Anda di halaman 1dari 20

“EKSTRAKSI CAIR – CAIR DAN OPTIMASI FASE GERAK UNTUK

KVC”

DOSEN PENGAMPU :

Vivin Nopiyanti, M.Sc., Apt.

KELOMPOK : 2/L

ANGGOTA : 1. Rahma Intan Y. (21154499A)

2. Laili Atika S. (21154501A)

3.Eva Riana (21154505A)

4. Dhika Meyla N. (21154509A)

5. Emy Yunanto (21154511A)

6. Muhammad Imam R. (21154530A)

7. Fadilah Riska R (21154533A)

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SETIA BUDI

SURAKARTA

2017
I. JUDUL
Ekstraksi Cair – Cair dan Optimasi Fase Gerak untuk KCV

II. TUJUAN
1. Melakukan pemisahan / fraksinasi ekstrak tanaman menggunakan metode
ekstraksi cair – cair.
2. Menentukan fase gerak yang cocok untuk pemisahan senyawa
menggunakan metode KLT.

III. DASAR TEORI


1. Ekstraksi Cair – cair

Ekstraksi cair-cair (liquid extraction, solvent extraction): solute dipisahkan


dari cairan pembawa (diluen) menggunakan solven cair. Campuran diluen dan
solven ini adalah heterogen ( immiscible, tidak saling campur), jika dipisahkan
terdapat 2 fase, yaitu fase diluen (rafinat) dan fase solven (ekstrak). Perbedaan
konsentrasi solut di dalam suatu fasa dengan konsentrasi pada keadaan setimbang
merupakan pendorong terjadinya pelarutan (pelepasan) solut dari larutan yang
ada. Gaya dorong (driving force) yang menyebabkan terjadinya proses ekstraksi
dapat ditentukan dengan mengukur jarak sistem dari kondisi setimbang. Fase
rafinat = fase residu, berisi diluen dan sisa solut. Fase ekstrak = fase yang berisi
solut dan solven (Dirjen POM, 1979).

Menurut Nerst : “Apabila suatu zat berada dalam suatu campuran pelarut yang
tidak saling bercampur maka zat tersebut akan terdistribusi sedemikian rupa di
antara kedua pelarut tersebut dan akan berada dalam kesetimbangan pada
temperatur dan tekanan tertentu asalkan tidak terjadi interaksi kimia antara zat –
zat dalam larutan”.

Pada ekstraksi cair-cair, satu komponen bahan atau lebih dari suatu campuran
dipisahkan dengan bantuan pelarut. Proses ini digunakan secara teknis dalam
skala besar misalnya untuk memperoleh vitamin, antibiotika, bahan-bahan
penyedap, produk-produk minyak bumi dan garam-garam. logam. Proses ini pun
digunakan untuk membersihkan air limbah dan larutan ekstrak hasil ekstraksi
padat cair. Ekstraksi cair-cair terutama digunakan, bila pemisahan campuran
dengan cara destilasi tidak mungkin dilakukan (misalnya karena pembentukan
aseotrop atau karena kepekaannya terhadap panas) atau tidak ekonomis. Seperti
halnya pada proses ekstraksi padat-cair, ekstraksi cair-cair selalu terdiri atas
sedikitnya dua tahap, yaitu pencampuran secara intensif bahan ekstraksi dengan
pelarut, dan pemisahan kedua fasa cair itu sesempurna mungkin (Khopkar, 2010).

 Pertimbangan pemakaian proses ekstraksi sebagai proses pemisahan antara


lain:
1. Komponen larutan sensitif terhadap pemanasan jika digunakan distilasi
meskipun pada kondisi vakum.
2. Titik didih komponen-komponen dalam campuran berdekatan.
3. Kemudahan menguap (volatility) komponen - komponen hampir sama.

 Untuk mencapai proses ekstraksi cair - cair yang baik, pelarut yang
digunakan harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Kemampuan tinggi melarutkan komponen zat terlarut di dalam campuran.
b. Kemampuan tinggi untuk diambil kembali.
c. Perbedaan berat jenis antara ekstrak dan rafinat lebih besar.
d. Pelarut dan larutan yang akan diekstraksi harus tidak mudah campur.
e. Tidak mudah bereaksi dengan zat yang akan diekstraksi.
f. Tidak merusak alat secara korosi.
g. Tidak mudah terbakar, tidak beracun dan harganya relatif murah.

 Pertimbangan-pertimbangan dalam pemilihan pelarut yang digunakan adalah:


 Selektifitas (faktor pemisahan = β)
β =

Agar proses ekstraksi dapat berlangsung, harga β harus lebih besar dari satu.
Jika nilai β =1 artinya kedua komponen tidak dapat dipisahkan.
 Koefisien distribusi

K=

Sebaiknya dipilih harga koefisien distribusi yang besar, sehingga jumlah


solvent yang dibutuhkan lebih sedikit. Recoverability (kemampuan untuk
dimurnikan). Pemisahan solute dari solvent biasanya dilakukan dengan cara
distilasi, sehingga diharapkan harga “relative volatility” dari campuran
tersebut cukup tinggi.
 Densitas
Perbedaan densitas fasa solvent dan fasa diluent harus cukup besar agar
mudah terpisah. Perbedaan densitas ini akan berubah selama proses ekstraksi
dan mempengaruhi laju perpindahan massa.
 Tegangan antar muka (interfasia tension)
Tegangan antar muka besar menyebabkan penggabungan (coalescence) lebih
mudah namun mempersulit proses pendispersian. Kemudahan penggabungan
lebih dipentingkan sehingga dipilih pelarut yang memiliki tegangan antar
muka yang besar.
 Chemical reactivity
Pelarut merupakan senyawa yang stabil dan inert terhadap komponen-
komponen dalam sistem dan material (bahan konstruksi).
 Viskositas
- Tekanan uap dan titik beku dianjurkan rendah untuk memudahkan
penanganan dan penyimpanan.
- Pelarut tidak beracun dan tidak mudah terbakar.
 Koefisien distribusi
Menentukan koefisien distribusi untuk sistem tri kloro etilen – asamasetat -
air, dan menunjukkan ketergantungannya terhadap konsentrasi. Pada
campuran ketiga zat ini dianggap bahwa fasa berada pada kesetimbangan.
Pada konsentrasi rendah, koefisiendistribusi tergantung pada konsentrasi,
sehingga Y = K.X

Y = konsentrasi solute dalam fasa ekstrak

X = konsentrasi solute dalam fasa rafinat

K = koefisien distribusi

 Ada tiga faktor penting yang berpengaruh dalam peningkatan karakteristik


hasil dalam ekstraksi cair - cair yaitu :
1) Perbandingan pelarut-umpan (S/F)
Kenaikan jumlah pelarut (S/F) yang digunakan akan meningkatan hasil
ekstraksi tetapi harus ditentukan titik (S/F) yang minimum agar proses
ekstraksi menjadi lebih ekonomis.
2) Waktu ekstraksi
Ekstraksi yang efisien adalah maksimumnya pengambilan solut dengan waktu
ekstraksi yang lebih cepat.
3) Kecepatan pengadukan
Untuk ekstraksi yang efisien maka pengadukan yang baik adalah yang
memberikan hasil ekstraksi maksimum dengan kecepatan pengadukan
minimum, sehingga konsumsi energi menjadi minimum.

2. Optimasi Fase Gerak Kromatografi Kolom dengan KLT

Kromatografi adalah salah satu metode pemisahan kimia yang didasarkan pada
adanya perbedaan partisi zat pada fase diam dan fase gerak. Kromatografi kolom
adalah salah satu metode yang digunakan untuk pemurnian senyawa dari
campuran dengan memakai kolom. Fase gerak atau eluen adalah campuran cairan
murni. Eluen dipilih sedemikian rupa sehingga faktor retensi senyawa berkisar 0,2
– 0,3 supaya meminimalisasi penggunaan waktu dan jumlah eluen melewati
kolom. Fase gerak yang menghasilkan faktor retensi senyawa paling tinggi 0,5
sebagai fase gerak awal. Sedangkan fase gerak yang menghasilkan faktor retensi
senyawa paling rendah 0,2 sebagai fase gerak akhir (Sudjadi, 1986).

IV. Alat dan Bahan

Alat :

 Corong pisah
 Batang pengaduk
 Erlenmeyer
 Kertas saring
 Cawan
 Lempeng
 Klt silika gel 60 F254
 Bak kromatografi
 Pipa kapiler
 Cawan penguap
 Klem
 Statif
 Lampu UV 254 nm dan 366 nm

Bahan :
 Ekstrak herba ciplukan
 N-heksana
 Etil asetat
 Aquadest

V. CARA KERJA

 Ekstraksi Cair-Cair
 Optimasi Fase Gerak Kromatografi Kolom dengan KLT
VI. HASIL PERCOBAAN

EKSTRAKSI CAIR-CAIR
A. MASERASI (kelompok 1 )
Bobot ekstrak = 8,2591 gram
Rendemen (%)

 Fraksi n-heksan
Bobot fraksi – Gelas kosong
150,763 – 148,273 = 2,49 gram

Rendemen fraksi n-heksan = × 100 %

= 30,14 %

 Fraksi etil asetat


Bobot fraksi – Gelas kosong
173,625 – 169,671 = 3,954 gram

Rendemen fraksi etil asetat = × 100 %

= 47,87 %

 Fraksi air
Bobot fraksi – Gelas kosong
173,011 – 169,921 = 3,09 gram

Rendemen fraksi n-heksan = × 100 %

= 37,41 %

B. MASERASI (kelompok 2 )
Bobot ekstrak = 8,7651 gram
Rendemen (%)

 Fraksi n-heksan
Bobot fraksi – Gelas kosong
149,867 – 146,372 = 3,495 gram

Rendemen fraksi n-heksan = × 100 %

= 39,86 %
 Fraksi etil asetat
Bobot fraksi – Gelas kosong
167,534 – 164,765 = 2,770 gram

Rendemen fraksi etil asetat = × 100 %

= 31,60 %

 Fraksi air
Bobot fraksi – Gelas kosong
172,089 – 168,566 = 3,523 gram

Rendemen fraksi n-heksan = × 100 %

= 40,19 %

C. REMASERASI (kelompok 3 )
Bobot ekstrak = 10,16 gram
Rendemen (%)

 Fraksi n-heksan
Bobot fraksi – Gelas kosong
172,629 – 176,705= 2,076 gram

Rendemen fraksi n-heksan = × 100 %

= 20,433 %

 Fraksi etil asetat


Bobot fraksi – Gelas kosong
160,6523 – 163,6505 = 2,998 gram
Rendemen fraksi etil asetat = × 100 %

= 29,508 %

 Fraksi air
Bobot fraksi – Gelas kosong
165,733 – 168,835 = 3,102 gram

Rendemen fraksi n-heksan = × 100 %

= 30,531 %

D. SOKHLETASI
Bobot ekstrak = 5,6879 gram
Rendemen (%)

 Fraksi n-heksan
Bobot fraksi – Gelas kosong
102,946 – 102,168 = 0,778 gram

Rendemen fraksi n-heksan = × 100 %

= 13,678 %

 Fraksi etil asetat


Bobot fraksi – Gelas kosong
173,8836 – 172,6296 = 1,254 gram

Rendemen fraksi etil asetat = × 100 %

= 22,046 %

 Fraksi air
Bobot fraksi – Gelas kosong
173,9452 – 172,7542 = 1,191 gram
Rendemen fraksi n-heksan = × 100 %

= 20,939 %

OPTIMASI FASE GERAK KROMATOGRAFI DENGAN KLT

A. MASERASI (Kelompok 1)

n-heksan = × 8ml = 5,6 ml

Etil asetat = × 8ml = 2,4 ml

Total = 8 ml

Sampel Kode Rf Warna noda


bercak
UV 254nm UV 366nm

Herba A Hitam Biru


= 0,833 cm
ciplukan
B Hitam Biru
= 0,875 cm

C Hitam Merah
= 0,771 cm

D Hitam Merah
= 0,687 cm
E Hitam Merah
= 0,521 cm

F Hitam Biru
= 0,833 cm

B. MASERASI (Kelompok 2)

Toluen = × 8 ml = 4 ml

Etil asetat = × 8 ml = 0,8 ml

Kloroform = × 8 ml = 3,2 ml

Total = 8 ml

Sampel Kode Rf Warna noda


bercak
UV 254nm UV 366nm

Herba A Hitam Biru


= 0,696 cm
ciplukan
B Hitam Merah
= 0,625 cm

C Hitam Biru
= 0,679 cm

D Hitam Merah
= 0,768 cm
C. REMASERASI

Etil asetat = × 8 ml = 6,4 ml

Asam format = × 8 ml = 0,4 ml

Asam asetat glasial = × 8 ml = 0,4 ml

Air = × 8 ml = 0,8 ml

Sampel Kode Rf Warna


bercak noda

Visible UV 254nm UV 366 nm Pereaksi

1 A 0,97 - Hitam Merah -

B 0,85 - Hitam Merah -

C 0,74 - Hitam Merah -

D 0,42 - Hitam Biru -

E 0,111 - Hitam Biru -

2 A 0,95 - Hitam Merah -

B 0,85 - Hitam Merah -

C 0,73 - Hitam Merah -

3 A 0,94 - Hitam Merah -

B 0,82 - Hitam Merah -

C 0,71 - Hitam Merah -

4 A 0,83 - Hitam Merah -


B 0,71 - Hitam Merah -

C 0,28 - Hitam Biru -

D 0,12 - Hitam Biru -

E 0,05 - Hitam Biru -

F 0,02 - Hitam Biru -

D. SOKHLETASI

Etil asetat = × 8 ml = 4,8 ml

Metanol = × 8 ml = 2,4 ml

Kloroform = × 8 ml = 0,8 ml

Total = 8 ml

Sampel Kode bercak Rf Warna noda


UV 254nm UV 366nm

Herba A Ungu Biru


= 0,625 cm
ciplukan
B Merah Ungu
= 0,625 cm
VII. PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini kami melakukan praktikum ekstraksi dengan


metode ekstraksi cair-cair dengan menggunakan corong pisah. Pelarut yang
digunakan untuk fraksinasi/pemisahan yaitu n-heksan, etil asetat dan air. Dan
menentukan fase gerak yang cocok untuk pemisahan senyawa menggunakan
metode KLT.

Ekstrak yang digunakan dalam percobaan ini adalah ekstrak daun herba
Ciplukan (Physalis angulata L).Pelarut yang digunakan yaitu pelarut yang bersifat
polar dan nonpolar. Pada pengerjaan awal, partisi dilakukan dengan
menggunakan pelarut non polar (n-Heksan), hal ini disebabkan karena jika pada
pengerjaan awal digunakan pelarut polar, maka dikhawatirkan adanya senyawa
nonpolar yang ikut terlarut, sebagaimana kita ketahui bahwa pelarut polar selain
mampu melarutkan senyawa yang bersifat polar juga mampu melarutkan senyawa
yang bersifat nonpolar. Tahap-tahap dalam melakukan proses partisi yaitu
pertama-tama hasil maserasi ekstrak herba Ciplukan (Physalis angulata L.)
kelompok 1 : 8,2591 gram, kelompok 2 : 8,7651 gram, kelompok 3 : 10,16 gram
masing-masing dilarutkan dalam etanol 15 mL dan air sebanyak 60 mL. Setelah
larut, kemudian dimasukkan ke dalam corong pisah dan ditambahkan 75 mL n-
heksana dan dikocok pelan pada satu arah yaitu ke arah badan hingga homogen.
Sesekali membuka keran corong pisah untuk mengeluarkan udara dari hasil
pengocokan. Dipisahkan hingga terlihat adanya dua lapisan, dimana lapisan atas
adalah lapisan n-heksan, sedangkan lapisan bawah adalah lapisan air. Hal ini
disebabkan karena air memiliki massa jenis yang lebih besar daripada n-heksan.
Selanjutnya untuk lapisan ekstrak n-heksan ditampung dan diuapkan sehingga di
dapatkan ekstrak kering. Sedangkan untuk lapisan air, dimasukkan ke dalam
corong pisah dan ditambahkan lagi n-heksan dan dikocok hingga homogen,
prosedur ini dilakukan sama halnya pada prosedur awal, dan dilakukan terus-
menerus hingga lapisan atas kelihatan jernih. Setelah dipartisi dengan
menggunakan n-heksan, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan pelarut etil
asetat dengan melakukan proses yang sama dengan penggunaan pelarut n-heksan.
Setelah itu pelarut etil asetat yang sudah mengandung ekstrak diuapkan untuk
mendapatkan ektrak yang bersifat polar dan nonpolar.

Pada praktikum kali ini untuk kelompok 1 pelarut yang pertama yaitu n-
heksan didapatkan bobot fraksi 2,49 gram serta rendemen sebesar 30,14%
sedangkan untuk pelarut kedua yaitu etil asetat didapatkan bobot fraksi sebesar
3,954 gram serta rendemen sebesar 47,87% dan untuk pelarut ketiga yaitu air
didapatkan bobot fraksi 3,09 gram serta rendemen 37,41%. Untuk kelompok 2
pelarut yang pertama yaitu n-heksan didapatkan bobot fraksi 3,495 gram serta
rendemen sebesar 39,86% sedangkan untuk pelarut kedua yaitu etil asetat
didapatkan bobot fraksi sebesar 2,770 gram serta rendemen sebesar 31,60% dan
untuk pelarut ketiga yaitu air didapatkan bobot fraksi 3,523 gram serta rendemen
40,19%. Sedangkan untuk kelompok 3 pelarut yang pertama yaitu n-heksan
didapatkan bobot fraksi 2,076 gram serta rendemen sebesar 20,433% sedangkan
untuk pelarut kedua yaitu etil asetat didapatkan bobot fraksi sebesar 2,998 gram
serta rendemen sebesar 29,508% dan untuk pelarut ketiga yaitu air didapatkan
bobot fraksi 3,102 gram serta rendemen 30,531%. Kemudian setelahnya
dilakukan uji dengan metode kromatografi lapis tipid (KLT) untuk
mengidentifikasi senyawa-senyawa yang terdapat dalam fase polar dan dalam fase
nonpolar.

Pada percobaan ini dilakukan identifikasi senyawa pada hasil maserasi


ekstrak herba Ciplukan (Physalis angulata L.)yang telah diserbukkan, diekstraksi
secara maserasi dengan pelarut etanol oleh karena etanol merupakan pelarut yang
bersifat semi polar.Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan fase gerak yaitu
lempeng silika gel 60 F254 yang digunakan untuk penjerap komponen yang polar,
kemudian lempeng digaris menjadi 4 bagian dengan jarak 1 cm dengan
menggunakan pensil lalu dibuat kira-kira pada jarak batas bawah 1,0 cm dan jarak
batas bawah dengan batas atas 5 cm batas bawah berfungsi agar memudahkan kita
dalam menotol sampel (start line) dan batas atas berfungsi agar memudahkan kita
melihat batas elusi (finish line). pada masing-masing potongan diberikan tanda
untuk masing-masing pereaksi. Lalu setelah semua persiapan lempeng telah siap
dilakukan penjenuhan chamber yaitu eluen yang akan digunakan yaitu berupa etil
asetat, asam format, asam asetat glasial, dan air dengan perbandingan (4 : 0,25 :
0,25 : 0,5) yang digunakan sebagai fase gerak lalu dimasukkan ke dalam chamber
yang bertutup sebanyak 0,5 mm. Ke dalam eluen tersebut kemudian dimasukkan
potongan kertas saring yang dilebihkan sampai keluar dan chamber. Jika eluen
sudah membasahi minimal ¾ bagian kertas saring, ini menunjukkan bahwa
chamber tersebut sudah jenuh dan siap digunakan. Alasan mengapa eluen harus
dijenuhkan yaitu agar tekanan dalam chamber sama agar noda yang ditotol naik
secara bersamaan dan menghasilkan noda yang lurus atau sejajar.

Setelah persiapan lempeng dan penjenuhan chamber telah siap selanjutnya


penotolan. Sampel yang ditotolkan ada 4 yaitu air, n-hexane, etil asetat dan etanol
yang di peroleh dari ekstrasi cair-cair yang dipraktikumkan sebelumnya. Sampel
ditotolkan pada garis batas bawah (start line) lempeng dengan menggunakan pipa
kapiler secara tegak lurus sehingga diperoleh penotolan yang sempurna. Lempeng
tersebut kemudian diangin-anginkan sampai kering lalu dimasukkan ke dalam
chamber yang tadi telah dijenuhkan. Posisi lempeng berdiri dengan kemiringan ±
50 dari dinding chamber. Chamber ditutup dan lempeng dibiarkan terelusi sampai
batas atas (finish line) pada bagian atas lempeng tercapai tanpa melewati batas
atas.

Setelah lempeng terelusi dengan sempurna, kemudian selanjutnya


dilakukan pengamatan dengan menggunakan lampu UV 254 nm dan 366 nm.
Setiap pengamatan yang dilakukan disertai dengan pengambilan gambar. Pada UV
254 nm, lempeng akan berflouresensi sedangkan sampel

akan tampak berwarna gelap. Penampakan noda pada lampu UV 254 nm adalah
karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator fluoresensi yang
terdapat pada lempeng. Pada UV 366 nm noda akan berflouresensi dan lempeng
akan berwarna gelap. Sehingga noda yang tampak pada lampu UV 366 terlihat
terang karena silika gel yang digunakan tidak berfluororesensi pada sinar UV 366
nm.

Pada ekstrak etanol didapatkan nilai Rf sebesar 0,696 cm dengan warna


noda pada panjang gelombang UV 254 nm Hitam, sedang pada panjang
gelombang UV 366 nm warna nodanya ialah biru. Untuk nilai Rf pada n-Heksan
dapat terbaca 0,625 cm, warna noda pada panjang gelombang UV 254 nm yaitu
Hitam, sedangkan pada panjang gelombang UV 366 berwarna merah. Untuk etil
asetat didapat nilai Rf sebesar 0,679, pada panjang gelombang UV 254 nm warna
noda nya yaitu hitam, sedangkan pada panjang gelombang UV 366 berwarna biru.
Pada air nilai Rf pada totolan pertama sebesar 0,768 cm, warna noda pada panjang
gelombang UV 254 yaitu hitam, sementara warna noda pada panjang gelombang
UV 366 didapat warna merah.

Pada hasil KLT, n-heksan dan etil asetat mengalami fluorosensi karena
termasuk pelarut nonpolar. Sedangkan pada air tidak mengalami fluorosensi,
karena air termasuk pelarut polar. Dan sampel etanol dapat mengalami fluorosensi
pada UV 254 nm karena termasuk pelarut universal yaitu larut dalam air dan
pelarut organik lainnya.

Pada praktikum yang dilakukan tidak digunakan pereaksi semprot. Hal ini
dikarenakan sampel yang digunakan sudah dapat terbaca pada UV 254 nm dan
UV 366 nm.
VIII. KESIMPULAN

1. Setelah melakukan praktikum mahasiswa mampu melakukan pemisahan


ekstraksi cair-cair dengan menggunakan herba ciplukan.
2. Setelah melakukan praktikum mahasiswa mampu menentukan fase gerak
yang sesuai untuk pemisahan senyawa menggunakan metode KLT.

DAFTAR PUSTAKA

Harborne.J.B. 1987. Metode Fitokimia. Bandung: ITB Bandung

Khopkar, S.M. 2010. Konsep Dasar Kimia Analitik.: Jakarta : Penerbit


Universitas Indonesia

Subagyo, dkk. 2000. Kimia Analitik II. Malang: Universitas Negeri Malang

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Jakarta: Depkes RI

Sudjadi, 1986, Metode Pemisahan, UGM-Press, Yogyakarta

Dirjen POM , 1979, “Farmakope Indonesia edisi III”, Depkes RI: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai