Mycobacterium leprae merupakan basil patogen terutama pada manusia, berkembang lambat
(replikasi setiap 20-30 hari), fuchsinpositif, tahan asam, dan tidak mengeluarkan toksin. Sel schwann
merupakan target utama basil ini yang akhirnya menyebabkan kerusakan saraf, hilangnya axon,
demielinisasi, dan kecacatan. Pure neural leprosy diyakini sebagai fase awal patogenesis lepra sebelum
lesi kulit muncul (Ilona, 2017).
Basil ini masuk terutama melalui saluran pernapasan atas dan dapat juga melalui kulit,
kemudian menuju filamen eksoplasmik dan masuk ke dalam sel schwann dan saraf. Mycobacterium
leprae dapat masuk ke dalam sel schwann melalui beberapa cara. Pertama, selama bakteremia, karena
ia memiliki 21kDa specific laminin binding protein dan phenolic glycolipid I (PGL-1), yaitu suatu
glikokonjugat unik pada permukaan dinding sel basil lepra yang memungkinkan M. leprae menembus
perineural dan masuk ke dalam saraf. Kedua, menembus ujung saraf di dermo-epidermal junction dan
berjalan sentripetal sepanjang akson (Ilona, 2017).
Basil di dalam saraf dan sel schwann kemudian melakukan multiplikasi dan diseminasi,
memulai siklus baru yang invasif dan membentuk granuloma perineural setelah meninggalkan sel saraf.
Sel schwann tidak memiliki enzim lisosom yang mampu menghancurkan basil ini, sehingga basil lepra
dapat bertahan hidup lama di dalam saraf (Ilona, 2017).
Awalnya, basil mungkin difagosit oleh neutrofil, sehingga terjadi lisis parsial dan terbentuk
vakuola fagositosis (phagosomes), namun M. leprae tetap bisa hidup dan bereplikasi. Kemudian basil
ini bermigrasi ke jaringan ikat perivaskular dan ditangkap oleh makrofag yang kaya enzim lisosom yang
mampu membunuh organisme. Pada pasien dengan hasil pemeriksaan Mitsuda-positif, makrofag dapat
menghancurkan semua basil dan mendapatkan sinyal antigenik untuk bertindak sebagai antigen
presenting cell (APC), merangsang cell mediated immunity (CMI), dan akhirnya membentuk granuloma
epiteloid. Sedangkan pada pasien dengan hasil pemeriksaan Mitsuda negatif, hanya terjadi lisis parsial
dan fosfolipid bakteri tetap bertahan. Sel lepra atau virchowcytes mungkin muncul, tetapi sinyal
antigeniknya tidak lengkap dan sel-sel tidak dapat bertindak sebagai APC (Ilona, 2017).
Infiltrasi M. lepra ke dalam sel saraf menyebabkan inflamasi yang menimbulkan kompresi dan
kerusakan saraf sensorik yang tidak bermielin dan saraf otonom. Proses ini akhirnya akan mengenai
saraf motorik yang bermielin. Inflamasi berat akan menyebabkan nekrosis, sehingga merusak saraf
(Ilona, 2017).
Imunitas dimediasi oleh cell mediated immunity (CMI) yang memberikan perlindungan kepada
seseorang untuk melawan kusta. Ketika CMI baik akan spesifik dan efektif dalam menghilangkan/
mengendalikan infeksi di dalam tubuh, lesi akan sembuh secara spotan atau menghasilkan lepra tipe
paucibacillary (PB). Jika CMI kurang atau lemah, penyakit ini akan menyebar tidak terkontrol dan
menghsilkan kusta multibacillary (MB) dengan keteribatan banyak sistem. Kadang-kadang, respon
imun secara tiba-tiba juga berubah ketika perawatan MDT atau karena peningkatan status imunologik
yang menghasilkan peradangan kulit atau/ dan saraf bahkan jaringan lain, yang disebut dengan reaksi
lepra (tipe 1 dan tipe 2) (Ilona, 2017).
Lesi Kulit
Menurut Kumar (2009), lesi kulit mungkin merupakan satu-satunya gejala yang muncul dari penyakit
ini dan dapat muncul di mana pun di tubuh. Lesi ini dapat hadir sebagai makula, papula, plak, infiltrasi
dan nodul. Satu atau lebih bentuk lesi mungkin ada pada orang yang sama. Lesi kulit terhadap spektrum
tuberkuloid terdefinisi dengan baik dan mungkin mengalami kehilangan sensasi total ketika lesi kulit
di spektrum batas mengalami gangguan sensasi dan pada mereka yang mengarah ke spektrum
lepromatous tidak jelas dan tidak kehilangan sensasi. Suhu adalah sensasi pertama yang hilang diikuti
oleh sentuhan ringan, rasa sakit dan akhirnya tekanan yang dalam.
a. Makula/ patch/ papules/ palques/ nodules
- Penyakit dapat dimulai dengan satu atau lebih, kecil atau besar karakteristik hypo-pigmented
(patch lebih ringan dalam warna dibandingkan dengan kulit di sekitarnya) atau makula
eritematosa (Flat lesi kulit), dengan atau tanpa hyperesthesia / hypoesthesia / anestesi.
- Lesi kulit mungkin pucat, berwarna tembaga pada kulit gelap, atau kemerahan/ eritematosa pada
orang berkulit terang. Lesi tidak jelas menjadi lebih jelas pada paparan sinar matahari atau
setelah berolahraga atau mandi air panas.
- Gangguan/ kehilangan sensasi paling menonjol di patch (bercak) pada ekstremitas dan wajah.
- Permukaan lesi kulit mungkin kering, keriput dan granular.
- Kehilangan berkeringat (anhidrosis) karena trofik dan gangguan vasomotor di area yang
terpengaruh dapat terjadi cukup awal pada penyakit. Icthyosis (Kekeringan kulit) dan edema
kronis kaki (lebih jelas pada malam hari) biasanya ditemukan di kusta lepromatosa.
- Rambut pada kulit yang terkena mungkin jarang
- Saraf di sekitar lesi kulit dapat ditemukan menebal dengan atau tanpa kelembutan. Kecuali
selama fase pemulihan reaksi lepra, lesi kulit pada lepra tidak bersisik / mengelupas.
- Lesi kulit lepra tidak pernah kongenital, musiman.
- Tanpa perawatan, lesi kulit dapat meningkat dalam jumlah dan ukuran. Lesi ini dapat bergabung
dengan kulit yang terlihat normal dan infiltrasi difus yang kemudian berkembang menjadi
papula bilateral yang luas dan tersebar luas (mengangkat lesi kulit terkait untuk kulit di
sekitarnya), plak dan nodul.
- Nodul berwarna kulit / eritematosa / tembaga atau halus mengkilap tanpa kehilangan sensasi.
Nodul kuat pada palpasi. Mungkin muncul di kulit yang sehat atau di atas lesi kulit yang ada.
Nodul biasanya terlihat di wajah, telinga. Ini mungkin muncul bagian lain dari tubuh atau pada
selaput lendir hidung, faring & laring. Lesi ini biasanya terlihat pada pasien MB pada akhir
lepromatosa spektrum. Lesi infiltratif difus kulit mungkin tampak mengkilap, menebal dan
sedikit berwarna kemerahan. Lesi ini tidak menunjukkan kehilangan sensasi. Dalam kondisi
seperti itu, diagnosis harus dikonfirmasi oleh kulit tes noda.
- Fasies Leonine: Singa seperti penampakan wajah yang disebut leontiasis atau fasies leonine
mencakup beberapa fitur berikut: Lesi kulit infiltratif muncul di pipi, telinga, frontal dan
eminensa maksilaris. Kulit wajah menjadi mengental karena infiltrasi dan
nodulasi. Hidung menjadi bengkak dan melebar. Alis mata menjadi tipis atau benar-benar
hilang. Kerutan normal di dahi dan pipi semakin dalam dan telinga menjadi besar dan
gantung.
- Histoid Leproma: Varian MB leprosy ketika eritematosa, bulat atau oval, berkilau mengkilap,
nodul yang terdefinisi dengan baik atau berpeduk dapat muncul pada kulit normal, terutama
pada pasien yang gagal atau pasien yang diobati sebagian
b. Membran mukosa
Menurut Kumar (2009), mukosa saluran pernafasan bagian atas dari hidung ke laring bisa
terkena infiltrasi sehingga edema, menebal dan bahkan terlihat seperti bisul. Organisme yang
menginfiltrasi mukosa hidung dapat menyebabkan:
- Hidung tersumbat : karena peradangan kronis yang muncul sehingga menyebabkan hidung
tersumbat, muncul bentukan kerak di dalam lubang hidung, dan adanya cairan darah yang keluar
dari hidung.
- Anosmia (ketidakmampuan untuk mencium) : mungkin ada, tapi pasien jarang mengeluhkan
keluhan tersebut.
- Perforasi septum hidung : berawal dari muncunya nodul dan seperti bisul yang berkembang
menjadi perforasi septum hidung.
- Deformitas saddle nose : karena penghancuran tulang rawan hidung.
- Papula dapat muncul pada bibir, lidah, langit-langit mulut dan laring yang menyebabkan
ulserasi.
REAKSI KUSTA
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah kompleks
bukan hanya dari segi medis seperti cacat fisik, tetapi juga masalah sosial dan ekonomi. Ketidaktahuan
akan menyebabkan stigma di masyarakat, sehingga mempengaruhi kualitas hidup penderitanya.
Dengan meningkatnya keberhasilan terapi kombinasi untuk mengobati kusta, perhatian saat ini beralih
kepada reaksi kusta. Dua reaksi utama yang terjadi pada penderita kusta, yaitu reaksi tipe 1 atau reaksi
reversal dan reaksi tipe 2 atau eritema nodosum leprosum (ENL). Kedua reaksi ini terpisah, namun
dapat terjadi pada pasien yang sama di saat berbeda. Kedua kondisi ini sangat penting untuk dikenali
karena dapat menyebabkan kerusakan saraf permanen, bahkan kegagalan organ sistemik. Gangguan
fungsi saraf didefinisikan sebagai penurunan fungsi sensorik atau motorik. Neuritis (peradangan saraf
perifer) dapat diikuti dengan gangguan fungsi saraf (Ramaswari, 2015).
Reaksi kusta adalah episode akut penyakit kusta dengan gejala konstitusi, aktivasi, dan atau
timbulnya efloresensi baru di kulit pada perjalanan penyakit ini yang sebenarnya sangat kronis. Reaksi
kusta merupakan reaksi hipersensitivitas. Reaksi reversal atau reaksi tipe 1 terjadi saat peningkatan
imunitas yang diperantarai oleh sel (cell mediated immunity), sedangkan reaksi tipe 2 atau eritema
nodosum leprosum (ENL) terjadi akibat reaksi hipersensitivitas humoral. Reaksi ini dapat terjadi
sebelum pengobatan, namun lebih sering selama atau setelah pengobatan (Ramaswari, 2015).
DAFTAR PUSTAKA
Ilona, Sri Esa. 2017. Pure Neural Leprosy. CKD-254/ Vol. 44 No 7. Surakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret.
Kementrian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta.
Jakarta.
Kumar, Anil. 2009. Pathogenesis of Leprosy. India: National Leprosy Eradication Programme.
Available on: http://nlep.nic.in/guide.html.
Ramaswari, Ni Putu. 2015. Masalah Reaksi Reversal dan Eritema Nodusum Leprosum Pada
Penyakit Kusta. CDK-232/vol. 42 no. 9. Bali.