Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di dalam sebuah organisasi, peran seorang pemimpin begitu sangat


urgensi.Karena pada dasarnya, manajemen atau administrasi organisasi tentunya akan
sangat dipengaruhi oleh tindak-tanduknya pemimpin. Terkait
kepemimpinan,sesungguhnya baru dapat berjalan jika seorang pemimpin berusaha
untukmempengaruhi orang lain, baik lewat arahan, himbauan, saran, bimbingan,
dansebagainya.Kepemimpinan yang sangat diharapkan tentunya yang bersifat efektif.
Guna mencapainya, maka sudah selayaknya sifat kepemimpinan harus berubah
jika terjadi perubahan pada tugas kelompok, komposisi orang dalam kelompok atau pada
situasi kelompok.Selain itu, untuk menjalankan kepemimpinan secara efektif perlu
adanya pemahaman terkait pendekatan-pendekatan apa saja yang ada di dalam sebuah
teori kepemimpinan. Pendekatan-pendekatan tersebut diantaranya, pendekatan sifat,
tingkah laku, dan kontingensi pada kepemimpinan.
Dengan pengetahuan dan pemahaman yang baik terkait berbagai pendekatan
kepemimpinan tersebut, harapannya kita dapat memilih dan mengaplikasikan mana
pendekatan yang menurut kita sesuai dengan apa yang kita butuhkan.Hingga dalam
implementasinya, terwujud suatu sistem kepemimpinan yang efektif dan efisien serta
mampu membawa organisasi menuju perubahan yang lebih baik lagi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan kepemimpinan?
2. Apa saja jenis-jenis pendekatan kepemimpinan?
1.3 Tujuan
1. Memahami pendekatan dalam kepemimpinan
2. Memahami jenis-jenis pendekatan kepemimpinan

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Andrea Jung: Memberi Avon Perubahan yang Sangat Dibutuhkan


Bisakah satu orang memengaruhi kinerja sebuah organisasi? Andrea Jung, ketua
CEO Avon Producs Inc., membuktikan bahwa seseorang bisa melakukan hal itu.1 Jung
bergabung dengan Avon pada tahun 1994 setelah bekerja di berbagai perusahaan ritel
seperti Neiman Marcus dan Blooingdale’s. Tugas awalnya di Avon adalah menciptakan
sebuah merek global. Itulah yang dilakukannya. Jung mengintegrasikan dan
menstrandardisasikan logo perusahaan, kemasan, dan iklan untuk menciptakan suatu
kesan yang seragam; dan ia terus menerus menekankan slogan korporasi saat ini,
“Perusahaan bagi kaum perempuan”. Karena keberhasilannya dalam mengembangkan
fokus pemasaran Avon, dewan perusahaan menunjuk dirinya sebagai pemimpin dan CEO
pada November 1999.
Saat itu, perusahaan yang mulai dipimpin Jung sedang berada dalam kesulitan
besar. Masa “Avon Lady” tampaknya telah berlalu. Semakin sedikit kaum perempuan
yang mendaftar sebagai perwakilan Avon dan penjualan pun mengalami penurunan.
Tetapi, hanya 4 bulan setelah memegang posisi barunya, Jung menjalankan rencana
perubahan haluan. Avon meluncurkan suatu lini bisnis yang sama sekali baru,
mengembangkan berbagai produk yang sukses besar, mulai menjual produk Avon di
toko-toko ritel, dan memperluas penjualan internasional secara signifikan. Ia
meningkatkan anggaran penelitian dan pengembangan Avon sebanyak 46 persen untuk
memasarkan produk-produk unggulan dengan lebih cepat. Langkah ini berujung pada
peluncuran Retroactive, sejenis krim anti penuaan kulit yang telah menjadi andalan
dengan sangat cepat, dan jenis-jenis vitamin dan minyak terapi yang baru. Ia meniupkan
angin kehidupan baru ke barisan “Avon Ladies”. Untuk mengambil kembali lini
penjualan perusahaan, ia membuat sebuah program pemasaran berjenjang (MLM) yang
memberikan penghargaan kepada para penjual yang bisa merekrut perwakilan baru.
Jumlah perwakilan penjualan kini meningkat untuk kali pertamanya selama bertahun-
tahun. Akhirnya, dengan secara agresif merambah pasar internasional, Avon sekarang

3
memenangkan hampir dua pertiga penjualan kosmetik dunia senilai $6,2 miliar dari luar
Amerika Serikat.
Setelah 6 tahun melakukan pekerjaan ini, kepemimpinan Jung benar-benar
memengaruhi kinerja Avon. Sejak Jung mengambil alih posisi CEO keuntungan
meningkat kurang-lebih 21,5 persen pertahun. Harga saham Avon pun meningkat 142
persen, dibandingkan dengan performa yang mediaoker dari indeks saham $&P-500
selama kurun waktu yang sama.
Sebagaimana ditunjukkan Andrea Jung di Avon, pemimpin bisa membuat
perbedaan. Di bab ini, kita akan melihat berbagai pendekatan dasar yang menentukan-apa
yang membuat seorang pemimpin efektif dan apa yang membedakan pemimpin dari
mereka yang bukan pemimpin. Pertama, kita akan berbicara tentang teori-teori sifat.
Teori-teori ini mendominasi studi kepemimpinan sampai dengan akhir tahun 1940-an.
Kemudian, kita akan mendiskusikan teori-teori perilaku, yang populer sampai akhir tahun
1960-an. Akhirnya, kita akan memperkenalkan teori kemungkinan, yang saat ini menjadi
pendekatan yang dominan di bidang kepemimpinan. Tetapi, sebelum meninjau ketiga
pendekatan ini, kita perlu mengklarifikasi terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
istilah kepemimpinan.

2.2 Apa itu kepemimpinan?


Kepemimpinan: kemampuan unuk memengaruhi sebuah kelompok untuk
mencapai suatu visi atau serangkaian tujuan tertentu.
Kepemimpinan dan manajemen adalah dua istilah yang acap kali membingungkan.
Apakah perbedaan di antara keduanya?
John Kotter dari Harvard Business School menyatakan bahwa manajemen terkait
dengan usaha untuk menangani kompleksitas.2 Manajemen yang baik menghasilkan
keteraturan dan konsistensi dengan cara mempersiapkan rencana formal, merancang
struktur organisasi yang kuat, dan memonitor hasil berdasarkan rencana. Sebaliknya,
kepemimpinan berkaitan dengan perubahan. Pemimpin menentukan arah dengan cara
mengembangkan suatu visi masa depan; kemudian, mereka menyatukan orang-orang
dengan mengomunikasikan visi ini dan menginspirasi mereka untuk mengatasi berbagai
rintangan.

4
Robert House dari Wharton School di University of Pennsylvania sependapat
dengan pandangan tersebut ketika mengatakan bahwa para manajer menggunakan
otoritas yang inheren dengan jabatan formal mereka untuk mendapatkan keinginan
mereka dari anggota organisasi.3 Manajemen terbentuk dari implementasi visi dan
strategi yang ditentukan oleh pemimpin, koordinasi dan susunan kepegawaian organisasi,
dan penanganan berbagai masalah sehari-hari.
Meskipun Kotter dan House memberikan definisi yang berbeda mengenai kedua
istilah tersebut, baik peneliti maupun manajer yang aktif seringkali tidak menyadarinya.
Jadi, kita harus mengartikulasikan kepemimpinan dengan cara yang sedemikian rupa
sehingga bisa menjelaskan dengan benar bagaimana hal ini digunakan dalam teori dan
praktiknya.
Kita mendefinisikan kepemimpinan (leadership) sebagai kemampuan untuk
mempengaruhi suatu kelompok guna mencapai sebuah visi atau serangkaian tujuan yang
ditetapkan. Sumber pengaruh ini bisa jadi bersifat formal, seperti yang diberikan oleh
pemangku jabatan manajerial dalam sebuah organsasi. Karena posisi manajemen
memiliki tingkat otoritas yang diakui secara formal, seseorang bisa memperoleh peran
pemimpin hanya karena posisinya dalam organisasi tersebut. Namun, tidak semua
pemimpin adalah manajer, demikian pula sebaiknya, tidak semua manajer adalah
pemimpin. Hanya karena suatu organisasi memberikan hak-hak formal tertentu kepada
para manajernya, bukan jaminan bahwa mereka mampu memimpin dengan efektif. Kita
menemukan bahwa kepemimpinan nonformal – yaitu, kemampuan untuk memengaruhi
orang lain yang muncul dari luar struktur formal suatu organisasi – sering kali sama
pentingnya dengan atau malah lebih penting daripada pengaruh formal. Dengan
perkataan lain, pemimpin bisa muncul dari dalam suatu kelompok dan dari pengangkatan
serta penunjukan yang sifatnya formal.
Satu lagi komentar terakhir sebelum kita melanjutkan pembahasan: organisasi
membutuhkan kepemimpinan dan manajemen yang kuat agar efektivitasnya optimal. Di
dunia yang serba dinamis seperti sekarang ini, kita membutuhkan pemimpin-pemimpin
yang berani menentang status quo, menciptakan visi masa depan, dan mengilhami
anggota-anggota organisasi untuk secara sukarela mencapai visi tersebut. Kita juga

5
membutuhkan para manajer untuk merumuskan rencana yang mendetail, menciptakan
struktur organisasi yang efisien, dan mengawasi operasi sehari-hari.

2.3 Teori sifat


Teori sifat kepemimpinan: Teori-teori yang mempertimbangkan berbagai sifat
dan karakteristik pribadi yang membedakan para pemimpin dari mereka yang bukan
pemimpin.
Teori sifat kepemimpinan berfokus pada berbagai karakteriristik pribadi seorang
pemimpin. Sebagai contoh, untuk mendeskripsikan kepemimpinan CEO American
Express Keneth Chenault, media menggunakan istilah-istilah seperti cerdas, ramah,
percaya diri, terus terang, bertanggung jawab, pandai berbicara, energik, dan etis.
Sepanjang sejarah, para pemimpin yang kuat – Budha, Napoleon, Mao, Churchill,
Thatcher, Reagan – dideskripsikan berdasarkan sifat-sifat mereka. Sebagai contoh, ketika
menjabat perdana menteri Inggris Raya, Margaret Thatcher terus-menerus dideskripsikan
sebagai perempuan yang sangat percaya diri, berkemauan keras, tekun, dan tegas.
Teori sifat kemimpinan (trait theories of leadership) membedakan para pemimpin
dari mereka yang bukan pemimpin dengan cara berfokus pada berbagai sifat dan
karakteristik pribadi. Pribadi-pribadi seperti Margareth Thatcher, presiden Afrika Selatan
Nelson Mandela, CEO Virgin Group Richard Branson, pendiri Apple Steve Jobs, mantan
walikota New York City Rudolph Giuliani, dan ketua American Express Ken Chenault
diakui sebagai pemimpin dan dideskripsikan sebagai pribadi yang karismatik, antusias,
dan berani. Pencarian atribut-atribut kepribadian, sosial, fisik, atau intelektual guna
mendeskripsikan dan membedakan pemimpin dari yang bukan pemimpin merupakan
tingkatan paling awal dalam penelitian kepemimpinan.
Usaha-usaha penelitian untuk memetakan sifat-sifat kepemimpinan mengarah pada
jalan buntu. Sebagai contoh, sebuah tinjauan dari akhir tahun 1960-an mengenai 20
kajian yang berbeda mengidentifikasikan hampir 80 sifat kepemimpinan, tetapi hanya 5
darinya yang sama dalam empat penyelidikan atau lebih.4 Pada tahun 1990-an, setelah
banyak kajian dan analisis, kira-kira hal terbaik yang bisa dikatakan adalah bahwa
sebagian besar “pemimpin tidak seperti orang lain”, tetapi sifat-sifat tertentu yang

6
terpetakan sangat berbeda dari satu tinjauan ke tinjauan yang lain.5 Ini menjadi persoalan
yang cukup membingungkan.
Sebuah terobosan, katakan semacam itu, muncul ketika para peneliti mulai
mengelompokkan sifat-sifat kepemimpinan ke dalam kerangka kepribadian Model Lima
Besar (Lihat Bab 4).6 Yang lalu menjadi jelas adalah bahwa sebagian besar dari lusinan
sifat yang muncul dalam berbagai tinjauan kepemimpinan bisa digolongkan ke dalam
salah satu Model Lima Besar itu dan bahwa pendekatan ini membuat teori sifat untuk
memprediksi kepemimpinan memperoleh dukungan yang konsisten dan besar. Sebagai
contoh, ambisi dan energi – dua sifat umum dari para pemimpin – merupakan bagian dari
ekstraversi. Alih-alih berfokus pada dua sifat khusus ini, adalah lebih baik untuk
memahami keduanya dalam sifat ekstraversi yang lebih umum.
Suatu kajian yang komprehensif mengenai literature kepemimpinan, dengan
mengacu pada Model Lima Besar, menemukan bahwa ekstraversi merupakan sifat
terpenting dari pemimpin yang efektif.7 Tetapi, hasil menunjukan bahwa ekstraversi lebih
terkait dengan kemunculan pemimpin alih-alih efektivitasnya. Ini tidak sepenuhnya
mengejutkan karena orang-orang yang ramah dan dominan cenderung menonjolkan diri
mereka dalam kelompok. Konsistensi dan keterbukaan pada pengalaman juga memiliki
hubungan yang kuat dan konsisten dengan kepemimpinan, meskipun tidak sekuat
ekstraversi. Sikap yang menyenangkan dan stabilitas emosional tidak memiliki
keterkaitan seerat itu dengan kepemimpinan. Secara keseluruhan, pendekatan sifat ini
memang menawarkan sesuatu. Para pemimpin dengan sifat ekstraversi (individu-individu
yang suka berada di dekat orang lain dan yang mampu menunjukkan dirinya), konsisten
(individu-individu yang kreatif dan fleksibel), memang tampak lebih unggul dalam hal
kepemimpinan, mengisyaratkan bahwa pemimpin yang baik memang memiliki sifat-sifat
utama yang sama.
Beberapa kajian mutakhir menunjukkan bahwa sifat lain yang kiranya menunjukkan
kepemimpinan yang efektif adalah kecerdasan emosional (emotional intelegence – EI),
yang kita diskusikan di Bab 8. Para pengusungnya berpendapat bahwa tanpa EI,
seseorang bisa saja memiliki pendidikan yang luar biasa, kemampuan analitis yang tajam,
visi yang hebat, dan ide-ide cemerlang yang seolah tak terbatas, tetapi tetap saja ia tidak
bisa menjadi seorang pemimpin yang besar. Hal ini bisa saja menjadi benar ketika

7
individu menapaki karier di suatu organisasi.8 Tetapi, mengapa EI begitu penting bagi
kepemimpinan yang efektif? Salah satu komponen inti EI adalah empati. Pemimpin-
pemimpin dengan sifat empati bisa merasakan kebutuhan orang lain, mendengarkan apa
yang dikatakan (dan tidak terucapkan) oleh anak buahnya, dan mampu membaca reaksi
orang lain. Seperti dinyatakan oleh seorang pemimpin, “Hal yang baik dari empati,
terutama bagi orang-orang yang bekerja bersama Anda, adalah apa yang menginspirasi
mereka untuk tetap bersama pemimpin itu ketika keadaan berubah menjadi sulit. Fakta
sederhana bahwa seseorang peduli sering kali dihargai dengan kesetiaan.”9
Tentu saja, pada tingkat-tingkat kepemimpinan puncak, EI sangat penting. Sebagai
contoh, seorang sejarawan yang mengadakan penelitian mengenai para presiden, Fred
Greenstein, menunjukkan bahwa EI merupakan salah satu unsur terpenting untuk
meramalkan kebesaran seorang presiden. Greenstein mengatakan bahwa lemahnya EI
merupakan salah satu penyebab buruknya kepemimpinan Presiden Johnson, Nixon,
Carter, dan, sampai pada tngkat tertentu, Clinton. Ia memperingatkan, “Hati-hatilah pada
calon presiden yang kurang memiliki kecerdasan emosional. Tanpa EI, segalanya bisa
hancur.”10 Kecerdasan emosional kiranya juga memainkan peranan penting dalam
pemilihan presiden 2004. Meskipun diyakini oleh banyak warga Amerika sebagai orang
yang lebih pandai, lebih cerdas, dan cenderung lebih baik menyangkut berbagai persoalan
besar bila dibandingkan dengan George W. Bush, John Kerry kalah dalam pemilihan
presiden. Mengapa? Beberapa orang mempercayai bahwa Kerry memiliki EI yang lebih
rendah daripada Bush. Ini tercermin dalam perkataan seorang komentator, “Pada tahun
2004, Kerry memiliki kecerdasan politk yang lebih tinggi. Tetapi, Bush mempunyai
kecerdasan bangsa yang lebih baik. Yang terakhir ini melakukan kampanye yang lebih
berkesan secara emosional – berbicara dengan jelas, sederhana, dan penuh semangat.
Dan, ia menang.”11
Terlepas dari klaim bahwa EI sangat penting, hubungan antara EI dan efektivitas
kepemimpinan lebih sedikit diselidiki dibandingkan dengan sifat-sifat yang lain. Seorang
peneliti mengatakan, “Mungkin, masih terlalu dini bagi kita untuk berspekulasi tentang
manfaat praktis dari konstruk EI. Meski begitu, EI toh tetap dipandang sebagi obat
mujarab bagi segala penyakit organisasional dengan peryataan terbaru menyebutkan

8
bahwa EI penting untuk efektivitas kepemimpinan.”12 Tetapi, sampai bukti yang lebih
kuat muncul, kita belum bisa yakin dengan hubungan tersebut.
Berdasarkan temuan-temuan terakhir, kami menawarkan dua kesimpulan. Pertama,
sifat memang bisa memprediksi kepemimpinan. Dua puluh tahun yang lalu, bukti
menunjukkan sebaliknya. Namun, hal ini mungkin dikarenakan masih lemahnya
kerangka kerja yang valid untuk mengklasifikasikan dan mengorganisasi sifat-sifat
tersebut. Model Lima Besar tampaknya dapat memperbaiki kekurangan ini. Kedua, sifat-
sifat kepemimpinan lebih baik dalam memprediksikan munculnya pemimpin dan
tampilnya kepemimpinan daripada dalam membedakan antara pemimpin yang efektif dan
pemimpin yang tidak efektif.13 Kenyataan bahwa seorang individu menampilkan sifat-
sifat kepemimpinan tersebut dan individu yang lain berpikir bahwa orang itu seharusnya
menjadi seorang pemimpin tidak serta-merta berarti bahwa pemimpin itu berhasil dalam
membuat kelompoknya mencapai tujuan-tujuannya.

PO DALAM BERITA
Para Manajer Bicara Tentang Kompetensi Kepemimpinan
Majalah Training dan The Cente Creative Leadership menyurvei lebih dari 250
manajer untuk mengidentifikasikan berbagai kompetensi kepemimpinan yang mereka
anggap paling penting untuk mencapai keberhasilan pada saat ini. Respondennya terdiri
atas 54 persen manajer laki-laki dan 46 persen manajer perempuan. Dan, mereka
mencakup semua tingkatan manajemen. Sebagai contoh, 28 persennya adalah manajer
senior, dan 48 persen adalah manajer yang menempati posisi manajemen tingkat awal
atau menengah.
Survei tersebut menemukan bahwa semua manajer menganggap etika, integritas,
dan nilai merupakan syarat tertinggi dalam kompetensi mereka. Hasil semacam ini
semestinya tidak mengejutkan karena survei tersebut dilakukan tak lama setelah berbagai
berita utama level nasional mengungkap praktik-praktik tidak etis (dan, dalam beberapa
kasus, ilegal) yang dilakukan oleh para eksekutif di perusahaan-perusahaan seperti Enron,
Tyco, WorldCom, dan Arthur Andersen. Para responden yakin bahwa agar dapat
bertindak secara efektif, pemimpin-pemimpin di puncak organisasi haruslah orang yang
dapat memunculkan rasa hormat. Mereka haruslah terdiri atas orang-orang yang

9
dipandang jujur dan dapat dipercaya. Karenanya, etika, integritas, dan nilai sangat
penting. Dalam skala 5 angka, dengan angka 5 menunjukkan arti paling penting,
kompetensi ini mendapat nilai rata-rata 4,7.
Beberapa kompetensi kepemimpinan tertentu dianggap lebih berharga, bergantung
pada tingkat seorang responden dalam organisasi. Bagi para manajer tingkat menengah,
survei tersebut menemukan bahwa komunikasi (4,7) berada di depan etika (4,69) dalam
skala nilai penting. Pada tingkatan-tingkatan manajemen senior, nilai penting yang
tertinggi jatuh kepada kemampuan untuk membuat dan mengungkapkan suatu visi yang
jelas (4,89), dimana etika mendapatkan penilaian rata-rata 4,8. Sembilan puluh persen
manajer tingkat senior menempatkan pengembangan visi dalam peringkat nilai penting
yang paling tinggi, tetapi hanya 19 persen manajer tingkat menengah yang memasukkan
visi di antara kompetensi kepemimpinan mereka yang paling penting.
Sumber: Berdasarkan J.Schettier ”Leadership in Corporate America,” Training,
September 2002, hal 66-77

2.4 Teori-Teori Perilaku


Teori perilaku kepemimpinan: Teori-teori yang mengemukakan bahwa beberapa
perilaku tertentu membedakan pemimpin dari mereka yang bukan pemimpin.
Kegagalan teori sifat kepemimpinan yang sebelumnya mendorong para peneliti
pada akhir tahun 1940-an hingga 1960-an mengambil langkah yang berbeda. Mereka
mulai melihat perilaku-perilaku yang ditampilkan oleh pemimpin tertentu. Mereka
bertanya-tanya apakah ada sesutau yang unik dalam cara para pemimpin yang efektif
berperilaku. Untuk menggunakan contoh kontemporer, Ketua Siebel Systems Tom Siebel
dan CEO Oracle Larry Ellison merupakan dua pemimpin yang telah berhasil memimpin
perusahaan mereka melalui masa-masa sulit.14 Mereka berdua juga menggunakan gaya
kepemimpin yang sama – bicara apa adanya, penuh semangat, autokratif. Apakah ini
menunjukkan bahwa perilaku autokrasi adalah gaya yang lebih disukai oleh semua
pemimpin? Dalam bagian ini, kita melihat tiga teori perilaku kepemimpinan
(behavioral theories of leadership) yang berbeda untuk menjawab pertanyaan tersebut.

10
Namun demikian, marilah kita terlebih dahulu menimbang implikasi-implikasi praktis
dari pedekatan perilaku.
Bila berhasil baik, pendekatan perilaku pada kepemimpinan akan memilki
implikasi-implikasi yang sangat berbeda dari pendekatan sifat. Penelitian sifat
menyediakan suatu landasan untuk memilih orang-orang yang “tepat” yang akan
menerima posisi formal dalam kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi yang
membutuhkan kepemimpinan. Sebaliknya, apabila studi perilaku digunakan sebagai
faktor penentu perilaku kepemimpinan yang terutama, kita bisa melatih orang-orang
untuk menjadi pemimpin. Perbedaan antara teori sifat dan teori perilaku, dalam
penerapannya, terletak pada asumsi-asumsi pokoknya. Teori sifat berasumsi bahwa
pemimpin dilahirkan, bukan diciptakan. Namun, bila ada perilaku-perilaku tertentu yang
mengidentifikasi pemimpin, kita bisa mengajarkan kepemimpinan – kita bisa merancang
beragam program untuk menanamkan pola-pola perilaku ini dalam diri mereka yang
ingin menjadi pemimpin yang efektif. Ini tentunya merupakan jalan yang lebih
menyenangkan, karena hal itu berarti bahwa persediaan pemimpin akan bertambah
banyak. Apabila pelatihan tersebut berhasil baik, kita bisa memilki persediaan pemimpin
efektif yang tak terbatas.

2.5 Kajian dari Ohio State University


Teori perilaku kepemimpinan yang paling komprehensif dan replikatif muncul dari
penelitian yang dirintis di Ohio State University pada akhir tahun 1940-an.15 Para peneliti
di sana beusaha mengidentifikasi dimensi-dimensi independen dari perilaku pemimpin.
Dimulai dengan lebih dari seribu dimensi, mereka akhirnya mempersempit daftar tersebut
menjadi dua kategori yang pada dasarnya menjelaskan sebagian besar perilaku
kepemimpinan sebagaimana dideskripsikan para karyawan. Mereka menyebut kedua
dimensi ini struktur awal dan tenggang rasa.

Struktur awal : Tingkat sampai mana seorang pemimpin akan menetapkan dan
menyusun perannya dan peran para bawahannya dalam usaha mencapai tujuan.

11
Struktur awal (initiating structure) merujuk pada tingkat sampai mana seorang
pemimpin akan menetapkan serta menyusun perannya dan peran anak buahnya dalam
usaha mencapai tujuan. Dalam struktur ini, tercakup perilaku yang berusaha mengatur
pekerjaan, hubungan-hubungan kerja, dan tujuan. Pemimpin yang memiliki stuktur awal
yang tinggi dideskripsikan sebagai seseorang yang “memberi perintah kepada anggota-
anggota kelompok untuk mengerjakan tugas tertentu”, “mengharapkan para pekerja untuk
mempertahankan standar kinerja yang nyata”, dan “menekankan terpenuhinya tenggat
waktu”. Larry Ellison dan Tom Siebel menampilkan perilaku struktur awal yang tinggi.

Tenggang rasa: Tingkat sampai mana seorang pemimpin akan memiliki


hubungan profesional yang ditandai oleh kesalingpercayaan, rasa hormat terhadap
ide-ide anak buah, dan rasa hormat terhadap perasaan-perasaan mereka.

Tenggang rasa (consideration) dideskripsikan sebagai tingkat sampai mana


seorang pemimpin akan memiliki hubungan-hubungan pekerjaan ynag ditandai oleh
kesalingpercayaan, rasa hormat terhadap ide-ide anak buah, dan rasa hormat terhadap
perasaan-perasaan mereka. Pemimpin semacam ini sangat memperhatikan kesenangan,
kesejahteraan, status, dan kepuasan anak buahnya. Seorang pemimpin yang mempunyai
tenggang rasa tinggi bisa dideskripsikan sebagai pemimpin yang membantu para
karyawannya yang memiliki masalah pribadi, ramah dan bisa didekati, dan
memperlakukan semua karyawan dengan adil. CEO AOL Time Warner, Richard Parsons,
mendapatkan nilai yang tinggi dalam perilaku tenggang rasa. Gaya kepemimpinan sangat
berorientasi pada manusia, menekankan kerja sama dan pencapaian konsensus.16
Hasil kajian Ohio State University ini pernah dianggap mengecewakan. Sebuah
tinjauan dari tahun 1992 menyimpulkan, “Secara keseluruhan, penelitian yang didasarkan
pada konseptualisasi dua faktor perilaku kepemimpianan tidak banyak memperdalam
pengetahuan kita tentang kepemimpinana yang efektif.”17 Namun, tinjauan lain yang
lebih mutakhir menunjukan bahwa konseptualisasi dua faktor ini telah terlalu dini
dihakimi. Sebuah tinjauan terhadap 160 kajian menemukan bahwa baik struktur awal
maupun tenggang rasa berkaitan dengan kepemimpinan yang efektif. Secara khusus,
tenggang rasa memiliki hubungan yang lebih erat dengan individu tersebut. Dengan

12
perkataan lain, anak buah dari pemimpin yang bertenggang rasa tinggi merasa lebih puas
dengan pekerjaan mereka dan lebih termotivasi serta memiliki rasa hormat yang lebih
besar bagi pemimpin mereka itu. Struktur awal, sebaliknya, lebih berkaitan dengan
tingkat produktivitas kelompok dan organisasi yang lebih tinggi dan evaluasi kinerja yang
lebih positif.
Thomas Sieble, Ketua dan CEO Siebel Systems, mendapat nilai tinggi dalam
struktur awal. Setelah meramalkan pasar yang menyusut untuk peranti lunak yang
dibuat perusahaannya, Sieble segera membuat perencanaan anggaran baru dan
melakukan pemangkasan biaya. Ia merumahkan 10 persen karyawan Siebel,
memangkas separuh biaya perjalanan, dan memotong biaya perekrutan dari $8 juta
menjadi $1 juta. Gaya kepemimpinan Siebel menekankan pemangkasan biaya untuk
mencapai tujuan profitabilitas perusahaan.

2.6 Kajian dari university Of Minchigan


Pemimpin yang berorientasi karyawan: Menekankan hubungan antarpersonal;
mementingkan kebutuhan para karyawan, dan menerima perbedaan-perbedaan
individual di antara para anggota.
Pemimpin yang berorientasi produksi: seorang pemimpin yang menekankan
aspek-aspek teknis atau tugas dari suatu pekerjaan tertentu.
Berbagai kajian tentang kepemimpinan yang dilakukan di Survey Research Center
University of Minchigan, kurang lebih pada saat yang bersamaan dengan kajian-kajian
yang dibuat Ohio State, memilki tujuan penelitian yang sama: menemukan karakteristik-
karakteristik perilaku dari pemimpin yang dianggap berhubungan dengan ukuran
efektivitas kinerja.
Kelompok Michigan juga mengahasilkan dua dimensi perilaku kepemimpinan yang
mereka namai berorientasi karyawan (employee-oriented) dan berorientasi produksi
(production-oriented).18 Para pemimpin yang berorientasi karyawan didekripsikan
sebagai pemimpin-pemimpin yang menekankan hubungan antarpersonal; mementingkan
kebutuhan para karyawan dan menerima perbedaan individual di antara para anggota.
Sebaliknya, para pemimpin yang berorientasi produksi cenderung menekankan aspek-
aspek teknis atau tugas dari pekerjaan – perhatian utama mereka adalah penyelesaian

13
tugas-tugas kelompok, dan anggota kelompok adalah salah satu cara untuk mencapai
tujuan tersebut. Kedua dimensi ini – yang berorientasi karyawan dan yang berorientasi
produksi – terkait erat dengan dimensi kepemimpinan yang dikembangkan oleh Ohi State
Unversity. Kepemimpinan yang berorientasi karyawan mirip dengan dimensi tenggang
rasa, dan kepemimpinan yang berorientasi produksi hampir sama dengan dimensi struktur
awal. Dalam praktiknya, sebagian besar peneliti kepemimpinan menggunakan istilah-
istilah tersebut dengan merujuk pada makna yang sama.19
Kesimpulan yang didapat oleh para peneliti di University of Minchigan dengan
tegas menganjurkan kepemimpinan yang berorientasi karyawan dalam perilaku mereka.
Pemimpin yang berorientasi karyawan terkait dengan produktivitas kelompok yang tinggi
dan kepuasan kerja yang lebih baik. Pemimpin-pemimpin yang berorientasi produksi
cenderung berhubungan dengan produktivitas kelompok yang rendah dan kepuasan
pekerjaan yang lebih buruk. Meskipun kajian dari University of Minchigan lebih
menekankan kepemimpinan yang berorientasi karyawan (atau tenggang rasa) daripada
kepemimpinan yang berorientasi produksi (atau struktur awal), kajian dari Ohio State
University memperoleh perhatian yang lebih banyak dari para peneliti dan menunjukkan
bahwa baik tenggang rasa maupun struktur awal penting bagi kepemimpinan ynag
efektif.

2.7 Tabel Manajerial


Tabel manajerial: Matriks sembilan-sembilan yang menggambarkan 81 gaya
kepemimpinan yang berbeda.
Suatu gambaran grafis mengenai gaya kepemimpinan dua dimensional
dikembangkan oeh Blake dan Mouton.20 Mereka menampilkan suatu tabel manajerial
(managerial grid), yang kadang disebut juga tabel kepemimpinan, didasarkan pada gaya
“perhatian pada manusia” dan “perhatian pada produksi”, yang pada dasarnya
merepresentasikan dimensi tenggang rasa dan struktur awal yang diperkenalkan oleh
Ohio State University atau dimensi yang berorientasi karyawan dan yang berorientasi
produksi dari University of Minchigan.
Tabel tersebut, sebagaimana yang ditunjukan dalam Tampilan 12-1, memilki 9
kemungkinan posisi di tiap-tiap sumbunya, sehingga dihasilkan 81 posisi yang berbeda

14
yang menunjukkan gaya seorang pemimpin. Tabel manajerial ini tidak menunjukkan hasil
yang diproduksi, tetapi, alih-alih berbagai faktor yang mendominasi pemikiran seorang
pemimpin terkait dengan pencapaian hasil. Berdasar temuan Blake dan Mouton tersebut,
manajer dapat dipandang berkinerja sangat baik bila memilki gaya kepemimpinan 9.9,
bila dibandingkan, misalnya, dengan gaya kepemimpinan 9.1 (tipe otoritas) atau 1.9 (tipe
laissez-faire).21 Sayangnya, tabel ini lebih merupakan upaya untuk menawarkan kerangka
pikir yang lebih baik untuk mengonseptualisasi gaya kepemimpinan daripada untuk
menghadirkan informasi baru yang nyata dalam mengklarifikasi kesulitan kepemimpinan,
karena hal ini tidak benar-benar menyampaikan informasi baru apapun selain penelitian
Ohio State University of Minchigan.22

Ringkasan mengenai Teori Sifat dan Teori Perilaku


Berdasarkan bukti yang ada, teori perilaku, seperti halnya teori sifat, memberi kita
tambahan pemahaman mengenai kepemimpinan yang efektif. Para pemimpin yang
memilki sifat-sifat tertentu, dan yang menampilkan perilaku tenggang rasa
(consideration) dan disiplin dalam kerja (structuring), memang lebih efektif. Barangkali,
teori sifat dan teori perilaku harus digabungkan. Sebagai misal, Anda tentunya akan
berpikir bahwa para pemimpin yang penuh pertimbangan (ini merupaka suatu sifat)
cenderung sangat disiplin dalam kerja (disiplin kerja adalah sebuah perilaku) sebaliknya,
pemimpin-pemimpin yang ekstravert (ekstraversi merupakan suatu sifat) cenderung
bertenggang rasa (tenggang rasa adalah sebuah perilaku). Sayangnya, kita tidak bisa
yakin sepenuhnya bahwa ada hubungan antara kedua hal tersebut. Dibutukan penelitian
lebih jauh di masa yang akan datang untuk menggabungkan pendekatan-pendekatan ini.
Teori sifat dan teori perilaku bukanlah yang terakhir dalam kajian kepemimpinan.
Pertimbangkan pula faktor-faktor situasional yang mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan seorang pemimpin. Sebagai contoh, rasanya tidak mungkin bahwa Martin
Luther King, Jr., akan menjadi seorang pemimpin perjuangan hak manusia yang besar
pada peralihan abad ke-20, namun ya sebab ia hidup pada tahun 1950-an dan 1960-an.
Akankah Ralph Nader muncul untuk memimpin kelompok aktivis konsumen bila ia lahir
pada tahun 1834 bukannya tahun 1934, atau di Costa Rica alih-alih Connecticut? Betapa
pun pentingnya teori sifat dan teori perilaku dalam menentukan pemimpin yang efektif

15
versus pemimpin yang tidak efektif, keduanya tidak menjamin keberhasilan seorang
pemimpin. Konteks juga penting.

2.8 Teori Kemungkinan


Linda Wachner memilki reputasi sebagai seorang atasan yang sangat keras. Selama
beberapa tahun, gaya ini berhasil dengan baik. Pada tahun 1987, Wacher menjadi CEO
Warnaco, sebuah perusahaan apparel Beromzet $425 juta dalam setahun yang sedang
mengalami kesulitan. Selama kurun waktu 14 tahun, ia berhasil mengubah Warnaco
manjadi sebuah perusahaan beromzet $2,2 miliar, dengan produk-produk mulai dari jins
Calvin Klein sampai pakaian renang Speedo. Terlepas dari gaya kepemimpinannya yang
kasar – termasuk menghina karyawan di depan rekan-rekan kerja mereka dan
menyebabkan pergantian manajer perusahaan puncak yang cepat, gaya Wachner cukup
berhasil selama tahun 1990-an. Malahan, pada 1993, majalah Fortune menyebutnya
“pengusaha perempuan Amerika yang paling berhasil”. Namun, zaman berubah
sementara Wachner tidak.23 Sejak tahun 1998, bisnis perusahaannya mulai jatuh, merugi
karena penurunan permintaan terhadap produk-produknya dan karena pasar saham yang
lesu. Pendekatan Wachner yang kaku dan taktiknya yang keras sehingga menyebabkan
banyak eksekutif yang cakap keluar dari perusahaannya, kini kehilangan dukungan dari
para kerditur dan pemberi lisensi serta karyawan. Pada bulan Juni 2001, Warnaco
terpaksa mengajukan permintaan kepailitan. Lima bulan terakhir, komite penyusunan
ulang dewan direktur Warnaco memecat Wachner. Namun, kisahnya tidak berakhir disini.
Wachner menuntut uang pesangon dari Warnaco senilai $25 juta. Mereka akhirnya setuju
untuk memberikan kepadanya $452.000. Kemudian, SEC menuntut Wachner untuk
pemalsuan sekuritas karena mengeluarkan pernyataan pers yang bohong dan
menyesatkan tentang pendapatan Warnaco. Pada tahun 2004, Wachner setuju untuk
membayar denda sebesar $1.328.444 dan menyerahkan pendapatannya.24
Naik dan jatuhnya Linda Wachner mengilustrasikan bahwa usaha meramalkan
keberhasilan kepemimpinan lebih rumit daripada mengisolasi sifat atau perilaku yang
baik atau efektif. Dalam kasus Wachner, apa yang berhasil atau berjalan baik pada tahun
1990 tidak berhasil atau berjalan baik pada tahun 2000. Kegagalan para peneliti dari
pertengahan abad ke-20 untuk mendapatkan hasil yang konsisten mendorong orang

16
memusatkan perhatian mereka pada berbagai pengaruh situasional. Hubungan antara
gaya dan efektivitas kepemimpinan menunjukkan bahwa dalam kondisi a, gaya x tepat,
sementara gaya y akan lebih sesuai untuk kondisi b, dan gaya z untuk kondisi c. Tetapi,
seperti apakah kondisi a, b, c dan seterusnya itu? Mengatakan bahwa efektivitas
kepemimpinan bargantung pada situasi adalah satu hal dan mampu mamisahkan kondisi-
kondisi situasional tersebut adalah hal yang lain. Beberapa pendekatan untuk mengisolasi
variabel-variabel situasional yang utama telah terbukti lebih berhasil bila dibandingkan
dengan yang lain, sebagai konsekuensinya, memperoleh pengakuan yang lebih luas. Kita
akan membahas lima dari pendekatan-pendekatan tersebut: model Fiedler, teori
situasional Hersey dan Blanchard, teori pertukaran pemimpin-anggota, serta model jalan-
tujuan dan model pertisipasi-pemimpin.

Setelah memimpin Hewlett-Packard sebagai CEO selama 6 tahun, Carly Florina


diminta oleh dewan direktur HP untuk mengundurkan diri, dengan alasan bahwa ia
kurang memiliki keterampilan pemimpinan yang dibutuhkan untuk memajukan
perusahaan tersebut. Meskipun bergabung dengan HP dengan membawa sederet
pengalaman dan keahliannya dalam pemasaran dan penjualan, Florina gagal
menjalankan strategi HP dan memenuhi janjinya untuk meningkatkan laba dan harga
saham perusahaan. Kegagalan Florina dalam meminpin HP mengilustrasikan premis
dari teori kemungkinan bahwa efektivitas kepemimpinan bergantung pada pengaruh-
pengaruh situasional.

A. Model Fiedler
Model kemungkinan Fiedler: Teori bahwa kelompok yang efektif bergantung
pada kesesuaian antara gaya interaksi seorang pemimpin dengan bawahannya serta
sejauh mana situasi tersebut menghasilkan kendali dan pengaruh untuk pemimpin
tersebut
Model kemungkinan kepemimpinan pertama yang komprehensif dikembangkan
oleh Fred Fiedler.25 Model kemungkinan Fiedler (Fedler Contingency Model)
menyatakan bahwa kinerja kelompok yang efektif bergantung pada kesesuaian antara

17
gaya pemimpin dan sejauh mana situasi tersebut memberikan kendali kepada pemimpin
tersebut.

Kuesioner rekan kerja yang paling tidak disukai: Instrumen yang digunakan
untuk mengukur apakah seseorang berorientasi tugas atau hubungan.

Mengidentifikasi Gaya Kepemimpinan. Fiedler meyakini bahwa salah satu faktor


utama bagi kepemimpinan yang berhasil adalah gaya kepemimpinan dasar seorang
individu. Jadi, ia mulai dengan berusaha mencari tahu apa gaya dasar tersebut. Fiedler
lalu menyusun suatu kuesioner rekan kerja yang paling tidak disukai (least preferred
coworker-LPC-quesioner) demi maksud ini; ia mengukur apakah seseorang berorientasi
tugas atau hubungan. Kuesioner LPC merupakan kumpulan 16 kata sifat yang saling
berlawanan (seperti menyenangkan-tidak menyenangkan, efisien-tidak efisien, terbuka-
tertutup, suportif-bermusuhan). Friedler meminta para respondennya untuk mengingat
semua rekan kerja mereka dan mendeskripsikan satu orang di antara mereka yang paling
tidak mereka sukai untuk mereka ajak kerja sama dengan cara memberi nilai pada orang
tersebut dengan skala 1 sampai 8 untuk tiap-tiap 16 kumpulan kata sifat yang saling
berlawanan di atas. Fiedler yakin bahwa berdasarkan jawaban-jawaban para responden
dalam kuesioner LPC ini, ia bisa menentukan gaya kepemimpinan dasar mereka. Apabila
rekan kerja yang paling tidak disukai dideskripsikan dalam pengertian yang relatif positif
(nilai LPC tinggi), responden tersebut berarti ingin menjalin hubungan pribadi yang baik
dengan rekan kerjanya itu. Berikutnya, hal tersebut berarti, bila Anda mendeskripsikan
orang yang paling tidak bisa Anda ajak kerja sama dengan istilah yang baik, Fiedler akan
menyebut Anda sebagai orang yang berorientasi hubungan. Sebaliknya, bila rekan kerja
yang paling tidak disukai dinilai dalam pengertian yang relatif tidak baik (nilai LPC yang
rendah), responden tersebut pada dasarnya tertarik pada produktivitas dan karenanya
akan disebut berorientasi tugas. Sekitar 16 persen responden mendapat nilai tingkat
menengah.26 Individu-individu seperti ini tidak bisa diklasifikasikan sebagai orang yang
berorientasi hubungan atau tugas dan oleh karenanya jatuh di luar prediksi teori tersebut.
Dengan demikian, sisa diskusi kita berhubungan dengan 84 persen yang mendapat nilai
tinggi atau rendah dalam LPC mereka.

18
Fiedler mengasumsikan bahwa gaya kepemimpinan seseorang bersifat tetap atau
tidak akan berubah. Seperti akan kami tunjukkan, asumsi ini secara khusus penting
karena itu artinya bahwa bila suatu situasi membutuhkan seorang pemimpin yang
berorientasi tugas dan orang yang berada dalam posisi kepemimpinan adalah orang yang
berorientasi hubungan, situasi tersebut harus diubah atau pemimpin tersebut harus diganti
bila efektivitas yang optimal ingin dicapai.

Hubungan pemimpin-anggota: Tingkat kepatuhan, kepercayaan, dan rasa


hormat yang dimiliki oleh para bawahan terhadap pemimpin mereka.
Struktur Tugas: tingkat sejauh mana penentuan pekerjaan diproseduralkan.
Kekuatan posisi: pengaruh yang berasal dari posisi struktural formal seseorang
dalam organisasi; termasuk kekuatan untuk mempekerjakan, memecat,
mendisiplinkan, mempromsikan, dan memberikan kenaikan gaji.

Memahami situasinya. Setelah gaya kepemimpinan dasar seseorang diketahui


melalui LPC, yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mencocokan si pemimpin dengan
situasi. Fiedler mengidentifikasi tiga dimensi kemungkinan yang, menurutnya,
menentukan faktor-faktor situasional kunci yang menentukan efektivitas kepemimpinan.
Faktor-faktor tersebut adalah hubungan pemimpin-anggota, struktur tugas, dan kekuatan
posisi. Ketiganya didefinisikan sebagai berikut:
1. Hubungan pemimipin-anggota: tingkat kepatuhan, kepercayaan, dan rasa hormat
para anggota terhadap pemimipin mereka.
2. Struktur tugas: tingkat sejauh mana penentuan pekerjaan diproseduralkan (yaitu,
terstruktur atau tidak terstruktur).
3. Kekuatan posisi: tingkat pengaruh yang dimiliki oleh seorang pemimpin atas
variabel-variabel kuasa seperti perekrutan, pemecatan, pendisiplinan, promosi, dan
kenaikan gaji.
Langkah berikutnya dalam model Fiedler adalah mengevaluasi situasi menurut tiga
variabel kemungkinan ini. Apakah hubungan pemimpin-anggota baik atau buruk, apakah
struktur tugas tinggi atau rendah, dan apakah kekuatan posisi kuat atau lemah?

19
Fiedler menyatakan bahwa bila hubungan pemimipin-anggota lebih baik, struktur
pekerjaan lebih tinggi, dan kekuatan posisi lebih kuat, kontrol yang dimiliki oleh
pemimpin tersebut pun lebih besar. Sebagai contoh, dalam suatu situasi yang benar-benar
baik (dimana pemimipin memiliki kontrol yang besar), terdapat seorang manajer
penggajian yang amat dihormati dan yang amat dipercayai oleh karyawan-karyawannya
(hubungan pemimpin-anggota yang baik), karena berbagai aktivitas yang mestinya
dijalankannya – seperti perhitungan gaji, penulisan cek, pembuatan laporan – memang
spesifik dan jelas (struktur tugas yang tinggi), serta pekerjaan tersebut menawarkannya
kebebasan untuk memberi penghargaan dan hukuman kepada para karyawannya
(kekuatan posisi yang kuat). Sebaliknya, salah satu contoh situasi yang tidak
menyenangkan adalah seorang ketua yang tidak disukai oleh tim penggalangan dana
sukarela United Way. Dalam menjalankan pekerjaannya, pemimpin itu hanya memiliki
sedikit kontrol. Secara keseluruhan, dengan memadukan ketiga dimensi kemungkinan ini,
akan muncul delapan situasi atau kategori yang berbeda dimana para pemimpin bisa
menemukan diri mereka (lihat tampilan 12-2).
Mencocokan Pemimpin dan situasi. Dengan mengeahui LPC seseorang dan nilai
dari tiga dimensi kemungkinan sebagaimana disebutkan sebelumnya, model Fiedler
bermaksud mencocokan keduanya untuk mencapai efektivitas kepemimpinan yang
maksimal.27 Berdasarkan penelitiannya, Fiedler menyimpulkan bahwa pemimpin yang
berorientasi tugas cenderung bekerja secara lebih baik dalam situasi yang sangat
menguntungkan dan dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan mereka (lihat
Tampilan 12-2). Karenanya, Fiedler memprediksi bahwa ketika dihadapkan dengan
kategori situasi I, II, III, VII atau VIII, pemimpin yang berorientasi tugas akan bekerja
lebih baik. Sebaliknya, pemimpin-pemimpin yang berorientasi hubungan mampu bekerja
dengan lebih baik dalam situasi-situasi yang cukup menguntungkan – kategori IV dan VI.
Dalam beberapa tahun terakhir, Fiedler berhasil memadatkan kedelapan situasi ini
menjadi tiga.28 Sekarang, ia bisa mengatakan bahwa pemimpin yang berorientasai tugas
bekerja sangat baik dalam situasi-situasi dengan tingkat kontrol yang tinggi dan rendah,
sementara pemimpin yang beroritasi hubungan bekerja sangat baik dalam situasi-situasi
dengan tingkat kontrol yang moderat.

20
Setelah memahami temuan-temuan Fiedler tersebut, bagaimana Anda bisa
menerapkannya? Yang perlu Anda lakukan adalah mencocokkan pemimpin dengan
situasi. Nilai LPC seseorang akan menentukan jenis situasi yang paling sesuai dengan
meraka. “Situasi” itu sendiri akan didefinisikan dengan cara mengevaluasi ketiga faktor
kemungkinan – hubungan pemimpin-anggota, struktur tugas, dan kekuatan posisi. Tetapi,
ingat bahwa Fiedler menganggap gaya kepemimpinan seseorang sebagai sesuatu yang
tetap. Karena itu, hanya ada dua cara untuk meningkatakan efektivitas pemimpin .
Pertama, Anda bisa mengganti pemimpin tersebut agar sesuai dengan situasi yang
ada – seperti dalam sebuah permainan bisbol, seseorang manajer bisa menempatkan
seorang pelempar bola yang kidal atau bukan dalam permainan, bergantung pada
berbagai karakteristik situasional dari si pemukul. Jadi, misalnya, apabila situasi
kelompok dinilai sangat tidak menguntungkan tetapi saat itu mereka tengah dipimpin
oleh seseorang manajer yang berorientasi hubungan, kinerja kelompok dapat ditingkatkan
dengan mengganti manajer tersebut dengan seorang manajer lain yang berorientasi tugas.
Alternatif kedua adalah mengubah situasi agar sesuai dengan sang pemimpin. Hal
tersebut bisa dilakukan dengan cara melakukan restrukturisasi tugas atau meningkatkan
atau mengurangi kekuatan yang dimiliki oleh pemimpin untuk mengontrol berbagai
faktor seperti kenaikan gaji, promosi, dan tindakan disipliner
Evaluasi. Secara keseluruhan, tinjauan terhadap berbagai kajian besar yang
menguji validitas model Fiedler menghasilkan kesimpulan yang umumnya positif.
Artinya, ada banyak bukti yang mendukung paling tidak bagian-bagian paling substansial
dari model tersebut.29 Apabila prediksi dari model tersebut hanya menggunakan tiga
kategori alih-alih delapan kategori aslinya, sudah tersedia cukup bukti untuk mendukung
kesimpulan-kesimpulan Fiedler.30 Tetapi, kemudian muncul masalah dengan LPC dan
kegunaan praktis dari model tersebut yang perlu segera ditangani. Sebagai contoh, logika
yang mendasari LPC tidak dimengerti dengan baik dan berbagai kajian yang ada
menunjukkan bahwa nilai LPC pada responden tidak selalu stabil.31 Selain itu, variabel
kemungkinan sangat rumit dan sulit untuk dinilai oleh kalangan praktisi. Tak jarang,
dalam praktiknya, sangat sulit untuk menentukan bagaimana status hubungan pemimpin-
anggota, struktur tugas tersebut dan kekuatan posisi yang dimiliki oleh seorang
pemimpin.32

21
2.9 Teori Sumber Daya Kognitif.
Teori Sumber Daya Kognitif: Teori kepemimpinan yang menyatakan bahwa stres
secara negatif mempengaruhi suatu situasi serta kecerdasan dan pengalaman bisa
mengurangi pengaruh stres yang dirasakan pemimpin
Belum lama ini, Fiedler dan seorang rekannya, Joe Garcia, mengonseptualisasi
ulang teorinya yang terdahulu.33 Secara khusus, mereka berfokus pada peran stres sebagai
salah satu bentuk situasional yang kurang menguntungkan serta bagaimana kecerdasan
dan pengalaman seorang pemimpin memengaruhi reaksinya terhadap stres. Mereka
menamai konseptualisasi ulang ini teori sumber daya kognitif (cognitive resource
theory).
Inti dari teori baru ini adalah bahwa stres merupakan musuh rasionalitas. Sulit bagi
para pemimpin (atau bagi siapapun, dalam hal ini) untuk berpikir secara logis dan analitis
ketika sedang stres. Selain itu, peran kecerdasan dan pengalaman seorang pemimpin
dalam kaitannya dengan efektivitas berbeda dalam situasi stres tingkat rendah dan tinggi.
Fiedler dan Garcia menemukan bahwa kemampuan intelektual seorang pemimpin
berhubungan secara positif dengan kinerja dalam situasi stres tingkat rendah dan secara
negatif dalam situasi stres tingkat tinggi. Sebaliknya, pengalaman seorang pemimpin
berhubungan secara negatif dengan kinerja dalam situasi stres tingkat rendah dan secara
positif dalam situasi stres tingkat tinggi. Jadi, masih menurut Fiedler dan Garcia, tingkat
stres yang terkandung dalam suatu situasi menentukan apakah kecerdasan atau
pengalaman seorang individu yang akan memberikan kontribusi bagi kinerja
kepemimpinan.
Terlepas dari kebaruannya, teori sumber daya kognitif mengembangkan tubuh
pendukung penelitian yang solid.34 Pada kenyatannya, sebuah kajian menegaskan bahwa
ketika tingkat stres rendah dan pemimpin bersifat direktif (yaitu, ketika seorang pemimpi
bersedia memberitahu orang mengenai apa yang harus dilakukan), kecerdasan memiliki
peran penting terhadap efektivitas seorang pemimpin.35 Sementara dalam situasi stres
tingkat tinggi, kecerdasan hanya sedikit membantu karena pemimpin terlalu terbebani
secara kognitif untuk dapat menggunakan kecerdasannya dengan sebaik-baiknya. Dengan
cara yang serupa, apabila seorang pemimpin tidak bersifat direktif, kecerdasan hanya

22
sedikit membantu karena pemimpin itu takut menggunakan kecerdasan dengan sebaik-
baiknya untuk memberi tahu orang mengenai apa yang harus mereka lakukan. Hasil-hasil
ini persis seperti apa yang diprediksikan oleh teori sumber daya kognitif.

Mitos atau ilmu pengetahuan? ”Pengalamanlah yang Penting!”


Keyakinan pada peran penting pengalaman sebagai prediktor efektivitas
kepemimpinan sangat kuat dan luas. Sayangnya, pengalaman sendiri secara umum bisa
disebut sebagai prediktor kepemimpinan yang buruk.36
Berbagai organisasi secara seksama menjaring kandidat untuk menduduki posisi
manajemen senior berdasarkan pengalaman mereka. Dengan cara yang sama, organisasi-
organisasi lain biasanya mensyaratkan pengalaman selama beberapa tahun di suatu
tingkatan manajerial sebelum seseorang bisa dipertimbangkan untuk dipromosikan.
Dalam hal itu, pernahkah Anda mengisi suatu formulir lamaran pekerjaan yang tidak
menanyakan tentang pengalaman kerja Anda sebelumnya atau sejarah pekerjaan Anda?
Jelaslah manajemen yakin bahwa pengalaman sangatlah penting. Tetapi, bukti yang tidak
mendukung keyakinan ini. Kajian-kajian terhadap perwira militer, tim penelitian dan
pengembangan, pengawas toko, administratur kantor pos, dan kepala sekolah
menunjukkan kepada kita bahwa manajer-manajer yang berpengalaman cenderung tidak
lebih efektif daripada manajer-manajer yang memiliki sedikit pengalaman.
Satu kelemahan dalam logika ”pengalaman itu penting” adalah asumsi bahwa
lamanya waktu yang dihabiskan seseorang dalam pekerjaannya secara aktual menjadi
ukuran pengalamannya. Waktu kerja sama sekali tidak mengungkapkan apa pun tentang
kualitas pengalaman seseorang. Kenyataan bahwa seseorang memiliki pengalaman kerja
20 tahun sementara orang lain baru dua tahun tidak serta merta berarti bahwa orang yang
pertama memiliki 10 kali lebih banyak pengalaman yang berarti. Tak jarang, pengalaman
kerja 20 tahun sama dengan pengalaman satu tahun yang diulang 20 kali! Bahkan, dalam
pekerjaan-pekerjaan yang paling rumit pun, pembelajaran yang sesungguhnya biasanya
telah berakhir sebelum seseorang bekerja disana selama dua tahun. Pada waktu itu,
hampir semua situasi yang baru dan unik telah dialami. Jadi, masalah pertama yang
terkandung dalam upaya untuk mengaitkan pengalaman dengan efektivitas

23
kepemimpinan adalah tiadanya perhatian pada kualitas dan keragaman dari pengalaman
itu sendiri.
Masalah kedua adalah adanya variabilitas antara berbagai situasi yang
memengaruhi transferabilitas atau relevansi pengalaman. Situasi-situasi yang
melatarbelakangi suatu pengalaman jarang bisa diperbandingkan dengan situasi-situasi
yang baru. Pekerjaan, sumber daya pendukung, kultur organisasi, dan karakteristik
bawahan yang berbeda. Jadi, alasan lain bahwa pengalaman kepemimpinan tidak punya
kaitan seerat seperti dibayangkan dengan kinerja kepemimpinan adalah keniscayaan
variabilitas situasi.

2.10 Teori Situasional Hersey dan Blanchard


Teori kepemimpinan situasional: teori kemungkinan yang terfokus pada
kesiapan para pengikut
Paul Hersey dan Ken Blanchard telah mengembangkan sebuah model
kepemimpinan yang memperoleh banyak pengikut setia di kalangan spesialis
pengembangan manajemen.37 Model ini – yang disebut teori kepemimpinan situasional
(situational leadership theory – SLT) – telah diinkorporasikan ke dalam berbagai
program pelatihan kepemimpinan di lebih dari 400 dari 500 perusahaan Fortune; dan tiap
tahunnya lebih dari satu juta manajer dari berbagai organisasi mempelajari elemen-
elemen dasarnya.38
Kepemimpinan situasional adalah sebuah teori kemungkinan yang berfokus pada
para pengikut. Kepemimpinan yang berhasil dicapai dengan cara memilih gaya
kepemimpinan yang benar, yang menurut Hersey dan Blanchard bergantung pada tingkat
kesiapan para pengikut. Sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu mengklarifikasi dua
poin: Mengapa kita harus berfokus pada para pengikut? Dan Apa yang dimaksud dengan
istilah kesiapan?
Penekanan pada para pengikut dalam efektivitas kepemimpinan mencerminkan
realitas bahwa para pengikutlah yang menerima atau menolak pemimpin tersebut.
Terlepas dari apa pun yang dilakukan oleh pemimpin, efektivitas bergantung pada
tindakan para pengikut. Ini merupakan salah satu dimensi penting yang lama diabaikan

24
atau diremehkan di sebagian besar teori kepemimpinan. Istilah kesiapan, sebagaimana
didefinisikan oleh Hersey dan Blanchard, merujuk pada tingkat sampai mana orang
memiliki kemampuan dan kesediaan untuk menyelesaikan tugas tertentu.
SLT pada dasarnya menganggap hubungan pemimpin-pengikut dapat dipersamakan
dengan hubungan antara orang tua dan anak. Seperti halnya orang tua harus melepaskan
kendali mereka ketika anak menjadi lebih dewasa dan bertanggung jawab, demikian pula
para pemimpin. Hersey dan Blanchard mengidentifikasikan empat perilaku pemimpin
yang khusus – dari sangat direktif sampai sangat laissez-faire. Perilaku mana yang paling
efektif bergantung pada kemampuan dan motivasi seorang pengikut. Demikianlah, SLT
berasumsi bila seorang pengikut tidak mampu atau tidak bersedia, pemimpin harus
memberikan pengarahan secara jelas dan spesifik; bila para pengikut tidak mampu namun
bersedia, pemimpin harus menampilkan orientasi tugas yang tinggi untuk mengimbangi
kurangnya kemampuan para pengikut serta orientasi hubungan yang juga tinggi untuk
membuat para pengikut ”menuruti” keinginan pemimpin; apabila para pengikut mampu
namun tidak bersedia, pemimpin harus menggunakan gaya yang suportif dan partisipatif;
sementara bila karyawan mampu dan bersedia, pemimpin tidak perlu berbuat banyak.
SLT memiliki daya tarik yang intuitif. Pendekatan ini mengakui arti penting
pengikut dan dibangun di atas logika bahwa para pemimpin bisa mengompensasi
keterbatasan kemampuan dan motivasi dalam diri para pengikut mereka. Namun
biasanya, upaya-upaya riset untuk menguji dan mendukung teori ini memberikan hasil
yang mengecewakan.39 Mengapa? Penjelasan yang mungkin meliputi adanya
inkonsistensi dan ambiguitas internal dalam model itu sendiri serta berbagai masalah
terkait metodologi penelitian dalam uji teori tersebut. Jadi, terlepas dari daya tarik intuitif
dan popularitasnya yang luas, setiap usaha yang antusiasi mendukungnya, setidak-
tidaknya untuk saat ini, harus diwaspadai.

Kristen Cardwell adalah seorang peneliti penyakit-penyakit menular di St. Jude’s


Children’s Research Hospital di Mamphis, Tennessee. Cardwell dan para peneliti
medis yang lain di rumah sakit tersebut memiliki tingkat kesiapan pengikut yang
tinggi. Sebagai karyawan yang bertanggung jawab, berpengalaman, dan dewasa,
mereka mampu dan bersedia menyelesaikan tugas-tugas mereka di bawah

25
kepemimpinan yang memberi mereka kebebasan untuk membuat dan
mengimplementasikan keputusan. Kepemimpinan pemimpin-pengikut ini konsisten
dengan teori kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard.

2.11 Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota


Teori pertukaran pemimpin-anggota: penciptaan kelompok-kelompok
kesayangan dan kelompok-kelompok bukan kesayangan oleh para pemimpin;
bawahan-bawahan dengan status kelompok kesayangan memperoleh penilaian
kinerja yang lebih tinggi, pergantian yang lebih rendah, dan kepuasan kerja yang
lebih baik.
Teori-teori kepemimpinan yang telah kita pelajari sampai saat ini sebagian besar
mengasumsikan bahwa pemimpin memperlakukan semua pengikut mereka dangan cara
yang sama. Artinya, berbagai teori tersebut berasumsi bahwa para pemimpin
menggunakan gaya yang cukup homogen dengan semua orang di dalam unit kerja
mereka. Tetapi, apakah memang demikian berdasarkan pengalaman Anda dengan
berbagai kelompok? Apakah Anda memerhatikan bahwa para pemimpin tak jarang
bertindak dengan sangat berbeda kepada satu orang dengan orang lain? Apakah
pemimpin cenderung memiliki orang-orang kesayangan yang bisa menjadi
”kelompok”nya? Bila menjawab ”Ya” untuk dua pertanyaan terakhir ini, Anda mengakui
dasar teori pertukaran pemimpin-anggota.40 Teori pertukaran pemimpin-anggota
(leader-member exchange – LMX – theory) menyatakan bahwa karena tekanan waktu,
pemimpin membangun suatu hubungan khusus dengan suatu kelompok kecil dari para
pengikutnya. Mereka membentuk kelompok orang dalam – mereka dipercaya,
memperoleh perhatian yang lebih besar dari pemimpin, dan kemungkinan besar juga
menerima hak istimewa tertentu. Pengikut-pengikut yang lain tidak masuk dalam
kelompok tersebut. Mereka mendapatkan lebih sedikit waktu dari pemimpin, lebih sedikit
penghargaan darinya, dan memiliki hubungan pemimpin-pengikut yang didasarkan pada
interaksi otoritas formal.
Teori ini menyatakan bahwa di awal sejarah interaksi antara seseorang pemimpin
dan seorang anggota tertentu, pemimpin secara implisit mengategorikan pengikut tersebut

26
sebagai ”orang dalam” atau ”bukan orang dalam” dan bahwa hubungan semacam itu
relatif stabil untuk waktu yang lama. Para pemimpin menjalankan LMX dengan cara
memberikan semacam penghargaan kepada karyawan-karyawan yang ingin mereka ajak
membangun hubungan yang lebih dekat dan memberikan hukuman kepada orang-orang
yang tidak mereka inginkan dalam hubungan yang lebih baik.41 Tetapi, agar hubungan
dalam LMX tersebut tetap utuh, pemimpin dan pengikut harus terlibat dalam hubungan
tersebut.
Bagaimana persisnya pemimpin memilih siapa yang masuk dalam setiap kategori
masih tidak jelas, tetapi ada petunjuk bahwa pemimpin cenderung memilih anggota-
anggota kelompok kesayangan mereka karena mereka mempunyai berbagai karakteristik
kepribadian dan sikap yang mirip dengan pemimpin tersebut atau tingkat kompetensi
yang lebih tinggi daripada anggota-anggota bukan kesayangan42 (lihat tampilan 12-3).

Tampilan 12-3

Kesesuaian pribadi, kompetensi


bawahan, dan/atau kepribadian Pemimpin
ekstravert
Hubungan-
hubungan
formal
Kepercayaan Interaksi yang tinggi

Bawahan Bawahan Bawahan Bawahan Bawahan Bawahan


A B C D E F

Kelompok kesayangan Kelompok bukan kesayangan

Sebagai contoh, para pengikut yang memiliki orientasi penguasaan keahlian tertentu
mengembangkan sistem pertukaran pemimpin-anggota yang lebih mantap karena
karyawan-karyawan seperti itu selalu berpaling kepada atasan mereka untuk mencari
informasi dan pengalaman berharga yang bisa memberi mereka prospek untuk
mengembangkan keterampilan dan perbaikan diri yang selanjutnya bisa menguntungkan
perusahaan.43 Namun, komunikasi yang sering dengan seorang atasan hanya bermanfaat

27
untuk karyawan-karyawan dengan tingkat LMX yang tinggi, mungkin karena atasan
tersebut menganggap komunikasi yang terlalu sering dengan karyawan-karyawan dengan
tingkat LMX yang rendah sebagai sesuatu yang menjengkelkan dan membuang-buang
waktu.44 Poin utama yang perlu diperhatikan di sini adalah meskipun pemimpin yang
memilih, karakteristik-karakteristik pengikutlah yang menentukan keputusan
pengategorian sang pemimpin.
Beberapa pengikut mungkin ingin tetap berada di luar lingkaran pribadi pemimpin.
Memang ada sedikit bahaya dengan menjadi bagian dari lingkaran pribadi tersebut.
Sebagai bagian dari lingkaran pribadi pemimpin, keberuntungan Anda bisa baik dan turun
mengikuti pemimpin Anda. Ketika CEO dipecat, misalnya, lingkaran pribadi mereka
biasanya akan mengikuti mereka. Ketika CEO Tyco, Dennis Kozlowski dipecat, pada
akhirnya rekan terdekatnya, CFO Mark Swartz juga terpaksa mengundurkan diri,
meskipun ia sangat dihormati di Wall Street dan dianggap sebagai salah seorang eksekutif
yang sangat memahami seluk-beluk bisnis Tyco.45
Penelitian untuk menguji teori LMX biasanya suportif. Secara lebih khusus, teori
dan penelitian seputar LMX menghasilkan bukti yang substantif bahwa para pemimpin
memang memilah-milah para pengikut mereka; bahwa pemilah ini jauh dari acak; dan
para pengikut dengan status kelompok kesayangan akan memperoleh penilaian kinerja
yang lebih tinggi, dan kepuasan keseluruhan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
kelompok bukan kesayangan.46 Berbagai temuan yang positif untuk para anggota
lingkaran dalam ini semestinya tidak terlalu mengejutkan karena kita telah memiliki
pemahaman tentang ”ramalan yang terwujud dengan sendirinya” (lihat Bab 5). Pemimpin
menginvestasikan sumber-sumber daya mereka dengan orang-orang yang mereka harap
bisa bekerja dengan baik. Selain itu, ”mengetahui” bahwa anggota-anggota kelompok
kesayangan adalah yang paling cakap, para pemimpin memperlakukan mereka
sedemikian rupa dan tanpa disadari mewujudkan ramalan itu.47

28
2.12 Teori Jalan-Tujuan
Teori jalan-tujuan: Teori yang mengemukakan bahwa merupakan tugas
pemimpin untuk membantu para pengikut dalam mencapai tujuan-tujuan mereka dan
untuk memberi pengarahan yang dibutuhkan dan/atau dukungan untuk memastikan
bahwa tujuan-tujuan mereka selaras dengan tujuan umum kelompok atau organisasi.
Dikembangkan oleh Robert House, teori jalan-tujuan mengambil elemen-elemen
dari penelitian kepemimpinan Ohio State University tentang struktur awal dan tenggang
rasa dan teori pengharapan motivasi.48
Teori Jalan Tujuan. Inti dari teori jalan-tujuan (path-goal theory) adalah bahwa
merupakan tugas pemimpin untuk memberikan informasi, dukungan, atau sumber-
sumber daya lain yang dibutuhkan kepada para pengikut agar mereka bisa mencapai
berbagai tujuan mereka. Istilah jalan-tujuan berasal dari keyakinan bahwa para pemimpin
yang efektif semestinya bisa menunjukkan jalan guna membantu pengikut-pengikut
mereka mendapat hal-hal yang mereka butuhkan demi pencapaian tujuan kerja dan
mempermudah perjalanan serta menghilangkan berbagai rintangannya.
Perilaku Pemimpin. House mengidentifikasikan empat perilaku kepemimpinan.
Pemimpin yang direktif memberi tahu kepada para pengikut mengenai apa yang
diharapkan dari mereka, menentukan pekerjaan yang harus mereka selesaikan, dan
memberikan bimbingan khusus terkait dengan cara menyelesaikan berbagai tugas
tersebut. Pemimpin yang suportif adalah pemimpin yang ramah dan memerhatikan
kebutuhan para pengikut. Pemimpin yang partisipatif berunding dengan para pengikut
dan menggunakan saran-saran mereka sebelum mengambil suatu keputusan. Pemimpin
yang berorientasi pencapaian menetapkan tujuan-tujuan yang besar dan mengharapkan
para pengikutnya untuk bekerja dengan sangat baik. Berlawanan dengan Fiedler, House
berasumsi bahwa pemimpin itu fleksibel dan bahwa pemimpin yang sama bisa
menampilkan satu atau seluruh prilaku ini bergantung pada situasi yang ada.

Beragam Variabel dan Prediksi Kemungkinan


Sebagaimana diilustrasikan di dalam Tampilan 12-4, teori jalan-tujuan menawarkan
dua kelas variabel kemungkinan yang menghubungkan perilaku kepemimpinan dengan

29
hasil – variabel-variabel dalam lingkungan yang berada di luar kendali karyawan
(struktur tugas, sistem otoritas formal, dan kelompok kerja) serta berbagai variabel yang
merupakan bagian dari karakteristik personal karyawan (pusat kendali, pengalaman, dan
kemampuan yang diyakini dimiliki). Faktor-faktor lingkungan menentukan jenis perilaku
pemimpin yang dibutuhkan sebagai pelengkap apabila hasil pengikut ingin
dimaksimalkan, sementara karakteristik personal karyawan menentukan bagaimana
lingkungan dan perilaku pemimpin diinterpretasikan. Karenanya, teori ini menyatakan
bahwa perilaku pemimpin akan menjadi tidak efektif bila perilaku tersebut tumpang-
tindih dengan sumber-sumber struktur lingkungan atau tidak kongruen dengan
karakteristik karyawan. Sebagai contoh, berikut adalah ilustrasi prediksi-prediksi yang
didasarkan pada teori jalan-tujuan:
 Kepemimpinan direktif menghasilkan kepuasan yang lebih besar manakala tugas-
tugasnya bersifat ambigu atau penuh tekanan bila dibandingkan dengan ketika tugas-
tugas tersebut terstruktur sangat ketat dan diuraikan dengan sangat baik.
 Kepemimpinan yang suportif menghasilkan kinerja dan kepuasan karyawan yang
tinggi ketika karyawan mengerjakan tugas-tugas yang terstruktur.
 Kepemimpinan direktif cenderung dipandang tidak efektif apabila karyawan
memiliki kemampuan yang diyakini baik atau pengalaman yang banyak.
 Karyawan dengan pusat kendali internal akan lebih puas dengan gaya partisipatif.
 Kepemimpinan yang berorientasi pencapaian dapat meningkatkan harapan para
karyawan bahwa usaha akan menghasilkan kinerja yang tinggi ketika tugas-tugas
disusun secara ambigu.

Evaluasi. Karena kompleksitasnya, upaya untuk menguji teori jalan-tujuan ini


terbukti tidak gampang. Tinjauan terhadap petunjuk yang ada memberikan hasil yang
beragam. Sebagaimana dinyatakan dalam komentar para penyusun tinjauan ini, ”Hasil ini
menunjukkan bahwa kepemimpinan efektif tidak bergantung pada peniadaan hambatan
dan rintangan bagi instrumentalitas jalan karyawan seperti yang dinyatakan oleh teori
jalan-tujuan dan bahwa hakikat dari halangan ini tidak sejalan dengan dalil teori
tersebut.” Tinjauan yang lain menyimpulkan bahwa kurangnya bukti pendukung sungguh
”mengejutkan dan mengecewakan”.49 Kesimpulan-kesimpulan ini diragukan oleh

30
kalangan lain yang berpandangan bahwa pengujian yang memadai atas teori ini belum
dilakuakan.50 Demikianlah, aman bagi kita untuk mengatakan bahwa validitas teori jalan-
tujuan ini masih diperdebatkan dan dicari. Karena sangat rumit untuk diuji, permasalahan
ini kiranya masih akan bertahan untuk beberapa waktu yang akan datang.

- Model Pemimpin-Partisipasi
Model pemimpin-partisipasi: Sebuah teori kepemimpinan yang menyediakan
serangkaian peraturan untuk menentukan bentuk dan jumlah pembuatan keputusan
partisipatif dalam berbagai situasi yang berbeda.
Victor Vroom dan Philip Yetton mengembangkan sebuah model pemimpin-
patisipasi (leader-paticipation model) yang mengaitkan perilaku kepemimpinan dan
partisipasi dalam pembuatan keputusan.51 Menyadari bahwa struktur tugas memiliki
beraneka tuntutan untuk aktivitas-aktivitas rutin dan nonrutin, kedua peneliti ini
mengatakan bahwa perilaku pemimpin harus disesuaikan untuk mencerminkan struktur
tugas tersebut. Model yang dikembangkan Vroom dan Yetton tersebut bersifat normatif –
model itu menyediakan serangkaian peraturan yang harus diikuti ketika menentukan
bentuk dan besarnya partisipasi dalam pembuatan keputusan, seperti ditentukan dari
berbagai situasi yang berbeda. Model pemimpin-partisipasi merupakan sebuah batang
tubuh keputusan yang menginkorporasikan tujuh kemungkinan (yang relevansinya bisa
diidentifikasi dengan membuat pilihan ”ya” atau ”tidak”) dan lima gaya kepemimpinan
alternatif. Penelitian yang lebih baru dari Vroom dan Arthur Jago menghasilkan revisi
bagi model ini.52 Model hasil revisi ini tetap mempertahankan lima gaya kepemimpinan
alternatif yang sama – mulai dari pengambilan keputusan yang sepenuhnya oleh
pemimpin sampai pembagian masalah dengan kelompok dan pengembangan konsensus –
tetapi sembari menambahkan jenis masalahnya dan mengembangkan variabel-variabel
kemungkinannya menjadi 12. Kedua belas variabel kemungkinan ini dapat dilihat dalam
Tampilan 12-5.

31
Tampilan 12-5

1. Pentingnya keputusan
2. Pentingnya mendapatkan komitmen dari para pengikut bagi keputusan tersebut
3. Apakah pemimpin memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan yang baik
4. Tingkat kerumitan masalah tersebut
5. Apakah keputusan autokratis akan memenangkan komitmen dari para pengikut
6. Apakah para pengikut ”turut berkongsi dalam” tujuan-tujuan organisasi
7. Apakah ada kemungkinan muncul konflik di antara pengikut terkait alternatif-alternatif solusi
8. Apakah para pengikut memiliki informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang baik
9. Batasan waktu yang dihadapi pemimpin yang mungkin menghambat keterlibatan pengikut
10. Apakah biaya untuk mengumpulkan para anggota yang secara geografis terpisah masuk akal
11. Pentingnya pemimpin meminimalisasi waktu yang dibutuhkan untuk membuat keputusan
12. Pentingnya penggunaan partisipasi sebagai alat untuk mengembangkan keterampilan keputusan
pengikut

Penelitian yang bertujuan menguji model pemimpin-partisipasi yang asli maupun


yang merupakan hasil revisi belum memberikan hasil yang membesarkan hati, meskipun
model yang disebut terakhir ini mendapat nilai yang lebih tinggi dalam hal efektivitas.53
Kritik umumnya terfokus pada berbagai variabel yang dihapuskan dan pada kerumitan
model ini.54 Teori-teori kemungkinan yang lain menunjukkan bahwa stres, kecerdasan,
dan pengalaman merupakan variabel situasional yang penting. Namun, model pemimpin-
partisipasi tidak mencakupnya. Lebih penting, setidak-tidaknya dari sudut pandang
praktis adalah kenyataan bahwa model ini terlalu rumit untuk digunakan oleh kebanyakan
manajer dalam situasi yang biasa. Meskipun Vroom dan Jago telah mengembangkan
sebuah program komputer untuk membimbing para manajer melalui semua cabang
keputusan dalam model yang telah mereka revisi, merupakan hal yang sangat tidak
realistis untuk mengharapkan para manajer mempertimbangkan dua belas variabel
kemungkinan, delapan jenis masalah, dan lima gaya kepemimpinan secara bersamaan
ketika berusaha memilih proses keputusan yang tepat untuk satu masalah tertentu.
Dalam pembahasan ini, kita memang belum menyinggung sisi positif dari model
ini. Jadi, apa yang bisa Anda dapatkan dari tinjauan singkat ini? Wawasan tambahan
terkait dengan variabel-variabel kemungkinan yang relevan. Vroom dan rekan-rekannya
telah memberi kita beberapa variabel kemungkinan yang spesifik dan didukung secara
empiris yang harus Anda pertimbangkan ketika memilih gaya kepemimpinan.

32
David Neeleman, pendiri dan CEO JetBlue Airlines, adalah seorang pemimpin
yang berorientasi pencapaian. Tujuan Neeleman adalah menjadikan JetBlue
maskapai penerbangan yang murah dengan layanan pelanggan terbaik. Untuk
mencapai tujuan ini, Neeleman mengembangkan dalam diri para karyawannya rasa
memiliki terhadap keberhasilan JetBlue dengan cara mengirimkan e-mail bulanan ke
setiap karyawannya yang berisi semacam laporan keuangan perusahaan dan posisi
kompetitor mereka. Ia juga memberi penghargaan kepada para karyawan dengan cara
berbagi keuntungan dengan mereka. Neeleman menunjukkan betapa pentingnya
pekerjaan setiap karyawan bagi keberhasilan JetBlue dengan cara ikut membantu
membagikan makanan ringan, membongkar bagasi, dan membersihkan.

Ringkasan dan Implikasi untuk Manajer


Kepemimpinan memainkan peran sentral dalam usaha memahami perilaku
kelompok, karena pemimpinlah yang biasanya memberikan penghargaan untuk mengejar
tujuan. Karena itu, kapabilitas prediktif yang lebih akurat akan jadi sangat bermanfaat
untuk memperbaiki kinerja kelompok.
Pencarian awal untuk menemukan serangkaian sifat kepemimpinan yang universal
telah menemui kegagalan. Namun, usaha lebih mutakhir dengan menggunakan kerangka
kepribadian Model Lima Besar telah membuahkan jauh lebih banyak hasil yang
membesarkan hati. Secara khusus, sifat ekstraversi, kehati-hatian, dan keterbukaan
terhadap pengalaman memiliki hubungan yang kuat dan konsisten dengan
kepemimpinan.
Sumbangan utama dari pendekatan perilaku adalah mengerucutnya kepemimpinan
ke dalam gaya yang berorientasi tugas dan yang berorientasi manusia.
Sebuah terobosan besar dalam pemahaman kita tentang kepemimpinan terjadi
ketika kita menyadari perlunya mengembangkan teori-teori kemungkingan yang
melibatkan beragam faktor situasional. Saat ini, bukti menunjukkan bahwa variabel-
variabel situasional yang relevan meliputi struktur pekerjaan; tingkat stres situasional;
tingkat dukungan kelompok; kecerdasan dan pengalaman pemimpin; serta berbagai
karakteristik pengikut seperti kepribadian, pengalaman, kemampuan, dan motivasi.

33
PO Internasional
Mengembangkan Perspektif Internasional: Kebutuhan Para Pemimpin
Perusahaan akunting dan konsultan PricewaterhouseCoopers (PwC) sangat serius
dalam memperluas cakrawala pandang para pemimpinnya, baik saat ini maupun di masa
depan. Karenanya, mereka menjalankan Ulysses Program, yang mengirimkan pemimpin-
pemimpin potensial perusahaan ke berbagai negara untuk mendapatkan pengetahuan dan
pengalaman dalam hal keragaman kultur.
Sebagai conton, PwC mengirim sekelompok manajer untuk melakukan tugas
konsultasi selama 8 minggu di sebuah daerah terpencil di Namibia. Tugas mereka?
Membantu kepala-kepala desa di sana menangani wabah AIDS yang semakin meluas.
Tanpa menggunakan sarana presentasi PowerPoint dan e-mail, para manajer tersebut
dengan cepat belajar cara berkomunikasi yang lebih tradisional – tatap muka secara
langsung. Mereka dipaksa untuk tidak mengandalkan teknologi canggih dan lebih
membangun relasi dengan cara memperkuat hubungan dengan bermacam-macam klien.
Dengan mengalami keanekaragaman itu sendiri, PwC berharap bahwa para manajer
perusahaannya tersebut akan lebih banyak dan lebih baik untuk menangani berbagai
persoalan dalam latar belakang kultur apa pun di mana mereka menjalankan bisnis
nantinya. Perusahaan tersebut percaya bahwa program itu menyediakan calon-calon
pemimpinnya suatu perspektif internasional yang luas tentang beragam persoalan bisnis
dan memungkinkan mereka untuk menemukan solusi yang kreatif dan tidak konvensional
bagi berbagai masalah rumit. Selain itu, para partisipan bisa menyadari apa yang dapat
mereka capai ketika tidak memiliki akses ke sumber-sumber daya yang biasa mereka
gunakan. Intinya, mereka dipaksa untuk menjadi pemimpin.
Belum tiba waktunya untuk menilai apakah program ini memang efektif untuk
meningkatkan keterampilan kepemimpinan global dari mereka yang berpartisipasi di
dalamnya. Meskipun demikian, para peserta Ulysses Program sangat membanggakan
manfaat yang mereka peroleh darinya, dan berbagai perusahaan lain menyadarinya –

34
Johnson & Johnson dan Cisco Systems hanyalah dua dari beberapa perusahaan yang lalu
menjalankan program serupa.
Sumber: Bedasarkan J.Hempel dan S. Porges, ”it Takes a Village – And a
Consultant,” Business Week, 6 September 2004, hal.76

Bahaya yang Mengintai Pelatihan Kepemimpinan


Pro
Banyak organisasi menghabiskan dana bermiliar-miliar dolar untuk pelatihan
kepemimpinan setiap tahunnya. Mereka mengirim para manajer dan calon manajer
mereka ke berbagai aktivitas pelatihan kepemimpinan program MBA formal, seminar
kepemimpinan, retret akhir pekan, dan bahkan program outbond. Mereka menunjuk
mentor. Mereka menciptakan ”metode-metode cepat” untuk para individu yang
berpotensi tinggi agar mereka mendapatkan beraneka ”jenis pengalaman yang tepat”.
Kita mungkin menganggap bahwa banyak dari upaya pelatihan kepemimpinan tersebut
hanya pemborosan. Dan, kita mendasarkan anggapan kita itu dari dua asumsi paling dasar
pelatihan kepemimpinan
.
Asumsi yang pertama adalah bahwa kita tahu apa kepemimpinan itu. Sebenarnya
tidak demikian, para ahli tidak sepakat bila kepemimpinan merupakan sifat, karakteristik,
perilaku, gaya, atau kemampuan. Lebih jauh, mereka bahkan tidak sepakat bila para
pemimpin benar-benar memengaruhi hasil organisasi. Sebagai contoh, beberapa ahli
secara meyakinkan menyatakan bahwa kepemimpinan hanyalah merupakan atribusi yang
dibuat untuk menjelaskan keberhasilan dan kegagalan organisasi, yang muncul secara
kebetulan. Pemimpin adalah mereka yang mendapatkan pujian atas keberhasilan dan
disalahkan atas kegagalan, tetapi mereka sebenarnya hanya memiliki sedikit pengaruh
terhadap hasil-hasil organisasi.
Asumsi dasar yang kedua adalah kita bisa melatih orang untuk memimpin.
Buktinya di sini tidak begitu kuat. Sepertinya kita memang mampu mengajar orang
tentang kepemimpinan. Sayangnya, berbagai temuan menunjukan sebaliknya, yaitu
bahwa kita tidak begitu baik dalam mengajari orang untuk memimpin, terdapat beberapa
penjelasan yang mungkin untuk ini. Sampai pada tingkat dimana kepribadian menjadi

35
sebuah unsur yang penting dalam efektifitas kepemimpinan, beberapa orang mungkin
tidak dilahirkan dengan sifat-sifat kepribadian yang tepat. Pada kenyataannya, terdapat
petunjuk bahwa kepemimpinan, setidaknya sebagian darinya diwariskan. Penjelasan yang
kedua adalah tidak adanya bukti bahwa individu secara substansial dapat mengubah gaya
kepemimpinan dasar mereka. Kemungkinan ketiga adalah meskipun ada teori-teori
tertentu yang bisa membimbing orang untuk menjadi pemimpin dan meskipun orang
dimungkinkan untuk mengubah gaya kepemimpinan dasar mereka, kerumitan berbagai
teori tersebut menjadikannya hampir tidak mungkin bagi manusia normal mana pun
untuk menerima semua variabel dan menampilkan perilaku yang benar dalam setiap
situasi.

Kontra
Pelatihan kepemimpinan memang ada, dan merupakan industri bernilai miliaran
dolar, karena hal ini memberikan hasil yang baik. Para pembuat keputusan, sebagian
besarnya, merupakan orang-orang yang rasional. Mungkinkah sebuah perusahaan besar
seperti General Electric bersedia menghabiskan puluhan juta dolar setiap tahunnya untuk
membayar pelatihan kepemimpinan bila GE tidak mengharapkan hasil yang bagus? Kita
tidak berfikir demikian! dan, karena kepemimpinan untuk memimpin dengan baiklah
yang mendorong sebuah perusahaan seperti Forest Laboratories bersedia membayar lebih
dari $92 juta pada tahun 2004 untuk CEO-nya Howard Slomon. Di bawah kepemimpinan
Solomon, perusahaan tersebut mengalami pertumbuhan yang spektakuler termasuk
keuntungan pemegang saham sebesar 54,20 persen selama lima tahun terakhir.
Meskipun pasti ada perbedaan pendapat tentang definisi kepemimpinan yang
sebenarnya, sebagian besar kalangan akademisi dan pengusaha setuju bahwa
kepemimpinan merupakan sebuah proses pemberian pengaruh yang dengannya seorang
individu lewat tindakan-tindakannya, memfasilitasi gerakan sekelompok orang menuju
pencapaian tujuan bersama.
Apakah pemimpin memengaruhi hasil organisasi? tentu saja, ya. Pemimpin yang
baik mampu mengatisipasi perubahan memanfaatkan peluang dengan penuh semangat,
memotivasi para pengikut mereka untuk mencapai tingkat produktifitas yang lebih tinggi,
memperbaiki kinerja yang buruk, dan memimpin organisasi mencapai tujuan-tujuannya,

36
bahkan dari tinjauan terhadap literatur kepemimpinan dua orang akademisi sampai pada
kesimpulan yang menunjukan adanya konsistensi pengaruh kepemimpinan yang
menjelaskan 20 sampai 45 persen dari hasil-hasil organisasi yang relevan.
Bagaimana dengan tingkat efektivitas berbagai program pelatihan kepemimpinan?
Beragam. tetapi, ada semakin banyak bukti dari jurnal-jurnal manajemen yang paling
terpercaya, yang menunjukan bahwa kita bisa melatih orang untuk menjadi pemimpin
yang lebih baik. Banyak dari kajian ini telah menggunakan rancangan eksperimental yang
teliti dan hasil yang objektif. Jadi, benar bahwa kita tidak bisa mengajar orang untuk
memimpin.

Dilema Etika
Apakah Tujuan Menghalalkan Cara?
Kekuasaan yang diperoleh dari menjadi seorang pemimpin bisa digunakan untuk
kejahatan dan kebaikan. Ketika merasakan manfaat dari kepemimpinan, Anda juga
memikul dilema etika. Tetapi, banyak pemimpin yang sangat berhasil menggunakan
beragam taktik yang kurang etis untuk mencapai tujuan mereka. Taktik-taktik ini meliputi
manipulasi, cercaan verbal, intimidasi fisik, kebohongan, rasa takut, dan kontrol. Baca
dan perhatikan beberapa contoh berikut:
Bill Clinton berhasil memimpin AS melalui delapan tahun ekspansi ekonomi.
Mereka yang dekat dengan dirinya adalah pengikut yang komit dan setia. Namun, ia
mengingkari sumpahnya (yang menyebabkan dirinya kehilangan lisensi legalnya) dan
“mengutak-atik kebenaran”.
Jack Welch, mantan ketua General Electric, merupakan pemimpin yang menjadikan
GE salah satu perusahaan yang paling kaya di Amerika. Namun, dengan tanpa ampun ia
juga memecat 10 persen karyawan perusahaan yang berkinerja terburuk setiap tahunnya.
CEO Cisco Systems, John Chambers, merumahkan hampir 20 persen karyawannya
dan mengatakan bahwa saat-saat yang sulit “nantinya hanya akan terasa seperti polisi
tidur”. Ucapkan kata-kata ini di depan 17.000 pekerja yang ia pecat. Namun, Cisco telah
kembali pada profitabilitas.
Tidak banyak presiden AS yang memahami hubungan luar negeri atau membuat
banyak kemajuan dalam membangun kerja sama internasional sebaik Richard Nixon.

37
Tetapi, berbagai prestasinya itu sebagian besar dibayang-bayangi kejahatan, trik-trik licik,
dan perbuatan bermuka dua yang ia tampilkan selama masa jabatannya di Gedung Putih.
Haruskah para pemimpin dinilai semata-mata berdasarkan prestasi akhir mereka?
atau apakah cara yang mereka pilih juga mencerminkan sifat kepemimpinan mereka?
apakah karyawan, pemegang saham, dan masyarakat tidak terlalu cepat memaafkan para
pemimpin yang menggunakan cara-cara yang tidak baik bila mereka berhasil dalam
mencapai tujuan mereka? tidak mungkinkah bagi para pemimpin untuk bersikap etis
sekaligus berhasil?

Studi Kasus
DARI KOLEGA MENJADI PENGAWAS
Cheryl Kahn, Rob Carstons, dan Linda McGee memiliki kesamaan. Mereka semua
dipromosikan untuk menduduki posisi manajemen di organisasi mereka. Masing-masing
memandang transisi tersebut sebagai sebuah tantangan.
Cheryl Kahn dipromosikan menjadi direktur catering di restoran Glazier Group di
New York City. Dengan promosi tersebut, ia sadar bahwa segalanya tidak akan sama lagi.
ia tidak lagi bisa ikut bergosip atau membiarkan karyawan yang datang terlambat. Ia
mengatakan bahwa peran barunya itu menakutkan. “Awalnya, saya merasa seperti sebuah
buldoser yang menggilas semua orang, dan itu tidak menyenangkan. Saya berkata, ‘mau
caraku atau keluar.’ dan, lupa bahwa teman-teman saya juga sedang berada dalam
peralihan tersebut.” Ia mengakui bahwa gayanya ini menjauhkannya dari hampir semua
orang yang bekerja dengannya.
Rob Carstons, seorang manajer teknis di IBM di California, berbicara tentang
ketidakpastian yang ia rasakan setelah dipromosikan dari seorang pemrogram junior
menjadi seorang manajer. “Sungguh merupakan sesuatu yang sulit ketika tiba-tiba harus
memberikan pengarahan kepada rekan-rekan kerja, sebab hanya sehari sebelumnya Anda
adalah salah seorang dari mereka. Anda berusaha untuk berhati-hati agar tidak
menyinggung siapa pun. Aneh rasanya masuk ke sebuah ruangan dan semua percakapan
berubah. Orang tidak akan bersikap sama terbukanya dengan Anda ketika Anda menjadi
atasannya.”

38
Linda McGee sekarang adalah direktur Medex Insurance Service di Baltimore,
Maryland. Ia mengawali kariernya sebagai seorang representatif layanan pelanggan di
perusahaan tersebut kemudian melompati rekan-rekan kerjanya berkat serangkaian
promosi yang didapatnya. Kenaikannya yang cepat itu menimbulkan beberapa masalah.
Rekan-rekan kerjanya berkata, “Oh, ini dia orang penting baru.” Hanya Tuhan yang tahu
apa yang mereka bicarakan di belakang saya.

PEMBAHASAN STUDI KASUS


1. Banyak manajer baru membuat kesalahan dalam memilih gaya kepemimpinan
yang tepat ketika merek menduduki posisi manajemen. Menurut anda, mengapa
hal ini bisa terjadi?
JAWAB:
banyak manajer baru yang membuat kesalahan dalam memilih gaya kepemimpinan yang
tepat ketika mereka menduduki posisi manajemen. Pada kasus Cheryl, ia harusnya
mengajak teman-temannya untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Terlihat
dari ‘mau caraku atau keluar’ bahwa Cheryl tidak mengikutsertakan partisipasi teman-
temannya dalam pengambilan keputusan. Penggunaan partisipasi sangat penting sebagai
alat untuk mengembangkan keterampilan keputusan pengikut. Sedangkan pada kasus
Rob, ia tidak memiliki kesiapan sebagai pemimpin. Ia tidak berorientasi pada tujuannya
sebagai pemimpin tetapi cenderung memikirkan perasaan teman-temannya terlebih
dahulu.
2. Apakah kaitan hal ini dengan kepemimpinan dan pelatihan kepemimpinan?
JAWAB:
Pelatihan kepemimpinan sendiri dapat memeprluas kapasitas individu untuk
menampilkan peran kepemimpinan dalm organisasi. Kepemimpinan juga dapat
dikembangkan dengan memperkuat hubungan antara dan keselarasan upaya individu
pemimpin dan system yang mempengaruhi operasi organisasi atau perusahaan,
Terlihat pada kasus Rob Carstons bahwa ia mengetahui beban yang akan ditanggung saat
menjadi pemimpin atau manajer dalam perusahaan adalah berat tetapi Rob Carstons

39
harus menentukan gaya kepemimpinan yang baik baginya dan karyaean yang akan saling
berkoordinasi satu sama lain sehingga tidak akan terjadi kepemiminan yang salah.

3. Teori kepemimpinan manakah, bila ada yang bisa membantu para pemimpin baru
menghadapi peralihan ini?
JAWAB:
4. Menurut Anda, lebih mudah atau lebih sulitkah dipromosikan secara internal ke
posisi pemimpin formal bila dibandingkan dengan masuk ke posisi itu sebagai
pihak luar? Jelaskan.
JAWAB:

40
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari apa yang telah diuraikan tentang pendekatan atau teori model-model
kepemimpinan, membuat kita semakin jelas bahwa dari berbagai pendekatan- pendekatan
muncul berbagai macam gaya yang dihasilkan dari berbagai observasi yang dilakukan.
Hal ini membuat kita mudah untuk mengklasifikasikan berbagai tipe kepemimpinan
dengan berbagai perilaku pemimpin yang terjadi di lapangan. Teori kepemimpinan
memang akan selalu mengalami perkembangan
dan perubahan agar sesuai dengan zamannya. Untuk menghadapi itu semua tentu sebagai
seorang pemimpin harus mampu menempatkan dirinya sesuai dengan porsinya, terus
mengembangkan diri.

41
DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/doc/75900600/Andrea-Jung
http://fridadin.blogspot.co.id/2016/05/makalah-pendekatan-dalam-kepemimpinan.html

42

Anda mungkin juga menyukai