Anda di halaman 1dari 31

International consensus guidelines for the diagnosis and

management of food protein–induced enterocolitis syndrome:


Executive summary—Workgroup Report of the Adverse
Reactions to Foods Committee, American Academy of
Allergy, Asthma & Immunology
Food protein–induced enterocolitis (FPIES) merupakan penyakit alergi
makanan non-IgE cell mediated yang dapat menyebabkan kondisi gawat darurat
dan menimbulkan syok. Meskipun penyakit ini berpotensi menjadi berat,
kesadaran akan penyakit FPIES ini masih rendah. Beberapa studi memberikan
wawasan ke dalam patofisiologi, diagnosis, dan manajemen yang dinilai masih
kurang; dan hasil outcome klinis tidak ditetapkan dengan baik.

Konsensus ini adalah hasil kerja yang dilakukan oleh grup internasional
yang diselenggarakan melalui Adverse Reactions to Foods Committee of the
American Academy of Allergy, Asthma &
Immunology and the International FPIES Association. Ini adalah pedoman
berbasis internasional pertama untuk meningkatkan diagnosis dan manajemen
pasien dengan FPIES.

Penelitian mengenai prevalensi, patofisiologi, marker diagnostic dan terapi


di masa yang akan datang merupakan perihal yang penting untuk meningkatkan
kepedulian terhadap pasien dengan FPIES. Panduan ini nantinya akan
diperbaharui secara periodik jika telah terdapat bukti dan penelitian yang lebih
lanjut.

Literatur komprehensif telah dilakukan dengan bantuan asisten


perpustakaan penelitian, dengan menggunakan PubMed/Medline, Web of Science,
dan Embase. Total terdapat 879 sitasi diidentifikasi sampai 2014. Dari seluruh
penelitian ini, diterima sebanyak 110.

Bagian 1 : Definisi dan Manifestasi Klinis

Kesimpulan pernyataan 1: Mengenal FPIES sebagai suatu potensi


kegawatdaruratan medis, yang menunjukkan adanya onset yang terlambat dari
gejala muntah dan/atau diare cair/darah, yang dapat mengganggu
hemodinamik dan menimbulkan hipotensi pada 15% dari reaksi. [Strength of
recommendation: Strong; Evidence strength: IIa/IIb; Evidence grade: B]
FPIES adalah alergi makanan non-IgE-mediated yang biasanya terjadi
pada masa bayi, dengan gejala muntah berkepanjangan yang berulang dan terjadi
1 hingga 4 jam setelah konsumsi makanan tersebut. Muntah sering disertai
kelesuan, pucat dan bisa diikuti dengan diare. Onset yang tertunda dan tidak
adanya reaksi kutan dan gejala pernapasan menunjukkan reaksi sistemik yang
berbeda dari anafilaksis. Kasus yang parah dapat berkembang menjadi hipotermia,
methemoglobinemia, acidemia, dan hipotensi, seperti gejala sepsis (15% dari
kejadian). Fenotipe klinis FPIES dipengaruhi oleh usia onset, Negara tempat
tinggal, waktu, durasi gejala dan terkait alergi makanan yang dimediasi IgE.
(Tabel 1)

Kesimpulan pernyataan 2: Mengenali bahwa gejala fenotip dari pasien dengan


FPIES ditentukan oleh frekuensi makanan yang dimakan. [Strength of
recommendation: Strong; Evidence strength: IIa; Evidence grade: B]

Manifestasi dan keparahan FPIES bergantung pada frekuensi dan dosis


makanan pemicu, serta fenotipe dan usia seorang pasien individual. Pola muntah
yang berbeda mulai dalam 1 hingga 4 jam setelah konsumsi makanan (FPIES
akut) terjadi ketika makanan dicerna secara intermiten atau setelah satu periode
avoidance (Tabel I dan II). Diare berair (kadang-kadang dengan darah dan lendir)
berkembang dalam beberapa kasus dalam 5 hingga 10 jam dari konsumsi dan
dapat hadir hingga 24 jam. Gejala FPIES akut biasanya membaik dalam 24 jam
setelah konsumsi makanan. Pada kebanyakan anak-anak dengan FPIES akut,
mereka tidak menimbulkan gejala bermakna di antara episode-episode dengan
pertumbuhan normal.

FPIES kronis kurang ditemukan signifikasi dibandingkan dengan akut


FPIES dan hanya dilaporkan pada bayi dengan usia kurang dari 4 bulan dengan
pemberian susu sapi (CM) atau susu formula bayi kedelai. FPIES kronis
berkembang pada konsumsi teratur / berulang dari makanan pemicu, muntah dapat
berlangsung kronis maupun intermiten, diare berair, dan kegagalan untuk
berkembang (FTT; Tabel I). FPIES kronis yang parah dapat menyebabkan
dehidrasi dan syok. Hipoalbuminemia dan berat badan buruk dapat memprediksi
kejadian CM-induced FPIES pada bayi dengan gejala gastrointestinal kronis.
Dengan melakukan eliminasi pemicu atau pemicu makanan FPIES kronis, gejala
hilang, tetapi pemberian makan berikutnya (paparan yang tidak disengaja) dapat
menginduksi reaksi FPIES akut dalam 1 hingga 4 jam dari konsumsi makanan
tersebut (Tabel I). Simtomatologi akut setelah menghindari paparan dapat
membedakan FPIES kronis dari diagnosa from food protein–induced enteropathy,
eosinophilic gastroenteritis, or celiac disease. FPIES kronis jarang terjadi namun
beberapa kejadain sering ditemukan di Jepang dan Korea.
Bagian 2: Epidemiologi

Sejauh ini, masih terdapat batasan secara epidemiologi tentang informasi


mengenai FPIES. FPIES pertama kali disebarluaskan pada pertengahan tahun
1970. Revisi ke-10 dari International Statistical Classification of Diseases and
Related Health Problems (ICD-10) telah memberikan kode untuk FPIES (K52.2)
pada Oktober 2015. Sebelum ini, tidak ada keseragaman diagnosis berdasarkan
International Classification of Diseases. Estimasi prevalensi FPIES sangat
bervariasi. Katz et al mempresentasikan satu-satunya kelompok kelahiran
prospektif yang diterbitkan yang mencatat kejadian kumulatif bayi dengan CM-
induced FPIES dari 3 per 1000 bayi baru lahir yang lahir di satu rumah sakit
selama 2 tahun (0,34%).

Kesimpulan pernyataan 3: Mengenali bahwa onset dari FPIES terhadap susu


sapi dan kedelai dapat terjadi pada usia yang lebih muda dibandingkan FPIES
terhadap makanan padat. Pasien dapat memiliki satu atau lebih pemicu.
[Strength of recommendation: Strong; Evidence strength: IIb-III; Evidence
grade: C]

Pemicu FPIES yang paling sering dilaporkan adalah CM, kedelai, dan
gandum. FPIES yang diinduksi oleh kedelai dan gabungan kedelai / CM induced
FPIES adalah kejadian umum di Amerika Serikat (kira-kira 25% hingga 50%
dalam laporan kasus yang dilaporkan) tetapi jarang terjadi di Australia, Italia, dan
Israel. Kebanyakan melaporkan FPIES yang diinduksi oleh makanan padat,
disebabkan oleh nasi dan oat. Gabungan nasi-oat yang menginduksi FPIES telah
dilaporkan di hampir sepertiga dari kasus FPIES yang diinduksi oleh nasi di
Amerika Serikat dan Australia. Sebaliknya, FPIES yang terinduksi umum terjadi
di Italia dan Spanyol tetapi jarang terjadi di negara lain. Banyak faktor yang dapat
menjelaskan perbedaan variasi geografis ini, antara lain perbedaan studi popilasi,
adanya penyakit atopik, kebiasaan menyesui dan praktik diet dan faktor genetika
yang masih belum ditemukan.

FPIES awalnya terjadi setelah susu atau susu kedelai berbasis formula,
makanan padat, atau keduanya diperkenalkan untuk diet bayi. Kejadian ini terjadi
biasanya pada usia 2 - 7 bulan usia. Bayi dengan FPIES yang diinduksi oleh susu
sapi dan kedelai biasanya terjadi lebih muda (<6 bulan) dibandingkan dengan
penyebab makanan padat (6-12 bulan). Rata-rata usia terjadinya solid food–
induced FPIES adalah 5-7 bulan. Bayi dengan FPIES yang diinduksi susu
sapi/kedelai pada usia kurang dari 2 bulan lebih besar kemungkinannya untuk
ditemukan manifestasi diare, darah pada feses dan FTT dibandingkan dengan bayi
diatas usia 2 bulan. Bayi yang lebih tua lebih sering ditemukan manifestasi
muntah saja. FPIES untuk ikan / kerang dan telur pada orang dewasa ditandai
dengan muntah yang tertunda dan riwayat toleransi makanan sebelumnya.

Kesimpulan pernyataan 4: Mempertimbangkan pemeriksaan IgE untuk


anak dengan FPIES untuk makanan pemicu karena komorbid IgE-mediated
sensitive terhadap pemicu, seperti susu sapi, memiliki kemungkinan yang
lebih besar untuk persisten. [Strength of recommendation: Moderate;
Evidence strength: IIb-III; Evidence grade: C]

FPIES secara imunologis berbeda dari penyakit yang dimediasi IgE, tetapi
banyak anak dengan FPIES memiliki atopi komorbid, termasuk eksim dan
sensitisasi IgE makanan. Studi dari Amerika Serikat dan Australia sering
melaporkan koasosiasi atopi, khususnya eksim (31% hingga 57% kasus),
meskipun asosiasi ini langka di Korea, Israel, dan Italia (0% hingga 9%). Anak-
anak dengan FPIES juga dapat hidup bersama alergi yang dimediasi oleh IgE,
seperti yang dilaporkan pada 2% hingga 12% pasien. Caubet et al melaporkan
bahwa anak-anak dengan CM-induced FPIES dan sensitisasi IgE untuk CM
(yaitu, FPIES atipikal) lebih cenderung memiliki persistensi FPIES yang diinduksi
CM setelah usia 3 tahun dibandingkan dengan mereka tanpa sensitisasi.
Sensitisasi terhadap protein makanan lain tidak muncul untuk menunda akuisisi
toleransi.

Kesimpulan pernyataan 5: Jangan merekomendasikan untuk


mengintroduksi makanan prenatal/postnatal atau perilaku kesehatan atau
menyarankan pasien mengenai faktor genetik spesifik yang diketahui dapat
memoderasi risiko pasien dengan FPIES. [Strength of recommendation:
Weak; Evidence strength: IIb-III; Evidence grade: C]

Dalam sebuah penelitian kohort pada kelahiran di Israel, tidak ada


hubungan yang tercatat antara pengembangan FPIES dengan usia kehamilan, usia
ibu, jumlah saudara kandung, konsumsi susu ibu, atau usia pengenalan susu sapi,
meskipun dicatat terdapat asosiasi pada ibu yang menjalani prosedur caesarean
sectio dan agama Yahudi (yaitu proporsi yang lebih besar memiliki FPIES) .
Belum terdapat serial kasus pada negara AS, Italia dan Australia tentang faktor
resiko FPIES terhadap masalah prenatal atau postnatal.

Kesimpulan pernyataan 6: Pertimbangkan bahwa FPIES adalah gangguan


heterogen yang dikaitkan dengan sejumlah variasi geografis dalam fitur
penyakit. [Strength of recommendation: Strong; Evidence strength: IIb-III;
Evidence grade: B]
Mayoritas dari pelaporan literatur berasal dari daerah barat yang subjeknya
didominasi oleh ras kulit putih. Data dari Jepang menunjukkan hasil fenotipe yang
berbada yang diduga disebabkan oleh kebiasaan diet, rasa tau etnik yang berbeda.
Anak dari Jepang dengan FPIES, gejala muntah didapatkan sebesar 100%, darah
pada feses 47% dan demam 13% pada presentasi awal. 47% didapatkan positif
serum CM(cow’s milk)-spesific IgE (sIgE) dan 10% gejala timbul saat masa
menyusui.

Bagian 3: Diagnosis dari FPIES

Kesimpulan pernyataan 7: Diagnosis dari FPIES dapat didasari oleh gejala


klinis yang merupakan karakteristik tipikal dengan perbaikan setelah makanan
pemicu dijauhi. Menyingkirkan penyebab potensial lainnya dan penggunaan
metode OFC (Oral Food Challenge) dapat membantu mendiagnosa jika sejarah
yang didapat tidak jelas. Strength of recommendation: Strong; Evidence
strength: IIb-III; Evidence grade: B]

Mempelajari perkembangan penyakit adalah alat diagnostik yang paling


penting dalam evaluasi FPIES. FPIES Akut hadir dengan konstelasi tanda dan
gejala yang unik dan kadang-kadang dramatis. Klinisi harus mendapatkan rincian
semua kemungkinan reaksi, gejala spesifik, waktu dari gejala dalam kaitannya
dengan asupan makanan, semua pemicu makanan yang dicurigai, dan
reprodusibilitas reaksi dengan eksposur berulang ke makanan atau makanan
tersangka. Dalam sebagian besar pasien dengan FPIES akut, riwayat saja sudah
cukup untuk membuat diagnosis dan mengidentifikasi makanan pemicu. Jika
diagnosis masih belum jelas meski telah mengambil sejarah yang cermat, OFCs
harus digunakan sebagai standar baku untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Tidak ada laboratorium atau prosedur diagnostik lain yang spesifik untuk
FPIES, meskipun ada berbagai tes laboratorium lain yang membantu mendukung
diagnosis dan yang lebih penting, untuk menyingkirkan dengan diagnosis banding
yang lain, seperti yang dibahas pada Tabel III.
Bayi yang datang dengan riwayat FPIES yang meyakinkan biasanya tidak
memerlukan pemeriksaan lebih untuk mengkonfirmasi diagnosis awal mereka.
Kriteria diagnostik yang direvisi untuk FPIES akut dan kronis disajikan pada
Tabel IV. Bahkan, dalam menghadapi sejarah yang jelas dengan reaksi berulang
terhadap makanan atau makanan yang sama, risiko OFC mungkin lebih besar
daripada manfaatnya. OFCs paling baik disimpan dalam evaluasi diagnostik awal
untuk kasus-kasus di mana sejarah tidak jelas, pemicu makanan tidak
teridentifikasi, perjalanan waktu gejala tidak normal, atau gejala bertahan
meskipun telah menyingkirkan makanan atau makanan pemicu yang dicurigai dari
diet. OFCs sangat berguna untuk menentukan apakah FPIES telah
dikesampingkan (Tabel V). Pada pasien dengan FPIES kronis, diagnosis dapat
tidak jelas jika hanya berdasarkan pada riwayat saja. Mengingat sifat kurang
spesifik dari gejala FPIES kronis, uji coba eliminasi makanan diikuti oleh OFC
yang diawasi untuk pemicu makanan potensial mungkin diperlukan untuk
diagnosis konklusif. Pada kasus tertentu, endoskopi dan biopsi mungkin
diperlukan untuk menyingkirkan penyebab lain.
Kesimpulan pernyataan 8: Lakukan OFC pada pasien dengan kecurigaan
FPIES di bawah awasan petugas medis di mana akses ke resusitasi cairan cepat
tersedia dan observasi dalam jangka panjang dapat dilakukan. [Strength of
recommendation: Strong; Evidence strength: IIb; Evidence grade: B]

OFCs pada pasien dengan FPIES harus dilakukan dengan hati-hati. Hingga
50% hasil OFC positif mungkin memerlukan pengobatan dengan cairan intravena.
Meskipun satu penelitian terbaru melaporkan keberhasilan manajemen reaksi
OFC dengan rehidrasi oral, resusitasi cairan dengan menggunakan jalur intravena
tetap menjadi prioritas jika tersedia.

Berbagai protokol untuk OFC terkait FPIES telah dipublikasikan. Semua


OFC membutuhkan pengawasan ketat dengan akses langsung ke cairan intravena.
Beberapa ahli sangat menganjurkan bahwa akses intravena periferal diamankan
sebelum OFC. Meskipun beberapa protokol memberikan seluruh dosis dalam satu
porsi, konsensus saat ini adalah untuk mengelola makanan tantangan dengan dosis
0,06 hingga 0,6 g, biasanya 0,3 g protein makanan per kilogram berat badan,
dalam 3 dosis yang sama selama 30 menit. Umumnya dianjurkan untuk tidak
melebihi total 3 g protein atau 10 g dari makanan total (100 mL cairan) untuk
pemberian makan awal (yang bertujuan untuk memperkirakan ukuran saji) dan
mengamati pasien selama 4 hingga 6 jam. Dosis awal yang lebih rendah, periode
pengamatan yang lebih lama antara dosis, atau keduanya harus dipertimbangkan
pada pasien dengan riwayat reaksi berat. Ketika dosis yang sangat rendah dari
protein makanan diberikan dan tidak ada reaksi setelah 2 hingga 3 jam
pengamatan, beberapa ahli menganjurkan bahwa pasien menelan porsi penuh
sesuai makanan, diikuti dengan 4 jam pengamatan.
Namun, pada pasien dengan sIgE terdeteksi ke makanan tantangan,
administrasi yang lebih bertahap dari makanan tantangan sesuai dengan protokol
untuk alergi makanan yang dimediasi IgE, direkomendasikan dengan periode
observasi postchallenge yang lebih lama untuk memperhitungkan reaksi FPIES
yang mungkin terjadi. Dosis total dan rejimen dosis untuk OFCs yang terkait
dengan FPIES belum diteliti secara sistematis dan oleh karena itu, praktik dapat
bervariasi secara internasional; pada akhirnya adalah kebijaksanaan dokter untuk
memodifikasi rejimen per keadaan individual.
Dengan hasil OFC yang positif (misalnya, gagal), gejala FPIES tipikal,
termasuk emesis/muntah (biasanya emesis berulang yang berulang), pucat, dan
kelesuan, dimulai dalam waktu 1 hingga 4 jam setelah konsumsi. Diare dapat
terjadi dalam waktu sekitar 5 hingga 10 jam. Jika CBC dengan diferensial
diperoleh sebelum dan sesudah tantangan, ada peningkatan jumlah neutrofil (>
1500 sel / mL), yang memuncak 6 jam setelah konsumsi makanan. Pada pasien
dengan diare, sampel tinja dapat dinilai untuk keberadaan darah (occult blood
test), leukosit, atau sel darah merah (RBC). Kriteria yang direvisi untuk
interpretasi hasil OFC disajikan pada Tabel V.

Kesimpulan pernyataan 9: Jangan melakukan pemeriksaan rutin untuk food


sIgE untuk mengidentifikasi pemicu makanan dari FPIES karena FPIES
bukan merupakan proses IgE-mediated. Meskipun demikian, karena beberapa
pasien dengan FPIES dapat berdampingan dengan alergi IgE-mediated.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan pasien dengan konsiderasi kondisi
komorbid. Pemeriksaan darah dapat membantu menyingkirkan penyebab dari
gejala jika diambil pada saat kondisi akut. [Strength of recommendation:
Moderate; Evidence strength: III; Evidence grade: C]
Mayoritas pasien dengan FPIES memiliki respon skin prick test (SPT)
negatif dan serum tidak terdeteksi pada makanan yang dicurigai pada saat
diagnosis awal mereka. Meskipun demikian, tes IgE dapat menjadi pertimbangan
untuk pasien dengan FPIES pada saat kunjungan follow-up karena 2-20% masih
mungkin mendapatkan hasil positif terhadap suspek FPIES-related food dan 20-
40% positif pada pasien dengan alergi makanan umum.
Terdapat beberapa anak yang menunjukkan sIgE terhadap makanan
pemicu (disebut juga FPIES atipikal) dan memiliki resulosi FPIES yang lebih
lambat, dan anak-anak ini sangat penting untuk diidentifikasi.
Oleh karena itu pengujian berkala (misalnya, sebelum OFC) untuk sIgE makanan
dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kondisi komorbiditas, seperti alergi
makanan yang dimediasi IgE terhadap makanan lain dan dermatitis atopik yang
diyakini dipengaruhi oleh alergen makanan, tetapi hal ini tidak direkomendasikan
pada evaluasi awal untuk pemicu FPIES.

Pada pasien dengan FPIES yang diinduksi susu sapi (CM), tingkat CM-
sIgE harus diukur sebelum melakukan tantangan makanan, mengingat risiko
konversi ke IgE-mediated CM alergi. Tes patch atopi telah dievaluasi dalam 2
penelitian kecil sebagai sarana yang mungkin untuk mengidentifikasi kepekaan
terhadap makanan tertentu pada pasien dengan FPIES. Karena hasil yang
bertentangan, tidak ada rekomendasi mengenai kegunaan tes patch atopi yang
dapat dibuat. Pasien dengan FPIES kronis menunjukkan berbagai tingkat anemia,
hipoalbuminemia, dan peningkatan jumlah sel darah putih dengan pergeseran kiri
dan eosinofilia. Hal ini sering terjadi dan menyebabkan evaluasi sepsis di
departemen gawat darurat. Trombositosis dilaporkan pada 65% pasien dalam satu
seri FPIES akut. Asidosis metabolik dan methemoglobinemia dilaporkan pada
pasien dengan FPIES akut dan kronis karena pergeseran hemodinamik

Pada pasien dengan FPIES akut dengan diare, nyeri terus menerus, darah,
mucus, leukosit dan peningkatan konten karbohidrat dapat muncul pada feses.
Pada anak dengan FPIES kronik dengan diare, pemeriksaan feses dapat
menunjukkan hasil darah okult, neutrophil, eosinophil, Charcot-Leyden crystals
dan turunnya substans. Aspirasi gaster dapat dilakukan sebelum dan 3 jam setelah
OFC (oral food challenge), menunjukkan hasil lebih dari 10 leukosit pada 15-16
pasien dengan hasil OFC yang positif dan terdapat 0-8 pada pasien dengan hasil
OFC yang negatif. Evaluasi ini tidak memiliki kegunaan klinis untuk penggunaan
rutin, dan bahkan leukositosis akut yang terlihat pada pasien dengan hasil OFC
positif jarang menambah interpretasi keseluruhan dari hasil OFC.

Kesimpulan Pernyataan 10: Jangan mengambil gambaran radiografi sebagai


pemeriksaan diagnostic rutin jika mencurigai FPIES. [Strength of
recommendation: Strong; Evidence strength: III; Evidence grade: C]

Tidak ada hasil spesifik pada gambaran radiologis untuk FPIES. Studi
radiografi dipelajari pada studi pada masa lalu yang mencakup anak dengan
kemungkinan menderita gejala FPIES kronik dan menunjukkan adanya showed
air-fluid levels, penyempitan yang tidak spesifik pada rectum dan sigmoid, dan
penebalan dari plica circulares di duodenum dan jejenum dengan cairan luminal
yang berlebih. Udara intramural juga dapaty ditemukan yang menjadi perancu
dengan diagnosis necrotizing
enterocolitis.

Kesimpulan pernyataan 11: Pertimbangkan diagnosis banding untuk pasien


yang mengalami muntah akut dalam membuat diagnosis FPIES. [Strength of
recommendation: Moderate; Evidence strength: III/IV; Evidence grade: C]

Bayi dapat hadir dengan beberapa reaksi sebelum akhirnya FPIES


dipertimbangkan, sering mengarah ke evaluasi diagnostik yang luas, terutama
ketika FPIES disebabkan oleh makanan padat. Diagnosis tertunda kemungkinan
karena kombinasi gejala nonspesifik, tidak adanya tes diagnostik definitif , dan
kurangnya kemiripan gejala dengan FPIES. Diagnosis yang tertunda dari FPIES
yang diinduksi makanan padat mungkin juga disebabkan oleh fakta bahwa beras,
oat, dan sayuran tidak biasa menyebabkan alergi makanan yang dimediasi IgE.
Kesimpulan pernyataan 12: Gunakan kriteria yang berbeda untuk
mendiagnosis FPIES pada pasien rawat jalan/komunitas dibandingkan dengan
pasien yang perlu diperhatikan. [Strength of recommendation: Weak; Evidence
strength: III/IV; Evidence grade: D]

Kriteria diagnostik yang direvisi untuk pasien dengan kemungkinan FPIES


akut dan kronis disajikan pada Tabel IV. Kriteria ini berbeda dari kriteria Powell
dan Sicherer karena mereka menghilangkan batas usia untuk timbulnya FPIES
dan menekankan muntah berulang sebagai fitur kardinal dari FPIES akut. Kriteria
utama dan minor khusus untuk FPIES akut disediakan berdasarkan bukti yang
dipublikasikan secara kolektif. Kriteria utama untuk FPIES akut adalah muntah
dalam periode 1 hingga 4 jam setelah konsumsi makanan tersangka dan tidak
adanya gejala alergi atau gejala pernapasan IgE-mediated klasik. Kriteria minor
termasuk yang berikut:
1. Kejadian kedua (atau lebih) dari muntah yang berulang setelah makan
makanan yang dicurigai (makanan yang sama)
2. Muntah berulang setelah 1-4 jam setelah makan makanan yang berbeda
3. Lelah yang maksimal (extreme lethargy)
4. Pucat (pallor)
5. Membutuhkan perawatan unit gawat darurat
6. Membutuhkan cairan via intravena
7. Diare dalam 24 jam (biasanya 5-10 jam)
8. Hipotensi
9. Hipotermia

Diagnosis dari FPIES membutuhkan kriteria mayor dan minimal 3 kriteria


minor. Jika terdapat episode yang dicurigai, segera lakukan diagnostic OFC untuk
menegakan diagnosis, terutama karena gastroenteritis viral sangat sering dijumpai
di kalangan usia ini.
Kriteria umum disediakan untuk pasien dengan FPIES kronis, tetapi
mengingat kurangnya laporan yang diterbitkan dari FPIES kronis, kriteria mayor
dan minor spesifik tidak dapat ditentukan saat ini. Untuk FPIES kronis yang berat,
ketika makanan yang menyinggung dicerna secara teratur (misalnya, susu formula
bayi), muntah intermiten tapi progresif dan diare (kadang-kadang dengan darah)
berkembang, kadang-kadang dengan dehidrasi dan asidosis metabolik. Untuk
FPIES kronis yang lebih ringan, dosis yang lebih rendah dari masalah makanan
(misalnya, makanan padat atau alergen makanan dalam ASI) menyebabkan
muntah-muntah intermiten, diare, atau keduanya, biasanya dengan berat badan
yang buruk / NTP tetapi tanpa dehidrasi atau asidosis metabolik.

Penting untuk mengenali 2 tanda berbeda dari FPIES kronis: pasien tidak
bergejala dan pertumbuhan tetap normal ketika makanan pemicu dihilangkan dari
diet, dan reintroduksi makanan pemicu menginduksi gejala FPIES akut. Kriteria
diagnostik untuk interpretasi hasil OFC pada pasien dengan riwayat kemungkinan
atau dikonfirmasi FPIES disajikan pada Tabel V. Kriteria ini juga berbeda dalam
derajat neutrofilia dan hapusan temuan laboratorium tinja, yang mencerminkan
pergeseran fenotipik yang mungkin diwakili oleh yang lebih rendah. frekuensi
diare dan peningkatan jumlah neutrofil yang lebih kecil meningkat selama OFC,
sebagaimana dilaporkan dalam literatur baru-baru ini.

Bagian 4: Patofisiologi dari FPIES

FPIES dapat melibatkan antigen-specific T cells, antibodi, dan sitokin


yang dapat menyebabkan inflamasi yang ditemukan di usus besar dan ileum yang
ditemukan melalui pemeriksaan endoskopi, kolonoskopi dan biopsy. Inflamasi ini
dipercayai dapat menyebabkan meningkatnya permeabilitas intestinal dan
pergeseran cairan menuju lumen gastrointestinal.

Kesimpulan pernyataan 13: Mengklasifikasi FPIES sebagai alergi makanan


non-IgE mediated namun waspada bahwa T-cell sebagai mediasi dari FPIES.
[Strength of Recommendation: Strong; Evidence strength: IIb/III; Evidence
grade: C]

FPIES diklasifikasikan sebagai gangguan non-IgE-mediated. Namun,


beberapa pasien dengan FPIES memiliki IgE untuk makanan pemicu, khususnya
kasein pada pasien dengan FPIES yang diinduksi oleh susu sapi. Pergeseran
fenotipik dari IgE-mediated CM-induced allergy ke FPIES murni telah
dilaporkan. Antibodi IgE mukosa usus lokal dapat memfasilitasi serapan antigen
dan menyebabkan peradangan usus. Tanggapan TH2 serupa dengan yang terjadi
pada pasien dengan alergi yang dimediasi IgE, telah ditemukan pada pasien
dengan FPIES. Hal ini menguatkan pengamatan tingkat tinggi atopi pada pasien
dengan FPIES. Hubungan antara IgE dan mekanisme non-IgE pada pasien dengan
FPIES membutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Dilaporkan penggunaan
ondansetron yang berhasil untuk mengobati muntah, nyeri perut, dan kelesuan
selama tantangan FPIES menyiratkan keterlibatan mekanisme neuroimun.

Bagian 5: Manifestasi Gastrointestinal dari FPIES

Kesimpulan pernyataan 14: Jangan secara rutin melakukan pemeriksaan


endoskopi sebagai bagian dari evaluasi FPIES. [Strength of recommendation:
Weak; Evidence strength: IV; Evidence grade: D]

Pada pasien dengan FPIES kronis dengan emesis dan FTT, endoskopi
bagian atas dapat melihat adanya edema lambung, eritema, dan kerapuhan
mukosa, dengan erosi antral lambung. Hasil kolonoskopi bisa normal tanpa
adanya perdarahan rektal atau diare. Pada pasien dengan perdarahan rektum,
kehilangan pola vaskular, kerapuhan spontan dan induksi, dan derajat ulserasi
variabel dengan perdarahan spontan dapat terjadi. Histologi rektal berkisar dari
sedikit infiltrasi limfosit dan sel plasma di lamina propria hingga infiltrasi
leukositik polimorfonuklear dari lamina propria atau kelenjar, dengan kadang-
kadang abses kripta dan deplesi lendir dari kelenjar dubur. Kerusakan permukaan
epitel dapat dilihat. Penampakan makroskopis kolon mirip dengan rektum, dengan
mukosa merah, rapuh, dan hemoragik yang terlihat dalam beberapa jam setelah
menelan makanan yang menyinggung. Spesimen biopsi kolon menunjukkan
peradangan parah dengan peningkatan jumlah eosinofil. Pada beberapa bayi
dengan FPIES, kerusakan usus kecil dengan variabel tingkat atrofi vili telah
dijelaskan. Secara klinis, enteropati dapat menyebabkan malabsorpsi karbohidrat
dan tinja berair, yang positif untuk mengurangi zat. Kelainan berat dan histologis
dapat kembali normal segera setelah 2 hari setelah pengangkatan makanan
pemicu.

Kesimpulan pernyataan 15: Jangan menggunakan pemeriksaan feses untuk


membuat diagnosis dari FPIES. [Strength of recommendation: Weak; Evidence
strength: III; Evidence grade: D]

Eosinofil pada feses, yang ditemukan dengan menggunakan Hansel’s


stain, bersamaan dengan debris pada feses dapat ditumakan pada pasien dengan
FPIES. Hasil kultur feses harusnya menunjukkan hasil negatif pada parasit dan
organisme patogenik lainnya. Leukosit pada feses terdapat pada percobaan
makanan pemicu yang telah termasuk dalam kriteria diagnostic Powell’s,
meskipun fitur ini jarang dikonsiderasi pada kriteria modifikasi Sicherer’s dalam
kriteria akut FPIES. Sebagai tambahan, pasien dengan kronik FPIES dapat
terdapat darah oklut dan nyata pada feses.

Kesimpulan pernyataan 16: Pertimbangkan pemeriksaan untuk menyingkirkan


masalah penyakit gastrointestinal lainnya yang menimbulkan gejala yang
tumpang tindih dengan FPIES. [Strength of recommendation: Moderate;
Evidence strength: III; Evidence grade: D]

Diagnosis banding yang luas harus dipertimbangkan mengingat bahwa


banyak gangguan gastrointestinal infantil menyebabkan gejala tumpang tindih
dengan FPIES kronis (Tabel III).
Bagian 6: Tatalaksana dari FPIES Akut

Kesimpulan pernyataan 17: Obati FPIES akut sebagai kondisi kegawat-


daruratan medis dan persiapkan pemberian resusitasi cairan karena 15% dari
pasien dapat timbul syok hipovolemik. [Strength of recommendation: Strong;
Evidence strength: IIa; Evidence grade: B]

Kesimpulan pernyataan 18: Mengatur FPIES akut berdasarkan tingkat


keparahan dan meninjau strategi pengobatan dengan pengasuh dari setiap
pasien. [Strength of recommendation: Moderate; Evidence strength: IIb/III;
Evidence grade: C]

FPIES akut dapat menyebabkan syok hipovolemik dengan cepat dan harus
mendapatkan penanganan segera baik pada pasien dengan OFC positive maupun
tidak. Prioritas dari tatalaksana FPIES berat adalah menjaga hemodinamik melalui
pemberian resusitasi cairan isotonik (10-20 mL/kg bolus normal saline) berulang
dan dextrose saline diberikan secara kontinu untuk pemeliharaan (Tabel VI).
Metylprednisolone IV dosis tunggal (1 mg/kg, max 60-80 mg) dapat menurunkan
inflamasi yang dimediasi oleh sel. Pada kasus dengan reaksi berat, pasien dapat
diberikan suplemen oksigen, ventilasi mekanik atau positive pressure ventilation
non-invasif untuk kegagalan sistem pernafasan, vasopressor untuk hipotensi,
bikarbonat untuk academia dan methylene blue untuk methemoglobulinemia.
Epinephrine tidak merupakan rekomendasi rutin untuk FPIES, meskipun pasien
dengan alergi IgE-mediated harus dipertimbangkan pemberian epinephrine jika
pasien merupakan resiko tinggi untuk anafilaksis. FPIES akut ringan-sedang dapat
membaik dengan rehidrasi oral, yang termasuk menyesui di rumah (Tabel VII).
Kesimpulan pernyataan 19: Mempertimbangkan ondansetron sebagai terapi
tambahan dapat mengobati gejala muntah pada pasien dengan FPIES.
[Strength of recommendation: Weak; Evidence strength: IV; Evidence grade:
D]

Ondansetron adalah reseptor serotonin 5-HT3 antagonis yang digunakan


untuk menangani mual dan muntah, sering diberikan setelah kemoterapi, namun
dapat digunakan dengan pasien dengan gastroenteritis viral. Pemberian obat ini
harus diperhatikan pada anak dengan gangguan jantung karena dapat berpotensi
QT interval yang memanjang.

Kesimpulan pernyataan 20: Gunakan eleminasi pola diet dari makanan pemicu
dan edukasi pengasuh/perawat dan tenaga medis lainnya mengenai strategi
pencegahan. [Strength of recommendation: Strong; Evidence strength:
IIb/IIIIV; Evidence grade: C]

Tatalaksana jangka panjang FPIES mencakup penghindaran dari makanan


pemicu, pengaturan diet yang ketat, penanganan gejala yang timbul dan
memantau perbaikan FPIES. Konsultasi nutrisi harus menjadi konsiderasi utama
pasien, penghindaran makanan pemicu dan kecukupan nutrisi.
Bayi dengan FPIES yang dicurigai akibat susu sapi atau yang diinduksi
oleh kedelai umumnya disarankan untuk menghindari semua bentuk makanan ini,
termasuk makanan yang dipanggang dan diproses, kecuali mereka sudah termasuk
dalam makanan. Tidak ada studi konklusif sampai saat ini yang mengevaluasi
toleransi untuk susu sapi dan protein telur dalam produk yang dipanggang pada
anak-anak dengan FPIES, meskipun serangkaian kasus kecil melaporkan toleransi
CM dan telur yang dibakar pada beberapa anak. Pengenalan susu sapi dan telur
yang dibakar harus dilakukan di bawah pengawasan dokter karena ada hasil
jangka panjang yang tidak jelas yang terkait dengan praktik ini. Bayi dengan susu
sapi- FPIES yang diinduksi oleh kedelai dapat diberi ASI atau menggunakan
formula hipoalergenik, seperti kasein formula hidrolisat berbasis luas. Jika
memungkinkan, pemberian ASI harus dilanjutkan, yang konsisten dengan
rekomendasi resmi untuk pemberian makan bayi. 10% hingga 20% bayi mungkin
memerlukan formula berbasis asam amino (AAF). Pada bayi dengan FPIES yang
diinduksi oleh susu sapi, introduksi formula kedelai harus dipertimbangkan di
bawah pengawasan dokter dan sebaliknya.

Berdasarkan homologi tinggi dari urutan protein dalam susu hewan ini,
susu kambing dan domba tidak direkomendasikan pada pasien dengan FPIES
yang diinduksi susu sapi (CM). Ada kemungkinan bahwa susu dari keledai, unta,
atau keduanya dapat ditoleransi pada pasien dengan CM-induced FPIES karena
mereka biasanya ditoleransi dengan baik pada mereka dengan alergi CM yang
dimediasi IgE. Bayi dengan FPIES kronis biasanya kembali ke kondisi kesehatan
mereka yang biasa dalam 3 hingga 10 hari setelah beralih ke formula
hipoalergenik, meskipun pada kasus yang parah, istirahat usus sementara dan
cairan intravena mungkin diperlukan.

Summary Statement 21: Jangan merekomendasikan eliminasi pola diet rutin


maternal dari pemicu saat menyusui jika bayi tetap berkembang dan tanpa
gejala. [Strength of recommendation: Moderate; Evidence strength: III-IV;
Evidence grade: C]

Mayoritas bayi tidak bereaksi terhadap alergen makanan yang ada dalam
air susu ibu. Dalam kasus FPIES simptomatik yang terjadi pada bayi yang diberi
ASI eksklusif, ibu harus menghilangkan dugaan pemicu makanan atau makanan
dari dietnya jika reaksi terjadi setelah menyusui atau bayi mengalami FTT. Ibu
harus mencari konsultasi segera dengan spesialis alergi. Konsultasi nutrisi harus
dipertimbangkan untuk membantu diet eliminasi. Jika resolusi gejala tidak
tercapai dengan diet eliminasi diet ibu, penghentian menyusui dan pengenalan
formula hipoalergenik harus dipertimbangkan.
Kesimpulan pernyataan 22: Memperkenalkan kembali makanan yang memicu
FPIES dibawah pengawasan dokter. [Strength of recommendation: Strong;
Evidence strength: Ia/IIb; Evidence grade: B]

Makanan yang memicu reaksi FPIES di masa lalu umumnya harus


diperkenalkan kembali di bawah pengawasan dokter selama OFC formal atau
makan yang diawasi. Waktu reintroduksi seperti itu bervariasi. Penempatan akses
intravena periferal aman sebelum OFC mungkin diperlukan pada pasien dengan
reaksi parah di masa lalu yang memerlukan kunjungan departemen darurat atau
rawat inap, serta pada bayi dan pasien dengan akses intravena yang sulit
diantisipasi. Antara 45% dan 95% dari reaksi diobati dengan cairan intravena,
steroid, atau keduanya. Pada pasien dengan reaksi ringan, rehidrasi oral mungkin
cukup (Tabel VII) . Meskipun beberapa penyedia mungkin memilih untuk
memungkinkan keluarga untuk mencoba makanan tertentu di rumah, ini harus
menjadi keputusan bersama antara penyedia perawatan medis dan pengasuh,
akuntansi untuk akses dan jarak ke departemen darurat lokal, kenyamanan
pengasuh, sifat makanan pemicu, dan tingkat keparahan reaksi FPIES masa lalu.

Kesimpulan pernyataan 23: Mengenali bahwa bayi dengan FPIES yang


diinduksi oleh susu sapi atau susu kedelai juga memiliki resiko yang tinggi
terhadap FPIES terhadap makanan lain. [Strength of recommendation:
Strong; Evidence strength: III; Evidence grade: C]

Mayoritas anak-anak (65% hingga 80%) memiliki FPIES untuk satu


makanan, paling umum susu sapi. Dalam serangkaian kasus AS yang besar di
pusat perawatan tersier, sekitar 5% sampai 10% anak-anak bereaksi terhadap lebih
banyak dari 3 makanan, beberapa hingga 6 atau lebih makanan. Anak-anak
dengan FPIES baik yang disebabkan oleh susu sapi atau kedelai juga dapat
bereaksi terhadap kedua makanan, dengan kemungkinan ini lebih tinggi di antara
mereka yang memiliki gejala FPIES pada bulan pertama kehidupan, meskipun
risiko (Tabel VIII) atau kemungkinan hal ini terjadi tidak diketahui. Pada bayi
dengan onset dini FPIES , mungkin lebih baik untuk menyusui atau
memperkenalkan formula hipoalergenik dalam 6 sampai 12 bulan pertama
kehidupan, meskipun data yang berkaitan dengan pencegahan FPIES primer /
sekunder tidak ada. Pada anak yang berpotensi reaktif, disarankan untuk
melakukan OFC yang diawasi untuk memperkenalkan pemicu FPIES yang tidak
pasti.
Anak-anak dengan FPIES yang disebabkan oleh susu sapi atau kedelai
juga dapat memiliki kemungkinan besar untuk bereaksi terhadap makanan padat,
umumnya nasi atau oat. Pedoman pemberian makanan saat ini tidak
merekomendasikan penundaan dalam memperkenalkan makanan pendamping
selama 6 bulan terakhir kehidupan dikarenakan FPIES. Pedoman praktis untuk
memperkenalkan makanan padat pada usia sekitar 6 bulan di rumah dapat dimulai
dengan buah dan sayuran, diikuti oleh makanan pelengkap lainnya, seperti daging
merah dan sereal (Tabel IX). Jika seorang bayi mentoleransi berbagai protein
makanan awal, pengenalan berikutnya mungkin lebih liberal. Toleransi terhadap
satu makanan dari kelompok makanan dianggap sebagai indikator prognostik
yang menguntungkan untuk toleransi terhadap makanan lain dari kelompok yang
sama. Pada bayi dengan FPIES yang parah dan / atau FPIES yang diinduksi oleh
kedelai, introduksi zat padat yang diawasi dapat dipertimbangkan untuk
mempromosikan penerapan variasi makanan yang normal dan mencegah
penghindaran yang tidak perlu.
Bagian 7: Pengaturan Nutrisi untuk FPIES

Kesimpulan pernyataan 24: Memberi bimbingan selama pengenalan makanan


pelengkap untuk memastikan adanya kecukupan nutrisi saat ini dan di masa
yang akan datang. [Strength of Recommendation: Strong; Evidence Strength:
III; Grade C]

Anak-anak dengan alergi makanan telah dicatat memiliki kekurangan


dalam energi, protein, vitamin A, vitamin D, kalsium, zat besi, dan seng. Infantil
FPIES mempunyai risiko kekurangan nutrisi yang disebabkan oleh pembatasan
diet dan pengenalan terhadap makanan baru yang tertunda. Pengalaman makanan
yang terbatas dapat mempengaruhi asupan makanan selama bertahun-tahun
kemudian. Umumnya direkomendasikan bahwa pengasuh memperkenalkan
makanan baru sebagai bahan tunggal dan, dalam kasus makanan yang berisiko
tinggi, untuk menunggu setidaknya 4 hari sebelum memperkenalkan makanan lain
untuk mengamati perkembangan reaksi. Pengasuh harus mengetahui bahwa
eliminasi dari makanan tunggal pun dapat dikaitkan dengan defisiensi nutrisi yang
signifikan. Konsultasi dengan ahli gizi sangat dianjurkan untuk memudahkan
pengaturan gizi.

Kesimpulan pernyataan 25: Jangan secara rutin merekomendasikan


pengindaran produk dengan precautionary allergen kepada penderita FPIES..
[Strength of recommendation: Weak; Evidence strength: IV; Evidence grade:
D]

Tidak ada penelitian yang mengidentifikasi dosis ambang yang dapat


diandalkan (Threshold Dose (TD)) pada pasien dengan FPIES. Di antara 28 anak-
anak yang menjalani OFC ke CM, 53,6% mentoleransi 121 mL CM dan 82%
ditoleransi 50 mL CM sebelum memiliki reaksi. TD tinggi telah dilaporkan.
Namun, penelitian lebih lanjut telah melaporkan TD hanya 0,15 g protein / kg
berat badan dalam 15 (93,7%) dari 16 kasus FPIES yang dikonfirmasi disebabkan
oleh CM, kedelai, telur, beras, dan oat. Oleh karena itu, dianjurkan menghindari
makanan pemicu yang ketat.

Kesimpulan pernyataan 26: Gunakan susu formula hypoalergen untuk bayi


yang tidak lagi bisa disusui dan telah didiagnosis FPIES yang disebabkan oleh
susu sapi. [Strength of recommendation: Strong; Evidence strength: IIa/IIb;
Evidence grade: B]

Guideline resmi merekomendasikan formula hypoallergenic untuk


pengobatan FPIES berdasarkan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa
kebanyakan anak mentoleransi formula hidrolisat secara ekstensif, meskipun ada
anak-anak terpilih yang mentoleransi secara eksklusif. AAFs adalah satu-satunya
formula yang sepenuhnya nonallergenic dan bisa efektif pada pasien yang tidak
merespon secara ekstensif formula terhidrolisis dan mereka dengan FTT. Formula
kedelai mungkin merupakan alternatif yang dapat diterima terutama pada bayi
yang berusia lebih dari 6 bulan, namun, pengenalan dari formula tersebut harus
dilakukan dengan hati – hati karena potensi untuk coreactivity antara pasien
dengan FPIES yang diinduksi oleh kedelai dan mereka dengan FPIES yang
diinduksi oleh susu sapi.

Kesimpulan pernyataan 27: Mengawasi pertumbuhan (berat dan tinggi) anak


dengan FPIES secara teratur. [Strength of recommendation: Moderate;
Evidence strength: III; Evidence grade: C]

Nowak dan lainnya melaporkan bahwa bayi dengan FPIES yang diinduksi
oleh susu sapi atau kedelai terpapar pada protein-protein ini setiap hari secara
khas dan menunjukkan kenaikan berat badan yang buruk, penurunan berat badan,
atau FTT yang hilang dengan penghapusan makanan yang terlibat. Pertumbuhan
yang buruk pada anak-anak dengan FPIES yang telah berhasil menghilangkan
makanan yang terlibat dan tetap asimtomatik belum dilaporkan. Anak-anak
dengan FPIES dan menghindari beberapa makanan atau kesulitan meningkatkan
diet mungkin berisiko lebih tinggi. Pertumbuhan (berat, panjang / tinggi,
dan lingkar kepala) harus dinilai secara berkala berdasarkan standar nasional.

Kesimpulan pernyataan 28: Merekomendasikan makanan yang meningkatkan


perkembangan keterampilan pada bayi pada saat masa makanan pendamping
ASI untuk mencegah perilaku makan yang tidak menyenangkan dan adanya
penundaan perkembangan penerimaan makanan dan keterampilan makan.
[Strength of recommendation: Weak; Evidence strength: IV; Evidence grade:
D]
Pengenalan yang tepat tentang berbagai rasa dan tekstur mempengaruhi
penerimaan rasa, keterampilan makan, dan perilaku makan. Menemukan rasa dan
tekstur yang tepat untuk bayi dan anak-anak dengan FPIES membutuhkan
kreativitas ketika beberapa makanan padat dibatasi. Banyak tekstur dapat
diberikan, bahkan jika hanya 1 makanan yang dapat ditoleransi, karena satu buah
atau sayuran dapat dibuat menjadi sesuatu yang tipis atau tebal, bubur dengan
gumpalan, lembut dimasak untuk makanan jari, atau dikeringkan kering atau
digoreng / dipanggang dalam minyak olahan untuk tekstur renyah yang renyah (
Tabel IX).

Bagian 8: Sejarah Alami dari FPIES

Kesimpulan pernyataan 29: Mengenali bahwa usia perkembangan yang


ditoleransi pada penderita FPIES bervariasi tergantung pada makanan pemicu
dan negara asal. [Strength of recommendation: Strong; Evidence strength:
IIa/IIb; Evidence grade: B]

Pengembangan toleransi pada pasien dengan FPIES yang diinduksi oleh


CM, FPIES yang diinduksi oleh kedelai, atau keduanya telah dilaporkan terjadi
pada usia lebih dini daripada toleransi pada pasien dengan FPIES yang diinduksi
biji-bijian atau lainnya. Heterogenitas data yang signifikan dan potensi bias
seleksi mempengaruhi perkiraan ini. Rata-rata usia toleransi terhadap biji-bijian
yang dilaporkan adalah 35 bulan, dan itu untuk makanan padat lainnya adalah 42
bulan. Rata-rata usia toleransi yang dilaporkan untuk kedelai adalah sekitar 12
bulan tetapi berkisar dari 6 bulan hingga lebih dari 22 tahun. Dalam penelitian
kohort berbasis populasi besar dari Israel, untuk pasien dengan FPIES yang
diinduksi oleh CM, 60 % memiliki toleransi sebesar 1 tahun, 75% oleh 2 tahun,
dan 85% oleh 3 tahun.12 Dalam sebuah seri kasus AS yang besar, usia rata-rata
toleransi adalah 6,7 tahun. Namun, data dari studi berbasis tantangan di Korea
mencatat bahwa tingkat toleransi yang signifikan terhadap FPIES yang
disebabkan oleh CM dan kedelai dapat terjadi lebih cepat (12 dan 6 bulan,
masing-masing) daripada sebelumnya diasumsikan. Dalam mengumpulkan data
yang tersedia dari beberapa kohor kecil, usia toleransi CM tampaknya sekitar 3
tahun, tetapi kohor besar baru-baru ini menemukan usia toleransi yang lebih
lambat. Namun, data ini tidak berasal dari studi yang ditargetkan untuk
menentukan resolusi usia yang kuat dan dengan demikian mungkin bias terhadap
usia yang lebih tua. Dalam serangkaian kasus AS yang besar, usia rata-rata
resolusi untuk FPIES yang diinduksi oleh CM adalah 5,1 tahun, dan di Inggris
25% dari pasien memiliki FPIES yang diinduksi oleh CM bertahan pada usia 8
tahun.5,103 Data dari kasus AS besar yang sama. seri mencatat bahwa median
usia resolusi 4,7 tahun untuk padi dan 4,0 tahun untuk oat. Beberapa penelitian
mengamati bahwa pasien dengan CM-induced FPIES dan tanggapan SPT positif
yang diinduksi CM memiliki perjalanan yang lebih berlarut-larut dan usia
toleransi yang lebih tua (sekitar 13,8 tahun) dibandingkan dengan mereka dengan
tanggapan SPT negatif.

Kesimpulan pernyataan 30: Mengevaluasi penderita FPIES secara berkala


berdasarkan umur dan alergen makanan untuk menentukan apakah penderita
masih alergi atau tidak. [Strength of recommendation: Strong; Evidence
strength: IIb/III; Evidence grade: C]

Waktu ideal OFCs untuk menentukan resolusi belum dipelajari secara


sistematis tetapi dapat sangat bervariasi menurut negara, gizi dan makanan sosial
yang penting, dan preferensi individu. Di AS, diagnostik OFC biasanya dilakukan
dalam 12 hingga 18 bulan setelah reaksi terbaru. Data Korea menunjukkan anak-
anak mungkin siap dalam satu tahun diagnosis, dengan tingkat toleransi untuk CM
dan kedelai berkisar antara 27% dan 75% pada 6 bulan, 42% dan 91% dan 8
bulan, dan 64% dan 92% pada 10 bulan, masing-masing. CM-induced FPIES
diselesaikan pada semua anak pada usia 2 tahun, dan FPIES yang diinduksi oleh
kedelai diselesaikan pada usia 14 bulan; 50% dari CM-induced FPIES
diselesaikan dalam tahun pertama kehidupan, 89% pada usia 2 tahun, dan 90%
pada usia 3 tahun. Sebaliknya, seri retrospektif dari Amerika Serikat melaporkan
tingkat yang lebih rendah dari resolusi FPIES ke CM atau kedelai : 35% pada usia
2 tahun, 70% pada usia 3 tahun, dan 85% pada usia 5 tahun.4,5 Perbedaan ini
mungkin mencerminkan berbagai desain penelitian, preferensi penyedia,
perbedaan internasional dalam pendekatan terhadap pasien tersebut, atau bias
seleksi terhadap fenotipe yang lebih berat dan menetap di antara anak-anak yang
dievaluasi di pusat rujukan alergi dibandingkan dengan anak-anak yang
diidentifikasi dari populasi umum. Tidak ada data tentang resolusi FPIES untuk
makanan laut pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa. Evaluasi ulang
secara periodik juga harus dipertimbangkan pada pasien dewasa.

Penilaian akan kebutuhan di masa yang akan datang


Berikut merupakan beberapa bahasan yang menjadi prioritas dalam identifikasi
pasien dengan FPIES :
1. Karakteristik dari FPIES kronik
2. Prevalensi FPIES
3. Identifikasi faktor FPIES
4. Validasi kriteria diagnostic
5. Standarisasi protocol OFC dan kriteria positif untuk makanan percobaan
6. Menentukan patofisiologi dari akut dan kronik FPIES
7. Memahami hubungan antara atopi dengan FPIES
8. Mengembangkan biomarker non-invasif untuk diagnostic dan monitoring
untuk perbaikan
9. Mengembangkan pendekatan terapi untuk mempercepat perbaikan FPIES
10. Menentukan peran dari ondansentron dalam tatalaksana reaksi FPIES
11. Menentukan apakah susu dan telur yang dipanaskan/dipanggang dapat
ditoleransi oleh anak dengan FPIES
12. Menunjukkan evaluasi secara sistemik dari prevalensi defisit nutrisi,
pertumbuhan yang buruk dan sulit untuk makan pada bayi dengan FPIES
dan menyediakan tindakan preventif
13. Menyediakan penelitian kohort untuk melihat hasil (outcome) dari FPIES
pada anak dan orang dewasa
Kesimpulan

Dokumen konsensus memberikan pedoman berbasis bukti internasional


pertama untuk meningkatkan diagnosis dan manajemen pasien dengan FPIES. Ini
juga mengidentifikasi kebutuhan yang tidak terpenuhi dan arah masa depan untuk
penelitian. Penelitian tentang prevalensi, patofisiologi, penanda diagnostik, dan
perawatan masa depan diperlukan untuk meningkatkan perawatan pasien dengan
FPIES. Panduan ini akan diperbarui secara berkala seiring semakin banyak bukti
tersedia.

Anda mungkin juga menyukai