Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Filariasis atau Elephantiasis atau disebut juga penyakit kaki gajah adalah

penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

gigitan berbagai jenis nyamuk. Diperkirakan penyakit ini telah menginfeksi sekitar

120 juta penduduk di 80 negara, terutama di daerah tropis dan beberapa daerah

subtropis. Penyakit filariasis bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapat

pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembengkakan kaki, lengan,

payudara, dan alat kelamin baik pada wanita maupun pria. Meskipun filariasis tidak

menyebabkan kematian, tetapi merupakan salah satu penyebab timbulnya kecacatan,

kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya (Depkes RI, 2005).

Filaria limfatik yang terdiri dari Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia

timori merupakan spesies cacing filaria yang ditemukan di dunia. Penyebarannya

tergantung dari spesiesnya. Wuchereria bancrofti tersebar luas di berbagai negara

tropis dan subtropis, menyebar mulai dari Spanyol sampai di Brisbane, Afrika dan

Asia (Jepang, Taiwan, India, Cina, Filippina, Indonesia) dan negara-negara di Pasifik

Barat (Sudomo, 2008).

Filariasis di Indonesia pertama kali dilaporkan oleh Haga dan van Eecke pada

tahun 1889 di Jakarta yaitu dengan ditemukannya penderita filariasis skrotum. Pada

saat itu pula Jakarta diketahui endemik filariasis limfatik yang disebabkan oleh

Brugia malayi (Sudomo, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Tingkat endemisitas penyakit filariasis di Indonesia berdasarkan hasil survei

darah jari pada tahun 1999 mencapai rata-rata Microfilaria rate (Mf-rate) 3,1 %

dengan kisaran 0,5 – 19,64 % hal ini berdasarkan perhitungan jumlah semua yang

positif dibagi dengan jumlah yang diperiksa dikali seratus persen (Depkes RI, 2005).

Berdasarkan hasil survei cepat yang dilakukan oleh Depkes RI tahun 2000,

diperkirakan ± 10 juta penduduk sudah terinfeksi filariasis dengan jumlah penderita

kronis (elephantiasis) ± 6500 orang yang tersebar di 1.553 desa, di 231 Kabupaten

dan 26 Propinsi. Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena

hanya 3.020 Puskesmas (42%) dari 7.221 Puskesmas yang menyampaikan laporan

(Depkes, 2005).

Di Propinsi Jambi kasus filariasis mengalami peningkatan dari 127 penderita

tahun 2003 menjadi 139 penderita tahun 2005. Kabupaten Tanjung Jabung Barat

daerah endemis filariasis (Mf rate 2,63%) dengan keadaan daerah banyak hutan dan

berawa gambut, lingkungan yang tidak memenuhi standar kesehatan (Putra, 2007).

Di Kabupaten Kepulauan Mentawai telah ditemukan kasus kronis filariasis

limfatik. Pada tahun 2003 pemerintah mengambil langkah dan melakukan survei

darah jari di Desa Simalegi Kecamatan Siberut Utara. Hasil survei diperoleh jumlah

slide positif spesies Brugia malayi sebanyak 11 orang dengan kepadatan Microfilaria

rate (Mf –rate) sebanyak 2,92% (Tomar, 2007).

Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Pekalongan Propinsi Jawa

Timur diketahui bahwa jumlah kasus kronis filariasis yang ditemukan meningkat dari

tahun ke tahun. Pada tahun 2002 hanya ditemukan 7 kasus namun pada tahun 2003,

2004 dan 2005 meningkat berturut-turut menjadi 34, 39, dan 42 kasus sedangkan

Universitas Sumatera Utara


pada tahun 2006 ditemukan 48 kasus kronis filariasis Pada tahun 2005 juga telah

dilakukan kegiatan survei darah jari di salah satu desa di Kecamatan Tirto yang

menunjukkan Microfilaria rate (Mf rate) 2,8% (Febriyanto, 2008).

Secara keseluruhan jumlah penderita filariasis di Indonesia sampai dengan

tahun 2008 mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 ada 8.243 dan meningkat

menjadi 11.699 pada tahun 2008. Ada tiga propinsi di Indonesia dengan kasus

terbanyak berturut-turut, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Timur,

dan Papua (Depkes RI, 2009).

Berdasarkan survei darah jari yang dilakukan Departemen Kesehatan tahun

2005 terdapat enam Kabupaten di Sumatera Utara yang dinyatakan endemis filariasis;

Tapanuli Selatan (3%), Nias (2,2%), Asahan (2,1%), Deli Serdang (1,4), Serdang

Bedagai (1,3%), dan Labuhan Batu (1,%). Sesuai ketentuan yang dibuat World

Health Organization (WHO), jika Survei Darah Jari (SDJ) diatas 1% hal itu berarti

daerah tersebut sudah dalam kategori endemis transmisi filariasis dan memenuhi

syarat pengobatan massal (Dinkes Propinsi Sumut, 2005).

Berdasarkan laporan tahunan Program P3B2 didapat data mengenai distribusi

kasus filariasis di Sumatera Utara tahun 2007, 2008, 2009 secara rinci dapat dilihat

pada Tabel 1.1 berikut:

Universitas Sumatera Utara


Table 1.1. Distribusi Kasus Filariasis di propinsi Sumatera Utara Tahun 2007,
2008, dan 2009
Tahun
No Kabupaten/Kota
2007 2008 2009
1 Nias 7 - -
2 Mandailing Natal 3 7 10
3 Tapanuli Selatan 8 14 14
4 Tapanuli Tengah 2 5 5
5 Tapanuli Utara - - -
6 Toba Samosir - - -
7 Labuhan Batu 28 20 20
8 Asahan 18 - -
9 Simalungun - - -
10 Dairi - 1 1
11 Karo - - -
12 Deli Serdang 7 - 2
13 Langkat 1 - -
14 Nias Selatan 1 - -
15 Humbang Hasundutan - - -
16 Pak-pak Barat - 2 2
17 Samosir - - -
18 Serdang Bedagai 12 1 1
19 Batubara - - -
20 Padang Lawas - 2 1
21 Padang Lawas Utara - - 2
22 Sibolga - - -
23 Tanjung Balai 1 - -
24 Pematang Siantar - - -
25 Tebing Tinggi - - -
26 Medan 1 - -
27 Binjai 5 - -
28 Padang Sidempuan - - -
Jumlah 94 52 58
Sumber: Laporan Tahunan Pencegahan Pemberantasan Penyakit Bersumber
Binatang (P3B2) Tahun 2007, 2008, dan 2009.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan penuturan petugas di Seksi Pencegahan Pemberantasan Penyakit

Bersumber Binatang (P3B2) Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara ibu Neti

Aritonang, terjadi penurunan jumlah penderita filariasis pada tahun 2009. Penderita

filariasis meninggal dunia karena berusia lanjut. Pada saat penemuan kasus kronis

filariasis, penderita telah menderita filariasis puluhan tahun.

Berdasarkan survei pendahuluan di Seksi Pencegahan Pemberantasan

Penyakit Bersumber Binatang (P3B2) Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara

didapatkan informasi bahwa ada empat Kabupaten/Kota di Sumatera Utara yang aktif

menyelenggarakan program pemberantasan filariasis. Empat Kabupaten/Kota itu

adalah Tapanuli Selatan, Labuhan Batu, Nias dan Deli Serdang.

Program pemberantasan filariasis yang dilakukan oleh Dinas Kabupaten/Kota

adalah program yang disepakati secara nasional oleh Menteri Kesehatan, Gubernur

dan Bupati/Walikota seluruh propinsi di Indonesia. Dinas Kesehatan propinsi

Sumatera Utara mempunyai program pemberantasan filariasis yang meliputi

pengobatan massal yang sudah berjalan dua putaran sampai dengan tahun 2009 di

Kabupaten Tapanuli Selatan, Labuhan Batu, Deli Serdang dan Nias; survei darah jari

yang sudah berjalan dua kali di Kabupaten Tapanuli Selatan, Labuhan Batu dan Deli

serdang; dan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara mengundang para Kepala

Dinas Kesehatan Kab/Kota beserta Bupati/Walikota untuk membahas program

pemberantasan filariasis yang memerlukan kerja sama di berbagai sektor. Dinas

Kesehatan Propinsi Sumatera Utara melakukan pembinaan kepada Dinas Kesehatan

Kab/Kota dalam pemberantasan filariasis dengan mengadakan penyuluhan ketika

Universitas Sumatera Utara


hendak melakukan pengobatan massal dan survei darah jari (Dinkes Propinsi Sumut,

2005).

Hasil penelitian Departemen Kesehatan RI bersama Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI) pada tahun 2000 menunjukkan bahwa

biaya pengobatan dan perawatan yang diperlukan oleh seseorang penderita filariasis

sekitar 17,8 % dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,3 % biaya makan. Dengan

demikian penderita akan menjadi beban keluarga dan negara (Depkes RI, 2005).

Pada tahun 1994 World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa

penyakit kaki gajah dapat dieliminasi. Pada tahun 1997 World Health Assembly

(WHA) membuat resolusi tentang eliminasi penyakit kaki gajah. Pada tahun 2000

WHO telah menetapkan komitmen global untuk mengeliminasi penyakit kaki gajah.

Menyusul kesepakatan global tersebut, pada tahun 2002 Indonesia mencanangkan

gerakan eliminasi penyakit kaki gajah disingkat Elkaga pada tahun 2020 (Depkes RI,

2002). Eliminasi filariasis bertujuan untuk menurunkan angka Mikrofilaria rate

menjadi < 1 % sehingga filariasis tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat

(Depkes RI, 2005).

Dalam program tersebut diatas disepakati bahwa pemberantasan filariasis

limfatik digunakan metode yang sama di semua negara endemis yang telah

berkomitmen untuk memberantas filariasis limfatik, yaitu dengan Diethyl

Carbamazine Citrate (DEC) dan Albendazole setahun sekali selama 5 (lima) tahun

berturut-turut. Selain itu dilakukan perawatan terhadap penderita filariasis kronis

(Sudomo, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Dari hasil penelitian Partono tahun 1985 dalam Helfenida (2007) dinyatakan

bahwa di Sumatera Utara cacing Brugia malayi tipe subperiodik nokturna

(mikrofilaria berada pada darah tepi pada siang dan malam hari) terdapat di Pantai

Utara dengan ciri daerah hutan bakau dan rawa-rawa serta di beberapa tempat di

perkebunan karet. Ada indikasi vektornya berupa Mansonia uniformis.

Berdasarkan survei pendahuluan di Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang,

pelaksanaan pemberantasan filariasis dipusatkan pada daerah endemis filaria yang

didasarkan pada Survei Darah Jari yang dilakukan pada tahun 2005 dan di mana

ditemukan penderita filariasis. Daerah endemis filaria di Kabupaten Deli Serdang

adalah Kecamatan Patumbak dan Kecamatan Pagar Merbau. Di dua kecamatan ini

telah dilakukan pengobatan massal sebanyak 2 kali putaran (pada tahun 2008 dan

2009) dan survei darah jari sebanyak dua kali (pada tahun 2005 dan 2007) serta

dilakukan penyuluhan oleh petugas puskesmas ketika hendak melakukan pembagian

obat anti filariasis.

Daerah di Kecamatan Patumbak yang ditetapkan sebagai daerah endemis

filaria yaitu Desa Sigara-gara dan Desa Lantasan Lama. Hal ini ditetapkan

berdasarkan hasil survei darah jari yang dilakukan pada tahun 2005 daerah tersebut

yang mencapai angka Mf-rate 1,4%. Sebuah daerah dikatakan endemis filaria bila

mempunyai Mf-rate di atas 1%. Dengan Mf-rate di atas 1 %, maka desa Sigara-gara

dapat dikatakan daerah endemis filaria.

Berdasarkan laporan Puskesmas Patumbak, terdapat dua orang penderita

filariasis yang terdaftar di Puskesmas Patumbak. Penderita filariasis itu tinggal di

dusun I Desa Sigara-gara dan Lantasan Lama. Pada saat ini penderita filariasis

Universitas Sumatera Utara


tersebut sudah berusia lanjut. Dahulunya mereka bekerja sebagai petani. Penderita

filariasis itu mengalami pembengkakan di daerah kaki.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pegawai puskesmas yang menangani

program pemberantasan Filariasis, Puskesmas Patumbak melakukan pengobatan

massal yang sudah berjalan dua kali putaran (Desember 2009 – Januari 2010 dan

Desember 2009 – Maret 2010), survei darah jari satu tahun setelah pengobatan massal

dilakukan dan terlaksana dua kali (tahun 2005 dan 2007), serta penyuluhan kepada

warga desa ketika akan dilakukan pengobatan massal. Mekanisme pembagian obat

anti filariasis dilakukan oleh bidan desa dengan mendatangi rumah warga. Pembagian

obat anti filariasis dilakukan pada pagi hari. Obat anti filariasis yang dibagikan

kepada warga terdiri dari DEC, Albendazole dan Paracetamol. Pada saat pembagian

obat anti filariasis, petugas kesehatan melakukan penyuluhan tentang filariasis dan

pengobatan massal.

Jumlah penduduk Kecamatan Patumbak yang berpartisipasi dalam

pengobatan massal pada bulan Desember 2008 - Januari 2009 sebanyak 50.608 jiwa

(77,9%) sedangkan dalam pengobatan massal pada bulan Desember 2009 – Januari

2010 sebanyak 45.191 jiwa (75,04%). Jumlah penduduk Desa Sigara-gara Kecamatan

Patumbak yang berpartisipasi dalam pengobatan massal pada bulan Desember 2008 -

Januari 2009 sebanyak 4896 jiwa (75%) sedangkan pada bulan Desember 2009 –

Januari 2010 hanya 4635 jiwa (71,60%). Terdapat penurunan jumlah warga yang ikut

dalam pengobatan massal.

Perilaku manusia menjadi faktor yang menentukan terjangkitnya seseorang

akan penyakit filariasis sebab sebagus apapun program yang dilakukan oleh

Universitas Sumatera Utara


pemerintah tanpa peran aktif masyarakat dalam program pemberantasan filariasis ini

tidak akan mencapai hasil yang diharapkan (Yustina, 2005).

Perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang

diamati maupun yang tidak diamati, yang berkaitan dengan pemeliharaan dan

peningkatan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan meliputi mencegah atau melindungi

diri dari penyakit dan masalah kesehatan lainnya, meningkatkan kesehatan, dan

mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan (Notoatmodjo,

2005).

Perilaku kesehatan, yang dalam hal ini partisipasi masyarakat dalam program

kesehatan dipengaruhi oleh karakteristik manusia itu sendiri, lingkungan kondusif

yang memungkinkan tumbuhnya partisipasi meliputi norma, keberadaan institusi

lokal, dukungan tokoh masyarakat, dan pelayanan kesehatan yang memberikan

pendidikan kesehatan melalui penyuluhan (Soetomo, 2006).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Helfenida di Kabupaten Labuhan Batu

tahun 2007 menyebutkan bahwa pengetahuan, sikap, tindakan penggunaan kelambu,

dan pernah tinggal serumah dengan penderita mempunyai pengaruh terhadap

kejadian filariasis.

Mendukung penelitian Helfenida, penelitian yang dilakukan oleh Azhari di

Kabupaten Asahan (2007) menyebutkan bahwa pengetahuan, sikap, pendapatan, dan

pendidikan memengaruhi partisipasi masyarakat dalam tindakan pencegahan penyakit

filariasis

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian

tentang bagaimana pengaruh karakteristik (meliputi: umur, pendidikan, dan

Universitas Sumatera Utara


pendapatan) dan persepsi kepala keluarga tentang program Pemberantasan Filariasis

(meliputi: pengobatan massal, survei darah jari, dan penyuluhan) terhadap tindakan

Pencegahan Filariasis di Desa Sigara-gara Kecamatan Patumbak tahun 2010.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi

perumusan masalah adalah: Bagaimana pengaruh karakteristik (meliputi: umur,

pendidikan, pendapatan) dan Persepsi Kepala Keluarga tentang program

Pemberantasan Filariasis (meliputi: pengobatan massal, survei darah jari, dan

penyuluhan) terhadap tindakan Pencegahan Filariasis di Desa Sigara-gara Kecamatan

Patumbak tahun 2010.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik (meliputi:

umur, pendidikan, dan pendapatan) dan persepsi Kepala Keluarga tentang program

Pemberantasan Filariasis (meliputi: pengobatan massal, survei darah jari, dan

penyuluhan) terhadap tindakan Pencegahan Filariasis di Desa Sigara-gara Kecamatan

Patumbak tahun 2010.

1.4. Manfaat Penelitian

a. Sebagai masukan bagi masyarakat di Desa Sigara-gara Kecamatan Patumbak

dalam meningkatkan perilaku hidup sehat terhadap pencegahan penyakit filariasis

dan mematuhi pengobatan massal secara berkala terhadap pemberantasan

filariasis.

Universitas Sumatera Utara


b. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Patumbak dalam upaya pemberantasan

filariasis.

c. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang dalam

proses pengambilan kebijakan dalam pemberantasan filariasis.

d. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain dan sebagai bahan referensi di

perpustakaan FKM USU.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai