Anda di halaman 1dari 13

(1) Dua pertanyaanmu ini juga berhubungan dengan satu pertanyaan dari Heirul Fikri yang menanyakan

tentang Gradasi Wujud, tetapi yang ia maksudkan Gradasi keberadaan, yakni bentangan wujud ini yang
dimulai dari Sang Pencipta sampai dengan Alam Materi.

(2) Untuk menjelaskan Lauhu al-Mahfuzh dan 4 Perjalanan Irfan/Sufi-sungguhan, perlu kepada
Penjelasan Tentang Bentangan Wujud yang ditanyakan oleh mas Heirul Fikri itu. Oleh karenanya Saya
akan mengurainya terlebih dahulu.

(3) Jadikanlah jawabanku ini Sebagai bahasan Wahdatulwujud ke 4. Oleh karenanya Saya harapkan dari
teman-teman yang tertarik dengan bahasan ini, usahakan untuk membaca WAHDATUL WUJUD bag 1-3.

(4) Karena Saya sudah menjelaskan se-jelas-jelasnya tentang wahdatulwujud itu, walau tetap global, dan
bedanya dengan filsafat, maka Saya mungkin tidak akan lagi menjelaskan hal-hal yang mengenai
keduanya di dalam tulisan ini.

(5) Semua dalil terhadap setiap pernyataan yang pelik sekalipun, harus memiliki pondasi atau dalil dari
Ilmu-Mudah, yakni yang tidak perlu dipikir karena mudahnya (jelas, gamblang bagi setiap orang),
Sebagaimana sudah dijelaskan di Wahdatul Wujud bag 3 yang Saya tulis dalam koment. Yaitu ketika
mempertemukan akal dan Qur an dan jalan keluarnya

Maksudnya Saya mengharap bahwa peminat sendirilah yang harus bisa membedakan bahasa mana yang
bernafas filsafat dan tulisan mana yang bernafas irfan. Jadi, kalau memang minat, usahakan konsen dan
kalau perlu wudhu dulu.

Pembahasan Pertama Tentang Pembuktian Wujud Tuhan: Dalam bahasan ini Saya tidak akan
menjelasakannya secara rinci, karena ianya bukan pembahasan Tauhid (Saya sudah menulis dalam tajuk
Pokok-pokok Ajaran Syi'ah, yang akan segera selesai insyaAllah). Tetapi karena Hakikat Tuhan diperlukan
di sini, maka harus dibahas walau secara ringkas.

Diri kita, pohon, batu, bumi, angin, air, binatang, bintang gemintang dan seterusnya adalah wujud-wujud
terbatas. Artinya dibatasi dengan esensi dan eksistensi.

Karena masing-masing esensi dan eksistensi mereka bukan yang lainnya dan karena alam ini merupakan
gabungan dari mereka-mereka itu, yakni gabungan yang terbatas itu, maka alam ini juga pasti terbatas.
Karena gabungan keterbatasan hasilnya juga pasti keterbatasan pula, walaupun lebih luas. Tetapi tetap
tidak akan keluar dari keterbatasan menjadi tidak terbatas. Nah, ketika kita dan alam ini terbatas, secara
pasti memiliki batasan.

Katakanlah ujung pangkal atau awal dan akhir. Kalau demikian halnya, maka pastilah alam ini, sebelum
awalnya, ia tidak ada. Begitu pula Setelah akhirnya. dan kalau alam ini sebelum awalnya tidak ada, lalu
Setelah awal itu ia menjadi ada, maka pastilah ia diadakan. Karena "yang tak ada" tak mungkin "Terjadi"
hingga dikatakan "Alam Terjadi dengan Sendirinya". Atau begitu pula "yang tak ada" tak mungkin
"Menjadikan" hingga dikatakan "Ia Menjadikan Dirinya sendiri". Atau bahkan "yang tak ada" tak
mungkin "Dijadikan" hingga dikatakan bahwa "Alam Ini Dijadikan oleh Penjadi dari Tiada".

Ketidak mungkinan tiga hal itu, yakni "Terjadi:, Menjadikan dan Dijadikan", tidak lain karena "Tiada"
adalah "Tiada" dimana jelas tidak bisa menjadi obyek atau subyek, yakni tidak bisa jadi pemberi
dan/atau pelaku. Karena, tidak ada.

Mungkin ada yang bertanya, apa mungkin Tuhanpun tidak bisa menjadikan "Tiada" Sebagai obyek dalam
penciptaannya?. Jawabannya "Tetap tidak bisa". dan yang tidak bisa itu Sebenarnya bukan Tuhannya,
tetapi "Tiadanya" itu. Yakni karena "Tiada" itu adalah "Tiada" sedangkan "Obyek pemberi" adalah
"Ada"..

Dengan demikian Sebenarnya yang salah adalah pertanyaannya yang menanyakan "Apa Bisa Tiada itu
Dijadikan Makhluk Oleh Tuhan?". Karena dalam pertanyaan ini jelas Sekali mengandungi kontradiksi
yang nyata. Yakni antara "Tiada" dan "Dijadikan atau Dicipta".

Dengan bahasa lain, "Tiada" memiliki "Zat Ketiadaan", yaitu "Tiada" itu, hingga kalau dia keluar darinya
maka ia bukan lagi "Tiada", tetapi sudah menjadi "Ada".

Jadi, "Tiada" itu secara zati tidak bisa keluar dari ketiadaan. dan kita tahu bahwa setiap zat sesuatu,
maka tidak bisa ditinggalkannya. Seperti kalau manusia keluar dari kebendaan, keberkembangan,
kebergerakan dengan ikhtiar dan kerasionalan, maka ia bukan lagi manusia.

Mungkin Anda bertanya "Kalau Tiada itu Tiada, mengapa ia bisa memiliki zat dan tidak bisa keluar dari
zatnya, bukankah Memiliki itu tandanya ada?".

Jawab: Esensi atau hakikat sesuatu itu, tidak mesti ada. Hakikat sesuatu, bisa dipahamakaan dalam akal
kita. Seperti Gunung Emas. Kita bisa memahami esensi Gunung Emas, sekalipun ia tidak pernah wujud
dan eksis.

Jadi, batasan sesuatu dan sesuatu itu sendiri, bisa berupa wujud akal dan pahaman saja. Bisa juga
pahaman dan eksistensi. Bisa juga pahaman dulu baru eksistensi. Seperti Ilmu Tuhan terhadap esensi
setiap makhluk sebelum menciptakan makhluk. Atau seperti Ilmu dokter tentang operasi yang akan
dilakuannya kemudian.

Jadi, batasan sesuatu dan sesuatu itu sendiri, bisa berupa wujud akal dan pahaman saja. Bisa juga
pahaman dan eksistensi. Bisa juga pahaman dulu baru eksistensi.

Seperti Ilmu Tuhan terhadap esensi setiap makhluk sebelum menciptakan makhluk. Atau seperti Ilmu
dokter tentang operasi yang akan dilakuannya kemudian.

Banyak Sekali sesuatu atau esensi yang kita pahami hakikatnya, tetapi tidak ada wujudnya di alam nyata.
Seperti "Tiada", "Sekutu Tuhan", "Ayah Tuhan", "Anak Tuhan", "tuhan yang dicipta", "Makhluk yang
mengalahkan Khalik", Ayah Nabi Isa", "Bumi Emas", "Masuknya Bumi ke Telur tanpa merubah
keduanya", dan seterusnya. Semua itu dapat kita pahami, tetapi tidak ada wujudnya. Artinya mereka itu
hanya ada di dalam akal hingga dalam filsafat disebut dengan "Keberadaan Akal Belaka".

Dan bukti keberadaan akalnya itu adalah bahwa kita saling berkomunikasi tentang mereka itu, dan
menolaknya. Misalnya kita berkata "Ayah Tuhan itu tidak ada", "Ayah Nabi Isa itu tidak ada".dan
seterusnya.

Dengan uraian ini dapat diyakini dengan ilmu mudah bahwa "Tiada" tidak mungkin menjadi subyek
pelaku seperti "Terjadi dan Menjadikan" dan juga tidak pula bisa menjadi obyek pelaku "Dijadikan".

Kembali ke masalah kita. Sampai di sini, kita sudah tahu bahwa alam ini terbatas, dan karenanya ia
diadakan oleh yang lain, karena ia tidak bisa menjadi subyek pelaku terhadap dirinya sendiri, dan begitu
pula ia diadakan dari "Keberadaan", bukan dari "Ketiadaan".

Selanjutnya. Ketika alam ini diadakan/diciptakan oleh yang wujud lain, maka kalau wujud lain itu
terbatas pula, sudah pasti sang pengada ini juga diadakan oleh yang lain dengan alasan yang sama. dan
kalau pengadanya pengada itu juga terbatas, maka sudah pasti juga diadakan oleh yang lain pula dengan
alasan yang sama. Begitu seterusnya. Sekarang tinggal dua pilihan, apakah semua pengada-pengada itu
terbatas semua atau ada yang tidak terbatas?

Kalau kita pilih bahwa semua pengada-pengada itu terbatas semuanya, berarti semuanya pernah tiada.
Nah, kalau semuanya pernah tiada, terus dari mana keberadaan kita dan alam ini?

Karena kalau semuanya tiada, berati tiada yang bisa mengadakan "ada" karena yang tak punya tak
mungkin memberi. dan karena "Tiada" tidak bisa menjadi "pelaku", apalagi terhadap "ada".

Dengan demikian maka sudah pasti dan dengan dalil yang gamblang, kita katakan bahwa pengada-
pengada itu harus berhenti pada "Pengada Yang Tidak Terbatas". dan "Pengada Yang Tidak Terbatas"
inilah yang kita katakan "Tuhan".

Karena salah satu makna Tuhan adalah "Tidak Dicipta", "Tidak Bermula".

Dengan demikian maka kita sudah mendapatkan apa yang dikatakan Sebagai Tuhan yang, memiliki Zat
Tidak Terbatas.

Banyak hal yang dapat ditarik pahaman dari "Ketidak TerbatasanNya" ini, tetapi karena takut
kepanjangan maka kita teruskan saja kepada inti pembahasan kita. Salah satu yang berkenaan dengan
bahasan kita, adalah bahwa kalau kita sudah tahu bahwa Tuhan itu Tidak Terbatas, berarti tidak
mungkin ada duaNya. Karena kalau ada duaNya, berarti ke-dua-duanya akan menjadi terbatas, karena
masing-masing keduanya akan menjadi pembatas bagi yang lainnya.
Yang terpenting dari kekonsekwenan dari Ketidak TerbatasanNya di sini adalah, "Ketidak
BerangkapanNya". Yakni, kalau Dia Tidak Terbatas, maka sudah pasti "Tidak Mungkin Terangkap".

Karena, kalau terangkap, berarti masing-masing rangkapannya terbatas, karena masing-masingnya


membatasi yang lainnya. dan kalau masing-masing rangkapannya terbatas, berarti gabungannya dimana
di sini adalah Tuhan, juga akan terebatas, karena gabungan keterbatasan adalah keterbatasan pula
(sekalipun lebih luas).

Dengan semua penjelasan-penjelasan di atas, maka Pembahasan Pertama, yakni Tentang Pembuktian
Wujud Tuhan sudah dapat disimpulkan dengan mudah. Bahwasannya Tuhan itu "Ada", "Tidak Terbatas",
"Satu" dan "Tidak Terangkap".

Pembahasan Ke Dua Tentang Pengadaan/Penciptaan Tuhan:

Dalam pembahasan ini kita akan berusa menguak dengan dalil-gamblang terhadap ada dan macam-
macamnya makhluk.

Modal utamanya adalah "Ketidak Berangkapan Tuhan" Sebagaimana telah dibuktikan dalam
Pembahasan Pertama. Namun, sebelum itu, kita akan melihat sekelumit saja tentang aturan "Sebab-
Akibat". Salah satu peraturan dan kaidah penting dalam sebab-akibat, adalah keharusan adanya
"Kemiripan" atau "Kesenafasan" atau "Keterhubungan" atau "Kesejenisan" antara sebab dan akibatnya.

Artinya antara keduanya tidak boleh asing sama Sekali. Maka dari itu selalu buah padi menumbuhkan
pohon padi, manusia melahirkan manusia, kucing melahirkan kucing....dan seterusnya.

Kita tidak pernah menemukan dan tidak akan pernah menemukannya, bahwa biji padi menumbuhkan
pohon kelapa atau durian, atau lebih parah lagi mengeluarkan binatang. Begitu pula sebaliknya.

Semua itu, tidak lain, karena adanya atau keharusan adanya kesenafasan antara sebab dan akibatnya.
Nah, sekarang bagaimana dengan Tuhan ketika akan mencipta ("Ketika ini bahasa pinjaman karena
sebelum dicipta waktu maka tidak ada "ketika").

Pertanyaan itu Sebenarnya berfokus pada, bisakah alam yang banyak ini tercipta langsung dari Tuhan
tanpa perantara? Kalau dijawab bisa berarti Tuhan memiliki banyak Sekali rangkapan, yakni sebanyak
makhluk yang diciptakanNya.

Karena, dengan adanya keharusan adanya kesenafasan antara sebab dan akibatnya, maka setiap
makhluk Tuhan menuntut adanya kesenafasan itu. dan kalau itu terjadi, berarti dalam Diri Tuhan
terdapat nafas-nafas yang banyak dan berwarna-warni atau bermacam-macam. dan kalau dalam Diri
Tuhan terjadi macam-macam itu, maka berarti masing-masing macamnya membatasi yang lainnya, dan
berarti Tuhan merupakan rangkapan dari macam-macam yang terbatas tadi. dan kalau demikian, berarti
Tuhan akan menjadi terbatas dimana sudah pasti makhluk, bukan Tuhan.

Contoh: Kalau Tuhan mencipta manusia dan kucing secara langsung, berarti dalam diri Tuhan ada dua
kuasa yang berbeda. Hal itu karena keharusan adanya kesenafasan antara sebab dan akibatnya. Kuasa
Tuhan terhadap Penciptaan Manusia, tidak mungkin dijadikan AlatNya untuk mencipta Kucing.

Dengan demikian berarti dalam Diri Tuhan ada Dua Kuasa yang berbeda, yaitu Kuasa Mencipta Manusia
dan Kuasa Mencipta Kucing. dan kalau dalam DiriNya ada dua kuasa saja, apa lagi kalau banyak dan ber-
juta-juta, maka sudah pasti KuasaNya terangkap dari Dua Kuasa atau Banyak Kuasa, dan kalau KuasaNya
memiliki rangkapan dua atau banyak itu, berarti Kuasanya terangkap dari Kuasa-kuasa yang terbatas,
karena masing-masingnya membatasi yang lainnya Sebagaimana maklum, dan kalau Kuasa Tuhan
rangkapan dari Kuasa-kuasa yang terbatas, maka hasilnya juga akan menjadi terbatas. Karena gabungan
keterbatasan juga keterbatasan, walaupun lebih luas. dan kalau Kuasa Tuhan menjadi terbatas, berarti
memiliki awal dan akhir, dan kalau memiliki awal, berarti sebelum awal itu Kuasa itu tidak ada, alias
Tidak Kuasa. dan kalau Tuhan Tidak Kuasa, berarti Dia Terbatas yang, berarti bukan Tuhan lagi karena
pasti Kuasa dan DiriNya itu diadakan oleh yang lainnya.

Dengan penjelasan ini, dapat disimpulkan dengan mudah bahwa sangatlah mustahil makhluk yang
banyak ini dicipta langsung olehNya. Tetapi ingat, ini bukan berarti "Ketidak BisaanNya", tetapi karena
"Ketidak Mungkinan Wujud Rangkap dan Banyak Menyentuh DiriNya yang Maha Tidak Terangkap" itu.
Persis seperti "Tidak Bisanya Diciptakan Tiada" di atas.

Dengan warna bahasa agama, kita mengatakan "Tuhan Maha Suci dari Segala Macam Kekurangan dan
Keterbatasan dan dari Kebersentuhan atau KebernafasanNya dengan Wujud Hina alias Terangkap"

Dengan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ciptaan Tuhan yang pertama haruslah mendekatiNya,
setidaknya lebih dekat dari yang lainnya, atau harus dekat dan mirip sejauh yang memungkinkan bagi
makhlukNya.

Tetapi ingat, karena jarak antara makhluk atau "Yang Terbatas" dengan "Yang Tidak Terbatas" itu
dijaraki dengan "Batasan" dan "Ketidak Terbatasan", maka sudah pasti, jaraknya juga "Tidak
Terbatas".Oleh karenanya, walau kita katakan bahwa makhluk pertama ini mirip dan dekat dengan
Tuhan, itu sekedar perbandingan dengan makhluk-makhluk lain yang akan datang kemudian, bukan
hakikat dekat dan mirip.

Dengan demikian, maka kita dapat pastikan, bahwa makhluk pertama ini mendekati kesempurnaanNya
(ingat ya....ini bukan dekat betulan, tetapi sejauh yang memungkinkan bagi makhluk).

Oleh karenanya, maka makhluk pertama ini adalah non materi mutlak juga, tidak memiliki rangkapan
juga, dan hampir tidak memiliki batasan juga selain bahwa dia Bukan Tuhan.

Tetapi keberlainnya dari Yang Tidak Terbatas itu, maka ia pasti Terbatas juga dan sudah tentu jaraknya
denganNya juga Tidak Terbatas, karena Dia Tidak Terbatas. Kalau makhluk lain, selain memiliki batasan
"SelainTuhan", juga pasti memiliki banyak batasannya, misalnya malaikat Jibril .

Dengan demikian makhluk pertama Tuhan adalah makhluk yang paling afdhal dan paling tinggi dari
makhluk lain kepadanya. dan ingat, bahwa paling dekat di sini bukan berarti tempat, karena belum
dicipta tempat karena tempat/volume milik materi yang sangat berangkap yang tidak mungkin keluar
dariNya secara langsung.

Tetapi dekat dalam artian Maqom Zat atau Wujud yang dimilikinya. Yaitu Non Materi Mutlak, Tidak
Berangkap dalam Nyata dan Ketidak Terbatasannya hanyalah bahwa dia bukan Tuhan, itu saja.

Jadi, makhluk pertama ini sangat hebat kalau dibanding dengan yang lainnya, tetapi tetap sangat rendah
kalau dibanding denganNya, karena Ketidak TerbatasanNya itu.

Tadi dikatakan bahwa makhluk pertama ini "Tidak Berangkap dalam Nyata". Maksudnya adalah tidak
memiliki rangkapan dalam hakikat nyatanya, karena kalau memilikinya akan membuat Tuhan yang
menciptakannya juga akan menjadi terangkap Sebagaimana maklum, tetapi dia memiliki rangkapan itu
dalam akal kita Sebagai ilmu, yaitu bahwasannya dia terangkap dari "Dirinya adalah dirinya" dan "Dirinya
bukanlah Tuhannya".

Nah, dari sinilah muncul makhluk ke dua, dari ke dua muncul ke tiga dan seterusnya, hingga mencapai
"Non Materi Mutlak Terakhir".

Dalam Filsafat, Non Materi Mutlak Pertama itu disebut Sebagai Akal-Pertama, begitu seterusnya sampai
pada Akal-Terakhir. dan dalam agama dikatakan Sebagai Malaikat-Tinggi ('Aaliin lht QS:38:75)

Dalam Filsafat, Irfan dan Akhlak juga disebut dengan Jabarud. Yaitu Non Materi Mutlak yang tidak
memiliki matter/bendawiyah dan juga tidak memiliki sifat-sifat lainnya materi. Karena jasmaniah dan
sifat-sifat lain dari materi itu adalah suatu kerendahan dikarenakan mereka adalah "Keberangkapan
Nyata".

Maaf ada gangguan signal, bagus karena tidak ada yang masuk sebelum roger. Kita terusin lagi,

Bismillah.

Nah, silsilah wujud itu kini sudah mencapai kepada Akal-Terakhir, dimana rangkapan akliahnya, bukan
nyatanya, sudah mendekati kepada makhluk atau wujud setelahnya. Secara profesional filosofinya,
memanglah makhluk Akal dan makhluk setelahnya (selain materi), tidak disebut makhluk, karena
makhluk sama dengan "Bentukan" atau "Kadaran/Takaran/Ukuran".dan disebut dengan
Amrun/Urusan/Kunfayakun/Sekal-ijadi, tetapi karena tidak terlalu menyangkut masalah kita sekarang,
maka kita tinggalkan saja dulu mslh penamaan ini, dan cukup diketahui bahwa semua non materi
disebut Sekali-jad karena tidak memerlukan proses waktu. Jadi, dalam tulisan Saya tentang Akal dan
setelahnya itu (tetapi sblm sampai materi), mungkin akan sering ditulis Sebagai Makhluk, anggap saja
maksudnya adalah ciptaan secara umum. Hal ini untuk memudahkan pemahaman saja.

Setelah silsilah wujud itu sudah sampai pada Non Materi Mutlak Terakhir, maka barulah lahir makhluk
lain yang juga non materi, tetapi tidak mutlak. Makhluk inilah yang dikatakan Sebagai Makhluk-
Barzakh/Antara/Idea/Mitsal/Malakut. Hakikat makhluk ini adalah Non Materi Yang Tidak Mutlak.
Artinya, Non Matter/materi dalam ke-Mater-annya saja, yakni Ketidak Bendawiyahannya saja, atau
Ketidak Volumean Dirinya saja, atau Ketidak Panjangan, Lebaran dan Tebalan Dirinya saja.Tetapi sifat-
sifat lainnya (atau aksidentnya), seperti warna, rasa, bentuk dimiliki olehnya. Oleh karenanyalah mereka
dikatakan Sebagai Non Materi Yang Tidak Mutlak. Hal itu dikarenakan oleh karenanyalah mereka
dikatakan Sebagai Non Materi Yang Tidak Mutlak. Hal itu dikarenakan oleh kepemilikannya terhadap
sifat-sifat materi tersebut. Pewujudan dari makhluk ini, sering kita dalam alam mimpi atau dalam
renungan kita manakala kita membayangkannya, seperti membayangkan ular, kucing , Begitu pula kala
kita memimpikannya, membayangkannya, seperti membayangkan ular, kucing dan sebagainya. Begitu
pula kala kita memimpikannya. Semua ciri materi, ada pada bayangan akal atau mimpi, kecuali ke-
matter-an atau kejasmaniahannya. Wujud Barzakh itu juga demikian.

Mereka itu dalam agama disebut dengan Malaikat-Pengatur-Alam-Materi, seperti dinyatakan dalam QS:
79:5, yakni mengatur pohon, air, hujan, binatang , dan dalam agama lain seperti Hindu dikenal Sebagai
Dewa-dewa. dan dalam Filsafat disebut Sebagai tuhan-species.

Tugas dari tuhan-Species ini adalah melahirkan/mewujudkan species-species atau esensi-esensi materi
dan mengaturnya dengan ijin dan perintah Allah melalui Akal-Satu yang diteruskan kepada Akal-akal
yang lain sampai ke Akal-Terakhir. Jadi, yang memerintah langsung Malaikat-malaikat Pengatur Alam
Semesta ini adalah Akal-Terakhir .

Kalau pembaca teliti maka ada beda yang mencolok antara kedua jenis makhluk ,yakni Akal dan Barzakh
selain dari beda jati diri Sebagaimana sudah diterangkan di atas.Yaitu, pada makhluk jenis Akal, masing-
masing derajat wujudnya hanya dimiliki oleh satu Akal.Yakni, satu posisi dan maqom satu wujud
makhluk Akal. Tetapi dalam makhluk Barzakh, dalam satu maqomnya ini, memiliki banyak makhluk atau
banyak Malaikat/Barzakh. Karena alam atau tingkatan Barzakh ini dipenuhi oleh para malaikat yang
mengatur segala macam esensi atau species yang ada di alam materi dengan ijin dan perintahNya.

Dengan demikian, keberadaan "jumlah" atau "Banyak" (lebih dari satu esensi), dimulai alam atau
makhluk Barzakh ini, sekalipun belum berupa "Jumlah Volume/matter".

Tetapi keberbedaan masing-masingnya dan saling membatasinya, sudah terwujud di tingkatan ini.
Mereka ini memiliki rangkapan dan sifat-sifat paling dekat dengan materi, yakni paling mirip dengan
materi ketimbang makhluk-makhluk Akal. Oleh karenanya sudah layak dan pantaslah kalau alam materi
ini keluar atau terlahir dari pada mereka itu Karena beda mereka dengan alam materi hanya di
kebandaannya. Maka dari mereka bisa dikatakan setingkat di atas materi.
Maka dengan demikian mereka layak dan wajar melahirkan alam materi ini. Artinya antara mereka dan
alam materi ini memiliki kesenafasan dan dan kemiripan Sebagaimana dituntut dalam syarat-syarat
sebab-akibat Sebagaimana telah dijelaskan di atas. dan, dengan terlahirnya makhluk-makhluk Barzak ini,
maka terlahirlah alam materi. Dengan demikian kita telah mengetahui bahwa makhluk memiliki tiga
tingkatan global, Akal, Barzakh dan Materi (Jabarut, Malakut dan Nasut). Atau Non Materi Mutlak, Non
Materi Tidak Mutlak dan Materi. Dan ketiganya disebut dengan "Alam Besar".

Sampai di sini pertanyaan saudara Heirul fikri sudah terjawab. Yakni tentang susunan Alam/Wujud.

Pembahasan Ke Tiga Tentang Lauhu al-Mahfuzh.Sebenarnya, seingat Saya, Saya sudah menulisnya di
Kedudukan Fantastis Imam. Tetapi untuk mengingatkan, Saya akan memberikan isyarat di sini
insyaAllah.

Dengan penjelasan terdahulu, dapat dipahami bahwa Wujud, terbentang sejak dari yang tidak memiliki
sejak, awal dan akhir, yakni Yang Tidak Terbatas, sampai pada wujud materi. Dari Tuhan ke Akal-Satu, ke
Akal-Dua dan seterusnya sampai ke Akal-Akhir (ada yang mengatakan bahwa . Dari Tuhan ke Akal-Satu,
ke Akal-Dua dan seterusnya sampai ke Akal-Akhir (ada yang mengatakan bahwa mereka ada 10
tingkatan dan Akal, tetapi tidak kuat dalilnya), lalu dari Akal-Terakhir ke Barzakh dan kemudian ke
Materi.

Dan karena setiap sebab memiliki kesempurnaan akibatnya secara lebih (karena sebab pasti lebih
sempurna), maka makhluk Barzakh memiliki kesempurnaan Materi, dan Akal-Akhir memiliki
kesempurnaan Barzakh dan Materi, Akal-Sebelum-Akhir memiliki kesempurnaan yang dibawahnya.
Begitu seterusnya ke atas sampai kepada Allah. Tetapi kesempurnaan yang dimiliki sebab, sudah tentu
lebih baik dari yang dimiliki akibat. Oleh karenanya Semakin ke atas atau ke sebab, maka Semakin
berkurang rangkapannya. Dan kekurangan rangkapan ini menjadikannnya, lebih sempurna karena lebih
sedikit keterikatannya, yaitu pada masing-masing rangkapannya tersebut, atau Semakin me-non-materi,
maka kesempurnaan tersebut Semakin tinggi lantaran, rangkapannya Semakin sedikit (seperti Barzakh)
atau bahkan tidak terangkap (seperti Akal).

Dengan kata lain, kesempurnaan Alam Materi ada di dalam Barzakh, Barzakh ada di dalam Akal dan Akal
di dalam Tuhan

Tetapi ingat, "Dalam" di sini bukan Sebagai tempat, karena Barzakh ke atas Non Materi, dan begitu pula
Semakin ke atas Semakin "Sederhana" atau Semakin sedikit rangkapannya dan ketika sampai ke Akal-
Terakhir, maka "Rangkapan Nyata" itu jadi hilang, apalagi dan ketika sampai ke Akal-Terakhir, maka
"Rangkapan Nyata" itu jadi hilang, apalagi ketika sampai ke Akal berikutnya, sampai ke Akal-Satu dan ke
Tuhan.

Misalnya, Qur an yang ada di materi, memiliki tulisan dan ucapan yang materi, tetapi di Barzakh hanya
berupa ayat-ayat yang tidak tertulis dan terbaca secara materi. Dan begitu sampai ke-Akal atau malaikat
tinggi ini, maka rangkapan ayat-ayat dan huruf-huruf itu menjadi sirna. Akal atau malaikat tinggi ini,
maka rangkapan ayat-ayat dan huruf-huruf itu menjadi sirna. Begitu pula ketika sampai pada Akal-Satu
dan Tuhan. Semua rangkapan ayat-ayat dan huruf-huruf itu tidak mungkin terwujud secara rangkapan
ayat-ayat dan huruf, karena kalau terwujud, maka Akal dan Tuhan akan memiliki rangkapan yang akan
menjadikan mereka terbatas Sebagaimana maklum.

Memang, Akal tidak sama dengan Tuhan, karena Akal terbatas. Akan tetapi keterbatasannya bukan
karena rangkapan yang ada di dalam dirinya, karena mereka tidak memiliki rangkapan Sebagaimana
maklum. Jadi, keterbatasan mereka, karena mereka bukan Tuhan. Begitu juga wujud-wujud materi
lainnya seperti manusia, batu, tanah . Mereka ini Semakin ke atas maka Semakin sederhana dari
rangkapan dan bahkan sampai tidak memiliki rangkapan sama Sekali seperti Akal-akal dan Tuhan.

Disamping rangkapan, gerak dan proses materi juga demikian. Maka Semakin ke atas perubahan-
perubahan yang ada, terjadi di luar waktu dan jaman, seperti kita bermimpi berjalan, makan dan
sebagainya dan bahkan, ketika sampai ke Akal dan, apalagi Tuhan, maka perubahan-perubahan itu
sudah tidak terjadi lagi. yang, jangankan perubahan-perubahan dalam waktu, perubahan-perubahan di
luar waktu juga tidak terjadi lagi,karena Akal dan Tuhan, sama-sama Non Materi Mutlak yang tidak
memiliki rangkapan sedikitpun dan ketika wujud itu tidak memiliki rangkapan, maka sudah pasti
mustahil berubah.

Karena perubahan adalah dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Sementara yang tidak punya tidak
mungkin memiliki "Keadaan", karena "Keadaan" adalah susunan tertentu dari bagian-bagian yang
dimilikinya.

Dan "Perubahan Keadaan ke Keadaan Yang Lain" artinya dari susunan tertentu ke susunan yang lain.
Sementara yang tidak memiliki rangkapan, tidak mungkin memliki susunan-susunan itu hingga berubah
ke susunan yang lainnya.

Dengan penjelasan di atas itu, dapat dipahami bahwa "Jumlah dalam Volume" dan Perubahan dalam
Waktu" itu, terjadi hanya pada Materi. Sementara "Jumlah bukan Volume/jasmaniyah" dan "Perubahan
tidak dalam Waktu" atau Perubahan Kunfayakuni", terjadi pada Barzakh. Sedang yang "Satu", "Tidak
Terangkap" dan "Tetap/Tsabit" terjadi sejak dari Akal-Terakhir sampai dengan Akal-Satu dan Tuhan. Jadi,
kehiruk pikukan itu, hanya terjadi di malaikat Barzakh dan terlebih di alam Materi.

Begitu pula perubahan-perubahan, baik dalam waktu atau tidak, hanya terjadi di Alam Materi sampai
Barzakh saja.

Dengan penjelasan ini, maka dapat ditarik kesimpulan pasti, bahwa Lauhu al-Mahfuzh itu tidak mungkin
ada di alam Materi dan Barzakhi. Dan karena ia adalah kitab setingkat di atas kitab Qada dan Qadar,
maka ia adalah Akal-Terakhir itu. Ingat, Qada dan Qadar di sini tidak seperti yang diyakni agama Hindu
bahwa semuanya sudah ditentukan oleh Tuhan Dan dalam filsafat, Akal-Terakhir itu juga dikenal dengan
'Arsy Allah.
Karena 'Arsy adalah Kursi Singgasana yang diduduki oleh seorang raja ketika Sedang memerintah
rakyatnya melalui menteri-materinya. Dan karena malaikat Barzakh itu adalah "Malaikat Pengatur Alam
Materi" dan karena kepengaturan mereka itu Sebagai kepanjangan tangan Tuhan, maka sudah
selayaknya kalau Tuhan "duduk" di kursi singga sanaNya itu. Dan karena "Duduk" di sini adalah Tuhan
yang bukan materi dimana kursinya juga pasti bukan materi, maka yang dimaksudkan duduk di atas
'Arsy adalah "Maqom Allah yang ada di derajat Akal-Akhir tersebut". Katakanlah Tangan Allah yang ada
di Akal-Akhir tersebut, yakni dengan kata lain, adalah Akal-Akhir itu sendiri.

Jadi, Allah duduk di atas 'Arsy (QS: 7:54), maksudnya adalah Allah menduduki dan mengontrol serta
menguasai Akal-Akhir tersebut. Yakni dengan bahasa gamblangnya, Allah memakai Akal-Akhir itu untuk
mengatur alam Materi melalui para mentriNya, alias malaikat pengatur tersebut

Pembahasan ke Empat Tentang Empat Perjalanan.

Empat Perjalanan ini ada yang Irfanis dan ada yang Mulla Shadrais. Dan sudah tentu Mulla Shadra
mengambil dari Irfan. Akan tetapi, sebelum Saya terangkan mengenainya, perlu terlebih dahulu untuk
menerangkan tentang "Alam-Kecil", yaitu "Manusia".

Manusia adalah paling sempurnanya wujud Materi, karena Ruhnya pulang afdhalnya ruh yang ada di
alam materi. Perlu diketahui bahwa setiap benda memiliki Ruh atau unsur non materi yang mengelola
materinya secara langsung. Yakni Tuhan melalui malaikat-malaikat species itu membuat materi dan
meniupkan ruh ke dalam masing-masingnya, untuk mengelola badaniahnya. Batu, tanah, air, tumbuhan,
hewan dan manusia memiliki unsur non materi yang mengatur badannya sesuai dengan kesempurnaan
yang dimilikinya. Adanya ruh pada setiap materi ini, sudah dibuktikan di Wahdatul Wujud bagian: 2.

Pengelolaan ruh terhadap badan materi ini sesuai dengan aktifitas yang dimilikinya Kalau benda-benda
yang kelihatan mati, berarti ruhnya pula rendah. Karena hanya mengatur putaran-putaran atomnya dan
yang semacam itu. Tentu saja selain dzikir setiap makhluk untuk Tuhannya sesuai dengan derajatnya
masing-masing. Dalam QS: 64:1 Allah berfirman bahwa semua apa-apa yang ada di langit dan bumi
bertasbih kepadanya.

Akan tetapi Tumbuhan, dia lebih sempurna sedikit dari bebatuan. Karena di dalam terdapat kehidupan
dan perkembangan. Ruh-batu dan semacamnya, kita namai dengan "Ruh-Tambang", dan ruh tumbuhan
kita namai dengan "Ruh Tumbuhan". Dan kerja Ruh-Tumbuhan ini adalah selain mengatur putaran-
putaran atom badannya Sebagaimana ruh-batu, ia juga mengatur pertumbuhannya. Dan kalau Ruh-
Binatang, maka disamping mengatur dua hal itu, juga mengatur gerak-gerak ikhtiarnya. Sementara Ruh-
Manusia, disamping yang tiga itu, juga mengatur pikirannya atau akalnya. Dan karena akal manusia ini
sangat dekat (dibanding yang lainnya) dengan makhluk Akal-Akhir, maka ia adalah materi yang paling
afdhal dan utama.

Bukti kedekatan manusia dengan Akal, adalah bahwa manusia memiliki akal atau rasio hingga dikatakan
Rasional. Ingat, akal manusia bukan makhluk Akal. Akal manusia ini adalah alat untuk memahami
universal. Sedangkan universal adalah "Pahaman Yang Memiliki Lebih dari Satu keberadaan nyata atau
ekstensi". Atau "Pahaman yang Bisa Diterapkan pada lebih dari satu keberadaan". Sedangkan mengapa
satu pahaman seperti manusia atau pohon bisa diterapkan ke banyak atau lebih dari satu keberdaan?

Misalnya Ahmad, Hasan, Husain...dan seterusnya, atau pohon ini, pohon itu, pohon di sini, pohon di
sanadan seterusnya?

Jawabannya adalah karena pada "Pahaman Pohon" itu kita telah meniadakan cirri-ciri tertentunya.
Misalnya ukurannya, warnanya, jumlah ranting dan daunnya dan seterusnya. Oleh karena ketiadaan
ukuran dan sifat-sifat tertentunya itulah, maka pahaman tersebut bisa diterapkan ke semua pohon yang
ada di alam nyata. Dan ini, mirip Sekali dengan keadaan Akal-Akhir yang meliputi semua kesempurnaan
di bawahnya.

Karena kalau pahaman pohon itu sudah diidentikkan dengan keadaan tertentu, begitu pula kalau Akal-
Akhir itu juga diidentikkan dengan Barzakh tertentu, maka pahaman pohon itu hanyak bisa

diterapkan pada satu pohon, dan tidak akan mencakup yang lainnya. Begitu pula tentang Akal-Akhir
kalau hanya meliputi satu Barzakh, maka dia tidak lagi akan bisa meliputi malaikat-malaikat lain yang
ada di Barzakh itu. Kalau sudah demikian, maka pahaman pohon tadi tidak lagi universal, dan Akal-Akhir
tadi tidak lagi Sebagai sebab bagi Barzakh.

Padahal pahaman pohon itu adalah universal dan Akal-Akhir adalah sebab bagi semua Barzakh dimana
menuntut kepemilikannya terhadap semua makhluk Barzakh dimana membuatnya juga mencakupi
semua makhluk Barzakh tersebut.

Dengan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa manusia memiliki unsur badani atau materi, dan memiliki
unsur ruh. Dan ruhnya ini terbentang dari ruh-tambang ke ruh-tumbuhan, lalu ke ruh-hewan sebelum
kemudian ke ruh-akliahnya. Ingat, ruh manusia dan ruh apa saja, adalah satu dan non materi. Tetapi ada
yang memiliki satu kekuatan saja dan ada pula yang memiliki lebih dari satu kekuatan. Seperti ruh
manusia ini memiliki empat kekuatan, tambang, tumbuhan, hewaniah dan akliah.

Dengan demikian manusia memiliki unsur badani, ruhi barzakhi (karenanya semua ilmunya tidak
berbadaniah, karena kalau ilmunya berbadan, maka otaknya akan hangus manakala membayangkan dan
mengetahui api), dan ruh akliah. Dan semua ini, mirip Sekali dengan Alam-Besar itu.

Oleh karenanya manusia dikatakan Alam-Kecil. Katakanlah "Miniatur dari alam semesta dan ketiga
tingkatannya itu".Empat Perjalanan yang dimaksud dalam Irfan adalah dari Makhluk ke Khaliq, dan Dari
Khaliq ke Kahliq, lalu dari Khaliq ke Makhluq bersama Khaliq, sebelum kemudian dari Makhluk ke Khaliq
bersama Makhluk.

Perjalanan manusia yang pertama itu dimulai dari materi ke barzakhi, lalu ke Akal dan ke Allah.
Maksud ke Allah, bukan menjadi Allah, tetapi mengembalikan khayalan "Kepemilikan Ada" yang ada
pada kita.

Sebagaimana sudah dibuktikan dalam Wahdatul Wujud, bahwa yang Ada hanya Allah, maka kita dan
alam sekitar ini adalah bukan ada, dan hanya Sebagai bayangan atau hikayat tentang Ada itu Oleh
karenanya perasaan memiliki ini harus ditiadakan hingga "ada" itu dalam tatapan kita menjadi milikNya
semata. Kenapa dalam tatapan kita? Karena dari awal memang milikNya dan tak pernah dimiliki
selainNya. Maqom pengembalian "Ada" inilah yang dikenal dengan "Fana' ".

Caranya secara global adalah, melakukan semua kewajiban dengan baik, meninggalkan seluruh yang
diharamakaan, dimakruhkan, karamat, fadhilah, surga, 'Arsy dan seterusnya dari apa-apa selain Allah.

Perjalanan Pertama ini akan berhenti manakala sampai pada Akal-Pertama.

Akan tetapai manusia tidak boleh menyukainya kalau ingin meneruskan perjalannya. Yakni kalau ingin
menyempurnakan Perjalanan Pertamannya. Nah, ketika ia tidak suka pada diri dan maqamnya yang
sudah sampai di tingkat Akal-Satu itulah, hingga ia hanya melihat Adanya saja, maka itulah yang
dikatakan "Akhir Dari Perjalan Pertama" yang disebut pula dengan "Fana".

Setelah Perjalan Pertamanya selesai dan dia sekarang hanya melihat Allah, dan tidak lagi melihat lainnya
karena memang tidak ada, maka mulailah ia berjalan di antara sifat-sifatNya. Dengan kata lain : mulailah
tersingkap satu persatu sifat Tuhannya, dimulai dari yang sifat pulag bawah, yaitu Sifat-sifat Perbuatan
atau A'mal, sampai ke Sifat-sifat Zati.

Itulah yang dikatakan Perjalan Ke Dua. Yaitu perjalanan dari Khaliq ke Khaliq. Setelah itu, dengan ijinNya,
dia kembali lagi ke Makhluk, tetapi bukan berarti menganggapnya makhluk ini ada dan disukainya lagi.
Karena dia kembali sudah dengan kefanaannya itu.

Yakni kembali dengan Tuhannya. Artinya dia yang tadinya hanya hakikat tajalli Tuhan tanpa melihatnya,
kini dia telah melihat tajalli itu. Oleh karenanya dia tidak pernah lagi keluar ke merasa wujudnya lagi
sebagaiman sebelum fana'.

Ketika ia kembali dengan Khaliqnya yakni dengan ketiada beradaannya dan keberadaan Khaliqnya, maka
ia telah benar-benar merasakan tajalli itu. Oleh karenanya ia telah menjadi Mata Tuhan untuk
melihat...dan seterusnya Sebagaimana yang diriwayatkan di hadits Qudtsi. Oleh karena itulah Allah
dalam QS: 53:4, mengatakan bahwa Nabi saww itu tidak bicara apapun kecuali wahyu yang diwahyukan
padanya. Ini bukan berarti wahyu yang berupa Qur an saja, karena Allah mengatakan "Tidak
mengatakan apapun" dimana kalaimat ini mencakupi selain Qur an, yaitu pembicaraan se-hari-hari.

Setelah ia kembali di antara makhluk bersama Khaliknya dengan makna di atas tadi itu, maka ia mulai
meneruskan perjalannya dengan mengajak makhluk kepada Kahliq.
Inilah sekelumit tentang Empat Perjanan Irfani itu.

Tambahan, pembaca bisa merujuk ke catatanku tentang Kedudukan fantastis Imam, dimana Saya
membuktikan kelayakan manusia Sebagai khalifah dan ketidak layakan yang lainnya. Hal itu karena,
manusia memiliki semua unsur makhluk, dari materi sampai mendekati Akal, dan mencapainya
manakala melakukan perjalanan seperti yang diterangkan di sini ini. Oleh karena itulah, yakni karena
manusia sempurna memiliki semua unsur, maka bisa menjadi Khalifah Tuhan untk meminpin semua
makhluk secara langsugn sesuai dengan derajat masing-masing makhluk. Yang mahkluk materi
dipimpinnya dengan ruh-materinya, yang tumbuhan dengan ruh-tumbuhannya, yang binatang dengan
ruh kehewanannya, yang Barzakhi dengan ruh-barzakhnya dan yang Akal dengan ruh-akliahnya yang
sudah mencapai Fana, perjalanan dua dan tiga itu. Maka itulah Nabi saww disebut Sebagai Rahmatan Li
al-'Alamin atau rahmat bagi segenap alam-alam, yakni materi, barzakhi dan akal auliah.

Sedang Empat Perjalanannya Mulla Shadra ada dua macam, ada yang Irfani dimana sama dengan
penjelasan di atas, ada juga yang Filosofi sebagaiamana yang akan Saya terangkan sekarang. Mulla
Shadra, ketika menulis Filsafat meniru cara perjalannya Irfan. Yakni filsafat yang memberjalankan akal
dan pikiran dianalogikan dengan pemberjalanan Ruh manusia.

Oleh karena itu pembahasan filsafatnya dibagi atas 4 bagian itu. Yakni dari Makhluk ke Khalik,

Perjalanan filsafat dari Makhluk ke Khalik adalah Mempelajari Wujud-wujud Terbatas Seperti
pembahasan tentang ada, esensi, substansi, aksiden, gerak...dan semacamnya. Dan pembahasan
pertama tersebut diakhiri dengan pembahasan pembuktian Tuhan. Maka perjalan pemikiran dan ilmu
itu sudah layak dikatakan dari makhluk ke Khalik

Setelah Pembahasan Pertamanya selesai, maka Mulla Shadra membahas tentang Tuhan itu sendiri. Baik
dari Zat atau Sifat-sifatNya. Setalah itu Mulla Shadra membuktikan keberadaan makhluk dengan
keberadaan Khalik. Persis Sebagai oposan dari perjalanan pertama. Karena yang pertama membuktikan
Tuhan dengan makhluk. Tetapi pada pembahasan ke tiga ini sebaliknya, yakni membuktikan keberadaan
makhluk dengan keberadaan Khaliknya. Baru Setelah itu Mulla Shadra membahas jiwa atau ruh manusia
Sebagai wujud yang bisa kembali ke sumber awalnya.

Di pembahasan akhir ini beliau membahas hakikat ruh manusia, potensinya, bisa-tidaknya kembali pada
Khaliknya, apa arti kembali di sini,

Anda mungkin juga menyukai