Disusun oleh:
2018
MONITORING
A. Pendahuluan
Monitoring merupakan pekerjaan yang penting dalam penelitian tindakan. Langkah
monitoring ada dalam komponen observasi. Dalam monitoring, perubahan setiap saat setelah
tindakan barus dicatat dengan menggunakan instrumen yang telah dirancang, misalnya
dengan lembar observasi, wawancara atau hasil dokumen seperti "portofolio” dan catatan-
catatan pribadi siswa. Dengan monitoring dapat diketahui setiap perubahan yang disebabkan
oleh suatu tindakan. Apakah perubahan sesuai dengan yang diharapkan sehingga akan
menjawab hipotesis tindakan atau pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya.
Objek monitoring dalam penelitian tindakan kelas sesuai dengan apa yang akan diketahui,
misalnya minat, motivasi, interaksi di kelas, peningkatan partisipasi siswa, kemampuan
berbicara dan sebagainya. Dalam penelitian tindalan kelas, biasanya monitoring dikacaukan
dengan evaluasi proses belajar mengajar. Penelitian tindakan kelas yang menjadi fokus
adalah proses bukan hasil.
Istilah monitoring digunakan untuk mengganti istilah pengumpulan data karena yang
dilihat adalah perubahan dan peningkatan (change/ improvement). Monitoring dilakukan
implementasi tindakan sedang bedalan. Monitoring untuk kemunculan efek atau dampak
akibat pada saat tindakan mengetahui yang muncul berkaitan yang diberikan oleh peneliti.
Monitoting tindakan yang dimaksudkan untuk merekam kejadian perubahan tingkah laku dari
suatu kelas setiap saat yang dikarenakan dampak dari suatu tindakan perbaikan.
Ilmu pengetahuan mulai dengan observasi dan selalu harus kembali kepada observasi untuk
mengetahui kebenaran ilmu itu. Observasi dilakukan untuk memperoleh informasi tentang
kelakuan manusia seperti ada di dalam kenyataan.
Menurut Nasution (2003: 106) dengan observasi dapat kita peroleh gambaran yang
lebih jelas tentang kehidupan sosial yang sukar diperoleh dengan metode lain di teks
observasi juga dilakukan bila belum banyak keterangan dimiliki tentang masalah yang kita
selidiki. Observasi diperlukan untuk menjeda iki nya tidak jadi berfungsi sebagai eksplorasi.
Dari hasil ini kita dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang masalahnya dan
mungkin petunjuk petunjuk tentang cara memecahkannya.
Dengan observasi sebagai alat pengumpul data dimaksud observasi yang dilakukan
secara sistematis bukan observasi sambil-sambilan atau secara kebetulan saja. Dalam
observasi ini diusahakan mengamati keadaan yang wajar dan yang sebenarnya tanpa usaha
yang disengaja untuk mempengaruhi mengatur atau memanipulasikannya.
Mengadakan observasi menurut menurut Nasution (2003: 106) melukiskan kenyataan
dengan kata-kata secara cermat dan tepat apa yang diamati mencatatnya dan kemudian
mengolahnya dalam rangka masalah yang diteliti secara ilmiah bukanlah pekerjaan yang
mudah. Selalu akan dibuka akan hingga manakah hasil pengamatan itu valid dan reliabel
serta hingga manakah objek pengamatan itu representative bagi gejala yang bersamaan.
Seorang peneliti harus melatih dirinya untuk melakukan pengamatan. Banyak yang
dapat kita amati di dunia sekitar kita di mana pun kita berada, ada hal-hal yang kita amati,
ada juga yang luput dari pengamatan. Apa yang kita amati berlainan dengan apa yang kita
alami diamati orang lain, karena kita akan seleksi tentang apa yang kita amati orang menurut
keinginan, latar belakang minat serta luas dan dalam pengetahuan kita tentang sesuatu. Sering
kita amati hal-hal yang aneh, yang menarik perhatian, seperti benda baru atau yang aneh,
akan tetapi bukan gejala sosial yang berkenaan dengan interaksi sosial, pola kekuasaan,
perbedaan status dan peranan dan sebagainya.
Notoatmodjo (1993) mendefinisikan observasi sebagai perbuatan jiwa secara aktif
dan penuh perhatian untuk menyadari adanya rangsangan. Rangsangan tadi setelah mengenai
indra menimbulkan kesadaran untuk melakukan pengamatan.
Dalam penelitian yang dimaksud pengamatan tidak hanya sekedar melihat saja,
melainkan juga perlu keaktifan untuk meresapi, mencermati, memaknai, dan akhirnya
mencatat. Tindakan terakhir ini penting dilaksanakan, karena daya ingat manusia sangat
terbatas untuk menyimpan semua informasi tentang apa yang akan diobservasi dan hasil
pengamatannya. Catatan yang berisi hal-hal yang harus diobservasi dinamakan panduan
observasi. Sedangkan catatan yang merekam hasil observasi dapat berupa gambar dan
catatan panjang sebagai “potret” saat observasi dilakukan atau berupa sebuah check list yang
merupakan suatu daftar yang berisi subyek dan gejala-gejala yang harus diamati berikut
penilaiannya dinamakan alat bantu observasi. Pada zaman ini beberapa alat bantu lain sering
dipergunakan misalnya, kamera, tape recorder dan alat-alat perekam elektronik lainnya
(Sandjaja,2011: 143).
Jadi, dalam metode observasi alat yang dipergunakan dapat berupa pedoman
observasi, catatan, check list maupun alat-alat perekam lain (kamera, tape recorder dan alat-
alat perekam elektronik lainnya) (Sandjaja,2011: 143).
Menurut pelaksanannya observasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu
observasi non sistematis dan observasi sistematis. Pada observasi non sistematis, pengamat
tidak mempergunakan pedoman observasi dan alat perekam lainnya. Semua hasil
observasinya dicatat setelah selesai pelaksanaan observasi. Sedangkan pada observasi
sistematis, pengamat mempergunakan pedoman observasi dan atau alat perekam lainnya.
Sudah barang tentu hasil observasi dengan cara kedua jauh lebih baik daripada cara pertama
(Sandjaja,2011: 143-144).
Menurut Nasution (2012) observasi sebagai alat pengumpul data harus sistematis
artinya observasi serta pencatat banyak dilakukan menurut prosedur dan aturan aturan
tertentu sehingga dapat diulangi kembali oleh peneliti lain. Selain itu hasil observasi itu harus
memberikan kemungkinan untuk menafsirkan secara ilmiah. Dalam garis besarnya observasi
dapat dilakukan satu dengan partisipasi pengamat jadi sebagai partisipan atau tanpa
partisipasi pengamat jadi sebagai non partisipan.
Observasi sebagai berbagai partisipan artinya bahwa peneliti merupakan bagian dari
kelompok yang ditelitinya, misalnya ia termasuk suku bangsa yang merupakan anggota
perkumpulan, atau ia menjadi bekerja dalam perusahaan yang diselidikinya, dan sebagainya.
Keuntungan cara ini menurut Nasution (2012) adalah bahwa peneliti telah merupakan
bagian yang integral dari situasi yang dipelajari sehingga kehadirannya tidak terlalu
mempengaruhi situasi itu dalam kewajaran aditya mengenal situasi itu dengan baik karena ia
berada di dalamnya dan dapat mengumpulkan keterangan yang banyak tidak keberatan yang
terdapat dalam metode ini ialah bahwa besar kemungkinan peneliti terlampau terlibat dalam
situasi itu, sehingga prosedur yang diikutinya tidak dapat diulangi dan dicek kebenarannya
oleh peneliti lain. Karena keterlibatannya mungkin ia tak dapat melihat cara tajam lagi hal-hal
yang khas yang harus diamati dan tidak ada baiknya hal hal itu sudah menjadi di biasa.
Peneliti yang menyamar sebagai pekerja misalnya akan akan terikat oleh peranan itu dan tak
leluasa untuk mengamati aspek-aspek yang lebih luas. Banyak pola waktu dan usaha yang
kita lakukan untuk memasuki itu agar diterima sebagai anggotanya kita bisa misalnya kita
ingin mempelajari kehidupan orang gelandangan atau germo, dapat kita bayangkan betapa
sukarnya agar kita diterima menjadi salah seorang diantara mereka.
Karena kesulitan itu banyak peneliti menggunakan metode observasi tanpa menjadi
partisipan misalnya ia mengobservasi para pekerja tanpa menjadi bekerja dalam perusahaan
itu. keretanya ialah bahwa kehadiran pengamat itu dapat mempengaruhi kelakuan orang yang
diamati tidak akan tetapi setelah beberapa waktu kehadiran pengamat itu dianggap biasa
sehingga kelakuan mereka menjadi wajar kembali tidak peneliti harus mampu menyesuaikan
diri dalam situasi itu dan jangan menonjol agar tidak mempengaruhi kewajaran kelakuan
orang yang diamatinya. Hingga manakah kelakuan mereka wajar dengan kehadiran peneliti
sukar diketahui.
Peneliti dapat mengadakan pengamatan dengan cara menyamar agar tidak disadari
kehadirannya itu sebagai pengamat akan tetapi dapat juga ia melakukan pengamatan secara
terang-terangan dalam hal ini peneliti harus mengambil keputusan sendiri tidak ada kalanya
ia dapat mengadakan pengamatan secara terbuka, dan orang menerima kehadirannya sebagai
peneliti akan tetapi dalam situasi tertentu cara itu, mungkin tidak mengamati pekerjaan germo
atau geng anak-anak nakal mungkin dapat dilakukan secara tersembunyi misalnya menyamar
sebagai orang yang dapat diterima kelompok itu, akan tetapi sukar sebagai penyelidik untuk
menyamar sebagai pembunuh atau pencuri.
Metode observasi dan kesulitannya
Sifat masalah dapat mengharuskan kita memilih metode observasi. Juga sifat orang
atau kelompok yang kita amati memaksa kita mengadakan observasi karena tidak ada jalan
lain untuk memperoleh data. misalnya mempelajari masalah pengedar ganja, wanita tuna
susila, suku-suku yang hidup terpencil, dan lain-lain harus menggunakan observasi.
Tidak semua orang ingin dijadikan objek peneliti dan karena itu tidak bersedia untuk
memberi keterangan secara sukarela. Dalam keadaan itu peneliti terpaksa mengadakan
observasi, sekalipun dengan cara menyamar. Peneliti dapat juga menyuruh orang lain sebagai
penggantinya, jika orang itu lebih mudah memasuki kelompok yang diselidiki itu tanpa
dikenal sebagai pengamat memperoleh kesempatan untuk mengadakan pengamatan
tergantung keadaan dan kelakuan orang tertentu, tidak selalu mudah bahkan sering
menghadapi penolakan atau rintangan tidak banyak hal yang tidak diinginkan diketahui orang
lain kalau merusak nama baik sendiri. Orang merasa diganggu atau dilanggar hak kebebasan
pribadinya bila diamati kelompok yang saling beradu hubungannya dan bersifat eksklusif
terhadap orang luar akan menolak masuknya seorang pengamat. Ada hal-hal yang bersifat
sangat pribadi atau sensitif yang tidak ingin kita ungkapkan kepada orang lain. Dalam hal-hal
yang demikian sangat sulit bagi peneliti untuk memasuki situasi atau kelompok itu secara
terang-terangan.
Menurut Nasution (2012) banyak situasi situasi yang mudah dimasuki oleh peneliti
untuk mengadakan pengamatan, asal yang bersangkutan dapat menerima baik tujuan
penelitian dengan jaminan bahwa penelitian itu tidak akan merugikan bagi individu atau
kelompok yang diamati. Kadang-kadang peneliti dapat berjanji akan lebih dahulu
memperlihatkan hasil penelitiannya kepada instansi yang diamatinya sebelum dipublikasikan.
Dalam segala hal peneliti harus senantiasa menjaga nama baik individu kelompok atau
instansi yang diamatinya dengan meniadakan setiap indikasi tentang identitas individu atau
kelompok yang diselidikinya bila ada kemungkinan akan merugikan pihak yang
bersangkutan.
Suatu cara yang dapat kita lakukan ialah mencatat hasil observasi dari hari ke hari,
jadi membuat semacam buku harian. Dengan cara ini mungkin kita dapat melihat terjadinya
perubahan dan perkembangan. Dalam membuat catatan harus dibedakan hal-hal yang benar-
benar merupakan hasil observasi, dan hal-hal yang merupakan tafsiran atau kesan kita.
Namun bagaimanapun juga catatan selalu dilakukan setelah observasi. Jadi antara observasi
dan pencatatan selalu ada jarak waktu tertentu, sehingga hasil observasi terpengaruh tidak
justru karena itulah perlu kita adakan perbedaan yang cermat antara observasi dan taksiran
tentang observasi itu.
Pencatatan harus dilakukan dengan cermat dan sistematis dengan kode tertentu untuk
tiap topik, kategori atau variabel lalu disimpan dalam bentuk untuk tiap kategori, sehingga
mempermudah pengolahannya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan agar suatu pengamatan dapat dilakukan sistematis
Menurut Nasution (2012) yaitu:
1. Rumuskan hipotesis itu secara tajam agar data yang diperoleh terarah dan lebih cermat.
peneliti bertujuan menguji hipotesis.
2. Pakai teknik observasi yang terkontrol dengan cepat dan mungkin menggunakan
standar objektif seperti ukuran waktu, panjang, jumlah, frekuensi, kodifikasi, tabulasi,
diagram sosiometri,, dan ukuran standar lainnya yang tersedia.
3. Catat kondisi pengamatan yang dilakukan agar dapat diulangi oleh peneliti lain dan
agar diketahui keterbatasannya.
4. Dimana perlu digunakan alat pencatat seperti foto film, rekaman asal relevan dengan
hipotesis yang telah dirumuskan dengan cermat.
5. Semua penelitian banyak bergantung pada peneliti sebagai suatu variabel yang harus
diperhitungkan. Sedapat mungkin hindarilah atau kurangi biasa atau prasangka.
kehadiran pengamat dapat mempengaruhi situasi. Dengan menggunakan One-way
screen anak-anak dapat diamati dalam keadaan yang wajar tanpa mereka sadari.
Menurut Nazir (2013:154) pengumpulan data dengan observasi langsung atau dengan
pengamatan langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada
pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut.
1. Pengamatan yang Tidak Berstruktur
a. Isi Pengamatan
Menurut Nazir (2013:156) tidak ada suatu ketentuan mengenai apa yang harus
diamati oleh peneliti dalam pengamatan tak berstruktur, maka beberapa cek
dapat diberikan.
(1) Partisipan
Dalam hal ini peneliti mengadakan pengamatan untuk mengetahui siapa
partisipan dan bagaimana hubungan partisipan satu dengan yang lain.
(2) Setting
Suatu keadaan atau kegiaan yerjadi pada setting yang berbeda-beda,
seperti rumah sakit, simpang jalan, pabri, dan lain-lain. Sehubungan
dengan ini, juga diketahui bukan saja keadaan dari setting tersebut, tetapi
juga hal-hal yang berhubungan dengan perilaku, seperti apa yang dilarang
atau apa yang dibolehkan dalam setting tertentu.
(3) Tujuan
Pengamatan juga difokuskan untuk melihat apakah tujuan terjadinya suatu
fenomena atau terjadinya suatu komunikasi atau terbentuknya suatu
kelompok.
(4) Perilaku Sosial
Peneliti juga ingin mengetahui apakah yang terjadi secara actual.
(5) Frekuensi dan Lamanya Kejadian
Dalam hal ini ditujukan untuk mengetahui bila situasi terjadi dan bila
berakhir.
b. Mencatat Pengamatan
Menurut Nazir (2013:157) dalam hal mencatat pengamatan yang tidak
berstrukur, maka dua hal perlu diperhatikan, yaitu waktu pengerjaan
pencatatan dan bagaiman fenomena atau kejadian di catat. Waktu yang terbaik
untuk mencatat pengamatan adalah langsung on the spot ketika kejadian
sedang berlaku. Pencatatan on the spot dapat mengurangi bias yang
disebabkan oleh kelupaan. Hopkins (2008: 86) dalam pendekatan ini,
pengamat secara harfiah menggunakan selembar kertas kosong untuk mencatat
pelajaran. Pengamat mencatat poin kunci tentang pelajaran atau menggunakan
bentuk singkat pribadi untuk membuat rekaman transaksi kelas secara
verbatim
c. Meningkatkan Ketepatan Pengamatan
Untuk meningkatkan ketepatan pengamatan, menurut Nazir (2013: 158) ada
beberapa cara yang dapat ditempuh, antara lain sebagai berikut.
(1) Peneliti menggunakan tape recorder untuk merekam pembicaraan.
(2) Peneliti menggunakan kamera, tetapi hal ini terlalu mahal dan dapat
mengganggu kegiatan normal dari objek yang diteliti.
(3) Pengamat bukan terdiri atas satu orag saja, tetapi terdiri atas lebih dari satu
orang.
2. Pengamatan Berstrukur
Pada pengamatan berstruktur si peneliti telah mengetahui aspek apa dari aktivitas
yang diamatinya yang relevan dengan masalah serta tujuan peneliti, dengan
pengungkapan yang sistematis untuk menguji hipotesisnya.
a. Isi Pengamatan
Karena pengamatan berstruktur telah direncanakan serta sistematis, maka
sudah terang isi dari observasinya lebih sempit dan terarah dibandingkan
dengan isi pengamatan yang tidak berstruktur. Dalam menentukan isi dari
pengamatan peneliti dapat menggunakan berbagai teknik. Pada pengamatan
fenomena sosial, peneliti dapat menggunakan dua alat, yaitu sistem kategori
dan menggunakan rating scale (skala nilai).
b. Mencatat Pengamatan
Cara mencatat pengamatan tidak mempunyai standar tertentu. Yang penting
adalah fenomena dapat dicatat dan perilaku dapat diketahui dengan jelas.
Yang paling mudah, lebih-lebih kesulitan pembiayaan adalah dengan
menggunakan kertas yang terdiri atas urutan kategori dan sel-sel dimana
kategori tersebut ditandai.
c. Meningkatkan Reliabilitas Pengamatan
Reliabilitas pengamatan dapat ditingkatkan dengan caa menjaga beberapa hal
yang mempengaruhi error pengamatan, antara lain dapat disebutkan sebagai
berikut.
- Perumusan definisi yang tepat tentang kategori.
- Derajat kepercayaan dalam memutuskan suatu kategori harus lebih dahulu
ditetapkan sehingga dalam menilai sesuatu pengamatan, peneliti telah
mempunyai pegangan dalam menilai pengamatan tersebut.
- Hindarkan persepsi kepentingan pribadi atau nilai sendiri dalam
pengamatan.
- Adakan latihan yang intensif terhadap pengamat. Dalam hubungan ini,
perlu dijelaskan prosedur pengamatan, tujuan dari penelitian, teori-teori
yang berhubungan dengannya, tentang kategori serta peraturan-peraturan
dalam penggunaannya.
- Adakan pretest pada kelompok kecil yang serupa dengan kelompok di
mana pengamatan yang sebenarnya akan dilakukan.
- Gunakan lebih dari satu orang pengamat. Dalam hal ini, penggunaan lebih
dari dua pengamat di pihak lain juga dapat menimbulkan error karena
penekanan yang diberikan pengamat dipengaruhi oleh latar belakang bekal
ilmiah yang dimiliki mereka.
Observasi dapat dikelompokkan berdasarkan pada dua hal, yaitu berdasarkan proses
pengumpulan data, dan berdasarkan instrumen yang digunakan. berdasarkan proses
pengumpulan data, observasi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu observasi berperan serta
(participant observation), dan observasi non partisipan (non participant observation).
Berdasarkan instrumen yang digunakan, observasi dapat dibedakan menjadi observasi
sistematis (systematic observation) dan observasi tidak sistematis (non systematic
observation). (Eko Putro Widoyoko, 2016)
Suatu observasi disebut observasi partisipan jika orang yang melakukan observasi
(observer) turut ambil bagian dalam kegiatan atau terlibat secara langsung dalam aktivitas
orang-orang yang sedang diobservasi (observees). Sambil melakukan observasi, observer
ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh observees sebagai sumber data, serta ikut
merasakan suka dukanya. Dengan observasi partisipan ini maka dapatyang diperoleh akan
lebih lengkap dan tajam, dan sampai mengatahui pada tingkat makna dari setiap perilaku
yang nampak.
Kata partisipan mempunyai arti yang penuh jika observasi betul-betul turut
partisipasi, buka hanya pura-pura semata-mata. Observasi dengan partisipasi pura-pura
disebut quasi participant observation.
Suatu observasi disebut observasi non partisipan jika orang yang melakukan observer
tidak turut ambil bagian dalam kegiatan atau tidak terlibat secara langsung dalam aktivitas
orang-orang yang sedang diobservasi. Observer hanya bertindak sebagai pengamat
independen. Misalnya dalam suatu pusat perbelanjaan, observer dapat mengamati bagaimana
perilaku pembeli terhadap barang-barang, barang-barang apa saja yang paling diminati
pembeli saat itu. Observer mancatat, menganalisis dan selanjutnya dapat membuat
kesimpulan tentang perilaku pembeli. Pengumpulan data dengan observasi non partisipan ini
tidak akan mendapatkan data yang mendalam, dan tidak sampai pada tingkat makna. Makna
adalah nilai-nilai di balik perilaku yang tampak, yang terucapkan dan tertulis.
Observasi sistematis adalah observasi yang telah dirancang secara sistematis, karena
observer telah mengetahui aspek-aspek apa saja yang relevan dengan masalah serta tujuan
penelitian. Telah diketahui variabel apa saja yang perlu diamati, kapan dan di mana tempat
pengamatan dilakukan. Dalam hal ini observer mempersisapkan pedoman pengamatan
secara detail sekaligus menyediakan daftar cek (chek list) yang bisa digunakan sebagai
pedoman pengamatan. Dengan kata lain observasi dilakukan dengan menggunakan
instrumen pengamatan. Pengamatan bisa dilakukan di lapangan atau laboratorium.
Pengamatan bisa dilakukan terhadap manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan.
Misalnya, dalam suatu pameran produk industri dari berbagai Negara, observer belum
tahu pasti apa yang akan diamati. Oleh karena itu, observer dapat melakukan pengamatan
bebas, mencatat yang menarik, melakukan analisis, dan kemudian dibuat kesimpulan.
Jadi, pada pengamatan tidak sistematis, observer tidak mengetahui aspek-aspek apa
saja yang hendak diamati. Selain itu, kegiatan apa saja yang hendak diamatai juga tidak
terbatasi oleh pedoman pengamatan. Dengan kata lain, hal-hal yang hendak diamati tidak
terbatas pada kisi-kisi pedoman epngamatan, tetapi seluruh aktivitas yang dilihat di lapangan
dan sesuai dengan tujuan penelitian menjadi perhatian observer. Observasi tidak sistematis
disebut juga dengan observasi tidak terstruktur (unstructured observation).
Menurut Suwartono (2014) cara ini sangat sesuai untuk mengkaji proses dan perilaku.
Menggunakan metode ini berarti menggunakan mata dan telinga sebagai jendela untuk
merekam data. Dilihat dari sejauh mana keterlibatan peneliti/pengumpul data dalam event
yang diamati, observasi dibagi menjadi dua, yaitu observasi partisipan dan observasi
nonpartisipan.
a. Observasi partisipan/partisipatoris (participant/participatory observation)
Dalam observasi jenis ini peneliti adalah bagian dari apa yang diamati. Seorang
peneliti bisa menjadi anggota suatu kelompok atau organisasi tertentu dan
mengamatinya serta menghimpun data darinya. Kelebihan pengamatan jenis ini
adalah kemampuannnya dalam menjaga kealamiahan. Selain itu peneliti ini dapat
memperkecil peluang munculnya pertanyaan dari individu yang diamati, seperti
alasan kenapa seseorang tak tenal hadir disitu, rasa curiga, atau terganggu. Bila
kondisi seperti ini terbangun dan tidak ada lagi “tembok” pemisah antara yang
mengamati dan yang diamati (disebut rapport), maka tipis kemungkinan orang-orang
yang diamati berperilaku tidak sewajarnya.
Kelemahan pengamatan partisipan adalah dibutuhkan tenaga terlatih dan
berpengalaman. Pastilah tidak gampang berada atau terlibat di dalam suatu kegiatan
sekaligus merekam kegiatan itu sendiri. Ketika berada atau terlibat di dalam kegiatan
anda tidak boleh terlena bahwa anda punya misi merekam proses atau peristiwa. Jenis
pengamatan ini sesuai untuk penelitian yang bersifat etnografis, seperti penelitian-
penelitian sosial dan budaya, di dalamnya termasuk bahasa.
b. Observasi nonpartisipan/nonpartisipatoris.
Dalam pengamatan ini peneliti tida berada di dalam atau melakukan
keterlibatan dalam kegiatan yang diamati. Dengan kata lain, pengamatan berada di
luar kegiatan yang diamati. Mungkin, hanya sedikit bisa menekan bias dengan cara
memperbanyak kehadiran, yang meningkatkan keterbiasaan orang yang diamati
terhadap kehadiran pengamat.
Menurut Sandjaja (2011: 144) pedoman observasi merupakan catatan yang berisi hal-
hal yang akan diobservasi agar peneliti tidak lupa mengobservasinya. Misalnya, seorang
peneliti ingin mengetahui asupan gizi pada balita. Salah satu cara pengumpulan data untuk
penelitiannya dilakukan dengan metode observasi. Hal-hal yang akan diobservasi dicatat
dalam pedoman observasi yang meliputi: (1) jenis bahan makanan yang disediakan, (2)
kebersihan bahan dan alat, (3) cara mengolah, (4) cara memberikan makanan pada balita, (5)
frekuensi pemberian makanan, dan seterusnya.
Pada observasi sistematis, ada kalanya dipergunakan suatu format yang dinamakan
Rating Scale sebagai alat bantu observasi. Format ini mengandung topic yang diamati berikut
skalanya. Skala ini harus diisi nilainya menurut persepsi pengamat. Agar pengamatan dapat
dikuantitatifkan, orang mempergunakan skala yang dinamakan skala Linkert sehingga data
kualitatif yang ada diubah menjadi data interval.
Berikut ini diberikan sebuah contoh (Sandjaja,2011: 144-145).
Seorang peneliti ingin mengetahui ketrampilan pelatih pada suatu penelitian dengan
mempergunakan observasi. Salah satu aspek ketrampilan yang diteliti adalah cara melakukan
presentasi. Rating scale yang digunakan mempunyai 5 tingkat dari tingkat yang paling
rendah ke tingkat yang terbaik. Nilai 1 dinyatakan sebagai “Tidak memuaskan”, nilai 2
sebagai “Kurang memuaskan”, nilai 3 “Cukup memuaskan”, nilai 4 sebagai “Memuaskan”.
Dan nilai 5 “Sangat Memuaskan”. Pada check list ini pengamatan tinggal membutuhkan
tanda check (√) pada penilian yang dianggapnya cocok.
Skala yang digunakan di sini adalah skala Likert yang pengukurannya dianggap sama
dengan skala interval.
Check List Ketrampilan Presentasi
Ketrampilan Pengamatan
Menyampaikan pengantar
Menyampaikan tujuan pelatihan
Melemparkan pertanyaan pada kelompok
Menyampaikan pertanyaan pada individu
Melemparkan pertanyaan dengan tingkat berbeda
Memanggil peserta dengan namanya
dst
Menurut Sandjaja (2011: 145), suatu hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan
observasi adalah sikap peneliti yang tidak memata-matai dan tidak menimbulkan kecurigaan
responden. Sikap wajar dan tidak Nampak sebagai penyelidik sangat membantu dalam
mengobservasi perilaku responden. Kalau responden tahu sedang diamati, maka dapat saja
timbul perilaku-perilaku yang tidak wajar yang bukan menjadi kebiasaannya, sehingga
menimbulkan bias. Untuk mengatasi hal ini diperlukan suatu pendekatan pendahuluan yang
menciptakan suasana rapport (suasana yang merupakan hubungan erat dan bersahabat)
antara pengamat dan responden sebelum melakukan observasi. Rapport dapat diciptakan
dengan cara: (1) ikut serta dalam semua kegiatan yang dilakukan responden; (2) menjadikan
diri sendiri sebagai orang dalam, kawan, dari responden; (3) sopan, ramah menerangkan
maksud kedatangannya dan menyatakan betapa pentingnya informasi yang bakal diperoleh,
(d) perlu ada tokoh pengantar yang dikenal baik oleh responden sebagai penghubung
(Sandjaja,2011: 145).
Sesuai dengan etika penelitin, diharuskan terlebih dahulu meminta persetujuan
responden bahwa akan dilaksanakan penelitian terhadapnya. Hal ini dikemukakan karena
sering terjadi seorang peneliti meletakkan kamera secara tersembunyi untuk merekam
kelakuan responden, kemudian mempublikasikannya sebagai hasil penelitiannya. Perbuatan
ini sangat tidak etis (Sandjaja,2011: 146).
Nasution, S (2012) untuk mendukung teknik pengumpulan data , maka penelitian ini
menggunakan instrumen penelitian. instrumen penelitian yang digunakan berguna sebagai
pedoman dalam penelitian
1) Instrumen Model Quantum Learning
a) Definisi Konseptual Model Quantum Learning
Quantum Learning adalah kiat, petunjuk, strategi dan seluruh proses belajar yang
dapat mempertajam pemahaman dan data ingat, serta membuat belajar sebagai suatu
proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Meningkatkan kemampuan diri, yaitu
interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya yang menggabungkan sugestologi,
mempercepat belajar, dan NLP dengan teori keyakinan, dan metode tertentu. Termasuk
konsep-konsep strategi belajar, seperti: teori otak kanan/kiri, teori otak triune ( 3 in 1 ),
pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik), teori kecerdasan ganda, pendidikan
holistik, belajar berdasarkan pengalaman, simulasi/permainan.
Berikut adalah kisi-kisi instrumen model belajar, Quantum Learning sebagai indikator
aktivitas guru dan peserata didik yang akan diteliti. Indikator tersebut dilaksanakan
secara sistematis dan sesuai dengan teori model belajar Quantum Learning. Kisi-kisi
yang digunakan sebagai instrumen pelaksanaan terbagi dalam dua hal, yaitu yang
ditujukan untuk peserta didik dan guru. Berikut adalah tabel langkah-langkah
pelaksanaan kegiatan Model Belajar Quantum Learning
Kegiatan Indikator
Siswa Teori Otak triune (3 in 1)
Pilihan modalitas (visual, auditorial,
dan kinestetik)
Pendidikan holistik (menyeluruh).
Belajar berdasarkan pengalaman
Simulasi/permainan
Guru Membuat model pembelajaran
Memanfaatkan cara berpikir dua
berlahan otak kiri dan kanan
Memberikan umpan balik positif pada
siswa
Untuk menilai keberhasilan pelaksanaan kegiatan pembelajran model belajar Quantum
Learning di atas, buatlah pedoman observasi ini.
Tabel 7.7 Pedoman Observasi Model Belajar Quantum Learning
Penilaian :
Skor Rata-rata = ... =
Kriteria
1,00 < Skor Rata-rata < 1,75:
Pembelajaran tidak baik
1,75 < Skor Rata-rata ≤ 2,50:
Pembelajaran cukup baik
2,50 < skor Rata-rata ≤ 3,25:
Pembelajarn baik
3,25 < Skor Rata-rata ≤ 4,00
Pembelajaran sangat baik
Hasil observasi:
Pertemuan: skor:rata-rata =
Kriteria:
Pedoman observasi tersebut
digunakan sebagai bahan utama
untuk membuat catatan lapangan
berdasarkan hasil pengamatan
kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakan guru dan peserta
didik.
Uraian tahapan penelitian yang dijelaskan di atas dibuat dengan terperinci agar
pelaksanaannya dapat dilakukan secara terstruktur dan terukur. Sebagai perbandingan untuk
melengkapi pemahaman yang mendalam berikut ditampilkan lembar observasi dari peneltiain
Kurnia (2014) yang menerapkan pembelajarn discovery menggunakan metode berbasis
masalah. Untuk menilai kebehasilan pelaksanaan kegiatan pembelajaran strategi discovery di
atas, dibuatlah pedoman observasi di bawah ini.
Tabel 7.9 Pedoman Observasi Hasil Belajar IPS dengan Penerapan Strategi
Discovery Berbasis Masalah
Hasil Pengamatan
No Aktivitas Siswa
Ya Tidak
1. Mampu mengamati atau mengobservasi contoh kasus
yang berhubungan dengan materi pelajaran
2. Mampu menemukan dan mengklasifikasi masalah yang
terdapat pada topik materi pelajaran.
3. Dapat mengaitkan pemahaman dengan ilmu
pengetahuan, dan mampu memberikan penjelasan
masalah secara detail.
4. Dapat menemukan dan mengaitkan masalah topik
pelajaran dengan masalah yang terjadi dalam
masyarakat.
5. Dapat memberikan solusi berdasarkan contoh kasus dan
mampu menganalisis hubungannya.
6. Memberikan solusi pemecahan masalah dan mampu
mengomunikasikan solusi tersebut.
7. Mampu mengemukakan solusi masalah pelajaran
dengan gagasan dan ide sendiri dalam bentuk presentasi
8. Aktif dalam mempresentasikan gagasannya, dan dapat
berinteraksi dengan teman sekelasnya.
Pedoman observasi tersebut digunakan sebagai bahan utama untuk membuat catatan
lapangan berdasarkan hasil pengamatan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan guru dan
siswa.
2. Wawancara
Menurut Widyoko (2016:33) Wawancara merupakan suatu proses tanya jawab atau dialog
secara lisan antara pewawancara (interviewer) dengan responden atau orang yang diinterviu
(interviewee) dengan tujuan untuk memperoleh informasi yang dibutuhakn oleh peneliti.
Wawancara merupakan cara pengumpulan data yang langsung dari sumbernya tentang
berbagai gejala sosial, baik yang terpendam (latent) maupun tampak. Waawancara
merupakan alat yang sangat baik untuk mengetahui tanggapan, pendapat, keyakinan,
perasaan, motivasi, serta proyeksi seseorang terhadap masa depannya. Wawancara
diguanakan bila jumlah responden relatif sedikit. Akan ada beberpa faktor yang akan
mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara, responden, pedoman
wawancara, dan situasi wawancara.
Pewawancara (interviewer) adalah petugas pe ngumpul informasi yang diharaokan
dapat menyampaikan pertanyaan dengan jelas dan merangsang responden untuk menjawab
semua pertanyaan dan mencatat semua informasi yang dibutuhkan dengan benar.
Orang yang diinterviu (interviewee) atau responden adalah pemberi informasi yang
diharapkan dapat menajwab semua pertanyaan dengan jelas dan lengkap. Dalam pelaksanaan
wawancara, diperlukan kesediaan dari respinden untuk menjawab pertanyaan dan keselarasan
antara responden dan pewawancara.
Pedoman waawancafra berisi tentang uraian tentang data yang akan diungkap yang
biasanya dituangkan dalam bentuk pertanyaan agar proses wawancara berjalan dengan baik.
Situasi wawawancara berhubungan dengan waktu dan tempat wawancara. Waktu dan
tempat wawancara yang tidak tepat dapat menjadikan pewawancara merasa enggan untuk
menjawab pertanyaan yang diajukan.
Menurut Sanjaya (2010:96) wawancara atau interview dapat diartikan sebagai teknik
mengumpulkan data dengan menggunakan bahasa lisan baik secara tatap muka ataupun
melalui saluran media tertentu. Selain observasi, wawancara atau interview merupakan
instrumen penelitian yang sering digunakan untuk mengumpulkan data dalam PTK.
Sedangkan menurut Sayodih (2006) Wawancara atau interview, merupakan salah satu
bentuk teknik pengumpulan data yang banyak digunakandalan penelitian diskriptif kuantitatif
dan diskriptif kualitatif. Wawancara dilaksanakan secara lisan dan pertemuan tatap muka seca
ra individual. Adakalanya juga wawancara dilakukan secara kelompok, kalau memang tujuan
nya untuk menghimpun data dari kelompok dari wawancara dengan suatu keluarga, pengurus
yayasan, pembina pramuka, dll. Wawancara yang ditujukan untuk memperoleh data dari indi
vidu dilaksanakan secara individual.
Menurut Sandjaja (2011: 147) wawancara adalah suatu tanya jawab secara tatap muka
yang dilaksanakan oleh pewawancara dengan orang yang diwawancarai untuk memperoleh in
formasi yang dibutuhkan
Menurut Nasution (2003: 113) wawancara atau interview adalah suatu bentuk
komunikasi verbal jadi semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi detail
guru menanyakan murid tentang keadaan rumah, atau kita menanyakan petani tentang seluk
beluk pertanian itu wawancara namun wawancara sebagai alat penelitian lebih sistematis.
Menurut Suwartono (2014) Wawancara adalah cara menjaring informasi atau data
melalui interaksi verbal/lisan. Wawancara memungkinkan kita menyusup ke dalam “alam”
pikiran oranglain., tepatnya hal-hal yang berhubungan dengan perasaan, pikiran, pengalaman,
pendapat, dan lainnya yang tidak bisa diamati.
Menurut Subbana (Riduwan, 2012) Wawancara adalah suatu cara pengumpulan data
yang digunakan untuk memperoleh informasi sesuai dari sumbernya. wawancara ini
digunakan bila ingin mengetahui hal-hal dari responden secara lebih mendalam serta jumlah
responden sedikit. ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi arus informasi dalam
wawancara yaitu:pewawancara, responden, pedoman wawancara, dan situasi
wawancara(Subana, 2000: 29).
Selanjutnya menurut Mardalis (2007) Wawancara adalah teknik peneliti mendapatkan
yang digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan keterangan lisan melalui bercakap-
cakap dan berhadapan muka denagn ornag yang dapat memberikan keterangan pada si
peneliti. Jika peneliti akan menggunakan teknik wawancara untuk dalam penelitiannya,
yang perlu diketahui lebih dulu : sasaran, maksud, dan masalah apa yang dibutuhkan si
peneliti, sebab dalam suatu wawancara dapat diperoleh keterangan yang berlainan dan
adakalanya tidak sesuai dengan maksud peneliti. Seperti informan, reserse, intel mendapatkan
keterangan dan data individu tertentu untuk keperluan informasi penyidikan, penyiasatan
dalam pengusutan sesuatu masalah. Sedangkan sipeneliti berwawancara untuk mendapatkan
data, keterangan tentang diri pribadi, pendidirna atau pandangan serta endapat individu yang
diwawancarai untuk keperluan data pembanding/komperatif dengan pendapat lainnya agar
dapat kebenaran yang lebih valid dan terandalkan.
Menurut Kunandar (2011:157-158) Wawancara merupakan pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan secara verbal kepada orang-orang yang dianggap dapat memberikan informasi
atau penjelasan hal-hal yang dipandang perlu dan memiliki relevansi dengan permasalahan
penelitian tindakan kelas. Dalam PTK wawancara dapat dilakukan terhadap kepala sekolah,
siswa, beberapa teman sejawat, pegawai tata usaha sekolah, orang tua siswa, dan pihak-pihak
yang terkait dengan masalah PTK. Mereka disebut informan kunci atau key informan, yaitu
mereka yang mempunyai pengetahuan khusus, status, atau keterampilan berkomunikasi.
Karena guru ketika PTK berlangsung posisinya mengajar, lebih baik yang melakukan
wawancara adalah mitra peneliti. sementara itu, menurut Hopkins (1993), wawancar adalah
suatu cara untuk mengetahui situasi tertentu di dalam kelas dilihat dari sudut pandang yang
lain.
b. Dasar Penggunaan Wawancara
Menurut Widyoko (2016) Wawancara atau interviu memiliki dasar penggunaan yang
samadengan angket, yaitu mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri (self report) dari
responden, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan, keyakinan, maupun sikap pribadi
responden. Penggunaan wawancara sebagai metode pengumpulan data dalam penelitian
didasarkan pada anggapan:
1. Bahwa subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri.
2. Bahwa apa yang dinyatakan oleh subjek kepada peneliti adalah benar dan dapat
dipercaya.
3. Bahwa interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya
adalah sama dengan yang dimaksudkan oleh peneliti (Sutrisno Hadi, 1984: 157).
c. Fungsi Wawancara
Fungsi wawancara pada dasarnya dapat digolongkan ke dalam tiga golongan besar,
yaitu (1) sebagai metode primer, (2) sebagai metode pelengkap, dan (3) sebagai kriterium
(Sutrisno hadi, 1984: 193).
Bilamana wawancara dijadikan sebagai satu-satunya alat pengumpul data, atau
sebagai metode pengumpul data yang utama dalam serangakaian metode-metode
pengumpulan data lainnya, ia akan memiliki fungsi sebagai metode primer. Sebaliknya jika ia
digunakan sebagai alat untuk mencari informasi-informasi yang tidak dapat diperoleh dengan
cara lain, ia akan berfungsi sebagai metode pelengkap. Dengan kata lain informasi yang
diperoleh dari hasil wawancara digunakan sebagai pelengkap terhadap informasi yang
diperoleh dengan menggunakan metode lain.
Pada saat -saat tertentu metode wawancara digunakan peneliti untuk menguji
kebenaran atau menverifikasi data yang telah diperoleh dengan metode lain, seperti angket,
observasi, tes, dan sebagainya. Dalam kasus yang terskhir, metode wawancara berfungsi
sebagai kriterium untuk mengecek kebenaran data yang telah diperoleh dengan metode lain.
Pada tiga golongan fungsi tersebut tidak berarti satu fungsi memiliki kedudukan yang
lebih penting dibandingkan dengan fungsi lainnya. Sebagai metode primer, wawancara
mengemban tugas yang sangat penting. Sebagai metode pelengkap, wawancara menjadi
sumber informasi yang sangat berharga. Dan sebagai kriterium, wawancara sebagai alat yang
dapat dijadikan sebagai dalam mengambil keputusan tentang kebenaran data penelitian.
Ditinjau dari segi ketiga fungsi tersebut memperlihatkan bahwa wawancara merupakan suatu
metode pengumpulan data yang serba guna atau multi fungsi.
Menurut Nasution (2003: 114) Wawancara merupakan alat yang ampuh untuk
mengungkapkan kenyataan hidup, apa yang diberikan atau dirasakan orang tentang berbagai
kehidupan agama melalui tanya jawab kita dapat memasuki alam pikiran orang lain, sehingga
kita memperoleh gambaran tentang dunia mereka. Jadi wawancara yang berfungsi deskriptif
yaitu melukiskan dunia kenyataan seperti yang dialami oleh orang lain misalnya dunia
kehidupan orang gelandangan, suku terpencil, tukang becak, pemuda zaman kini, dan
sebagainya. Dari bahan-bahan itu peneliti dapat memperoleh gambaran yang lebih objektif
tentang masalah yang diselidiki nya. Selain berfungsi deskriptif, wawancara dapat berfungsi
eksploratif, yakni bila masalah yang kita hadapi masih samar-samar bagi kita karena belum
pernah diselidiki secara mendalam oleh orang lain
d. Jenis -jenis Wawancara
Menurut Widyoko (2016) berdasarkan sifat pertanyaan, wawancara dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur.
1. Wawancara Terstruktur (Structured Interview)
Wawancara terstruktur adalah wawancara yang dilakukan dengan menggunakan
pedoman wawancara yang telah disusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan
data. Wawancara terstruktur digunakan sebagai metode pengumpulan data, bila peneliti atau
pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh.
Oleh karena itu dalam melakukan wawancara, pengumpul data telah menyiapkan instrumen
penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya telah disiapkan.
Dengan wawancara terstruktur ini setiap responden diberi pertanyaan yang sama, dan peneliti
mencatatnya. Dengan wawancara terstsruktur ini pula, pengumpul data dapat menggunakan
pewawancara sebagai pengumpul data. Supaya setiap pewawancara mempunyai keterampilan
yang sama maka diperlukan training bagi calon pewawancara.
Saat melakukan wawancara, selain harus membawa instrumen sebagai pedoman
untuk wawancara, maka pengumpul data juga dapat menggunakan alat bantu seperti tape
recorder, gambar, brosur, dan alat bantu lain yang dapat membantu pelaksaanaan
waawancara menjadi lancar. penelitian bidang pemasaran misalnya, bila akan melakukan
penelitian untuk mengetahui respon masyarakat terhadap produk tertentu maka perlu
membawa foto-foto atau brosur tentang produk tersebut.
Penelitian yang menggunakan wawancara terstruktur, pewawancara harus bertanya
dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah tersedia dan tidak boleh menyimpang. Materi
pertanyaan harus jelas, tidak meragukan dan dapat dimengerti oleh responden. Demikian juga
kemungkinan jawaban-jawaban jga harus dipikirkan dengan baik.
Keberhasilan wawancara tidak terlepas dari kemampuan pewawancara dalam menggali
sebuah informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Oleh karena itu untuk menunjang
keberhasilan wawancara, para pewawancara harus memiliki: (1) kemampuan berkomunikasi
yang baik, (2) kemampuan berbahasa yang baik, (3) kemampuan memberi kesan yang baik
kepada para responden, (4) pemahaman tentang maksud dan tujan penelitian, dan (5)
kemampuan membuat catatan yang lengkap dan jelas.
2. Wawancara Tidak Terstruktur (Unstructured Interview)
Wawancara tidak terstruktur atau terbuka adalah wawancara bebas, dimana
pewawancara tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis
dan lengkap untuk mengumpulkan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya
merupakan garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Pertanyan disampikan
secara tidak terstruktur, akan tetapi selalu terpusat kepada satu pokok persoalan tertentu yang
terkait dengan variabel yang diteliti. Wawancara dilakukan sambil lalu, tidak tertuju kepada
orang-orang yang tidak selalu melalui seleksi terlebih dahulu, akan tetapi hanya kepada
responden yang dijumpai secara kebetulan.
Wawancara tidak terstruktur sering digunakan dalam penelitian pendahuluan atau
bahkan untuk penelitian yang lebih mendalam tentang responden. Pada penelitian
pendahuluan, peneliti berusaha mendalapatkan informasi awal tentang berbagai isu atau
permasalahan yang ada pada objek penelitian, sehingga peneliti dapat menentukan secara
pasti permasalahan satu variabel apa saja yang harus diteliti. Untuk mendapatkan gambaran
permasalahan yang lebih lengkap, maka peneliti perlu melakukan wawancara kepada pihak-
pihak yang mewakili berbagai tingkatan yang ada pada objek. Misalnya akan melakukan
penelitian tentang iklim kerja perusahaan, maka dapat dilakukan wawancara dengan pekerja
tingkat bawah, supervisor, dan manajer.
Untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam tentang responden, maka peneliti
dapat menggunakan wawancara tidak terstruktur. Misalnya seseorang yang dicurigai
melakukan kecurangan dalam suatu kegiatan, maka peneliti akan melakukan wawancara
tidak terstruktur atau terbuka secara mendalam, sampai diperoleh informasi bahwa orang
tersebut betul-betul melakukan kecurangan atau tidak.
Saat wawancara tidak terstruktur, pewawancara belum mengetahui secara pasti data
apa yang akan diperoleh, sehingga pewawancara lebih banyak mendengarkan apa saja yang
diceritakan oleh responden. Berdasarkan analisis terhadap setiap jawaban dari responden
tersebut maka pewawancara dapat mengajukan pertanyaan berikutnya yang lebih terarah pada
tujuan penelitian. Saat melakukan wawancara tidak terstruktur pewawancara dapat
menggunakan cara "berputar-putar baru menukik" artinya pada awal wawancara, yang
dibicarakan adalah hal-hal yang tidak terkait dengan tujuan penelitian, dan bila sudah terbuka
kesempatan untuk menanyakan sesuatu yang sesuai dengan tujuan, maka segera ditanyakan.
Wawancara baik yang terstruktur maupun yang tidak terstruktur dapat dilakukan
secara berhadapan muka secara langsung (face to face) maupun menggunakan pesawat
telepon. Pada saat wawancara selalu terjadi kontak pribadi , oleh karena itu oewawancara
perlu memahami situasi dan kondisi responden sehingga dapat memeilih waktu yang tepat
kapan dan dimana wawancara akan dilaksanakan. pada daat responden sedang sibuk bekerja,
sedang mempunyai permasalahan berat sedang mulai istirahat, sedang tidak sehat, atau emosi
sedang tidak stabil, maka harus hati-hati melakukan wawancara. kalau wawancara
dipaksakan dalam kondisi seperti itu, maka akan menguhasilkan data yang kurang akurat.
Bila responden yang akan diwawancarai telah ditentukan orangnya, maka sebaiknya sebelum
melakukan wawancara, pewawancara minta waktu terlebih dulu, kapan dan dimana
wawancara dapat dilaksanakan. dengan cara ini, maka suasana wawancara akan lebih baik,
sehingga data yang diperolah akan lebih lengkap dan akurat.
Menurut Sanjaya, (2010:96).Untuk pengumpulan data dalam PTK wawancara dilihat
dari pelaksanaannya bisa dilakukan secara insidental dan wawancara terencana. Wawancara
insidental adalah jenis wawancara yang dilaksanakan sewaktu-waktu bila dianggap perlu.
Wawancara yang demikian juga dinamakan sebagai wawancara yang tidak formal.
Wawancara terencana adalah jenis wawancara yang dilaksanakan secara formal yang
dilaksanakan secara terencana baik mengenai waktu pelaksanaannya tempat dan topik yang
akan dibicarakan.
Dilihat dari bentuk pertanyaan dan bentuk jawabannya wawancara bisa dibedakan
antara wawancara dengan pertanyaan yang mengharapkan jawaban yang sudah pasti atau
pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka. Pada pertanyaan tertutup (close question), siswa
hanya dapat menjawab "ya" atau "tidak", sedangkan pada pertanyaan terbuka, siswa memiliki
kesempatan untuk menjawab sesuai dengan pendapatnya sendiri (Sanjaya, 2010:96-97).
Ada tiga jenis wawancara menurut ada tidaknya pedoman wawancara, yaitu sebagai
berikut (Sandjaja,2011: 147-148).
a. Wawabcara bebas. Pada wawancara jenis ini, si pewawancara tidak mempergunakan
pedoman wawancara sehingga tanya jawab terjadi tidak terfokus pada satu arah
melainkan bisa kemana-mana. Memang pelaksanaannya Nampak santai dan tidak serius
serta responden tidak merasa diwawancarai. Namun hasil yang diperoleh dengan cara ini
tidak optimal.
b. Wawancara terpimpin. Dalam pelaksanaan wawancara jenis ini, si pewawancara
memperhunakan pedoman wawancara yang dapat menunjukkan arah tanya jawab yang
dilakukan. Pedoman wawancara yang sudah dirancang telah dipersiapkan jauh hari
sebelum wawancara dilaksanakan. Isi pedoman tersebut adalah pertanyaan-pertanyaan
yang harus diajukan pada responden. Si pewawancara tinggal membacakan pertanyaan
tersebut pada responden dan bila perlu menjelaskan maksud pertanyaan tadi. Sudah tentu
hasil wawancara ini lebih cermat daripada wawancara bebas, tetapi hubungan antara si
pewawancara dan responden Nampak kaku dan formal serta tidak seerat hubungan pada
wawancara bebas. Pada pelaksanaan wawancara terpimpin, si pewawancara dapat pula
mempergunakan kuesioner sebagai pedoman wawancara.
c. Wawancara bebas terpimpin. Jenis wawancara ini merupakan gabungan antara
wawancara bebas dan wawancara terpimpin. Kebaikan dari wawancara bebas dan
terpimpin terdapat pada wawancara jenis ini sehingga wawancara ini dapat digunakan
untuk mengeksplorasi informasi secara mendalam. Wawancara ini menjadi penting
artinya dalam pelaksanaan wawancara mendalam (depth interview) yang sering
digunakan pada penelitian kualitatif untuk menggali informasi sedalam mungkin (dig
deeper analysis).
Menurut cara pelaksanaannya wawancara dapat dibedakan menjadi sebagai berikut
(Sandjaja,2011: 147-148).
a. Wawancara mendalam (depth Interview). Metode ini sering digunakan untuk
menggali semua atribut responden atau informan sedalam mungkin seperti dilaksanakan
pada penelitian kualitatif.
b. Focus Group Discussion (FGD). FDG adalah suatu teknik pengumpulan data kualitatif
yang melibatkan sekelompok orang yang berdiskusi mengenai suatu topic dengan
pengarahan seorang moderator atau fasilitator.
Teknik FDG ini mempunyai karakteristik khusus yaitu sebagai berikut.
1) Pesertanya antara 6-12 orang, agar setiap peserta mendapat kesempatan
mengemukakan pendapat dan memberikan ide-ide yang cukup banyak.
2) Peserta diskusi tidak saling mengenal, demikian juga moderator tidak mengenal
peserta.
3) Teknik ini sekedar untuk mengumpulkan data mengenai presepsi peserta terhadap
suatu topik dan bukan untuk pengambilan kesepakatan atau pengambilan keputusan.
4) Hanya mengumpulkan data kualitatif, oleh karenanya dilakukan dengan pertanyaan
terbuka yang memungkinkan peserta memberikan jawaban dan penjelasan.
Moderator hanya sebagai pengarah, pendengar, pengamat dan penganalisa melalui
proses induktif (Sandjaja,2011: 149).
Menurut Sarwono (2006) ada 2 jenis interview:
1) Interview khusus (Elite Interviewing)
Yang dimaksud dengan interview khusus ialah melakukan wawancara dengan
kelompok elit tertentu, misalnya dengan pimpinan perusahaan atau kantor tertentu. Tujuan
utama ialah untuk mendapatkan infromasi yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan
penting suatu perusahaan. Kelompok elit ini sangat memahami seluk beluk perusahaan dari
berbagai sisi, misalnya dari sisi kualitas sumber daya manusia, keuangan, dan kebijakan-
kebijakan yang berkaitan dengan tujuan perusahaan. Informasi sedemikan itu tidak akan
dapat diperoleh dari para pegawai biasa ataupun para manajer kelompok menengah.
2) Interview Kelompok Kecil (Focus Group Interviewing)
Interview model ini diilhami oleh para peneliti bidang pemasaran. Mereka melakukan
interview atau diskusi dengan beberapa orang yang biasanya terdiri dari 5-10 orang.
Pelaksanaannya ialah kelompok tersebut dipandu oleh seorang yang ahli dalam bidang
pemasaran dan mengarahkan diskusi dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan yang
sudah dirancang sebelumnya. Pertanyaan diberikan kepada peserta dan kemudian para
peserta diminta menjawab dan mendiskusikan dengan kelompoknya.
Tujuan dari diskusi model ini ialah untuk menyaring permasalahan yang umum menjadi
lebih khusus yang pada akhirnya permasalahan khusus tersebut akan dijadikan sebagai
masalah yang layak untuk diteliti.
Menurut Nasution (2012) wawancara dapat dibagi dalam sejumlah jenis menurut
berbagai caranya, misalnya menurut:
1. Fungsinya:
a. Diagnostik b. Therapeutik c. Penelitian
2. Jumlah responden:
a. Individu b. Kelompok
3. Lama interview:
a. Singkat b. Panjang
4. Peran pewawancara dan responden
a. Terbuka, tak berstruktur, bebas, non-directive atau client centered.
b. Tertutup, berstruktur
Selanjutnya menurut Nasution (2012) pada umumnya dapat dibedakan 2 macam
interview yakni yang berstruktur dan tak berstruktur.
1. Wawancara berstruktur
Dalam wawancara berstruktur semua pertanyaan telah dirumuskan sebelumnya dengan
cermat biasanya secara tertulis. Pewawancara dapat menggunakan daftar pertanyaan itu
sewaktu melakukan interview itu atau jika mungkin menghafalnya di luar kepala agar
percakapan menjadi lancar dan wajar. Jawaban atas pertanyaan itu juga telah ditentukan lebih
dahulu secara pilihan berganda. Kepada responden dapat diberikan kartu yang berisi
alternatif-alternatif jawaban bila jumlah cukup banyak yang tidak segera dapat ditangkap
seluruhnya oleh responden. Dengan pertanyaan serta jawaban yang telah ditentukan itu,
pengolahan data yang diperoleh lebih mudah dilakukan bila dibandingkan dengan wawancara
yang tidak berstruktur.
2. Wawancara Tak Berstruktur (Bebas)
Dalam wawancara serupa ini tidak dipersiapkan daftar pertanyaan sebelumnya.
Pewawancara hanya menghadapi suatu masalah secara umum, misalnya pendidikan seks
tidak boleh menanyakan apa saja yang dianggapnya perlu dalam situasi wawancara itu.
Pertanyaan tidak diajukan dalam urutan yang sama, bahkan pertanyaannya pun tak selalu
sama. Namun ada baiknya bila pewawancara sebagai pegangan mencatat pokok-pokok
penting yang akan dibicarakan sesuai dengan tujuan wawancara. Responden boleh menjawab
secara bebas menurut isi hati atau pikiran nya. Lama interview juga tidak ditentukan dan
diakhiri menurut keinginan pewawancara.
Menurut Riduwan (2012) berdasarkan sifat pertanyaan, wawancara dapat dibedakan
menjadi:
a) Wawancara Terpimpin
Dalam wawancara ini, pertanyaan diajukan menurut daftar pertanyaan yang telah
disusun.
b) Wawancara Bebas
Dalam wawancara ini, terjadi tanya jawab bebas antara pewawancara dan responden,
tetapi pewawancara menggunakan tujuan penelitian sebagai pedoman.Kebaikan wawancara
ini adalah responden tidak menyadari sepenuhnya bahwa ia sedang diwawancarai.
c) Wawancara Bebas Terpimpin
Wawancara ini merupakan perpaduan antara wawancara bebas dan wawancara
terpimpin. Dalam pelaksanaannya, pewawancara membawa pedoman yang hanya merupakan
garis besar tentang hal hal yang akan ditanyakan.
2. Kelemahan
Salah atau kelemahan yang mungkin terjadi dalam wawancara adalah adanya pengaruh
suasana dari proses wawancara itu sendiri, oleh karena dalam wawancara ada orang yang
berfungsi sebagai pewawancara dan yang diwawancarai. Untuk mengatasi kelemahan
tersebut agar wawancara berhasil Sebaiknya pewawancara dapat menciptakan suasana yang
menyenangkan bebas, dan terbuka sehingga yang diwawancarai misalnya siswa dapat terbuka
pula memberikan informasi yang diperlukan. Selain itu, juga agar wawancara terarah kepada
pokok pembicaraan yang diharapkan, sebaiknya sebelum wawancara dimulai terlebih dahulu
perlu disusun pedoman wawancara. Dalam pertemuan tersebut ditulis pokok-pokok
pertanyaan yang akan diajukan secara singkat dan jelas, serta disediakan juga tempat untuk
mencatat jawaban yang diberikan siswa, sehingga kalau responden menjawab pertanyaan
yang diajukan dapat langsung ditulis pada tempat jawaban yang disediakan. Dengan
demikian, data yang diperoleh dapat disusun dengan baik (Sanjaya, 2010:96).
menurut Nasution (2012) wawancara juga mempunyai sejumlah kelemahan yang
perlu diperhatikan agar kita sedapat mungkin mengelakkannya.
1) Apakah jawaban verbal dapat dipercaya ?Apa yang diucapkan seseorang tentang
kelakuannya belum tentu sesuai dengan kelakuannya yang sebenarnya tidak karena itu
ada kesangsian tentang validitas jawaban-jawaban yang diperoleh melalui interview,
khususnya Bina mengandung unsur nilai-nilai.
2) Pewawancara sendiri tidak konstan keadaannya dalam menghadapi berbagai orang
secara berturut-turut. Kelebihan kurangnya konsentrasi atau faktor-faktor lain yang
menimbulkan perubahan pada diri pewawancara, Sehingga mempengaruhi, validitas
dan realibilitas data yang dikumpulkan.
3) Bila pelaksanaan wawancara ditugaskan kepada beberapa orang, maka tak dapat tidak
perbedaan antara pribadi dan keterampilan para petugas itu. Variabel ini tentu
mempengaruhi data yang mereka kumpulkan.
4) Ada pula keberatan terhadap pengolahan hasil wawancara. Bila digunakan tape
recorder, maka pengolahannya menjadi bentuk tulisan memakan waktu yang cukup
banyak apalagi bila wawancara itu berbentuk bebas. Walaupun wawancara itu
berstruktur, masih banyak waktu diperlukan dalam pengolahannya.
5) Belum ada sistem tertentu tentang cara mencatat hasil interview.
6) Bila tempat tinggal para responden meliputi daerah yang luas, lebih banyak
diperlukan biaya transport dan waktu dan wawancara itu akan mahal.
7) Menggunakan sejumlah pewawancara memerlukan usaha untuk memilih, melatih, dan
mengawasi setiap pekerja lapangan.
8) Menemui responden tidak mudah, khususnya kaum pria yang pekerjaannya sibuk,
Sehingga perlukan waktu istirahat Pada sore,ndan karena itu mungkin hanya dapat
kita jumpai satu dua orang sehari di rumah masing-masing.
f. Hal yang perlu diperhatikan
Menurut Sayodih (2006) Sebelum melaksanakan wawancara para peneliti menyiapkan intru
men wawancara yang disebut pedoman wawancara. Pedoman ini berisi sejumlah pertanyaan
ato pernyataan yang diminta untuk dijawab atau direspon oleh responden. Isi pertanyaan atau
peryataan bisa nmenyakup fakta, data, pengetahuan, konsep, pendapat, presepsi, atau evaluasi
responden berkenaan dengan fokus masalah atau variabel-variabel yang dikaji dalam peneliti
an. Hal penting lain yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pewawancara adalah perek
aman atau pencatatan data. Bila perekaman tidak memungkinkan pencatatan tertulis perlu dil
akukan dengan seksama. Sebelum wawancara dilaksanakan sebaiknya disiapkan alat pencatat
yang mencukupi. Alat pencatatan yang bersatu dengan daftar pertanyaan dengan memudahka
n dalam pengisian, yang berada pada lembar yang sama, tetapi lebih boros karena setiap resp
onden membutuhkansatu perangkat pertanyaan-pencatatan. Alat pencatat yang terpisah agak
sulit dalam pengisian, tetapi dapat menghemat bahan atau biaya.
Pewawacara harus mengingat dengan baik semua pertanyaan yang akan diajukan dalam
urutan yang logis dan sistematis. Kemudian mengajukanya dengan cara dan dalam suasana se
peti percakapan biasa, dan mengingatnya secara sistematis dan lengkap. Begitu wawancara b
erakhir, pewawancara segera mencari tempat kemudian menulis atau mencatat semua jawaba
n atau respon dari responden selengkap dan seobjektif mungkin. Dalam pembuatan catatan h
asil, selain jawaban atau respon-respon responden yang langsung berhubungan dengan pertan
yaan, juga dicatat reaksi-reaksi lainya baik yang dikatakan secara verbal maupun non verbal.
Menurut Sarwono (2006) Yang diperlukan oleh pewawancara agar proses wawancaranya
berhasil ialah kemauan mendengar dengan sabar, dapat melakukan interaksi dengan orang
lain secara baik, dapat mengemas pertanyaan dengan baik, dan mampu mengolaborasi secara
halus apa yang sedang ditanyakan jika dirasa yang diwawancarai belum cukup memberikan
informasi yang dia harapkan.
Menurut Mardalis (2007) waktu mempersiapkan wawancara dengan responden perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Responden yang akan diwawancarai sebaiknya diseleksi agar sesuai dengan data yang
dibutuhkan.
b. Waktu berwawancara sedapatnya dilakukan sesuai dengan kesediaan responden.
c. Permulaan wawancara sebaiknya peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan
maksud dan tujuan wawancara yang dilakukan.
d. Sedang berwawancara peneliti sebaiknya berlaku seperti orang ingin tahu dan belajar
dari responden dan jangan seperti orang menggurui terhadap responden. Hal ini
penting untuk kelancaran wawancara.
e. Jangan sampai ada pertanyaan-pertanyaan yang tak di inginkan oleh responden
(membuat responden malu)
f. Peneliti sebaiknya menunjukkan perhatian penuh terhadap pembicaraan responden,
kalau terjadi pengalihan pembicaraan oleh responden, peneliti dengan hati-hati
meluruskannya ke sasaran pokoknya.
g. Melakukan penutupan pembicaraan, ucapan terima kasih
Menurut Kunandar (2011:158) beberapa hal yang perlu diperhatikan agar wawancara
berjalan efektif adalah sebagai berikut.
a. Bersikaplah sebagai pewawancara yang simpatik, yang perhatian dan pendengar yang
baik, tidak berperan terlalu aktif dan menghargai pendapat Anda.
b. Dalam menyampaikan pertanyaan-pertanyaan sebaiknya dimulai dengan pertanyaan
pengantar yang bersifat pemanasan. Pertanyaan cenderung diarahkan pada usaha untuk
melakukan identifikasi agar terwujud hubungan manusiawi yang wajar dan intim. Oleh
karena itu, pertanyaan boleh diajukan mengenai hal-hal di luar data atau informasi yang
diperlukan dalam memecahkan masalah penelitian.
g. Faktor-faktor yang mempengaruhi
Menurut Moh Nazir (2014:172) berikut faktor yang mempengaruhi wawancara
SITUASI WAWANCARA
Waktu
Tempat
Kehadiran oranglain
Sikap masyarakat
PEWAWANCARA RESPONDEN
ISI WAWANCARA
h. Proses wawancara
Menurut Nasution (2012) proses wawancara adalah sebaagai berikut:
Proses wawancara
Interview adalah komunikasi sosial antara dua pihak yaitu peneliti dan responden.
Agar wawancara dapat dilakukan, kedua pihak harus dapat bertemu dalam suasana kesediaan
berkomunikasi. Peneliti harus memperhatikan hal-hal yang memudahkan komunikasi itu,
seperti soal pakaian, bahasa, dan hal-hal yang disukai atau tidak disukai responden. Misalnya
soal pakaian saja tidak segampang yang kita duga. Kalau responden itu dari golongan miskin
atau rendah, Apakah pakaian jas berdasi pada tempatnya ataukah pewawancara harus
berpakaian seperti mereka ? Demikian pula pakaian menjadi soal bila di wawancarai adalah
golongan elite. Yang perlu diperhatikan ialah agar pakaian kita jangan menyolok. Pakaian
seorang peneliti yang buruk akan dicurigai, Apakah ia benar-benar mewakili di lembaga
penelitian terhormat. Sebaliknya pakaian yang mentereng di hadapan orang miskin akan
menonjolkan kemiskinan responden.
Bahasa yang kita gunakan juga perlu perhatian. Tak semua orang lancar berbahasa
Indonesia. Ada kalanya bahasa daerah harus digunakan agar mudah mendeteksi responden.
Pada umumnya wawancara lebih mudah dilakukan bila terdapat kesamaan antara
pewawancara dan responden. Perbedaan bangsa, suku, bahasa, tingkat sosial-ekonomi, jenis
kelamin, usia, dan sebagainya dapat mempersulit jalannya interview. Namun pewawancara
yang terlatih mampu mengatasi kesulitan-kesulitan itu.
Memulai wawancara
Dalam wawancara kita memerlukan kesetiaan responden untuk memberi keterangan
tidak salah satu syarat untuk itu ialah adanya "“rapport” " antara kedua pihak. Dengan rapot
dimaksud suasana persahabatan yang akrab sehingga tidak ada rasa curiga, rasa takut,
keengganan atau malu Yang menghalang-halangi kesediaan itu. “rapport” itu dapat
dibangkitkan dengan memberi ucapan selamat, memperkenalkan diri, menunjukkan kartu
pengenal, menjelaskan tujuan penelitian itu dan pentingnya keterangan dari responden bagi
penelitian itu. Wawancara dapat mengatakan bahwa interview itu bukan suatu ujian atau tes,
tidak ada jawaban yang benar atau salah, bahwa pertanyaan itu semua mudah dijawab karena
berkenaan dengan pengalaman, kehidupan, pikiran, dan perasaan responden sendiri.
Pewawancara harus menghadapi tugas dengan penuh kepercayaan, sadar bahwa
umumnya orang suka mengeluarkan buah pikiran dan perasaannya tentang suatu masalah
yang menarik perhatiannya. Akan tetapi rasa percaya akan diri jangan berlebihan sehingga
merasa diri Superior yang dapat menimbulkan antipati dan antagonisme. Pewawancara
Jangan pulang menyinggung perasaan responden atau membuatnya merasa malu. Turut
memberi sumbangan yang kepada suatu penelitian ilmiah mengangket harga diri responden
dalam wawancara dan responden menghadapi orang yang bersedia mendengarnya dengan
penuh minat apa yang dikatakannya.
“Rapport” yaitu suasana persahabatan jangan menyebabkan pewawancara menjadi
pendengar saja. Wawancara tidak sekedar percakapan biasa saja, akan tetapi suatu Alat
penelitian untuk mengumpulkan data. Itu sebabnya pewawancara harus berusaha memperoleh
keterangan yang relevan dengan tujuan penelitian. Ia harus meminta keterangan lebih lanjut
tentang hal-hal yang kurang jelas atau saling bertentangan. Jadi pewawancara jangan
membiarkan diri dibawa oleh arus percakapan responden, hanya karena ingin memelihara
“rapport” sehingga mengorbankan tujuan penelitian.
Bila kita kurang memahami sesuatu, kita minta agar Diulangi Dengan mengatakan
bahwa itu sangat menarik sehingga perlu dicatat atau dicamkan, atau kita sendiri mencoba
mengulanginya agar kita ketahui Apakah kita tidak salah tangkap. Akan tetapi dalam
wawancara terbuka peranan pewawancara kebanyakan mendengarkan, sambil mengangguk
angguk, atau mengatakannya, ya atau sejenis untuk menunjukkan perhatian kita.
Jalannya interview tergantung pada tujuan dan jenisnya. Kalau kita bertujuan
memperoleh gambaran yang mendalam tentang suatu masalah seperti mencari sebab-sebab
penyakit jiwa, maka interview harus bersifat terbuka, pertanyaan dibuat sebagai reaksi
terhadap ucapan responden, atau hal-hal yang dianggap sangat bermakna. Wawancara Serupa
itu dapat memakan waktu yang lama, mungkin beberapa bulan.
Untuk wawancara yang berstruktur telah disediakan sejumlah pertanyaan itu secara
tertulis. Namun pertanyaan tidak asal dibacakan saja, Sehingga kaku. Untuk wawancara yang
berbentuk percakapan yang wajar, setiap pertanyaan dapat diberi komentar atau penjelasan
pendahuluan. Harus diusahakan pula adanya sport, Sehingga wawancara itu berjalan dengan
lancar dalam suasana yang menyenangkan. Responden hendaknya ditinggalkan dengan kesan
yang menyenangkan oleh sebab kesannya itu akan disampaikannya kepada orang lain, pada
suatu ketika mungkin menjadi responden dalam suatu penelitian.
Mengusahakan agar wawancara berjalan lancar serta wajar dan tidak tersendat-sendat
sampai akhirnya memerlukan keterampilan. Pewawancara harus pandai menunjukkan
penghargaan nya dengan senyuman, bukan, sikap simpati atau cara lain. Tetapi terus
berusaha memperoleh informasi sebanyak mungkin. Sekali-kali ia Jangan membantah,
menggurui, mempersalahkan pendirian responden. Ya Jangan menilai perbuatan responden.
Kalau responden merasa tersinggung, hasratnya membantu pewawancara akan berkurang
atau hilang. Yang juga jangan terbawa untuk memberi Keterangan atau menguraikan
pendiriannya. Kalau pendapatnya ditanya ia dapat misalnya menjawab. Bahwa ia sendiri
masih memikirkannya dan masih belum mempunyai pendirian yang pasti bahwa yang
penting ialah pendapat responden, dan sebagainya. Jadi bahwa mancara harus berusaha
mendapatkan informasi bukan memberikan informasi.
"“Probing” " Untuk "Mengorek" Keterangan
Salah satu hal yang perlu dilakukan ialah mengorek keterangan yaitu berusaha
memperoleh keterangan yang lebih jelas atau lebih mendalam yang lazim disebut “Probing” .
Dalam interview tertutup sering jawaban hanya "ya" atau "tidak. " Namun ada kalanya perlu
diminta keterangan lebih lanjut.
“Probing” " atau meminta keterangan lebih lanjut juga dilakukan, bila jawaban itu
kurang jelas atau kurang lengkap. Adakalanya jawaban itu terlampau beremosi. Kita biarkan
dulu responden melampiaskan isi perasaannya, kemudian kita ulangi lagi pertanyaan yang
sama untuk memperoleh jawaban yang lebih objektif.
"Probing" dilakukan pula bila responden tampaknya tidak sanggup menjawab,
mungkin karena tidak tahu atau kurang mengerti. Bila Iya memang tidak tahu, misalnya isi
Peraturan undang-undang, tak ada gunanya untuk "mengorek" yang tak ada. Akan tetapi bila
pertanyaannya kurang dipahami, kita dapat mengulanginya dan bila perlu merumuskan nya
dengan kata kata lain. Bilang responden tidak dapat menjawabnya dengan segera karena
dilupakannya, kita dapat membantunya untuk mengingatkan kembali dengan menanyakan
hal-hal yang sederhana seperti di mana ia tinggal, pada waktu itu, beberapa usianya kok Ma
Apa pekerjaannya, siapa temannya pada waktu itu dan sebagainya
Ada kalanya responden tidak dapat menjawab karena ada rasa takut atau segan. Kita
dapat mengatakan bahwa yang perlu kita ketahui adalah perasaannya, tanggapan atau
pikirannya, bahwa kita tidak menilainya sebagai benar atau salah, karena tidak ada jawaban
yang salah atau benar dalam wawancara itu. Juga kadang-kadang orang tidak mengetahui
alasan atau motivasi perbuatannya yang sebenarnya, tidak dapat menganalisis struktur
kepribadian yang, atau memberi jawaban yang sesuai dengan norma kesopanan.
Demi kelancaran wawancara, kita harus memelihara “rapport” atau hubungan baik.
Namun bila ada keterangan yang bertentangan, kita jangan segan untuk mengemukakannya
dengan penuh kesadaran akan dapat mengeruhkan “rapport” itu tidak kita ingin memelihara
hubungan baik, namun tujuan kita utama Bukankah itu melainkan mencari informasi. Kita
harus mengemukakan keterangan yang berlawanan untuk memperoleh kebenaran, Sekalipun
kita jangan sampai menuduhnya atau mempersilahkannya memberi keterangan yang tidak
benar.
Mencatat hasil wawancara
Tugas penting yang harus dilakukan ialah mencatat hasil interview. Jika interview itu
tertutup atau terstruktur dan jawabannya sudah tertentu, wawancara hanya perlu mengecek
saja jawaban yang diberikan. Akan tetapi dalam kesibukan mengajukan pertanyaan dan
mendengarkan jawaban sering wawancara rupa untuk mengadakan catatan. Karena itu perlu
di selalu diperiksa dengan teliti Apakah semua jawaban telah lengkap.
Mencatat hasil interview terbuka yang tak berstruktur jauh lebih sulit. Tak mungkin
wawancara mengingat segala sesuatu yang diucapkan selama wawancara itu tidak hanya
sebagian kecil saja yang dapat diingatnya walaupun ia menjaganya segera setelah wawancara
selesai. Selama wawancara Iya perlu membuat catatan, kalau dapat dengan stenografi atau
tulisan biasa secara cepat tetapi jelas, Adakalanya menuliskan hanya kata-kata penting,
kadang-kadang persis Apa yang diucapkan oleh responden. Namun catatan tak dapat
menangkap nada, emosi, dan jalan pikiran orang. Pada zaman sekarang wawancara dapat
dibantu oleh tape recorder, asal ia benar-benar dapat memakainya dengan Jakarta nakal
jangan mengganggu jalannya pembicaraan.
Mengakhiri wawancara
Mengakhiri wawancara dalam interview yang singkat dapat dilakukan dengan ucapan
terima kasih disertai senyuman. Akan tetapi interview yang bersifat kualitatif, yang intensif
dan mendalam, serta memakan waktu yang agak lama, tidak dapat diakhiri begitu saja.
Antara pewawancara dan responden telah terjalin keakraban persahabatan. Responden merasa
bahagia telah dapat mengungkapkan pikiran dan perasaannya kepada orang yang sudi
mendengarkannya sambil menunjukkan pengertian yang mendalam. Ada kemungkinan
respon dan mengajak bercakap-cakap lebih lama bahkan mengundang makan atau minum
kopi tidak memutuskan hubungan secara mendadak akan menimbulkan rasa kecewa.
Sebaiknya pewawancara mempunyai tugas-tugas selain dan tak mungkin tinggal lama- lama.
Namun ia dapat menunjukkan bahwa ia harus pergi dengan membereskan tasnya sambil
bersedia setia untuk berangket lalu berdiri dan mengucapkan terima kasih banyak atas segala
bantuan, dan akhirnya berjabat tangan untuk berpamit. Sebelum berpisah suatu pujian atas
lukisan atau benda atau tanaman hiasan yang indah meninggalkan kesan yang menyenangkan
pada responden.
4. Tes
a. Pengertian
Instrumen pengumpulan data untuk mengukur kemampuan siswa dalam aspek kognitif,
atau tingkat penguasaan materi pembelajaran. Sebagai alat ukur dalam proses evaluasi, tes
harus memiliki dua kriteria yaitu kriteria validitas dan reliabilitas. Tes sebagai suatu alat ukur
digunakan memiliki tingkat validitas andainya dapat mengukur apa yang hendak diukur.
Misalnya seandainya aku ingin mengukur dengan konsep tentang materi pelajaran "A", maka
soal-soal tes harus berisikan item-item tentang "A", bukan soal-soal yang berisi tentang "B",
seandainya guru ingin mengukur kemampuan siswa dalam mengoperasikan sesuatu produksi
teknologi maka alat yang digunakan oleh tes keterampilan menggunakan produk teknologi
tersebut (Sanjaya, 2010:99).
Menurut Widyoko (2016) tes merupakan salah satu alat untuk melakukan pengukuran,
yaitu alat untuk mengumpulkan informasi karakteristik suatu objek. Karakteristik objek dapat
berupa keterampilan, pengetahuan, bakat, minat, maupun bakat, baik yang dimiliki oleh
individu maupun kelompok.
Tidak dikatakan tes memiliki tingkat validitas seandainya yang hendak diukur dengan
mengoperasikan sesuatu akan tetapi yang digunakan adalah tes tertulis yang mengukur
keterpahaman suatu konsep (Sanjaya, 2010:100).
Tes memiliki tingkat reliabilitas atau keandalan pidato tersebut dapat menghasilkan
informasi yang konsisten. Misalkan jika instrumen tes diberikan pada sekelompok siswa
kemudian diberikan lagi pada sekelompok siswa yang sama pada saat yang berbeda maka,
hasilnya akam relatif sama (Sanjaya, 2010:100).
Tes merupakan alat ukur yang sering ditemukan di bidang penelitian pendidikan,
psikologi maupun sosiologi. Dengan tes, seorang peneliti dapat mengukur konstruk yang
diinginkan. oleh mereka sendiri, seorang peneliti kemudian dapat mengidentifikasi konstruk
yang hendak diukur (Sukardi, 2007: 138).
Batasan operasional mengenai pengertian suatu tes (Ary dkk., 1985) (Sukardi, 2007:
138) A test is a set of stimuli presented to individual in order to elicit responses on the basis
of which a numerical score can be assigned.
Tes adalah tidak lain satu set stimuli yang diberikan kepada subjek atau objek yang
hendak diteliti, sedangkan (Kerlinger, 1986) (Sukardi, 2007: 138) A test is a systematic
procedure in which the individuals tested are presented with a set of constructed stimuli to
which they respond, the responses enabling the tester to assign the testes numerals.
Tes merupakan prosedur sistematik dimana individu yang direpresentasikan dengan
suatu set stimuli jawaban mereka yang dapat menunjukkan ke dalam angka. Subjek dalam hal
ini, harus bersedia mengisi item-item dalam tes dalam yang sudah direncanakan sesuai
dengan pilihan hati dan pikiran guna menggambarkan respons subjek terhadapa item yang
diberikan. Respons yang telah diberikan oleh subjek lalu diolah oleh si peneliti atau tester
secara sistematis menuju suatu arah kesimpulan yang menggambarkan tingkah laku subjek
tersebut. Sesuai dengan jenis penelitian yang hendak digunakan, respons subjek pada
umumnya melalui angka untuk penelitian kuantitatif, dan tidak melalui angka jika pilihan
adalah melalui penelitian kualitatif (Sukardi, 2007: 138).
Tes merupakan sejumlah pertanyaan yang memiliki jawaban yang benar atau salah. Tes
diartikan juga sebagai sejumlah pertanyaan yang membutuhkan jawaban, atau sejumlah
pernyataan yang harus diberikan tanggapan.dengan tujuan mengukur tingkat kemampuan
seseorang atau mengungkap aspek tertentu dari orang yang di kenai tes. Hasil tes merupakan
informasi tentang karakteristik seseorang atau sekelompok orang. Karakteristik ini bisa
berupa kemampuan atau keterampilan seseorang. Tes merupakan salah satu cara untuk
menaksir besarnya tingkat kemampuan manusia secara tidak langsung, yaitu melalui respons
seseorang terhadap sejumlah stimulus atau pertanyaan. Oleh karena itu agar diperoleh
informasi yang akurat dibutuhkan tes yang handal (Djemari, 2006:67).
Hasil tes bisa digunakan untuk memantau perkembangan mutu pendidikan. Hasil tes
untuk tujuan ini harus baik, yaitu memiliki kesalahan pengukuran yang sekecil mungkin.
Kesalahan pengukuran ini dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu kesalahan acak dan
sistemik. Kesalahan acak disebabkan karena kesalahan dalam menentukan sampel isi tes,
variasi emosi seseorang, termasuk variasi emosi pemeriksa lembar jawaban jika lembar
jawaban peserta tes diperiksa secara manual (Djemari, 2006:67-68).
Menurut Suharsaputra (2014:95) tes yaitu suatu alat ukur yang diberikan pada individu
(responden) untuk mendapat jawaban-jawaban, baik secara tertulis maupun lisan, sehingga
dapat diketahui kemampuan individu/responden yang bersangkutan
Pengambilan data yang berupa informasi mengenai pengetahuan, sikap, bakat dan
lainnya dapat dilakukan dengan tes atau pengukuran bekal awal atau hasil belajar dengan
berbagai prosedur penilaian (Tim PGSM, 1999; Sumarno, 1997; Mills, 2004). Tes sebagai
instrument sangat lazim digunakan dalam penelitian tindakan kelas. Hal ini disebabkan dalam
PTK pada umumnya salah satu yang diukur adalah hasil belajar siswa dan hasil belajar siswa
salah satunya diukur dengan menggunakan instrument tes.
Menurut Rochiyati (2005:187) Tes adalah sejumlah pertanyaan yang disampaikan pada
seseorang atau sejumlah orang untuk mengungkapkan keadaan atau tingkat perkembangan
salah satu atau beberapa aspek psikologis di dalam dirinya.
b. Jenis-jenis tes
Untuk kepentingan PTK guru dapat menggunakan berbagai jenis tes. Dilihat dari
jumlah pesertanya, tes hasil belajar dapat dibedakan menjadi tes kelompok atau tes
individual. Tes kelompok adalah tes yang dilakukan terhadap sejumlah siswa bersama sama,
sedangkan tes individual adalah teks yang dilakukan kepada siswa secara perorangan. Kapan
guru dapat menggunakan tes kelompok atau tes Individual?. Hal ini sangat tergantung pada
tujuan yang ingin diketahui. Miisalkan bila guru ingin mengetahui pengaruh tindakan yang
dilakukan terhadap kemampuan siswa tertentu, maka bisa digunakan tes individual,
sedangkan manakala guru ingin mengetahui pengaruh tindakan yang dilakukan terhadap rata-
rata hasil belajar siswa, maka dapat digunakan tes kelompok (Sanjaya, 2010:100).
Dilihat dari cara pelaksanaannya, tes dapat dibedakan menjadi tes lisan, tes tulisan dan
tes perbuatan. Tes tulisan atau sering juga disebut tes tertulis, adalah tes yang dilakukan
dengan cara siswa menjawab sejumlah item soal dengan cara tertulis. Ada dua jenis tes yang
termasuk ke dalam teks tulisan yaitu tes essay dan tes objektif. Tes esai adalah bentuk tes
dengan cara siswa diminta untuk menjawab pertanyaan secara terbuka yaitu menjelaskan atau
menguraikan melalui kalimat yang disusunnya sendiri. Tes esai apat menilai proses mental
siswa terutama dalam hal kemampuan menyusun jawaban yang sistematis, kesanggupan
menggunakan bahasa, dan lain sebagainya (Sanjaya, 2010:100-101).
Tes objektif adalah bentuk tes yang mengharapkan siswa memilih jawaban yang sudah
ditentukan. Misalkan bentuk tes benar-salah (B-S), tes pilihan ganda (multiple choice)
menjodohkan (matching) atau bentuk tes melengkapi (completion) (Sanjaya, 2010:101).
Tes lisan adalah bentuk tes yang menggunakan bahasa secara lisan. Tes ini cocok untuk
menilai kemampuan nalar siswa. Melalui bahasa secara verbal, guru dapat mengetahui secara
mendalam pemahaman siswa tentang sesuatu yang dievaluasi, yang bukan hanya pemahaman
secara konsep, akan tetapi bagaimana aplikasinya secara serta hubungannya dengan konsep
lain, bahkan penilai juga dapat mengungkap informasi tentang pendapat dan pandangan
mereka tentang sesuatu yang dievaluasi (Sanjaya, 2010:101).
Tes perbuatan adalah tes dalam bentuk peragaan. Tes ini cocok manakala guru ingin
mengetahui kemampuan dan keterampilan seseorang mengenai sesuatu, misalkan
keterampilan memperagakan gerakan-gerakan, keterampilan mengoperasikan sesuatu alat,
dan lain sebagainya (Sanjaya, 2010:101).
Menurut Widyoo (2016) Ditinjau dari segi sasaran atau objek yang akan diukur, maka
dibedakan adanya beberapa macam tes, yaitu:
a. Tes kepribadian (personality test), yaitu tes yang digunakan untuk mengukur kepribadian
seseorang. Yang diukur bisa berupa self concept, kreativitas, disiplin, kemampuan khusu,
dan lain sebagainya.
b. Tes bakat (aptitude test) yaitu tes yang digunakan untuk mengukur atau mengetahui bakat
seseorang.
c. Tes intelegensi (intelegence test), yaitu tes yang digunakan untuk mengadakan estimasi
atau perkiraan terhadap tingkat intelektual seseorang dengan cara memberikan berbagai
tugas kepada seseorang yang akan diukur intelegensinya.
d. Tes sikap (attitude test), sering juga disebut dengan istilah skala sikap, yaitu tes yang
digunakan untuk mengukur berbagai sikap seseorang.
e. Tes minat (interest test), yaitu tes yang digunakan untuk mengukur minat seseorang
terhadap sesuatu.
f. Tes prestasi (achievement test), yaitu tes yang digunakan untuk mengukur pencapaian
maupun kompetensi seseorang setelah mempelajari sesuatu. Tes prestasi diberikan
sesudah orang yang dimaksud mempelajari sesuatu hal sesuai dengan yang akan diteskan.
Menurut Sukardi (2007: 139-141).Dalam memilih atau memberikan respon, subjek
biasanya akan mengikuti petunjuk atau instruksi penelitian yang sebelumnya diberikan
sebagai bagian pengantar pengerjaan tes. Apabila tes tersebut menjadi tes pencapaian belajar,
tes bakat atau inventori tergantung dari tujuan peneliti dalam mendesain tes.
1. Tes Psikologi (TP)
Tes ini merupakan instrumen yang dirancang untuk mengukur aspek-aspek tertentu
dari tingkah laku manusia (Best, 1982: 216) (Sukardi, 2007: 139). Tes psikologi
menghasilkan deskripsi yang objektif yang diukur dengan menggunakan skor atau angka.
Dalam tes psikologi, seorang peneliti dapat membedakan menjadi dua, yaitu tes prestasi dan
tes bakat atau intelegensi.
Pemberian skor dalam tes psikologi pada umumnya didasarkan pada sampel yang
memiliki karakteristik mewakili populasi. Di samping itu, tes psikologi juga mendasarkan
pada jawaban dari subjek secara individual. Skor pada tes psikologi juga merupakan indikator
yang merefleksikan karakteristik yang dimiliki oleh subjek yang diukur.
Seperti halnya bentuk tes lainnya, tes psikologi sebaiknya juga harus memiliki tiga
persyaratan, yaitu validitas, reliabilitas, dan objektivitas. Objektivitas suatu tes tidak lain
adalah kesesuaian dengan kenyataan atau ketidakberpihakan penilai pada subjek yang diteliti.
Suatu tes dikatakan objektif apabila tes tesebut mampu merefleksikan keadaan yang
senyatanya yang biasanya ditunjukkan dengan tingkat kesesuian antara subjek dengan para
penilai (Sukardi, 2007: 139).
2. Tes Prestasi
Dalam penelitian pendidikan yang berkaitan dengan efektifitas program, metode
pengajaran, dan kegiatan yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar yang sering
direfleksikan sebagai variabel terikat diantaranya adalah pencapaian hasil belajar. Untuk
mengetahui apakah materi yang diberikan oleh seorang guru kepada peserta didik sudah
dikuasai mereka, salah satu caranya adalah guru melakukan pengukuran dengan
menggunakan tes prestasi. Oleh karena itu, hal-hal yang wajar sekali apabila tes prestasi
banyak digunakan dalam penelitian maupun dalam pembahasan yang berkaitan erat dengan
proses belajar-mengajar dalam system pendidikan.
Tes prestasi umumnya mengukur penguasaan dan kemampuan para peserta didik
setelah mereka selama waktu tertentu menerima proses belajar-mengajar dari guru. Tes
tersebut umumnya untuk mengukur tingkat penguasaan dan kemampuan peserta didik secara
individual dalam cakupan dan ilmu pengetahuan yang telah ditentukan oleh para pendidik.
Tes prestasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua macam bentuk tes, yaitu
tes standar dan tes buatan guru. Tes buatan guru ini juga sering disebut sebagai tes yang
belum distandarisasi. Tes standar merupakan tes yang sudah dipublikasikan keberadaannya
dalam jurnal atau di media formal lainnya yang relevan. Tes standar tersebut biasanya
dihasilkan melalu proses panjang yang merupakan usaha terencana, intensif dan sistematis
oleh para pembuatnya dengan memperhatikan faktor-faktor penting termasuk substansi
akademik yang luas dari system sekolah. Tes standar biasanya sudah dikomparasikan secara
normatif dengan bentuk yang ada, termasuk uji validitas dan tingkat reliabilita tes
Dilihat dari aspek interpretasi yang dibuat oleh peneliti, tes dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu tes normatif dan tes kriteria.
Tes normaltif dimungkinkan peneliti untuk:
1) Membandingkan performa individu satu dengan individu lain dalam penyelenggaraan tes
yang sama
2) Di samping itu, juga peneliti dapat menginterpretasikan performansi individual dalam
posisinya sebagai anggota kelompoknya atau dalam group normative.
Tes criteriation atau kriteria sebaliknya, berprinsip pada penggambaran apa yang
telah dibuat oleh seseorang sesuai dengan kapasitasnya tanpa menggunakan acuan orang lain.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila bentuk tes dapat mendeskripsikan apa yang telah
dikerjakan oleh seseorang, karena performa dalam tes kriteria. Performa individual dalam tes
ini, direfeleksikan melalui tingkat penguasaan beberapa ranah pengetahuan atau keterampilan
yang dapat dicapai oleh orang tersebut melalui jawaban yang benar pada tes yang telah
direncanakan. Performa hasil tes ini, kemudian dilaporkan dalam bentuk persentil, skor baku,
varians, dan sebagainya.
Tes normatif maupun tes criterion dapat dibuat dengan tingkat kemudahan maupun
kesulitan yang bervariasi, tergantung pada apa yang hendak peneliti ukur sehingga dengan
membuat tes yang bervariasi tingkat kesulitannya diharapkan performa seseorang dalam tes
dapat digambarkan secara langsung melalui pengetahuan yang spesifik dalam cakupan yang
proporsional dengan banyak orang masih dapat mencapainya (Sukardi, 2007: 141).
3. Tes Inteligensi
Jenis tes lainnya yang juga banyak digunakan di bidang pendidikan adalah tes
inteligensi atau tes bakat. Secara definitif: intelligence is the ability to undertake activities
that are characteristics by: 1) difficulty, 2) complexity, 3) abstracness 4) economy, 5)
adaptiveness to a goal, 6) social value, and 7) emergency of originals (Freeman, 1962: l49-
156) (Sukardi, 2007: 141).
Sedangkan dilihat dari macamnya, inteligensi seseorang dapat dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu sebagai berikut.
1) Intelegensi sosial, yaitu kemampuan seseorang untuk mengerti dan bekerjasama dengan
orang lain.
2) Inteligensi nyata, yaitu kemampuan seseorang untuk mengetahui tingkat kemampuan
seseorang dalam berinteraksi dengan sesuatu yang nyata sebagai realisasi keterampilan
dan penerapan ilmu pengetahuan.
3) Inteligensi abstrak, yaitu kemampuan seseorang untuk mengerti dan berinteraksi dengan
komunikasi verbal yang mungkin berupa simbol-simbol seperti dalam konteks ilmu
pengetahuan, matematika, budaya, dan sebagainya (Sukardi, 2007: 141).
Tes inteligensi merupakan tes yang direncanakan untuk mengukur cakupan khusus,
yaitu kemampuan seseorang dalam kaitannya dengan penggunaan pengetahuan yang ada ke
dalam konteks yang bervariasi. Tes inteligensi pada prinsipnya tidak mengukur inteligensi
atau bakat yang ada pada seseorang secara murni tetapi kemampuan seorang peserta tes
dalam memecahkan permasalahan yang sudah direncanakan oleh si pembuat tes. Tes
semacam ini, banyak digunakan pada tes yang mempunyai tujuan memprediksi keberhasilan
seseorang ketika mereka masuk di sekolah yang hendak diikuti. Keberhasilan penampilan
dalam tes intelegensi, pada umumnya tergantung pada latar belakang subjek yang diukur.
Dalam tes inteligensi sering timbul salah persepsi yang menimbulkan keraguan atas hasil tes
yang dilakukan. Persepsi yang kurang tepat terhadap tes inteligensi tersebut di antaranya
seperti seorang siswa yang memounyai intelegensi 110 ternyata tidak menghasilkan atau
berpenamilan baik sama dengan dua kali kemampuan anak lain yang nilai tes intelegensinya
55.
Tes intelegensi berkembang bentuknya menjadi tes kemampuan akademik yang
biasanya diberikan para siswa atau mahasiswa ketika mereka harus mengikuti tes masuk ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, misalnya ke perguruan tinggi bagi para siswa setelah
menyelesaikan Sekolah Menengah Umum atau ke tingkat pascasarjana setealah mereka
menyelesaikan pendidikan sarjananya, sebagai scholastic aptitude test (Sukardi, 2007: 142).
Tes inteligensi juga banyak digunakan untuk tes yang bertujuan memprediksi prospek
keberhasilan seorang siswa dalam menyelesaikan program pendidikannya. Peneliti di bidang
pendidikan juga menggunakan secara luas, karena dalam bidang tersebut bakat atau
inteligensi dikontrol untuk melihat pengaruh atau hubungan antarvariabel yang direncanakan.
Dilihat dari subjek yang menjadi sasaran, tes inteligensi dapat di menjadi dua macam,
yaitu tes inteligensi untuk individu dan untuk kelompok (Sukardi, 2007: 142-143).
1) Tes inteligensi untuk individual. Tes ini digunakan untuk mengukur bakat seseorang.
Tujuan pembuatan tes inteligensi untuk individu adalah mengidentifikasi sifat-sifat siswa
atau anak yang mungkin dimiliki dan merupakan potensi yang ada untuk dapat
dikembangkannya untuk kebaikan masa depan mereka. Selain itu, di lembaga-lembaga
pendidikan, tes inteligensi individu ini juga dapat digunakan untuk membagi para siswa
menjadi kelompok kelas yang memiliki karakteristik homogen. Yang termasuk tes
inteligensi individual sebagai contoh adalah Standford-Binet dan tes Wechler. Tes
Stanford-Binet memiliki sifat-sifat yang penting di antaranya adalah memberikan
pengukuran secara umum tentang inteligensi seseorang dan tidak memberikan
pengukuran kemampuan, seperti tes kemampuan lainnya. Tes Wechler yang luas
penggunaannya digunakan mengukur inteligensi orang dewasa. Tes Wechler ini diungkap
pertama kalinya, pada tahun 1939 yang kemudian diikuti oleh dua tes lainnya. Tes
Wechler ini dibagi menjali subjek yang dapat mengerjakan Intelligence Quotient (IQ)
secara vertikal dan IQ nonverbal. Subjek-subjek itu kemudian dibagi ke dalam subskala
yang menunjukkan penampilan dalam tugas-tugas spesifik.
2) Tes intelegensi kelompok. Tes ini menjadi tes alternatif, yaitu untuk mengukur bakat
subjek yang diukur dalam kegiatan kelompok. Tes inteligensi kelompok ini muncul
sebagai koreksi atas posisi tes intelegensi individual yang ternyata memiliki beberapa
kelemahan dalam praktiknya. Beberapa kelemahan tersebut di antaranya seperti berikut.
Tes individual:
a) Harus diberikan oleh seorang yang mendalami keahlian Psikometrik
b) Memerlukan prosedur yang mengharuskan tes diberikan kepada setiap individu,
menjadikan penyelenggaraan tes memerlukan biaya mahal dalam terapannya
c) Tes inteligensi kelompok smemerlukan waktu, biaya, dan tenaga para ahli pengukuran
yang lebih banyak.
Menurut Sayodih (2006) Tes yang digunakan dalam pendidikan biasanya dibedakan
antara tes hasil belajar (achievement test) dan tes psikologis (psychological test).
1) Tes hasil belajar
Tes hasil belajar kadang-kadang disebut juga tes prestasi belajar, mengukur hasil hasil
belajar yang dicapai siswa selama kurun waktu tertentu. ). Tes hasil belajar juga dibedakan
menurut materi yang diukur, sesuai dengan nama-nama mata pelajaran atau bidang studi yang
dipelajari, seperti tes: matematika, kimia, biologi, bahasa, sejarah, geografi, dll. Menurut
tujuan atau fungsinya tes hasil belajar ini juga dibedakan antara tes diagnostik, penempatan,
formatif dan sumatif.
2) Tes psikologis
Tes psikologis digunakan untuk mengukur atau mengetahui kecakapan potensial dan
karakteristik pribadi dari para siswa individu termasuk para siswa dan mahasiswa memiliki
kecakapan (ability). Kecakapan ini dibedakan antara kecakapan potensial atau kapasitas
(capacity) dan kecakapan nyata (achievement).
d. Tujuan Tes
Tujuan tes yang penting adalah untuk: 1) mengetahui tingkat kemampuan peserta didik,
2) mengukur pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, 3) mendiagnosis kesulitan
belajar peserta didik, 4) mengetahui hasil pengajaran, 5) mengetahui hasil belajar, 6)
mengetahui pencapaian kurikulum, 7) mendorong peserta didik belajar, dan 8) mendorong
pendidik mengajar yang lebih baik dan peserta didik belajar lebih baik. Seringkali tes
digunakan untuk beberapa tujuan, namun tidak akan memiliki keefektifan yang sama untuk
semua tujuan (Djemari, 2006:68).
Ditinjau dari tujuannya, ada empat macam tes yang banyak digunakan di lembaga
pendidikan, yaitu: (a) tes penempatan, (b) tes diagnostik, (c) tes formatif, dan (d) tes sumatif.
Pengujian berbasis kemampuan dasar pada umumnya menggunakan tes diagnostik, formatif,
dan sumatif (Djemari, 2006:68).
3. Angket
Menurut Kunandar (2011: 173-174) angket atau kuesioner merupakan instrument di
dalam teknik komunikasi tidak langsung. Dengan instrument atau alat ini data yang dapat
dihimpun bersifat informative dengan atau tanpa penjelasan atau interpretasi berupa
pendapat, buah pikiran, penilaian, ungkapan perasaan, dan lain-lain. Indikator untuk
angket atau kuesioner dikembangkan dari permasalahan yang ingin digali. Kuesioner atau
angket sebagai alat pengumpul data adalah sejumlah pertanyaan tertulis, yang harus
dijawab secara tertulis pula oleh responden. Berkaitan dengan hal itu kuesioner atau
angket dapat disebut juga sebagai wawancara tertulis.
Angket (Questionnaire) adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain
bersedia memberikan respons (responden) sesuai dengan permintaan pengguna. Tujuan
penyebaran angket ialah mencari informasi yang lengkap mengenai suatu masalah dari
responden tanpa merasa khawatir bila responden memberikan jawaban yang tidak sesuai
dengan kenyataan dalam pengisian daftar pertanyaan (Riduwan: 2002).
Angket adalah cara pengumpulan data dengan mempergunakan pertanyaan-
pertanyaan tertulis untuk memperoleh informasi dari responden. Pertanyaan tertulis tadi
dinamakan kuesioner. Biasanya yang mengisi kuesioner adalah responden sendiri, tetapi
adakalanya si peneliti membacakan kuesioner pada responden kemudian menulis jawaban
responden pada formulir kuesioner. Dalam hal ini metode angket tidak berbeda dengan
wawancara terpimpin (Sandjaja,2011: 150).
Menurut Mardalis (2007) kuesioner atau angket adalah teknik data melalui
pengumpulan data melalui formulir formulir yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan secara tertulis pada seseorang atau sekumpulan orang untuk mendapatkan
jawaban atau tanggapan dan informasi yang diperlukan oleh peneliti.
Angket atau kuesioner adalah daftar pertanyaan yang didistribusikan melalui pos
untuk diisi dan dikembalikan atau dapat juga dijawab di bawah pengawasan peneliti.
Responden ditentukan berdasarkan teknik sampling (Nasution, 2012). Angket digunakan
untuk mendapatkan keterangan dari sampel atau sumber yang beraneka ragam yang
lokasinya sering tersebar di daerah yang luas, nasional Adakalanya internasional. Peneliti
rasanya tidak mungkin untuk bertemu muka secara pribadi dengan semua responden
karena alasan biaya dan waktu. Angket pada umumnya meminta keterangan tentang fakta
yang diketahui oleh responden atau juga mengenai pendapat atau sikap. Angket dapat
misalnya digunakan untuk memperoleh keterangan tentang sekolah (jumlah guru, pegawai,
ruang kelas fasilitas, jumlah murid, dan sebagainya tutup kurung, tentang guru (usia jenis
kelamin, pendidikan, kedudukan kesulitan dalam pengajaran beban mengajar, dan
sebagainya )tentang sikap mengenai masalah sosial ekonomi politik moral dan sebagainya.
Dalam realitasnya wawancara dan angket merupakan instrument penelitian yang
paling efektif untuk memperoleh data atau informasi dari responden tentang suatu masalah
atau topik penelitian. Kuesioner atau angket yang diisi oleh responden merupakan
instrumen yang dapat dipergunakan dalam penelitian didasarkan pada beberapa asumsi
atau anggapan dasar sebagai berikut.
a. Responden merupakan sumber data yang paling mengetahui tentang dirinya sendiri
atau sesuatu yang ada hubungannya dengan dirinya. Data yang diketahuinya ini tidak
dapat diamati dan tidak dapat diungkapkan dengan alat lain, karena sudah terjadi pada
saat lain. Data itu tidak dapat diamati karena berbentuk informasi berupa tanggapan,
pendapat, perasaan, keyakinan, cita-cita, pengalaman, dan lain-lain dari setiap
responden.
b. Responden adalah manusia yang dapat diyakini dan diyakinkan agar bersedia
memberikan informasi secara jujur. Dengan demikian, data yang terkumpul dapat
dipercaya sebagai data objektif.
c. Responden adalah manusia yang mampu berpikir untuk menafsirkan pertanyaan-
pertanyaan dalam rangka memahami maksud si peneliti. Instrument berupa kuesioner
atau angker karena sifatnya tertulis, responden harus orang yang mampu membaca
dan menulis.
Berbeda dengan instrument wawancara atau observasi, dalam mempergunakan
kuesioner atau angket apabila tidak diperlukan lagi keterangan-keterangan lisan dari
responden, peneliti tidak perlu bertemu mka secara langsung dengan responden. Oleh karena
itu, kuesioner atau angket boleh diserahkan kepada orang lain untuk membagikannya dan
kemudian mengumpulkannya kembali setelah diisi.
Jenis-jenis angket menurut Riduwan (2002) yaitu:
a) Angket terbuka (angket tidak berstruktur) ialah angket yang disajikan dalam bentuk
sederhana sehingga responden dapat memberikan ujian sesuai dengan kehendak dan
keadaannya.
Keuntungan angket terbuka:
Bagi responden: mereka dapat mengisi sesuai dengan keinginan yang sesuai dengan
keadaan yang dialaminya
Bagi peneliti: akan mendapat data yang bervariasi bukan hanya yang sudah disajikan
karena sudah diasumsikan oleh peneliti.
b) Angket tertutup (angket berstruktur) adalah angket yang disajikan dalam bentuk
sedemikian rupa sehingga responden diminta untuk memilih satu jawaban yang sesuai
dengan karakteristik dirinya dengan cara memberikan tanda silang (x) atau tanda checklist
().
Checklist
Checklist atau daftar cek adalah suatu daftar yang berisi subjek dan aspek-
aspek yang akan diamati. Checklist dapat menjamin bahwa peneliti mencatat tiap-tiap
kejadian sekecil apapun yang dianggap penting.
Bermacam-macam aspek perbuatan yang biasanya dicantumkan dalam daftar
cek sehingga pengamat tinggal memberikan cek () pada tiap-tiap aspek tersebut
sesuai dengan hasil pengamatannya.
Menurut Suwartono (2014) tipe-tipe angket bisa dibedakan menurut tipe respon yang
diminta dan juga menurut cara penyampaian angket. Menurut responya angket dibagi
menjadi angket tertutup, terbuka, dan gabungan tertutup-terbuka.
a. Angket Tertutup
Angket jenis ini terdiri dari sejumlah butir (pernyataan/pertanyaan) dengan
sejumlah opsi yang telah ditentukan. Responden diminta untuk menandai opsi yang
paling sesuai bagi dirinya. Bagaimanakah halnya bila dirasa tidak ada opsi yang sesuai /
tepat bagi seorang responden? Inilah salah satu kelemahan angket respon tertutup ini.
b. Angket respon terbuka
Angket jenis ini ditandai dengan sejumlah pertanyaan yangmeminta respon
pendek atau panjang dari responden. Akan sangat merepotkan peneliti atau analisis data
bila respon yang diberikan oleh responden bertele-tele, atau responden kurang mampu
membahasakan pikiranya. Jadi, untuk angket seperti ini sebaiknya diselamatkan kepada
responden yang sudah cukup dewasa dan educated (berpendidikan). Contoh:
1. Apakah kedudukan anda sekarang di perusahaan ini? Coba jelaskan.
2. Bagaimana peluang kemajuan anda menuju suatu posisi yang lebih tinggi bersama
perusahaan di masa depan?
Informasi yang terjaring melalui angket dapat di-cross-check-kan dengan hasil
wawancara atau cara lain yang dapat diandalkan. Barangkali apa yang dilakukan oleh
seorang peneliti berikut sungguh bijaksana. Seorang peneliti di Norwegia (Hopfenbeck &
Maul, 2011) yang sebelumya meminta responden abak-anak mengisi angket, juga
meawancara mereka dengan menyampaikan ungkapan berikut ini.
“Sebagai peneliti, saya ingin tahu bagaimana anak-anak seusia kalian memahami
pertanyaan-pertanyaan ini di dalam angket yang kalian baru saja lengkapi tadi. Oleh
karena itu, bersama kalian saya ingin dengar bagaimana kalian telah memahami tiap-tiap
pertanyaan. Dalam hal ini benar atau salah bagi saya bukanlah hal penting. Yang saya
perlukan adalah keterangan yang jujur dari kalian tentang bagaimana kalian melengkappi
pertanyaan-pertanyaan angket tersebut. Nah, sekarang kita mulai….
Hal ini mencerminkan betapa si peneliti sangat peduli dengan data atau respon
yang diberikan oleh respondenya yang masih usia anak-anak. Untuk memastikan apakah
data yang terhimpun melalui angketnya valid (data validity assurance) atau sebaliknya
terindikasi adanya data/informasi yang tidak semestinya karena pemahaman mereka
terhadap butir-butir angket, ia mengeceknya dengan menanyakan langsung.
Sampai disini angket respon terbuka sama dengan wawancara jenis terstruktur.
Bedanya adalah bila pada angket pertanyaan dan respon disampaikan secara tertulis, pada
wawancara pertanyaan dan respon disampaikan secara lisan. Lebih jauh, dibandingkan
dengan wawancara tertutup, kelemahan angket responden terbuka ini terletak pada pluang
yang lebih besar bagi responden untuk berbohong. Berbeda dengan wawancara, dimana
peneliti atau pewawancara yang terlatih mendeteksi ketidakwajaran informasi yang
diberikan oleh orang yang diwawancarai, dan selanjutnya menempuh upaya-upaya untuk
lebih memantapkan datanya.
c. Angket respon gabungan terbuka-tertutup
Angket jenis ini menyediakan opsi-opsi untuk dipilih sekaligus pada bagian
samping atau bawahnya disediakan ruang kosong untuk respondenselain yang telah
tersedia dalam opsi. Opsi. Boleh jadi untuk sebuah butir angket akan diperoleh respon
yang tidak diduga sebelumnya oleh peneliti ketika menyiapkan angket. Sebagian sumber
menyebut angket jenis ini dengan istilah angket ope-ended. Contoh angket jenis ini:
Saya mengikuti kursus music untuk:
A. Sekedar mengisi waktu untuk kegiatan bermanfaat
B. Menjadi musisi
C. Mengingkatkan ketrampilan bermain music
D. Lain-lain, sebutkan…..
Pilihlah salah satu dari opsi yang tersedia. Tuliskan jawaban anda pada bagian
yang telah disediakan apabila opsi-opsi yang tersedia tidak/kurang sesuai.
Saya mengikuti bimbingan belajar ini setelah mendapatkan informasi ….
A. Dari radio
B. Melalui surat kabar lokal
C. Dari teman
D. Dari brosur
E. ….
Beberapa persoalan yang perlu diperhatikan bertalian dengan penggunaan dan
pemakaian angket untuk mengumpulkan data disajikan dalam bentuk paragraph berikut ini.
Pengisian angket tidak harus seketika atau berada di hadapan peneliti/pengumpul data.
Angket dana tau jawabanya dapat dikirimkan dengan menyertakan perangko pengembalian
secukupnya. Sekarang ini bahkan banyak Lembaga atau perorangan yang meminta angket
dilengkapi melalui internet, tepatnya e-mail. Kelebihan utama dari teknik-teknik semacam ini
adalah tingkat privasi yang terjamin dan mampu menjangkau wilayah-wilayah yang sangat
luas. Kelemahanya adalah peluang untuk tidak dikembalikan.
Menurut strukturnya, angket dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu sebagai berikut
(Sandjaja,2011: 151-153).
a. Angket tidak terstruktur. Angket ini merupakan pertanyaan yang memerlukan
jawaban berisi suatu uraian. Misalnya, “Menurut Anda bagaimana melakukan kampanye
iklan yang inovatif?” Responden dalam menjawab pertanyaan ini akan menjelaskan dan
menguraikan cara melakukan kampanye iklan menurut pendapatnya. Dengan angket
tidak terstruktur responden diberi kebebasan untuk menjawab dengan mempergunakan
kalimat-kalimatnya sendiri. Oleh karena itu, angket ini tergolong pada angket terbuka.
Sebenarnya angket seperti ini sebaiknya dilaksanakan melalui wawancara seperti yang
telah dibahas sebelumnya.
b. Angket terstruktur. Pada angket ini, semua pertanyaan telah ditentukan jawabannya
dan responden memilihnya dari jawaban yang tersedia. Angket ini sering sekali
digunakan untuk penelitian kuantitatif yang luas dan melibatkan banyak sampel. Karena
responden menjawab kuesioner dari jawaban yang telah tersedia dan tidak
mempergunakan kata-katanya sendiri, maka menurut pengisiannya, angket ini
digolongkan pada angket tertutup. Berikut ini contoh angket tertutup.
Pada angket ini responden selain diminta memilih jawaban yang sudah tersedia
(seperti angket terstruktur), bila dia memilih pilihan ketiga, dia diminta juga memberi
penjelasan (seperti angket tidak terstruktur).
Menurut jawabannya, angket dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu sebagai berikut
(Sandjaja,2011: 153).
a. Angket langsung. angket langsung adalah angket yang jawabannya diberikan sendiri
oleh responden tentang dirinya sendiri.
b. Angket tidak langsung. angket ini jawabannya diberikan oleh orang lain yang mewakili
responden. Misalnya, angket yang ditujukan pada orang sakit yang tidak dapat
menjawab sendiri angket tersebut.
Menurut bentuk pertanyaannya, angket dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu
sebagai berikut (Sandjaja,2011: 153-154).
a. Angket berbentuk isian. Angket ini biasa digunakan dalam angket terbuka pada angket
tidak terstruktur.
b. Angket berbentuk pilihan. Merupakan angket tertutup pada angket terstruktur.
Responden diminta menjawab pertanyaan angket dengan memilih jawaban dari jawaban
yang telah tersedia.
c. Angket berbentuk check list. Pada angket seperti ii pertanyaan-pertanyaannya harus
dijawab responden dengan cara memberikan tanda check (√) pada jawaban yang
dipilihnya.
d. Angket yang mempergunakan skala. Angket jenis ini dibedakan lagi menjadi
beberapa jenis seperti misalnya Rating scale (Likert scale), Sum of Scale, Verbal
Frequency Scale, Forced Ranking Scale, Semantic Differential Scale, dan Adjective
Check List Scale. Dengan penjelasan masing-masing jenis tersebut adalah sebagai
berikut (Sandjaja,2011: 154-157).
1) Rating Scale (Likert Scale)
Pertanyaan pada angket ini membuat jawaban responden dalam bentuk skala
bertingkat. Jawaban pada rating scale merupakan skala interval. Contoh bentuk
angket ini adalah sebagai berikut.
Kuisioner Presepsi Pasien Terhadap Penampilan Rumah Sakit X
No. Pertanyaan Sangat Kurang Cukup Setuju Sangat
tidak setuju setuju setuju
setuju
1 2 3 4 5
1 Rumah sakit
ini memiliki
peralatan
modern
2 Fasilitas fisik
RS ini
memiliki daya
tari
3 Karyawan RS
ini selalu
tempat rapi
4 dst
2) Sum of Scale
Untuk membuat jawaban dalam skala rasio, maka dibuat suatu kuesioner yang
mempergunakan sum of scale. Kuesioner seperti ini hanya dapat dijawab oleh orang
yang berpendidikan agak tinggi sebab menuntut penilaian dan perhitungan.
Responden diminta untuk memberikan nilai-nilai pada pilihan-pilihan yang telah
disediakan, namun jumlah dari seluruh pilihannya harus 100. Berikut adalah contoh
sum of scale pada kuesioner tentang kepuasan pasien di suatu Rumah Sakit
Pemerintah. Pada kuesioner ini responden diminta mengisi jawaban dengan angka
dalam persen mengenai atribut mana yang dianggapnya paling penting dan
mengurutkan sampai pada atribut yang paling tidak penting. Jumlah persen
keseluruhannya harus 100%.
Prosentase Pentingnya Atribut Rumah Sakit
Atribut %
1 Penampilan fisik RS (tangibles)
2 Kehandalan RS dalam melayani pasien (reliability)
3 Cepat tanggap RS atas kebutuhan dan keluhan pasien
(responsiveness)
4 Menimbulkan rasa aman dilayani di RS ini (assurance)
5 RS tahu kebutuhan spesifik pasien (empathy)
100%
Selain kuesioner yang dicontohkan di atas, ada satu lagi kuesioner yang
diperuntukkan bagi mereka yang buta huruf. Kuesioner ini berbentuk grafis yang
menggambarkan suatu scale dan dinamakan Graphic Rating Scale.
a. Kuisioner yang diserahkan langsung kepada responden. Cara ini merupakan cara
terbaik, namun bila lokasi responden sangat tersebar dan sulit dijangkau akan
menimbilkan persoalan tersendiri. Oleh karena itu, cara ini hanya dilakukan untuk
responden yang jumlahnya terbatas dan lokasinya dekat.
b. Kuesioner yang dikirimkan melalui pos. cara ini yang paling sering dilakukan
orang. Namun cara ini juga banyak kekurangannya, antara lain sedikitnya jumlah
kuesioner yang dikembalikan responden ke peneliti. Merupakan hal yang cukup baik
bila 20% dari kuesioner dapat kembali ke peneliti. Kalau ingin memperoleh lebih
banyak kuesioner yang kembali ke peneliti sebaiknya mengulangi lagi pengiriman
kuesioner tadi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengiriman kuesioner
melalui pos agar jumlah kuesioner yang kembali ke peneliti cukup banyak adalah
sebagai berikut (Sandjaja,2011: 158).
1) Jangan membuat kuesioner terlalu panjang, perkirakan waktu yang dipergunakan
untuk mengisi tidak lebih dari 15 menit.
2) Gunakan warna kuesioner yang menarik.
3) Instruksi pengisisan harus jelas.
4) Lampirkan amplop balasan beserta perangkonya.
5) Sediakan hadiah untuk setiap kuesioner yang kembali ke peneliti.
6) Ikuti kuesioner yang telah dikirim. Bila tidak kembali, kirimkan kuesioner lagi
atau follow up dengan telepon.
c. Kuesioner melalui telepon. Cara ini tidak berbeda dengan wawancara terpimpin,
hanya saja peneliti tidak bertatap muka secara langsung dengan responden. Demi
keberhasilan cara ini, yakinkan bahwa 90% responden memiliki telepon dan jangan
lebih dari 20 menit untuk menyelesaikan satu kuesioner.
Seperti halnya metode-metode lain, kuesioner juga memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan dan kekurangan metode kuesioner tersebut akan diuraikan sebagai
berikut (Sandjaja,2011: 159).
8 Dst
9 Karyawan mengerti
kebutuhan spesifik
pelanggan
10 Dst
Butir pertama sebagai salah satu contoh dari butir pertanyaan untuk factor tangibles,
butir ketiga merupakan salah satu contoh dari butir pertanyaan untuk reliability, dan butir
5,7, dan 9 masing-masing sebagai contoh untuk butir pertanyaan bagi responsiveness,
assurance dan empathy.
Format pertanyaan dan layout yang hendak dibuat harus disesuaikan dengan
kebanyakan responden yang hendak dicakup. Format kuesioner dapat berupa pertanyaan
terbuka atau open ended questions dan pertanyaan tertutup atau close ended questions. Uji
coba kuesioner dipergunakan untuk menentukan validitas kuesioner tadi dan bilamana
validitasnya tinggi dapat segera diimplementasikan. Dari semua kegiatan di atas yang paling
sulit adalah menyusun kata-kata (wording).
Sehubungan dengan wording, Hague dalam bukunya “Merancang Kuesioner” (1995)
mengatakan bahwa ada delapan pedoman menyusun kuesioner agar kuesioner yang disusun
tidak hanya memikirkan tujuan penelitian saja melainkan juga keadaan responden. Delapan
pedoman tersebut adalah sebagai berikut.
1. Apa sasaran penelitian?
2. Bagaimana wawancara akan dilaksanakan?
3. Bagaimana pengetahuan dan kepentingan responden?
4. Apa kata pengantar yang hendak dipakai?
5. Bagaimana urutan pertanyaan hendak disusun?
6. Apa tipe pertanyaan yang hendak dipakai?
7. Apa kira-kira jawaban yang mungkin diberikan oleh responden?
8. Bagaimana data hendak diolah?
Lebih lanjut, Hague (1995) memberikan pedoman untuk menyusun suatu kuesioner
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut.
1. Apakah jawaban yang nantinya diperoleh akan dapat mencapai sasaran penelitian?
Bilamana pertanyaan yang dibuat tidak akan memberikan jawaban yang dibutuhkan,
sebaiknya tidak perlu diajukan.
2. Apakah pertanyaan dapat dimengerti seperti yang dimaksudkan oleh peneliti?
3. Adakah cara yang lebih baik untuk mengajukan pertanyaan?
4. Apakah jelas urutan pertanyaan yang diajukan?
5. Apakah semua pertanyaan sudah tercakup?
Wording selalu menimbulkan masalah dalam pembuatan kuesioner baik oleh seorang
ahli apalagi oleh pemula. Namun pada dasarnya ada beberapa “jangan” yang perlu
diperhatikan yaitu sebagai berikut (Sandjaja,2011: 163-166).
Jangan membingungkan responden dengan kata-kata dalam kuesioner.
Jangan mempergunakan leading questions atau pertanyaan mengarah yang
menyebabkan responden akan meng-iya-kan jawaban.
Jangan membuat implicit alternatives yaitu pertanyaan yang menimbulkan banyak
pilihan sehingga membingungkan responden.
Jangan menimbulkan double barrel yaitu memberikan pertanyaan yang disatukan hingga
membingungkan responden.
Jangan menyulitkan responden dengan memintanya mengingat-ingat atau menghitung.
Jangan membuat skala yang racu. Misalnya:
Bagaimana kepuasan Anda akan pelayanan di Rumah Sakit ini?
1. Sangat puas
2. Puas
3. Sedang
4. Agak tidak puas
5. Tidak puas
Jangan menanyakan berapa pendapatan responden untuk menentukan tingkat Status
Ekonomi Sosial (SES)-nya melainkan tanyakan pengeluarannya, karena biasanya orang
tidak suka mengatakan berapa income-nya dan lebih suka mengatakan pengeluarannya.
Untuk hal ini perlu dibuat suatu perkiraan tentang pengeluaran berapa yang sesuai
dengan tingkat SES tertentu karena besarnya pengeluaran tidak sama untuk tiap daerah.
Jangan membuat kuesioner dengan banyak skip ke pertanyaan nomor berikutnya. Dalam
hal ini, sebaiknya dipikirkan urut-urutannya sehingga tidak menyebabkan responden
membolak-balik kuesioner untuk mencari pertanyaan berikutnya.
Jangan membuat pertanyaan yang mengusik pribadi responden atau pertanyaan yang
sensitif. Kalau hal ini tidak dapat dihindari, letakkan pertanyaan yang sensitif diakhir
kuesioner untuk menghindari keengganan responden untuk menjawab pertanyaan
berikutnya.
Jangan membuat skala Likert yang mempunyai diferensiasi besar bagi responden yang
daya diferensiasinya kecil. Dalam skala Likert biasanya dibuat tingkatan-tingkatan bisa
4, 5, 6, atau 7. Makin banyak tingkatan yang dibuat makin sulit dipilih oleh orang yang
mempunyai daya diferensiasi kecil.
Untuk semua jenis angket, peneliti atau pengumpul data dapat disarankan untuk
menyampaikan tentang pentingnya angket yang sedang dibagikan, perlunya informasi yang
benar, dan ungkapan apresiasi, serta jaminan kerahasiaan sebagai petunjuk umum pengisian
angket. Bila memungkinkan, sampaikan juga ini semua secara lisan. Dari pengalaman
penulis, yang perlu diwaspadai adalah kecenderungan responden untuk tidak bersungguh-
sungguh dalam memberikan respon angket. Disinilah pentingnya saran diatas.
Kuesioner meliputi berbagai instrument dimana sibjek menanggapi untuk menulis
peryanyaa untuk mendapatkan rekasi, kepercayaan dan sikap. Peneliti memilih atau
membangun perangkat pertanyaan yang tepat dan meminta kepada subjek untuk
menjawabnya, biasanya dalam suatu form yang meminta subjek untuk mengcek responden
(misalnya: ya, tidak, mungkin). Ini merupakan Teknik yang umum salam pengumpulan data
dalam penelitian kependidikan dan kebaanyakan penelitian survey menggunakan kuesioner.
Kuesioner tidak/belum tentu leih mudah dibandingkan Teknik lainnya dan harus dikerjakan
secara hati-hati (Uhar Suharsaputra, 2014: 97).
Kuesioner sering lebih baik digunakan untuk mengumpulkan data atau informasi dari
pada teknik wawancara, karena dalam wawancara peneliti harus mengadakan kontak
langsung. Pertemuan langsung antara responden dengan peneliti ini memerlukan waktu yang
banyak, Apalagi bila harus menghubungi ratusan orang. Wawancara harus dilakukan bila
harus dilakukan oleh orang yang mahir dalam kontak personal dan tidak bisa dilakukan oleh
semua orang (Mardalis, 2007).
Sedangkan menurut Suwartono (2004) angket merupakan metode pengumpulan data
yang populer. Sering digunakan untuk polling dan survey. Angket bisa berfungsi untuk (1)
deskripsi dan (2) pengukuran. Sebagai deskripsi, informasi yang terjaring lewat angket bisa
memberikan gambaran tentang identitas, misalnya jenis kelamin, usia, pendidikan,
pendapatan, dan lain-lain. Sedangkan untuk fungsi pengukuran, informasi yang terjaring dari
angket bisa dikuantifikasikan sebagai ukuran untuk variabel-variabel. Misalnya, pertanyaan-
pertanyaan yang dirancang untuk mengukur berbagai fenomena sikap, persepsi, motivasi,
reaksi/respon, opini dan sebagainya.
Menggunakan kuesioner dapat dilakukan oleh banyak orang untuk mengantar dan
menjemput kembali kuesioner tersebut. Setelah diisi oleh responden dan dapat pula dilakukan
oleh peneliti secara masal dalam suatu kelas terhadap murid-murid atau mahasiswa dalam
waktu yang singkat. Tambahan lagi kuesioner bisa disusun dibelakang meja dengan tenang
dan dapat direvisi setiap saat jika terjadi kesalahan. Kuesioner dapat pula dilakukan
pengiriman melalui kantor pos serta pengambilanya juga dapat melalui pos tersebut.
Bentuk kuesioner angket ini dapat pula berstruktur dan tidak berstruktur seperti pada
persiapan wawancara, isinya sangat tergantung dari kebutuhan peneliti. Dalam penyusunan
kuesioner agar lebih tepat sasaran dan lebih mudah dalam menganalisanya perlu diperhatikan
hal-hal seperti berikut.
a. Kuesioner disusun sejelas mungkin, untuk menghindari salah tafsir dari responden yang
bervariasi.
b. Kuesioner diusahakan pertanyaannya sesingkat mungkin dan jangan berbelit-belit.
c. Setelah selesai disusun, sebelum diedarkan untuk kegiatan yang sebenamya. Sebaiknya
dilakukan uji coba dulu terhadap sebagian responden kemudian di analisa dan jika
ditemui kelemahan dan kekurangannya perlu dilakukan revisi perbaikan.
d. Kalimat dalam pertanyaan disusun yang dapat dimengerti dan dipahami oleh setiap
responden (peneliti harus tahu lebih dulu, bagaimana perkiraan jawaban responden)
e. Alternatif jawaban yang dikehendaki dibuat selengkap mungkin (Ump. Jika dikatakan
alat tulis, apakah pensil, pulpen, bolpoin)
f. Hindarilah penanyaan yang merendahkan atau menyinggung perasaan responden.
g. Setelah kuesioner dibuat, peneliti mestinya sudah mengetahui bagaimana cara
menghitung atau analisanya nanti, jangan sampai kuesioner telah disebar dan
dikumpulkan kembali tapi cara menganalisanya belum di ketahui Untuk itu setiap
kuesioner yang dibuat kita telah memperkirakan cara-cara untuk analisanya,
Dalam penyusunan instrumen umumnya atau kuesioner kita bertitik tolak dari
variabel yang dikemukakan dalam hipotesa atau masalah penelitian, dari sana kemudian baru
dijabarkan ke dalam item-item dan dimensi-dimensi pertanyaan. Jadi jangan sampai kita
mengajukan dan membuat pertanyaan yang tidak ada kaitannya dengan masalah yang kita
teliti, hal itu dapat merugikan dan tidak berguna.
Dari ketiga instrumen tersebut diatas, yaitu observasi dan wawancara dan
kuisioner/angket adalah alat untuk memperoleh data untuk penelitian kita. Kesalahan
instrumen dapat menyebabkan kegaggalan hasil penelitian kita, betapapun baiknya komponen
lain. Tetapi instrumennya tidak tepat, tidak valid maka hasilnya akan mengecewakan.
Analisis data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (1) reduksi data; (2) deskripsi data;
dan (3) penyimpulan. Ketiga tahapan tersebut ditunjukan dalam gambar di bawah ini.
Pengumpulan
data
Deskripsi
data
Reduksi
data
Penyimpulan
Menurut Nanang Priatna (2013) reduksi data adalah proses penyederhanaan yang
dilakukan melalui seleksi, pemfokusan, dan pengabtraksian data menjadi informasi yang
bermakna. Deskripsi data adalah proses pemaparan data secara lebih sederhana dalam bentuk
paparan naratif, penyajian tabel dalam bentuk matrik, penyajian grafik, dan sebagainya. Ada-
pun penyimpulan adalah proses pengambilan intisari dari penyajian data yang telah ter-
organisir dalam bentuk pernyataan kalimat dan/atau formulasi yang singkat dan padat tetapi
memiliki pengertian yang luas.
Tahap reduksi data dan deskripsi data dilakukan bersamaan dengan proses pengum-
pulan data. Setelah data terkumpul, maka tiga tahapan analisis tersebut berinteraksi. Bila
penyimpulan dirasakan kurang mantap, maka perlu dilakukan verifikasi dan peneliti
mengumpulkan data kembali pada proses siklus berikutnya.
2. Refleksi
Refleksi dalam penelitian tindakan kelas didefinisikan sebagai upaya untuk mengkaji
apa yang telah dan/atau tidak terjadi, apa yang telah dihasilkan atau yang belum berhasil
dituntaskan dengan tindakan perbaikan yang telah dilakukan. Hasil refleksi digunakan untuk
menetapkan langkah lebih lanjut dalam upaya mencapai tujuan penelitian tindakan kelas.
Dengan kata lain, refleksi merupakan pengkajian terhadap keberhasilan atau kegagalan dalam
pencapaian tujuan sementara, dan untuk menentukan tindak lanjut dalam rangka mencapai
tujuan akhir yang mungkin ditetapkan dalam rangka pencapaian berbagai tujuan sementara
lainnya. (Nanang Priatna, 2013)
Untuk menetapkan tindakan yang akan diambil pada tahap berikutnya, seorang pe-
laksana PTK tidak boleh hanya terpaku pada pemikiran tentang sebab-sebab dari kejadian-
kejadian pada siklus sebelumnya, namun juga perlu merenungkan kembali mengenai
kekuatan dan kelemahan dari tindakan yang telah dilakukan, memperkirakan peluang
keberhasilan, di samping memperhitungkan kendala-kendala yang kemungkinan menghadang
di depan. Juga perlu dipertimbangkannya kemungkinan-kemungkinan dampak samping dari
tindakan yang direncanakan itu.
Akhirnya, tidak perlu kiranya ditekankan kembali bahwa dalam PTK yang di-
selenggarakan secara kolaboratif, refleksi ini juga harus dilakukan secara kolaboratif.
Penekanan ini dikemukakan tentu bukan dengan maksud untuk menafikan kemanfaatan
refleksi perorangan dalam PTK yang dilaksanakan secara kolaboratif, sebab pada akhirnya
seorang pekerja profesional harus mampu mengambil keputusan serta melakukan tindakan
secara mandiri. Bahkan, kemandirian dalam bertindak di samping tanggung jawab penuh
terhadap segala resikonya itu justru merupakan manifestasi profesionalitas.
3. Triangulasi Data
Triangulasi data perlu dilakukan mengingat data hasil monitoring dan/atau evaluasi
hasil tindakan merupakan informasi yang menjadi dasar pembuatan keputusan atas tindakan.
Misalnya untuk mengoptimalkan tindakan, modifikasi apakah yang diperlukan pada rumusan
tindakan berikutnya. Data tersebut juga akan menjadi dasar untuk menetapkan seberapa
tingkat ketercapaian tujuan dilakukannya tindakan. Oleh karena itu data yang berhasil
dikumpulkan tidak boleh menyesatkan.
Berdasarkan uraian ringkas tersebut dapat difahami bahwa manfaat triangulasi data
adalah sebagai berikut :
a. Meningkatkan objektivitas.
b. Memperoleh data cukup sesuai dengan tujuan dan sasaran pemantauan atau evaluasi.
c. Memperoleh data dengan tingkat ketelitian dan kecermatan yang tinggi.
d. Memperoleh data yang dapat dipercaya.
Triangulasi data dapat dilakukan dengan cara-cara berikut, yang pada dasarnya men
cocokkan atau menyilangkan kebenaran data dengan data lain.
a. Menggunakan cara yang berbeda untuk memperoleh data tentang hal yang sama.
b. Menggali data dari sumber yang berbeda untuk memperoleh bukti tentang hal yang
sama.
c. Melakukan pengamatan ulang bila masih memungkinkan.
d. Menugaskan pengamat ganda.
e. Melakukan pemeriksaan ulang atas data terkumpul, keasliannya, kejanggalan-
kejanggalannya, kelengkapannya.
f. Melakukan pengolahan dan analisis ulang atas data yang sudah terkumpul.
g. Melakukan pemaknaan ulang atas data dan hasil analisisnya.
Pencocokan (cek ulang) dan penyilangan (cek silang) tersebut terutama dilakukan
terhadap hal-hal yang janggal, atau meragukan. Seorang yang berpengalaman biasanya peka
untuk menentukan kejanggalan data, dan triangulasi terutama ditujukan terhadap kejanggalan
tersebut. Dengan demikian, triangulasi tidak selalu diperlukan untuk seluruh data.
DAFTAR PUSTAKA
Elliott, J. (1991). Action Research for Educational Change. Buckingham: Open University
Press.
Goetz, J.P., & LeCompte, M.D. (1984). Ethnography and qualitative design in educational
research. New York: Academic Press.
Hague, P. 1995. Merancang Kuesioner (terjemahan).Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.
Kunandar. 2011. Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan Profesi
Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Moh. Nazir. 2014. Metode Penelitian. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia Nasution. 2003.
Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.
Sudijono, Anas. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Suharsaputra, Uhar. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan. Bandung:
Refika Aditama
Sukardi. 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: PT.
Bumi Aksara
Sutrisno Hadi. 1984. Metodologi Research, Jilid I. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas
Psikologi UGM
____________. 1984. Metodologi Research, Jilid II. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas
Psikologi UGM
Syaodih, Nana. 2006. METODE PENELITIAN PENDIDIKAN. Bandung: PT REMAJA
ROSDAKARYA.
Uhar Suharsaputra. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan. Bandung:
Refika Aditama
Widoyoko, Eko Putro. 2016. Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR
Wiriaatmadja, Rochiati. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Remaja Rosda
Karya