Anda di halaman 1dari 16

ESTERIFIKASI FENOL

SINTESIS ASPIRIN

I. Tujuan Percobaan
1. Mengisolasi aspirin dari asam salisilat dan asetat anhidrida dengan
cara esterifikasi fenol.
2. Penentuan kadar aspirin dengan cara titrasi asam basa.
3. Memurnikan hasil sintesis aspirin dengan cara rekristalisasi.
4. Menentukan sampel mengandung asam salisilat dengan uji reaksi
pengkompleksan FeCl3.
5. Penentuan titik leleh asam salisilat dan aspirin menggunakan
melting block.

II. Prinsip Percobaan


1. Esterifikasi, pembentukan asam asetilsalisilat berdasarkan reaksi
antara asam karboksilat dengan suatu alcohol dengan bantuan asam
kuat sebagai katalis membentuk ester yang mempunyai sifat khas
aromatik.
2. Titrasi asam basa, titrasi netralisasi berdasarkan pada reaksi antara
suatu asam dan basa.
3. Rekristalisasi, pemurnian berdasarkan perbedaan kelarutan antara
zat yang dimurnikan dengan zat pengotor.
4. Uji reaksi pengkompleksan, identifikasi adanya asam salisilat
berdasarkan perubahan warna larutan menjadi ungu.

III. Teori Dasar


Reaksi esterifikasi merupakan reaksi pembentukan ester dengan
reaksi langsung antara suatu asam karboksilat dengan suatu alkohol.
Suatu reaksi pemadatan untuk membentuk suatu ester disebut
esterifikasi. Esterifikasi dapat dikatalis oleh kehadiran ion H+. Asam
belerang sering digunakan sebagai sebagai suatu katalisator untuk
reaksi ini. Pada skala industri, etil asetat di produksi dari reaksi
esterifikasi antara asam asetat (CH3COOH) dan etanol (C2H5OH)
dengan bantuan katalis berupa asam sulfat (H2SO4) (Harold, 1983).
Alkil lkanoat/ Ester adalah sebuah asam karboksilat mengandung
gugus -COOH, dan pada sebuah ester hidrogen pada gugus ini
digantikan dengan sebuahgugus hidrokarbon dari berbagai jenis.
Gugus ini bisa berupa gugus alkil sepertimetil atau etil, atau gugus
yang mengandung sebuah cincin benzen seperti fenil (Harold, 1983).
Ester dapat terhidrolisis dengan pengaruh asam membentuk
alkohol danasam karboksilat. Reaksi hidrolisis tersebut merupakan
kebalikan daripengesteran. Disini senyawa karbon mengikat gugus
fungsi –COOR adalah alkilalkanoat . Ester diturunkan dari alkohol dan
asam karboksilat. Untuk ester turunan dari asam karboksilat paling
sederhana, nama-nama tradisional digunakan, seperti formate,
asetat,dan propionate (Harold, 1983).
Proses esterifikasi adalah suatu reaksi reversible antara suatu asam
karboksilat dengan suatu alkohol. Produk esterifikasi disebut ester
yang mempunyai sifat yang khas yaitu baunya yang harum. Sehingga
pada umumnya digunakan sebagai pengharum (essence) sintetis.
Reaksi esterifikasi merupakan reaksi reversible yang sangat lambat.
Tetapi bila menggunakan katalis asam sulfat atau asam klorida,
kesetimbangan reaksi akan tercapai dalam beberapa jam. Esterifikasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah; struktur molekul
dari alkohol, suhu proses dan konsentrasi katalis maupun reaktan
(Keenan, 1980).
Ester diturunkan dari asam karboksilat dengan mengganti gugus
OH dengan gugus OR (R adalah gugus alkil atau aril). Ester
merupakan senyawa organik yang bersifat netral, tidak bereaksi
dengan logam Na dan PCl3. Ester termasuk salah satu turunan asam
karboksilat yang diperoleh dengan mereaksikan suatu asam
(karboksilat) dengan alkohol atau phenol. Rumusnya: RCOOR’
dimana R dan R’ adalah gugus organik (Keenan, 1980).
Ester yang terdiri dari asam-asam yang berat molekul rendah dan
alkohol merupakan senyawa-senyawa cair yang tidak berwarna, sedikit
larut dalam air dengan bau semerbak, dan mudah menguap. Ester dari
beberapa asam karboksilat dengan rantai panjang terdapat secara
alamiah di dalam lemak,lilin, dan minyak (Keenan, 1980).

Menurut Arrhenius asam adalah zat yang bila dilarutkan dalam air
terionisasi menghasilkan ion H+ dalam larutannya. Sedangkan basa
adalah zat yang bila dilarutkan dalam air terionisasi menghasilkan ion
OH-.Menurut lewis, asam adalah suatu spesies yang dapat menerima
pasangan elektron bebas (akseptor pasangan elektron) dalam suatu
reaksi kimia. Basa adalah suatu spesies yang dapat memberikan
pasangan elektron bebas (donor pasangan elektron) (Chang, 2004).
Dalam analisis kuantitatif, indikator digunakan untuk menentukan
titik ekuivalen dari titrasi asam-basa. Karena indikator mempunyai
interval pH yang berbeda-beda dan karena titik ekuivalen dari titrasi
asam-basa berubah-ubah sesuai dengan kekuatan relatif asam basanya,
maka pemilihan indikator merupakan hal terpenting. Titrasi merupakan
suatu metode untuk menentukan kadar suatu zat dengan menggunakan
zat lain yang sudah diketahui konsentrasinya. Titrasi asam-basa adalah
titrasi yang yang melibatkan asam maupun basa sebagai titer (zat yang
telah diketahui konsentrasinya) maupun titrant (zat yang akan
ditentukan kadarnya) dan berdasarkan reaksi penetralan asam-basa.
Kadar larutan asam ditentukan dengan menggunakan larutan basa yang
telah diketahui kadarnya, dan sebaliknya, kadar larutan basa dapat
diketahui dengan menggunakan larutan asam yang diketahui kadarnya.
Titik ekivalen yaitu pH pada saat asam dan basa (titrant dan titer) tepat
ekivalen atau secara stoikiometri tepat habis bereaksi. Titik ekuivalen
titrasi ini dapat dicapai setelah penambahan 100 ml basa, pada saat ini
pH larutan besarnya 7. Titik ekuivalen ini disebut titik akhir teoritis.
Problemnya sekarang adalah kita inngin menetapkan titik akhir ini
dengan pertolongan indikator. Titik akhir yang dinyatakan oleh
indikator disebut titik akhir titrasi. Indikator yang dipakai harus dipilih
agar titik akhir titrasi dan teoritis berhimpit atau sangat berdekatan.
Untuk itu harus dipilih indikator yang memiliki trayek perubahan
warnanya di sekitar titik akhir teoritis (Sukardjo, 1984).
Titrasi asidimetri dan alkalimetri menyangkut reaksi dengan asam dan
basa diantaranya : (1) titrasi yang melibatkan asam kuat dan basa kuat,
(2) titrasi yang melibatkan asam lemah dan basa kuat, dan (3) titrasi
yang melibatkan asam kuat dan basa leamah. Titrasi asam lemah dan
basa lemah dirumitkan oleh terhidrolisisnya kation dan anion dari
garam yang terbentuk. Titik ekuivalen, sebagaimana kita ketahui, ialah
titik pada saat sajumlah mol ion OH- yang ditambahkan ke larutan
sama dengan jumlah mol ion H+yang semula ada. Jadi untuk
menentukan titik ekuivalen dalam suatu titrasi, kita harus mengetahui
dengan tepat berapa volume basa yang ditambahkan dari buret ke asam
dalam labu. Salah satu cara untuk mencapai tujuan ini adalah dengan
menambahkan beberapa tetes indikator asam-basa ke larutan asam saat
awal tersebut. Indikator biasanya ialah suatu asam atau basa organik
lemah yang menunjukkan warna yang sangat berbeda antara bentuk
tidak terionisasi dan bentuk terionisasinya. Kedua bentuk ini berikatan
dengan pH larutan yang melarutkan indikator tersebut.Titik akhir
titrasi terjadi bila indikator berubah warna. Namun, tidak semua
indikator berubah warna pada pH yang sama, jadi pilihan indikator
untuk titrasi tertentu bergantung pada sifat asam dan basa yang
digunakan dalam titrasi (dengan kata lain apkah mereka kuat atau
lemah). Dengan demikian memilih indikator yang tepat untuk titrasi,
kita dapat menggunakan titik akhir untuk menentukan titik ekuivalen
(Chang, 2004).
Rekristalisasi adalah pemurnian suatu zat padat dari campuran atau
pengotornya dengan cara mengkristalkan kembali zat tersebut setelah
dilarutkan dalam pelarut yang cocok. Prinsip rekristalisasi adalah
perbedaan kelarutan antara zat yang akan dimurnikan dengan kelarutan
zat pencampur atau pencemarnya. Larutan yang terjadi dipisahkan satu
sama lain, kemudian larutan zat yang diinginkan dikristalkan dengan
cara menjenuhkannya (Svehla, 1979).
Proses kristalisasi adalah kebalikan dari proses pelarutan. Mula-
mula molekul zat terlarut membentuk agrerat dengan molekul pelarut,
lalu terjadi kisi-kisi diantara molekul zat terlarut yang terus tumbuh
membentuk kristal yang lebih besar diantara molekul pelarutnya,
sambil melepaskan sejumlah energi. Kristalisasi dari zat akan
menghasilkan kristal yang identik dan teratur bentuknya sesuai dengan
sifat kristal senyawanya. Dan pembentukan kristal ini akan mencapai
optimum bila berada dalam kesetimbangan (Svehla, 1979).
Untuk merekristalisasi suatu senyawa kita harus memilih pelarut
yang cocok dengan senyawa tersebut. Setelah senyawa tersebut
dilarutkan kedalam pelarut yang sesuai kemudian dipanaskan sampai
semua senyawanya larut sempurna. Apabila pada temperatur kamar,
senyawa tersebut telah larut sempurna di dalam pelarut, maka tidak
perlu lagi dilakukan pemanasan. Pemanasan hanya dilakukan apabila
senyawa tersebut belum atau tidak larut sempurna pada keadaan suhu
kamar. Salah satu faktor penentu keberhasilan proses kristalisasi dan
rekristalisasi adalah pemilihan zat pelarut (Svehla, 1979).

IV. Alat dan Bahan


4.1 Alat
- Gelas kimia
- Labu erlemeyer
- Kertas saring
- Corong Buchner
- Batang pengaduk
- Hot plate
- Buret
- Timbangan
- Pipet tetes
- Corong kaca
- Statip dan klem
- Tabung kapiler
- Gelas ukur
- Bunsen
- Termometer

4.2 Bahan
- Asam salisilat
- Asam asetat anhidrida
- Tablet aspirin
- Asam sulfat 85%
- Aquadest
- Es
- Etanol
- FeCl3 10%
- Phenoftalein
- NaOH 0,1 M

V. Prosedur Percobaan
5.1 Pembuatan Aspirin
Aquadest dipanaskan diatas hot plate dan erlemeyer yang akan
digunakan digores dindingnya menggunakan batang pengaduk. 1,4
gram asam salisilat ditimbang di erlemeyer, ditambahkan 4 ml
asam asetat anhidrida dan 5 tetes asam sulfat 85% di lemari asam.
Campuran dipanaskan selama 5 menit, lalu ditambahkan 2 ml
aquadest. Ditunggu selama 3 menit dan ditambahkan 20 ml
aquadest ditunggu sambil disimpan di penangas es hingga
mengkristal. Kristal yang terbentuk disaring menggunakan corong
Buchner dan dicuci dengan aquadest. Kristal yang diperoleh
dilakukan rekristalisasi dengan ditambahkan 5 ml etanol dan 20 ml
aquadest panas, ditunggu hingga dingin dan terbentuk kristal
kembali. Campuran di saring dengan corong Buchner untuk
mendapatkan kristal murni. Kristal yang terbentuk ditimbang,
dihitung rendemennya.

5.2 Uji Reaksi Pengkompleksan dengan FeCl3

3 buah tabung reaksi disiapkan dan diberi label asam salisilat, my


aspirin, dan komersial aspirin. Setiap sampel dimasukkan kedalam
tabung reaksi secukupnya, ditambahkan 20 tetes aquadest,
digoyangkan. Ditambahkan 10 tetes FeCl3, diamati.
5.3 Penentuan Titik Leleh Asam Salisilat dan Aspirin

2 tabung kapiler masing masing diisi dengan asam salisilat dan


aspirin hasil sintesis. Tabung kapiler dipasangkan pada salah satu
lubang melting block dan lubang lainnya disimpankan
thermometer. Dipanaskan diatas bunsen dan diamati perubahan
suhunya.

5.4 Analisis Kandungan Aspirin dalam Tablet Aspirin Komersial

2 tablet aspirin digerus dan dimasukkan kedalam erlemeyer 125


ml, ditambahkan 10 ml etanol dan 3 tetes phenoftalein, lalu
ditambahkan aquadest 40 ml. Titrasi dilakukan dengan larutan
NaOH 0,1 M sampai tercapai titik akhir titrasi. Volume yang
terpakai dicatat dan dihitung masa aspirin per tablet.

VI. Hasil Pengamatan


6.1 Pembuatan Aspirin
Perlakuan Hasil Pengamatan
Menimbang 1,4 gram asam Hablur ringan berwarna putih dan
salisilat. tidak berbau.
1,4 gram asam salisilat Larutan tidak berwarna dan
ditambahkan asam asetat terbentuk kristal berwarna putih.
anhidrida, asam sulfat 85%, 20 ml
aquadest
Proses rekristalisasi. Kristal asam asetilsalisilat
berwarna putih.

6.2 Uji Reaksi Pengkompleksan dengan FeCl3

Sampel Uji Pengamatan


Asam salisilat Larutan ungu tua
My aspirin Larutan kuning
Komersial aspirin Larutan coklat

6.3 Penentuan Titik Leleh Asam Salisilat dan Aspirin

Sampel Uji Pengamatan


Asam salisilat 148°-154° C
Asam asetilsalisilat 130°-142° C

6.4 Analisis Kandungan Aspirin dalam Tablet Aspirin Komersial

Pembuatan larutan NaOH 0,1 M

M = gram / Mr x 1000 / volume


0,1 = gram / 40 x 1000 / 500
0,1 = gram/ 40 x 2
Gram = 2 gram

Konsentrasi Aspirin dalam tablet


mmol aspirin = mmol NaOH
=VxM
= 60,9 ml x 0,1 M
= 6,09 mmol

mmol = mg / Mr
6,09 = mg / 180
mg = 1096,2 mg = 1,0962 gram

Konsentrasi aspirin = masa aspirin / masa tablet


= 1,0962 / 1,1963
= 91,63%
VII. Pembahasan
Aspirin atau asam asetilsalisilat (asetosal) adalah suatu jenis obat
dari keluarga salisilat yang sering digunakan sebagai analgesik
(terhadap rasa sakit atau nyeri minor), antipiretik (terhadap demam),
dan anti-inflamasi. Aspirin juga memiliki efek anti koagulan dan
digunakan dalam dosis rendah dalam tempo lama untuk mencegah
serangan jantung. Aspirin mempunyai densitas 1.40 g/cm³, titik lebur
135 °C (275 °F), titik didih 140 °C (284 °F) (decomposes), dan
kelarutan dalam air 3 mg/mL (20°C). Asam salisilat (asam
ortohidroksibenzoat) merupakan asam yang bersifat iritan lokal, yang
dapat digunakan secara topikal. Terdapat berbagai turunan yang
digunakan sebagai obat luar, yang terbagi atas 2 kelas, ester dari asam
salisilat dan ester salisilat dari asam organik. Di samping itu digunakan
pula garam salisilat. Turunannya yang paling dikenal adalah asam
asetil salisilat. Asam salisilat mimiliki rumus molekul C7H6O3, massa
molar 138,12 g/mol,densitas 1,44 g/cm3, titik leleh 159°C, titik didih
211°C (2666 Pa), dan kelarutan dalam kloroform, etanol, metanol
kloroform 0,19 M; etanol 1,84 M; metanol 2,65 M.
Pada percobaan ini dilakukan sintesis asam asetilsalisilat
berdasarkan reaksi esterifikasi dengan mereaksikan asam salisilat dan
asetat anhidrida menggunakan katalis asam kuat yaitu asam sulfat.
Pada reaksi ini digunakan pereaksi asetat anhidrida karena asetat
anhidrida memiliki gugus asetil yang merupakan gugus pergi yang
lebih baik dibandingkan gugus hidroksi pada asam asetat, asam asetat
anhidrid akan menyerang nukleofil yang ada pada asam salisilat.
Mekanisme yang pertama terjadi adalah asetat anhidrida menyerang
H+ pada asam kuat pada percobaan ini yaitu asam sulfat, sehingga
gugus karbonil pada asetat anhidrida terprotonasi. Dengan begitu
terbentuk karbokation dan menyerang gugus fenol dari asam salisilat
H+ terlepas dari –OH dan berikatan dengan atom O pada asetat
anhidrida. Asetat anhidrida terputus menjadi asam asetat dan asam
asetilsalisilat (aspirin) H+ akan lepas dari aspirin. Mekanisme reaksi
lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini, namun berdasarkan
gambar katalis yang digunakan yaitu asam phosfat.

Penambahan asam sulfat pekat berfungsi sebagai katalisator yaitu


untuk mempercepat terjadinya sintesa dengan cara menurunkan energi
aktivasi sehingga reaksi berjalan lebih cepat dan energi yang
diperlukan semakin sedikit. Pada penambahan asam sulfat pekat
timbul panas dan letupan hal ini menunjukkan reaksinya eksoterm.
Campuran dipanaskan dalam air mendidih, pemanasan dilakukan
selama 5 menit. Pemanasan ini dilakukan dengan tujuan
menghilangkan zat-zat pengotor yang ada pada larutan sehingga
menghasilkan aspirin dengan tingkat kemurnian yang tinggi.
Pemanasan ini juga bertujuan mempercepat kelarutan asam salisilat,
dimana hal ini akan mempengaruhi laju reaksi yang semakin cepat
karena mempercepat gerak kinetik dari molekul-molekul larutan
tersebut. Sebelum pencampuran zat dilakukan penggoresan pada
dinding erlemeyer dengan tujuan mempercepat pembentukan kristal.
Setelah itu dilakukan rekristalisasi untuk memperoleh kristal yang
lebih murni dan meminimalisir adanya pengotor, pelarut yang
digunakan adalah etanol karena asam salisilat lebih mudah larut dalam
etanol dibandingkan dengan air, kristal yang didapat dari penyaringan
menggunakan corong Buchner dihitung rendemennya. Namun pada
percobaan terdapat kesalahan pada pengerjaan dimana dinding
erlemeyer tidak dilakukan penggoresan terlebih dahulu dan campuran
terus diaduk sehingga menghambat terbentuknya kristal dan rendemen
tidak dapat dihitung. Berdasarkan percobaan pada kelompok lain
rendemen yang di peroleh yaitu 47,54%, dari hasil ini pun dapat dilihat
bahwa aspirin yang dihasilkan pada reaksi esterifikasi ini tidak dalam
jumlah yang maksimal.
Percobaan kedua dilakukan uji rekasi pengkompleksan dengan
FeCl3 dimana berdasarkan literatur gugus fenol akan membentuk
kompleks dengan FeCl3 membentuk larutan berwarna ungu. Pada
pengujian ini asam salisilat direaksikan dengan FeCl3 positif
membentuk larutan berwarna ungu. Namun, pada pengujian kristal
aspirin hasil sintesis dan tablet aspirin didapatkan hasil yang negative
karena diketahui pada senyawa aspirin ini tidak ada gugus fenol
melainkan gugus ester.

Percobaan ketiga dilakukan pengujian titik leleh terhadap asam


salisilat dan aspirin hasil sintesis untuk mengetahui kemurnian sampel.
Hasil yang diperoleh pada pengujian titik leleh asam salisilat adalah
148°-154° C, berbeda dengan literatur bahwa titik leleh asam salisilat
adalah 157°-159° C dengan begitu dapat dilihat jauhnya perbedaan
titik leleh yang didapat karena faktor adanya zat pengotor dalam
sampel. Adanya zat pengotor dapat menurunkan titik leleh zat yang
akan ditentukan titik lelehnya, karena kemungkinan zat pengotor itu
memiliki titik leleh yang lebih rendah dari zat yang dimaksud. Trayek
dari titik leleh zat yang murni itu baiknya adalah 1°C, sedangkan
trayek yang didapat adalah lebih dari 1°C dengan begitu zat pengotor
juga mempengaruhi dengan kemungkinan perbedaan titik leleh yang
jauh antara zat pengotor dan zat yang dimaksud. Begitupun titik leleh
pada aspirin hasil sintesis adalah 130°-142° C.
Percobaan terakhir yang dilakukan adalah analisis kandungan
aspirin dalam tablet aspirin yang dilakukan dengan titrasi asam basa
untuk menghitung konsentrasinya pada tablet. Hasil percobaan
menunjukan bahwa jumlah volume larutan NaOH yang dibutuhkan
untuk menitrasi larutan aspirin yang terdapat pada erlenmeyer adalah
60,9 ml. Setelah aspirin ditumbuk sampai halus, kemudian aspirin
dimasukan ke dalam erlemeyer dengan diberi tambahan etanol
sebanyak 10 ml. Penambahan etanol ini dikarenakan aspirin mudah
larut (1-10 bagian) dalam alkohol. Aspirin ini sukar larut (100-1000
bagian) dalam air, oleh karena itu perlu di larutkan dalam alkohol.
Penggunaan alkohol yang sifatnya netral agar saat dititrasi tidak
bereaksi dengan komponen yang lain. Jika ternyata alkohol asam,
maka nantinya saat dititrasi ternyata tidak sepenuhnya NaOH
menetralkan aspirin, tetapi juga dapat menetralkan alkohol. Jika
alkoholnya bersifat basa, maka nantinya saat dicampurkan dengan
aspirin akan terjadi penetralan antara alkohol dengan aspirin sebelum
dilakukan titrasi, sehingga hasil titrasi tidak valid karena ada
komponen lain yang bereaksi antara aspirin dengan NaOH.
Setelah itu ditambahkan 40 ml aquadest dengan tujuan supaya pada
saat melakukan titrasi, NaOH yang perlu untuk menitrasi aspirin
lebih efisien. Pemakaian aquades ini cocok untuk mengencerkan
aspirin, karena aquades merupakan larutan yang sifatnya netral dan
inert. Setelah itu tambahkan 3 tetes indikator PP. Pemberian 3 tetes
indikator PP sudah dianggap cukup, karena jika kita meneteskan lebih
dari 3 tetes, nantinya akan mempengaruhi volume aspirin. Saat larutan
aspirin ditambahkan PP warnanya masih bening, kemudian
dititrasi dengan larutan NaOH sambil digoyang-goyangkan, setelah
mencapai titik ekivalen dimana mol aspirin tepat bereaksi dengan
NaOH menghasilkan produk dengan warna kemerahan. Jika kita
menggunakan indikator PP dalam titrasi asam basa, maka titik ekivalen
ini berada dalam rentang PH 8,3-10. Ketika proses titrasi
berlangsung, gugus asetil dalam rekasi netralisasi ini lebih sukar
lepas dari pada gugus karbonil, sehingga terjadi reaksi sebagai
berikut :

Setelah titik akhir titrasi tercapai, dari volume NaOH 0,1 M yang
diperoleh dapat dihitung konsentrasi aspirin dalam tablet dengan berat
1,1963 gram yaitu 91,63%. Pada titrasi ini hasil perhitungan yang
diperoleh tidak akurat karena NaOH yang digunakan belum dibakukan
terlebih dahulu dengan asam sehingga tidak dapat diketahui pasti
konsentrasi NaOH yang digunakan. Pembakuan perlu dilakukan
karena NaOH merupakan larutan baku sekunder.

VIII. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa aspirin dibuat dari asam salisilat dan asetat anhidrida dengan
bantuan katalis H2SO4 dan dari hasil rekristalisasi tidak diperoleh
kristal karena pengerjaan yang kurang baik. Pada pengujian
pongkompleksan dengan FeCl3 diperoleh hasil yang positif pada asam
salisilat menghasilkan larutan berwarna ungu, sedangkan pada tablet
aspirin dan aspirin hasil sintesis menunjukan hasil yang negatif berupa
larutan berwarna kuning kecoklatan. Titik leleh pada asam salisilat
adalah 148°-154° C dan pada aspirin hasil sintesis adalah 130°-142° C.
Konsentrasi aspirin pada tablet dengan berat 1,1963 adalah 91,63%.
DAFTAR PUSTAKA

Basset, J. dkk. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.Erlangga, Jakarta.
Chang,R .2004. Kimia Dasar, Edisi Ketiga. Jakarta : Erlangga.
Fessenden & Fessenden. 1986. Kimia Organik Jilid 2 Edisi 3. Jakarta: Erlangga.
Hart , Harold (alih bahasa oleh Dr. Suminar Acmadi Ph.D). 1983. Kimia Organik,
Suatu kuliah singkat, edisi keenam. Jakarta: Erlangga.
Keenaan,C.W, D,C Kleinfelter dan J.H Wood. 1980. General College Chemestry.
New York: Harper and Row Publisher, inc
Khopkar. 2010. Konsep Dasar Kimia Analisis. UI Press.,Jakarta.
Soebagio. dkk. 2000. Kimia Analitik II. Malang: Jurusan Kimia, FMIPA,
Universitas Negeri Malang.
Svehla. 1979. Buku Ajar Vogel: Analisis Anorganik Kuantitatif Makro dan
Semimikro. Jakarta: PT Kalman Media Pusaka.

Anda mungkin juga menyukai