Anda di halaman 1dari 4

Pelanggaran Kode Etik Psikolog Harez Posma, seorang psikolog (konsultan) yang berkedudukan di fakultas

psikologi tidak seharusnya melakukan pelanggaran berupa manipulasi data psikologi dan melakukan
pencemaran nama baik. Harez Posma melanggar Pasal 31, mengenai peryataan melalui media, dia
tidak seharusnya mengumumkan sesuatu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan ke publik yaitu
sejumlah individu (lebih dari satu orang) mengalami gangguan jiwa akibatikut dekon-kompatiologi
Vincent Liong. Secara teran g- terangan Harez Posma mengakuinya dan mempublikasikan di salah satu
mailing list, tanpa rasa bersalah. Pada akhirnya terjadi perdebatan saling menjelekkan antara Harez
Posma dan Vincent Liong.

Pasal 11(1/2), menerangkan mengenai masalah dan konflik personal tidak seharusnya merugikan pihak
lain, psikolog harus menahan diri, bila hal tersebut terjadi segera melakukan konsultasi professional.
Selain itu juga melanggar Pasal 2, Prinsip B/3, mengenai tipuan atau distorsi fakta yang direncanakan
dengan sengaja memberikan fakta-fakta yang tidak benar yang seharusnya tidak dilakukan psikolog.
Pasal 2 Prinsip C/3, mengenai menjunjung tinggi kode etik, peran dan kewajiban professional, mengambil
tanggung jawab secara tepat atas tindakan mereka,berupaya untuk mengelola berbagai konflik
kepentingan yang dapat mengarah pada eksploitasi dan dampak buruk. Dalam memberikan pernyataan
dan keterangan atau penjelasan ilmiah kepada masyarakat umum melalui berbagai jalur baik lisan
maupun tertulis, Ilmuan Psikologi dan psikolog harus bersikap bijaksana, jujur, teliti, hati-hati, lebih
mendasarkan kepada kepentingan umum dari pada kepada kepentingan pribadi atau golongan. Psikolog
seharusnya memperhatikan kewenangan sesuai ketentuan yang berlaku untuk menghindari kekeliruan
penafsiran sertamenyesatkan masyarakat pengguna jasa psikolog. Pernyataan dapat
dikategorikan sebagai penipuan berkenaan dengan jasa/praktek psikologi, kegiatan professional, atau
ilmiah. Apabila psikolog mengetahui bahwa pernyataanya termasuk penipuan atau pemalsuan terhadap
karya mereka atau orang lain, psikolog harus membetulkan pernyataan tersebut.Harez Posma tidak
seharusnya mengumumkan sesuatu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan ke publik yaitu sejumlah
individu (lebih dari satu orang) mengalami gangguan jiwa akibat ikut dekon-kompatiologi Vincent Liong.

Pasal 2 prinsip E/2,3, mengenai meminimalkan serta menghindari akibat atau dampak buruk apabila
terjadi konflik,karena keputusan dan tindakan-tindakan ilmiah dari psikolog dan atau ilmuan psikologi
dapat mempengaruhi kehidupan pihak lain.Dalam hal ini seharusnya psikolog menghargai, menghormati
kompetensi dan kewenangan rekan dari profesi lain (Pasal 19). Kasus ini terutama melanggar Pasal 4/3c,
karena dengan memanipulasi data berarti telah bertindak tidak jujur dan tidak objektif serta
mengesampingkan norma-norma keahlian. Dalam melaksanakan kegiatannya, Ilmuan Psikologi
dan Psikolog mengutamakan kompetensi, obyektivitas, kejujuran, menjunjung tinggi integritas dan
norma-norma keahlian serta menyadari konsekuensi tindakannya pendirian Praktik.

Contoh kasus 2

Psikologi tidak tecatat di HIMPSI (tanpa izin) dan melanggar ketentuan kode etik

setelah menempuh pendidikan strata 1 dan 2 dalam bidang psikologi, seorang psikolog X kemudian
membuka praktik psikologi dengan memasang plang di depan rumahnya. Dalam 1 tahun, Ia telah
melakukan beberapa praktik antara lain mendiagnosis, memberikan konseling dan psikoterapi terhadap
kliennya. Namun ketika memberikan hasil diagnosis, ia justru menggunakan istilah-istilah psikologi yang
tidak mudah dimengerti oleh kliennya, sehingga sering terjadi miss communication terhadap beberapa
klien tersebut. Hal lain sering pula terjadi saat ia memberikan prognosis kepada klien, seperti
menganalisis gangguan syaraf yang seharusnya ditangani oleh seorang dokter. Ia juga sering
menceritakan masalah yang dialami klien sebelumnya kepada klien barunya dengan menyebutkan
namanya saat memberikan konseling. Psikolog X tersebut terkadang juga menolak dalam memberikan
jasa dengan alasan honor yang diterima lebih kecil dari biasanya.

Suatu saat, perusahaan Y membutuhkan karyawan baru untuk di tempatkan pada staf-staf tertentu
dalam perusahaan. Pimpinan perusahaan Y kemudian memakai jasa Psikolog X untuk memberikan
psikotes pada calon karyawan yang berkompeten dalam bidangnya. Namun, ketika memberikan psikotes
tersebut, Psikolog X itu bertemu dengan si Z saudaranya dan Z meminta agar Psikolog X memberikan
hasil psikotes yang baik supaya ia dapat diterima dalam perusahaan tersebut. Karena merasa tidak enak
dengan saudaranya itu, Akhirnya psikolog X itu memberikan hasil psikotes yang memenuhi standart
seleksi penerimaan calon karyawan, hingga Z tersebut kemudian diterima dalam perusahaan Y dengan
menduduki kedudukan sebagai staff tertinggi.

Seiring berjalannya waktu, perusahaan Y justru sering kecewa terhadap cara kerja Z karena dianggap
tidak berkompeten dalam bidangnya. hingga akhirnya Pimpinan perusahaan Y menyelidiki cara
pemberian jasa Psikolog X, namun alangkah terkejutnya pimpinan tersebut ketika mengetahui bahwa
Pendirian Praktik Psikolog X belum tercatat pada HIMPSI dan Psikolog X tersebut sama sekali belum
pernah menjadi anggota HIMPSI.

Menurut kelompok kami, dalam rekam kasus diatas psikolog X dapat dikatakan sebagai malpraktek
Psikologi karena psikolog X melanggar kode etik pasal 4 ayat (3) mengenai penyalahgunaan di bidang
psikologi, dimana pada pasal tersebut dikatakan bahwa “ pelanggaran kode etik psikologi adalah segala
tindakan psikolog dan/atau ilmuwan psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang dirumuskan dalam
kode etik psikologi Indonesia. Termasuk dalam hal ini adalah pelanggaran oleh psikolog terhadap
janji/sumpah profesi, praktik psikologi yang dilakukan oleh mereka yang bukan psikolog, atau psikolog
yang tidak memiliki ijin praktek, serta layanan psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku
dalam kode etik Indonesia…….”. Namun bila kami telaah lebih dalam lagi maka ada beberapa
pelanggaran yang dapat dikenakan pasal lebih mendetail, yaitu sebagai berikut :

Psikolog X berhasil menyelesaikan strata 1 hingga 2 dan telah memiliki tempat praktek psikologi namun
ijinya tidak tercantum di HIMPSI, hal ini dapat dikatakan melanggar kode etik seperti halnya tercantum
dalam BAB 1 Pedoman Umum pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa “…….., DIWAJIBKAN MEMILIKI
IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI”.

Dalam kasus diatas rupanya psikolog X juga menangani hal-hal diluar kompetensinya (menangani
gangguan syaraf yang biasanya di tangani oleh dokter), bila kondisinya hanya sebagai partner kerja dari
dokter maka bukan masalah, namun apabila ini tidak ada kaitannya sebagai bahan pertimbangan dokter,
maka hal ini juga dapat dikatakan sebagai pelanggaran kode etik karena sesuai dengan BAB III pasal 7
ayat (1) yaitu mengenai “ilmuwan psikologi memberikan layanan dalam bentuk mengajar, melakukan
penelitian dan/atau intervensi social dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan pendidikan,
pelatihan atau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu yang dipertanggungjawabkan”.

Kesalahan fatal yang dilakukan oleh seorang psikolog adalah bila salah melakukan diagnosis, hal ini
karena klien yang terlanjur percaya dengan psikolog akan menganggap benar seluruh hal yang
disampaikan oleh psikolog dan berpendapat seluruh anjuran yang disampaikan psikolog adalah
pemecahan yang terbaik. Seperti halnya contoh kasus diatas yang menceritakan bahwa psikolog X sering
melakukan kesalahan saat prognosis, dan sering terjadi miss communication karena ternyata psikolog X
menggunakan bahasa dan istilah awam yang kurang dapat dipahami oleh masyarakat luas sehingga ini
menyalahi kode etik pada BAB I pasal 2 prinsip C (1) yang menyatakan bahwa “ Psikolog dan/atau
ilmuwan psikolog harus memiliki kompetensi dalam melaksanakan segala bentuk layanan psikologi,
penelitian, pengajaran, pelatihan, layanan psikologi dengan menekankan pada tanggung jawab,
kejujuran, batasan kompetensi, obyektif dan integritas.

Dalam kasus diatas, dikatakan bahwa Psikolog X juga sering menceritakan kasus ataupun problem klien
sebelumnya dengan disertai nama klien itu, hal ini tentu akan manjadi sebuah pelanggaran bila
penyebutan itu tanpa seijin dari klien yang dijadikan obyek pembicaraan. Sehingga seperti yang
disebutkan pada BAB V kerahasiaan rekam dan hasil pemeriksaan psikologi pasal 25 mendiskusikan
batasan kerahasiaan data kepada pengguna layanan psikologi ayat (2) lingkup orang pada bagian
(b) dikatakan “ keterangan atau data yang diperoleh dapat diberitahukan kepada orang lain atas
persetujuan pemakai layanan psikologi atau penasehat hukumnya”. Pada kasus diatas, juga disajikan info
bahwa psikolog X memberikan hasil psikotes yang baik kepada Z yang tidak lain adalah familinya agar
diterima diperusahaan Z yang sedang memakai jasa pelayanan psikologinya. Jelas-jelas ini melanggar
kode etik psikologi, seperti yang tercantum dalam BAB IV pasal 13 mengenai sikap professional pada ayat
(1) yang berbunyi “ psikolog dan/atau ilmuwan psikologi dalam memberikan layanan psikologi, baik yang
bersifat perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi/institusi, harus sesuai dengan keahlian dan
kewenangannya serta kewajiban untuk : a). mengutamakan dasar-dasar professional, b). memberikan
layanan pada semua pihak yang membutuhkannya, c). melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat
yang merugikan sebagai dampak layanan psikologi yang diterimanya, d). mengutamakan ketidak
berpihakan dalam kepentingan pemakai layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dalam
pemberian pelayanan tersebut, d). dalam hal pemakai layanan psikologi menghadapi kemungkinan akan
terkena dampak negative yang tidak dapat dihindari akibat pemberian layanan psikologi yang dilakukan
oleh psikolog dan/atau ilmuwan psikologi maka pemakai layanan psikologi tersebut harus diberi tahu”.

Dengan pasal-pasal yang dilanggar oleh psikolog X seperti yang telah dijabarkan diatas maka psikolog X
dapat ditindak sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya oleh Majelis HIMPSI yang berwenang,
karena perbuatannya secara pasti dan meyakinkan telah melanggar ketentuan Kode Etik Psikologi
Indonesia.

Kasus 3

Kejadian Nyata Kasus Pelanggaran Kode Etik Psikologi Dalam Dunia Pendidikan
Pertengahan bulan Februari tahun ini, salah satu organisasi daerah yang ada di Kota Yogyakarta, berasal
salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan mengadakan Safari Pendidikan sebagai program yang bertujuan
untuk memperkenalkan pendidikan di kota budaya ini termasuk PTN/PTS, saya juga mengikuti program
ini. Sasaran dari kegiatan tersebut adalah mengunjungi SMA/SMK secara langsung di kabupaten
tersebut.

Memasuki hari pertama, kami mengunjungi beberapa sekolah termasuk tempat dimana saya selesai
SMA. Sebagai alumni, beberapa guru dan staf Bimbingan & Konseling masih aku kenal. Hal yang ganjil
aku temukan ketika pada saat itu juga diadakan test psikologi, ketika bercerita dengan beberapa staff BK,
yang memberi instruksi, intervensi dan supervisi adalah guru yang memiliki pendidikan strata satu dalam
pendidikan bergelar S.Pd. lembaga yang mengadakan tes tersebut merupakan Biro Psikologi yang
berkedudukan di ibu kota provinsi. Dalam hal ini, biro tersebut telah mengadakan kerja sama dalam
bentuk pelaksanaan psikotes dengan sekolah. Biro ini hanya mengirimkan alat tesnya kemudian hasilnya
akan dikirim ulang. Bentuk intervensi dan supervisi selanjutnya di serahkan kepada sekolah dalam hal ini
kepada staf guru BK. Adapun tes yang diberikan bertujuan untuk melihat kemampuan minat dan bakat
penjurusan kelas III (IPA, IPS dan Bahasa).

Dari kasus di atas dikaitkan dengan kode etik psikologi pada Bab III tentang kompetensi pasal 10 yang
mengatur tentang pendelegasian pekerjaan pada orang lain mengindikasikan adanya pelanggaran kode
etik yang dilakukan oleh Psikolog dalam hal ini berbentuk layanan Biro Psikologi.

Pada pasal tersebut disebutkan bahwa Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang mendelegasikan
pekerjaan pada asisten, mahasiswa, mahasiswa yang disupervisi, asisten penelitian, asisten pengajaran,
atau kepada jasa orang lain seperti penterjemah; perlu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk:

a) Menghindari pendelegasian kerja tersebut kepada orang yang memiliki hubungan ganda

dengan yang diberikan layanan psikologi, yang mungkin akan mengarah pada eksploitasi atau hilangnya
objektivitas.

b) Memberikan wewenang hanya untuk tanggung jawab di mana orang yang diberikan

pendelegasian dapat diharapkan melakukan secara kompeten atas dasar pendidikan,

pelatihan atau pengalaman, baik secara independen, atau dengan pemberian supervisi

hingga level tertentu; dan

c) Memastikan bahwa orang tersebut melaksanakan layanan psikologi secara kompeten.

Anda mungkin juga menyukai