Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkawinan sebagai bentuk sakral suami istri dalam hidup suatu rumah

tangga yang menciptakan kehidupan yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

Selain itu membina sebuah mahligai rumah tangga atau hidup berkeluarga

merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah. Kehidupan dan

peradaban manusia tidak akan berlanjut tanpa adanya kesinambungan

perkawinan dari setiap generasi manusia. Karena itu Rasulullah saw

menganjurkan kepada umatnya yang telah mampu untuk menikah :

“Perkawinan adalah sunnahku, siapa saja yang benci terhadap sunnahku,

maka mereka bukan termasuk umatku”(HR. Bukhari Muslim)

Kehidupan suami istri ini mesti memberikan rasa ketenangan dan kasih

sayang antar insan yang mengarungi bahtera hidup rumah tangga. Rumah

tangga islami, dibangun di atas iman dan taqwa sebagai pondasinya, syariah

atau aturan Islam sebagai bangunannya, akhlak dan budi pekerti mulia sebagai

hiasannya. Rumah tangga seperti inilah yang akan tetap kokoh dan tidak mudah

rapuh dalam menghadapi kehidupannya.

Disisi lain, seindah apapun kehidupan rumah tangga, namun tidak selalu

berjalan mulus dan lancar. Pasti menemukan pertikaian baik itu dimulai dari

faktor luar maupun dari dalam rumah tangga itu sendiri. Ini tidak hanya terjadi
2

bagi umat setelah nabi Muhammad saja, tapi di masa nabi dan para Anbiya’

sebelum beliau juga mengalami hal demikian.

Salah satu permasalahan yang menjadi kasus dalam rumah tangga ini di

antaranya seperti Nusyuz istri, atau yang dikenal sebagai pelanggaran yang

dilakukan oleh pihak istri. Pada hakikat sebenarnya, Nusyuz itu bukanlah tabiat

asli perempuan, melainkan sifat yang timbul dikemudian.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa yang dimaksud dengan Nusyuz
b. Apa yang dimaksud dengan Siqaq

C. TUJUAN PENULISAN
a. Untuk Mengetahui Penyelesaian Nusyuz
b. Untuk Mengetahui Penyelesaian Siqaq
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Nusyuz

Nusyuz menurut bahasa adalah tempat yang tinggi. Sedangkan nusyuz

menurut istilah adalah pembangkangan yang dilakukan seorang istri kepada

suami, terkait dengan kewajiban istri kepada suaminya. Seakan-akan si istri

merasa lebih tinggi dan menyombongkan diri kepada suaminya.

Arti kata nusyuz adalah membangkang. Menurut Slamet Abidin dan H.

Aminuddin, nusyuz berarti durhaka. Maksudnya, seorang istri melakukan

perbuatan yang menentang suami tanpa alasan yang yang dapat diterima

syara’. Ia tidak menaati suaminya atau menolak diajak ketempat tidurnya.1

a. Nusyuz Istri

Dalam kitab Fath al Mu’in disebutkan termasuk perbuatan nusyuz, jika

istri enggan bahkan tidak mau memenuhi ajakan suami, sekaipun ia sedang

sibuk mengerjakan sesuatu. Adapun beberapa perbuatan yang dilakukan istri,

yang termasuk nusyuz, antara lain sebagai berikut:2

a. Istri tidak mau pindah mengikuti suami untuk menempati rumah

yang telah disediakan sesuai dengan kemampuan suami, atau istri

meninggalkan rumah tanpa seizin suami

1H. M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Raja
Grafindo Persada 2010 ) h. 185
2 Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fikih Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999) h. 185
4

b. Apabila keduanya tinggal di rumah istri atas seizin istri, kemudian

pada suatu ketika istri melarangnya untuk masuk ke rumah itu dan

bukan karena hendak pindah rumah yang disediakan oleh suami

c. Istri menolak ajakan suaminya untuk menetap di rumah yang

disediakannya tanpa alasan yang pantas

d. Apabila istri berpergian tanpa suami atau mahramnya walaupun

perjalanan itu wajib, seperti haji, karena perjalanan perempuan tidak

dengan suami atau mahramnya termasuk maksiat.

Apabila suami melihat bahwa istri akan berbuat hal-hal semacam itu,

maka ia harus memberi nasihat dengan baik, kalau ternyata istri masih

berbuat durhaka hendaklah suami berpisah ranjang. Kalau istri masih berbuat

semacam itu dan meneruskan kedurhakaannya, maka suami boleh

memukulnya dengan syarat tidak melukai badannya. Hal ini sesuai dengan

firman Allah SWT. QS. Surah An Nisa Ayat 34:

َ َ‫ض ِربُوه اُن فَإ ِ ْن أ‬


‫ط ْعنَ ُك ْم فَ ََّل تَ ْبغُوا‬ ْ ‫اجعِ َوا‬
ِ ‫ض‬َ ‫ظوه اُن َوا ْه ُج ُروه اُن فِي ْال َم‬
ُ ‫شوزَ ه اُن فَ ِع‬ ‫… َو ا‬.
ُ ُ‫الَّلتِي تَخَافُونَ ن‬

‫سبِ ا‬
‫يَّل إِ ان ا‬
‫َّللاَ َكانَ َع ِليًّا َكبِ ا‬
‫يرا‬ َ ‫َعلَ ْي ِه ان‬

Terjemahan : wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka


nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka
mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha besar.3

3 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya.


5

Penjelasan Ayat

‫والالتي تخافون نشوزهن‬, ayat ini menjelaskan perempuan yang durhaka.

Menurut keterangan sebagian ulama, bermakna, jika diketahui dengan

pasti bahwa istrinya akan berbuat nusyuz. Sebagian ulama lain

menafsirkan, jika dirasa istrinya telah melakukan nusyuz dengan

memerhatikan qarinah perempuan tersebut, atau gerak-geriknya telah

berubah dari biasanya dalam melayani suaminya. Ketika terjadi istri yang

nusyuz terhadap suaminya, Allah memberikan petunjuk kepada para suami

untuk menanggapi istrinya.

Berdasarkan Ayat diatas, maka dapat dibagi kepada beberapa

tingkatan, yaitu :

1. ‫( فعظوهن‬nasehat atau pelajaran)

Ini adalah kewajiban pertama sebagai kepala rumah tangga. Ini

adalah proses pendidikan yang harus dilakukannya dalam semua

kondisi:

“Hai orang – orang yang beriman, peliharalah dirimu dan

keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia

dan batu.” (At-Tahrim: 6)

Memberikan nasehat maupun pelajaran terhadap istri, seperti

mengatakan kepadanya takutlah kepada Allah, maka aku

berkewajiban untuk memeliharamu, kembalilah dari hal-hal


6

seperti ini, ketahuilah engkau harus mematuhiku, dan lain

sebagainya.

Jika cara ini tidak berhasil, istri merasa dirinya lebih tinggi dari

pada suaminya dalam hal tertentu, maka ditempuh dengan tingkat

berikutnya.

2. ‫ ( واهجروهن في المضاجع‬pisah tempat tidur)

Ulama berbeda pendapat memahami teks ayat ini. Pendapat Said bin

Zubair mengatakan bahwa yang dimaksud adalah kinayah dari tidak

menggauli mereka. Pendapat lain mengatakan maksudnya

meninggalkan mereka sendirian dalam kamar.

Ada juga yang mengatakan tidak bergaul dengannya dan juga tidak

berbicara dengan mereka. Namun tidak boleh pisah bicara kecuali

selama 3 hari.

Namun dengan jalan ini tidak efektif bagi si istri, maka dilanjutkan

pada tingkat berikutnya.

3. ‫واضربوهن‬
ِ ( memukul )

Tujuan dari memukul istri di sini bukan untuk menyakitinya,

melainkan hanya untuk mendidik dan menyadarkannya. Menurut

Qatadah, pukulan yang tidak membuat cidera.


7

Para ulama juga menguatkan bahwa pukulan itu hendaknya tidak di

satu tempat dan dihindari dari memukul wajah, sebab wajah itu pusat

kecantikan seseorang.

Namun, sekalipun dibolehkan memukul dengan maksud tidak

menyakiti, tapi lebih baik untuk tidak memukul sebagaimana dalam

sabda Nabi saw :

“orang-orang yang baik diantara kamu tidak akan memukul

(istrinya)”.

Adapun bentuk pukulan untuk menangani nusyuz istri yaitu

yang bukan untuk menyakiti istri itu sendiri ataupun untuk

melampiaskan kemarahan suami terhadap istri, melainkan untuk

mendidik dan menyadarkannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

durhakanya sang istri (nusyuz) itu ada tiga tingkatan:

a. Ketika tampak tanda-tanda kedurhakaannya suami berhak

memberi nasihat kepadanya.

b. Sesudah nyata kedurhakaannya, suami berhak untuk berpisah

tidur dengannya.

c. Kalau dia masih durhaka, suami berhak memukulnya.

Rasulullah SAW bersabda :

ِ ‫ او اَل ت ا ْه ُج ْر إِ اَل فِي ا ْلبا ْي‬،‫ او اَل تُقابِ ْح‬،‫ب ا ْل اوجْ ها‬
‫ت‬ ْ ‫اَل ت ا‬
ِ ‫ض ِر‬
8

“Jangan memukul wajahnya, jangan mencacinya, dan jangan meng-


hajr-nya kecuali di dalam rumah saja” (HR. Abu Dawud, dinilai
shahih oleh Al Hakim dan Ibnu Hibban)

As Shabuni berkata : Anjuran memukul dalam syariat Allah,


hanya salah satu jalan mencapai kemaslahatan. Diriwayatkan dari
‘Atha’, ia berkata : “Janganlah seorang suami memukul istrinya,
andaikata perintah dan larangan itu tidak diindahkan, tetapi
cukuplah ia marah kepadanya, karena Rasulullah saw bersabda:

‫ياركم‬
ُ ‫ب ِخ‬ ْ ُ‫ولن ي‬
‫ض ِر ا‬

“Orang – orang baik di antara kamu tidak akan memukul


(istrinya)”

Dari ayat dan juga hadis tersebut kita bisa menangkap pesan

bahwa Islam tidak menghendaki adanya kekerasan dalam rumah

tangga. Meskipun terdapat ketidaksesuaian antara suami istri, Islam

mengajarkan cara-cara yang santun sebagai solusi guna melindungi

hak-hak perempuan dalam rumah tangga. Hal ini dibuktikan dengan

adanya perintah memukul bagi seorang suami untuk istrinya yang

melakukan pembangkangan sebagai solusi terakhir (ultimum

remidium) dengan tidak menggunakan kekerasan. Pemukulan di sini

difungsikan sebagai ta’dib (pendidikan) bukan penyiksaan.

Asbabun Nuzul Ayat

Pada suatu waktu, datanglah seorang wanita terhadap Rasulullah

saw untuk mengadukan masalah, yaitu dia ditampar mukanya oleh sang
9

suami. Rasulullah saw bersabda : “Suamimu itu harus diqishash

(dibalas)”. Sehubungan dengan sabda Rasulullah saw itu Allah SWT

menurunkan ayat ke 34 dan 35 yang dengan tegas memberikan

ketentuan, bahwa bagi laki-laki ada hak untuk mendidik istrinya yang

melakukan penyelewengan terhadap haknya selaku istri. Setelah

mendengar keterangan ayat ini wanita ini pulang dengan tidak menuntut

qishash terhadap suaminya yang telah menampar mukanya.

(HR. Ibnu Abi Hatim dari Hasan)

Pada suatu waktu datanglah seorang wanita yang mengadukan

masalahnya kepada Rasulullah saw. Dia pada suatu ketika ditampar

mukanya oleh suaminya, yang suaminya itu adalah salah seorang

sahabat anshar. Maksud kedatangan wanita itu kepada Rasulullah saw

untuk menuntut balas terhadap perbuatan suaminya. Rasululluh pada

ketika itu mengabulkan permohonannya, sebab belum ada ketegasan

hukum dari Allah SWT. Sehubungan dengan peristiwa itu Allah SWT

menurunkan ayat tersebut sebagai ketegasan tentang hak kewajiban

suami untuk mendidik istrinya yang membangkang.

(HR. Ibnu Jarir dari beberapa jalan yang datang sampai Hasan.
Demikian juga bersumber dari Ibnu Juraij dan Suddi)

Ayat ini turun berkenaan dengan pribadi Sa’d bin Rabi’ bersama

istrinya Habibah bin Zaid. Sa’d termasuk salah seorang kepala suku.
10

Tetapi kedua-duanya dari suku Anshar. Peristiwanya yaitu pada suatu

hari Habibah durhaka kepada suaminya, lalu sang suami menamparnya.

Kejadian ini lalu dilaporkan oleh ayahnya bersama anaknya itu

kepada Nabi saw. Lalu si ayah berkata : Anakku Habibah ini telah

mempersiapkan tempat tidur untuk suaminya, tetapi suaminya

menamparnya. Maka Nabi bersabda :

‫ِلت ا ْقت ا ا‬
‫ص ِم ْن از ْو ِجهاا‬

“Dia boleh membalas suaminya”.

Lalu Habibah bersama ayahnya keluar hendak membalas Sa’d.

Tetapi saat belum jauh, mereka dipanggil oleh Nabi: Ketahuilah, karena

kini Jibril telah datang padaku dengan membawa ayat “Laki – laki

adalah pemimpin bagi wanita . . . (An-Nisa’ ayat 34)”. Seraya Beliau

bersabda :

“kami mempunyai kehendak tentang suatu perkara, tetapi Allah


pun mempunyai kehendak lain tentang suatu perkara. Sedang
kehendak Allah justru lebih baik”.
Maka perintah membalas suaminya tersebut dicabut oleh Rasulullah.

b. Nusyuz Suami

Nusyuz juga ada di kalangan kaum laki-laki, demikian juga perlu

diketahui tentang apa saja yang termasuk perbuatan nusyuz dari pihak suami.

Nusyuz suami ialah acuh terhadap istrinya, tidak mencintainya.

Apabila seorang istri dengan yakin melihat suaminya nusyuz kepada dirinya
11

maka keduanya mencari penyelesaian yang mereka setujui bersama, mau

meneruskan perkawinannya dengan baik atau bercerai dan melepasnya

dengan baik pula.4

Pernikahan bukanlah soal kekuasaan suami terhadap istri atau

sebaliknya. Pernikahan adalah kehidupan bersama yang dipertemukan oleh

amanat dan tanggung jawab. Masing-masing pihak harus saling

membahagiakan dan tidak memaksakan kehendak pribadinya agar

pernikahan tetap langgeng dan menghasilkan buah hati yang baik dan

diberkati. Kesetiaan terhadap kehidupan rumah tangga adalah kesetiaan

terluhur dan tersuci.

Nusyuz suami Sebgaimana Firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 128

sebagai berikut:

‫ص ْل ُح َخي ٌْر‬
ُّ ‫ص ْل احا َوال‬ ْ ُ‫وزا أ َ ْو إِع َْراضاا فََّلَ ُجنَا ْ َح َعلَ ْي ِه َما أَن ي‬
ُ ‫ص ِل َحا بَ ْينَ ُه َما‬ ‫ش ا‬ ُ ُ‫ت ِمن بَ ْع ِل َها ن‬ ْ َ‫َوإِ ِن ا ْم َرأَة ٌ خَاف‬
‫يرا‬‫َّللاَ َكانَ بِ َما تَ ْع َملُونَ َخبِ ا‬
ّ ‫ش اح َوإِن تُحْ ِسنُواْ َوتَتاقُواْ فَإِ ان‬ ُ ُ‫ت األَنف‬
ُّ ‫س ال‬ ِ ‫ض َر‬ ِ ْ‫َوأُح‬

Terjemahan : Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
tidak acuhi suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian
itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut
tabiatnya kikir Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik
dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. (QS. an-Nisa’ :128).

Penjelasan Ayat

4 Agus Salim, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1985), h. 160
12

Jika isteri mengetahui bahwa suaminya nusyuz atau berpaling darinya, seperti

suami tidak mempergaulinya, mengabaikan nafkah atau acuh dan memalingkan

muka sebagai tanda kebencian, bukan karena sebab-sebab yang lain seperti

sibuk dan lelah. Karena seringkali suami berperilaku demikian sebab

kesibukannya, bukan karena kebencian.

Kata "‫ "عليهما‬berarti perdamaian itu harus melibatkan kedua belala pihak.

Misalnya isteri merelakan sebagian haknya untuk tidak dipenuhi oleh suami

(misalnya, nafkah) atau merelakan seluruh haknya, nafkah dan tidur bersama,

agar isteri tetap mendapatkan perlindungan dan kehormatan. Akan tetapi suami

tidak boleh mengacuhkan isteri sengaja dengan harapan isteri merelakan hak-

haknya untuk tidak dipenuhi suami.

Asbabun Nuzul Ayat

Riwayat yang menjelaskan latarbelakang ayat ini diturunkan, ketika

Saudah Binti Zam`ah merasa bimbang karena Rasulullah saw. akan

menceraikannya, lantas dia berkata kepada Baginda saw.,

“Janganlah ceraikan saya, tetap jadikan saya (sebagai isteri), dan


berikanlah satu hari giliran saya kepada Siti Aisyah”.
13

Rasulullah saw. menerima tawaran tersebut lalu ayat tersebut

diturunkan.

Riwayat lain memaparkan pula tentang latar belakang turunnya ayat tersebut,

bahwa alasan seorang suami tidak senang kepada istrinya disebabkan karena

sudah tua renta. Oleh sebab itu, suami hendak menceraikannya, namun si istri

berkata,

“Jangan ceraikan aku, berikan aku giliran jika saja engkau berkehendak”

Syaikh Ibrahim al-Bajuri menjelaskan suami yang nusyuz adalah tidak

melaksanakan hak-hak istrinya, seperti tidak bergaul dengan cara yang baik,

tidak memberikan giliran, dan tidak memberi nafkah.5

M. Quraish Shihab menafsiri ayat tersebut, dan jika seorang istri khawatir

(menduga) dengan adanya tanda-tanda akan nusyuz keangkuhan yang

mengakibatkan ia meremehkan istrinya dan menghalangi hak-haknya.6

Dr. Mustafa al-Khin menganggap suami nusyuz apabila pengabaian dan

keengganan berlaku di dipihak suami dengan dia tidak menunaikan giliran,

tidak memberi nafkah, bertindak kasar dengan perkataan atau perbuatan.7

B. SYIQAQ

5 Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim, Juz II, h. 129
6 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid II, h. 604
7 Mustafa al-Khin dan Dr. Mustafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji 2, h.105
14

Syiqaq” berarti “perselesihian” atau “retak”. Menurut istilah Syiqaq

adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa,

sehingga antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran,

menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua belah pihak

tidak dapat mengatasinya.8

Firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 35

Terjemahan : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara


keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-
laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua
orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengena.

Menurut firman Allah tersebut, jika terjadi kasus syiqaq antara suami

istri, maka diutus hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri

untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sabab musabab terjadi

syiqaq dimaksud serta berusaha mendamaikannya, atau mengambil prakarsa

putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya.

Terhadap kasus syiqaq ini, bertugas menyelidiki dan mencari hakikat

permasalahannya, sebab musabab timbulnya persengketaan, berusaha seberapa

mungkin untuk mendamaikan kembali agar suami istri kembali hidup bersama

dengan sebaik-baiknya, kemudian jika jalan peradamain itu tidak mungkin

ditempuh, maka kedua hakam berhak mengambil inisiatif untuk

8 Abdur Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media), 2006, h. 241
15

menceraikannya, kemudian atas dasar prakarsa hakam ini maka hakim dengan

keputusannya menetapkan perceraian tersebut.9

Dari ayat di atas bahwa syiqaq tidak memberi hak talak langsung

kepada salah satu dari suami ataupun istri, tetapi harus menempuh cara

perdamaian yang ditetapkan.10 Pertama secara intern antara keduanya dengan

musyawarah, kedua agak keras dengan melibatkan mertua dan ketiga dengan

masing-masing harus menunjuk hakim yang bertugas mendamaikan

perselisihan mereka, seperti mediasi dengan mediator.11

Kedudukan cerai sebab kasus syiqaq adalah bersifat ba’in. Artinya

antara bekas suami istri hanya dapat kembali dengan akad nikah yang baru.12

9 Ibid,h. 242
10 Abdullah Siddiq, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Tintamas, 1968), h. 74
11 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam,( Jakarta : Bulan Bintang, 1988), h. 243
12 Abdullah Siddiq,(Op.cit), h. 243
16

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Nusyuz menurut bahasa adalah tempat yang tinggi. Sedangkan nusyuz

menurut istilah adalah pembangkangan (kedurhakaan) yang dilakukan

seorang istri kepada suami, terkait dengan kewajiban istri kepada suaminya.

Seakan-akan si istri merasa lebih tinggi dan menyombongkan..

Nusyuz Istri

Perbuatan nusyuz, jika istri enggan bahkan tidak mau memenuhi ajakan

suami, sekalipun ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu.

Apabila suami melihat bahwa istri akan berbuat hal-hal semacam itu, maka

ia harus :

a. Memberi Nasehat/ Pelajaran

b. Pisah Ranjang

c. Memukul

Nusyuz Suami

Nusyuz juga ada di kalangan kaum laki-laki, Nusyuz suami ialah acuh

terhadap istrinya, tidak mencintainya. Apabila seorang istri dengan yakin

melihat suaminya nusyuz kepada dirinya maka keduanya mencari

penyelesaian yang mereka setujui bersama.


17

a. Perempuan harus sabar menghadapi

b. Melakukan Upaya perdamaian mau meneruskan perkawinannya

dengan baik atau bercerai dan melepasnya dengan baik pula.

Siqaq

Syiqaq” berarti “perselesihian” atau “retak”. Menurut istilah Syiqaq

adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa,

sehingga antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran,

menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua belah pihak

tidak dapat mengatasinya.

Penyelesaian :

Maka diutus hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri

untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sabab musabab

terjadi syiqaq dimaksud serta berusaha mendamaikannya.

B. SARAN

Menghadapi istri yang durhaka, Allah memberikan bimbingan yang

paling bijaksana. Mulai dari bersikap sabar, kemudian dengan nasihat,

kemudian baru dengan ditinggalkan di tempat tidur. Kalau semua itu tidak

berhasil, maka barulah dipergunakan cara lain dengan pukulan yang tidak

menyakitinya.
18

Pukulan ini dan sebagainya lebih ringan daripada cerai. Sebab cerai itu

dapat meruntuhkan eksistensi rumah tangga dan dan merusak ikatan. Meski

pukulan agak dinilai kasar, namun itu lebih baik dibandingkan harus tejadi

perceraian.

Pukulan bukanlah merendahkan derajat perempuan, tetapi pukulan

yang dimaksud adalah salah satu metode pengobatan/ Mendidik dan sangat

bermanfaat bagi jiwa yang kurang lurus atau bagi yang tidak dapat

memahami kebaikan dan tidak bisa mengambil manfaat sesuatu dari apa

yang sampaikan suami.


19

DAFTAR PUSTAKA

H. M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah

Lengkap Jakarta: Raja Grafindo Persada 2010.

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fikih Munakahat, Bandung: Pustaka Setia,

1999

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya.

Agus Salim, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka

Amani, 1985

Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Ibn Qasim, Juz II.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid II.

Mustafa al-Khin dan Dr. Mustafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji 2.

Abdur Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2006.

Ibid.

Abdullah Siddiq, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Tintamas, 1968.

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam,Jakarta : Bulan Bintang, 1988.

Abdullah Siddiq,Op.cit.

Anda mungkin juga menyukai