Anda di halaman 1dari 16

Aktivitas Fisik, Olahraga, Depresi, dan

Gangguan Cemas

Andreas Strohle

Dikirim: 15 April 2008 / Diterima: 24 June 2008 / Diterbitkan: 23 agustus 2008

© Springer-Verlag 2008

Abstrak

Aktifitas fisik dan olah raga dipercaya khalayak umum dapat memberikan dampak

positif pada perasaan ataupun kecemasan, dan banyak penelitian yang menunjukan

keterkaitan antara aktifitas fisik dengan kesehatan secara menyeluruh, perasaan dan

kecemasan. Sejalan dengan hal diatas penelitian dengan intervensi menunjukan adanya

dampak anxiolitik dan anti depresif saat melakukan aktivitas fisik pada pasien yang tidak

memiliki masalah kesehatan. Namun, kebanyakan penelitian yang telah diterbitkan memiliki

kekurangan yang substansial dalam hal metodologi yang digunakan. Tujuan artikel ini adalah

meninjau secara kritis penelitian yang saat ini. Tujuan dari makalah ini adalah untuk secara

kritis meninjau literatur yang tersedia saat ini sehubungan dengan (1) asosiasi aktivitas fisik,

latihan dengan prevalensi dan insiden depresi dengan gangguan kecemasan dan (2) potensi

terapeutik kegiatan pelatihan olahraga pada pasien dengan gangguan depresi atau kecemasan.

Meskipun hubungan aktivitas fisik dan prevalensi gangguan mental, termasuk depresi dan

gangguan kecemasan telah berulang kali dijelaskan, hanya sedikit penelitian yang meneliti

hubungan aktivitas fisik dan gangguan mental secara prospektif. Menurunnya insidensi

depresi dan gangguan kecemasan dengan adanya olahraga atau aktifitas fisik menimbulkan

1
pertanyaan apakah aktifitas fisik dapat digunakan untuk mencegah beberapa gangguan

mental. Selain serangkaian kasus dan studi terkontrol kecil, studi terkontrol yang diadakan

denga baik baru-baru ini menunjukkan bahwa olahraga secara klinis efektif, setidaknya dalam

depresi berat dan gangguan panik. Namun, bukti efek positif dari aktifitas fisik dan olahraga

pada depresi dan kecemasan mulai berkembang, aplikasi secara klinis, setidaknya sebagai

tambahan untuk pengobatan yang telah ada seperti pendekatan secara psikoterapi atau

farmakoterapi, masih baru dimulai. Penelitian lebih lanjut tentang efek klinis olahraga,

interaksinya dengan pendekatan pengobatan standar dan rincian tentang jenis aktifitas fisik

yang optimal, intensitas, frekuensi dan durasi lebih lanjut dapat mendukung penatalaksanaan

pada pasien. Selain itu, adanya kekurangan pengetahuan tentang bagaimana penangan terbaik

pada pasien dengan gejala yang terkait depresi dan kecemasan yang menghambat pasien

untuk berpartisipasi dan mendapatkan keuntungan dari aktifitas fisik dan olahraga.

Kata kunci Depresi· Kecemasan· Gangguan kecemasan· Aktivitas fisik· Olahraga

Pengantar

“Agar manusia dapat berhasil dalam hidup, Tuhan memberinya dua cara, pendidikan dan

aktivitas fisik. Tidak secara terpisah, satu untuk jiwa dan yang lainnya untuk tubuh, tetapi

untuk keduanya secara bersama-sama. Dengan dua cara tersebut, manusia dapat mencapai

kesempurnaan '' (Plato, abad keempat SM).

Aktivitas fisik dikaitkan dengan berbagai manfaat kesehatan, dan ketiadaannya dapat

memiliki efek yang merugikan pada kesehatan dan kesejahteraan, meningkatkan risiko

penyakit jantung koroner, diabetes, kanker tertentu, obesitas, hipertensi dan semua penyebab

kematian (CDC 1996). Aktivitas fisik juga dapat dikaitkan dengan perkembangan gangguan

mental: beberapa penelitian klinis dan epidemiologi telah menunjukkan hubungan antara

aktivitas fisik dan gejala depresi dan kecemasan dalam studi crosssectional dan prospektif-

2
longitudinal (Abu-Omar dkk. 2004a, b; Bhui and Fletcher 2000; Farmer dkk. 1988; Dunn

dkk. 2001; Goodwin 2003; Haarasilta dkk. 2004; Lampinen dkk. 2000; Motl dkk. 2004).

Selain itu, olahraga merupakan bagian integral dalam pengobatan dan rehabilitasi dari banyak

kondisi medis. Peningkatan kesejahteraan secara fisik juga dapat menyebabkan peningkatan

kesejahteraan psikologis dan telah diterima secara umum bahwa aktivitas fisik dapat

memiliki efek positif pada suasana hati dan kecemasan. Apa bukti empiris untuk keyakinan

ini: apa yang kita tidak tahu tentang hubungan aktivitas fisik dan depresi ataupun gangguan

cemas dan dapatkah aktifitas fisik ataupun olahraga menjadi tatalaksana dari depresi ataupun

gangguan cemas?

Rekomendasi untuk kegiatan fisik telah bergeser dalam dekade terakhir: pada 1990-an

fokus rekomendasi kesehatan masyarakat menganjurkan 3-5 kali aktifitas fisik per Minggu

(American College of Sports Medicine tahun 1978, 1990). Sejak tahun 1995, (Pate et al.

1995) aktivitas fisik dengan intensitas sedang selama minimal 30 menit pada kebanyakan dan

dilakukan beberapa kali dalam seminggu memang dianjurkan, dan selain itu aktifitas olahraga

'klasik', yaitu aktivitas fisik sehari-hari seperti jalan cepat, berkebun atau mencuci jendela

dianggap sebagai aktivitas fisik yang meningkatkan kesehatan. Setelah ada pergeseran dalam

rekomendasi kesehatan masyarakat, instrumen standarisasi untuk penilaian konteks

independen aktivitas fisik (olahraga, di rumah, untuk transportasi, di tempat kerja) telah

dikembangkan. Salah satu instrumen ini adalah kuesioner aktivitas fisik internasional (IPAQ)

(Craig dkk. 2003), yang memungkinkan untuk melakukan penghitungan yag setara dengan

penghitungan metabolik selama seminggu terakhir dan studi pertama telah diterbitkan

menggunakan instrumen seperti ini, dan dapat memperluas fokus penelitian dari efek latihan

(training) untuk aktivitas fisik pada kesehatan(mental) dan penyakit.

3
Aktivitas fisik, latihan dan prevalensi dan hubungannya dengan insiden depresi dan

gangguan kecemasan

Studi cross-sectional telah menunjukan secara konsisten tingginya keterkaitan yang

dilaporkan secara mandiri antara aktivitas fisik dengan kesehatan mental yang lebih baik dan

korelasi aktifitas disik dan latihan dengan tingkat depresi rendah (tapi tidak kecemasan) telah

dijelaskan pada remaja (Morris dkk. 1992) dan pada orang tua (Ruuskanen dan Ruoppila

1995). Studi terkontrol yang mengendalikan kelas sosial dan status kesehatan, Steptoe dan

Butler (1996) menunjukkan dalam studi kohort besar (n = 5.061) bahwa partisipasi olahraga

berat memiliki keterkaitan dalam menurunkan tekanan emosional. Sejalan, Steptoe dkk.

(1997) melaporkan bahwa setelah mengontrol usia dan jenis kelamin, olahraga berkorelasi

dengan tingkat depresi yang lebih rendah di 16.483 mahasiswa. Di Bavaria, Jerman (n =

1.536) (Weyerer 1992) dan dalam sampel terpisah dari Amerika Serikat dan Kanada sebesar

55.000 subyek (Stephens 1988), dilaporkan secara mandiri, aktivitas fisik rekreasi berkorelasi

dengan tingkat kesehatan mental yang lebih baik, termasuk gejala yang lebih sedikit baik dari

kecemasan dan depresi (setelah mengendalikan variabel pengganggu termasuk usia, jenis

kelamin, status sosiodemografi dan penyakit fisik). Di Uni Eropa, aktivitas fisik (dalam

kehidupan sehari-hari) yang diukur dengan IPAQ dikaitkan dengan kesehatan diri secara

umum (Abu-Omar dkk. 2004b) dan juga dengan kesehatan mental diri (Abu-Omar et al.

2004a). Sebanyak 16.230 responden, usia 15 tahun dan di atas, dipelajari; di beberapanegara

dari total 15 negara, bukti hubungan dosis dan respons antara aktivitas fisik dan kesehatan

mental ditemukan. Pada tingkat diagnostik, Goodwin (2003) menganalisis data dari

Komorbiditas Survei Nasional AS (n = 5877): asosiasi aktivitas fisik secara teratur dan

tingkat prevalensi yang rendah dari depresi berat, fobia sosial, fobia spesifik, dan

agoraphobia ternyata signifikan dan bertahan setelah mengendalikan karakteristik

sosiodemografi, gangguan fisik yang dilaporkan secara mandiri dan gangguan mental

4
komorbid. Dalam kebanyakan studi, kebugaran subjek studi tidak langsung dinilai dan

Thirlaway dan Benton (1992) menemukan bahwa kebugaran sang subjek berinteraksi dengan

kebiasaan olahraga sehingga sangat cocok jika subjek yang tidak berolahraga memiliki status

kesehatan mental yang lebih buruk dari yang lain; yaitu subjek yang bugar namun tidak rutin

berolahraga atau mungkin sementara tidak dapat untuk berolahraga, dapat memperburuk

suasana hati dan meningkatkan kecemasan (Morris dkk. 1990). Secara simultan, mengukur

kebiasaan olahraga dan suasana hati atau kecemasan (gangguan) dalam survei cross-sectional

secara inheren memiliki hasil yang ambigu tentang sebab dan akibat. Oleh karena itu, studi

prospektif longitudinal diperlukan untuk lebih mencirikan asosiasi aktivitas fisik dan

gangguan mental. Sampai saat ini, studi ini jarang dlakukan dan setidaknya hanya parsial,

studi prospektif longitudinal mendukung hasil dan hipotesis yang berasal dari studi cross-

sectional. Paffenbarger dkk: (1994) menemukan bahwa aktivitas fisik berkorelasi negatif

dengan depresi sekitar 25 tahun kemudian dalam sampel 10.201 orang. Dalam sampel dengan

4.848 subyek, Camacho dkk. (1991) melaporkan bahwa tidak adanya kebiasaan olahraga

dikaitkan dengan depresi di dua periode 9 tahun yang akan datang. Namun, penelitian ini

tidak mengontrol depresi pada awal penelitian. Pada 2.084 orang tua, dibagi menjadi

kelompok dalam depresi rendah dan tinggi, berjalan santai setiap hari diprediksi memperbaiki

depresi pada kedua kelompok setelah 3 tahun (Mobily dkk. 1996). Pada orang dewasa yang

lebih tua, Strawbridge dkk (2002) melaporkan efek perlindungan dari aktivitas fisik pada

berkembangnya depresi. Penelitian pada 1.900 subyek selama 8 tahun, Farmer dkk. (1988)

melaporkan bahwa olahraga teratur mengurangi risiko untuk berkembangnya depresi.

Sejalan, Motl dkk. (2004) melaporkan bahwa perubahan yang terjadi secara alami dalam

aktivitas fisik yang berbanding terbalik dengan gejala depresi di awal masa remaja. Dalam

sampel 2.548 remaja dan dewasa muda, kami baru-baru ini menggambarkan bahwa subyek

dengan aktivitas fisik secara teratur memiliki insiden keseluruhan jauh lebih rendah dari

5
setiap gangguan jiwa dan komorbiditas gangguan jiwa setelah 4 tahun dan tingkat kejadian

yang lebih rendah dari somatoform-, dysthymic- dan beberapa gangguan kecemasan (Stro¨hle

dkk. 2007).

Latihan (training) dalam pengobatan gangguan depresi dan kecemasan.

Literatur awal yang membahas latihan sebagai pengobatan untuk gangguan depresi

dan kecemasan menunjukan hasil yang positif. Namun, penelitian ini memiliki berbagai

kelemahan metodologis (Lawlor dan Hopker 2001) dan mungkin telah mengganggu

antusiasme terhadap pelaksanaan olahraga dalam perawatan rutin dan perawatan. Namun,

dalam dekade terakhir, uji klinis terkontrol telah dilakukan, memeriksa cara olahraga

dilakukan dan diberikan dalam pengobatan depresi dan beberapa gangguan kecemasan.

Depresi

Sejumlah besar studi menunjukkan bahwa latihan olahraga dapat mengurangi gejala

depresi pada populasi non klinis dan klinis (Blumenthal dkk 1989;. DiLorenzo dkk 1999;.

Roth dan Holmes 1987;. King dkk. 1993) dan pada pasien dengan depresi berat (Blumenthal .

dkk1999; Dunn dkk2005;. Singh dkk 2005;. Martinsen dkk 1985;. Klein dkk 1985;. Veale

dkk 1992;. McNeil dkk 1991;. Singh dkk, 2001;. Dimeo dkk . 2001). Selain hasil meta

analisis, studi yang telah dipilih memiliki aspek yang berbeda dari pengobatan menggunakan

latihan fisik pada depresi telah ditunjukan. Studi meta-analisis menyediakan satu cara untuk

meringkas pertumbuhan dari penelitian primer dan mengidentifikasi variabel yang dapat

memoderasi efek dari latihan pada depresi. North dkk. (1990) menganalisis 80 studi dan

melaporkan efek ukuran (Effect Size) dari -0,53, menunjukkan bahwa latihan olahraga

mengurangi skor depresi sekitar satu setengah dari standar deviasi dibandingkan dengan

kelompok pembanding; efek ukuran lebih besar (-0,94) dilaporkan pada populasi klinis

(misalnya, penyalahguna zat, pasca-infark miokard atau pasien hemodialisis). Studi hanya

6
melibatkan pasien yang didiagnosis dengan depresi besar (bukan karena kondisi medis

umum, n = 30), Craft dan Landers (1998) melaporkan efek ukuran dari -0,72, menunjukkan

bahwa durasi program latihan adalah moderator signifikan efek klinis, dengan program

minimal 9 minggu menujukan tingkat penurunan lebih besar pada depresi. Karakteristik

pasien (usia, jenis kelamin, tingkat keparahan depresi) tidak menjadi moderator signifikan

dan bila dibandingkan dengan pengobatan standar depresi (farmakoterapi, psikoterapi),

aktifitas fisik atau olahraga memiliki efek yang lebih menguntungkan. Dilakukan pembatasan

analisis untuk uji coba terkontrol acak (n = 14), Lawlor and Hopkins melaporkan ukuran efek

sebesar -1.1, ketika olahraga dan aktifitas fisik dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa

perlakuan khusus. Selain itu, aktifitas olahraga sama efektifnya dengan terapi kognitif,

dengan efek ukuran tidak signifikan sebesar -0.3. Craft dan Perna (2004) mengubah ukuran

efek keseluruhan dari meta-analisis menjadi ukuran efek binomial, yang memungkinkan

untuk menguji signifikansi klinis praktis ini: latihan olahraga meningkatkan tingkat

keberhasilan hingga 67-74%. Karena dalam berbagai penatalaksanaan medis, penurunan 50%

dari gejala dianggap sebagai respon dari pengobatan, tingkat kesuksesan ini cukup luar biasa.

Dalam review kuantitatif dan kualitatif yang lebih baru dari studi pada pasien yang

didiagnosis dengan depresi berat (n = 11), Stathopoulou dkk. (2006) melaporkan efek ukuran

sebesar -1,42 untuk keuntungan dari latihan olahraga dibanding subjek dengan kondisi

kontrol. jumlah dosis laihan yang dapat digunakan untuk pengobatan depresi berat dipelajari

oleh Dunn dkk. (2005): dosis konsisten dari rekomendasi kesehatan masyarakat adalah (17,5

kkal / kg per minggu) ( Pate dkk. 1995) adalah dosis pengobatan yang efektif untuk depresi

ringan sampai sedang utama dan dosis yang lebih rendah dapat disamakan sebagai plasebo

dengan tidak adanya perubahan setelah melakukan 3 sampai 5 sesi /minggu.

Meskipun tidak ada kelompok kontrol terlibat, studi Dimeo dkk. (2001) menunjukkan

bahwa pada pasien dengan depresi berat yang resisten terhadap pengobatan medis, berjalan

7
selama 30 menit di treadmill selama sepuluh hari berturut-turut dianggap cukup untuk

menghasilkan pengurangan klinis yang relevan dan signifikan secara statistik pada depresi ,

yang diukur dengan rating Skala Hamilton Depression. Temuan ini didukung oleh penelitian

yang lebih baru yang melibatkan kelompok aktifitas fisik plasebo (peregangan dan latihan

relaksasi dengan intensitas rendah) pada pasien yang menerima pengobatan anti depresan

standar: pengurangan skor depresi dan tingkat respon yang lebih besar pada kelompok

pelatihan olahraga Knubben dkk. (2006).

Beberapa studi (Dunn dkk. 1998;. Kodis dkk, 2001), tetapi tidak semua (. King et al

1991) telah melaporkan bahwa hasil latihan olahraga yang disupervisi memberi perbaikan

besar dalam kapasitas fungsional dibandingkan dengan olahraga atau aktifitas rumahan, dan

bahwa pengeluaran energi yang lebih besar berkaitan dengan pengurangan besar pada gejala

depresi (Dunn et al. 2005). Namun, masalah ini perlu studi yang terkontrol pada pasien

dengan depresi berat.

Sementara kebanyakan studi menggunakan aktifitas berjalan atau jogging, efektivitas

latihan non aerobik juga telah dipelajari. Pada lansia dengan depresi, program pelatihan

ketahanan lebih efektif daripada kondisi yang terkontrol (Singh dkk. 1997). Membandingkan

kegiatan secara acak untuk dilakukan atau mengangkat besi, Doyne dkk. (1987) melaporkan

bahwa kedua kegiatan tersebut mengurangi gejala depresi, dan tidak ada perbedaan yang

signifikan secara statistik pada akhir fase pengobatan aktif atau follow-up setelah 1 tahun.

Demikian pula, Martinsen dkk. (1989) tidak menemukan perbedaan antara olahraga aerobik

(joging atau jalan cepat) dan nonaerobic (latihan kekuatan, koordinasi dan pelatihan

fleksibilitas).

Blumenthal dkk. (1999) menunjukkan bahwa 16 minggu pelatihan latihan kelompok

pada pasien yang lebih tua dengan depresi berat sama efektifnya dengan pengobatan

8
antidepresan menggunakan sertraline. Yang paling luar biasa adalah, tingkat kekambuhan 10

bulan secara signifikan lebih rendah pada kelompok yang melakukan latihan fisik (8%),

dibandingkan dengan sertraline (38%) atau kelompok kombinasi (31%) (Babyak dkk. 2000).

Dalam penelitian terbaru, Blumenthal dkk. (2007) melaporkan bahwa juga pada orang

dewasa dengan depresi berat, khasiat olahraga secara umum nampak sebanding dengan

antidepresan obat dan penggunaan keduanya cenderung lebih baik dibandingkan hanya

menggunakan plasebo. Selain itu, tampaknya aktifitas fisik cukup baik dibandingkan dengan

pemberian psikoterapi standar pada depresi mayor: (. Greist dkk. 1979) dalam beberapa studi

yang telah mengevaluasi efektivitas relatif mereka, ternyata aktifitas fisik sama efektifnya

dengan psikoterapi, terapi kognitif atau kombinasi terapi kognitif dan aktifitas fisik (Fremont

dan Craighead 1987).

Gangguan kecemasan

Dibandingkan dengan berbagai penelitian tentang efek positif dari aktifitas fisik pada

depresi berat, gangguan kecemasan lebih jarang diteliti. Selain itu, keragaman klinis

gangguan kecemasan tidak memungkinkan untuk menggeneralisasi dari sebuah studi untuk

gangguan kecemasan tertentu dengan gangguan kecemasan yang lain. Perubahan pada

kriteria diagnostik membuat interpretasi studi awal menjadi lebih rumit. Namun, tidak ada

keraguan tentang kemungkinan efek anxiolytic dari aktifitas fisik atau olahraga aerobik pada

sukarelawan yang sehat (Long dan Satvel 1995). Selain itu, studi dengan yang subyek sehat

dan dua laporan kasus lainnya (Orwin 1974; Muller dan Armstrong 1975) menunjukkan

bahwa pada masa akut aktifitas fisik juga berefek anxiolytic. Sebaliknya, aktifitas fisik dapat

menyebabkan serangan panik akut (Broocks et al 1998;. Barlow dan Craske 1994) atau

meningkatkan kecemasan subjektif pada pasien dengan gangguan panik lebih dari pada orang

lain. Namun, ada bukti awal bahwa penderitaan akut saat olahraga memiliki aktivitas

antipanic pada subyek yang sehat (Stro¨hle et al. 2005) dan pada pasien dengan gangguan

9
panik (Esquivel et al. 2002), namun pasien dengan gangguan panik lebih rentan mengalami

gejala somatik setelah latihan. Banyak meta analisis telah menerbitkan tentang efek dari

aktifitas fisik pada kecemasan (Petruzzello dkk 1991;. Long dan van Stavel 1995;

Guszkowska 2004). Namun, hanya dua yang meneliti efek dari aktifitas fisik pada subyek

dengan peningkatan kadar kecemasan. Dalam satu meta-analisis, 11 penelitian yang telah

dianalisis melaporkan sifat kecemasan pada subyek yang diidentifikasi sebagai sangat cemas:

rerata ukuran efek adalah 0,47, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kontrol, pelatihan

olahraga menghasilkan penurunan moderat dalam kecemasan (Petruzzello dkk 1991. ). Meta

analisis yang kedua mempelajari efek latihan aerobik dan anaerobik pada depresi dan

kecemasan simtomatologi pada subyek dengan skor kecemasan diatas persentil 50. Sebelas

studi acak membandingkan efek dari aktifitas olahraga dengan kontrol dan analisis daftar

tunggu menunjukan efek ukuran 0,94. Dalam perbandingan ini, ukuran efek dari studi dengan

gangguan kecemasan formal (n = 7) adalah 0,99 (Stich 1998).

Pada pasien dengan sifat kecemasan yang tinggi atau gangguan kecemasan umum,

aktifitas fisik aerobik unggul dalam hal kekuatan dan mobilitas latihan (Steptoe dkk. 1989)

atau tanpa pengobatan dan sebanding efektif sebagai terapi perilaku kognitif (McEntee dan

Halgin 1999). Dalam sampel pasien campuran (gangguan panik, gangguan kecemasan umum

atau fobia sosial), program uang dijalankan di rumah dapat meningkatkan kemanjuran klinis

dari kelompok terapi perilaku kognitif dibandingkan dengan sesi edukasional yang fokus

pada pola makan sehat (Merom dkk. 2007 ).

Laporan kasus (Dractu 2001) dan dua studi klinis yang diterbitkan menunjukkan

bahwa aktifitas olahraga dapat digunakan sebagai terapi pada pasien dengan kecemasan

neurosis (Sexton dkk 1989.) Dan gangguan panik (Broocks dkk, 1998.); Broocks dan

rekannya membandingkan clomipramine, aktifitas olahraga dan plasebo pada pasien dengan

gangguan panik dan menunjukkan bahwa meskipun clomipramine memiliki onset yang lebih

10
cepat, kedua tatalaksana yang aktif ini secara signifikan lebih baik daripada (pil) plasebo.

Dalam studi terbaru dari grup ini, aktifitas olahraga tidak unggul untuk memberi efek

relaksasi pada pasien gangguan panik, dibanding dengan yang diobati menggunakan

paroxetine atau plasebo (Wedekind dkk. Disampaikan). Ada bukti awal, bahwa gangguan

panik merespon kedua intervensi, baik aerobik ataupun nonaerobic (Martinsen dkk. 1989).

Gangguan stres pasca trauma juga dapat menanggapi latihan pelatihan (Manger 2000;

Manger dan Motta 2005). Namun, dibandingkan dengan situasi di agoraphobia, fobia sosial

dan fobia spesifik dengan jumlah studi acak uji klinis yang terkontrol diperlukan untuk

menyimpulkan bahwa olahraga adalah pengobatan yang efektif untuk pasien dengan

gangguan kecemasan tertentu. Pada saat ini, kami memiliki bukti terbaik untuk efektivitas

olahraga pada pasien dengan gangguan panik, meskipun replikasi hasil ini masih hilang.

Kesimpulan

Faktor perkembangan, neurobiologis dan psikologis (Cotman dan Berchtold 2002;

Cohen dan Rodriguez 1995) mungkin mendasari, menengahi dan / atau moderat asosiasi

aktivitas fisik dengan beberapa gangguan mental dengan cara yang sangat dinamis. Dengan

demikian, efek dari aktivitas fisik mungkin merangsang sistem yang kompleks dan memicu

kaskade kejadian, yang, misalnya, menghasilkan ketahanan yang lebih tinggi terhadap

gangguan mental (Cotman dan Berchtold 2002; Cohen dan Rodriguez 1995; Charney 2004) .

Karakterisasi lebih lanjut dan studi intervensi acak diperlukan sebelum menyimpulkan bahwa

berolahraga merupakan target yang menjanjikan untuk mencegah timbulnya gangguan mental

yang spesifik. Efek pencegahan tersebut dapat sangat relevan bagi individu yang berisiko

tinggi untuk gangguan ini baik dikodekan secara genetik, diperoleh selama hidup premorbid,

atau sebagai trauma yang dibuat oleh episode penyakit sebelumnya atau peristiwa traumatik

(Stro¨hle dan Holsboer 2003). Topik kesehatan masyarakat ini sangat relevan harus dijawab

11
dengan studi intervensi dikendalikan berdasarkan dana publik. Studi telah disajikan

memberikan bukti bahwa aktivitas fisik dan olahraga dapat juga digunakan dalam pengobatan

gangguan depresi dan kecemasan. Mekanisme yang bertanggung jawab untuk perbaikan-

latihan terkait dalam gangguan depresi dan kecemasan tidak semua diketahui, dan

kemungkinan besar terjadi interaksi yang kompleks dari mekanisme psikologis dan

neurobiologis yang mendasari, memediasi dan / atau memoderasi efek ini. Pada saat ini kita

jauh dari teori meyakinkan yang menjelaskan aktivitas antidepresan dan anxiolytic saat

melakukan aktifitas fisik. Secara singkat, beberapa mekanisme yang saat ini sedang disorot:

meskipun beberapa studi menunjukkan bahwa dukungan sosial belum terbukti penting untuk

efek terapi olahraga, sejumlah faktor psikologis telah diusulkan: meningkatnya efikasi diri,

rasa penguasaan, efek distraksi, dan perubahan konsep diri tampaknya akan terlibat dalam

keberhasilan dari terapi aktifitas fisik. Pada gangguan panik, olahraga juga dapat dianggap

sebagai terapi (Marks 1999). Selain itu, jalur biologis juga dikemukakan, termasuk

peningkatan neurotransmiter norepinefrin pusat (Sothman dan Ismail tahun 1984, 1985),

perubahan dalam sistem adrenocortical hipotalamus (Droste et al 2003;. Stro¨hle dan

Holsboer 2003), dan peningkatan sekresi natriuretik atrial peptida (Stro¨hle et al 2006.),

metabolit amina, serta sintesis serotonin dan metabolisme (Dishman et al 1997;. Ransford

1982) dan beta-endorfin. Mekanisme selanjutnya yang berbeda dari bantuan aktivitas

antidepressive dan anxiolytic dapat meningkatkan efektivitas klinis dari aktifitas olahrag

sebagai tatalaksana pada gangguan depresi dan kecemasan. Saat ini masih ada kekurangan

dari studi sistematis tentang bagaimana penanganan terbaik pada depresi dan gejala

kecemasan terkait yang menghambat pasien untuk berpartisipasi dan mendapatkan

keuntungan dari aktifitas olahraga. Pada saat ini, strategi untuk mengubah aktivitas fisik,

yang telah berhasil pada subyek yang sehat, dapat disesuaikan bagi mereka yang memiliki

gangguan depresi atau kecemasan.

12
Izin medis diperlukan untuk subyek dengan faktor risiko penyakit kardiovaskular.

Fisik kuesioner kesiapan aktivitas (PAR-Q) (Thomas dkk. 1992) adalah alat skrining

sederhana yang biasa digunakan dalam skrining pre-partisipasi untuk program aktivitas fisik

dengan intensitas sedang. Setelah menetapkan pilihan untuk modus yang akan digunakan

untuk aktifitas olahraga, pengujian aktifitas fisik harus dilakukan dengan sesuai dan

pengakhiran aktifitas fisik berakhir dengan inisiasi dan pemantauan program . Salah satu hal

utama adalah jangan memberikan hal-hal yang diingini pasien sebelum memulai terapi.

Sayangnya, tidak ada konsep umum untuk administrasi terapi aktivitas fisik untuk pasien

dengan gangguan depresi dan kecemasan (Meyer dan Broocks 2000). Biasanya, dilakukan 3-

4 sesi pelatihan / minggu dengan durasi setidaknya 20-30 menit. Kebanyakan penelitian

memiliki durasi keseluruhan program dari 8-14 minggu. Sebuah buku harian kegiatan

dianjurkan untuk digunakan dan aktivitas fisik kehidupan sehari-hari juga harus dicatat.

Kegiatan dengan intensitas sedang seperti berjalan memiliki hasil yang lebih sukses dari pada

program aktivitas fisik yang berat (Dishman dan Buckwort 1996) dan intervensi yang

menargetkan kelompok tertentu atau disesuaikan dengan individu tersebut lebih efektif

daripada intervensi yang diberikan secara generik (Marcus dkk 1998;. Marcus dan Forsyth

1998 ; Strecher dkk, 2002;. Segar dkk, 2002).. pemberian program aktifitas fisik atau pesan

motivasi dalam bentuk cetakan atau dengan komputer tampaknya juga lebih efektif daripada

konseling tatap muka (Dishman dkk 1997;. Smith dkk 2000;.. Swinburn dkk 1998). Untuk

pasien dengan depresi atau gangguan kecemasan, informasi spesifik tentang aktifitas fisik

(training) harus diberikan kepada pasien. Sebagai contoh, pasien dengan depresi berat dengan

perubahan diurnal harus melakukan aktifitas fisik di keesokan hari; pasien dengan gangguan

panik atau serangan panik, harus diberitahu bahwa dalam beberapa kasus dapat terjadi sensasi

pada tubuh saat melakukan latihan fisik yang dapat memicu serangan panik, terlepas dari

aktivitas anxiolytic akut (Stro¨hle et al. 2005) dan latihan jangka panjang (Broocks et al.

13
1998), dan bahwa peningkatan gejala ini dapat dianggap sebagai bentuk terapi paparan.

Kegiatan harian harus mencakup pengukuran untuk depresi serta keparahan gejala kecemasan

dan telah dihipotesiskan ada umpan balik langsung antara hal-hal tersebut dengan olahraga

dan kesejahteraan yang dapat meningkatkan kepatuhan pasien untuk mengikuti program

aktifitas fisik tersebut. Strategi yang digunakan dengan terapi perilaku kognitif dapat

diterapkan untuk aktifitas olahraga (training): analisis situasi, penetapan tujuan, pemantauan

diri, kegiatan pekerjaan rumah, dan mengikuti serta menyokong perkembangannya dapat

mendukung kepatuhan dan membantu mencapai dan mempertahankan perilaku yang baru

(Otto dkk 2007) . Pada beberapa pasien dengan bentuk yang paling parah dari depresi mayor,

memerlukan perbaikan dari gejala yang ada melalui pendekatan pengobatan lain sebelum

berpartisipasi dalam program latihan aktifitas. Pasien lain, misalnya, responden yang hanya

menggunakan pengobatan parsial, atau subyek dengan hambatan untuk menerima

penatalaksanaan dengan pendekatan medis atau psikologis tradisional, seperti, misalnya,

perempuan minoritas, mendapatkan manfaat paling besar dari aktifitas olahraga (Otto dkk.

2007). Implementasi dan optimasi lebih lanjut dari program aktifitas olahraga untuk pasien

dengan gangguan depresi atau kecemasan memerlukan pendekatan multidisiplin yang

melibatkan ilmuwan dan praktisi dalam psikiatri, psikologi, kesehatan olah raga dan penyedia

perawatan kesehatan serta menggunakan dana publik.

14
Daftar pustaka

1. Abu-Omar K, Ru¨tten A, Lehtinen V (2004a) Mental health and physical activity in


the European Union. Soz Praventivmed 49:301–309
2. Abu-Omar K, Ru¨tten A, Robine J-M (2004b) Self-rated health and physical activity
in the European Union. Soz Praventivmed 49:235–242
3. American College of Sports Medicine (1978) The recommended quantity and quality
of exercise for developing and maintaining fitness in healthy adults. Med Sci Sports
Exerc 10:VII–X
4. American College of Sports Medicine (1990) Position stand: the recommended
quantity and quality of exercise for developing and maintaining cardiorespiratory and
muscular fitness in healthy adults. Med Sci Sports Exerc 22:265–274
5. Babyak M, Blumenthal JA, Herman S et al (2000) Exercise treatment for major
depression: maintenance of therapeutic benefits at 10 months. Psychosom Med
62:633–638
6. Barlow DH, Craske MG (1994) Mastery of your anxiety and panic. Graywind
Publications, Albany, NY Bhui K, Fletcher A (2000) Common mood and anxiety
states: gender differences in the protective effect of physical activity. Soc Psychiatry
Psychiatr Epidemiol 35(1):28–35
7. Blumenthal JA, Emery CF, Madden DJ et al (1989) Cardiovascular and behavioral
effects of aerobic exercise training in healthy older men and women. J Gerontol
44:M147–M157
8. Blumenthal JA, Babyak MA, Moore KA et al (1999) Effects of exercise training on
patients with major depression. Arch Int Med 159:2349–2356
9. Blumenthal JA, Michael A, Babyak A et al (2007) Exercise and pharmacotherapy in
the treatment of major depressive disorder. Psychosom Med 69:587–596
10. Broocks A, Bandelow B, Pekrun G et al (1998) Comparison of aerobic exercise,
clomipramine, and placebo in the treatment if panic disorder. Am J Psychiatry
155:603–609
11. Camacho TC, Roberts RE, Lazarus NB, Kaplan GA, Cohen RD (1991) Physical
activity and depression: evidence from the Alamada County study. Am J Epidiomiol
134(2):220–231
12. CDC (1996) Physical activity and health: a report of the surgeon general. US
Department of Health and Human Services, National Center for Chronic Disease
Prevention and Health Promotion, Atlanta Charney DS (2004) Psychobiological
mechanisms of resilience and vulnerability: Implications for successful adaptation to
extreme stress. Am J Psychiatry 161:195–216
13. Cohen S, Rodriguez R (1995) Pathways linking affective disturbances and physical
disorders. Health Psychol 15:374–380
14. Cotman CW, Berchtold NC (2002) Exercise: a behavioral intervention to enhance
brain health and plasticity. Trends Neurosci 25(6):295–301
15. Craft LL, Landers DM (1998) The effects of exercise on clinical depression resulting
from mental illness: a meta-analysis. J Sport Exerc Psychol 20:339–357
16. Craft LL, Perna FM (2004) The benefits of exercise for the clinically depressed. Prim
Care Companion J Clin Psychiatry 6:104–111
17. Craig CI, Marshall AL, Sjostrom M, Baumann AE, Booth ML, Ainsworth BE, Pratt
M, Ekelund U, Yngve A, Sallis JF, Oja P (2003) International physical activity

15
questionnaire: 12 country reliability and validity. Med Sci Sports Exerc 35:1381–
1395
18. DiLorenzo TM, Bargman EP, Stucky-Ropp R et al (1999) Long-term effects of
aerobic exercise on psychological outcomes. Prev Med 28:75–85
19. Dimeo F, Bauer M, Vahram I, Proest G, Halter U (2001) Benefits from aerobic
exercise in patients with major depression: a pilot study. Br J Sports Med 35:114–117
20. Dishman RK, Buckwort J (1996) Increasing physical activity: a quantitative synthesis.
Med Sci Sports Exerc 28:706–719
21. Dishman RK, Renner KJ, Youngstedt SD et al (1997) Activity wheel running reduces
escape latency and alters brain monoamine levels after footshock. Brain Res Bull
42:399–406
22. Doyne EJ, Ossip-Klein DJ, Bowman ED et al (1987) Running versus weight lifting in
the treatment of depression. J Consult Clin Psychol 55:748–754
23. Dractu L (2001) Physical exercise: an adjunctive treatment for panic disorder? Eur
Psychiatry 16:372–374
24. Droste SK, Gesing A, Ulbricht S et al (2003) Effects of long-term voluntary exercise
on the mouse hypothalamic-pituary-adrenocorticalm axis. Endocrinology
114(7):3012–3023
25. Dunn AL, Garcia ME, Marcus BH et al (1998) Six month physical activity and fitness
changes in project active, randomized trial.Med Sci Sports Exerc 30:1076–1083
26. Dunn AL, Madhukar H, Trivedi MD et al (2005) Exercise treatment for depression
Efficacy and dose response. Am J Prev Med 28(1):1–8
27. Dunn AL, Trivedi MH, O’Neal HA (2001) Physical activity doseresponse effects on
outcome of depression and anxiety. Med Sci Sports Exerc 33:S587–S597
28. Esquivel G, Schruers K, Kuipers H, Griez E (2002) The effects of acute exercise and
high lactate levels on 35% CO2 challenge in healthy volunteers. Acta Psychiatr Scand
106:394–397
29. Farmer ME, Locke BZ, Mosciki EK, Dannenberg AL, Larson DB, Radloff LS (1988)
Physical activity and depressive symptoms: the NHANES I epidemiologic follow-up
study. Am J Epidemiol 128:1340–1351
30. Fremont J, Craighead LW (1987) Aerobic exercise and cognitive therapy in the
treatment of dysphoric moods. Cognit Ther Res 11:241–251
31. Goodwin RD (2003) Association between physical activity andmental disorders
among adults in the United States. Prev Med 36:698–703
32. Greist JH, Klein MH, Eischens RR et al (1979) Running as treatment for depression.
Compr Psychiatry 20:41–54 Guszkowska M (2004) Effects of exercise on anxiety,
depression and mood. Psychiatr Pol 38(4):611–620
33. Haarasilta LM, Marttunen MJ, Kapiro JA, Aro HM (2004) Correlates of depression in
a representative nationwide sample of adolescents (15–19 years) and young adults
(20–24 years). Eur J Pub Health 14:280–285
34. King AC, Haskell WL, Taylor CB, Kraemer HC, DeBusk RF (1991) Group- vs.
home-based exercise training in healthy older men and women: a community-based
trial. JAMA 266:1535–1542
35. King AC, Taylor CB, HaskellWL(1993) Effects of differing intensities and formats of
12 months of exercise training on psychological outcomes in older adults. Health
Psychol 12:292–300
36. Klein MH, Greist JH, Gurman AS, Neiberyer DP (1985) A comparative outcome
study of group psychotherapy vs. Exercise treatments for depression. Int J Mental
Health 13:148–176

16

Anda mungkin juga menyukai