Anda di halaman 1dari 4

TENGGELAM

dr. Theza Pellondo'u, SKed, SpF

Pendahuluan
Bila jenazah ditemukan di dalam atau di pinggir laut, danau, sungai, atau
penampungan air maka kita harus mempertimbangkan kemungkinan jenazah
tersebut mati akibat tenggelam. Kemungkinan tenggelam juga harus kita
pertimbangkan bila jenazah ditemukan dalam keadaan kepala berada di dalam
air, seperti ember atau bak mandi.
Namun harus diingat bahwa belum tentu jenazah tersebut mati akibat
tenggelam. Bisa saja jenazah tersebut sudah dalam keadaan mati sebelum
masuk ke air.
Penyebab seseorang tenggelam bisa karena kecelakaan, pembunuhan atau
bunuh diri. Beberapa

Definisi
Tenggelam adalah gangguan sistem pernapasan akibat berada di dalam atau di
bawah permukaan air.1
Kematian akibat tenggelam adalah kematian akibat submersi di dalam cairan
dan mekanisme tenggelam akut adalah hipoksemia dan anoksia serebral
ireversibel.2

Fase Tenggelam
Umumnya tenggelam dibagi menjadi empat fase:3, 4
1. Menahan napas sampai tidak kuat lagi.
2. Aspirasi cairan ke dalam saluran napas atau tertelan ke saluran cerna.
3. Aspirasi cairan berhenti karena anoksia serebral.
4. Anoksia serebral menjadi ireversibel.

Lamanya masing-masing fase bergantung pada beberapa faktor, seperti usia,


kondisi kesehatan korban, kemampuan korban menahan napas, dan suhu cairan.
Biasanya korban akan menjadi tidak sadar dalam waktu 3 menit.3
Tipe dan Patofisiologi Tenggelam
1. Tenggelam kering: Saat seseorang masuk ke dalam air maka akan timbul
refleks menahan napas, bila ditambah dengan panik maka bisa terjadi
spasme laring. Laringospasme juga bisa terjadi bila ada cairan yang terhirup.
Akibatnya, tidak ada cairan yang masuk ke dalam saluran napas, terutama
paru. Obstruksi ini akan menyebabkan hipoksia yang akan meningkatkan
kadar karbondioksida dan akibatnya tubuh akan mengalami asidosis.
Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan kematian.5, 6
2. Tenggelam basah:
a. Air tawar: Tenggelam di air tawar atau payau (kandungan NaCl 0,6%)
akan memicu perpindahan air dari paru-paru ke peredaran darah dan
perpindahan natrium ke alveoli karena sifatnya yang hipotonis dan
hiponatremis. Perindahan ini menyebabkan terjadinya hemodilusi,
hipervolemia, hiponatermia, dan hiperkalemia.7, 8 Hipoksia dan
hemodilusi akan menyebabkan kerja jantung meningkat dan
mengakibatkan aritmia, takikardia dan akhirnya fibrilasi ventrikel.7
b. Air asin: Air yang masuk ke paru-paru akan mengencerkan surfaktan di
alvoeli. Karena kandungan garamnya yang tinggi (>3%) maka cairan
dan plasma tertarik ke paru-paru dan menyebabkan edema paru,
hemokonsentrasi, dan hipernatremia. Edema paru ini dikenal juga
sebagai tenggelam sekunder.4, 7

Temuan Otopsi dan Laboratorium


Pada pemeriksaan luar akan ditemukan buih halus pada hidung dan mulut
akibat asfiksia.3, 10 Buih halus ini disebabkan oleh aktivasi saraf parasimpatis
yang menyebabkan hipersalivasi dan karena korban berusaha bernapas maka
salivanya terkocok sehingga menjadi buih. Hal ini dikenal sebagai fenomena
kocok (shaking phenomenon). Ujung-ujung jari tangan dan kaki keriput karena
imbibisi cairan pada lapisan keratin, tanda ini juga dikenal sebagai washer
womans hands.4 Pakaian dan permukaan tubuh bisa basah atau pun kering,
tergantung pada keadaan tenggelamnya. Lebam mayat bisa berada di seluruh
permukaan tubuh bila korban terputar-putar selama berada di air, keadaan ini
dikenal sebagai lebam mayat paradoks. Kaku mayat akan lebih cepat timbul bila
korban mencoba untuk berenang, minimal mengapung, selama berada di air.
Bisa juga timbul cadaveric spasm pada salah satu atau kedua tangan, biasanya
disebabkan oleh karena korban mencoba berpegangan di tepian supaya tidak
hanyut, tidak jarang pula ditemukan rumput atau ranting atau benda lain di
genggaman tangan korban.9
Pada pemeriksaan dalam akan ditemukan tanda-tanda spasme laring pada
tenggelam tipe 1 atau cairan dan benda-benda air di kerongkongan dan
tenggorokan pada tipe 2.7, 10 Pada tenggorokan juga akan ditemui buih halus
akibat asfiksia. Buih halus juga dapat ditemukan pada pengirisan paru. Tanda-
tanda edema paru berrupa cetakan iga pada paru sering ditemukan pada
tenggelam tipe 2b, sementara pada tipe 2a organ-organ dalam biasanya dalam
keadaan normal10. Pada lambung juga sering didapatkan cairan dan hal ini bisa
menjadi petunjuk di mana korban tenggelam.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk memastikan apakah korban
benar-benar mati akibat tenggelam, tipe tenggelam, dan juga lokasi
tenggelamnya. Salah satu patokan terjadinya dan lokasi tenggelam adalah
diatom. Diatom merupakan alga mikroskopik berdinding silika. Kebanyakan
diatom bersifat uniseluler, namun juga dapat membentuk koloni. Ada lebih dari
200 genus dan 8.000 spesies diatom11, 12. Keunikan diatom terletak pada dinding
silikanya yang disebut juga frustul. Frustul ini bisa berbentuk apa saja, namun
biasanya bersifat simetris12. Tiap-tiap area memiliki bentuk diatom yang unik,
sehingga kita bisa menentukan apakah korban tenggelam dan mati di tempat
ditemukan atau meninggal di tempat lain dan terbawa arus ke tempat
ditemukan13. Jumlah diatom dianggap signifikan bila ditemukan sebanyak 20
diatom per lapang pandang besar dari spesimen 10 gram paru, atau 50 diatom
dari organ-orga lainnya atau 1 dari sumsum tulang14. Bila jumlah diatom di
bawah minimal atau bahkan tidak ada maka bisa disimpulkan bahwa korban
sudah mati sebelum berada di air15.

Mekanisme Kematian
1. Refleks vagal
Refleks vagal bisa terjadi saat cairan terinhalasi, menyebabkan peningkatan
resistensi perifer jalan napas, vasokonstriksi paru, hipertensi paru,
komplians paru menurun, dan penurunan rasio ventila-perfusi7.
2. Asfiksia
Asfiksia pada kasus tenggelam bisa disebabkan oleh spasme laring atau pun
edema paru.
3. Fibrilasi ventrikel
Fibrilasi ventrikel disebabkan oleh hipoksia dan hemodilusi, dan pada
akhirnya jantung akan berhenti berdenyut karena kelelahan.

Penutup
Kesimpulan kematian yang disebabkan oleh tenggelam jarang hanya ditentukan
oleh temuan otopsi, namun juga berdasarkan pemeriksaan, penyelidikan dan
penyidikan polisi, dan pemeriksaan laboratorium.
Daftar Pustaka
1. Van Beeck, E. F., Branche, C. M., Szpilman, D., Modell, J. H., and
Bierens, J. J. L. M., A new definition of drowning: towards documentation
and prevention of a global public health problem, Bulletin of the World
Health Organization, 2005, pp. 801-880.
2. DiMaio, D. J., DiMaio, V. J. M., Drowning, Forensic pathology, Elsevier,
Amsterdam, 1989, pp. 357-365.
3. Farrugia, A., et Ludes, B., Diagnostic of Drowning in Forensic Medicine,
Forensic Medicine - From Old Problems to New Challenges, 2011, p 1.
4. Harle, L., Drowning, PathologyOutlines.com, 2012,
http://www.pathologyoutlines.com/topic/forensicsdrowning.html. Diakses
pada 1 Januari 2015.
5. Ludes, B., Fornes, P., Drowning, Forensic Medicine: Clinical and
Pathological Aspects, Greenwich Medical Media, 2003, pp. 247-257.
6. Paul, S. (ed), "Wilderness medicine", Wilderness and Environmental
Medicine, Mosby, St. Louis, 1995, pp. 12141219.
7. Rao, D., Drowning, www.forensicpathologyonline.com/E-
Bokk/asphyxia/drowning. Diakses pada 1 Januari 2015.
8. Jeanmonod, R., Staub, C., Mermillod, B., The reliability of cardiac
haemodilution as a diagnostic test of drowning, Forensic Sci Int ed 52,
1992, pp. 171-180.
9. Claridge, J., Drowning and Forensics,
http://www.exploreforensics.co.uk/drowning.html. Diakses pada 1 Januari 2015.
10. Piette, M. H. A., De Letter, E. A., Drowning: Still a difficult autopsy
diagnosis, 2004, dipresentasikan di 8th Cross Channel Conference, Bruges,
Belgia, pada 20-24 April 2004.
11. Siver, P. A., Lord, W. D., and McCarthy, D. J., "Forensic Limnology: The
Use of Freshwater Algal Community Ecology to Link Suspects to an
Aquatic Crime Scene in Southern New England", Journal of Forensic
Sciences, JFSCA, 1994, pp. 847853.
12. Hasle, G. R., Syvertsen, E. E., Steidinger, K. A., Tangen, K., (1996-01-25).
"Marine Diatoms", Identifying Marine Diatoms and Dinoflagellates,
Academic Press, 1996, pp. 5-385.
13. De la Grandmaison, L. G., Paraire, F., Place of pathology in the forensic
diagnosis of drowning, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14752383.
Diakses pada 1 Januari 2015.
14. Ludes, B., Coste, M., Tracqui, A., Mangin, P., Continuous river monitoring
of the diatoms in the diagnosis of drowning, Forensic Sci ed 41, 1996, pp.
425-428.
15. Verma, K., Role of Diatoms in the World of Forensic Science, Forensic
Res ed 4, 2013, p. 181.

Anda mungkin juga menyukai