Anda di halaman 1dari 7

Pengertian PER (Price to Earning Ratio atau Rasio Harga terhadap

Pendapatan) dan Rumus PER


Pengertian PER (Price to Earning Ratio atau Rasio Harga terhadap Pendapatan) dan Rumus PER – Price
to Earning Ratio atau biasanya disingkat dengan singkatan PER (P/E Ratio) adalah rasio harga pasar per
saham terhadap laba bersih per saham. Rasio Price to Earning ini adalah rasio valuasi harga per saham
perusahaan saat ini dibandingkan dengan laba bersih per sahamnya. Price to Earning Ratio ini
merupakan rasio yang sering digunakan untuk mengevaluasi investasi prospektif. Rasio ini juga
digunakan untuk membantu investor dalam pengambilan keputusan apakah akan membeli saham
perusahaan tertentu. Umumnya, para trader atau investor akan memperhitungkan PER atau P/E Ratio
untuk memperkirakan nilai pasar pada suatu saham.

Rumus PER (Price to Earning Ratio atau Rasio Harga terhadap Pendapatan)

Price to Earning Ratio (P/E Ratio) ini dihitung dengan cara membagikan “Nilai Pasar per saham (Market
Value per Share)” dengan “Laba per lembar Saham (Earning per Share/EPS)”. Data Nilai pasar per saham
dapat diambil dari pasar saham atau bursa efek, sedangkan Earning per Share dapat dihitung dengan
cara membagikan Labar Bersih terhadap jumlah saham yang beredar di pasar.

Berikut ini adalah Rumua PER atau rasio Harga terhadap pendapatan :

Price to Earnings Ratio (PER) = Harga Saham / Laba per Saham

Catatan :

 Harga terhadap Pendapatan dalam bahasa Inggris disebut dengan Price to Earnings Ratio (PER).
 Harga Saham dalam bahasa Inggris sering disebut dengan Market Price per Share.
 Laba per Saham dalam bahasa Inggris disebut dengan Earnings per Share (EPS).

Dengan menghitung Rasio P/E atau Price Earning Ratio, kita dapat mengetahui seberapa besar
harga yang ingin dibayar oleh pasar terhadap pendapatan atau laba suatu perusahaan.

Rasio PER-nya yang lebih tinggi menunjukan bahwa pasar bersedia membayar lebih terhadap
pendapatan atau laba suatu perusahaan, serta memiliki harapan yang tinggi terhadap masa depan
perusahaan tersebut sehingga bersedia untuk menghargainya dengan harga yang lebih tinggi. Di
sisi lain, Rasio Harga Terhadap Pendapatan (Price Earning Rasio) yang lebih rendah
mengindikasikan bahwa pasar tidak memiliki kepercayaan yang cukup terhadap masa depan
saham perusahaan yang bersangkutan.

Rata-rata Rasio P/E atau PER suatu saham biasanya adalah 12 hingga 15, namun nilai tersebut
tergantung pada pasar dan kondisi ekonomi. Penilaian Rasio PER juga bervariasi tergantung
pada industri yang dijalankannya. Setiap Industri memiliki penilaian yang berbeda terhadap rasio
Rasio P/E-nya.
Contoh Perhitungan PER (Price to Earning Ratio atau Rasio Harga terhadap Pendapatan)

Sebagai contoh, jika harga per lembar saham perusahaan A adalah Rp. 500,- dengan rasio EPS
sebesar Rp. 20. Maka Rasio P/E adalah Rp. 500/Rp. 20 = Rp. 25,-. Ini menandakan bahwa
Investor bersedia untuk membayar Rp. 25,- untuk setiap Rp. 1 pendapatan perusahaan. Bagi
perusahaan yang mengalami kerugian atau pendapatan yang bernilai negatif, rasio P/E biasanya
dinyatakan dengan “tidak ada” atau biasanya ditulis dengan “N/A” atau “Not Applicable”.

Penilaian PER (Price to Earning Ratio atau Rasio Harga terhadap Pendapatan)

Rasio Harga terhadap Pendapatan (Price Earning Ratio) yang tinggi mungkin tidak selalu
menjadi indikator Positif karena rasio PER yang tinggi bisa diakibatkan oleh “Overpricing” pada
saham tersebut. Pada sisi lain, Price Earning Ratio yang rendah belum tentu merupakan indikator
negatif, bisa jadi saham tersebut sedang diabaikan oleh pasar atau belum aktif didagangkan.

Oleh karena itu, Price Earning Ratio ini harus digunakan dengan hati-hati. Keputusan investasi
tidak boleh hanya didasarkan pada rasio P/E ini saja, para investor harus mempertimbangkan
rasio-rasio lain untuk mengambil keputusan apakah membeli atau tidak membeli saham-saham
tertentu.

Masalah yang paling sering dibahas mengenai rasio P/E ini adalah perhitungan penyebutnya
yang juga memasukan barang-barang non tunai sehingga angka pendapatannya dapat
dimanipulasi dengan mudah, misalnya dengan memasukan depresiasi atau amortisasi. Meskipun
tidak dimanipulasi dengan sengaja, angka pendapatan masih juga dapat dipengaruhi oleh item-
item non tunai. Oleh sebab itu, kebanyakan investor menggunakan “Price to Cash Flow Ratio”
atau “Rasio Harga terhadap aliran Tunai” untuk perhitungan yang menghilangkan item-item non
tunai dan hanya memperhatikan Kas atau uang tunainya saja.

PVB

PBV ini pada dasarnya sama saja dengan PER. Perbedaannya, kalau PER berfokus pada laba bersih yang
dihasilkan perusahaan, PBV fokusnya pada nilai ekuitas perusahaan. PBV sesuai artinya bermakna ‘harga
saham dibandingkan nilai ekuitas per saham’. Cara menghitungnya, (saya yakin kebanyakan dari anda
sudah tahu) adalah dengan membagi harga saham dengan Book Value-nya (BV), dimana BV dihasilkan
dari ekuitas dibagi rata-rata jumlah saham yang beredar. Konsep penggunaannya pun sama dengan PER:
semakin tinggi nilai PBV, maka semakin mahal harga sahamnya.
Price To Earning Ratio, atau disingkat P/E Ratio adalah alat utama penghitungan
harga saham suatu perusahaan dibandingkan dengan pendapatan perusahaan.

Formula untuk menghitung P/E Ratio adalah :

P/E Ratio = Harga Saham / Earning Per Share


Hasil ini mengindikasikan berapa besar investor bersedia membayar setiap rupiah atas
pendapatan perusahaan tersebut. Pada umumnya, investor lebih senang memilih saham
dengan P/E Ratio rendah. Semakin rendah P/E Ratio suatu saham, semakin murah saham
saham tersebut sehubungan dengan pendapatan perusahaan.

Sebagai contoh misalnya perusahaan XYZ mengumumkan earning per share (EPS)
saham perusahaan tersebut adalah Rp. 1000. Jika pada saat itu misalnya harga saham
perusahaan XYZ adalah Rp. 10.000, maka P/E Ratio dapat dihitung seperti berikut ini :

P/E Ratio = Rp. 10.000 / Rp. 1000 = 10

Penting untuk dicatat bahwa P/E Ratio dapat dihitung juga berdasar data perusahaan
secara umum. Ini dapat dilakukan dengan membagi kapitalisasi pasar perusahaan
(sebagai pengganti harga saham) dengan total pendapatan perusahaan (sebagai pengganti
earning per share).

P/E Ratio = Kapitalisasi Pasar / Total Pendapatan

Penghitungan ini akan menghasilkan hasil yang sama dengan penghitungan


menggunakan nilai per saham. Misalnya perusahaan XYZ mengeluarkan satu juta saham.

Kapitalisasi pasar = (10 juta saham * harga per saham Rp. 10.000) = 100 milyar

Total pendapatan = (10 juta saham * earning per share Rp 1000) = 10 milyar

P/E Ratio = 100 milyar / 10 milyar = 10

Dapat Anda lihat penghitungan P/E Ratio menghasilkan hasil yang sama.

Sekarang mari kita lihat contoh dua perusahaan.

Secara sekilas, investor mungkin merasa harga saham perusahaan B lebih “murah”, atau
memiliki “nilai” yang lebih baik dibanding perusahaan A. Akan tetapi, penting untuk
dimengerti bahwa harga saham adalah angka yang berubah‐ubah dan hampir tidak berarti
apa‐apa. Harga saham tidak menunjukkan jumlah marketvalue dari suatu perusahaan.
Sebagai hasilnya, Anda tidak dapat menilai perbedaan di antara dua perusahaan hanya
berdasar harga saham saja.

Setelah mengamati data lebih dalam, Anda mungkin terkejut mengetahui bahwa
perusahaan A sebenarnya mempunyai nilai yang lebih baik dibanding perusahaan B
(walaupun harganya lebih tinggi). Untuk membantu Anda, mari kita lihat data‐data
lainnya dari dua perusahaan tersebut.
Pada tabel di atas, meskipun perusahaan B memiliki harga saham yang lebih rendah dan
juga meskipun keduanya memiliki pendapatan tahunan yang sama (10 milyar rupiah),
perusahaan A sebenarnya memiliki nilai yang sama (dengan asumsi semua hal lainnya
sama). Perusahaan A mengeluarkan jumlah saham yang lebih sedikit disbanding
perusahaan B. Dan dengan melihat pada total kapitalisasi pasar masing‐masing
perusahaan, kita dapat melihat bahwa investor menetapkan nilai yang lebih kecil pada
equity perusahaan A. Sebagai hasilnya, pendapatan yang sama sebesar 10 milyar rupiah
dibagi pada jumlah saham yang lebih sedikit sehingga membuat earning per share lebih
besar (dan otomatis membuat P/E Ratio lebih rendah) pada perusahaan A. Oleh
karenanya, meskipun harganya lebih tinggi, perusahaan A sebenarnya memiliki nilai
yang lebih baik jika dibandingkan perusahaan B (tentunya dengan asumsi kedua
perusahaan sepenuhnya identik dalam semua aspek).

Stock split dapat menutupi gambaran sebenarnya saham suatu perusahaan. Beberapa
perusahaan seringkali menggunkan stock split untuk membuat harga saham pada level
yang relative rendah. Sedangkan perusahaan lainnya membiarkan harga saham terus naik
dan tidak melakukan stock split. Meskipun perusahaan melakukan stock split untuk
membuat harga saham secara umum lebih rendah, bukan berarti saham perusahaan
tersebut lebih murah atau memiliki nilai yang lebih baik untuk investor.

Pertanyaan berikutnya, kenapa P/E Ratio penting?

Karena harga saham saja tidak dapat memberikan gambaran keseluruhan, maka
diperlukan alat‐alat lain untuk membantu investor mengukur seberapa mahal suatu
saham. Meskipun terdapat alat ukur lain seperti price/sales dan price/book ‐ P/E Ratio
adalah alat ukur yang paling umum digunakan untuk menganalisa nilai saham.

Dengan mengamati P/E Ratio, investor dapat lebih akurat membandingkan nilai dari dua
perussahaan. Pada contoh di atas, sekilas P/E Ratio pada perusahaan A (5) dan
perusahaan B (20) menunjukkan bahwa saham perusahaan A secara jelas adalah pilihan
pembelian yang lebih baik (sekali lagi, dengan asumsi semua hal lainnya adalah sama)
meskipun kenyataannya harga saham perusahaan A lebih tinggi.

Ketika menganalisa P/E Ratio, investor dapat membandingkan P/E Ratio perusahaan
tertentu dengan saham perusahaan lainnya, atau dengan P/E ratio pada perusahaan dalam
satu industri, atau bahkan rata‐rata P/E Ratio pasar secara keseluruhan. Dengan
melakukan ini, investor mendapat pandangan yang lebih luas apakah suatu saham
undervalued atau overvalued jika dibandingkan dengan saham dalam satu industri atau
pasar secara umum. Sebagai tambahan, investor mungkin ingin mengukur P/E Ratio
suatu perusahaan dibandingkan rata‐rata historis P/E Ratio perusahaan itu sendiri untuk
menentukan apakah saham tersebut diperdagangkan pada range atas atau bawah dari
range P/E ratio sebelumnya.

Penting untuk dimengerti bahwa semua P/E Ratio tidak dibuat dengan sama. Beberapa
perusahaan mengkalkulasi menggunakan pendapatan dari 4 kuartal terakhir (dikenal
sebagai trailing P/E Ratio). Sementara perusahaanperusahaan lain menggunakan
pendapatan dari dua kuartal terakkhir dengan proyeksi pendapatan untuk dua kuartal
berikutnya (dikenal sebagai current P/E Ratio). Akhirnya, beberapa perusahaan
mengkalkulasi seluruhnya berdasarkan proyeksi pendapatan (dikenal sebagai forward P/E
Ratio).

Kita perlu berhati‐hati ketika mengamati forward P/E Ratio karena estimasi pertumbuhan
masa depan pada umumnya tidak akurat. Dan juga, jenis pendapatan yang digunakan
untuk menghitung P/E Ratio dapat bermacam-macam. Meskipun P/E Ratio dapat
menghasilkan perkiraan yang baik seberapa “mahal” suatu saham jika dihubungkan
dengan pendapatan perusahaan, namun bukan P/E Ratio adalah alat ukur sempurna untuk
menghitung nilai perusahaan.

P/E Ratio mempunyai beberapa kelemahan. Kelemahan pertama adalah manipulasi


pendapatan. Perusahaan seringkali menggunakan berbagai teknik akuntansi untuk
mengubah net income yang dilaporkan. Sebagai hasilnya, pendapatan yang dilaporkan
seringkali tidak mencerminkan keadaan finansial yang sebenarnya dari suatu perusahaan.
Karena net income adalah komponen utama P/E Ratio suatu perusahaan, maka
manipulasi pendapatan dapat membawa kita kepada data P/E Ratio yang menyesatkan.

Kelemahan kedua adalah perbedaan industri. Industri yang berbeda‐beda pada umumnya
memiliki tingkat pertumbuhan historis, tingkat risiko, dan lain‐lainnya yang berbeda pula,
sebab itu juga memiliki P/E Ratio yang berbeda pula. Oleh karenanya, saham yang
mungkin terlihat murah pada satu industri mungkin terlihat mahal ketika dibandingkan
pada industri yang berbeda‐beda. Karena alasan ini, pada umumnya lebih tepat untuk
membandingkan P/E Ratio antar perusahaan dalam sektor industri yang sama.

Kelemahan P/E Ratio berikutnya adalah adanya faktor‐faktor lain. Penting untuk diingat
bahwa P/E ratio hanya menghitung berdasar dua item, yaitu harga saham saat ini dan
pendapatan bersih. Sebagai hasilnya, P/E Ratio sepenuhnya mengabaikan berbagai factor
penting lainnya. Salah satu faktor penting adalah proyeksi tingkat pertumbahan di masa
mendatang. Dua saham dapat saham dalam setiap faktor (termasuk P/E Ratio), akan
tetapi jika satu perusahaantingkat pertumbuhannya dua kali dari Perusahaan satunya,
maka perusahaan dengan tingkat pertumbuhan lebih tinggi adalah pilihan investasi yang
lebih baik untuk jangka panjang.

Kelemahan P/E Ratio yang terakhir adalah volatilitas dan risiko. P/E Ratio juga
mengabaikan item penting seperti risiko dan volatilitas. Dua perusahaan mungkin
memiliki P/E Ratio yang sama, akan tetapi jika pendapatan dan sumber penghasilan satu
perusahaan dapat benar‐benar diandalkan, sedangkan pendapatan perusahaan lain adalah
sangat tidak pasti, maka perusahaan dengan pendapatan yang dapat diandalkan adalah
pilihan investasi yang lebih baik untuk jangka panjang.

Dengan segala keterbatasan di atas, ketika berusaha menaksir nilai dari suatu perusahaan,
invesor yang lebih berpengalaman akan memilih menganalisa P/E Ratio bersama‐sama
dengan bermacam‐macam rasio lainnya, seperti Price/Sales, Price/Cash Flow, dan lain‐
lain.

Anda mungkin juga menyukai