Jurnal Reading Psikiatri
Jurnal Reading Psikiatri
Gangguan Cemas
Andreas Strohle
© Springer-Verlag 2008
Abstrak
Aktifitas fisik dan olah raga dipercaya khalayak umum dapat memberikan dampak
positif pada perasaan ataupun kecemasan, dan banyak penelitian yang menunjukan
keterkaitan antara aktifitas fisik dengan kesehatan secara menyeluruh, perasaan dan
kecemasan. Sejalan dengan hal diatas penelitian dengan intervensi menunjukan adanya
dampak anxiolitik dan anti depresif saat melakukan aktivitas fisik pada pasien yang tidak
memiliki masalah kesehatan. Namun, kebanyakan penelitian yang telah diterbitkan memiliki
kekurangan yang substansial dalam hal metodologi yang digunakan. Tujuan artikel ini adalah
meninjau secara kritis penelitian yang saat ini. Tujuan dari makalah ini adalah untuk secara
kritis meninjau literatur yang tersedia saat ini sehubungan dengan (1) asosiasi aktivitas fisik,
latihan dengan prevalensi dan insiden depresi dengan gangguan kecemasan dan (2) potensi
terapeutik kegiatan pelatihan olahraga pada pasien dengan gangguan depresi atau kecemasan.
Meskipun hubungan aktivitas fisik dan prevalensi gangguan mental, termasuk depresi dan
gangguan kecemasan telah berulang kali dijelaskan, hanya sedikit penelitian yang meneliti
hubungan aktivitas fisik dan gangguan mental secara prospektif. Menurunnya insidensi
depresi dan gangguan kecemasan dengan adanya olahraga atau aktifitas fisik menimbulkan
1
pertanyaan apakah aktifitas fisik dapat digunakan untuk mencegah beberapa gangguan
mental. Selain serangkaian kasus dan studi terkontrol kecil, studi terkontrol yang diadakan
denga baik baru-baru ini menunjukkan bahwa olahraga secara klinis efektif, setidaknya dalam
depresi berat dan gangguan panik. Namun, bukti efek positif dari aktifitas fisik dan olahraga
pada depresi dan kecemasan mulai berkembang, aplikasi secara klinis, setidaknya sebagai
tambahan untuk pengobatan yang telah ada seperti pendekatan secara psikoterapi atau
farmakoterapi, masih baru dimulai. Penelitian lebih lanjut tentang efek klinis olahraga,
interaksinya dengan pendekatan pengobatan standar dan rincian tentang jenis aktifitas fisik
yang optimal, intensitas, frekuensi dan durasi lebih lanjut dapat mendukung penatalaksanaan
pada pasien. Selain itu, adanya kekurangan pengetahuan tentang bagaimana penangan terbaik
pada pasien dengan gejala yang terkait depresi dan kecemasan yang menghambat pasien
untuk berpartisipasi dan mendapatkan keuntungan dari aktifitas fisik dan olahraga.
Pengantar
“Agar manusia dapat berhasil dalam hidup, Tuhan memberinya dua cara, pendidikan dan
aktivitas fisik. Tidak secara terpisah, satu untuk jiwa dan yang lainnya untuk tubuh, tetapi
untuk keduanya secara bersama-sama. Dengan dua cara tersebut, manusia dapat mencapai
Aktivitas fisik dikaitkan dengan berbagai manfaat kesehatan, dan ketiadaannya dapat
memiliki efek yang merugikan pada kesehatan dan kesejahteraan, meningkatkan risiko
penyakit jantung koroner, diabetes, kanker tertentu, obesitas, hipertensi dan semua penyebab
kematian (CDC 1996). Aktivitas fisik juga dapat dikaitkan dengan perkembangan gangguan
mental: beberapa penelitian klinis dan epidemiologi telah menunjukkan hubungan antara
aktivitas fisik dan gejala depresi dan kecemasan dalam studi crosssectional dan prospektif-
2
longitudinal (Abu-Omar dkk. 2004a, b; Bhui and Fletcher 2000; Farmer dkk. 1988; Dunn
dkk. 2001; Goodwin 2003; Haarasilta dkk. 2004; Lampinen dkk. 2000; Motl dkk. 2004).
Selain itu, olahraga merupakan bagian integral dalam pengobatan dan rehabilitasi dari banyak
kondisi medis. Peningkatan kesejahteraan secara fisik juga dapat menyebabkan peningkatan
kesejahteraan psikologis dan telah diterima secara umum bahwa aktivitas fisik dapat
memiliki efek positif pada suasana hati dan kecemasan. Apa bukti empiris untuk keyakinan
ini: apa yang kita tidak tahu tentang hubungan aktivitas fisik dan depresi ataupun gangguan
cemas dan dapatkah aktifitas fisik ataupun olahraga menjadi tatalaksana dari depresi ataupun
gangguan cemas?
Rekomendasi untuk kegiatan fisik telah bergeser dalam dekade terakhir: pada 1990-an
fokus rekomendasi kesehatan masyarakat menganjurkan 3-5 kali aktifitas fisik per Minggu
(American College of Sports Medicine tahun 1978, 1990). Sejak tahun 1995, (Pate et al.
1995) aktivitas fisik dengan intensitas sedang selama minimal 30 menit pada kebanyakan dan
dilakukan beberapa kali dalam seminggu memang dianjurkan, dan selain itu aktifitas olahraga
'klasik', yaitu aktivitas fisik sehari-hari seperti jalan cepat, berkebun atau mencuci jendela
dianggap sebagai aktivitas fisik yang meningkatkan kesehatan. Setelah ada pergeseran dalam
independen aktivitas fisik (olahraga, di rumah, untuk transportasi, di tempat kerja) telah
dikembangkan. Salah satu instrumen ini adalah kuesioner aktivitas fisik internasional (IPAQ)
(Craig dkk. 2003), yang memungkinkan untuk melakukan penghitungan yag setara dengan
penghitungan metabolik selama seminggu terakhir dan studi pertama telah diterbitkan
menggunakan instrumen seperti ini, dan dapat memperluas fokus penelitian dari efek latihan
3
Aktivitas fisik, latihan dan prevalensi dan hubungannya dengan insiden depresi dan
gangguan kecemasan
dilaporkan secara mandiri antara aktivitas fisik dengan kesehatan mental yang lebih baik dan
korelasi aktifitas disik dan latihan dengan tingkat depresi rendah (tapi tidak kecemasan) telah
dijelaskan pada remaja (Morris dkk. 1992) dan pada orang tua (Ruuskanen dan Ruoppila
1995). Studi terkontrol yang mengendalikan kelas sosial dan status kesehatan, Steptoe dan
Butler (1996) menunjukkan dalam studi kohort besar (n = 5.061) bahwa partisipasi olahraga
berat memiliki keterkaitan dalam menurunkan tekanan emosional. Sejalan, Steptoe dkk.
(1997) melaporkan bahwa setelah mengontrol usia dan jenis kelamin, olahraga berkorelasi
dengan tingkat depresi yang lebih rendah di 16.483 mahasiswa. Di Bavaria, Jerman (n =
1.536) (Weyerer 1992) dan dalam sampel terpisah dari Amerika Serikat dan Kanada sebesar
55.000 subyek (Stephens 1988), dilaporkan secara mandiri, aktivitas fisik rekreasi berkorelasi
dengan tingkat kesehatan mental yang lebih baik, termasuk gejala yang lebih sedikit baik dari
kecemasan dan depresi (setelah mengendalikan variabel pengganggu termasuk usia, jenis
kelamin, status sosiodemografi dan penyakit fisik). Di Uni Eropa, aktivitas fisik (dalam
kehidupan sehari-hari) yang diukur dengan IPAQ dikaitkan dengan kesehatan diri secara
umum (Abu-Omar dkk. 2004b) dan juga dengan kesehatan mental diri (Abu-Omar et al.
2004a). Sebanyak 16.230 responden, usia 15 tahun dan di atas, dipelajari; di beberapanegara
dari total 15 negara, bukti hubungan dosis dan respons antara aktivitas fisik dan kesehatan
mental ditemukan. Pada tingkat diagnostik, Goodwin (2003) menganalisis data dari
Komorbiditas Survei Nasional AS (n = 5877): asosiasi aktivitas fisik secara teratur dan
tingkat prevalensi yang rendah dari depresi berat, fobia sosial, fobia spesifik, dan
sosiodemografi, gangguan fisik yang dilaporkan secara mandiri dan gangguan mental
4
komorbid. Dalam kebanyakan studi, kebugaran subjek studi tidak langsung dinilai dan
Thirlaway dan Benton (1992) menemukan bahwa kebugaran sang subjek berinteraksi dengan
kebiasaan olahraga sehingga sangat cocok jika subjek yang tidak berolahraga memiliki status
kesehatan mental yang lebih buruk dari yang lain; yaitu subjek yang bugar namun tidak rutin
berolahraga atau mungkin sementara tidak dapat untuk berolahraga, dapat memperburuk
suasana hati dan meningkatkan kecemasan (Morris dkk. 1990). Secara simultan, mengukur
kebiasaan olahraga dan suasana hati atau kecemasan (gangguan) dalam survei cross-sectional
secara inheren memiliki hasil yang ambigu tentang sebab dan akibat. Oleh karena itu, studi
prospektif longitudinal diperlukan untuk lebih mencirikan asosiasi aktivitas fisik dan
gangguan mental. Sampai saat ini, studi ini jarang dlakukan dan setidaknya hanya parsial,
studi prospektif longitudinal mendukung hasil dan hipotesis yang berasal dari studi cross-
sectional. Paffenbarger dkk: (1994) menemukan bahwa aktivitas fisik berkorelasi negatif
dengan depresi sekitar 25 tahun kemudian dalam sampel 10.201 orang. Dalam sampel dengan
4.848 subyek, Camacho dkk. (1991) melaporkan bahwa tidak adanya kebiasaan olahraga
dikaitkan dengan depresi di dua periode 9 tahun yang akan datang. Namun, penelitian ini
tidak mengontrol depresi pada awal penelitian. Pada 2.084 orang tua, dibagi menjadi
kelompok dalam depresi rendah dan tinggi, berjalan santai setiap hari diprediksi memperbaiki
depresi pada kedua kelompok setelah 3 tahun (Mobily dkk. 1996). Pada orang dewasa yang
lebih tua, Strawbridge dkk (2002) melaporkan efek perlindungan dari aktivitas fisik pada
berkembangnya depresi. Penelitian pada 1.900 subyek selama 8 tahun, Farmer dkk. (1988)
Sejalan, Motl dkk. (2004) melaporkan bahwa perubahan yang terjadi secara alami dalam
aktivitas fisik yang berbanding terbalik dengan gejala depresi di awal masa remaja. Dalam
sampel 2.548 remaja dan dewasa muda, kami baru-baru ini menggambarkan bahwa subyek
dengan aktivitas fisik secara teratur memiliki insiden keseluruhan jauh lebih rendah dari
5
setiap gangguan jiwa dan komorbiditas gangguan jiwa setelah 4 tahun dan tingkat kejadian
yang lebih rendah dari somatoform-, dysthymic- dan beberapa gangguan kecemasan (Stro¨hle
dkk. 2007).
Literatur awal yang membahas latihan sebagai pengobatan untuk gangguan depresi
dan kecemasan menunjukan hasil yang positif. Namun, penelitian ini memiliki berbagai
kelemahan metodologis (Lawlor dan Hopker 2001) dan mungkin telah mengganggu
antusiasme terhadap pelaksanaan olahraga dalam perawatan rutin dan perawatan. Namun,
dalam dekade terakhir, uji klinis terkontrol telah dilakukan, memeriksa cara olahraga
dilakukan dan diberikan dalam pengobatan depresi dan beberapa gangguan kecemasan.
Depresi
Sejumlah besar studi menunjukkan bahwa latihan olahraga dapat mengurangi gejala
depresi pada populasi non klinis dan klinis (Blumenthal dkk 1989;. DiLorenzo dkk 1999;.
Roth dan Holmes 1987;. King dkk. 1993) dan pada pasien dengan depresi berat (Blumenthal .
dkk1999; Dunn dkk2005;. Singh dkk 2005;. Martinsen dkk 1985;. Klein dkk 1985;. Veale
dkk 1992;. McNeil dkk 1991;. Singh dkk, 2001;. Dimeo dkk . 2001). Selain hasil meta
analisis, studi yang telah dipilih memiliki aspek yang berbeda dari pengobatan menggunakan
latihan fisik pada depresi telah ditunjukan. Studi meta-analisis menyediakan satu cara untuk
meringkas pertumbuhan dari penelitian primer dan mengidentifikasi variabel yang dapat
memoderasi efek dari latihan pada depresi. North dkk. (1990) menganalisis 80 studi dan
melaporkan efek ukuran (Effect Size) dari -0,53, menunjukkan bahwa latihan olahraga
mengurangi skor depresi sekitar satu setengah dari standar deviasi dibandingkan dengan
kelompok pembanding; efek ukuran lebih besar (-0,94) dilaporkan pada populasi klinis
(misalnya, penyalahguna zat, pasca-infark miokard atau pasien hemodialisis). Studi hanya
6
melibatkan pasien yang didiagnosis dengan depresi besar (bukan karena kondisi medis
umum, n = 30), Craft dan Landers (1998) melaporkan efek ukuran dari -0,72, menunjukkan
bahwa durasi program latihan adalah moderator signifikan efek klinis, dengan program
minimal 9 minggu menujukan tingkat penurunan lebih besar pada depresi. Karakteristik
pasien (usia, jenis kelamin, tingkat keparahan depresi) tidak menjadi moderator signifikan
aktifitas fisik atau olahraga memiliki efek yang lebih menguntungkan. Dilakukan pembatasan
analisis untuk uji coba terkontrol acak (n = 14), Lawlor and Hopkins melaporkan ukuran efek
sebesar -1.1, ketika olahraga dan aktifitas fisik dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa
perlakuan khusus. Selain itu, aktifitas olahraga sama efektifnya dengan terapi kognitif,
dengan efek ukuran tidak signifikan sebesar -0.3. Craft dan Perna (2004) mengubah ukuran
efek keseluruhan dari meta-analisis menjadi ukuran efek binomial, yang memungkinkan
untuk menguji signifikansi klinis praktis ini: latihan olahraga meningkatkan tingkat
keberhasilan hingga 67-74%. Karena dalam berbagai penatalaksanaan medis, penurunan 50%
dari gejala dianggap sebagai respon dari pengobatan, tingkat kesuksesan ini cukup luar biasa.
Dalam review kuantitatif dan kualitatif yang lebih baru dari studi pada pasien yang
didiagnosis dengan depresi berat (n = 11), Stathopoulou dkk. (2006) melaporkan efek ukuran
sebesar -1,42 untuk keuntungan dari latihan olahraga dibanding subjek dengan kondisi
kontrol. jumlah dosis laihan yang dapat digunakan untuk pengobatan depresi berat dipelajari
oleh Dunn dkk. (2005): dosis konsisten dari rekomendasi kesehatan masyarakat adalah (17,5
kkal / kg per minggu) ( Pate dkk. 1995) adalah dosis pengobatan yang efektif untuk depresi
ringan sampai sedang utama dan dosis yang lebih rendah dapat disamakan sebagai plasebo
Meskipun tidak ada kelompok kontrol terlibat, studi Dimeo dkk. (2001) menunjukkan
bahwa pada pasien dengan depresi berat yang resisten terhadap pengobatan medis, berjalan
7
selama 30 menit di treadmill selama sepuluh hari berturut-turut dianggap cukup untuk
menghasilkan pengurangan klinis yang relevan dan signifikan secara statistik pada depresi ,
yang diukur dengan rating Skala Hamilton Depression. Temuan ini didukung oleh penelitian
yang lebih baru yang melibatkan kelompok aktifitas fisik plasebo (peregangan dan latihan
relaksasi dengan intensitas rendah) pada pasien yang menerima pengobatan anti depresan
standar: pengurangan skor depresi dan tingkat respon yang lebih besar pada kelompok
Beberapa studi (Dunn dkk. 1998;. Kodis dkk, 2001), tetapi tidak semua (. King et al
1991) telah melaporkan bahwa hasil latihan olahraga yang disupervisi memberi perbaikan
besar dalam kapasitas fungsional dibandingkan dengan olahraga atau aktifitas rumahan, dan
bahwa pengeluaran energi yang lebih besar berkaitan dengan pengurangan besar pada gejala
depresi (Dunn et al. 2005). Namun, masalah ini perlu studi yang terkontrol pada pasien
latihan non aerobik juga telah dipelajari. Pada lansia dengan depresi, program pelatihan
ketahanan lebih efektif daripada kondisi yang terkontrol (Singh dkk. 1997). Membandingkan
kegiatan secara acak untuk dilakukan atau mengangkat besi, Doyne dkk. (1987) melaporkan
bahwa kedua kegiatan tersebut mengurangi gejala depresi, dan tidak ada perbedaan yang
signifikan secara statistik pada akhir fase pengobatan aktif atau follow-up setelah 1 tahun.
Demikian pula, Martinsen dkk. (1989) tidak menemukan perbedaan antara olahraga aerobik
(joging atau jalan cepat) dan nonaerobic (latihan kekuatan, koordinasi dan pelatihan
fleksibilitas).
pada pasien yang lebih tua dengan depresi berat sama efektifnya dengan pengobatan
8
antidepresan menggunakan sertraline. Yang paling luar biasa adalah, tingkat kekambuhan 10
bulan secara signifikan lebih rendah pada kelompok yang melakukan latihan fisik (8%),
dibandingkan dengan sertraline (38%) atau kelompok kombinasi (31%) (Babyak dkk. 2000).
Dalam penelitian terbaru, Blumenthal dkk. (2007) melaporkan bahwa juga pada orang
dewasa dengan depresi berat, khasiat olahraga secara umum nampak sebanding dengan
antidepresan obat dan penggunaan keduanya cenderung lebih baik dibandingkan hanya
menggunakan plasebo. Selain itu, tampaknya aktifitas fisik cukup baik dibandingkan dengan
pemberian psikoterapi standar pada depresi mayor: (. Greist dkk. 1979) dalam beberapa studi
yang telah mengevaluasi efektivitas relatif mereka, ternyata aktifitas fisik sama efektifnya
dengan psikoterapi, terapi kognitif atau kombinasi terapi kognitif dan aktifitas fisik (Fremont
Gangguan kecemasan
Dibandingkan dengan berbagai penelitian tentang efek positif dari aktifitas fisik pada
depresi berat, gangguan kecemasan lebih jarang diteliti. Selain itu, keragaman klinis
gangguan kecemasan tidak memungkinkan untuk menggeneralisasi dari sebuah studi untuk
gangguan kecemasan tertentu dengan gangguan kecemasan yang lain. Perubahan pada
kriteria diagnostik membuat interpretasi studi awal menjadi lebih rumit. Namun, tidak ada
keraguan tentang kemungkinan efek anxiolytic dari aktifitas fisik atau olahraga aerobik pada
sukarelawan yang sehat (Long dan Satvel 1995). Selain itu, studi dengan yang subyek sehat
dan dua laporan kasus lainnya (Orwin 1974; Muller dan Armstrong 1975) menunjukkan
bahwa pada masa akut aktifitas fisik juga berefek anxiolytic. Sebaliknya, aktifitas fisik dapat
menyebabkan serangan panik akut (Broocks et al 1998;. Barlow dan Craske 1994) atau
meningkatkan kecemasan subjektif pada pasien dengan gangguan panik lebih dari pada orang
lain. Namun, ada bukti awal bahwa penderitaan akut saat olahraga memiliki aktivitas
antipanic pada subyek yang sehat (Stro¨hle et al. 2005) dan pada pasien dengan gangguan
9
panik (Esquivel et al. 2002), namun pasien dengan gangguan panik lebih rentan mengalami
gejala somatik setelah latihan. Banyak meta analisis telah menerbitkan tentang efek dari
aktifitas fisik pada kecemasan (Petruzzello dkk 1991;. Long dan van Stavel 1995;
Guszkowska 2004). Namun, hanya dua yang meneliti efek dari aktifitas fisik pada subyek
dengan peningkatan kadar kecemasan. Dalam satu meta-analisis, 11 penelitian yang telah
dianalisis melaporkan sifat kecemasan pada subyek yang diidentifikasi sebagai sangat cemas:
rerata ukuran efek adalah 0,47, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kontrol, pelatihan
olahraga menghasilkan penurunan moderat dalam kecemasan (Petruzzello dkk 1991. ). Meta
analisis yang kedua mempelajari efek latihan aerobik dan anaerobik pada depresi dan
kecemasan simtomatologi pada subyek dengan skor kecemasan diatas persentil 50. Sebelas
studi acak membandingkan efek dari aktifitas olahraga dengan kontrol dan analisis daftar
tunggu menunjukan efek ukuran 0,94. Dalam perbandingan ini, ukuran efek dari studi dengan
Pada pasien dengan sifat kecemasan yang tinggi atau gangguan kecemasan umum,
aktifitas fisik aerobik unggul dalam hal kekuatan dan mobilitas latihan (Steptoe dkk. 1989)
atau tanpa pengobatan dan sebanding efektif sebagai terapi perilaku kognitif (McEntee dan
Halgin 1999). Dalam sampel pasien campuran (gangguan panik, gangguan kecemasan umum
atau fobia sosial), program uang dijalankan di rumah dapat meningkatkan kemanjuran klinis
dari kelompok terapi perilaku kognitif dibandingkan dengan sesi edukasional yang fokus
Laporan kasus (Dractu 2001) dan dua studi klinis yang diterbitkan menunjukkan
bahwa aktifitas olahraga dapat digunakan sebagai terapi pada pasien dengan kecemasan
neurosis (Sexton dkk 1989.) Dan gangguan panik (Broocks dkk, 1998.); Broocks dan
rekannya membandingkan clomipramine, aktifitas olahraga dan plasebo pada pasien dengan
gangguan panik dan menunjukkan bahwa meskipun clomipramine memiliki onset yang lebih
10
cepat, kedua tatalaksana yang aktif ini secara signifikan lebih baik daripada (pil) plasebo.
Dalam studi terbaru dari grup ini, aktifitas olahraga tidak unggul untuk memberi efek
relaksasi pada pasien gangguan panik, dibanding dengan yang diobati menggunakan
paroxetine atau plasebo (Wedekind dkk. Disampaikan). Ada bukti awal, bahwa gangguan
panik merespon kedua intervensi, baik aerobik ataupun nonaerobic (Martinsen dkk. 1989).
Gangguan stres pasca trauma juga dapat menanggapi latihan pelatihan (Manger 2000;
Manger dan Motta 2005). Namun, dibandingkan dengan situasi di agoraphobia, fobia sosial
dan fobia spesifik dengan jumlah studi acak uji klinis yang terkontrol diperlukan untuk
menyimpulkan bahwa olahraga adalah pengobatan yang efektif untuk pasien dengan
gangguan kecemasan tertentu. Pada saat ini, kami memiliki bukti terbaik untuk efektivitas
olahraga pada pasien dengan gangguan panik, meskipun replikasi hasil ini masih hilang.
Kesimpulan
Cohen dan Rodriguez 1995) mungkin mendasari, menengahi dan / atau moderat asosiasi
aktivitas fisik dengan beberapa gangguan mental dengan cara yang sangat dinamis. Dengan
demikian, efek dari aktivitas fisik mungkin merangsang sistem yang kompleks dan memicu
kaskade kejadian, yang, misalnya, menghasilkan ketahanan yang lebih tinggi terhadap
gangguan mental (Cotman dan Berchtold 2002; Cohen dan Rodriguez 1995; Charney 2004) .
Karakterisasi lebih lanjut dan studi intervensi acak diperlukan sebelum menyimpulkan bahwa
berolahraga merupakan target yang menjanjikan untuk mencegah timbulnya gangguan mental
yang spesifik. Efek pencegahan tersebut dapat sangat relevan bagi individu yang berisiko
tinggi untuk gangguan ini baik dikodekan secara genetik, diperoleh selama hidup premorbid,
atau sebagai trauma yang dibuat oleh episode penyakit sebelumnya atau peristiwa traumatik
(Stro¨hle dan Holsboer 2003). Topik kesehatan masyarakat ini sangat relevan harus dijawab
11
dengan studi intervensi dikendalikan berdasarkan dana publik. Studi telah disajikan
memberikan bukti bahwa aktivitas fisik dan olahraga dapat juga digunakan dalam pengobatan
gangguan depresi dan kecemasan. Mekanisme yang bertanggung jawab untuk perbaikan-
latihan terkait dalam gangguan depresi dan kecemasan tidak semua diketahui, dan
kemungkinan besar terjadi interaksi yang kompleks dari mekanisme psikologis dan
neurobiologis yang mendasari, memediasi dan / atau memoderasi efek ini. Pada saat ini kita
jauh dari teori meyakinkan yang menjelaskan aktivitas antidepresan dan anxiolytic saat
melakukan aktifitas fisik. Secara singkat, beberapa mekanisme yang saat ini sedang disorot:
meskipun beberapa studi menunjukkan bahwa dukungan sosial belum terbukti penting untuk
efek terapi olahraga, sejumlah faktor psikologis telah diusulkan: meningkatnya efikasi diri,
rasa penguasaan, efek distraksi, dan perubahan konsep diri tampaknya akan terlibat dalam
keberhasilan dari terapi aktifitas fisik. Pada gangguan panik, olahraga juga dapat dianggap
sebagai terapi (Marks 1999). Selain itu, jalur biologis juga dikemukakan, termasuk
peningkatan neurotransmiter norepinefrin pusat (Sothman dan Ismail tahun 1984, 1985),
Holsboer 2003), dan peningkatan sekresi natriuretik atrial peptida (Stro¨hle et al 2006.),
metabolit amina, serta sintesis serotonin dan metabolisme (Dishman et al 1997;. Ransford
1982) dan beta-endorfin. Mekanisme selanjutnya yang berbeda dari bantuan aktivitas
antidepressive dan anxiolytic dapat meningkatkan efektivitas klinis dari aktifitas olahrag
sebagai tatalaksana pada gangguan depresi dan kecemasan. Saat ini masih ada kekurangan
dari studi sistematis tentang bagaimana penanganan terbaik pada depresi dan gejala
keuntungan dari aktifitas olahraga. Pada saat ini, strategi untuk mengubah aktivitas fisik,
yang telah berhasil pada subyek yang sehat, dapat disesuaikan bagi mereka yang memiliki
12
Izin medis diperlukan untuk subyek dengan faktor risiko penyakit kardiovaskular.
Fisik kuesioner kesiapan aktivitas (PAR-Q) (Thomas dkk. 1992) adalah alat skrining
sederhana yang biasa digunakan dalam skrining pre-partisipasi untuk program aktivitas fisik
dengan intensitas sedang. Setelah menetapkan pilihan untuk modus yang akan digunakan
untuk aktifitas olahraga, pengujian aktifitas fisik harus dilakukan dengan sesuai dan
pengakhiran aktifitas fisik berakhir dengan inisiasi dan pemantauan program . Salah satu hal
utama adalah jangan memberikan hal-hal yang diingini pasien sebelum memulai terapi.
Sayangnya, tidak ada konsep umum untuk administrasi terapi aktivitas fisik untuk pasien
dengan gangguan depresi dan kecemasan (Meyer dan Broocks 2000). Biasanya, dilakukan 3-
4 sesi pelatihan / minggu dengan durasi setidaknya 20-30 menit. Kebanyakan penelitian
memiliki durasi keseluruhan program dari 8-14 minggu. Sebuah buku harian kegiatan
dianjurkan untuk digunakan dan aktivitas fisik kehidupan sehari-hari juga harus dicatat.
Kegiatan dengan intensitas sedang seperti berjalan memiliki hasil yang lebih sukses dari pada
program aktivitas fisik yang berat (Dishman dan Buckwort 1996) dan intervensi yang
menargetkan kelompok tertentu atau disesuaikan dengan individu tersebut lebih efektif
daripada intervensi yang diberikan secara generik (Marcus dkk 1998;. Marcus dan Forsyth
1998 ; Strecher dkk, 2002;. Segar dkk, 2002).. pemberian program aktifitas fisik atau pesan
motivasi dalam bentuk cetakan atau dengan komputer tampaknya juga lebih efektif daripada
konseling tatap muka (Dishman dkk 1997;. Smith dkk 2000;.. Swinburn dkk 1998). Untuk
pasien dengan depresi atau gangguan kecemasan, informasi spesifik tentang aktifitas fisik
(training) harus diberikan kepada pasien. Sebagai contoh, pasien dengan depresi berat dengan
perubahan diurnal harus melakukan aktifitas fisik di keesokan hari; pasien dengan gangguan
panik atau serangan panik, harus diberitahu bahwa dalam beberapa kasus dapat terjadi sensasi
pada tubuh saat melakukan latihan fisik yang dapat memicu serangan panik, terlepas dari
aktivitas anxiolytic akut (Stro¨hle et al. 2005) dan latihan jangka panjang (Broocks et al.
13
1998), dan bahwa peningkatan gejala ini dapat dianggap sebagai bentuk terapi paparan.
Kegiatan harian harus mencakup pengukuran untuk depresi serta keparahan gejala kecemasan
dan telah dihipotesiskan ada umpan balik langsung antara hal-hal tersebut dengan olahraga
dan kesejahteraan yang dapat meningkatkan kepatuhan pasien untuk mengikuti program
aktifitas fisik tersebut. Strategi yang digunakan dengan terapi perilaku kognitif dapat
diterapkan untuk aktifitas olahraga (training): analisis situasi, penetapan tujuan, pemantauan
diri, kegiatan pekerjaan rumah, dan mengikuti serta menyokong perkembangannya dapat
mendukung kepatuhan dan membantu mencapai dan mempertahankan perilaku yang baru
(Otto dkk 2007) . Pada beberapa pasien dengan bentuk yang paling parah dari depresi mayor,
memerlukan perbaikan dari gejala yang ada melalui pendekatan pengobatan lain sebelum
berpartisipasi dalam program latihan aktifitas. Pasien lain, misalnya, responden yang hanya
perempuan minoritas, mendapatkan manfaat paling besar dari aktifitas olahraga (Otto dkk.
2007). Implementasi dan optimasi lebih lanjut dari program aktifitas olahraga untuk pasien
melibatkan ilmuwan dan praktisi dalam psikiatri, psikologi, kesehatan olah raga dan penyedia
14
Daftar pustaka
15
questionnaire: 12 country reliability and validity. Med Sci Sports Exerc 35:1381–
1395
18. DiLorenzo TM, Bargman EP, Stucky-Ropp R et al (1999) Long-term effects of
aerobic exercise on psychological outcomes. Prev Med 28:75–85
19. Dimeo F, Bauer M, Vahram I, Proest G, Halter U (2001) Benefits from aerobic
exercise in patients with major depression: a pilot study. Br J Sports Med 35:114–117
20. Dishman RK, Buckwort J (1996) Increasing physical activity: a quantitative synthesis.
Med Sci Sports Exerc 28:706–719
21. Dishman RK, Renner KJ, Youngstedt SD et al (1997) Activity wheel running reduces
escape latency and alters brain monoamine levels after footshock. Brain Res Bull
42:399–406
22. Doyne EJ, Ossip-Klein DJ, Bowman ED et al (1987) Running versus weight lifting in
the treatment of depression. J Consult Clin Psychol 55:748–754
23. Dractu L (2001) Physical exercise: an adjunctive treatment for panic disorder? Eur
Psychiatry 16:372–374
24. Droste SK, Gesing A, Ulbricht S et al (2003) Effects of long-term voluntary exercise
on the mouse hypothalamic-pituary-adrenocorticalm axis. Endocrinology
114(7):3012–3023
25. Dunn AL, Garcia ME, Marcus BH et al (1998) Six month physical activity and fitness
changes in project active, randomized trial.Med Sci Sports Exerc 30:1076–1083
26. Dunn AL, Madhukar H, Trivedi MD et al (2005) Exercise treatment for depression
Efficacy and dose response. Am J Prev Med 28(1):1–8
27. Dunn AL, Trivedi MH, O’Neal HA (2001) Physical activity doseresponse effects on
outcome of depression and anxiety. Med Sci Sports Exerc 33:S587–S597
28. Esquivel G, Schruers K, Kuipers H, Griez E (2002) The effects of acute exercise and
high lactate levels on 35% CO2 challenge in healthy volunteers. Acta Psychiatr Scand
106:394–397
29. Farmer ME, Locke BZ, Mosciki EK, Dannenberg AL, Larson DB, Radloff LS (1988)
Physical activity and depressive symptoms: the NHANES I epidemiologic follow-up
study. Am J Epidemiol 128:1340–1351
30. Fremont J, Craighead LW (1987) Aerobic exercise and cognitive therapy in the
treatment of dysphoric moods. Cognit Ther Res 11:241–251
31. Goodwin RD (2003) Association between physical activity andmental disorders
among adults in the United States. Prev Med 36:698–703
32. Greist JH, Klein MH, Eischens RR et al (1979) Running as treatment for depression.
Compr Psychiatry 20:41–54 Guszkowska M (2004) Effects of exercise on anxiety,
depression and mood. Psychiatr Pol 38(4):611–620
33. Haarasilta LM, Marttunen MJ, Kapiro JA, Aro HM (2004) Correlates of depression in
a representative nationwide sample of adolescents (15–19 years) and young adults
(20–24 years). Eur J Pub Health 14:280–285
34. King AC, Haskell WL, Taylor CB, Kraemer HC, DeBusk RF (1991) Group- vs.
home-based exercise training in healthy older men and women: a community-based
trial. JAMA 266:1535–1542
35. King AC, Taylor CB, HaskellWL(1993) Effects of differing intensities and formats of
12 months of exercise training on psychological outcomes in older adults. Health
Psychol 12:292–300
36. Klein MH, Greist JH, Gurman AS, Neiberyer DP (1985) A comparative outcome
study of group psychotherapy vs. Exercise treatments for depression. Int J Mental
Health 13:148–176
16