Anda di halaman 1dari 37

EVALUASI PHB

“PENYUSUNAN TES HASIL DAN


PROSES BELAJAR”

Oleh
KELOMPOK 3

1. I PUTU GEDE GIRI SETIAWAN (1313011102)


2. RATNA FATIMAH (1413011010)
3. LUH INTAN PUSPA DEWI (1413011057)
4. NI WAYAN TRESNATA AYU FAJARINI (1413011092)
5. PUTU DIAH EKA PRATIWI (1513011016)
6. LUH PUTU DIAN PUSPITA PUTRI (1513011030)

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2017
PRAKATA

Om Swastyastu,

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
telah memberikan berkah dan rahmat-Nya bagi kelancaran pembuatan makalah
untuk pemenuhan nilai pada semester genap ini. Adapun judul makalah yang
penulis buat adalah “Penyusunan Tes Hasil dan Proses Belajar”

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak memperoleh bantuan dan


dorongan baik moril maupun materiil dalam proses pembuatan makalah. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak akan dapat diselesaikan
tanpa bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dosen mata kuliah Evaluasi Proses dan Hasil Belajar Ibu Dra. Ni
Made Sri Mertasari, M.Pd dan Ibu Ni Made Juniantari, S.Pd, M.Pd
yang mengajar di Universitas Pendidikan Ganesha, yang telah
memberi dorongan, motivasi dan petunjuk-petunjuk kepada penulis;

2. Pihak keluarga, teman, dan kerabat yang telah membantu dan memberi
dorongan kepada penulis baik berupa dorongan moril maupun materiil
dalam penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari
itu masukan berupa kritik dan saran yang bersifat membangun untuk membantu
penyempurnaan makalah ini sangat penulis harapkan. Semoga makalah yang
penulis buat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Om Santhi, Santhi, Santhi Om.

Singaraja, Pebruari 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
PRAKATA ........................................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
1.3 Tujuan.............................................................................................................. 2
1.4 Manfaat ............................................................................................................ 2
BAB II. PEMBAHASAN ..................................................................................... 3
2.1 Tujuan Intruksional .......................................................................................... 3
2.2 Ciri-ciri Tes Hasil Belajar yang Baik ................................................................ 7
2.3 Prinsip Dasar dalam Penyusunan Tes ............................................................... 9
2.4 Taksonomi Tujuan Pembelajaran .................................................................... 10
2.5 Cara Penyusunan Tes Hasil dan Proses Belajar ................................................ 26
2.6 Perumusan Indikator Soal................................................................................. 30
2.7 Langkah-langkah Penyusunan Butir Soal ......................................................... 30
BAB III. PENUTUP ............................................................................................. 31
3.1 Simpulan .......................................................................................................... 31
3.2 Saran ............................................................................................................... 31
HASIL DISKUSI
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
menentukan sebuah kualitas sebuah bangsa. Selain itu pendidikan juga memiliki
tujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (UU No.20 Th. 2003:3). Maka dari itu pendidikan dapat
diartikan sebagai sebuah kebutuhan dasar yang wajib didapatkan oleh setiap
warga Negara Indonesia.
Sebagai seorang pendidik, salah satu kompetensi yang harus dikuasai ialah
evaluasi pembelajaran. Evaluasi merupakan suatu proses yang dapat dijadikan
salah satu acuan oleh seorang pendidik untuk mengetahui berhasil atau tidaknya
proses belajar mengajar. Menurut para ahli yang mengemukakan pengertian
evaluasi antara lain Davies mengemukakan bahwa evaluasi merupakan proses
untuk memberikan atau menetapkan nilai kepada sejumlah tujuan, kegiatan,
keputusan,unjuk kerja, proses, orang, maupun objek. Menurut Wand dan Brown,
evaluasi merupakan suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Maka
dapat disimpulkan bahwa pengertian evaluasi adalah proses yang sistematis dalam
menentukan nilai atau tujuan tertentu. Adapun pengertian dari evaluasi
pembelajaran merupakan penilaian kemampuan belajar siswa atau yang biasa
disebut peserta didik yang dilakukan secara berkala, baik berupa ujian tes tertulis
maupun tidak tertulis sebagai pertanggungjawaban seorang guru dalam
melakasanakan pembelajaran. Karakteristik siswa yang dijadikan penilaian adalah
tampilan siswa dalam bidang kognitif (pengetahuan), Afektif (sikap) dan
psikomotorik (keterampilan).
Terkadang masih banyak seorang pendidik yang belum mengerti arti
evaluasi yang sebenarnya, sehingga dalam melakukan evaluasi belum
menggunakan teknik-teknik evaluasi yang distandarkan dengan kriteria-kriteria
yang seharusnya dikerjakan.

1
Sebelumnya melaksanakan proses evaluasi hasil proses belajar peserta didik
baik dengan teknik tes maupun non tes dengan macam alat evaluasi tertentu, akan
sangat penting untuk mengetahui terlebih dahulu bagaimana cara penyusunan tes
yang baik agar dapat mengukur dan menilai aspek yang diharapkan secara tepat.
Untuk itu, penulis tertarik untuk membahas bagaimana penyusunan tes hasil dan
proses belajar peserta didik pada makalah ini. Penulis beharap dengan ditulisnya
makalah ini dapat memberikan gambaran dan pengetahuan yang cukup mengenai
penyususnan tes hasil belajar peserta didik.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan dibahas pada
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana ciri-ciri tes hasil belajar yang baik?
1.2.2 Bagaimana cara penyusunan tes hasil belajar dan proses belajar?
1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1. Untuk mengetahui ciri-ciri tes belajar yang baik.
1.3.2. Untuk mengetahui cara menyusun tes hasil belajar dan proses belajar.
1.4. Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Manfaat untuk Penulis
Penulis dapat manambah wawasannya dan memberikan pengalaman
dalam membuat sebuah karya tulis, serta lebih memahami mengenai
penyusunan tes hasil belajar.
2. Manfaat untuk Pembaca
Pembaca dapat memahami dan mengerti penyusunan tes hasil belajar,
serta bagi calon-calon pendidik dapat dijadikan sebagai bahan untuk dapat
menjadi seorang guru yang profesional.

2
BAB II
PEMBAHASANAN

Tes berasal dari bahasa Perancis Kuno: testum yang artinya “piring yang
digunakan untuk menyisihkan logam-logam mulia”. Dalam bahasa Inggris ditulis
dengan test yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “tes”, “ujian”
atau “percobaan”. Dalam bahasa Arab:Imtihan. Istilah yang sering digunakan
juga, yaitu istilah test, testing, tester dan testee, yang punya pengertian yang
berbeda. Test adalah alat atau prosedur yang dipergunakan dalam rangka
pengukuran dan penilaian, testing adalah saat dilaksanakannya pengukuran dan
penilaian, tester adalah orang yang melaksanakan tes, atau eksperimentor, testee
adalah pihak yang dikenai tes misalnya peserta ujian.
Menurut Anne Anastasi dalam karya tulisnya berjudul Psychological
testing, yang dimaksud tes adalah pengukur yang mempunyai standar yang
obyektif sehingga dapat digunakan secara meluas, serta dapat betul-betul
digunakan untuk mengukur dan membandingkan keadaan psikis atau tingkah laku
individu. Menurut Lee J. Cronbach dalam bukunya berjudul Essential of
Psychological Testing, tes adalah suatu prosedur yang sistematis untuk
membandingkan tingkah laku dua orang atau lebih.
2.1 Tujuan Intruksional
Tujuan pendidikan dan pengajaran diarKDan sebagai suatu bentuk usaha
untuk memberikan rumusan hasil yang diharapkan dari peserta didik sebagai
subjek belajar, sehingga memberi arah kemana proses belajar mengajar itu
harus dibawa dan dilaksanakan. Perumusan tujuan pendidikan dan pengajaran
merupakan suatu alat yang sangat bermanfaat dan memberi kontribusi yang
besar dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan belajar mengajar
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut Slameto (2005: 142), tujuan instruksional merupakan penjabaran
dari tujuan kurikuler. Tujuan instruksional adalah tujuan yang
menggambarkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan sikap yang
harus dimiliki oleh siswa sebagai akibat dari hasil pembelajaran yang
dinyatakan dalam bentuk tingkah laku (behavior) yang dapat diamati dan

3
diukur. Tujuan instruksional dapat dibagi menjadi 2, yaitu Standar
Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD)
1. Standar Kompetensi (SK)
Standar Kompetensi (SK), yaitu tujuan yang hendak dicapai pada
setiap pokok bahasan. SK merupakan penjabaran dari tujuan kurikuler dan
perinciannya bersifat umum. Menurut SK Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No.8/U/1975, Standar Kompetensi (SK) diarKDan sebagai
tujuan-tujuan yang pencapaiannya dibebankan kepada program pengajaran
suatu bidang pelajaran. Rumusan SK ditetapkan dalam Garis-Garis Besar
Program Pengajaran (GBPP), sehingga guru tidak perlu menyusunnya lagi.
Komponen SK pada umumnya meliputi subjek (siswa), predikat (kata
kerja), objek (materi/bahan), dan keterangan (kondisi proses belajar
mengajar dan aplikasi konsep).
Salah satu contoh SK pada bahasan materi himpunan pada jenjang
SMP kelas I adalah “siswa memahami pengertian himpunan dan operasi
dasar pada himpunan, serta mampu menggunakannya sebagai dasar
pengembangan selanjutnya.
Keterangan pada SK tersebut:
a. Subjek adalah siswa (SMP kelas I)
b. Kata kerjanya adalah memahami, menggunakan
c. Objeknya adalah pengertian himpunan dan operasi dasar pada
himpunan; dan
d. Keterangannya adalah sebagai dasar pengembangan selanjutnya.
Selain itu contoh lain dari penyusunan SK adalah
a. Memahami sifat-sifat operasi hitung bilangan dan penggunaannya
dalam pemecahan masalah.
b. Memahami konsep segitiga dan segiempat serta menentukan
ukurannya.
Pada contoh di atas, terlihat kata kerja dalam merumuskan Standar
Kompetensi (SK) menggambarkan perubahan tingkah laku yang masih
mengandung pengertian yang bervariasi, sehingga tingkah lakunya pun
bervariasi. Kata kerja “mampu memahami” pada contoh di atas bisa

4
berarti banyak. Misalkan himpunan dan bukan himpunan, atau
memberikan contoh dan bukan contoh. Dengan demikian, kata kerja
dalam SK belum spesifik, sehingga tidak dapat diukur dengan pasti.
Kata-kata kerja yang dapat digunakan untuk menyusun
(merumuskan) Standar Kompetensi (SK) antara lain adalah mengenal,
mengetahui, memahami, menguasai, mengerti, menerapkan, menyadari,
menjelaskan, menyenangi, menggunakan, menafsirkan,
mendemonstrasikan, menghargai, mengahayati, dan mengagumi.
2. Kompetensi Dasar (KD)
Kompetensi Dasar (KD) merupakan pengkhususan yang operasional
dari tujuan kurikuler. Dalam KD dijelaskan tentang persyaratan dan
tingkat ketercapaiannya, sehingga lebih spesifik dari SK. KD memiliki
kriteria dan pedoman sebagai berikut.
1) Setiap KD harus mengandung empat unsur berikut:
a. Terdidik atau siswa;
b. Kemampuan/kompetensi atau tingkah laku;
c. Kondisi tempat berlangsungnya kemampuan atau tingkah laku itu;
d. Kriteria ketercapaian dari kemampuan atau tingkah laku itu.
2) Kriteria Kejelasan
Perumusan KD harus jelas dan menggunakan susunan kalimat
yang sederhana agar tidak membaurkan SK yang menjadi dasar.
3) Kriteria Kesesuaian
KD harus sesuai dengan tugas sekolah, tahap perkembangan siswa
serta bahan yang diajarkan.
4) Kekhususan
KD harus spesifik sehingga benar-benar dalam keadaan sudah siap
untuk dipakai guru. Oleh karena itu, sebaiknya dirancang dengan kata-
kata kerja yang menunjukkan tingkah laku (behavior) yang teramati.
5) Ketercapaian
KD hendaknya dicapai oleh siswa melalui program yang ada serta
mengingat batas-batas waktu yang disediakan.
6) Keterukuran

5
Keterukuran atau tingkat keberhasilan kemampuan atau tingkah
laku yang diharapkan disebut tingkat keberhasilan. Dengan demikian
mudah bagi guru untuk langsung melangkah kepada penetapan alat
untuk menilai hasil belajar siswa.
7) Kemenyeluruhan
Untuk setiap interaksi proses pembelajaran tidak cukup hanya
menyusun satu KD saja. Rumusannya hendaklah dalam bentuk
perangkat tujuan. Artinya guru mengharapkan sejumlah tujuan-tujuan
yang mencakup ketiga aspek (kognitif, afektif, dan psikomotor). Jadi
minimal terdapat satu rumusan KD untuk setiap aspek.
Ketujuh pedoman diatas merupakan kriteria dan pedoman guru
dalam membuat rumusan perangkat KD dalam rangka penyusunan
program pembelajaran. Rumusan SK berkenaan dengan setiap topik
dalam GBPP, sedangkan KD berkenaan dengan setiap konsep atau
materi pelajaran yang tercangkup dalam topik tersebut.
Rumusan KD harus operasional, yaitu menggambarkan tingkah laku
siswa yang spesifik sehingga dapat diukur dengan pasti. Dengan demikian,
kata kerja dalam KD harus menggunakan Kata Kerja Operasional (KKO).
KKO tersebut adalah kata-kata kerja yang digunakan dalam
mendeskripsikan kegiatan pembelajaran dalam ranah afektif, kognitif, dan
psikomotorik.
Berikut ini disajikan contoh-contoh kata kerja operasional (KKO) yang
dapat dimanfaatkan untuk merumuskan KD dalam kegiatan sehari-hari
sebagai guru matemaKDa. (Sukardi, 2008)
menunjukkan membenarkan Medistribusikan
membedakan menuliskan mengurangkan
menyelesaikan menjumlahkan membagi
mengukur mengalikan menemukan
menjabarkan melakukan mengakarkan
menyususn memangkatkan memfaktorkan
merumuskan mengkuadratkan menyebutkan
membandingkan menyimpulkan menentukan

6
melukis menandai menghitung
mengubah mengurutkan menyederhanakan
mengganti mengeliminasi membukKDan
mengelompokkan memilih membilang
membetulkan memasangkan mendefiniskan
memberikan mencari menggambar
mendistribusikan menyempurnakan membuat
menaksir
Untuk dapat menggolongkan suatu kata kerja menjadi kata kerja yang
merupakan kata kerja operasional atau bukan, kita dapat berpegang pada
pengertian KKO itu sendiri. Jika rumusan KD dengan menggunakan kata
kerja itu belum spesifik, sehingga belum dapat dibuat alat evaluasinya,
maka kata kerja tersebut bukan tergolong KKO. Sebaliknya, jika rumusan
KD dengan menggunakan kata kerja itu sudah spesifik sehingga dapat
dibuat alat evaluasinya, maka kata kerja itu tergolong KKO.
Pada tahap tujuan kurikuler sampai KD mulai sangat dirasa perlu
dilakukan pengkhususan menurut berbagai taksonomi tujuan
pembelajaran. Taksonomi itu sangat berguna sebagai pedoman bagi guru
dalam memilih apa yang akan diajarkan dan bagaimana mengajarkannya.
Demikian pula sebagai pedoman bagi siswa tentang apa yang akan
dipelajari dan bagaimana mempelajarinya itu.
Contoh dari Kompetensi Dasar (KD) berdasarkan Standar
Kompetensinya yaitu:
SK: Memahami sifat-sifat operasi hitung bilangan dan pengunaannya
dalam pemecahan masalah.
KD:
1. Melakukan operasi hitung bilangan bulat dan pecahan.
2. Menggunakan sifat-sifat operasi bilangan bulat dan pecahan dalam
pemecahan masalah.
2.2 Ciri-ciri Tes Hasil Belajar yang Baik
Ada empat ciri atau karakterisKD yang harus dimiliki oleh tes hasil
belajar, sehingga dapat dinyatakan sebagai tes yang baik, yaitu:

7
a. Valid
Ciri pertama dari Tes Hasil Belajar yang baik adalah bahwa tes
hasil belajar tersebut bersifat valid atau memiliki validitas. “valid” yang
berarti tepat, benar, shahih, abash. Apabila kata valid itu dikaitkan
dengan fungsi tes sebagai alat pengukuran, maka sebuah tes dikatakan
valid apabila tes tersebut dengan secara tepat, benar, secara shahih atau
secara abash dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Dengan kata
lain, sebuah tes dikatakan telah memiliki “ validitas” apabila tes tersebut
dengan secara tepat, benar, sahih atau abash telah dapat mengukur apa
yang seharusnya diukur lewat tes tersebut. Contohnya mengungkap hasil
belajar yang telah dicapai oleh peserta didik, setelah menempuh proses
belajar mengajar dalam jangka waktu tertentu. Untuk menetapkan apakah
sebuah tes hasil belajar dapat dinyatakan sebagai tes yang telah memiliki
validitas atau daya ketepatan mengukur, ataukah belum, dapat dilakukan
penganalisasian secara rasional atau secara logika dan dapat juga
dilakukan penganalisasian secara empiric.
b. Reliable.
Ciri kedua dari tes hasil belajar yang baik harus memiliki
reliabilitas atau bersifat reliabel. “reliabilitas” sering diterjemahkan
dengan keajegan (stability0 atau kemantapan (consistency). Apabila
istilah tersebut dikaitkan dengan tes yang sebagai alat pengukur
keberhasilan belajar peserta didik, maka sebuah tes hasil belajar dapat
dinyatakan reliabel apabila hasil-hasil pengukuran yang dilakukan
dengan menggunakan tes tersebut secara berulang kali terhadap subyek
yang sama, senantiasa menunjukkan hasil yang tetap sama atau sifatnya
ajeg dan stabil. Dengan demikian suatu ujian dikatakan memiliki
reliabilitas apabila skor atau nilai yang didapatkan para peserta ujian
untuk ujiannya adalah stabil, kapan saja, dimana saja, dan oleh siapa saja
ujian itu dilaksanakan, diperiksa dan dinilai. Untuk menetapkan apakah
sebuah tes hasil belajar dapat dinyatakan sebagai tes yang reliabilitas
yang tinggi ataukah rendah , dapat digunakan tiga jenis pendekatan, yaitu

8
peendekatan single test, pendekatan test retest, pendekatan alternate
forms.
c. Obyektif.
Tes hasil belajar yang baik harus bersifat obyektif. Tes hasil
belajar yang obyektif berarti tes tersebut disusun dan dilakukan “menurut
apa adanya” dari segi materi yang berarti materi yang diambilkan
bersumber dari materi pelajaran yang sudah diberikan sebelumnya.
Materi yang telah diberikan untuk dipelajari peserta didik itulah yang
dijadikan acuan dalam pembentukan atau penyusunan tes hasil belajar
tersebut. Dari segi pemberian skor harus terhindar dari unsur-unsur
subyektivitas yang melekat pada diri prnyusun tes. Tester harus terhindar
sejauh mungkin kemungkinan munculnya jawaban soal yang tulisannya
lebih baik dapat skor lebih tinggi daripada jawaban soal yang tulisannya
jelek, padahal jawaban tersebut sama.
d. Praktis.
Tes hasil belajar harus bersifat praktis dan ekonomi. Praktis berarti
tes hasil belajar itu dapat dilaksanakan dengan mudah, karena tes itu
bersifat sederhana ( tidak memperlukan peralatan yang banyak atau sulit
pengadaannya), lengkap (telah dilengkapi petunjuk mengenai cara
mengerjakannya , kunci jawaban, pedoman scoring serta penentuan
nilainya). Ekonomis yang berarti tes belajar tersebut tidak banyak
menghabiskan waktu , tenaga, dan biaya.
2.3 Prinsip Dasar dalam Penyusunan Tes Hasil Belajar
Agar tes tersebut dapat mengukur tujuan instruksional khusus untuk mata
pelajaran yang diajarkan, atau mengukur kemampuan dan keterampilan
peserta didik yang diharapkan maka terdapat beberapa hal yang perlu
dicermati dalam menyusun tes hasil belajar, yaitu:
a. Tes hasil belajar harus dapat mengukur secara jelas hasil belajar yang telah
ditetapkan . kejelasan mengenail pengukuran hasil belajar yang tlah
ditetapkan akan memudahkan untuk guru menyusun butir-butir soal tes
hasil belajar.

9
b. Butur-butir soal tes harus merupakan bagian dari bahan materi pelajaran
yang telah diajarkan.
c. Bentuk soal yang dikeluarkan harus bervariasi, sehingga betul-betul cocok
untuk mengukur hasil belajar yang diinginkan sesuai dengan tujuan tes itu
sendiri. Misalnya untuk mengukur hasil yang berupa keterampilan tidak
tepat kalau menggunakan soal yang berbentuk essay test yang jawabannya
menguraikan dan bukan mempraktekkan sesuatu.
d. Tes hasil belajar harus disusun sesuai kegunaannya untuk memperoleh
hasil ynag diinginkan atau relevan dengan kegunaan dari masing-masing
jenis test. Misalnya,
a) Placement test digunakan untuk penentuan penempatan siswa dalam
suatu jenjang atau jenis pendidikan test.
b) Formative test digunakan untuk mencari umpan balik guna
memperbaiki proses pembelajaran, baik bagi guru maupun siswa.
c) Summative test digunakan untuk mengukur sampai mana pencapaian
siswa terhadap bahan pelajaran yang telah diajarkan dan digunakan
untuk menentukan kenaikan tingkat atau kelulusan siswa yang
bersangkutan.
d) Diagnostic test digunakan untuk mencari sebab-sebab kesulitan
belajar peserta didik.
e) Tes hasil belajar harus memiliki reliabilitas yang dapat diandalkan.
f) Tes hasil belajar harus dapat dijadikan alat untuk mencari informasi
yang berguna untuk memperbaiki cara belajar peserta didik dan cara
mengajar guru selain harus dapat dijadikn alat ukur keberhasilan
sisiwa.
2.4 Taksonomi Tujuan Pembelajaran Menurut Bloom
Dalam pembuatan dan pelaksanaan evaluasi, untuk memperoleh rumusan
tujuan instruksional yang operasional, tujuan tersebut harus diklasifikasikan
dalam bentuk yang lebih rinci. Klasifikasi tujuan pembelajaran dikemukakan
oleh Benyamin S. Bloom (dalam Slameto, 2005: 146), yang dikenal dengan
Taksonomi Bloom.

10
1. Berdasarkan Jenjang Kognitif
Daerah kognitif mencakup tujuan-tujuan yang berkenaan dengan
kemampuan berfikir, yaitu berkenaan dengan pengenalan pengetahuan,
perkembangan kemampuan, dan keterampilan intelektual (akal). Daerah
kognitif merupakan pusat dan mempunyai peran yang sangat penting
dalam pengembangan kurikulum dan pengembangan evaluasi berupa tes.
Daerah kognitif dari enam tahap tersusun mulai dari kemampuan
berpikir yang paling rendah atau sederhana menuju pada kemampuan
berpikir yang paling kompleks (tinggi) yang merupakan suatu kontinus.
Keenam tahap berpikir tersebut seringkali disebut jenjang kognitif,
digambarkan seperti diagram berikut ini.
KOMPLEK
S

C.6

Evaluasi
(Evaluation)
C.5

Sintesis
(Synthesis)
C.4

Analisis
(Analysis)
C.3

Penerapan
SIMPLE (Aplication)
C.2

Pemahaman
C.1 (Comphrehension)

Pengetahuan
(Knowledge)
Gambar 2.1 Jenjang Kognitif menurut Bloom dan kawan-kawan
Untuk lebih jelasnya maka akan dijabarkan rincian dari jenjang
kognitif tersebut sebagai berikut.
C.1 Pengetahuan (Knowledge)
Jenjang kognitif paling sederhana disebut jenjang pengetahuan
(knowledge) atau ingatan (recall) atau komputasi (computation). Pada
jenjang kognitif ini siswa dituntut untuk mampu mengenali atau

11
mengingat kembali (memory) pengetahuan yang telah disimpan dalam
skemata struktur kognitifnya.
Hal-hal yang termasuk ke dalam jenjang kognitif ini adalah
berupa pengetahuan tentang fakta dasar, terminology (peristilahan),
atau manipulasi yang sifatnya sudah rutin.
Rumusan KD yang akan mengukur jenjang kognitif ini biasanya
menggunakan KKO diantaranya: mendefinisikan, menyebutkan
kembali, menuliskan kembali, menunjukkan, menyatakan,
menentukan, menghitung, menyelesaikan, dan mengingat kembali.
Secara rinci, Daryanto (2005) menyatakan jenjang kognitif C.1
(Pengetahuan) ini mencakup hal-hal seperti berikut ini.
C.1.1 Pengetahuan tentang fakta yang spesifik
Dalam hal ini siswa dituntut untuk mengingat kembali
materi yang mirip sama dengan materi yang telah dipelajarinya
dalam kegiatan proses pembelajaran.
Contoh:
1) KD: Diberikan beberapa bilangan cacah dan bukan
bilangan cacah, siswa (SMP kelas I) dapat memilih bilangan
yang bukan anggota himpunan bilangan cacah.
2) KD: Diberikan sebuah bilangan real, siswa (SMP Kelas
I) dapat menentukan invers kalinya.
3) KD: Siswa dapat mengingat kembali rumus keliling
sebuah lingkaran.
C.1.2 Pengetahuan tentang terminology
Dalam hal ini siswa dituntut untuk mengingat kembali
istilah-istilah atau simbol-simbol yang berkenaan dengan konsep
matemaKDa.
Contoh:
1) KD: Siswa dapat mengingat kembali definisi himpunan
bagian.
2) KD: Siswa dapat mengingat kembali pengertian garis
bagi.

12
C.1.3 Kemampuan untuk mengerjakan algoritma (manipulasi) rutin
Soal yang termasuk kategori ini adalah soal yang tidak
memerlukan pola berpikir yang baru dalam pengerjaannya.
Contoh:
1) KD: Siswa dapat mengerjakan operasi pecahan.
2) KD: Siswa dapat mengerjakan operasi perkalian pada
bilangan desimal.
C.2 Pemahaman (Comprehension)
Tahap pemahaman sifatnya lebih kompleks daripada tahap
pengetahuan. Untuk dapat mencapai tahap pemahaman terhadap suatu
konsep matemaKDa, siswa harus mempunyai pengetahuan
(knowledge) terhadap konsep tersebut. Jadi tahap pemahaman,
inklusif terhadap tahap pengetahuan. Siswa dikatakan memahami
sesuatu apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberi uraian
yang lebih rinci tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya
sendiri.
Rumusan KD yang dapat mengukur jenjang kognitif ini
biasanya menggunakan KKO membedakan, mengubah,
menginterpretasikan, menentukan, menyelesaikan,
menggeneralisasikan, memberikan contoh, membukKDan,
menyederhanakan, mendistribusi. Secara terinci, jenjang kognitif
tahap pemahaman ini mencakup hal-hal berikut ini.
C.2.1 Pemahaman konsep
Perbedaan antara pengetahuan mengenai konsep dengan
pengetahuan mengenai fakta spesifik tidak terdefinisi secara
tegas. Suatu konsep terbentuk dari komponen konsep, dan
komponen ini merupakan suatu fakta yang spesifik. Dengan
demikian suatu konsep dapat dipandang sebagai kumpulan fakta
spesifik yang saling terkait secara fungsional.
Contoh:
1) KD: Siswa dapat mengurutkan bilangan rasional, dari
yang terkecil ke yang terbesar.

13
C.2.2 Pemahaman prinsip, aturan, dan generalisasi
Soal-soal yang berkenaan dengan aspek ini berkenaan
dengan hubungan antara konsep dengan elemennya.
Contoh:
1) KD: Siswa dapat menentukan sifat yang berlaku pada
suatu pecahan.
2) KD: Siswa dapat menentukan jumlah sudut dalam
sebuah segitiga yang berkaitan dengan sudut luarnya.
C.2.3 Pemahaman terhadap struktur matemaKDa
Soal yang berkenaan dengan jenjang kognitif ini menurut
siswa untuk memahami tentang sifat-sifat dasar dalam struktur
matemaKDa.
Contoh:
1) KD: Dengan menggunakan sifat distributif, siswa cepat
mencari nilai dari variabel dalam suatu persamaan.
2) KD: Dengan menggunakan sifat dari kuadrat suku dua
(binom), siswa dapat menentukan nilai dua buah binom.
3) KD: Diberikan suatu kesamaan berbentuk hasil kali dua
unsur yang sama dengan nol (0), siswa dapat menentukan
kemungkinan-kemungkinan yang bisa berlaku untuk unsur-
unsur itu.
C.2.4 Kemampuan untuk membuat transformasi
Kemampuan ini dimaksudkan sebagai kemampuan siswa
untuk dapat mengubah suatu bentuk matemaKDa tertentu
menjadi bentuk lainnya.
Contoh:
1) KD: Siswa dapat mengubah bentuk pecahan biasa
menjadi bentuk pecahan desimal.
C.3 Penerapan (Application)
Aplikasi atau penerapan adalah proses berpikir yang setingkat
lebih tinggi dari pemahaman. Dalam jenjang kognitif aplikasi seorang
siswa diharapkan telah memiliki kemampuan untuk memilih,

14
menggunakan, dan menerapkan dengan tepat suatu teori atau cara
pada situasi baru. Tahap aplikasi ini melibatkan sejumlah respon.
Respon tersebut ditransfer ke dalam situasi baru yang berarti
konteksnya berlainan.
KKO dalam rangka perumusan KD yang berkenaan dengan
jenjang kognitif ini di antaranya adalah: menggunakan, menerapkan,
menghubungkan, menggeneralisasikan, menyusun, dan
mengklasifikasikan.
Bloom dan kawan-kawan merinci jenjang kognitif ini ke dalam
empat bagian yaitu:
C.3.1 Kemampuan untuk menyelesaikan masalah rutin
Masalah rutin adalah masalah atau soal yang materinya
sejenis dengan bahan pelajaran begitupun cara penyelesaiannya.
Contoh:
1) KD: Siswa dapat menerapkan konsep persen pada
masalah jual beli.
C.3.2 Kemampuan untuk membandingkan
Soal yang termasuk ke dalam tahap ini, menuntut siswa
untuk dapat menentukan hubungan antara dua kelompok
informasi atau lebih kemudian memberikan penilaian berupa
keputusan.
Perhitungan bisa digunakan dan pengetahuan yang relevan
biasanya diperlukan. Kemampuan penalaran dan berpikir logika
sangat diperlukan.
Contoh:
1) KD: Diberikan beberapa himpunan, siswa dapat
menentukan irisan, dan gabungan dari himpunan tersebut.
C.3.3 Kemampuan mengenai pola, isomorfisme, dan simetri
Kemampuan ini melibatkan kemampuan mengingat kembali
informasi yang relevan, mentransformasi komponen-komponen
masalah, memanipulasi data, dan mengenal hubungan.
Contoh:

15
1) KD: Ditentukan sebuah kesamaan dengan beberapa
variabel, siswa dapat mencari nilai salah satu variabelnya
dinyatakan dengan variabel lain.
C.4 Analisis (Analysis)
Jenjang kognitif berikutnya yang setingkat lebih tinggi dari
aplikasi adalah analisis, yaitu suatu kemampuan untuk merinci atau
menguraikan suatu masalah (soal) menjadi bagian-bagian yang lebih
kecil (komponen) serta mampu untuk memahami hubungan di antara
bagian-bagian tersebut.
Kemampuan siswa untuk dapat memecahkan masalah non-rutin
termasuk ke dalam tahap ini, yaitu kemampuan untuk mentransfer
pengetahuan matemaKDa yang telah dipelajari terhadap konteks baru.
Pemecahan masalah bisa berupa menguraikan suatu masalah menjadi
bagian-bagian dan meneliti, mengkaji, serta menyusun kembali bagian
tersebut menjadi suatu kesatuan sehingga merupakan penyelesaian
akhir. Tahap analisis ini dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
C.4.1 Analisis terhadap elemen
Dalam hal ini siswa dituntut untuk mampu mengidentifikasi
unsur-unsur yang terkandung dalam suatu hubungan.
Contoh:
1) KD: Dengan menggunakan konsep pemfaktoran siswa
dapat menentukan himpunan penyelesaian suatu persamaan
eksponen.
2) KD: Diberikan beberapa buah persamaan kurva dan
koordinat dua buah tiKD, siswa dapat menentukan kurva
yang melalui tiKD tersebut.
C.4.2 Analisis Hubungan
Dalam hal ini siswa dituntut untuk memiliki kemampuan
untuk mengecek ketepatan hubungan dan interaksi antara unsur-
unsur dalam soal, kemudian membuat keputusan sebagai
penyelesaiannya.
Contoh:

16
1) KD: Diberikan dua buah kesamaan yang memuat tiga
variabel, siswa dapat menentukan kesamaan lain yang
memuat ketiga variabel tersebut.
2) KD: Diberikan empat buah kesamaan dengan 4 variabel,
siswa dapat menentukan nilai dari sebuah variabelnya.
C.4.3 Analisis terhadap aturan
Hal ini dimaksudkan sebagai analisis tentang
pengorganisasian, sistemaKDa, dan struktur yang ada
hubungannya satu sama lain, baik secara eksplisit maupun
implisit. Misalnya kemampuan mengorganisasi kembali bentuk
dan aturan-aturan tertentu yang ada hubungannnya dengan
teknik yang digunakan dalam penyelesaian soal.
Contoh:
1) KD: Diberikan suatu formula untuk suatu bilangan
prima, siswa dapat menentukan salah satu unsur dari
formula tersebut.
C.5 Sintesis (Shyntesis)
Suatu kemampuan berpikir yang merupakan kebalikan dari
prosesanalisis adalah sintesis. Sintesis adalah suatu proses yang
memadukan bagian-bagian atau unsur-unsur secara logic sehingga
menjelma menjadi suatu pola struktur atau bentuk baru.
Soal-soal yang berkaitan dengan tahap ini adalah soal yang
menuntut kemampuan siswa untuk menyusun kembali elemen
masalah dan merumuskan suatu hubungan dalam penyelesaiannya.
KKO untuk tahap sintesis ini diantaranya: menentukan, mengaitkan,
menyusun, membukKDan, menemukan, mengelompokkan,
menyimpulkan. Ada dua bagian yang termasuk dalam tahap ini, yaitu:
C.5.1 Kemampuan untuk menemukan hubungan
Soal-soal yang berkenaan dengan tahap ini berupa
kemampuan siswa untuk menyusun kembali elemen-elemen
masalah dan merumuskan suatu hubungan dalam
penyelesaiannya.

17
Contoh:
1) KD: Siswa dapat menentukan letak suatu tempat dari
tempat tertentu dengan menggunakan perbandingan.
2) KD: Siswa dapat menentukan banyaknya garis hubung
yang dapat ditarik pada n tiKD berlainan pada sebuah
bidang.
C.5.2 Kemampuan untuk menyusun pembuktian
Suatu pembuktian haruslah disusun secara logik dan
sistemik berdasarkan teorema-teorema, konsep-konsep, atau
definisi-definisi yang telah dipahami. Biasanya pembuktian
disusun dari hal yang diketahui menuju kepada hal yang harus
dibukKDan, tetapi bisa pula dengan mengerjakan salah satu
ruasnya hingga sama dengan ruas yang lainnya.
Perlu diketahui bahwa pembuktian bukan berarti memberi
contoh, meskipun contoh itu sebanyak-banyaknya. Jadi
membukKDan tidak boleh melalui contoh, pembuktian
matemaKDa sifatnya harus berlaku umum (deduktif-formal)
setelah itu untuk memperjelas bisa diberikan contoh.
Contoh:
1) KD: Siswa dapat membukKDan bahwa dobel invers
tambah dari suatu bilangan sama dengan bilangan itu
sendiri.
2) KD: Diberikan suatu pembuktian, siswa dapat menyusun
langkah-langkah pembuktian yang benar.
C.6 Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi adalah jenjang kognitif yang tertinggi di antara
kemampuan kognitif siswa. Evaluasi merupakan kemampuan
seseorang untuk dapat memberikan pertimbangan terhadap suatu
situasi, ide, metode berdasarkan suatu patokan atau kriteria. Setelah
pertimbangan dilaksanakan dengan matang maka kesimpulan diambil
berupa suatu keputusan. KKO untuk mengukur tahap ini, diantaranya:

18
menilai, mempertimbangkan, membandingkan, memutuskan,
mengkriKD, merumuskan, menvalidasi, menentukan.
Bloom, B.S. (dalam Sukardi, 2008) membagi jenjang kognitif
ini menjadi dua bagian, yaitu:
C.6.1 Kemampuan untuk mengkriKD pembuktian
Hal ini berupa kemampuan siswa untuk memberi komentar,
mengupas, menambah, mengurangi, atau menyusun kembali
suatu pembuktian matemaKDa yang telah dipelajarinya.
Contoh:
1) KD: Siswa dapat menentukan langkah pembuktian yang
salah.
C.6.2 Kemampuan untuk merumuskan dan memvalidasi generalisasi
Tahap ini sejalan dengan tahap analisis, tetapi lebih
kompleks. Dalam tahap ini siswa dituntut untuk merumuskan
dan memvalidasi suatu hubungan. Dalam hal ini, ia bisa diminta
menemukan dan membukKDan pernyataan (statement)
matemaKDa atau menentukan suatu algoritma (formula) dan
membukKDannya.
Contoh:
1) KD: Siswa dapat menentukan langkah-langkah untuk
menentukan suatu bilangan prima.
2. Berdasarkan jenjang Afektif
Bloom (dalam Sukardi, 2008) menyatakan bahwa domain afektif
sama halnya dengan domain kognitif, tersusun dalam urutan hirarkis
sedemikain sehingga masing-masing kategori perilaku akan diasumsikan
merupakan hasil dari kategori perilaku di bawahnya. Akan tetapi, tidak
tampak bahwa domain afektif didasari oleh prinsip dari sederhana ke
kompleks atau prinsip dari konkrit ke abstak, seperti pada domain kognitif.
Analisis tujuan pembelajaran yang memuat domain afektif dilakukan
untuk menentukan karakterisKD sikap atau perilaku yang unik, yang
diharapkan timbul dari proses pembelajaran. Harapannya adalah untuk
menemukan faktor-faktor yang diperlukan agar domain afektif menjadi

19
kontinum. Melalui pengkombinasian dengan struktur domain afektif,
diharapkan struktur domain afektif mulai dengan prilaku sederhana,
konkrit dan tidak terlalu rumit dengan beberapa karakterisKD yang belum
teridentifikasi. Tingkat perilaku ini akan menjadi bangunan dasar dari
perilaku yang kompleks, abstrak dan rumit dengan jauh lebih banyak
karakter yang tidak teridentifikasi. Masalahnya adalah mendefinisikan
perilaku yang belum teridentifikasi dan menemukan prinsip yang
menyatakan bahwa bahwa perilaku tersebut kontinum.
Domain afektif adalah satu domain yang berkaitan dengan sikap,
nilai-nilai interes, apresiasi (penghargaan) dan penyesuaian perasaan
sosial. Tingkatan afektif ada lima, dari yang paling sederhana ke yang
kompleks adalah sebagai berikut :
A.1 Kemauan Menerima
Kemauan menerima merupakan keinginan untuk
memperhaKDan suatu gejala atau rancangan tertentu, seperti
keinginan membaca buku, mendengar musik atau bergaul dengan
mempunyai ras berbeda.
Contoh:
1) Siswa dapat menyatakan setuju terhadap pendapat temannya.
2) Siswa dapat mmengikuti ajakan temannya untuk belajar
bersama.
A.2 Kemauan Menanggapi
Kemauan menanggapi merupakan kegiatan yang menunjuk pada
partisipasi aktif dalam kegiatan tertentu, seperti menyelesaikan tugas
tersrtuktur, menaati peraturan, mengikuti diskusi kelas,
menyelesaikan tugas di laboratorium atau menolong orang lain.
Contoh:
1) Siswa bersedia menyelesaikan tugas terstruktur yang diberikan
gurunya.
2) Siswa sanggup menolong kesulitan yang dialami temannya
A.3 Berkeyakinan

20
Berkeyakinan dimaksud adalah berkenaan dengan kemauan
menerima sistem nilai tertentu pada diri individu. Seperti
menunjukkan kepercayaan terhadap sesuatu, apresiasi (penghargaan)
terhadap sesuatu, sikap ilmiah atau kesungguhan (komitmen) untuk
melakukan suatu kehidupan sosial.
Contoh:
1) Siswa memutuskan untuk mengikuti studi tour yang diadakan
oleh sekolah.
2) Siswa mengambil prakarsa untuk membersihkan kelas yang
kotor
A.4 Mengorganisasikan
Pengorganisasian berkenaan dengan penerimaan terhadap
berbagai sistem nilai yang berbeda-beda berdasarkan pada suatu
sistem nilai yang lebih tinggi. Seperti menyadari pentingnya
keselarasan antara hak dan tanggung jawab, bertanggung jawab
terhadap hal yang telah dilakukan, memahami dan menerima
kelebihan dan kekurangan diri sendiri atau menyadari peranan
perencanaan dalam memecahkan suatu permasalahan.
Contoh:
1) Siswa bersedia melengkapi kekurangan pada tugas yang
diberikan oleh guru.
2) Siswa sanggup menyesuaikan cara belajarnya dengan peraturan
yang ada di sekolah.
A.5 Tingkat KarakterisKD/Pembentukan Pola
Ini adalah tingkatan afektif yang tertinggi. Pada taraf ini
individu yang sudah memiliki sistem nilai selalu menyelaraskan
perilakunya sesuai dengan sistem nilai yang dipegangnya. Seperti
bersikap objektif terhadap segala hal.
Contoh:
1) Siswa bersikap sopan santun dalam pergaulan dengan gurunya.
2) Siswa mempersoalkan nilai yang diberikan oleh gurunya.
3. Berdasarkan Jenjang Psikomotor

21
Domain Psikomotor adalah kemampuan yang berkaitan dengan
pergerakan syaraf otot. Simson (dalam Sukardi, 2008) menyebutkan
bahwa domain psikomotor meliputi enam domain mulai dari tingkat yang
paling rendah, yaitu persepsi sampai pada tingkat keterampilan tertinggi,
yaitu penyesuaian dan keaslian, meskipun demikian Simson masih
mempertanyakan satu tingkat terakhir yaitu penyesuaian dan keaslian.
Oleh karena itu Simson belum memasukkan secara sistemaKD dalam
klasifikasinya. Secara lengkap domain psikomotor:
P.1 Persepsi
Persepsi berkenaan dengan penggunaan indra dalam melakukan
kegiatan. Seperti mengenal kerusakan mesin dari suaranya yang
sumbang, atau menghubungkan suara musik dengan tarian tertentu.
Dimensi dari persepsi adalah:
1. Sensori stimulasi, adalah sensori yang berkaitan dengan sebuah
stimuli yang berkaitan dengan organ tubuh, yaitu :
a. Auditori (mendengar)
b. Visual (penglihatan)
c. Taktile (“ancang-ancang” untuk bertindak)
d. Taste (rasa)
e. Smell (bau)
f. KinesteKD (bergerak, bekerja dan menyentuh)
2. Seleksi isyarat : Menetapkan terhadap isyarat mana orang harus
merespon untuk melakukan tugas tertentu daru suatu kinerja.
Pemilihan isyarat meliputi indentifikasi isyarat dan
mengasosiasikannya dengan tugas yang akan dilakukan. Selain
itu pemilihan isyarat juga mencakup pengelompokan isyarat-
isyarat dalam bentuk pengalaman dan pengetahuan masa lalu.
Isyarat yang relevan dengan situasi dipilih sebagai panduan
untuk melakukan gerakan, sedangkan usyarat yang tidak relevan
diabaikan atau dihilangkan.
3. Translasi : berhubungan dengan persepsi terhadap aksi dalam
membentuk gerakan. Ini merupakan proses mental dalam

22
menentukan arti dari isyarat yang diterima untuk aksi. Translasi
meliputi translasi simbolik yaitu memiliki image atau menjadi
teringat terhadap sesuatu, memiliki ide sebagai hasil dari isyarat
yang diterima. Translasi juga mencakup insight yang amat
esensial dalam pemecahan masalah dengan mencari faktor-
faktor esensial yang berhubungan dengan penyelesaian.
Translasi sensori merupakan satu aspek dari level ini. Translasi
sensori meliputi umpan balik, yaitu pengetahuan tentang efek
dai suatu proses. Translasi merupakan bagian kontinu dari
gerakan yang sedang dilakukan.
Contoh:
1) Siswa dapat membedakan bangun datar (persegi, persegi
panjang segitiga, trapesium, dll).
2) Siswa dapat menunjukkan obeng pipih dengan tepat setelah
melihat demonstrasi guru praktek.
3) Siswa dapat memilih baju yang pantas untuk dirinya
P.2 Kesiapan
Kesiapan perilakupersiapan atau kesiapan untuk kegiatan atau
pengalaman tertentu. Termasuk di dalamnya mental set (kesiapan
mental), physical set (kesiapan fisik) atau emotional set (kesiapan
emosi perasaan) untuk melakukan suatu tindakan.
P.3 Gerakan Terbimbing
Gerakan terbimbing adalah gerakan yang berada pada tingkat
mengikuti suatu model dan ia lakukan dengan cara meniru model
tersebut dengan cara mencoba sampai dapat meguasai benar gerakan
itu
Contoh:
1) Siswa dapat mempraktekan alat peraga blok aljabar dengan tepat
setelah melihat buku panduan.
P.4 Gerakan Terbiasa
Gerakan terbiasa adalah berkenaan dengan penampilan respon
yang sudah dipelajari dan sudah menjadi kebiasaan, sehingga

23
gerakan yang ditampilkan menunjukkan suatu kemahiran. Seperti
menulis halus, menari atau mengatur/menata laboratorium.
Contoh:
1) Siswa dapat menyusun alat peraga pentomino dengan tepat.
P.5 Gerakan yang Kompleks
Gerakan yang kompleks adalah suatu gerakan yang ada pada
tingkat keterampilan tinggi. Ia dapat menampilkan suatu tindakan
motorik yang menuntut pola tertentu dengan tingkat kecermatan dan
atau keluwesan serta efisiensi yang tinggi.
Contoh:
1) Siswa dengan lancer dapat menggunakan alat peraga papan
logika.
P.6 Penyesuaian dan keaslian
Pada tingkat ini individu sudah berada pada tingkat yang
terampil sehingga ia sudah dapat menyesuaikan tindakannya untuk
situasi-situasi yang menuntut persyaratan tertentu. Individu sudah
dapat mengembangkan tindakan/keterampilan baru untuk
memecahkan masalah-masalah tertentu.
Contoh:
1) Siswa dapat mengubah akar-akar dari suatu persamaan kuadrat
menjadi sebuah persaman kuadrat.
Berikut ini adalah daftar kata kerja operasional yang digunakan dalam
merumuskan indikator pembelajaran baik menyangkut aspek kognitif, afektif
maupun psikomotor.
Aspek Kognitif
No Kompetensi Indikator Kompetensi
1 Knowledge Menyebutkan, menuliskan, menyatakan,
(pengetahuan) mengurutkkan mengidentifikasi,
mendefinisikan, mencocokkan, memberi
nama,memberi label, melukiskan, dll
2 Comprehension Menerjemahkan, mengubah,
(pemahaman) menggeneralisasikan, menguraikan,

24
menuliskan kembali, merangkum,
membedakan, mempertahankan,
menyimpulkan, mengemukakan pendapat,
menjelaskan, dll
3 Application Mengoperasikan, menghasilkan, mengubah,
(penerapan) mengatasi, menggunakan, menunjukkan,
mempersiapkan, menghitung, dll
4 Analysis (analisis) Menguraikan, membagi-bagi, memilih,
membedakan, dll
5 Synthesis (sintesis) Merancang, merumuskan, mengorganisasikan,
menerapkan, memadukan, merencanakan, dll
6 Evaluation Mengkritisi, menafsirkan, mengadili, memberi
(evaluasi) evaluasi, dll
Aspek Afektif
No Kompetensi Indikator Kompetensi
1 Receiving Mempercayai, memilih, mengikuti, bertanya,
(penerimaan) mengalokasikan, dll
2 Participated Mempertahankan, memperdebatkan,
(partisipasi) melaporkan, berlatih, menampilkan,
mendiskusikan, menyelesaikan, dll
3 Valuing (menilai) Menginisiasi, mengundang, melibatkan,
mengusulkan, melakukan, dll
4 Organization Memverifikasi, menyusun, menyatakan,
(pengorganisasian) menghubungkan, mempengaruhi, dll
5 Characteristic Menggunakan nilai-nilai sebagai pandangan
(karakterisasi) hidup, mempertahankan nilai-nilai yang sudah
diyakini, dll
Aspek Psikomotor
No Kompetensi Indikator Kompetensi
1 Persepsi Memilih, membedakan, mempersiapkan,
menunjukkan, menghubungkan, dll
2 Kesiapan Mengawali, bereaksi, mempersiapkan,

25
menanggapi, dll
3 Gerakan Mempraktekkan, memainkan, mengikuti,
terbimbing mengerjakan, membuat, dll
4 Gerakan terbiasa Membangun, memasang, membongkar,
mengerjakan, menyusun, mengatur, dll
5 Gerakan yang Mengoperasikan, membangun, membongkar,
komplek menyusun, menggunakan, mengatur, dll
6 Penyesuaian dan Mengubah, mengadaptasi, mengatur kembali,
keaslian membuat variasi
2.5 Penyusunan Tes Hasil dan Proses Belajar
Tes hasil belajar adalah salah satu alat ukur yang digunakan untuk
mengetahui hasil belajar seseorang dalam proses pembelajaran dan kemajuan
belajar peserta didik (Daryanto, 2005). Tes yang digunakan untuk
mengevaluasi hasil belajar dikategorikan baik jika materi yang terkandung
dalam butir-butir tes tersebut dapat mewakili seluruh materi yang telah
dipelajari siswa. Jika materi tes yang disajikan hanya memuat sebagian kecil
dari materi yang telah dipelajari siswa, atau sebaliknya memuat materi yang
belum dipelajari, maka tes tergolong kurang baik. Ada beberapa prinsip dasar
yang perlu dicermati di dalam menyusun tes hasil belajar. Adapun prinsip
dasar tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tes hasil belajar harus dapat mengukur secara jelas hasil belajar (learning
outcomes) yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan instruksional.
2. Butir-butir soal tes hasil belajar harus merupakan sampel yang
representatif dari populasi bahan pelajaran yang telah diajarkan, sehingga
dapat dianggap mewakili seluruh materi yang telah diperoleh selama
peserta didik mengikuti suatu unit pengajaran.
3. Bentuk soal yang dikeluarkan dalam tes hasil belajar harus dibuat
bervariasi, sehingga betul-betul cocok untuk mengukur hasil belajar yang
diinginkan sesuai dengan tujuan tes itu sendiri.
4. Tes hasil belajar harus memiliki reliabilitas yang dapat diandalkan.
5. Tes hasil belajar disamping harus dapat dijadikan alat pengukur
keberhasilan belajar siswa, juga harus dapat dijadikan alat untuk mencari

26
informasi yang berguna untuk memperbaiki cara belajar siswa dan cara
mengajar guru itu sendiri.
Jika tes yang diberikan tergolong kurang baik, akan terdapat dua
kondisi mungkin terjadi. Pada kondisi pertama akan muncul unsur spekulatif.
Artinya, jika siswa kebetulan mempelajari atau mendalami materi yang sesuai
dengan materi soal yang disajikan, maka siswa akan mendapat hasil yang
baik. Padahal ia tidak menguasai bagian materi yang lainnya. Sebaliknya, jika
siswa secara tidak kebetulan mempelajari suatu materi dan tidak tersaji dalam
soal tes, maka siswa akan mendapat hasil yang jelek. Pada kondisi kedua,
kemungkinan besar hasil evaluasi akan jelek sebab siswa belum
mempelajarinya apalagi memahaminya.
Untuk menghindari kedua hal tersebut, dalam penyusunan tes harus
dilakukan analisis rasional. Artinya, dengan melaksanakan analisis
berdasarkan pikiran logik tentang materi-materi yang akan diteskan, tujuan
instruksional, tipe dan bentuk tes, dan jenjang kognitif yang akan dicapai.
Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam penyusunan tes
hasil dan proses belajar sebagai berikut.
a. Menentukan persiapan dan tujuan mengadakan tes.
b. Pemilihan materi dan pembatasan terhadap bahan yang akan diteskan.
c. Menentukan bentuk dan jenis tes.
d. Merumuskan tujuan instruksional khusus dari tiap bagian bahan.
e. Menentukan jumlah butir tes dan menuliskan butir-butir soal,
didasarkan atas KD-KD yang sudah dituliskan pada tabel KD dan aspek
tingkah laku yang dicakup.
f. Menentukan skor.
g. Membuat kisi-kisi.
h. Menyusun tes berdasarkan kisi-kisi
1. Kisi-kisi Soal
Analisis rasional dituangkan dalam bentuk “blue print” atau “lay out”
atau “kisi- kisi” yang berisi pokok- pokok uji yang akan disajikan dalam
tes. Kisi- kisi adalah suatu acuan berbentuk kerangka mengenai alokasi
bahan, tipe bentuk tes, aspek intelektual, taraf kesukaran, jumlah soal dan

27
persentasenya. Tujuan penyusunan kisi-kisi adalah menentukan ruang
lingkup dan sebagai petunjuk dalam menulis soal.
Kisi-kisi yang baik harus memenuhi persyaratan berikut ini (Depdiknas,
2008).
1) Kisi-kisi harus dapat mewakili isi silabus/kurikulum atau materi yang
telah diajarkan secara tepat dan proposional .
2) Komponen-komponennya diuraikan jelas dan mudah dipahami
3) Materi yang hendak ditanyakan dapat dibuatkan soalnya.
Adapun fungsi dari pembuatan kisi-kisi pada saat penyusunan hasil
dan proses belajar antara lain:
1) Sebagai pedoman penulisan soal dan perakitan tes.
2) Sebagai pedoman perakitan soal.
Komponen kisi-kisi dibedakan menjadi dua bagian, yaitu komponen
identitas dan komponen kerangka. Komponen identitas terdiri dari jenis
sekolah, bidang studi, tahun ajaran, kurikulum, alokasi waktu, jumlah
soal, dan bentuk soal. Komponen matriks terediri dari tujuan
pembelajaran, kompetensi, uraian materi, jumlah soal untuk masing-
masing sub, indikator dan no urut soal.

28
FORMAT KISI-KISI PENULISAN SOAL
Jenis sekolah:………………… Jumlah soal :…………
Mata pelajaran:………………. Bentuk soal/tes :..........
Kurikulum : ……………… Penyusun:1. …………
Alokasi waktu:…………… 2. …………..
Tujuan Kls
Standar Kompetensi Materi Indikator Nomor
No. Pembelajaran /
Kompetensi Dasar Pokok soal soal
smt

Keterangan:
Isi pada kolom 2, 3. 4, 5, dan 6 adalah harus sesuai dengan pernyataan
yang ada di dalam silabus/kurikulum. Penulis kisi-kisi tidak diperkenankan
mengarang sendiri, kecuali pada kolom 7.

29
2.6 Perumusan Indikator Soal
Indikator dalam kisi-kisi merupakan pedoman dalam merumuskan soal
yang dikehendaki. Kegiatan perumusan indikator soal merupakan bagian dari
kegiatan penyusunan kisi-kisi. Untuk merumuskan indikator dengan tepat,
guru harus memperhaKDan materi yang akan diujikan, indikator
pembelajaran, kompetensi dasar, dan standar kompetensi. Indikator yang
baik dirumuskan secara singkat dan jelas. Syarat indikator yang baik:
1. Menggunakan kata kerja operasional (perilaku khusus) yang tepat,
2. Menggunakan satu kata kerja operasional untuk soal objektif, dan satu atau
lebih kata kerja operasional untuk soal uraian/tes perbuatan,
3. Dapat dibuatkan soal atau pengecohnya (untuk soal pilihan ganda).
Penulisan indikator yang lengkap mencakup A = audience (peserta didik) ,
B = behaviour (perilaku yang harus ditampilkan), C = condition (kondisi
yang diberikan), dan D = degree (tingkatan yang diharapkan). Ada dua model
penulisan indikator. Model pertama adalah menempatkan kondisinya di awal
kalimat. Model pertama ini digunakan untuk soal yang disertai dengan dasar
pernyataan (stimulus), misalnya berupa sebuah kalimat, paragraf, gambar,
denah, grafik, kasus, atau lainnya, sedangkan model yang kedua adalah
menempatkan peserta didik dan perilaku yang harus ditampilkan di awal
kalimat. Model yang kedua ini digunakan untuk soal yang tidak disertai
dengan dasar pertanyaan (stimulus).
2.7 Langkah-langkah Penyusunan Butir Soal
Agar soal yang disiapkan oleh setiap guru menghasilkan bahan ulangan/ujian
yang sahih dan handal, maka harus dilakukan langkah-langkah berikut, yaitu:
(1) menentukan tujuan tes, (2) menentukan kompetensi yang akan diujikan,
(3) menentukan materi yang diujikan, (4) menetapkan penyebaran butir soal
berdasarkan kompetensi, materi, dan bentuk penilaiannya (tes tertulis: bentuk
pilihan ganda, uraian; dan tes prakKD), (5) menyusun kisi-kisinya, (6)
menulis butir soal, (7) memvalidasi butir soal atau menelaah secara kualitatif,
(8) merakit soal menjadi perangkat tes, (9) menyusun pedoman penskorannya
(10) uji coba butir soal, (11) analisis butir soal secara kuantitatif dari data
empirik hasil uji coba, dan (12) perbaikan soal berdasarkan hasil analisis.

30
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Ciri tes hasil dan proses belajar yang baik adalah bahwa tes hasil belajar
tersebut bersifat valid atau memiliki validitas, reliabel, obyektif, praktis, dan
ekonomis.
Sebelum menyusun tes hasil dan proses belajar terdapat prinsip-prinsip dasar
yang harus diketahui. Selain prinsip, terdapat fungsi tes hasil dan proses belajar
seperti fungsi untuk kelas, untuk bimbingan, dan untuk administrasi. Hal lain yang
perlu diingat adalah hubungan tes dengan penggunaannya, komprehensif, dan
kontinuitas. Langkah-langkah penyusunan tes maupun non-tes hasil dan proses
belajar yaitu menetapkan tujuan tes, analisis kurikulum, analisis buku pelajaran
dan sumber dari materi belajar lainnya, membuat kisi-kisi tes, membuat penulisan
tujuan instruksional, penulisan soal, uji coba tes, analisis hasil tes uji-coba, revisi
soal, dan merakit soal menjadi tes.

3.2 Saran
3.2.1 Bagi Mahasiswa
Sebagai calon pendidik harus memahami bagaimana ciri-ciri tes hasil belajar
yang baik serta cara penyusunan tes hasil belajar dan proses belajar yang baik
hingga tujuan pembelajaran tercapai.
3.2.2 Bagi Masyarakat Umum
Dengan adanya makalah ini,diharapkan masyarakat umum sebagai wadah
pendidikan non formal ikut mengawasi perkembangan proses pembelajaran di
sekolah.

31
HASIL DISKUSI

Hasil Diskusi:
1. Penanya: I Made Widiatmika (1413011114)
Pertanyaan: Apa fungsi nilai terhadap kemajuan siswa? Bagaimana jika
nilai itu hanya formalitas saja dan tidak memajukan siswa?
Jawaban: Pada dasarnya nilai digunakan untuk mengukur kemajuan
belajar siswa. jika nilai hanya formalitas saja maka nilai tersebut tidak bisa
digunakan untuk mengkur kemajuan belajar siswa. Maka sebagai pendidik
kita harus menyusun dan melaksanakan hasil tes dengan baik agar tes yang
kita buat sesuai dangan tujuan dan kegunaanya.
2. Penanya: Ni Putu Intan Cahyani (1413011041)
Pertanyaan: Misalnya sebelum Ujian Nasional diadakan Try Out dan soal
try out tersebut tidak reliable, bagaimana dengan tes tersebut?
Jawaban: jika tes tersebut tidak reliable maka tes tersebut tidak valid.
Maka tes dalam try out tersebut tidak bisa digunakan karean belum
memenuhi syarat tes yang baik, jika tes tersebut kurang baik maka kurang
bisa mengukur apa yang akan kita ukur. Biasanya setelah tes diujikan
ternyata tidak valid, jika ingin mengubahnya terus mengujikan kembali itu
membutuhkan waktu yang lama, jadi para ahli menggunakan aplikasi
seperti SPSS untuk menguji apakah soal tersebut sudah valid atau belum.
3. Penanya: Kadek Dwi Damayanti (1413011058)
Pertanyaan: Apakah prinsip dasar penyusunan tes hasil belajar pada
halaman 8 dan 24 berbeda atau sama?
Jawaban: Sama, pada halaman 8 terdapat 4 point dan point kempat itu
pada halaman 24 dibagi menjadi 2 point jdi pada halaman 24 ada 5 point.
4. Penanya: Mia Agustina Devy (1313011123)
Pertayaan: Pada jenjang afektif terdapat tingkat karakteristik, contohnya
siswa mempersoalkan nilai yang diberikan oleh gurunya. Bagaimana
terkait hal tersebut?
Jawaban: tingkat karakteristik merupakan jenjang afektif yang tertinggi.
Pada taraf ini individu yang sudah memiliki sitem nilai selalu

32
menyelaraskan prilakunya sesuai dengan sistem nilai yang dipegangnya.
Jadi saat seseorang sudah memiliki tingkat karakteristik berarti sudah
memiliki kemauan menerima, kemauan menanggapi, berkeyakinan,
mengorganisasikan. Jadi disini siswa mampu menanggapi apa yang telah
dia dapatkan, sesuai dengan norma agama, norma kesopanan, dan norma
kesusilaan untuk menanggapi hal tersebut. Jadi siswa sudah tahu mana
yang baik dan mana yang benar sesuai norma yang dia tetapkan.
5. Penanya: Ni Made Eni Susanti (1513011062)
Pertanyaan: Pada tahap uji coba soal siswa tidak bisa menjawab soal
tersebut. Apakah soal tersebut dikatakan tidak valid?
Jawaban: Saat kita menguji cobakan soal akan dibuat lebih dari satu soal
yang mengandung indikator yang sama. Sehingga jika seandainya satu
soal tidak valid maka masih ada soal lainnya yang bisa kita gunakan untuk
memnuhi indikator tersebut.
6. Penanya: Ni Putu Devita Prawita (1513011066)
Pertanyaan: Misalkan guru tidak bisa mengajar maka indikator tidak
tercapai. Bagaimana cara membuat tes sumatifnya?
Jawaban: Saat guru tidak hadir, maka guru seharusnya memberikan tugas
kepada siswa, atau memberi guru lain untuk mengganti mengajarnya, agar
semua materi dapat tersampaikan. Saat pertemuan selanjutnya bisa dibahas
mengenai tugas yang diberkan. Sehingga semua materi dapat
tersampaikan.

33
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Yogyakarta: Bumi


Aksara
Fatih Arifah, Yustisianisa. 2012. Evaluasi Pembelajaran. Jakarta: Mentari
Pustaka
Harijanto. 2005. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Majid, Abdul. 2009. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sudijono, Anas. 2009. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Sukardi. 2012. Evaluasi Pendidikan. Yogyakarta: Bumi Aksara

34

Anda mungkin juga menyukai