Anda di halaman 1dari 12

PRESIPITASI

Berbagai Pemeriksaan Imunologi untuk Menunjang Diagnosa


Perkembangan yang pesat dalam imunobiologi dan imunokimia membuka jalan bagi
kinik untuk secara luas menerapkan pemeriksaan laboratorium imunologi untuk
menunjang diagnosa dan sebagai pedoman penatalaksanaan penderita. Secara umum
pemeriksaan imunologi dalam menunjang diagnosa tersebut dibagi dalam dua
golongan 1, yaitu :
I. pemeriksaan imunologi untuk menentukan kompetensi imunologik baik
pada orang normal maupun pada kelainan respons imunologik.
II. pemeriksaan imunologi yang dipakai untuk menunjang diagnosa penyakit-
penyakit non-imunologik.

Dalam makalah ini penulis membatasi diri pada prinsip-prinsip imunodiagnostik in


vitro yang pada saat ini telah dapat dilakukan di laboratorium Patologi Klinik
FKUI/RSCM.
Disamping itu akan dikemukakan pula beberapa tes untuk menguji respons
imunologik seluler yang sepengetahuan penulis telah dapat dilakukan di
laboratorium-laboratorium tertentu di Indonesia.
Pada bagian lain tulisan ini akan dikemukakan prinsip-prinsip berbagai tes
imunokimia yang selain dapat dipakai untuk menguji respons imunologik humoral
juga dapat dipakai untuk menunjang diagnosa penyakit-penyakit non-imunologik.

I. Pemeriksaan untuk menilai fungsi imunologik.


Untuk memudahkan Bellanti membagi pemeriksaan-pemeriksaan ini dalam 3
golongan, yaitu tes untuk menguji respons imunologik non spesifik (primer),
spesifik (sekunder) dan yang mengakibatkan kerusakan jaringan (tertier).
1. Tes untuk menguji respons imunologik nonspesifik menggambarkan respons
tubuh terhadap benda asing secara nonspesifik, baik berupa reaksi inflamasi
maupun reaksi fagositosis. Yang dapat dilakukan in vitro diantaranya adalah
hitung jumlah leukosit dan hitung jenis, penetapan laju endap darah, dan
penetapan CRP untuk reaksi inflamasi, serta penetapan NBT (nitroblue
tetrazolium) untuk reaksi fagositosis.
2. Tes untuk menguji respons imunologik spesifik (sekunder) dapat pula
digolongkan dalam jenis-jenis tes untuk menguji respons imunologik seluler
dan jenis-jenis tes untuk menguji respons imunologik humoral.

 Uji respons imunologik seluler


Diantara uji respons imunologik seluler yang sudah sering dilakukan adalah
penentuan jumlah limfosit T dan B, uji hambatan migrasi leukosit atau makrofag
(LMI) dan stimulasi limfosit. Tahap pertama yang diperiksa adalah jumlah
limfosit secara absolut. Adanya limfopenia mengarahkan pikiran kita kepada
imunodefisiensi.
Tahap selanjutnya adalah penentuan jumlah masing-masing populasi limfosit.
Limfosit T dan B dapat dibedakan satu dari yang lain berdasarkan surface
markers limfosit T dan B yang berbeda. Limfosit B pada permukaannya
menunjukkan imunoglobulin sehingga apabila direaksikan dengan anti-imuno-
globulin yang telah ditandai (label) dengan zat warna fluorescein atau zat warna
lain dapat dilihat sebagai limfosit yang berfluoresensi dan dapat diperiksa
dibawah mikroskop fluoresensi.
Limfosit T mempunyai sifat yang khas yaitu dapat membentuk roset dengan
eritrosit domba secara spontan suatu sifat yang tidak dipunyai oleh limfosit B.
Dengan menghitung berapa persen limfosit yang berfluoresensi dan berapa yang
membentuk roset dapat diketahui jumlah limfosit B dan T dalam darah perifer
seseorang. Dalam keadaan normal jumlah limfosit B adalah 1--15% sedangkan
limfosit T 75--85%.Selebinya merupakan limfosit non--T non--B, termasuk
diantaranya sel K atau sel Null dan sel NK (natural killer).
Uji hambatan migrasi leukosit adalah suatu tes berdasarkan kemampuan sel T
untuk mengeluarkan zat-zat tertentu apabila dirangsang. Sel T penderita yang
sensitif terhadap salah satu jenis antigen. Bila dikonfrontasikan dengan antigen
itu, akan mengeluarkan berbagai zat (faktor). Salah satu faktor merupakan suatu
zat yang dapat menghambat migrasi leukosit atau makrofag.
Prinsip tes ini adalah untuk mengukur migrasi leukosit yang diinkubasi dalam
tissue culture medium limfosit yang berisi antigen tertentu. Pada keadaan
hipersensitifitas limfosit terhadap antigen itu, migrasi leukosit ini dihambat.
Tes stimulasi limfosit berdasarkan responst limfosit terhadap stimulasi
antigen. Responst itu dapat berupa transformasi limfosit ke dalam blast,
proliferasi atau peningkatan sintesa DNA dan RNA dalam sel tersebut. Aktifitas
ini dapat diukur dengan berbagai cara, diantaranya yang paling mudah adalah
memeriksa transformasi sel setelah dirangsang dengan phytohemaglutinin (PHA).

 Uji respons imunologik humoral.


Yang paling banyak dilakukan in vitro adalah penetapan imunoglobulin secara
kwantitatif yang dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya cara
imunodifusi radial, rocket imunoelektroforesis, imunonefelometri dan
turbidimetri.
Penetapan ini dilakukan apabila disangka ada imunodefisiensi akibat
gangguan fungal sel B. Ciri utama kelainan iniadalah penurunan kadar
imunoglobulin hingga defisiensi secara selektif misalnya defisiensi IgA, defisiensi
IgM bahkan defisiensi subkelas IgG. Pada kelainan imunoporliferatif, disamping
penetapan imunoglobulin kuantitatif perlu pula dilakukan penetapan
imunoglobulin kualitatif. Telah diketahui bahwa ada 2 jenis kelainan
imunoproliferatif yaitu gamopati polilclonal yang terjadi akibat stimulasi
antigenik secara kronik, dan gamopati monoklonal yang tejadi akibat proliferasi
imunosit yang berasal dari satu clone secara tidak terkendalikan yang biasanya
terjadi pada keganasan.
Kedua jenis gamopati ini prognosanya jauh berbeda sehingga perlu keduanya
dibedakan satu dari yang lain. Beberapa cara untuk membedakannya adalah
elektroforesis protein serum, imunoelektroforesis serum dengan menggunakan
antisera monospesifik, serta elektroforesis dan imunoelektroforesis urin 24 jam.
Uji respons imunologik yang mengakibatkan kerusakan jaringan dilakukan
apabila kerusakan jaringan disangka terjadi akibat adanya responst imunologik
baik terhadap antigen eksogen (alergi), antigen homolog (transfusi, transplantasi,
tumor) maupun antigen autolog (penyakit autoimun).
Beberapa tes in vitro yang dapat dilakukan adalah pengukuran IgE dan anti--
IgE pad a alergi yang dapat dilakukan dengan cara RIA (radioimmunoassay) atau
(enzymeimmunoassay (EIA), tes Coombs dan tes terhadap aglutinin eritrosit pada
reaksi transfusi yang dapat dilakukan dengan cara aglutinasi, dan apabila
kerusakan jaringan disangka disebabkan penyakit autoimun dapat dilakukan
pemeriksaan terhadap 34 RA faktor, komplemen dan antibodi terhadap berbagai
jaringan tubuh seperti anti-nuclear-antibody, anti-smooth muscleantibody dB.

II. Pemeriksaan imunologi untuk menunjang diagnosa penyakit non-


imunologik.
Berdasarkan kenyataan bahwa sebagai reaksi terhadap antigen, tubuh dapat
membentuk antibodi spesifik terhadap antigen itu, amak penetapan adanya
antibodi terhadap kuman-kuman tertentu dapat dipakai untuk menentukan
diagnosa berbagai jenis infeksi.
Disamping itu dengan tersedianya antiserum spesifik terhadap berbagai jenis
antigen atau protein, dapat pula ditetapkan adanya antigen-antigen tertentu
misalnya HBsAg, AFP dan lain-lain atau perubahan berbagai jenis protein seperti
fraksi-fraksi protein tertentu, hormon dan lain lain dalam serum.
Dasar tes imunokimia yang dipakai adalah interaksi antigen antibodi yang
dapat ditetapkan dengan macam-macam cara misalnya imunopresipitasi dan
aglutinasi, radio-immunoassay (RIA) enzyme-immunoassay (EIA) atau
imunomikroskopi.
Berbagai jenis tes tadi mempunyai spesifisitas dan sensitifitas yang berbeda-
beda. Cara RIA dan EIA dapat mencapai sensitifitas sampai kadar nanogram per
mililiter, akan tetapi untuk cara ini diperlukan reagens berupa antigen atau
antibodi yang murni (purified) dan suatu teknik untuk memisahkan kompleks
antigen-antibodi dari antigen atau antibodi yang bebas.
Sebaliknya cara presipitasi dan aglutinasi sensitifitasnya hanya mencapai
mikrogram per mililiter, akan tetapi cara ini biasanya sederhana dan mudah
dilakukan.
Dalam memilih cara yang akan dipakai, perlu pula diperhatikan nilai
diagnostik'hasil yang diperoleh. Sebagi contoh,dengan cara imunodifusi kadar
terendah AFP yang dapat ditentukan adalah ± 3000 nanogram/ml, dan biasanya
kadar setinggi signifikan untuk hepatokarsinoma atau karsinoma embrional.
Dengan cara RIA kadar AFP dapat ditentukan sampai 1 nanogram/ml, yaitu suatu
kadar AFP yang bukan saja terdapat pada berbagai jenis penyakit hati, tetapi juga
pada keadaan normal.
Selain itu, uji serologi banyak sekali jenisnya sejak dari yang sederhana
sampai yang kompleks, yaitu uji presipitasi, uji hemaglutinasi inhibisi, uji
komplemen fiksasi, dan uji ELISA.
Berikut penguraian tentang salah satu uji serologi, yaitu uji presipitasi.

Uji presipitasi
Uji ini merupakan reaksi antigen antibodi yang memperlihatkan reaksi
presipitasi dalam media agar. Hasil positif apabila ada garis presipitasi antara
antigen dan antibodi.
Atg Aby

K (-) Atg (?)

Selain itu, ada juga teknik imunopresipitasi yang merupakan salah satu cara
yang banyak dipakai untuk mengukur kadar antigen atau antibody. Antibodi yang
direaksikan dengan antigen spesifik membentuk kompleks yang tidak larut
(presipitasi) yang dapat diukur dengan berbagai cara. Reaksi presipitasi dapat
dilangsungkan dalam media cair maupun media semisolid (gel).
Dalam menerapkan teknik ini perlu dipertimbangkan beberapa keterbatasan.
Hal yang perlu menentukan adalah spesifisitas antiserum yang digunakan, dan larutan
standard yang stabil dengan kadar yang pasti. Disamping itu reaksi imunopresipitasi
dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya aviditas antibodi. Aiditas antibodi
menentukan derajat stabilitas kompleks antigen-antibodi pada tempat pengikatan
(antigen binding site); kompleks yang terbentuk cenderung berdisosiasi bila antibodi
mempunyai aviditas yang lemah, sebaliknya makin tinggi aviditas antibodi makin
stabil kompleks antigen-antibodi yang terbentuk. Selain itu masih ada faktor-faktor
lain yang berpengaruh misalnya suhu, pH dan molaritas larutan yang dipakai dan
yang tidak boleh diabaikan adalah perbandingan antara konsentrasi antigen dengan
antibodi.
Beberapa jenis reaktan menghasilkan imunopresipitasi yang optimal baik pada
suhu 0oC maupun 37oC, sedangkan pH yang dianggap paling baik adalah pH yang
netral, yaitu antara 6-7,5. Pakar lain menyatakan pH sebaiknya tidak kurang dari 6
dan tidak lebih dari 8,6. Pada pH kurang dari 6 dan lebih dari 8,6 kompleks antigen-
antibodi mudah berdisosiasi sehingga tidak terjadi presipitasi. Larutan yang dipakai
sebaiknya larutan dengan molaritas 0,15 M. Larutan dengan molaritas 0,15 M
mencegah terjadinya presipitasi.
Perbandingan antigen dengan antibodi merupakan faktor penting dalam reaksi
presipitasi. Pembentukan presipitasi terjadi apabila antara konsentrasi antigen dengan
antibodi tercapai keseimbangan. Kondisi antigen berlebihan akan mengakibatkan
melarutnya kembali kompleks yang terbentuk, sedangkan antibodi berlebihan
menyebabkan kompleks antigen-antibodi tetap ada dalam larutan. Hal pertama yang
disebut postzone effect dan yang kedua disebut prozone effect.
Zona ekivalen merupakan daerah dimana antigen dan antibodi ada dalam
keadaan seimbang. Zone ekivalen ini sempit apabila antigen mempunyai sifat mudah
larut; sebaliknya zone ekivalen ini lebih lebar apabila antigen mempunyai sifat mudah
larut; sebaliknya zone ekivalen ini lebih lebar apabila antigen tidak mudah larut dan
bermolekul besar atau bila dalam larutan terdapat beberapa jenis antigen
(multikomponen). Pada umumnya bila digunakan teknik imunopresipitasi ysng
menggunakan gel semisolid, diusahakan supaya reaksi presipitasi berlangsung dalam
zone ekivalen, jadi antigen dan antibodi berimbang, tetapi bila imunopresipitasi
berlangsung dalam media cair digunakan antibodi berlebihan agar supaya kompleks
imun tetap berada dalam larutan dan dapat diukur.
Termasuk ke dalam golongan ini adalah antara lain cara imunodifusi ganda,
elektrimunodifusi, imunoelektroforesis, imunodifusi radial dan imunonefelometri.

 Imunodifusi ganda
Yang masih banyak dipakai adalah imunodifusi ganda menurut Ouchterlony.
Teknik ini menggunakan lapisan agar sebagai media yang memisahkan antigen dari
antibodi. Pada lapisan agar tersebut dibuat sumur-sumur, kemudian ke dalam dua
sumur yang berhadapan masing-masing dimasukkan antigen dan antibodi. Setelah itu
antigen dan antibodi dibiarkan mendifusi kedalam lapisan agar dan ditempat dimana
keduanya bertemu dan mencapai keseimbangan akan terbentuk kompleks antigen-
antibodi berupa garis presipitasi.
 IMUNODIFUSI GANDA GARIS PRESIPITASI
Ekses Antibodi (Prozone)
Ekses Antigen (Postzone)
Reaktan Lapisan agar
Sample Keseimbangan antibodi secara semikuantitatif, yaitu dengan melakukan
beberapa pengenceran dan melaporkan pengenceran tertinggi yang masih dapat
membentuk presipitasi.
Elektroimunodifusi
Prinsip cara elektroimunodifusi ini sama dengan cara Ouchterlony, hanya saja di
sini difusi dipercepat dengan meletakkan kedua reaktan di antara medan listrik.
Juga di sini presipitasi kompleks antigen-antibodi terjadi pada titik keseimbangan
kedua reaktan.

 Imunoelektroforesis
Imunoelektroforesis merupakan gabungan antara teknik pemisahan fraksi-
fraksi protein dengan cara elektroforesis dan teknik imunodifusi ganda. Setelah
fraksi-fraksi protein dipisahkan satu dari yang lain dengan elektroforesis, ke dalam
parit yang dibuat sejajar dengan garis migrasi fraksi-fraksi protein, dimasukkan
antiserum, kemudian dibiarkan berdifusi. Setiap fraksi protein akan beraksi dengan
masing-masing antibodi spesifik yang terdapat di dalam antiserum, sehingga masing-
masing fraksi kemudian dapat diidentifikasikan secara terpisah.Cara ini selain dapat
dipakai menetapkan adanya antigen tertentu, juga dapat dipakai untuk menunjukkan
kelainan pada salah satu fraksi, misalnya kelainan imunoglobulin yang disebut
gamopati monoklonal atau paraprotein.
Pada keadaan normal atau pada gamopati polildonal garis presipitasi
berbentuk lengkung merata, sedangkan paraprotein atau gamopati monoklonal
menunjukkan kelainan dalam bentuk garis presipitasi seperti scooping, bulging atau
bifurkasi.

 Imunodifusi radial
Prinsip imunodifusi radial menurut Mancini,' adalah menggunakan lapisan
agar yang telah mengandung antibodi monospesifik kemudian ke dalam sumur-sumur
yang dibuat pada agar tersebut dimasukkan serum yang akan diperiksa.
Setelah serum dibiarkan berdifusi, maka presipitasi kompleks antigen-antibodi
yang terjadi tampak sebagai suatu cincin di sekitar sumur. Cara ini adalah cara
kuantitatif; besarnya cincin merupakan parameter untuk kadar antigen yang ada
dalam serum dan dapat ditentukan dengan menggunakan kurve standar. Aplikasi
klinik yang terpenting dari cara ini adalah penetapan imunoglobulin di dalam serum.

 Rocket elektroimunodifusi
Cara ini dikembangk:an oleh Laurell dan menupakan variasi cara imunodifusi
radial. Juga di sini digunakan lapisan agar yang telah mengandung antibodi,
kemudian ke dalam sumursumur yang dibuat pada agar tersebut dimasukkan
serum yang ingin diperiksa atau larutan standar. Difusi dipercepat dengan
meletakkan lempeng agar ini di antara medan listrik, sehingga presipitasi
kompleks antigen-antibodi tampak sebagai kerucut. Tinggi kerucut dapat diukur
dan merupakan parameter untuk kadar antigen dalam serum.

 Imunonefelometri.
Dalam dekade terakhir telah dikembangkan suatu cara yang menggunakan alat
yang dapat mengukur cahaya yang dihamburkan oleh molekul-molekul kompleks
antigen-antibodi.
Dengan menggunakan sinar laser sebagai sumber cahaya yang mempunyai
energi yang lebih kuat daripada lampu halogen biasa, sensitifitas tes dapat
ditingkatkan.

 Imunomikroskopi
Imunomikroskopi adalah suatu cara histokimiawi atau sitokimiawi untuk
menyatakan adanya kompleks antigen-antibodi pada permukaan sel atau jaringan.
Dengan menggunakan antigen atau antibodi yang ditandai dengan zat warna
atau indikator, kompleks tersebut dapat dilihat dibawah mikroskop.
Anti-imunoglobulin di-label dengan fluorescein Antigen. Imunomikroskopi
bermanfaat untuk menentukan adanya antibodi terhadap sel atau komponen sel tubuh
seperti autoantibodi yang terdapat dalam serum penderita penyakit auto-antibodi.

Berbagai istilah lainnya mengenai presipitasi :


 Protein metode presipitasi dan kit
Abstrak: Metode dan kit untuk menimbulkan protein dari larutan terdiri dari
surfaktan kationik amonium kuaterner dan chaotropic garam,
digunakan dalam kombinasi untuk mengendapkan protein reversibel
dari larutan. Hujan memisahkan protein yang terperangkap, non-
spesifik, dalam surfaktan kationik amonium kuaterner: chaotropic
garam kompleks sebagai pelet. Pelet protein yang dipercepat
dimurnikan lebih lanjut dengan cuci dengan pelarut organik untuk
menghilangkan surfaktan: chaotrope kompleks, meninggalkan murni,
konsentrasi protein yang dapat dicuci untuk memurnikan protein lebih
lanjut dan / atau kembali dilarutkan dalam buffer apa yang paling
cocok untuk setiap berturut-turut prosedur, seperti analisis. (akhir
abstrak)

 Uji Interaksi Antigen Antibodi


Reaksi presipitasi
- untuk antibodi/antigen terbentuk presipitat terlarut
- jumlah antigen & antibodi harus seimbang
Dasar pada pemeriksaan serologi adalah interaksi antara antigen dan antibodi
dapat menimbulkan berbagai akibat, diantaranya :
Presipitasi bila antigen merupakan bahan larut dalam cairan fisiologik, terjadi
bila antibody dan antigen dicampur dengan perbandingan yang seimbang,
selain itu dapat terjadi pula dalam medium setengah padat seperti gel agar.

Penelitian tentang :
 Penurunan Kadar Tembaga pada Limbah cair Industri Kerajinan Perak
DAFTAR PUSTAKA

Andaka, Ganjar. 2008. Penurunan Kadar Tembaga pada Limbah Cair Industri
Kerajinan Perak dengan Presipitasi Menggunakan Natrium Hidroksida.
Yogyakarta: FTI APRIND
Boedina Kristi, dr. Siti. Berbagai Pemeriksaan Imunologi Untuk Menunjang
Diagnosa. Jakarta: FKUI
Haryadi Wibowo, Michael. 2000. Uji agar Gel Presipitasi dan Uji Netralisasi Virus
Infectious Laryngotracheitis Isolat mengestoni Farm. Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UGM
http://www.freshpatents.com/-dt20091119ptan20090286967.php

Anda mungkin juga menyukai