Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI

PENGHITUNGAN DOSIS OBAT PADA ANAK


BLOK GUPER

DISUSUN OLEH : KELOMPOK PRAKTIKUM 6

1. Adilla Dwi Nur Yadika (1618011130)


2. Anggela (1658011054)
3. Frecilia Afrida (1658011008)
4. Hans Pratama Assidiqy (1658011042)
5. Ian Ivantirta (1618011090)
6. Kadek Erwin Wijaya (1658011041)
7. Karunia Santi (1618011033)
8. Retno Arienta Sari (1618011007)
9. Revina Rifda Amelia (1618011044)
10.Sindi Yulia Mustika (1618011035)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2018

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................................................1

Daftar isi..........................................................................................................................................2

Pendahuluan....................................................................................................................................3

Tinjauan pustaka.............................................................................................................................5

Kasus..............................................................................................................................................29

Pembahasan dan Penulisan Resep.................................................................................................30

Daftar Pustaka................................................................................................................................36

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Obat ialah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan
dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan
penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan
dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia termasuk obat
tradisional.

Karna seperti yang telah kita ketahui, hal yang pertama kali kita lakukan jika kita sedang
sakit atau ada bagian tubuh, anggota tubuh, atau ada yang tidak beres dengan tubuh kita pasti kita
akan buru-buru kedokter dan mencari obat untuk mengobati sakit yang kita derita.

Kita harus mengetahui cara kerja obat dalam tubuh. Oleh karenanya paling tidak, kita harus
tahu dulu bagaimana sebenarnya perjalanan panjang obat di dalam tubuh, sampai kemudian
menimbulkan efek yaitu mengurangi rasa cemas, menghilangkan rasa sakit, menyembuhkan
penyakit dan membuat rasa nyaman, atau bahkan membuat “fly” alias terbang ke angkasa. Selain
manfaatnya, tentu kita juga harus tahu akibat buruknya jika mengkonsumsi diluar aturan dari yang
ditentukan.

Oleh karena itu kita harus selalu memperhatikan bagaimana obat itu bekerja, dosis yang
harus kita konsumsi, efek dari pemakaian obat tersebut, dan keadaan dari obat itu sendiri apakah
masih dalam keadaan baik atau sudah tidak layak untuk digunakan. Sehingga kita akan terhindar
dari hal-hal yang tidak diinginkan sepertihalnya over dosis, atau malah menimbulkan kekebalan
bagi penyakit yang kita derita atau bahkan dapat menimbulkan kematian bila salah dalam
mengkonsumsi obat.

Dengan dosis obat dimaksud jumlah obat yang diberikan kepada penderita dalam satuan
berat (gram, milligram,mikrogram) atau satuan isi (liter, mililiter) atau unit-unit lainnya (Unit
Internasional). Kecuali bila dinyatakan lain maka yang dimaksud dengan dosis obat yaitu sejumlah

3
obat yang memberikan efek terapeutik pada penderita dewasa, juga disebut dosis lazim atau dosis
medicinalis atau dosis terapeutik. Bila dosis obat yang diberikan melebihi dosis terapeutik
terutama obat yang tergolong racun ada kemungkinan terjadi keracunan, dinyatakan sebagai dosis
toxic. Dosis toxic ini dapat sampai mengakibatkan kematian, disebut sebagai dosis letal.

Obat-obat tertentu memerlukan dosis permulaan (initial dose) atau dosis awal (loading
dose) yang lebih tinggi dari dosis pemeliharaan (maintenance dose). Dengan memberikan dosis
permulaan yang lebih tinggi dari dosis pemeliharaan (misalnya dua kali), kadar obat yang
dikehendaki dalam darah dapat dicapai lebih awal. Hal ini dilakukan antara lain pada pemberian
oral preparal Sulfa (Sulfisoxazole,Trisulfa pyrimidines), diberikan dosis permulaan 2 gram dan
diikuti dengan dosis pemeliharaan 1 gram tiap 6 jam.

1.2 TUJUAN

Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu :

1. Agar lebih memahami cara penghitungan dosis untuk anak-anak


2. Agar mampu menulis resep secara mandiri untuk anak-anak
3. Agar lebih mampu memberikan obat baik dari sediaan, dosis dan waktu secara tepat agar
terapi yang diberikan memberikan efek terapeutik pada pasien

1.3 MANFAAT

1. Mahasiswa mampu mengetahui pengertian dari dosis serta mengetahui macam-macam dari
dosis obat yang dipakai.
2. Mahasiswa mampu mengetahui macam-macamdari bahan sedian obat
3. Mahasiswa dapat menghitung dosis obat berdasarkan rumus perhitungan dosis obat yang
sesuai.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dosis obat adalah jumlah obat yang diberikan kepada penderita dalam satuan berat (gram,
milli gram, mikrogram) atau satuan isi (liter, mililiter) atau unit-unit lainnya (unit internasional).
Kecuali bila dinyatakan lain maka yang dimaksud dengan dosis obat yaitu sejumlah obat yang
memberikan efek terapeutik pada penderita dewasa, juga disebut dosis lazim atau dosis medicinalis
atau dosis terapeutik. Bila dosis obat yang diberikan melebihi dosis terapeutik terutama obat yang
tergolong racun ada kemungkinan terjadi keracunan, dinyatakan sebagai dosis toksik. Dosis toksik
ini dapat sampai mengakibatkan kematian disebut sebagai dosis letal. (Ketut, 2007)

Obat-obat tertentu memerlukan dosis permulaan (inisial dose) atau dosis awal (loading
dose) yang lebih tinggi dari dosis pemeliharaan (maintenance dose). Dengan memberikan dosis
permulaan yang lebih tinggi dari dosis pemeliharaan (misalnya dua kali), kadar obat yang
dikehendaki dalam darah dapat dicapai lebih awal. Hal ini dilakukan antara lain pada pemberian
oral preparat sulfa (sulfasoxasol, Trisulfa pyrimidin), diberikan dosis permulaan 2 gram dan diikuti
dengan dosis pemeliharaan 1 gram tiap 6 jam waktu berikutnya. (Ketut, 2007)

 Obat Dalam Preskripsi Dokter


Bagian terpenting dalam preskripsi dokter adalah jenis, bahan dan jumlah obat (inscriptio).
Obat yang dipakai dalam preskripsi dokter merupakan obat pilihan dan disusun sendiri oleh dokter
serta disesuaikan dengan kondisi pasien yang dihadapi. Jumlah obat yang ditulis dalam resep dapat
berupa obat pokok (remidium cardinale) yang tunggal atau kombinasi beberapa obat pokok,
dengan atau tanpa obat penunjang ( remidium ajuvant), dan bahan tambahan (remidium corrigen).
Berikut ini adalah jenis dan bahan obat dalam preskripsi dokter :

1. Bahan Baku. Bahan ini dapat berbentuk serbuk, kristal, atau cairan tergantung dari sifat-sifat
fisika- kimia obat. Penulisan nama bahan obat pada preskripsi dokter dapat menggunakan nama
resmi dalam Farmakope Indonesia (FI) atau sesuai dengan nomenklatur international (INN)

a. Obat formula standard. Jenis obat tersebut merupakan formula baku/standard dengan
nama sesuai dalam Farmakope Indonesia atau buku resmi lain. Sediaan obat jenis ini
dapat berupa serbuk (pulveres) atau padat lain (tablet, kapsul), cairan (solutio, suspensi

5
dll), dan setengah padat (salep, krim dan pasta). Pada scat ini pemerintah melalui
BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) mengembangkan obat jadi standard
yaitu Obat Generik Berlogo. Obat tersebut mempunyai mutu yang baik karena cara
pembuatannya harus juga memenuhi criteria cara pembuatan obat yang baik dan benar.
Harganya juga relatif murah bila dibandingkan dengan obat paten pada umumnya.
Macam obat standard tersebut dapat dilihat dalam Daftar Obat Generik Berlogo yang
dikeluarkan oleh BPOM. 

b. Obat paten.Jenis obat tersebut merupakan obat jadi (dalam bentuk sediaan padat, cair
atau setengah padat) dengan nama dagang (brand name) dari pabrik yang memproduksi
obat jadi tersebut. Saat ini banyak sekali beredar obat paten di pasaran dengan berbagai
macam nama, bentuk dan harga. Umumnya harga obat paten lebih mahal dibandingkan
dengan OGB. (Farmakope Indonesia, 1995)
 Macam-Macam Dosis Obat

a. Dosis Terapi adalah dosis yang diberikan dalam keadaan biasa dan dapat
menyembuhkan orang sakit.
b. Dosis Maksimum merupakan batas dosis yang relatif masih aman yang diberikan
kepada penderita. Dosis terbesar yang dapat diberikan kepada orang dewasa untuk
pemakaian sekali dan sehari .
c. Dosis Toksik adalah dosis yang diberikan melebihi dosis terapeutik, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya keracunan obat
d. Dosis Letal (Lethal dose)yaitu dosis atau jumlah obat yang dapat mematikan bila
dikonsumsi. Bila mencapai dosis ini orang yang mengkonsumsi akan mengalami
kelebihan dosis (Over dose)
e. Initial Dose merupakan dosis permulaan yang diberikan pada penderita dengan
konsentrasi/kadar obat dalam darah dapat dicapai lebih awal.
f. Loading Dose adalah dosis obat untuk memulai terapi, sehingga dapat mencapai
konsentrasi terapeutik dalam cairan tubuh yang menghasilkan efek klinis.
g. Maintenance Dose adalah dosis obat yang diperlukan untuk memelihara dan
mempertahankan efek klinik atau konsentrasi terapeutik obat yang sesuai dengan
regimen dosis. Diberikan dalam tiap obat untuk menggantikan jumlah obat yang

6
dieliminasi dari dosis sebelumnya. Penghitungan dosis pemeliharaan yang tepat dapat
mempertahankan suatu keadaan stabil konsentrasi obat di dalam tubuh. (Ganiswara,
1995)

 Cara Penghitungan Dosis Obat.

a. DosisMaksimum.

Kecuali dinyatakan lain, dosis maksimum adalah dosis maksimum dewasa (20-60 tahun) untuk
pemakaian melalui mulut, injeksi sub kutan dan rektal. Untuk orang lanjut usia karena keadaan fisik sudah
mulai menurun, pemberian dosis obat harus lebih kecil dari dosis maksimum.

b. Dosis maksimum gabungan (DMsinergis)

Jika dalam satu resep terdapat dua atau lebih zat aktif (bahan obat) yang kerjanya pada reseptor
atau tempat yang sama maka jumlah obat yang digunakan tidak boleh melampaui jumlah dosis obat-obat
yang berefek sama tersebut, baik sekali pemakaian ataupun dalam pemberian dosis harian.

Contoh obat yang memiliki efek yang sama

o Atropin sulfat dengan ekstrak belladoina


o Pulvis opii dengan pulvis overi
o Kofein dan aminofilin
o Arsen trioxida dan Natrii arsenas.

 Penggunaan Obat Rasional

1. Pengertian
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 1985 : Penggunaan obat rasional bila :
o - Pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhannya
o - Periode waktu yang adekuat
o - Harga yang terjangkau
2. Batasan penggunaan obat rasional Kriteria penggunaan obat rasional adalah :

a. Tepatdiagnosis

7
Obat diberikan sesuai dengan diagnosis. Apabila diagnosis tidak ditegakkan dengan benar
maka pemilihan obat akan salah.

b. Tepat indikasi penyakit

Obat yang diberikan harus yang tepat bagi suatu penyakit.

c. Tepat pemilihan obat

Obat yang dipilih harus memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit.

d. Tepat dosis

Dosis, jumlah, cara, waktu dan lama pemberian obat harus tepat. Apabila salah satu dari empat
hal tersebut tidak dipenuhi menyebabkan efek terapi tidak tercapai.

1). Tepat Jumlah Jumlah obat yang diberikan harus dalam jumlah yang cukup.

2) Tepat cara pemberian Cara pemberian obat yang tepat adalah Obat Antasida seharusnya
dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena
akan membentuk ikatan sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi sehingga menurunkan
efektifitasnya.

3) Tepat interval waktu pemberian  Cara Pemberian obat hendaknya dibuat sederhana mungkin
dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari
(misalnya 4 kali sehari) semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum
3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam.

4) Tepat lama pemberian  Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing –
masing. Untuk Tuberkulosis lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan, sedangkan untuk kusta
paling singkat 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10 – 14 hari.

e. Tepat penilaian kondisi pasien

8
Penggunaan obat disesuaikan dengan kondisi pasien, antara lain harus memperhatikan:
kontraindikasi obat, komplikasi, kehamilan, menyusui, lanjut usia atau bayi.

f. Waspada terhadap efek samping

Obat dapat menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada
pemberian obat dengan dosis terapi, seperti timbulya mual, muntah, gatal-gatal, dan lain
sebagainya.

g. Efektif, aman, mutu terjamin, tersedia setiap saat, dan harga terjangkau

Untuk mencapai kriteria ini obat dibeli melalui jalur resmi.

h. Tepat tindak lanjut (follow up)

Apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila sakit berlanjut konsultasikan ke dokter.

i. Tepat penyerahan obat (dispensing)

Penggunaan obat rasional melibatkan penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen.
Resep yang dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat di Puskesmas akan dipersiapkan
obatnya dan diserahkan kepada pasien dengan informasi yang tepat.

j. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan

Ketidakpatuhan minum obat terjadi pada keadaan berikut :

a. Jenis sediaan obat beragam


b. Jumlah obat terlalu banyak
c. Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
d. Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
e. Pasien tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai cara menggunakan obat
f. Timbulnya efek samping (Depkes, 2010)

 Cara Pemberian Obat

9
BentukOral

Bentuk oral adalah obat yang masuk melalui mulut. Pada umumnya cara ini lebih disukai
oleh karena paling murah dan paling nyaman untuk diberikan. Bentuk oral ini adalah
bentuk tablet, kapsul, pil, kaplet dan lozenges.

Bentuk sediaan oral :

a. Obat Cair (liquid)

Solutio : Larutan dari sebuah zat dalam suatu cairan/pelarut, dimana zat pelarutnya adalah air, bila
bukan air maka harus dijelaskan dalam namanya, misalnya: minyak kamfer, Nitrogliserin dalam
spritur.

Suspensi; Sediaan cairan yang mengandung partikel padat tidak larut yang terdispersi dalam fase
cair (caiaran pembawa), zat yang terdispersi harus halus dan tidak boleh cepat mengendap dan
dapat mengandung zat tambahan untuk menjamin stabilitas suspensi serta tidak boleh terlalu kental
agar sediaan mudah dikocok dan dituangkan.

Sirupi; Larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain kadar tinggi.

Elixir; Larutan oral yang mengandung etanol sebagai kosolven

Emulsi; Adalah dua fase caiaran dalam sistem dispersi (tetesan) dimana fase cairan yang satu
terdispersi sangat halus dan merata dalam fase cairan lainnya dan umumnya dimantapkan oleh
pengemulsi (Emulgator).

Emulsi O/W; Emulsi minyak dalam air, dimana minyak yang merupakan fase terdispersi dan
larutan air merupakan fase pendispersi/pembawa (emulsi ini dapat dicernakan dengan air).
Emulgatornya larut dalam air. Sebagai contoh: susu (emulgatornya putih telur) Scott Emultion.

Emulsi W/O; Emulsi air dalam minyak, dimana air atau larutan air yang merupakan fase terdispersi
dan minyak atau bahan seperti minya merupakan pembawa atau pendispersi (Emulsi ini dapat
diencerkan dengan minyak). Emulgatornya larut dalam minyak. Contohnya : Mentega , lanolin

10
Netralisasi atau penetralan; Obat minum yang dibuat dengan jalan mencampurkan suatu asam
dengan suatu basa (yang dipergunakan adalah suatu carbonat) dan tidak terbentuk selalu
dihilangkan seluruhnya dengan cara pemanasan sampai larutannya jernih), yang termasuk
netralisasi: suatu asam dinetralkan dengan

Capsulae/kapsul; Adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras/ lunak yang
dapat larut dimana di dalamnya dapat diisi dengan obat serbuk, butiran, atau granul, cair, semi
padat. (Dewi, 2010)

Jenis-jenis kapsul;

1. Kapsul gelatinosa (dibuat dari gelatin) dan terdiri dari :


2. Soft capsulae (kapsul moles dan lunak)
3. Hard capsulae (kapsul Durae dan keras)
4. Capsulae amylaceas (dibuat dari amilum)
5. Capsulae metillsellulosa.

Absorpsi sediaan Oral :

1. Mulut

Mulut adalah rongga lonjong pada permukaan saluran pencernaan. Terdiri dari dua bagian,
bagian luar yang sempit, yaitu ruang diantara gusi serta gigi dengan bibir dan pipi, dan
bagian dalam yaitu, rongga mulut yang dibatasi di sisi-sisinya oleh tulang maxillaris dan
semua gigi dan disebelah belakang dengan awal faring. Di dalam mulut terdapat tiga
kelenjar ludah yaitu; kelenjar parotis, kelenjar submandibullaris, kelenjar sublingualis.
Kelenjar ludah berfungsi mengeluarkan saliva (air liur). Saliva memiliki pH 6,7 – 7,8
mengandung enzim ptyalin, fungsinya untuk membebaskan zat aktif dari obat.

2. Tenggorokan ( Esofagus )

Esofagus adalah suatu organ sillindris berongga dengan panjang sekitar 25 cm dengan garis
tengah 2 cm. Esofagus terutama berfungsi untuk menghantarkan makanan dan obat dari

11
faring ke lambung dengan gerakan peristaltik. Dinding esofagus seperti bagian lain dari
saluran cerna, terdiri dari empat lapisan: mukosa, sub mukosa, muskularis dan serosa.

3. Lambung

Panjang sekitar 25 cm dan lebar 10 cm dan memiliki kapasitas volume 1 – 11⁄2 liter. Secara
anatomis lambung terbagi atas fundus, korpus dan antrum pilorikumatau pillorus.
Lambung terdiri dari empat lapisan yaitu lapisan tunika serosa atau lapisan luar,
muskularis, sub mukosa dan mukosa. Kandungan lambung adalah asam lambung, mukus,
polisakarida, protein mineral, dan cairan lambung memiliki pH 1,9. Hormon gastrin
diproduksi oleh sel G yang terletak pada daerah pylorus lambung. Gastrin merangsang
kelenjar gastric untuk menghasilkan asam hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain
yang disekresi oleh lambung adalah enzim dan berbagai elektrolit, terutama ion – ion
kalium, natrium dan klorida.

Fungsi lambung dibagi menjadi dua yaitu, fungsi motorik dan fungsi pencernaan dan
sekresi, Fungsi motorik dibagi menjadi tiga yaitu, fungsi reservoir (menyimpan makanan
sampai makanan tersebut sedikit demi sedikit dicernakan dan bergerak pada saluran cerna),
Fungsi mencampur (memecah makanan menjadi partikel- partikel kecil dan
mencampurnya dengan getah lambung melalui kontraksi otot yang mengelilingi lambung),
fungsi pengosongan lambung.

4. Usus halus.

Usus halus memiliki panjang kira-kira enem meter dan diameternya 2-3 cm. Terdiri dari
duodenum memiliki pH 4-6 dan waktu transit kira-kira 15 menit, jejunum memiliki pH 6-
7 dan waktu transit 2-31⁄2 jam, ileum memiliki pH 6-8. Berfungsi untuk sekresi (untuk
duodenum dan bagian pertama jejunum) dan absorpsi (bagian akhir jejunum dan ileum).
Bagaian pertama dari usus halus steril sedangkan bagian akhir yang menghubungkan
secum (bagian awal dari usus besar) mengandung beberapa bakteri. Usus adalah tempat
absorpsi makanan dan obat yang sangat besar karena usus halus memiliki mikrovilli usus
halus yang memberikan luas permukaan yang sangat besar untuk absorpsi obat dan
makanan. Konsistensi usus halus berupa

12
cairan kental seperti bubur. Waktu transit untuk makanan dari mulut ke secum memerlukan waktu
sekitar 4-6 jam, sedangkan waktu transit sediaan padat dari 95% populasi sekitar 3 jam atau
kurang. Dua cairan pencerna masuk duodenum, yaitu cairan empedu melalui hati dan getah
pankreas dari pankreas. Sekresi pankreas berupa enzim amilase, lipase, proteolitik. Sekresi
empedu berupa musin, dan garam empedu. Ada tiga gerakan yang terjadi pada usus halus, yaitu:
segmentasi, peristaltik, dan pendule.

e. Usus Besar

Usus besar atau kolon yang kira-kira 11⁄2 meter panjangnya adalah merupakan sambungan dari
usus halus. Usus besar dibagi menjadi tiga bagian yaitu, kolon asenden, kolon transverses dan
kolon desenden. Fungsi usus besar tidak untuk absorpsi, tetapi sebagai organ dehidrasi dan saluran
untuk mengeluarkan feses (defikasi). Isi kolon memiliki pH 7,5 – 8. Antibiotik yang tidak
diabsorpsi sempurna akan mempengaruhi flora normal bakteridalam kolon. Usus besar tidak ikut
serta dalam pencernaan atau absorpsi makanan. Bila isi usus halus mencapai sekum maka semua
zat sudah diabsorpsi dan bersifat cair. Selama perjalanan dalam di dalam kolon isinya menjadi
semakin padat karena terjadi reabsorpsi air dan ketika mencapai rektum feses bersifat padat.
Gerakan peristaltik usus dalam kolon sangat lamban dan diperlukan waktu kira-kira enam belas
sampai dua puluh jam bagi isinya untuk mencapai flexure sigmoid.

2.4.3. Cara Parenteral

Istilah parenteral berasal dari bahasa Greek yaitu para yang bermakna di samping dan enteron yang
berarti usus, dimana keduanya menunjukkan sesuatu yang diberikan di luar dari usus dan tidak
melelui sistem saluran pencernaan. Obat yang diberikan dengan cara parenteral adalah suatu yang
disuntikkan melalui lubang jarum yang runcing ke dalam tubuh pada berbagai tempat dan dengan
bermacam- macam kedalaman. Tiga cara utama dari pemberian parenteral adalah sub kutan, (SC),
intra muskular (IM) dan intra vena (IV), walaupun ada yang lain seperti intra kardial dan intra
spinal relatif jarang dilakukan.

Obat-obat yang rusak atau di non aktifkan dalam sistem saluran pencernaan atau tidak diabsorpsi
dengan baik untuk memberikan respon yang memuaskan, dapat diberikan secara parenteral. Cara
perenteral juga disukai bila diperlukan absorpsi yang segera, seperti pada keadaan darurat.

13
Absorpsi melalui cara parenteral tidak saja lebih cepat dari sesudah pemberian oral, akan tetapi
kadar obat dalam darah yang dihasilkan jauh lebih bisa diramalkan, karena sedikit yang hilang
sesudah penyuntikkan sub kutan atau secara intra muskular dan benar-benar tidak ada yang hilang
pad penyuntikkan intra vena, secara umum ini juga memungkinkan pemberian dosis yang lebih
kecil. Cara pemberian parenteral terutama berguna dalam pengobatan pada pasien yang tidak mau
bekerja sama, kehilangan kesadaran atau sebaliknya tidak dapat menerima obat secara oral.

Satu hal yang merugikan dari pemberian obat secara parenteral adalah bahwa sekali obat sudah
disuntikkan, tidak bisa ditarik kembali, ini berarti sekali zat berada dalam jaringan atau
ditempatkan langsung ke dalam aliran darah, pemusnahan obat yang diperlukan karena efek yang
tidak baik atau toksik atau suatu kelebihan dosis karena ketidak hati-hatian adalah paling sukar.
Pada cara pemberian obat yang lainnya terdapat waktu yang cukup banyak antara saat pemberian
obat dengan saat absorpsi obat tersebut, yang pada dasarnya ini merupakan faktor penyelamat
dengan mempertimbangkan kemungkinan pengurasan terhadap obat yang tidak diabsorpsi (seperti
dengan perangsangan untuk muntah sesudah pemberian obat secara oral ). Lagi pula, karena
adanya tuntutan sterilitas yang ketat bagi semua obat injeksi, obat suntik biasanya lebih mahal dari
bentuk sediaan lainnya dan memerlukan petugas terlatih yang berwenang untuk melakukan
pengobatan yang semestinya.

Bentuk-bentuk sediaan yang dapat digunakan.

Secara farmasi, preparat-preparat yang dapat disuntikkan biasanya berupa suspensi atau larutan
dari suatu zat obat dalam air atau dalam minyak nabati yang sesuai. Pada umumnya, obat dalam
bentuk solution bekerja lebih cepat dibandingkan dengan obat dalam bentuk suspensi yang dengan
suatu pembawa berair, setiap contoh memberikan kerja yang lebih cepat dibanding pembawa
berminyak. Seperti dalam contoh-contoh lainnya tentang absorpsi obat, untuk absorpsi suatu obat
haru dalam bentuk larutan, dan suatu obat yang disuspensi harus mengalami proses disolusi
terlebih dahulu. Demikian juga, karena cairan tubuh mengandung air, maka lebih mudah menerima
obat dalam pembawa air dibandingkan dengan yang dalam pembawa minyak. Karena alasan ini,
kecepatan absorpsi obat dalam produk parenteral dapat berbeda-beda karena kombinasi pilihan
dari keadaan obat dan pembawa tambahan. Sebagai contoh, suspensi suatu obat dalam suatu
minyak nabati akan diabsrpsi jauh lebih lambat dibanding larutan air dari obat yang sama. Absorpsi

14
yang perlahan-lahan biasanya berarti perpanjangan waktu kerja obat, dan bila hal ini tercapai
melalui cara farmasi, maka preparat yang dihasilkan disebut sebagai injeksi depot atau repositoria,
karena ia berperan sebagai gudang tempat penyimpanan zat obat di dalam tubuh dari mana zat-zat
tersebut berpindah secara perlahan-lahan ke dalam sirkulasi sistemik. Dalam hal ini, kerja obat
yang lebih lama mungkin dapat dicapai melalui penggunaan implantasi subkutan dari tablet kempa
yang disebut pelet yang hanya larut secara perlahan-lahan dari tempat implantasinya, melepaskan
obat dengan kecepatan yang agak konstan dalam jangka waktu beberapa minggu sampai berbulan-
bulan. Injeksi bentuk repositoria sebagian besar terbatas dalam bentuk intra muskular. Obat-obat
yag disuntikkan secara intra vena ternyata tidak menghdapi rintangan dalam absorpsi dan dengan
demikian dapat menghasilkan efek obat yang cepat. Dari sudut kefarmasian, sediaan obat untuk
injeksi intra vena, dengan cara apapun harus tidak campur dengan komponen darah atau dengan
sirkulasi dan oleh karena itu sebagian besar dibatasi sebagai larutan obat dalam air.

o Injeksi sub kutan.

Pemberian subkutan (hipodermik) dari obat-obat meliputi injeksi lapisan kulit ke dalam jaringan
longgar di bawah kulit. Biasanya injeksi sub kutan dibuat dalam bentuk larutan dalam air, atau
sebagai suspensi dan relatif diberikan dalam volume yang kecil yaitu 2 ml atau kurang. Insulin
merupakan suatu contoh obat suntik yang diberikan secara subkutan. Jika pasien akan menerbima
suntikan yang berulang- ulang, sebaiknya tempat penyuntikkan berganti-ganti untuk mengurangi
perangsangan pada jaringan. Sesudah penyuntikkan obat masuk ke tempat yang terdekat sekitar
pembuluh darah dan memasukinya dengan cara difusi atau filtrasi. Dinding kapiler merupakan
contoh dari suatu membran yang berfungsi sebagai suatu rintangan berpori lipid, dengan masuknya
zat-zat yang dapat larut dalam lipid melalui membran dengan kecepatan yang bermacam-macam
sesuai dengan koefsien partisi minyak/airnya. Obat-obat yangbtidak larut dalam lipid (biasanya
lebih mudah larut dalam air) masuk melalui membran kapilerdengan kecepatan berbanding
terbalik dengan ukuran molekulnya. Molekul yang lebih kecil masuk jauh lebih cepat dari molekul
yang lebih besar. Semua zat yang dapat larut atau tidak dalam mlipid, menyeberangi membran
kapiler dengan kecepatan jauh lebih cepat dari kecepatan pemindahan zat–zat tersebut melalui
membran tubuh lainnya. Jaringan yang memiliki kapiler yang lebih banyak, permukaan tempat
absorpsi yang lebih luas, kecepatan absorpsi lebih cepat. Penambahan suatu vasokontriktor ke
dalam formula obat suntik biasanya akan mengurangi kecepatan absorpsi obat yang disebabkan

15
oleh penyempitan pembuluh darah di daerah pemberiian suntikkandan karenanya mengurangi
aliran darah dan kapasitas untuk absorpsi. Prinsip ini sering dimanfaatkan dalam pemberian obat
anestesi lokal dengan menggunakan vasokonstriktor epinefrin, yang lebih efektif dalam menunda
absorpsi karena sifatnya yang resisten terhadap perusakan setelah penyuntikkan. Sebaliknya
vasodilatator dapat digunakan mempertinggi absorpsi subkutan dengan meningkatkan aliran darah
ke tempat penyuntikkan.

o Injeksi intramuskular.

Injeksi intra muskular diberikan jauh lebih ke dalam otot rangka, pada umumnya pada otot paha
dan otot leher atau dada pada ternak ayam. Tempat penyuntikkan dipilih yang bahaya
pengrusakannya terhadap saraf atau pembuluh darahnya kecil. Larutan air, minyak atau suspensi
dapat digunakan secara intra muskular dengan efek yang cepat atau sebagai depot yang dipilih
untuk memenuhi kebutuhan pasien. Obat-obat tertentu, memberikan kerja obat yang diteruskan
sesudah suatu penyuntikkan suspensi dari obat secara intra nuskular, karena sifat daya larutnya
yang rendah. Misalnya, injeksi intra muskular dari suspensi benzatin penisillin G menghasilkan
kadar obat dalam darah yang dapat ditemukan selama tuhuj sampai sepuluh hari. Obat-obat yang
menimbulkan rasa sakit pada jaringan di bawah kulit sering kali diberikan secara intra muskular.

o Injeksi intravena

Dalam pemberian obat secara intra vena, larutan air disuntikkan ke dalam vena dengan kecepatan
yang sepada dengan efisiensi, keselamatan, menyenangkan bagi pasien dan lamanya reaksi obat
yang diinginkan. Hai terakhir dimaksudkan terutama pada obat yang diberikan sebagai tetesan
perlahan-lahan selama pemberian zat-zat makanan dan obat secara intra vena kepada pasien
setelah operasi. Injeksi intra vena biasanya diberikan ke dalam vena pada tangan depan dan
merupakan penggunaan yang khusus pada keadaan darurat dimana diinginkan kerja obat yang
segera. Yang perlu adalah bahwa obat terlarut dalam larutan setelah penyuntikkan dan tidak
mengendap dalam sistem sirkulasi, suatu keadaan yang dapat menimbulkan emboli. Obat suntik
yang dibuat dengan basis yang berminyak tidak diberikan secara intra vena, karena dapat
menyebabkan terjadinya emboli pada paru-paru. Sesudah penyuntikkan secara intra vena, akan
diperoleh kadar obat yang optimum dalam darah dengan tepat dan cepat yang tidak mungkin

16
diperoleh dengan cara-cara lainnya. Bagaimanapun, bila tidak dibutuhkan efek obat yang segera,
lebih disukai cara pemberian parenteral lainnya.

o Bentuk Topikal

Bentuk sediaan obat ini dipakai untuk permukaan luar badan, dan berfungsi melindungi
atau sebagai vehikel untuk menyampaikan obat. Bentuk yang paling penting adalah salep
dan krim. Salep dipakai untuk lesi kering dan bertahan dikulit lebih lama. Krim umumnya
dipakai untuk lesi basah.

o Bentuk Suppositoria

Suppositoria adalah obat dalam bentuk mirip peluru dan akan mencair pada suhu badan.
Suppositoria adalah cara memberi obat melalui rektum untuk lesi setempat atau agar
diserap sistemik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat

Dosis obat yang diberikan kepada penderita dipengaruhi oleh beberapa faktor: faktor obat, cara
pemberian obat tersebut dan penderita. Terutama faktor-faktor penderita seringkali kompleks
sekali, karena perbedaan individual terhadap respons obat tidak selalu dapat diperkirakan. Ada
kemungkinan ketiga faktor tersebut di bawah ini didapat sekaligus.

o Faktor obat

1. Sifat fisika: daya larut obat dalam air/lemak, Kristal/amorf, dan sebagainya
2. Sifat kimiawi: asam, basa, garam, ester, garam kompleks, pH, pKa
3. Toksisitas: dosis obat berbanding terbalik dengan toksisitasnya

o Cara pemberian obat kepada penderita

1. Oral: dimakan atau diminum


2. Parenteral: subkutan, intramuskular, intravena, dan sebagainya
3. Rectal, vaginal, uretral

17
4. Local, topikal, transdermal
5. Lain-lain: implantasi, sublingual, intrabukal, dan sebagainya

o faktor penderita/karakteristik penderita

1. Umur: neonatus, bayi, anak, dewasa, geriatric


2. Berat badan: biarpun sama-sama dewasa berat badan dapat berbeda besar
3. Jenis kelamin: terutama untuk obat golongan hormone
4. Ras: “slow & fast acetylators”
5. Tolerance
6. Obesitas: untuk obat-obat tertentu faktor ini harus dierhitungkan
7. Sensitivitas individual

Keadaan pato-fisiologi: kelainan pada saluran cerna mempengaruhi absorpsi obat; penyakit
hati mempengaruhi metabolism obat; kelainan pada ginjal mempengaruhi eksreksi obat.
Kehamilan, Laktasi, “Circadian rhyhm”, Lingkungan.

Obat beracun umumnya mempunyai dosis maksimum, yaitu batas dosis yang relative masih aman
diberikan kepada penderita. Pada lampiran famakope Indonesia edisi III tercantum daftar dosis
maksimum (D.M.) dari sebagian besar obat. Angka yang menunjukkan D.M. untuk suatu obat
ialah dosis tertinggi yang masih dapat diberikan kepada penderita dewasa; ini umumnya
dicantumkan dalam satuan gram, milligram, microgram, atau satuan internasional, kecuali untuk
beberapa cairan. Bila jumlah atau dosis ini dilebihi, ada kemungkinan terjadi keracunan.

Dokter yang menuliskan resep tidak terikat akan D.M. obat yang tercantum; bilamana dianggapnya
perlu, dokter boleh melebihi D.M. ini. Untuk memberitahukan kepada apoteker/apotek bahwa
dokter dengan sadar melebihi D.M. suatu obat, maka dibelakang angka/jumlah obat yang
dituliskan di resep diberi tanda seru (!) dengan disertai paraf. Contoh: R/ Atropin Sulfas 2 mg !
(Paraf)

Catatan:

18
D.M. Atropin Sulfas ialah 1 mg. Dosis yang lebih tinggi dapat saja diberikan/diperlukan dalam
keadaan khusus, misalnya bila diperlukan sebagai antidotum pada keracunan dengan Perticida
Cholineesterase Inhibator.

Apoteker/asisten apoteker yang mengerjakan/membuat obat terikat akan D.M. obat pada resep;
dalam hal D.M. obat berlebih tanpa ada tanda ! di belakang jumlah yang berlebih itu, maka obat
tidak boleh dibuatkan. Bilamana obat dibuatkan juga dan penderita mendapat keracunan, maka
apoteker/asissten apoteker yang bertanggungjawab mengenai pembuatan obat tersebut menurut
undang-undang yang berlaku dapat dituntut ke pengadilan. Dengan ditulisnya tanda ! dokter
mengambil alih tanggungjawab dosis yang berlebihan itu.Obat beracun yang mempunyai D.M.,
bila diberikan kepada anak, harus diperhitungkan tersendiri; untuk itu dapat dipergunakan rumus
Young: D.M. obat untuk anak sama dengan kali D.M. dewasa. (Farmakope, 1995)

 Dosis obat untuk anak

Di bidang pediatri dalam menentukan dosis obat untuk terapi sering ditemukan kesulitan-kesulitan,
terutama bila ini menyangkut pengobatan anak prematur, anak baru lahir, dan juga yang masih
bayi. Alasannya ialah karena organ-organ pada penderita ini masih belum berfungsi secara
sempurna, antara lain hepar, ginjal dan susunan saraf pusat. Tambahan lagi, distribusi cairan tubuh
berbeda pada anak kecil dengan orang dewasa, oleh karena cairan tubuh pada anak secara
persentase berat badan juga lebih besar.

Oleh karena fungsi hepar anak yang baru belum sebagaimana semestinya, maka konjugasi dengan
asam glukuronat hampir tidak terjadi. Cadangan glycine untuk konjugasi sangat terbatas, tetapi
kemampuan konjugasi dengan cara asetilasi dan sulfatasi sudah ada.Fungsi ginjal anak yang baru
lahir juga belum sempurna. Ini disebabkan jaringan ginjal masih mengalami diferensiasi yang
mengakibatkan berkurangnya filtrasi glomerulus. Baru pada umur di atas satu tahun si anak
menghasilkan urine dengan konsentrasi seperti orang dewasa; sampai umur satu tahun ini si anak
membutuhkan empat sampai enam kali air disbanding dengan orang dewasa bila diperhitungkan
per satuan berat badan.

Susunan saraf pusat (SSP) pun belum berkembang sempurna pada anak baru lahir. Biar pun
besarnya otak seorang anak umur satu tahun telah mencapai 2/3 dari besar otak orang dewasa,

19
tetapi koordinasi SSP dengan susunan saraf autonomic masih belum sempurna.Mengenai cairan
tubuh total, anak yang baru lahir mempunyai 29,7% lebih cairan tubuh dari orang dewasa, bila
dihitung per satuan berat badan. Pada umur 6 bulan seluruh cairan tubuh masih 20,7% lebih tinggi,
dan anak sampai umur 7 tahun pun masih mempunyai 5,5% lebih cairan tubuh.

Faktor-faktor di atas (di samping faktor-faktor endogen dan eksogen lainnya) menyebabkan
respons terhadap obat berbeda pada anak dengan orang dewasa. Parameter-parameter perbedaan
anak dengan dewasa adalah sebagai berikut :

1. Pola ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, Ekskresi)

1. Perbedaan absorpsi (penyerapan) oleh karena perbedaan relative dari “kepadatan” sel
2. Perbedaan distibusi oleh karena persentase cairan ekstraselular dan cairan tubuh- total
relatif lebih tinggi
3. Perbedaan metabolism oleh karena proses enzimatik yang belum sempurna
4. Perbedaan ekskresi oleh karena glomerulus dan tubuli belum berkembang secara lengkap.

2. Sensitivitas intrinsik yang berlainan terhadap bahan obat, khususnya obat golongan
Narkoba
3. Redistribusi dari zat-zat endogen

Di dalam praktek sehari-hari untuk terapi banyak sekali rumus-rumus yang dipakai

sebagai pendekatan untuk menghitung dosis obat untuk anak. Banyaknya rumus-rumus yang
dipakai (lebih dari 30) adalah merupakan suatu bukti, bahwa pada hakekatnya tidak satu pun cara
perhitungan dapat disebut atau dinyatakan memuaskan untuk dipakai bagi semua obat. Mungkin
ada preferensi salah satu rumus untuk obat tertentu, tergantung pada distribusi utama dari obat.

Kalau diasumsikan kalkulasi/perhitungan suatu obat untuk seorang anak baru lahir:

 Berdasarkan LPT 100 mg/m2 (LPT=luar permukaan tubuh)


 Berdasarkan BB 100 mg/kg, (BB = berat badan)

20
Maka konsentrasi obat akan mencapai persentase yang berbeda dalam cairan ekstra-cellular, intra-
sellular dan cairan tubuh seluruhnya, antara neonatus dan dewasa seperti dapat dilihat pada
TABELberikut

Tabel 1. Konsentrasi obat dalam cairan tubuh pada neonatus dibanding orang dewasa

CARA-CARA MENGHITUNG DOSIS OBAT UNTUK ANAK (Prasad, 1996)

1. Dihitung berdasarkan atas ukuran fisik anak secara individual. (Prasad, 1996)

a. Perhitungan dengan ukuran Berat Badan anak.

Contoh : Diketahui dosis terapi parasetamol 10mg/kgBB/kali, maka untuk anak umur 2 tahun
dengan berat badan 10 kg, dapat diberikan dosis per kali sebesar: 10 x 10 mg = 100 mg.

b. Perhitungan dengan ukuran LPT anak.

Contoh : Diketahui dosis pemeliharaan metotreksat untuk penderita leukemia 15

mg/m2LPT/minggu, maka untuk anak umur 12 tahun dengan LPT 1,20 m2 dapat diberikan
dosis sebesar: 1,20/1,73 x15 mg = 10,4 mg.

2. Dihitung berdasarkan atas perbandingan dengan dosis obat untuk orang dewasa.
(Nanizar, Z, J., 1990)

a. Perhitungan atas dasar perbandingan umur


Rumus Young Da = n x Dd (mg) Untuk anak umur < 8 tahun
n + 12

21
Rumus Dilling Da = n x Dd (mg) , Untuk anak umur ≥8 tahun
20
Keterangan :
Da = Dosis obat untuk anak
Dd = Dosis obat untuk dewasa
n = Umur anak dalam tahun

Contoh Perhitungan :

Diketahui dosis terapi dewasa Phenobarbital untuk Hipnotik-sedative = 15-30 mg/dose

maka dosis terapi untuk anak umur 4 tahun :

4/4+12 x (15-30) mg/kali = 3,75- 7,5 mg/kali (Rumus young)

Untuk anak umur 8 tahun :

8/20 x (15-30) mg/kali = 6 — 12 mg/kali (Rumus Dilling)

b. Perhitungan atas dasar perbandingan berat badan (BB dewasa 70 kg)

Rumus Clark = BBa x Dd (mg) ,BB anak (kg)

70

Contoh Perhitungan :

Diketahui dosis terapi dewasa Phenobarbital untuk Hipnotik-sedative = 15-30 mg/dose


maka dosis terapi untuk anak umur 8 tahun (berat badan 21 kg) :

21/70 x (15-30) mg/kali = 4,5 — 9 mg/kali.

c. Perhitungan atas dasar perbandingan luas permukaan tubuh (LPT dws 1,73 m2)

Rumus (Crawford-Terry-Rourke) = LPT (anak) x Dd (mg)

1,73

22
Contoh Perhitungan :

Diketahui dosis terapi dewasa Phenobarbital untuk Hipnotik-sedative = 15-30 mg/dose maka dosis

terapi untuk anak umur 8 tahun (LPT = 0,9m2)

0,9/1,73 x (15-30) mg/kali = 7,80 —15,61 mg/kali

d. Perhitungan atas dasar tabel J. Hahn

Contoh Perhitungan :

Diketahui dosis terapi dewasa Phenobarbital untuk Hipnotik-sedative = 15-30 mg/dose maka dosis
terapi untuk anak umur 5 tahun (berat badan 14,2- 17,8 kg) dapat diberikan 25% (1/4) dosis dewasa
adalah :

1/4 x (15-30 mg) = 3,75-7,5 mg/kali

 Cara-cara perhitungan lain dosis obat untuk yang dapat dipakai adalah sebagai
berikut:

1. Didasarkan perbandingan dengan dosis obat untuk orang dewasa (tidak dapat diperlukan bagi
semua obat)

1. Menurut perbandingan umur (dibandingkan dengan umur orang dewasa 20-24 tahun)
seringkali kurang tepat
2. Menurut perbandingan berat badan (dibandingkan dengan berat badan orang dewasa 70kg)
3. Menurut perbandingan Luas Permukaan Tubuh (LPT) (dibandingkan dengan LPT dewasa
1,73 m2)
(lihat tabel 1)

2. Didasarkan atas ukuran fisik anak secara individual Dasar ini dipergunakan bagi banyak jenis
obat. Perhitungan dosis secara individual ini lebih baik daripada perhitungan/perbandingan dengan
dosis dewasa. Ada dua cara untuk menghitung dosis individual untuk anak, yaitu:

23
1. Sesuai dengan berat badan anak dalam Kg.
2. Sesuai dengan LPT anak dalam m2 (LPT anak dapat diperhitungkan dari tinggi dan berat
badan anak menurut rumus Du Bois & Du Bois atau dapat dilihat pada Nomogram Du Bois
& Du Bois (lihat Nomogram)
3. memakai rumus R.O.Mosteller

Hasil yang didapat dari perhitungan Mosteller dan perhitungan Du Bois & Du Bois hampir sama
(P=< 0,02)

 Dosis obat untuk penderita yang obesitas

Obesitas atau kegemukan adalah kondisi yang paling sulit di”obati” dan merupakan suatu problem
yang penuh tantangan. Menentukan etiologi dari obesitas memerlukan waktu, dan penelusuran
sejarah orang yang bersangkutan. Secara simplistic dapat dikatakan obesitas ialah akibat
memasukkan jumlah kalori yang lebih besar dari kalori yang dibakar dalam tubuh. Ada beberapa
kecualian obesitas karena penyakit, seperti cushing’s syndrome, hypo-thyreoidism berat dan
kelainan neurologic tertentu pada masa kecil.

NIH-CDC (National Institutes of Health-Consensus Development Conferences) menyatakan


bahwa sulit sekali membuat definisi yang memuaskan apa yang disebut obesitas itu. Suatu panel
menyarankan, obesitas ialah bila berat badan seseorang 20% di atas berat badan ideal. Ada pula
yang menyarankan mempergunakan body mass index, yaitu berat badan dalam Kg dibagi dengan
tinggi badan dalam meter, bila angka yang dihasilkan >27,8 untuk pria dan >27,3 untuk wanita,
orang tersebut sudah dapat digolongka obesitas atau kegemukan.

Bila seseorang yang gemuk jauh sakit dan memerlukan pengobatan maka menentukan dosis obat
untuk penderita yang obesitas itu kadang-kadang menjadi problem, oleh karena adanya deviasi
yang besar dari komposisi tubuh dibanding dengan orang yang berat badannya normal. Problem
yang ditimbulkan terutama disebabkan oleh adanya perbedaan antar-obat dalam hal daya-larut
dalam lemak atau distribusi obat antara jaringan lemak dan air tubuh.Bahan obat yang sangat
lipofilik seperti benzodiazepines bila diberikan kepada penderita yang obesitas menyebabkan
distribusi obat dalam tubuh (Vd) sangat meningkat. Ini mengakibatkan t 1⁄2 eliminasi menjadi
lebih lama.Peningkatan distribusi obat golongan benzodiazepine mungkin merupakan hasil dari

24
partisi struktur bendodiazepine yang larut dalam jaringan lemak yang berlebihan yang didapat
pada subyek yang kegemukan.

Untuk obat-obat dengan daya-larut dalam lemak kecil (antara lain Digitoxin, Gentamicin,
Kanamycin, Streptomycin) dianjurkan untuk orang gemuk perhitungan dosis obat didasarkan pada
lean body mass atau berat-badan-tanpa lemak (BBTL). Sebaliknya untuk obat-obat yang daya
larutnya dalam lemak besar (antara lain Thiopental) maka perhitungan dosis hendaknya didasarkan
pada berat-badan-nyata (BBN) dari penderita.

Kesulitan dapat timbul bila harus diberikan obat dengan daya larut dalam lemak kira- kira
menengah; maka dosis obat ini ialah antara dua keadaan ekstrem di atas. Yang dapat dilakukan
ialah; diberikan suatu dosis percobaan, kemudian diadakan penyesuaian dosis- regimen dengan
memantau konsentrasi obat dalam plasma pada penderita.

Bagaimanapun, dalam menentukan dosis obat bagi penderita obesitas perlu diperhitungkan berat-
badan-nyata penderita bila BBN nya melebih berat-badan-ideal sebanyak 10% atau lebih.
Memperhitungkan berat-badan-ideal menurut Ritschel adalah sebagai berikut:

BB ideal = (T-100) 0,9 (Kg) T = tinggi/cm

Untuk obat-obat dengan daya-larut kecil dalam lemak, maka BBTL diperhitungkan dalam tiga
tahap:

1. Tahap pertama: kepadatan tubuh ditentukan


2. Tahap kedua: persentase lemak dihitung
3. Tahap ketiga: berat-badan-tanpa-lemak (BBTL) dihitung

Untuk tiga tahap-tahap di atas dipergunakan rumus-rumus:

1. Db = 1.0 2415-0.00169.BSF + 0.00444.H-0.0013. ASF (g/ml)


2. %lemak= .100
3. BBTL = BBN (100 - % lemak) Kg)

= densitas (kepadatan) tubuh (g/ml)

25
BSF = Skinfold thickness on back (subscapular) (mm) ASF = Abdominal skinfold thickness (mm)
BBTL=berat-badan-tanpa-lemak
BBN = berat-badan-nyata

 Dosis obat untuk penderita geriatri

Dengan meningkatnya umur terjadi perubahan-perubahan fisiologis dan patologis pada seseorang;
hal ini akan mempengaruhi konsentrasi obat dalam tubuh. Perubahan- perubahan konsentrasi obat
yang terjadi dapat dijelaskan secara farmakokinetik dengan sistem LADME, yaitu perubahan
pembebasan obat dari bentuk sediaannya, absorpsi atau penyerapan, distribusi, metabolism dan
ekskresi obat. Diperlukan perhatian khusus pemberian pengobatan pada penderita geriatri/lanjut
usia.

Cara Perhitungan Dosis dan Pengambilan Dosis Obat Berdasarkan Order Dokter

Mengoplos obat adalah mencampur obat dalam bentuk larutan. Kenapa obat perlu dioplos? Karena
terdapat berbagai macam bentuk obat dari kapsul, tablet, sirup, serbuk dan larutan. Mengoplos
obat berhubungan dengan memberikan obat kepada pasien dalam bentuk larutan. Lalu bagaimana
jika bentuk obat awalnya serbuk untuk dijadikan larutan?

1. Jenis Obat/ Zat Terlarut

Dalam istilah mengoplos, jenis obat yang dioplos baik berbentuk serbuk atau larutan akan
dijadikan dalam bentuk larutan.

2. Jenis Pelarut

Zat pelarut yang sering digunakan untuk mengoplos obat adalah WFI (water for injection). Namun,
ada juga beberapa jenis obat yang membutuhkan zat pelarut lain seperti NaCl 0.9% dan KCL.

3. Dosis Obat Sesuai Resep

Dosis obat yang digunakan berhubungan dengan takaran dari resep yang sesuai kondisi kesehatan
klien misalnya untuk obat amphicilin pasien @ 250mg untuk pasien X.

26
4.Menentukan Jenis Spuit

Jenis spuit yang biasa digunakan untuk mengoplos adalah spuit 3cc dan 5cc. Selanjutnya spuit 1cc
biasanya digunakan pada obat yang lebih kental.

5. Mencocokkan Dosis Obat Dengan Identitas Klien

Selanjutnya, dapat dimulai langkah pengoplosan. Langkah mengoplos ibat terdiri dari:

1. Menentukan jenis pelarut yang sesuai obat


2. Menghitung cc zat pelarut yang dibutuhkan agar obat yang dioplos sesuai dengan
resep
3. Menentukan obat dengan identittas klien

Hitung dengan tepat dosis obat yang akan diberikan sesuai dengan resep

Permintaan dosis obat biasanya ditulis dalam angka-angka matematika, begitupula dengan sediaan
obat yang ada. Perawat/bidan harus dapat menghitung dosis obat yang akan diberikan pada klien,
walaupun pada beberapa obat sangat berbeda antara sediaan obat dengan dosis obat yang akan
diberikan. (STIK, 2017)

Efek samping obat

Efek samping obat adalah setiap respon obat yang merugikan akibat penggunaan obat dengan dosis
atau takaran normal.

Beberapa hal yang perlu diketahui tentang efek samping obat, adalah sebagai berikut :

1. Biasanya efek samping obat terjadi setelah beberapa saat minum obat.
2. Perhatikankondisipasien,misalnyaibuhamil,ibumenyusui,lansia,anak- anak, penderita
gagal ginjal, jantung dan sebagainya. Pada penderita tersebut harus lebih berhati-hati dalam
memberikan obat.
3. Informasi tentang kemungkinan terjadinya efek samping obat, biasanya terdapat pada
brosur kemasan obat, oleh karena itu bacalah dengan seksama kemasan atau brosur obat,

27
agar efek samping yang mungkin timbul sudah diketahui sebelumnya, sehingga dapat
dilakukan rencana penanggulangannya.

Efek samping yang biasa terjadi :

1. Padakulit,beruparasagatal,timbulbercakmerahataurasapanas.
2. Pada kepala, terasa pusing.
3. Pada saluran pencernaan, terasa mual, dan muntah, serta diare.
4. Padasaluranpernafasan,terjadisesaknafas.
5. Pada jantung terasa dada berdetak kencang (berdebar-debar).
6. Urinberwarnamerahsampaihitam.

Hal yang harus dilakukan apabila timbul efek samping obat :

1. Hentikanminumobat.
2. Mencari pertolongan ke sarana kesehatan, puskesmas/ rumah sakit/ dokter terdekat.
(Depkes RI, 2008)

28
BAB III

KASUS

I. Seorang anak laki0laki berusia 7 tahun dibawa ke UGD rumah sakit dengan keluhan
bengkak pada kelopak mata dan kedua tungkai kaki, pasien juga mengeluh BAK berwarna
kemerahan, 2 minggu sebelumnya, pasien menderita batuk pilek yang disertai dengan
demam tinggi. Pada pemeriksaan fisik diapatkan TD 150/100 mmHg, nadi 98x/menit, RR
26x/menit, suhu axillar 37,2C, edem palpebra (+), edem kedua tungkai (+), pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb 7 gr/dl, albumunemia (+) dan hematuria
(+), apakah terapi obat yang tebat untuk pasien?
II. Seorang laki-laki 10 tahun datang ke praktek dokter umum dengan keluhan nyeri pada
pinggang belakang, sering BAK dan terasa nyeri. Nyeri telah berlangsung sejak l minggu
yang lalu disertai demam.
III. Seorang ibu membawa anaknya 7 tahun ke puskesmas. Ibu mengeluh beberapa hari ini
hidung anaknya sering tersumbat kemudian dokter memberikan obat HCL Efedrin. Hitung
dosis yang diberikan untuk anak tersebut!

29
BAB IV

PEMBAHASAN DAN PENULISAN RESEP

PEMBAHASAN

1. Pada kasus diatas didapatkan pasien menderita batuk-pilek 2 minggu yang lalu dan
sekarang menderita edema pada muka dan tungkai kaki, dimana kemungkinan
diagnose yang dapat terjadi adalah Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus, dimana
GNAPS biasanya dimulai dari infeksi pernapasan.

Dari data diatas didapatkan anak tersebut mengalami

 hipertensi sedang dengan TK 150/100 mmHg dengan obat yang akan diberikan berupa
nifedipine dengan dosis dewasanya 10 mg.

 antibiotic diberikan unutk mencegah serta menagani infeksi yang mungkin masih ada
dengan eritromisin yang dosis dewasanya 500 mg.

 edema yang terjadi dapat diberikan furosemide dengan dosis dewasa 40 mg.

Pada kasus tersebut pasien berusia 7 tahun jadi penyesuaian dosis dilakukan dengan
menggunakan rumus young sehingga dosis yang harus diberikan berupa :

 Nefidipine
7
𝑥 10 = 3,6 mg yang diberikan 3 kali sehari selama 2 hari
7+12

 Eritromisin
7
𝑥 500 = 184,2 mg yang diberikan 3 kali sehari selama 10 hari
7+12

 Furosemide

30
7
𝑥 40 = 14,7 mg yang diberikan 2 kali sehari selama 4 hari
7+12

Jadi dari hasil perhitungan dosis didapatkan dosis untuk nifedipine 3,6 mg sekali minum,
eritromisin 184,2 sekali minum dan furosemide 14,7 mg sekali minum.
2. Pada kasus diatas didapatkan pasien menderita keluhannyeri pada pinggangbelakang,
sering BAK dan terasanyeri. Nyeri telahberlangsungsejak l minggu yang
laludisertaidemam, kemungkinan diagnosis dari pasien tersebut adalah ISK ,
dikarenakan adanya keluhan LUTS dan demam

Dari data diatas didapatkan anak tersebut mengalami


 Antibiotic diberikan untuk mencegah serta menagani infeksi yang mungkin masih ada
dengan Levofloxacin yang dosis dewasanya 250 mg.
 Demam yang terjadidapatdiberikan Paracetamol dengandosisdewasanyaadalah 500 mg.

Pada kasus tersebut pasien berusia 10 tahun jadi penyesuaian dosis dilakukan dengan
menggunakan rumusdilling sehingga dosis yang harus diberikan berupa :
 Levofloxacin
10
𝑥 125 𝑚𝑔 = 125 mg yangdiberikan1 kali sehariselama7hari
20

 Paracetamol
10
𝑥 500 𝑚𝑔 = 250 mg yang diberikan 3 kali sehariselama3 hari
20

JadidarihasilperhitungandosisdidapatkandosisuntukLevofloxacinadalah 125 mg sekaliminum dan


Paracetamol 250 mg sekaliminum.
Jawaban

Rumus Young

31
7
= 7+12 x 25

= 9.2 mg

Pembahasan

Dosis untuk sekali pemakaian yaitu 25mg

Untuk sehari pemakaian dosis maksimum adalah 75 mg sehingga:

7
= x 75
7+12

= 27,6 mg

3. Efedrin HCL adalah dekongestan yang umum digunakan dalam preparat obat flu.
Dekongestan adalah stimulant reseptor alfa-1-adenergic. Mekanisme kerja
dekongestan melalui vasokonstriksi pembuluh darah hidung sehingga mengurangi
sekresi dan pembengkakan membrane mukosa saluran hidung.
4. Pada penderita dengan hipertiroid aktif penggunaan dekongestan oral dapat
meningkatkan palpitasi dan tekanan darah. Pada penderita Diabetes dekongestan dapat
meningkatkan kadar glukosa darah dengan mencegah sekresi insulin melalui
mekanisme penurunan uptake glukosa ke dalam jaringan perifer dan stimulasi
pemecahan glikogen.
5. Pada kasus ini pemberian obat Hcl Efedrin diberikan sebanyak 3 kali dalam sehari
selama 3 hari.

32
PENULISAN RESEP

1.

dr. raden panji


SIP : 1658011041
JL. SIWORATU 01/02 GEDUNG MENENG, NO
087899304393
PUKUL 10.00 S/D 12.00

Bandar lampung 24 mei 2018


R/ Nifedipine tab 5 mg NO II

m. l. f. pulv NO VI

S 3 dd 1 pulv p.c.

R/ eritromisin syr 200mg/5ml fls 60 ml NO III

S 3 dd 1 cth p.c.

R/ furosemide tab 40 mg NO III

m.l.f. pulv NO VIII

S 2 dd 1 pulv p.c.

Pro : A

Umur : 7 tahun

Alamat : Gedung meneng

33
2.

dr. raden panji


SIP : 1658011041
JL. SIWORATU 01/02 GEDUNG MENENG, NO
081212121212
PUKUL 10.00 S/D 12.00

Bandar lampung 24 mei 2018

R/ Levofloxacin125 mg

m.f. pulvd.t.dNo. VII

S 1 dd 1 pulv p.c.

R/ Paracetamol 250 mg

m.f. pulvd.t.dNo.IX

S 3 dd 1 pulv p.c.p.r.n

Pro : A

Umur : 10 tahun

Alamat : gedong meneng

34
3.
dr. Raden panji
Praktek Umum
SIP : 24052018
Alamat : Jln. Melati 1, Kota Kembang

Bandar Lampung, 24-05-2018

R/ Efedrin HCL 25 mg
M. f. pulv dtd No. IX
∫3 dd caps I p.c

Nama: An. Anak


Umur: 7 tahun
Alamat: Jalan. Mawar

35
BAB V

DAFTAR PUSTAKA

 Anief, M. (2003) . Ilmu Meracik Obat . Teori dan Praktek. Gadjah Mada University Press.
 Ansel, H.C; (1989). Pengantar Bentuk sediaan Farmasi. Penerbit Universitas Indonesia.
 Ansel, H.; Prince, S.J. (2006). Kalkulasi Farmaseuti, EGC. Jakarta.
 Budiasa, Ketut. 2016. Menentukan Dosis Obat dan Cara Pemberiannya. Denpasar :
Universitas Udayana
 Depkes RI. 1992. Undang-undang Kesehatan RI No. 23/1992. Jakarta 

 Ditwasot.1992. Fitofarmaka dan Pedomannya. Jakarta 


 Dep. Kes. RI., Direktorat Pengawasan Obat Tradisional.2000. Pedoman 
Pelaksanaan Uji
Klinik Obat Tradisional. Jakarta 


 Dep. Kes. RI: 1985. Obat Kelompok Fitoterapi. Jakarta 


 Joenoes, N. Z. (2001). ARS PRESCRIBENDI Resep yang rasional.Edisi 2. Airlangga


University Press.
 Pramono, S. 2002. Reformulasi Obat Tradisional, pada Seminar Reevaluasi dan

reformulasi Obat Tradisional Indonesia, Yogyakarta.

 Sri, Mae. 2013. Obat, Dosis dan Jadwal Pemberian dalam Preskripsi Dokter. Yogyakarta :
UGM

 Wahyuono, S., 2002, Penemuan Obat Baru Dari Bahan Alam, pada Seminar sehari 
Peran
Kimia Medisinal Dalam Penemuan Obat" Yogyakarta 


 WHO. 1993. Research guidelines for evaluating the savety and efficacy of 
herbal
medicines, WHO for the Western Pasific Manila 


 WHO. 2000. General guidelines for methodologies on research and 
evaluation of


traditional medicine, WHO: Geneva 


36
37

Anda mungkin juga menyukai