oleh tekanan negatif
yang meningkat pada paru. Terjadi pula vasokonstriksi sebagai respon sistem saraf
simpatik terhadap spasme laring. Pembuluh darah yang membawa daerah yang kaya
oksigen menjadi sangat sempit dan hanya cukup satu sel darah merah yang dapat
melewati pembuluh darah tersebut. Dinding pembuluh darah juga menjadi tipis. Hal
ini mengakibatkan peningkatan tekanan darah yang akhirnya memperburuk proses
edema paru yang sudah ada.
b. Immersion syndrome (vagal inhibition)
Saat korban terendam di dalam air yang sangat dingin (< 20oC atau 68oF), terjadi
pendinginan secara cepat di seluruh permukaan tubuh atau air akan masuk ke dalam
saluran mulut dan hidung lalu mengenai mukosa faring dan laring yang merupakan
area sensitif.6 Keadaan ini memicu terjadinya reflex vagal yang mengakibatkan
disritmia, asistol, dan fibrilasi ventrikel yang berujung kematian.6,13 Kematian
mendadak ini sering terjadi pada korban yang mabuk karena sebelumnya korban
mengonsumsi alkohol yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah kulit. Selain
itu, hal ini juga terjadi pada korban yang mengalami ketegangan emosional (korban
bunuh diri) karena pada korban ini lengkung refleks lebih aktif serta pada korban
yang masuk air dengan kaki terlebih dahulu (duck diving atau teknik menyelam
dengan masuk air pada posisi horizontal). Tidak ditemukan tanda-tanda khas dari
tenggelam tipe ini sehingga diagnosis ditegakkan dengan menelusuri riwayat korban
sebelum meninggal.13
c. Subemersion of the unconscious
Bisa terjadi pada korban yang menderita epilepsi atau penyakit jantung khususnya
coronary atheroma. Dapat pula terjadi pada pecandu alkohol, bayi, korban yang dibius, atau korban
yang tidak sadar akibat trauma kepala. Korban tenggelam di air dangkal seperti kolam, gorong-
gorong, lubang, dsb. Korban yang sehat dapat terkena trauma kepala kemudian jatuh ke air dan
menjadi tidak sadar karena tenggelam. Pembesaran paru dan pembentukan buih dapat tidak
tampak.7
d. Delayed death (near drowning and secondary drowning)
Pada secondary drowning, gejala terjadi beberapa hari setelah korban tenggelam
dan korban meninggal akibat komplikasi. Tenggelam pada air tawar maupun air asin
akan menyebabkan gangguan pada surfaktan di alveoli. Tipe ini biasanya
berhubungan dengan asidosis metabolik, edema pulmonal atau pnemonitis kimia.
Pneumonitis terjadi akibat benda asing (pasir, lumpur, rumput laut, muntahan) atau
bahan kimia yang teraspirasi.3
3.2.8. Diagnosis Kematian Akibat Tenggelam
Bila ditemukan seorang jenazah yang diduga mengalami kematian akibat tenggelam, maka
perlu ditentukan beberapa hal dalam upaya diagnostik. Beberapa hal ini meliputi:9,18,19
- Identitas korban
- Apakah korban masih hidup saat tenggelam
- Faktor yang berperan pada proses kematian
- Tempat pertama kali tenggelam
- Penyulit yang mempercepat kematian
- Penyebab sesungguhnya

Diagnosis autopsi dari tengggelam sampai saat ini masih sulit untuk ditentukan dengan pasti
karena biasanya data-data yang ditemukan minimal aau bahkan tidak ada, Tanda-tanda yang
dapat mengarah ke dalam diagnosis tenggelam adalah:9,18,19
1. Buih putih halus dari mulut dan hidung
2. Pencengkraman batu, rumput di tnagan
3. Adanya buih halus di paru-paru dan jalan napas
4. Paru-paru yang terisi penuh oleh pasir atau lumpur
5. Adanya cairan di dalam lambung dan usus
Hal-hal di atas tidak akan ditemukan pada korban dengan inhibisi vagal. Pada kematian karena
sinkop, atau tidak sadar sebelum jatuh ke air, tanda-tandanya tidak akan muncul.
Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dari mayat yang ditemukan di air adalah:9,18,19
1. Kematian karena sakit alami sebelum jatuh ke air
2. Kematian alami ketika sedang berada di air
3. Luka atau trauma sebelum jatuh ke air
4. Trauma ketika ada di air
5. Tenggelam
Sebab kematian tersebut tidak dapat disimpulkan dari otopsi saja, tetapi harus dilihat dalam
berbagai aspek.
3.2.9 Pemeriksaan Forensik
3.2.9.1 Pemeriksaan Luar
1. Washer women’s hands
Pada lapisan keratin di sidik jari, punggung tangan, dan ujung jari kaki akan
menjadi keriput, basah dan pucat yang disebut washer woman’s skin. washer
woman’s skin terjadi imbibisi cairan ke dalam kulit. Pada kulit yang terdapat di
dalam pakaian akan lebih lama dibandingkan kulit yang langsung terpapar, proses ini
terjadi pada setengah hari sampai 3 hari setelah tubuh tenggelam. Bila tidak terdapat
keriput berarti kasus tenggelamnya terjadi hanya beberapa jam saja.2 Washer
women’s terjadi 1-2 jam setelah tenggelam, pada penelitian disuhu 10-18oC washer
women’s terjadi 20-30 menit pada ujung jari, dan 50-60 menit pada seluruh jari. Hal
ini bisa terjadi pada orang yang hidup atau mati yang terkena kontak dengan air.13
Washer woman’s hand lebih cepat terjadi pada air hangat dibandingkan air dingin.6
Gambaran ini tidak mengindikasikan secara pasti bahwa mayat mati ditenggelamkan,
karena pada mayat yang mati bukan karena tenggelam bila dimasukan kedalam air
juga akan alami washer-woman’s skin.20

Gambar 2.2 Washer Woman Hands21


2. Cutis Anserina
Gambaran kulit angsa (goose-flesh, cutis anserina), sering dijumpai pada
kematian di air dingin dibandingkan hangat. Cutis anserine terjadi akibat kontraksi
otot erector pili menarik folikel rambut akibat rangsangan dingin atau respon karena
rigor mortis, hal ini bisa terjadi pada segala macam kematian dan memberikan
gambaran yang khas pada kulit. Cutis anserine pada jenazah tenggelam tidak
memberikan diagnosis yang signifikan. Goose-flesh tidak memberikan tanda spesifik
pada korban tenggelam.2 Cutis anserine tidak dapat membedakan tanda orang
tersebut mati tenggelam atau dibunuh kemudian ditenggelamkan.22
Gambar 2.3 Cutis anserina21
3. Lebam mayat
Setelah tenggelam cukup lama lebam mayat (livor mortis) akan terbentuk Livor
mortis biasanya terjadi di kepala dan dada atau pun mengikuti arah gravitasi. Pada
korban tenggelam biasanya kepala dan anggota gerak akan menghadap ke air dan
punggung akan menghadap ke atas.2 kondisi ini merupakan hasil dari pembekuan
oksihemoglobin.20

Gambar 2.4 Lebam mayat

4. Proses pembusukan
Proses pembusukan pada tenggelam terjadi 2x lipat sedangkan di bawah tanah 4x
lipat lebih cepat dibandingkan di luar.13 Proses pembusukan pertama kali pada kepala
dan leher, perut, dan punggung terjadi 4-10 hari.2 Pada air dingin yang ekstrim tubuh
akan mengalami pembusukan dalam 1 bulan. Proses pembusukan akan menyebabkan
terbentuknya gas, terjadi 1 minggu setelah kematian. Awal penumpukan gas pada
muka, perut dan genital, hal ini akan menyebabkan muka membengkak, perut
membengkak dengan pembengkak.13

Pengapungan pada orang tenggelam dipengaruhi oleh jumlah gas yang dihasilkan
dari proses pembusukan, dan kurus gendutnya seseorang. Pada orang gemuk dan
wanita biasanya akan mengapung sebentar dan kembali tenggelam kembali.2
Gambar 2.5. Pembusukan

5. Glove-like fashion and Stocking-like fashion


Tenggelam dalam waktu lama akan mengakibatkan terkelupasnya kulit korban
yang telah mengalami maserasi, terutama pada kulit tangan dan kaki. Hal ini juga
dapat menyebabkan hilangnya pigmen kulit sehingga menyebabkan perubahan warna
kulit.23

Gambar 2.6. Glove-like fashion and Stocking-like fashion

6. Trauma post mortem


Ditemukan banyak luka pada Jenazah hal ini disebabkan oleh dimakan baik oleh
ikan, kerang-kerangan, krustasea, dan reptil, atau terkena benturan benda keras
disekitar sungai dan pada korban bunuh diri dengan cara melompat dari ketinggian
biasanya didapatkan patah tulang.2

7. Cadaveric Spasm
Dapat ditemukan cadaveric spasm, hal ini disebabkan oleh usaha korban untuk
tidak tenggelam. Pada mayat biasanya didapatkan dahan, batu atau rumput yang
tergenggam, adanya cadaveric spasme menunjukkan bahwa korban masih dalam
keadaan hidup pada saat tenggelam. Saat kematian terjadi genggaman tersebut
menetap dan menjadi spasme2
Gambar 2.7. Cadaveric spasm22
8. Schaumfilzfroth, yaitu busa tampak pada mulut atau hidung atau keduanya.
Masuknya cairan ke dalam saluran pernafasan merangsang terbentuknya mukus,
substansi ini ketika bercampur dengan air dan surfaktan dari paru-paru dan tercampur
oleh karena adanya upaya pernafasan yang hebat. Pada pemeriksaan, tampak busa di
hidung atau mulut, dan hal ini merupakan temuan yang paling bermakna dalam
diagnosis tenggelam. Busa dapat meluas sampai trakea, bronkus utama, dan alveoli.
Paru-paru akan terisi air dan cairan busa akan menetes dari bronkus ketika paru-paru
ditekan, dan dari potongan permukaan paru ketika dipotong dengan pisau.3,7

Gambar 2.8. Busa pada mulut23


9. Petekie atau Tardeu spot, terjadi karena adanya pembuluh darah yang pecah di
jaringan ikat longgar akibat bendungan pembuluh darah sistemik. Dapat tampak pada
daerah sclera bola mata, atau mukosa mulut. Hal ini merupakan salah satu tanda mati
lemas.7
Gambar 2.9. Tardeu spot, di sclera mata.21
2.9.2 Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam, terdapat beberapa perubahan yang signifikan dalam
tubuh korban tenggelam. Berikut ini adalah penjelasan perihal temuan penting
pemeriksaan dalam korban tenggelam.7,21
a. Saluran Pernapasan
Busa halus disertai benda asing (pasir, tumbuh-tumbuhan air, dan lain-lain)
dalam saluran pernapasan (trakea dan percabangannya) dan paru.

Gambar 2.10. Buih pada irisan paru.21


Gambar 2.11. Busa pada Saluran Pernapasan22
b. Paru
1) Tampak overdistended seperti balon, lebih berat, hingga menutupi kandung
jantung. Pada pengirisan, akan tampak keluar cairan dalam jumlah yang
banyak dari paru. Keadaan ini terutama terjadi pada kasus tenggelam di
laut, karena kondisi lingkungan yang hipertonis menyebabkan edema dan
kongesti paru. Edema dan kongesti paru dapat menjadi sangat hebat
sehingga beratnya dapat mencapai 700-1000 gram, di mana berat paru-paru
normal adalah sekitar 250-300 gram. Gambaran paru-paru tersebut dikenal
dengan nama “emphysema aquosum” atau “emphysema hydroaerique”.21

Gambar 2.12. emphysema aquosum.21


Gambar 2.13. Lumpur di dalam alveoli (tanda panah) dan cairan di dalam alveoli
yang mengakibatkan edema pulmonal.21
2) Paru tampak pucat dengan diselingi bercak-bercak merah di antara daerah yang
berwarna kelabu. Pada pengirisan, tampak banyak cairan merah kehitaman
bercampur buih keluar dari penampang tersebut, yang pada keadaan paru-paru
normal, keluarnya cairan bercampur busa tersebut baru tampak setelah dipijat
dengan dua jari yang disebut dengan emphysema hydroaerique.
3) Bercak-bercak perdarahan yang disebut bercak Paltauf akibat robeknya
penyekat alveoli (Polsin).

Gambar 2.14. Bercak Paltouf.23


4) Terjadi bendungan darah sistemik, sehingga organ visceral seperti ginjal, hati,
otak, dan limfa mengalami edema.21

Gambar 2.15. Edema cerebri. Tampak substansia grissea mengalami edema.21


c. Jantung
Obstruksi pada sirkulasi paru-paru akan menyebabkan distensi jantung kanan dan
pembuluh vena besar dan keduanya penuh berisi darah yang berwarna merah gelap
dan cair, tidak ada bekuan.12

d. Lambung
Volume lambung dapat membesar, berisi air, lumpur, dan benda-benda asing dari perairan. Air
dan substansi-substansi asing tersebut dapat berada di dalam lambung karena tertelan oleh
korban saat berusaha bernafas. Beberapa ahli patologi menyatakan bahwa air dapat masuk ke
dalam mulut dan esophagus secara pasif karena adanya turbulensi air dan relaksasi
gastroeosofageal spincter, sehingga tanda ini tidak dapat dijadikan tanda khas mati akibat
tenggelam. Kelainan ini juga dapat ditemukan di usus halus.21

Gambar 2.16. Volume lambung membesar. 21

e. Perdarahan
Ditemukan perdarahan di area telinga tengah dan sellula ethmoidalis yang kemungkinan
merupakan dampak dari barotrauma. Hal ini disebabkan oleh penetrasi air yang terhirup
melewati tuba Eustachius. Peningkatan tekanan kapiler dan vena secara tiba tiba
menyebabkan pecahnya pembuluh darah di area ini. Akan tetapi, temuan ini memiliki
spesifisitas yang kurang baik.21
Gambar 2.17. Perdarahan di telinga tengah dan cellulae ethmoidalis yang tampak pada
pars petrosum os temporal.21
Ditemukan sinus-sinus berisi cairan, terutama cellulae ethmoidalis dan sinus
spenoidalis. Hal tersebut terjadi karena saat korban tenggelam berusaha benafas secara
kuat, air akan masuk ke rongga mulut dan hidung, selain mengakibatkan aspirasi paru,
juga dapat mengakibatkan air terhisap ke bagian atas rongga hidung mengisi sinus-
sinus.21

Gambar 2.18. Sinus spenoidalis berisi cairan.tampak cairan keluar dari sinus saat
diaspirasi. Normalnya sinus hanya terisi udara saja.21

Tanda-tanda yang ditemukan pada jenazah korban tenggelam berdasarkan


onset waktunya terbagi dua, yaitu tanda awal meliputi maserasi kulit, kutis
anserina, hipostasis, rigor mortis, dan tanda lambat yang meliputi putrefaksi,
pembentukan adiposera, dan skeletonisasi. Berikut ini adalah beberapa keterangan
mengenai waktu munculnya tanda mati tengelam berdasarkan beberapa
penelitian23:
Tabel 2. Waktu munculnya tanda-tanda khusus pada mati tengelam
Tanda-tanda Waktu muncul
Maserasi kulit Hitungan menit (air hangat)
(washerwoman’s skin) 4-5 jam (air dingin)
Glove-like fashion 3-4 hari (bergantung suhu)
Stocking-like fashion
Dekomposisi 0-6 hari tergantung dengan suhu air (di Eropa Utara)
2 hari post mortem (di Eropa Selatan)
Keterangan:
Dekomposisi bergantung dengan musim, suhu air,
konsentrasi bakteri air
Adiposera 3 bulan (di Eropa Selatan)

3.2.10 Pemeriksaan Penunjang


3.2.10.1 Pemeriksaan Diatom
Diatom merupakan organisme mikroskopik algae uniseluler yang memiliki berbagai
macam jenis, sering ditemukan di laut dan air tawar yang tidak terkena polusi. Landasan
awal dari pemeriksaan diatom adalah pada orang normal jumlah diatom tidak akan
didapatkan dalam jumlah yang signifikan, namun apabila seseorang tenggelam di air yang
banyak mengandung diatom, maka akan banyak diatom ditemukan di dalam paru dan
beberapa dapat menembus dinding alveolar.13,22

Gambar 2.19. Prinsip diatom masuk dan menuju target organ13

Diatom merupakan kelompok besar dari alga plankton yang termasuk paling sering
ditemui. Diatom sendiri merupakan fitoplankton yang termasuk dalam kelas
Bacillariophyceae. Ia terdapat dimana saja, dari tepi pantai hingga ke tengah samudra.20
Dari bentuknya, diatom itu sendiri dikenal dengan cell diatom melingkar (Centric
diatom) dan cell diatom memanjang (pennate diatom). Diatom sentrik (centric) bercirikan
bentuk sel yang mempunyai simetri radial atau konsentrik dengan satu titik pusat. Selnya
bisa berbentuk bulat, lonjong, silindris, dengan penampang bulat, segitiga atau segiempat.
Sebaliknya diatom penat (pinnate) mempunyai simetri bilateral, yang bentuknya
umumnya memanjang atau berbentuk sigmoid seperti huruf “S”. Sepanjang median sel
diatom penat ada jalur tengah yang disebut rafe (raphe).23
Diatom kelas Bacillariophyceae merupakan kelompok mikro alga yang umumnya
bersel tunggal, eukariotik, dan dinding selnya diperkaya oleh silica (SiO2.nH2O). Dinding
selnya disebut dengan frustule, yang terdiri dari dua belahan, yaitu epiteka dan hipoteka
yang saling menutupi (overlapping) dan kedua belahan ini dipersatukan oleh girdel.
Berdasarkan cara hidupnya, umumnya diatom pada aliran sungai bersifat epilitik, yaitu
menempel pada substrat batu.24

Gambar 2.20. Morfologi Diatom

Populasi diatom banyak ditentukan oleh
 faktor suhu, salinitas dan arus. Sebagai
contoh, Thalassiosira antartica sebarannya hanya pada perairan dingin di sekitar kutub
selatan. Sebaliknya, Rhizosolemia robusta merupakan jenis yang terdapat di seluruh
perairan tropis (circumtropical) yang telah beradaptasi dengan suhu hangat. Dalam kajian
diatom di Laut Jawa,dijumpai sedikitnya 127 jenis diatom, yang terdiri dari 91 jenis
diatom sentrik, dan 36 jenis diatom penate.24
Diatom yang biasa ditemukan pada kasus tenggelam pada air tawar seperti kolam, danau,
sungai dan kanal adalah: Navicula pupula, N. cryptocephara, N. graciloides, N. meniscus
N. bacillum N. radiosa, N. simplex, N. pusilla, Pinnularia mesolepta, P. gibba, P.
braunii, Nitzscia mesplepta, Mastoglia smithioi, Cymbella cistula, Camera lucida,
Cymbella cymbiformi, dan Cocconeis diminuta.23
Ketika mayat di tenggelamkan atau kematian jenazah bukan disebabkan karena
tenggelam, meskipun diatom dapat mencapai paru-paru akibat dari perkolasi pasif, tetapi
karena tidak adanya denyut jantung, maka hal ini dapat mencegahnya peredaran diatom
menuju organ target lain yang jauh.22 Keuntungan dari tes ini adalah diagnosis tenggelam
dapat ditegakkan meski mayat sudah membusuk selain itu dapat digunakan untuk
mengidentifikasi jenis diatom terutama jika berkaitan dengan lokasi tenggelam yaitu di
air asin atau air tawar.13,20,22

Gambar 2.21. Spesies Diatom yang Sering pada Korban Tenggelam22

Pengumpulan bahan dari media tenggelam yang diduga harus dilakukan semenjak
penemuan jenazah, dari air permukaan dan dalam, menggunakan 1 hingga 1,5 L tempat
steril untuk disimpan pada suhu 4°C, di dalamnya disimpan bahan-bahan dari korban
dugaan tenggelam yang diambil dengan cara steril, kebanyakan berasal dari paru-paru,
ginjal, otak, dan sumsum tulang. Sumsum tulang dianggap sebagai jaringan terbaik yang
membuktikan hipotesis kematian akibat tenggelam.25
Terdapat berbagai macam ekstraksi diatom pada jaringan tubuh manusia seperti digesti
asam, soluene 350 dan digesti enzimatik.26
a. Metode Digesti Asam
Metode ini merupakan sebuah temuan revolutioner di dalam sejarah ekstraksi diatom dan
dianut secara luas. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan dengan biaya yang rendah,
mudah dilakukan dan memberikan hasil yang sangat baik. Mueller dan Gorgs (1949);
Mueller (1952); Naeve (1956); Thomas dkk. (1961); Bhaskar (1965); Timperman (1962);
Spitz dan Schneider (1964); Porawski (1966); Neidhart dan Grrendyke (1967); Koseki
(1968); Hendey (1973); Nanikawa dan Kotoku (1974); Khattab (1975); Udermann dan
Schuhman (1975); Peabody (1977); Schellmann dan Speri (1979); Foged (1983); Calder
(1984); Auer dan Mottonen (1988); Pachar dan Cameron (1992 dan 1993); Taylor
(1994); Pollanen (1998); Pollanen (1997); Pollanen (1998); Azparren dkk. (1998);
Hurlimann dkk. (2000); Gruspier dan Pollanen (2000) and Kazutoshi dkk. (2004)
merupakan tokoh-tokoh terkenal yang menggunakan metode ini untuk melarutkan sampel
jaringan.26

 Ekstraksi diatom dari sampel jaringan menggunakan metode digesti asam


Thomas dkk. (1961) dan Timperman (1961) melarutkan sumsum tulang sternum pada
labu Kjeldahl yang mengandung 50 cc asam nitrat. Setelah satu setengah jam, cairan yang
berwarna kuning berubah menjadi transparan. Cairan ini kemuudian didinginkan dan
disentrifuge. Buihnya kemudian diletakkan di slide dan dinilai di bawah mikroskop.
Namun Pollanen dkk. (1997) membuat sedikit perubahan pada metode ini dengan
membuang sumsum tulang (50 gm) dari femur dan dimasukkan ke dalam labu yang
mendidih. Kurang lebih, 50 ml asam nitrat konsentrat ditambahkan dan suspensi
sumsum-asam dipanaskan pada hotplate kurang lebih 48 jam di lemari asam. Setelah
suspensi didinginkan pada suhu ruangan, dilanjutkan dengan sentrifugasi (200-300 g/30
menit). Buihnya diambil kemudian ditambahkan ke air suling kemudian disentrifuge.
Kemudian supernatan terakhir dibuang dan palet yang mengandung bahan tahan asam
diaspirasi menggunakan pipiet Pasteur dan diletakkan pada slide yang bersih kemudian
dinilai di bawah mikroskop.26
Peabody (1977) juga mengekstraksi diatom dengan menghilangkan bahan organik dengan
metode digesti asam. Namun kali ini CaCO3 dibuang dengan menambahkan HCl
konsentrat kemudian ditambah lagi dengan H2SO4 konsentrat dan dipanaskan hingga
suspensi menjadi hitam. Supensi dibiarkan hingga dingin dan NaNO3 padat ditambahkan.
Suspensi dipanaskan kembali sampai warna berubah menjadi coklat dan akhirnya jernih
(HNO3 menghasilkan oksidasi karbon menjadi CO2). Suspensi yang dihasilkan dicuci
bersih dengan air bebas diatom dan diganti kembali dengan aseton untuk persiapan slide
permanen.26
Yange dkk. (1999) mengembangkan instrumen baru yang disebut “kaleng”. Instrumen ini
juga berdasar pada metode digesti asam. Instrumen ini mengatasi kekurangan metode
sebelumnya dalam penghancuran bahan organik sehingga identifikasi menjadi lebih
mudah. 'Kaleng' terdiri atas tiga bagian – badan kaleng, penutup bagian dalam dan
penutup luar. Untuk prosedur destruksi, bahan organik dimasukkan ke Teflon sehingga
tahan korosi, tahan panas, tahan tekanan, dan tahan bocor dll. Di bawah kondisi reaksi
asam kuat dan suhu tinggi, jaringan organik dicairkan untuk ekstraksi diatom. 3 gm
sampel jaringan ditambahkan dengan 4 ml asam nitrat kuat pada instrumen ini. Kaleng
kemudian diletakkan di kotak kering pada suhu 102 ° C selama 100 menit. Kemudian
'kaleng' didinginkan dan cairan postdigestif dimasukkan ke tabung sentrifuge. Setelah
disentrifuge dengan air suling, buih yang diperoleh diletakkan pada slide untuk analisis
lebih lanjut. Di Jepang banyak instrumen digunakan untuk digesti kimiawi jaringan
dengan melakukan modifikasi seperti yang dilaporkan Tomonaga (1954). Digesti sampel
dilakukan menggunakan asam nitrat dan asam sulfat dalam air rendaman (60 ° C 180 ° C)
atau pada baki pasir (80 ° C-300 ° C). Cairan disentrifuge dan ditambahkan air suling.
Metode ini disebut “Metode Disorganisasi”. Pada modifikasi lain, Krstic et al. (2002)
mencampur 2 g sampel jaringan dengan H2O2 selama 24 jam. Setelah proses oksidasi
selesai, H2SO4 ditambahkan secukupnya untuk menyelesaikan oksidasi bahan organik.
Larutan kalium permanganat jenuh mengubah larutan ini menjadi ungu dan asam oksalat
kembali merubah warna. Setelah sedimentasi 58, probe diratakan sampai kira-kira 100 ml
dan disentrifugasi pada 3000 rpm selama 20 menit, sampai pH menjadi netral. Slide
diatom permanen disiapkan dengan menggunakan bahan residu.26
 Ekstraksi diatom dari sampel air menggunakan metode digesti asam
Tyagl (1985) mengumpulkan sampel air dari berbagai macam sumber air seperti danau,
kolam, sumur dan saluran air di Delhi, sampel air dicampur dengan asam HCl konsentrat
kemudian supernatan dipisahkan. Penambahan H2SO4 konsentrat mengubah warna
menjadi kehitaman (H2S04 konsentrat bercampur dengan bahan organik). Supernatan
didinginkan dan ditambahkan dengan NaNO3 padat. Suspensi dipanaskan hingga
warnanya berubah menjadi coklat kemudian jernih. Air suling digunakan untuk mencuci
hasil suspensi sel diatom silika dan residunya di suspensi ulang dalam aseton. Pollane
(1998) juga mengekstraksi diatom dari sampel air putatif menggunakan metode digesti
asam. Selain itu, Kazutoshi dkk. (2004) mengumpulkan 200 ml sampel air laut dari
permukaan dan dasar laut dan 10 ml dari sampel yang sudah dikumpulkan, disentrifuge
menjadi 0,2 ml air laut konsentrat dengan menggunakan sentifugasi tabletop pada 3200
rpm selama 10 menit dengan tabung sentiruge 10 ml. Air laut konsentrat diinkubasi
dengan asam nitrat berasap selama 30 menit pada air mendidih. Sampel dicampur dengan
asam dan dicuci dua kali dengan air murni dan dua kali dengan ethanol dengan cara
disentrifuge pada 3200 rpm selama 10 menit. Residu dipanaskan dan dikeringkan pada
objek glass dan diatom dinilai dengan mikroskop optikal pada pembesaran 400 kali. Bhatt
dkk. (2001), menggunakan pisau sudut tajam untuk mengumpulkan sampel diatom epitel
dengan cara menggores batu dan permukaan berbatu (3 mm2). Sampel diatom epitel yang
didapat dibersihkan dengan asam nitrat dan na dikromate. Sampel kemudian disentrifuge
pada 10.000 rpm selama 10-30 menit dan supernatan dipisahkan. Palet dicuci dua kali
dengan isopropanol, kemudian dicuci satu kali dengan xylene.26
b. Soluene 350
Sidari dkk, pada tahun 1999 menggunakan metode Soluene-350 untuk ekstraksi diatom
dari sampel air tawar dan air laut. Sampel diambil dari paru-paru, hati dan ginjal dari tiga
subjek yang tenggelam. Sampel air laut dikumpulkan dengan fitoplankton-net sambil
menggores batu dan menggoyang ganggang makro yang dikumpulkan pada sampel air
tawar. Pada saat pengumpulan sampel air difiksasi dengan formalin. 30 ml dari keduanya
sampel air tawar dan air laut dicuci tiga kali dengan air suling dan pada setiap cucian,
sampel disentrifugasi 3000 rpm selama 5 menit dan supernatan dibuang setiap saat. Pelet
disuspensikan dalam 8 volume Soluene-350. Larutan kemudian diinkubasi pada suhu 50 °
C selama 2 jam dan selanjutnya pada suhu kamar semalaman. Setelah sentrifugasi pada
3000 rpm selama 60 menit, sampel dianalisis dengan menggunakan mikroskop
mikroskop. Perlakuan berlebihan merusak diatom air laut, mungkin karena frustul mereka
kurang bersilikon dan kurang tahan dibandingkan dengan diatom air tawar. Sebelumnya
pada tahun 1980, Fukui dkk. telah menggunakan metode ini untuk menghancurkan
sampel jaringan. Soluene-350 (Packard Instruments), NCS (Amrsham / Searle Corp.) dan
Protosol (New England Nuclear) digunakan untuk melarutkan sampel hati dan paru
kelinci. Iradiasi ultrasonik digunakan sebagai pengganti asam kuat dan tiga prosedur
digunakan untuk persiapan sampel; (I) 1 gr sampel jaringan dipotong kecil potongan
menggunakan gunting dan ditambahkan 20 ml zat terlarut, (II) jumlah sampel jaringan
yang sama ditumbuk dalam mortar setelah dipotong, dan disuspensikan dalam toluena.
Pelarut kemudian ditambahkan ke dalam suspensi dan (III) jumlah sampel jaringan yang
sama dihomogenisasi dalam 9 ml air suling. Homogenat disentrifugasi pada 15.000 rpm
selama 10 menit dan 5 ml endapan ditambahkan dengan solubilizer.7
Untuk memeriksa kepraktisan metode ini, sampel jaringan dihomogenisasi dengan air
yang mengandung diatom. Prosedur sentrifugasi dan disgesti sama seperti yang
disebutkan di atas. Setelah digesti sempurna, larutan disentrifugasi pada 3000 rpm selama
5 menit. Kira-kira 1 ml endapan disuspensikan kembali, 1 tetes yang diperiksa secara
mikroskopis untuk melihat diatom. Iradiasi ultrasonik selama 300 menit menghasilkan
proses digesti jaringan yang hampir komplit. Namun, beberapa fragmen jaringan masih
tetap bertahan setelah 300 menit, dimana radiasi (ultrasound) tidak dapat bekerja dengan
sempurna. Di antara solubilis, Soluene dilaporkan sebagai pelarut terbaik untuk digesti
jaringan. Sedikitnya kerusakan diatom akibat iradiasi ultrasonik itu ditemukan dengan
baik pada iradiasi langsung dan tidak langsung tetapi tidak ada kesulitan yang berarti
dalam mengamati diatom.26
c. Metode enzimatik
Jaringan paru dihancurkan dengan menggunakan asam nitrat dan Proteinase-K. Metode
ini dirasa paling efektif dalam hal kecepatan, keamanan, dan perlindungan terhadap
lingkungan daripada tes kimia. Pada tahun 1996 dan 1999 Ludes dkk menggunakan
hidrogen peroksida (130 vol%) pada 800C selama 12 jam untuk sample air. LArutan
tersebut didinginkan pada suhu ruangan dan disentrifugasi pada 2500rpm selama 15
menit. Setelah membuang supernatant, disentrifugasi lagi dengan air destilasi (3000 rpm)
dan akan menghasilkan pellet yang berisi diatom. Setelah membuang supernatant,
endapan dikeringkan dan ditaruh di Naphrax. Diatom kemudain diperiksa dibawah
mikroskop cahaya dengan penggunaan minyak imersi (1000x).26
Untuk sampel jaringan, 10g dari tiap organ (jaringan paru perifer, ginjal, hati, otak, dan
sumsung tulang femur) dicacah menggunakan gunting. Sampel kemudian dicuci dan
dicampur dengan 500ml dari 10mg/ml Proteinase-K dan 100 ml dari 0.01 M Tris-HCl
buffer (pH 7.5) mengandung 2%SDS. Campuran diinkubasi dalam 500C sepanjang
malam. 500ml Proteinase-K ditambahkan dan larutan didilusi dengan 100ml air destilasi
dan disentrifugasi 3000rpm selama 15 menit. Lapisan atas kemudian dibuang. Endapan
(100ml/slide) ditransfer ke dalam objek glass, diberikan Naphrax, dan kemudian
diperiksa di dalam mikroskop cahaya. Azparen dkk (1998), Kobayasi dkk (1993), dan
Taylor (1994) serta Quantin 1994 menyarankan pengguaan Proteinase-K pada jaringan
tubuh yang ditemukan pada mayat tenggelam.26
Tabel 3. Spesies diatom yang sering ditemukan berdasar sampel organ

Interpretasi Hasil Pemeriksaan


Pemeriksaan diatom dikatakan positf bila ditemukan adanya dinding rangkap diatom
yang tidak lisis oleh asam, pada sumsum tulang cukup ditemukan satu diatom saja.2
Namun ada beberapa peneliti yang mengusulkan tes ini positif hanya jika ada lebih dari
20 frustul diatom per 100 μl sedimen yang didapatkan pada10 g jaringan paru-paru dan
lebih dari 5 frustul diatom, diekstraksi dengan teknik yang sama, per 10 g sedimen dari
organ dalam lainnya (yaitu otak, hati, ginjal, sumsum tulang belakang).25

False Positif
Kritik utama pada pemeriksaan diatom adalah penemuan diatom pada paru-paru dan
organ-organ lain pada jenasah yang meninggal bukan karena tenggelam. Hal tersebut
dibuktikan oleh adanya penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Pachar
dan Cameron menemukan 5-25 diatom/100g dan mencapai 10 diatom/100g pada organ
tertutup. Selain itu ada pula penelitian yang dilakukan oleh Foged menunjukkan bahwa
terdapat diatom hingga 54 diatom pada hepar, 51 diatom pada ginjal, dan 17 diatom pada
bone marrow (seperti tulang panjang atau tulang punggung). Spesies diatom yang
ditemukan pada jaringan yang tidak cocok dengan spesies diatom yang ada pada air
tempat jenasah tersebut ditemukan, menurut Ludes dan Coste dapat diklasifikasikan
sebagai kontaminasi diatom.23
Kontaminasi Antemortem
Penyerapan diatom pada gastrointestinal mungkin terjadi sebagai akibat dari makan
makanan seperti salad dll yang masih terdapat diatom didalamnya atau pada minuman,
karena pada beberapa negara penduduknya minum air yang berasal dari sungai maupun
sumur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Splitz, Koseki dan Foged
menyebutkan bahwa diatom dapat juga terhirup saat merokok apabila daun tembakau
masih terdapat diatom.23
Komtaminasi Postmortem
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ludes dan Coste menyatakan bahwa
penetrasi diatom pada post mortem mungkin terjadi selama adanya perendaman tubuh
jenasah pada tekanan hidrostatik yang tinggi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Koseki
menyatakan bahwa tulang yang direndam dalam jangka waktu lama dapat membuat suatu
kesalahan dalam menentukan sebab kematian karena diatom dapat masuk melalui
foramen nutricium atau pori-pori yang lain.23
Kontaminasi lain
Kemungkinan lain adanya kontaminasi diatom yaitu selama pembuatan preparat, mulai
dari pengambilan sampel saat otopsi hingga kontaminasi pada slide preparat.23
False Negatif
Faktor yang memungkinkan terjadinya false positif pada jenazah mati tenggelam adalah
rendahnya jumlah diatom pada tempat tenggelam, jumlah air yang terhirup sedikit dan
berkurangnya jumlah diatom selama pembuatan preparat. Menurut penelitian Muller
dikatakan bahwa batas minimal adanya diatom di organ tertutup adalah 20000/100 ml
(dalam percobaan dengan tikus) dan 13500/100 ml (dalam percobaan dengan kelinci).
Didukunh oleh penelitian beberapa peneliti seperti Rota dimana 24% dari 48 korban mati
tenggelam tidak ditemukan diatom serta penelitian Timperman dimana 10% dari 40 kasus
tidak ditemukan adanya diatom. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil negatif pada
korban yang diduga mati tenggelam tidak dapat mencoret kemungkinan sebab kematian
korban tersebut dikarenakan tenggelam.23

3.2.10.2 Pemeriksaan Kimia Darah


Tes ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hemodilusi atau hemokonsentrasi
a. Tes Gettler
Tes Gettler atau tes Gettler Chloride adalah suatu cara untuk membandingkan kadar
klorida dalam darah pada kasus tenggelam. Gettler menyatakan hasil analisis
kandungan klorida pada masing-masing sisi jantung yang menunjukkan perbedaan
hasil yang berbeda yang tergantung pada jenis air tempat korban tenggelam, pada
keadaan normal kandungan klorida pada kedua sisi jantung sama yaitu sekitar
600mg/100 ml. Darah dari jantung kanan dibandingkan dengan jantung kiri. Jika
level chloride kurang pada sisi kanan daripada sisi kiri, korban disangka telah
tenggelam dalam air garam. Jika lebih tinggi pada sisi kanan jantung daripada sisi
kiri, maka diperkirakan korban tenggelam dalam air tawar.2,22,27
1) Tenggelam dalam air asin:
a) Kadar Cl jantung kiri > jantung kanan
b) Na plasma meningkat
c) K plasma sedikit
2) Tenggelam dalam air tawar
a) Kadar Cl jantung kiri < jantung kanan
b) Kadar Na plasma menurun
c) Kadar K plasma meningkat.3

b. Tes Durlacher
Penentuan perbedaan berat plasma jantung kanan dan kiri. Pada semua kasus
tengelam, berat jenis plasma jantung kiri lebih tinggi daripada jantung kanan, oleh
karena itu tidak digunakan untuk membedakan tenggelam di air tawar atau air asin.
Perbedaan sebesar 0,005 sudah dikatakan bermakna.10
c. Tes Asal Air
Tes dilakukan dengan cara memeriksan air dari paru atau lambung secara mikroskopis.
Kegunaan tes ini adalah untuk membedakan apakah air dalam paru berasal dari luar atau dari
proses edema, serta untuk mencocokkan air dalam paru dengan air di lokasi tempat tenggelam,
yaitu dengan meneliti spesies ganggang diatom.10
BAB IV
JURNAL PEMBANDING

Tabel 4 Kelebihan dan kekurangan jurnal pembanding

JUDUL JURNAL KELEBIHAN KEKURANGAN


Haemolytic staining of the 1. Menentukan kondisi 1. Tidak membahas
intima of the aortic root – A dan keadaan apa yang kemungkinan
useful pathological marker of terkait dengan kemungkinan
freshwater drowning ? pewarnaan intavena pewarnaan hemolitik
hemolitik pada aorta dalam air tawar
pembuluh darah besar yang tenggelam
2. Menentukan apakah 2. Penelitian hanya satu
mungkin ada area saja dan hanya
peningkatan dalam kurun waktu 9
pewarnaan pembuluh bulan
darah besar dengan
intensitas yang berveda
pada aorta
dibandingkan dengan
trunkus pada kasus
tenggelam.

Aortic intimal staining in fresh 1. Mengevaluasi 1. Penelitian hanya satu


water drowning ? pewarnaan pembuluh area saja dan hanya
darah besar dalam mengambil beberapa
kasus air tawar yang kasus saja.
tenggelam
2. Menjelaskan bahwa
pewarnaan akar aorta
adalah tanda mudah
untuk menunjukkan
pada otopsi.
Tujuan dari penelitian jurnal pembanding pertama adalah untuk menentukan kondisi dan
keadaan apa yang terkait dengan pewarnaan intavena hemolitik pada pembuluh darah besar dan
apakah mungkin ada peningkatan pewarnaan pembuluh darah besar dengan intensitas yang
berveda pada aorta dibandingkan dengan trunkus pada kasus tenggelam.
Dalam jurnal pertama diperiksa kasus dalam tiga kelompok yang terdiri dari masing-
masing individu yang telah meninggal secara tiba-tiba atau tidak terduga. Penelitian tersebut
dibagi 3 kelompok dengan kelompok A individu yang menunjukkan perubahan pembusukan dan
terdapat bau busuk, hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perubahan pewarnaa dinding
hemolitik berwarna merah gelap. Kelompok B menunjukkan individu yang meninggal dalam 48
jam secara tiba-tiba tanpa mengalami penyakit tertentu maupun tanpa mengalami trauma, dan
tanpa bukti pembusukkan, hasil tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak individu yang tidak
mengalami perubahan warna. Dan kelompok C membahas tentang individu yang meninggal
karena tenggelam di air tawar atau air asin yang tidak mengalami pembusukkan, hasilnya
terdapat 9 yang tenggelam di air asin dan 4 yang tenggelam di air tawar. Pada individu yang
mengalami tenggelam di air asin, hanya 1 individu yang mengelami pewarnaan pada ujung katup
aorta dan yang lainnya tidak menunjukkan perubahan warna pada ujung katup aorta, pada
trunkus terdapat 4 individu yang tidak mengalami pewarnaan, dan 5 individu mengalami
pewarnaan +1/2. Pada 4 individu yang tenggelam di air tawar didapatkan batang paru tidak
menunjukan pewarnan.
Kematian yang disebabkan karena tenggelam terjadi karena berbagai alasan termasuk
asfiksia akibat masuknya saluran udara dengan air dan perubahan biokimia di dalam darah akibat
pertukaran cairan dan elektrolit di membrane alveolar. Pada tenggelam di air tawar diperkirakaan
kematian lebih cepat terjadi daripada tenggelam di air asin karena air tawar lebih cepat diserap
ke dalam sirkulasi pulmonal yang menyebabkan hemodilusi dan hemolisis. Hiponatremia,
hiperkalemia dan overload peredaran darah akhirnya menyebabkan terjadinya aritmia jantung
dan menyebabkan kematian.
Kekurangan dari penelitian ini adalah tidak membahas faktor faktor pewarnaan hemolitik
aorta dalam air tawar yang tenggelam, hal ini menunjukan bahwa jika tidak ada penyebab
hemolisis lainm mungkin merupakan penanda spesifik meskipun mungkin sangat tidak sensitive
terhadap peristiwa jenis seperti ini.
Tujuan penelitian jurnal kedua adalah untuk mengevaluasi pewarnaan pembuluh darah
besar dalam kasus air tawar yang tenggelam. Pada jurnal kedua diteliti dalam 10 kasus yang di
pelajadi dan dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok yang pertama terdiri dari 5 kasus
penenggelaman dan kelompok kedua terdiri dari 5 kasus kontrol selain tenggelam. Didapatkan
bahwa pada kasus penenggelaman post mortem 8-10 jam menunjukkan pewarnaan aorta intima
dengan tidak ada nya ewarnaan pada hilus paru, interval post mortem 12-16 jam menunjukkan
peningkatan intensitas pewarnaan intimal pada ujung katup aorta. Dan interval post mortem 24-
28 jam menunjukkan pewarnaan intima aorta dan hilus paru.
Pada kelompok kedua didapatkan kematian dengan kaus control, pada interval post
mortem 8 sampai 10 jam menujukkan kurangnya pewarnaan pada ujung katup aorta dan hilus
pulmonal. Interval post mortem 12-14 jam menunjukan pewarnaan ringan pada hilus paru
dibandingkan dengan intima aorta. Pada kasus interval 14-16 jam post mortem menunjukan
pewarnaan minimal pada ujung katup aorta dan hillus pulmonal. Dan pada interval 24-28 jam
menunjukkan pewarnaan yang tajam pada ujung katup aorta dan hilus pulmonal.
Sama seperti jurnal pembanding pertama, jurnal kedua ini juga mengatakan bahwa Pada
tenggelam di air tawar diperkirakaan kematian lebih cepat terjadi daripada tenggelam di air asin.
Dalam penelitian ini dalam semua kasus tenggelam didapatkan bahwa terdapat pewarnaan intima
aorta. Pewarnaan akar aorta adalah tanda mudah untuk menunjukkan pada otopsi. Ini tidak
termasuk penyebab kematian lainnya di tubuh yang didapat dari air dan alat bantu untuk
memastikan penyebab kematian sampai tenggelam. Jadi jika pewarnaan intestin aorta terlihat
lebih intens daripada di batang paru, orang dapat menggunakan temuan ini untuk melengkapi
fitur otopsi lain untuk memastikan penyebab kematian karena tenggelam.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tenggelam adalah gangguan paru yang disertai hilangnya fungsi pernapasan oleh karena
jalan napas terisi air. Mekanisme kematian pada saat tenggelam secara akut adalah anoksia
serebral yang ireversibel atau yang sering disebut dengan asfiksia, gangguan elektrolit, dan
aritmia jantung. Berdasarkan studi epidemiologi, tenggelam hampir selalu menempati 10 besar
penyebab kematian di seluruh penjuru dunia pada usia 1-24 tahun, Menurut survei WHO 2014,
terjadi peningkatan 39-50% angka kematian akibat tenggelam di negara-negara maju seperti
Amerika Serikat, Australia dan Finlandia, dan peningkatan lima kali lipat lebih besar di negara-
negara miskin dan berkembang.
Terdapat lima tahapan pada kasus korban tenggelam yaitu Fase surprise respiration, Fase
pertama henti napas Fase respirasi dalam, Fase kedua henti napas dan Fase terminal. Adapun
klasifikasi tenggelam berdasarkan lokasinya yaitu dapat dibedakan tenggelam di air tawar, air
asin ataupun air payau yang memiliki ciri khas yang terdapat pada korban masing-masing. Bila
di temukan jenazah yang di duga mengalami kematian akibat tenggelam. maka perlu ditentukan
beberapa hal dalam upaya diagnostic seperti Identitas korban, Apakah korban masih hidup saat
tenggelam, Faktor yang berperan pada proses kematian, Tempat pertama kali tenggelam,
Penyulit yang mempercepat kematian dan Penyebab sesungguhnya.
Pada hasil pemeriksaan luar korban tenggelam akan didapatkan temuan diantarannya
seperi sianosis perifer, algor mortis, rigor mortis, buih putih halus, washer woman’s hand, cutis
anserine serta Tardieu’s spot. Sedangkan pada pemeriksaan dalam akan didapatkan jenazah
tenggelam di air asin paru-paru relatif lebih basah dan tampak lebih biru keunguan dibandingkan
jenazah tenggelam di air tawar. Pada jenazah tenggelam di air tawar paru-paru teraba seperti
spons dan krepitasi positif dan paru-paru tampak merah pucat. Selain pemeriksaan diatas kita
juga perlu pemeriksaan penunjang untuk membuktikan lokasi tenggelam.
B. Saran
a. Untuk peneliti
 Untuk melakukan penelitian tidak hanya pada satu wilayah tertentu, sehingga akan di
dapatkan hasil yang lebih signifikan
 Penelitian lebih dalam mengenai pewarnaan hemolitik pada kasus tenggelam di air tawar
dan dibandingkan dengan kasus tenggelam di air asin dan air payau.
b. Untuk dokter
 Untuk dapat mengaplikasikan pemeriksaan pewarnaan hemolitik pada kasus tenggelam
 Untuk dapat membedakan kasus tenggelam di air tawar, air asin ataupun air payau
c. Untuk masyarakat umum
 Mempelajari mengenai upaya pencegahan tenggelam dan mempelajari pertolongan
pertama pada kasus tenggelam
 Lebih waspada jika berada di lingkungan yang rawan terjadinya tenggelam
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai