Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al – Qur’an memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat.
Salah satu diantaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang
keontetikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu
dipelihara. Inna nahnu nazzalna al – dzikra wa inna lahu lahafizhun
(sesungguhnya kami menurunkan al – Quran dan kamilah pemelihara –
pemelihara – Nya) (QS 15:9). Sebagaimana diperkenalkan kepada kita, al-
Qur’an adalah kumpulan ayat. Ayat pada hakikatnya adalah tanda atau
simbol yang tampak. Namun simbol tersebut tidak dapat dipisahkan dari
sesuatu yang lain yang tidak tersurat, tetapi tersirat, sebagaimana
diperkenalkan konsep tafsir dan ta’wil. Hubungan antara keduannya, antara
makna tersurat dan makna tersirat, terjalin sedemikian rupa, hingga bila
tanda dan simbol itu dipahami oleh pikiran, mak makna yang tersirat, berkat
bantuan Allah akan dipahami pula oleh jiwa seseorang.1
Kalam Illhi yang merupakan ayat – ayat Allah, yang sangat
mempesona, itu mengakibatkan sebagaian kita hanya berhenti dalam pesona
bacaan ketika ia dilantunkan, seakan – akan kitab suci ini hanya diturunkan
untuk dibaca. Memang, wahyu pertama adalah Iqra’ bismi Rabbik, bahkan
kata Iqra’ diualnginya dua kali. Akan tetapi, kata ini bukan sekedar perintah
membaca dalam pengertiannya yang sempit, melainkan juga mengandung
makna “telitilah, dalamilah” karena dengan penelitian dan pendalaman itu
manusia dapat meraih sebanyak mungkin kebahagiaan. Kitab yang telah
kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka memikirkan ayat –
ayatnya dan agar ulul albab mengingat / menarik pelajaran darinya. (QS.
Shad 38 : 29). 2

1
M. Quraish Shihab. Membumikan Al – Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. (Bandung : Mizan Media Utama. 2007). Hal. 23.
2
M. Quraish Shihab. Secercah Cahaya Illahi : Hidup Bersama al – Qur’an. (Bandung : Mizan
Media Utama. 2007). Hal. 21.

1
Selain itu, kebutuhan akan penafsiran atas kalam Illahi terasa sangat
mendesak, mengingat sifat redaksinya yang beragam, yakni ada yang jelas
dan terperinci, tetapi ada pula yang smar dan global. Jangankan yang samar,
yang jelas sekalipun masih membutuhkan penafsiran. Dengan hanya
mendengar ayat – ayatnya dibacakan, atau bahkan membacannya empat
atau lima kali saja, amatlah mustahil diacapi pemahaman yang sepenuhnya
atas kitab suci itu. Tujuan itu pun bahkan tidak akan tercapai kalua kita
hanya mengandalkan pemahaman seseorang atau satu generasi saja.3
Dengan ini, salah satu penafsir asal Indonesia M. Quraish Shihab
merupakan penafsir yang terbitan – terbitannya meletakkan standar baru
bagi studi – studi al – Qur’an yang digunakan oleh penduduk Muslim awam.
Beliau mengenalkan ayat – ayat Allah dengan tafsiran – tafsirannya yang
dikemas secara menarik dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat. 4
Melalui makalah ini, penulis berusaha memperkenalkan pendekatan
seorang Quraish Shihab dalam tafsir al – Misbah yang menjadi salah satu
karya terbaik.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa M. Quraish Shihab ?
2. Bagaimana pendekatan M. Quraish Shihab dalam tafsir Al – Misbah ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengenal M. Quraish Shihab.
2. Mengetahui pendekatan M. Quraish Shihab dalam tafsir al – Misbah.

3
M. Quraish Shihab. Op.Cit. Hal. 22.
4
Howard M. federspiel. Kajian Al – Qur’an di Indonesia diterjemahkan dari Pupolar Indonesian
Literature of the Qur’an. (Bandung : Mizan. 1996). Hal. 295.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi M. Quraish Shihab


Beliau Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, MA lahir di Rappang,
Sulawesi Selatan pada 16 Februari 1944. Ayahnya bernama Abdurrahman
Syihab (1905-1986), adalah guru besar dalam bidang tafsir. Disamping
berwiraswasta, sejak muda beliau juga berdakwah dan mengajar. Selalu
disisakan waktunya pagi dan petang untuk membaca al – Qur’an dan kitab
– kitab tafsir. Seringkali beliau mengajak anak – anaknya duduk bersama.
Pada saat inilah, beliau menyampaikan petuah – petuah keagamaannya.
Banyak dari petuah itu yang kemudian Quraish Shihab ketahui sebagai ayat
al – Qur’an atau petuah Nabi, sahabat atau pakar – pakar al – Qur’an yang
hingga detik ini masih terngiang di telinganya. “Aku akan palingkan (tidak
memberikan ) ayat –ayat Ku kepada mereka yang bersikap angkuh
dipermukaan bumi” (QS 7 : 146). “Al – Qur’an adalh jamuan Tuhan”,
demikian bunyi sebuah Hadits. Rugilah yang tidak menghadiri jamuan –
Nya, dan lebih rugi lagi yang hadir tetapi tidak menyantapnya. Itulah
sebagian petuah ayah Quraish Shihab yang masih terngiang. Dari sanalah
Quraish Shihab benih kecintaan studi al – Qur’an mulai tersemai dijiwanya.
Maka, ketika belajar di Universitas al – Azhar Mesir, Quraish Shihab
bersedia mengulang setahun untuk mendapatkan kesempatan melanjutkan
studi saya di Jurusan tafsir, walaupun jurusan – jurusan lainnya pada
fakultas lain sudah membuka pintu lebar – lebar untuk saya.5
Quraish Shihab merupakan pakar tafsir yang meraih gelar MA untuk
spesialisasi bidang tafsir al- Qur’an di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir
pada tahun 1969. Pada tahun 1982 meraih gelar doktor di bidang ilmu –

5
M. Quraish Shihab. Membumikan Al – Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat. (Bandung : Mizan Media Utama. 2007). Hal. 19.

3
ilmu al – Quran dengan yudisium Summa Cumlaude disertai penghargaan
Tingkat Pertama di Universitas yang sama.6
Pengabdiannya di bidang pendidikan mengantarkannya menjadi
Rektor IAIN Syrif Hidayutallah Jakarta pada tahun 1992-1998. Kiprahnya
tak tebatas di lapangan akademis. Beliau menjabat sebagai Ketua Majelis
Ulama Indonesia (Pusat), di tahun 1985-1998, anggota MPR – RI 1982-
1987 dan 1987-2002, dan pada 1998, dipercayai menjadi Menteri Agama
RI. Beliau juga dikenal sebagai penulis yang sangat produktif. Lebih dari
20 buku telah lahir dari tangannya. Diantaranya yang paling legendari
adalah “Membumikan al – Quran” (Mizan 1996) dan Tafsir al – Misbah (
15 jilid, Lentera Hati 2003). Sosoknya juga sering tampil diberbagai media
untuk memberikan siraman rohani dan intelektual. Aktivitas utamanya
adalah Dosen (Guru Besar) PascaSarjana UIN Jakarta dan Direktur Pusat
Studi al-Qur’an Jakarta.7
Gagasan dan pandangan keagamaan Quraish Shihab pada umumnya
dapat dikelompokan kedalam skripturalisme moderat. Ia menekankan
pentingnya menafsirkan al – Qur’an dan merealisasikannya kedalam realitas
masyarakat muslim. Namun, berbeda dengan skripturalisme yang
dikembangkan kelompok muslim fundamentalis yang sangat berpegang
pada teks, Quraish Shihab juga sangat memperhatikan konteks sosial
budaya masyarakat yang berkembang.8
Quraish Shihab adalah ulama pemikir yang sangat produktif
melahirkan karya tulis. Selain itu, ia sangat konsisten pada jalurnya yaitu
pengkajian al – Qur’an dan tafsir. Hamper seluruh karyanya berhubungan
dengan masalah – masalah al – Qur’an dan tafsir. Hampir setiap karyanya
pula mendapat sambutan dari masyarakat dan menjadi best seller serta

6
M. Quraish Shihab. Ibid. Hal. 7.
7
M. Quraish Shihab. Op.Cit. Hal. 7.
8
Muhammad Iqbal. Jurnal Metode Penafsiran al – Qur’an M Quraish Shihab. IAIN Sumatera Utara
Medan, Vol. 6 No. 2 Oktober 2010. Hal. 249.

4
mengalami beberapa kali cetak ulang. Ada beberapa anotasi karya – karya
Quraish Shihab, diantaranya :9
1. Membumikan al – Qur’an (1992).
2. Lentera Hati (1994).
3. Wawasan al – Qur’an : Tafsir Maudu’I atas berbagai persoalan umat
(1996).
4. Mukjizat al – Qur’an (1997).
5. Tafsir al – Qur’an al – Karim : Tafsir atas surah – surah pendek
berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (1997).
6. Secercah Cahaya Illahi : Hidup Bersama al – Qur’an (2000).
7. Menabur Pesan Illahi : al – Qur’an dan Dinamika Kehidupan
Masyarakat (2006).
8. Tafsir al – Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al – Qur’an (2000).
9. Logika Agama (2005).
10. Lentera al – Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan (edisi Revisi 2008).
B. Pendekatan M. Quraish Shihab dalam tafsir Al – Misbah
Salah satu penulisan yang menarik dari karya Quraish Shihab adalah
tafsir al – Misbah dimana Quraish Shihb menulis dengan melihat bahwa
masyarakat muslim Indonesia sangat mencintai dan mengangumi al –
Qur’an. Hanya saja sebagaian dari mereka itu hanya kagum pada bacaan
dan lantunan dengan menggunakan suara merdu, dengan ini seakan – akan
al – Qur’an hanya untuk dibaca tanpa ditafsiri atau dimaknai. 10 Bacaan
hendaknya disertai dengan kesadaran akan keagungan al – Qur’an,
pemahaman dan pneghayatan disertai dengan tadzakur dan tadabur.
Sungguh aneh jika ada pendengar yang berdecak kagum dengan mendengar
bacaan seorang qari berseru dengan, “Allah…Allah”, bergembira dan
senyum simpul menghiasi bibirnya, padahal ayat yang dibaca sang Qari’
adalah ayat ancaman. Itulah salah satu contoh mereka yang terpesona

9
Muhammad Iqbal. Ibid. Hal. 251.
10
M.Quraish Shihab. Tafsir al – Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al – Qur’an Volume I.
(Jakarta : Lentera Hati. 2002). Hal. 4.

5
dengan bacaan. Al – Qur’an mengecam merek yang tidak menggunakan
akal dan kalbunya untk berpikir menghayati al – Qur’an dan mengungkap
pesan – pesan al – Qur’an.11
Pada intinya latar belakang penulisan tafsir al –Misbah oleh Quraish
Shihab adalah karena semangat untuk menghadirkan karya tafsir al –Qur’an
kepada masyarakat secara normative dikobarkan oleh apa yang
dianggapnya sebagai suatu fenomena melemahnya kajian al –Qur’an
sehingga al –Qur’an tidak lagi menjadi pdoman hidup dan sumber rujukan
dalam mengambil keputusan. Menurut Quraish Shihab dewasa ini
masyarakat Islam lebih terpesona pada lantunan bacaan al – Qur’an,seakan
– akan kitab suci al –Qur’an hanya diturunkan untuk dibaca.12
Beberapa tujuan M.Quraish Shihab menulis tafsir al Misbah adalah
pertama, memberikan langkah yang mudah bagi umat Islam dalam
memahami isi dan kandungan ayat – ayat al – Qur’an dengan jelas
menjelaskan secara rinci tentang pesan – pesan yang dibawa al – Qur’an,
serta menjelaskan tema – tema yang berkaitan dengan perkembangan
kehidupan manusia. Karena menurut M.Quraish Shihab walaupun banyak
orang berminat memahami pesan – pesan yang terdapat di al – Qur’an,
namun ada kendala baik dari segi keterbatasan waktu, keilmuan, dan
kelangkaan refrensi sebagai bahan acuan. Kedua, ada kekeliruan umat islam
dalam memaknai fungsi al – Qur’an. Misalnya, tradisi membaca Q.S Yasin
berkali – kali, tetapi tidak memahami apa yang mereka baca berkali – kali
tersebut. Indikasi tersebut juga terlihat dengan banyaknya buku – buku
tentang fadhilah – fadhilah surat – surat dalam al –Qur’an. Dari kenyataan
tersebut perlu untuk memberikan bacaan baru yang menjelaskan tema –
tema atau pesan – pesan al –Qur’an pada ayat – ayat yang mereka baca.
Ketiga, kekeliruan itu tidak hanya merambah pada level masyarakat awam
terhadap ilmu agama tetapi juga pada masyarakat terpelajar yang

11
M. Quraish Shihab. Secercah Cahaya Illahi : Hidup Bersama al – Qur’an. (Bandung : Mizan
Media Utama. 2007). Hal. 21.
12
Atik Wartini. Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al – Misbah. Jurnal Vol I No. 1,
Juni 2014. Hal. 118.

6
berkecimpung dalam dunia studi al –Qur’an. Apalagi jika mereka
membandingkan dengan karya ilmiah, banyak diantara mereka yang tidak
mengetahui bahwa sistematika penulisan al –Qur’an mempunyai aspek
pendidikan yang sangat menyentuh. Keempat, adanya dorongan dari umat
Islam Indonesia yang mengugah hati M. Quraish Shihab untuk menulis
karya tafsir. Dengan cara menghidangkannya dalam bentuk tema – tema
pokok dalam al –Qur’an dan hal itu menunjukkan betapa serasinya ayat –
ayat dan setiap surat dengan temanya, tentunya hal ini akan sangt membantu
meluruskan pemahaman tentang tema – tema dalam al –Qur’an.13
Dalam penyusunan tafsirnya, M.Quraish Shihab menggunakan
urutan Mushaf Usmani yaitu dimulai dari Surah Al-Fatihah sampai dengan
Surah An-Nass, pembahasan dimulai dengan memberikan pengantar dalam
ayat – ayat yang akan ditafsirnya. Dlam uraian tersebut meliputi :14
1. Penyebutan nama – nama surat (jika ada) serta alasan – alasan
penamaannya, juga disertai dengan keterangan ayat – ayat diambil untuk
dijadikan nama surat.
2. Jumlah ayat dan tempat turunnya, misalnya apakah ini dalm kategori
surat makiyah atau madaniyah dan ada pengecualian ayat – ayat tertentu
jika ada.
3. Penomoran surat berdasarkan pada penuruan dan penulisan mushaf,
kadang juga disertai dengan nama surat sebelum atau sesudahnya surat
tersebut.
4. Menyebutkan tema pokok dan tujuan serta menyertakan pendapat para
ulama – ulama tentang tema yang dibahas.
5. Menjelaskan hubungan antara ayat sebelum dan sesudahnya.
6. Menjelaskan tentang sebab – sebab turunnya surat atu ayat, jika ada.
Cara demikian yang telah dijelaskan diatas adalah upaya Quraish Shihab
dalam memberikan kemudahan pembaca tafsir al – Misbah yang pada
akhirnya pembaca dapat diberikan gambaran secara menyeluruh tentang

13
Atik Wartini. Op.Cit. Hal. 112.
14
Atik Wartini. Loc.Cit. 119.

7
surat yang akan dibaca, dan setelah itu Quraish Shihab membuat kelompok
– kelompok kecil untuk menjelaskan tafsirnya.
Adapun beberapa prinsip yang dapat diketahui dengan melihat corak
tafsir al –Misbah adalah karena karyanya merupakan satu kesatuan yang
terpisah. Dalam tafsir al-Misbah, beliau tidak pernah luput dari pembahasan
ilmu munasabah yang tercermiin dalam beberapa hal, yaitu:15
1. Keserasian kata demi kata dalam setiap surah.
2. Keserasian antara kandungan ayat dengan penutup ayat.
3. Keserasian hubungan ayat sebelumnya dengan ayat sesudahnya.
4. Keserasian uraian muqaddimah satu surat dengan penutupnya.
5. Keserasian dalam penutup surat dengan muqaddimah surat sesudahnya.
6. Keserasian tema surat dengan nama surat.
7. Disamping itu Quraish Shihab tidak pernah lupa untuk menyertakan
makna kosa kata, munasabah antar ayat dan asbab nuzul. Ia lebih
mendahulukan riwayat, yang kemudian menafsirakan ayat demi ayat
setelah sampai pada kelompok akhir ayat tersebut dan memberikan
kesimpulan.
Proses ini adalah upaya Quraish Shihab untuk mengembangkan uraian
penafsiran sehingga pesan al –Qur’an membumi dan dekat dengan
masyarakat yang menjadi sasarannya.
Ada beberapa catatan yang layak dikemukakan tentang penulisan tafsir
al – Misbah ini :16
1. Penafsiran ayat – ayat al –Qur’an dilakukan dengan membuat
pengelompokkan ayat yang masing – masing jumlah kelompok ayat
dapat berbeda antara satu sama lainnya. Selain itu, Quraish Shihab tidak
menyusun tafsirnya berdasarkan juz per juz. Karena itu lima belas
volume kitabnya, ketebalan masing – masing volume berbeda – beda.
Hanya volume 3 yang berisi seluruh surat al-Maidah dan yang paling

15
Atik Wartini. Loc.Cit. Hal. 120.
16
Muhammad Iqbal. Jurnal Metode Penafsiran al – Qur’an M Quraish Shihab. IAIN Sumatera
Utara Medan, Vol. 6 No. 2 Oktober 2010. Hal. 258.

8
tipis, yakni 257 halaman. Volume yang lain rata – rata 500 halaman
lebih. Bahkan ada yang mencapai 765 halaman yakni volume 5 yang
berisi surat al – Araf, al-Anfal dan al-Tawbah.
2. Dalam menafsirkan ayat, Quraish mengikuti pola yang dilakukan ulama
klasik pada umumnya. Ia menyelipkan komentar – komentarnya disela
– sela terjemahan ayat yang sedang ditafsirkan. Untuk membedakan
antara terjemahan ayat dan komentar, Quraish menggunakan ceta miring
(italic) pada kalimat terjemahannya. Dalam komentar – komentarnya
tersebutlah Quraish melakukan elaborasi terhadap pemikiran ulama –
ulama, disamping pemikiran dan ijtihadnya sendiri. Hanya saja, cara ini
memiliki kelemahan. Pembaca akan merasa kalimat Quraish terlalu
panjang, dan melelahkan, sehingga kadang – kadang sulit dipahami,
terutama bagi pembaca awam.
3. Dalam tafsir ini jelas sekali nuansa kebahasaan penulis, sebagaimana
terlihat karya – karyanya sebelumnya. Elaborasi kosakata dan
kebahasaan yang dilakukan oleh Quraish dalam buku ini mengantarkan
pembaca untuk memahami makna al –Qur’an dengan baik, sehingga
kesulitan – kesulitan pemahaman terhadap al –Qur’an dapat diatasi.
Corak karya tafsir dalam makalah ini berangkat dari pemetaan corak
karya tafsir dengan menggunakan teori obyektivis tradisionalis, yang
kemudian dikembangkan menjadi dua pandangan yang pertama adalah
obyektifis tradisionali dan obyektifis modernis. Ciri dari pandangan
obyektifis tradisionalis adalah biasanya menggunakan diskursus pada
pendekatan linguistic semata, kaidah kebahasaan menjadi sangat penting
dan menjadi tolak ukur penafsiran, dalam beberapa kitab tafsir klasik sering
kali pendekatan ini dikaji. Karena berbasis pemahaman linguistic kata yang
dominan terkadang punya kelemahan yang sangat menonjol yaitu makna
universal dalam kajian ayat atau kata ini menjadi hilang atau terabaikan.
Produk penafsiran seperti ini tidak dapat diharapkan akan mampu menjawab

9
problematika kekinian yang tengah berkembang karena produk tersebut
tidak dapat menampilkan makna universal dibalik ayat yang ditafsirkan.17
Kemudian untuk ciri corak obyektif revivalis adalah metodologi
penafsiran tektualis, yang dibumbui dengan pandangan ideologis dan
menampakkan penafsiran yang keras terutama dalam masalah ijtihad dan
syariat. Sedangkan dalam pandangan subyektifis adalah pendekatan tafsir
dengan benar – benar meninggalkan karya klasik sebagai sebuah pintu
masuk penafsiran. Penafsiran ini adalah penafsiran yang menggunakan
pendekatan ilmu – ilmu kontemporer, semacam eksakta maupun non
eksakta. Sedangkan dalam corak ketiga adalah quasi obyektifis modern, ciri
dari penafsiran masyrakat dan sosial. 18
Kemudian jika kita membaca corak penafsiran M.Quraish Shihab,
tampak bahwa belaiu lebih mendekati corak penafsiran yang ketiga, dalam
tafsir al-Misbah Quraish Shihab menyertakan kosakata, munasabah antar
ayat dan asbab nuzul, walaupun dalam penafsiran ayat demi ayat beliau
selalu mendahulukan riwayat bukan rayu’, tetapi pendektan kajian sains
menjadi salah satu pertimbangan dalam beberapa penafsirannya, ini
indicator bahwa corak penafsiran Quraish Shihab menggunakan corak yang
ketiga.19
Jika kita cermati dengan seksama, tampak bahwa metode penafsiran
Quraish Shihab menggunakan pendekatan al – ijtihad al – hida’I, Karena
tujuan penafsiran adalah untuk meluruskan kekeliruan masyarakat terhadap
al-Qur’an. Dari sinilah terlihat bahwa karakter dari Quasi – Objektivis
Modernis diperlihatkan oleh Quraish Shihab walaupun masih belum
sempurna. Quraish Shihahb menjembatani masyarakat dalam memahami al-
Qur’an lebih mandalam. Ini adalah upaya penafsir modern dalam
menafsirkan al-Qur’an dengan melihat realitas ap dan bagimana sebenarnya
yang dibutuhkan oleh masyarakat pada waktu itu.20

17
Atik Wartini. Loc.Cit. Hal. 121.
18
Atik Wartini. Loc.Cit. Hal. 122.
19
Atik Wartini. Loc.Cit. Hal. 123.
20
Atik Wartini. Loc.Cit. Hal. 123.

10
Dalam praktiknya, Quraish Shihab melakukan pendekatan kebahasaan
ini hampir disetaip karyanya, teruatama tafsir al-Misbah. Inilah yang
menjadikan Quraish berbeda dari penafsir Indonesia lainnya yang kurang
memperhatikan aspek kebahasaan. Disisi lain, dalam menafsirkan al-Qur’an
Quraish berupaya melihat konteks hubungan satu ayat dengan ayat lainnya.
Quraish tidak setuju dengan penafsiran yang hanya melihat ayat – ayat
tertentu saja yang sedang ditafsirkan tanpa menghubungkannya dengan ayat
atau surah sebelum dan sesudahnya. Penafsiran demikian akan membawa
kekeliruan fatal dan tidak dapat memberi kita pemahaman yang utuh
terhadap maksud al-Qur’an. Quraish memberi contoh keliru penafsiran
sebagaian umat islam dan konteks ayat – ayat kauniyah. Banyak umat Islam
yang menjadikan surah al-Rahman ayat 33 sebagai petunjuk al-Qur’an
bahwa manusia ternyata bisa menjelajah luar angkasa.

َ ُ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ َّ َ َْ ْ ُ َُْ ْ َ ُْ َ َ ْ ْ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ
‫ض فان ُفذوا ۚ َل‬ ِ ‫س ِإ ِن استطعت ْم أن تنفذوا ِمن أقط ِار السماو‬
ِ ‫ات واْلر‬ ِ ‫اْلن‬
ِ ‫يا معشر ال ِج ِن و‬
َ ْ َّ َ ُ َ
.)33 : ‫ت ْن ُفذون ِإَل ِب ُسلطان (سورة الرحمن‬

Artinya : Hai Jamaah Jin dan Manusia, jika kamu sanggup menembus
(melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kau tidak dapat
menembusnya kecuali dengan kekuatan. (QS. Ar-Rahman : 33).

Dalam ayat itu – menurut mereka – Allah memerintahkan kepada jin


dan manusia untuk menjelajah langit dan bumi, dan itu tak akan mampu
dilakukan kecuali dengan kekuatan ilmu pengetahuan. Padahal menurut
Quraish Shihab, ayat ini tidak ada kaitannya dengan penjelajahan luar
angkasa. Konteks ayat ini berbicara tentang siksaaan diakhirat terhadap jin
dan manusia yang kafir. Lalu al-Qur’an “mengejek” mereka supaya berusaha
melarikan diri dari siksaan tersebut. Tentu saja mereka tidak akan mampu
melakukannya dan mereka tetap akan menjalani siksaan tersebut. Menurut
Quraish, ayat diatas merupakan peringatan dan tantangan bagi mereka yang
bermaksud menghindar dari tanggung jawab diHari Kemudian. Jika
demikian, ayat ini berbicara dalam konteks kehidupan duniawi apalagi

11
menyangkut kemampuan manusia menembus luar angkasa, tetapi semata –
mata sebagai ancaman bagi yang hendak menghindar. Itu akibatnya kalau
penafsiran al-Qur’an terlepas dari konteksnya. Akhirnya kita cenderung
apologis dan reaktif. Dulu ketika pertama kali orang menjejakkan kakinya di
bulan, ramai – ramai umat Islam mencari pembenaran al-Qur’an bahwa 14
abad yang lalu al-Qur’an sudah berbicara tentang masalah ini. Bertemulah
kita pada ayat 33 surat ar-Rahman diatas untuk menjustifikasi realitas
tersebut.21

Quraish melanjutkan bahwa ayat 35 selanjutnya menyatakan bahwa


kepada jin dan manusia yang mencoba untuk menembusnya akan dikirim
nyala api dan cirn tembaga sehingga mereka tidak akan dapat menyelamatkan
diri dari siksaan neraka di akhirat. “Seandainya ayat 33 yang lalu dipahami
sebagai isyarat tentang kemapuan manusia menembus angkasa dalam arti
dalam kehidupan dunia ini dan yang telah terbukti dalam kenyataan
keberhasilan sampai kebulan, maka dimanakah letaknya ayat diatas, yang
secara tegas menyatakan bahawa jin dan manusia tidak akan berhasil ?.
sungguh memahami ayat ini sebagai isyarat ilmiah tentang keberhasilan
menembus angkasa, akan mengakibatkan siapa yang membaca ayat diatas
dapat berkata bahwa ayat ini menegaskan ketidakmampuan manusia
menembus luar angkasa. Karena itu sekali lagi bahwa mulai dari surat ar-
Rahman ayat 31 sampai dengan ayat 77 kesemuanya berbicara tentang
kehidupan diakhirat”. Dalam kesempatan lain Quraish menyatakan bahwa
ayat 35 surat ar-Rahman menjelaskan tentang ketidakmampuan jin dan
manusia menyelamatkan diri dari siksaan di akhirat. Karena itu kalua
dipahami bahwa ayat 33 surat ar-Rahman sebagai penjelasan tentang
kemampuan jin dan manusia melakukan penjelajahan luar angkasa, maka
akan bertentangan dengan ayat 35. Tidak mungkin ada kontradiksi dalam ayat
– ayat al-Qur’an. Karena itu, tidak wajar kita menetapkan suatu pengertian

21
Muhammad Iqbal. Jurnal Metode Penafsiran al – Qur’an M Quraish Shihab. IAIN Sumatera
Utara Medan, Vol. 6 No. 2 Oktober 2010. Hal. 268.

12
tehadap satu kata atau ayat terlepas dari konteks kata tersebut dengan redaksi
ayat secara keseluruhan dan dengan konteks ayat – ayat yang lain.22

Tentu saja pandangan tentang keserasian hubungan antara satu ayat


dengan ayat lain atau satu surah dengan surah lain dalam al-Qur’an bukan
murni pemikiran Quraish. Ia sendiri mengakui bahwa ulama – ulama pada
abad klasik maupun pertengahan sudah membicarakan masalah ini. Quraish
memandang bahwa Fakhruddin ar-Razi adalah orang yang pertama kali
berbicara tentang tema – tema surah al-Qur’an. Usaha ini dilanjutkan oleh as-
Syathibi, Ibrahim al-Biqa’I, Muhammad ibn Abduallah az-Zarkasyi. Metode
inilah yang dikembangkan oleh Quraish Shihab dalam menafsirkan al-Qur’an
sebagaiaman yang terlihat dalam karya-karyanya.

22
Muhammad Iqbal. Op.Cit. Hal. 267.

13
BAB III

KESIMPULAN

Quraish Shihab merupakan pakar tafsir yang meraih gelar MA untuk


spesialisasi bidang tafsir al- Qur’an di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir pada
tahun 1969. Pada tahun 1982 meraih gelar doktor di bidang ilmu – ilmu al – Quran
dengan yudisium Summa Cumlaude disertai penghargaan Tingkat Pertama di
Universitas yang sama.

Gagasan dan pandangan keagamaan Quraish Shihab pada umumnya dapat


dikelompokan kedalam skripturalisme moderat. Ia menekankan pentingnya
menafsirkan al – Qur’an dan merealisasikannya kedalam realitas masyarakat
muslim. Namun, berbeda dengan skripturalisme yang dikembangkan kelompok
muslim fundamentalis yang sangat berpegang pada teks, Quraish Shihab juga
sangat memperhatikan konteks sosial budaya masyarakat yang berkembang.

Dalam penyusunan tafsirnya, M.Quraish Shihab menggunakan urutan


Mushaf Usmani yaitu dimulai dari Surah Al-Fatihah sampai dengan Surah An-
Nass, pembahasan dimulai dengan memberikan pengantar dalam ayat – ayat yang
akan ditafsirnya.

Dalam praktiknya, Quraish Shihab melakukan pendekatan kebahasaan ini


hampir disetaip karyanya, teruatama tafsir al-Misbah. Inilah yang menjadikan
Quraish berbeda dari penafsir Indonesia lainnya yang kurang memperhatikan aspek
kebahasaan. Disisi lain, dalam menafsirkan al-Qur’an Quraish berupaya melihat
konteks hubungan satu ayat dengan ayat lainnya. Quraish tidak setuju dengan
penafsiran yang hanya melihat ayat – ayat tertentu saja yang sedang ditafsirkan
tanpa menghubungkannya dengan ayat atau surah sebelum dan sesudahnya.
Penafsiran demikian akan membawa kekeliruan fatal dan tidak dapat memberi kita
pemahaman yang utuh terhadap maksud al-Qur’an.

14
DAFTAR PUSTAKA

Federspiel, Howard M. 1996. Kajian Al – Qur’an di Indonesia diterjemahkan dari


Pupolar Indonesian Literature of the Qur’an. Bandung : Mizan.

Iqbal, Muhammad. 2010. Jurnal Metode Penafsiran al – Qur’an M Quraish


Shihab. IAIN Sumatera Utara Medan, Vol. 6 No. 2 Oktober 2010.

Shihab, M. Quraish. 2007. Membumikan Al – Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu


dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan Media Utama.

Shihab, M. Quraish. 2007. Secercah Cahaya Illahi : Hidup Bersama al – Qur’an.


Bandung : Mizan Media Utama.

Shihab, M.Quraish. 2002. Tafsir al – Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al –


Qur’an Volume I. Jakarta : Lentera Hati.

Wartini, Atik. 2014. Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al –


Misbah. Jurnal Vol I No. 1, Juni 2014.

15

Anda mungkin juga menyukai