Referat HIV AIDS Tanpa Komplikasi
Referat HIV AIDS Tanpa Komplikasi
DISUSUN OLEH:
ZARAH ALIFANI DZULHIJJAH 1102090115
VINNY RAHMAYANI 1102080111
ROSLINDA 11020800023
PEMBIMBING:
dr. JAMBRI PRANATA
SUPERVISOR:
dr. NADRA MARICAR, Sp.S
I. PENDAHULUAN
1
mayoritas umat manusia selama berabad-abad. HIV muncul di akhir abad ke-20. Ini
dikenal sebagai dekade "diam" karena kemungkinan besar HIV pertama muncul
sekitar tahun 1960-an tetapi tidak diketahui atau tidak dilaporkan. Penyebaran
dimulai pada tahun 1970-an ketika komunitas medis mulai menyadari hal ini. HIV
diperkirakan berasal di Afrika, dimana manusia memburu simpanse. Virus yang
mempengaruhi kera sangat mirip dengan HIV dan disebut SIVcpz (simian
immunodeficiency virus). Virus ini menyebar ke manusia setelah kontak dengan darah
terinfeksi simpanse selama berburu simpanse. Selama bertahun-tahun manusia yang
terinfeksi HIV hanya terbatas pada daerah terpencil dari Afrika. Dengan peningkatan
kontak antar manusia, virus mulai menyebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, 34, 3
juta kasus HIV di seluruh dunia, dengan jumlah terbesar di Afrika Selatan,
diperkirakan. Uji vaksin HIV dimulai di Oxford pada 2000. Pada tahun 2003 di
Swaziland dan Botswana di Afrika Selatan, hampir 40% dari orang dewasa vaksin
HIV + AIDS gagal. Enfuviride obat baru yang disebut fusion inhibitor telah disetujui
di Amerika Serikat. Pada tahun 2005, perusahaan obat dan pembuat sepakat untuk
membuat tersedia obat anti-virus generik yang lebih murah. Di Indonesia, kasus
pertama AIDS dilaporkan secara resmi oleh Departemen Kesehatan tahun 1987, yaitu
pada seorang warga negara Belanda di Bali.1,4
Dalam tubuh ODHA ( Orang Dengan HIV/AIDS) , partikel virus bergabung
dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, maka seumur
hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian
berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi
pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampIr semua orang yang
terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan
penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan
perusakan system kekebalan tubuh yang juga bertahap. 1
II. EPIDEMIOLOGI
2
Pusat perhatian HIV akan didasarkan pada data dari Amerika karena statistik
yang berasal dari Amerika Serikat merupakan yang paling mutakhir dan terlengkap.
Namun demikian, kecendrungan di negara berkembang kadang- kadang berbeda
secara bermakna, dan kecendrungan ini akan disorot secara khusus jika diperlukan.
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat infeksi melalui cairan tubuh yang mengandung
virus HIV, yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual,
jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah, dan dari ibu yang
terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu, kelompok yang beresiko
tinggi terhadap HIV/AIDS adalah pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan
pelanggannya.1,5
Di tahun 1991 ketiga obat untuk memperlambat perkembangan AIDS,
dideoxycytidine (ddC) dikembangkan. Pada tahun 1994, tercatat bahwa AZT bisa
mengurangi risiko penularan virus HIV positif ibu untuk bayi. Pada tahun 1995,dari
total orang yang terkan AIDS, diperkirakan 18 juta HIV orang dewasa dan 1,5 juta
HIV anak-anak dilaporkan. AIDS menjadi penyebab utama kematian di kelompok
usia 25-44 di Amerika Serikat. Pada tahun 1995 jenis baru obat adalah disetujui
disebut saquinivir, protease inhibitor enzim. Perkiraan kematian global dari AIDS
adalah 9 juta. Pada tahun 1997 diperkirakan bahwa 40 juta orang dinyatakan HIV
positif. AIDS dinyatakan 4 terbesar global penyebab kematian pada tahun 1999.4
Ada tiga cara utama penularan virus HIV, yaitu kontak seksual, inokulasi
parenteral, dan perjalanan virus dari ibu yang terinfeksi terhadap bayi mereka yang
baru lahir. Penularan seksual jelas merupakan cara infeksi yang paling utama di
seluruh dunia, secara umum disebabkan oleh aktivitas heteroseksual. Virus berada di
dalam semen secara ekstraseluler maupun di dalam sel inflamasi mononuclear, dan
memasuki tubuh resipien melalui robekan atau lecet pada mukosa. Yang jelas, semua
bentuk penularan seksual dibantu dan dipermudah oleh adanya penyakit menular
seksual lainnya.1,2,3,5
Penularan parenteral HIV dikelompokkan dalam 3 kelompok, yaitu
penyalahgunaan obat intravena, penderita hemophilia yang menerima konsentrat
faktor VIII atau IX, dan resipien acak transfuse darah.Diantara penyalah guna obat
3
intravena, penularan terjadi melalui penggunaan jarum, alat suntik, atau perlengkapan
lain secara bersama yang tercemar oleh darah yang mengandung HIV.3
Penularan dari ibu ke bayi secara vertical merupakan penyebab utama AIDS
pada anak- anak. Ada tiga rute yang terlibat, yaitu: 1,2,3,5
Dari ketiga jalur rute ini, rute transplasental dan intrapartum berperan pada
sebagian besar kasus. 5
III. ETIOLOGI
AIDS disebabkan oleh HIV, suatu retrovirus pada manusia yang termasuk
dalam keluarga lentivirus. Dua bentuk HIV yang berbeda secara genetik, tetapi
berbeda secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2, telah berhasil diisolasi dari penderita
AIDS. HIV-1 merupakan tipe yang lebih sering dihubungkan dengan AIDS di
Amerika Serikat, Eropa, dan Afrika Tengah, sedangkan HIV-2 menyebabkan penyakit
yang serupa, terutama di Afrika Barat. 1,2,3,5
Seperti sebagian besar retrovirus, virion HIV-1 berbentuk sferis dan
mengandung inti berbentuk kerucut yang padat electron dan dikelilingi oleh selubung
lipid yang berasal dari membrane sel pejamu. Inti virus tersebut mengandung kapsid
utama protein p24, nukleokapsid protein p7/p9, dua salinan RNA genom, dan ketiga
enzim virus protease, reverse transcriptase, dan integrase. P24 adalah antigen virus
yang paling mudah dideteksi sehingga menjadi sasaran antibodi yang digunakan
untuk mendiagnosis infeksi virus HIV dalam pemeriksaan darah. Selubung virus itu
sendiri tersusun atas dua glikoprein virus (gp 120 dan gp41) yang sangat penting
untuk infeksi HIV pada sel. 1,2,3,5
Berdasarkan analisis molecular, HIV-1 dapat dibagi menjadi dua kelompok
yang lebih luas, yaitu disebut dengan M (major) dan O (outlier). Virus kelompok M,
bentuk yang lebih umum di seluruh dunia, dibagi lebih lanjut ke dalam subtipe (juga
4
disebut dengan clades), yang diberi nama dari A hingga J. Clade tersebut berbeda-
beda dalam sebaran geografisnya, dengan B merupakan bentuk paling umum
ditemukan di Eropa Barat serta Amerika Serikat dan E paling umum ditemukan di
Thailand. Selain homolog molekularnya, clade ini menunjukkan perbedaan pula
dalam cara penularannya. Oleh karena itu, clade E terutama tersebar melalui kontak
heteroseksual (laki- laki- ke- perempuan), kemungkinan karena kemampuannya
menginfeksi sel dendrite subepitel vagina. Sebaliknya, virus clade B tumbuh dengan
buruk dalam sel dendrite dan mungkin paling baik jika ditularkan melalui pengenalan
monosit dan limfosit yang terinfeksi. 1,2,3,5
IV. PATOGENESIS
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.
Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi akut, 3-6 minggu setelah
terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar
5
getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berkembang selama 8-
10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat,
dapat hanya sekitar 2 tahun, dan adapula yang perjalanannya lambat (non-
progressor). 1,2,3,5
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA (Orang Dengan
HIV AIDS) mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti
berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening,
diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes dll. 1,2,3,5
Dua sasaran utama infeksi HIV, yaitu sistem imun dan sistem saraf pusat.
Mekanismenya adalah sebagai berikut:3
6
mula- mula berikatan pada molekul CD4. Ikatan ini menyebabkan perubahan
konformasional yang membuka suatu lokasi pengenalan baru pada gp120 untuk
koreseptor CXCR4 (sebagian pada sel T) atau CCR5 (sebagian besar pada
makrofag). Kemudian gp41 akan mengalami perubahan konformasional yang
memungkinkan masuknya rangkaian peptide gp41 ke dalam membran target
sehingga memudahkan fusi sel- virus. Setelah terjadi fusi, inti virus yang
mengandung genom HIV memasuki sitoplasma sel. Koreseptor merupakan
komponen penting pada proses infeksi HIV. Oleh karena itu, kemokin dapat
bersaing dengan virus untuk berikatan dengan reseptornya, dan kadar kemokin
dalam lingkungan mikro yang mengelilingi HIV dan sel targetnya dapat
memengaruhi efisiensi infeksi virus in vivo.3
Sekali mengalami internalisasi, genom virus mengalami transkrip-balik
(reverse transcription), yang membentuk DNA komplementer (cDNA) . Pada sel T
istirahat, cDNA provirus HIV dapat tetap berada dalam sitoplasma dalam bentuk
episomal linear. Tetapi, pada sel T yang sedang membelah, cDNA akan memasuki
nucleus dan akan terintegrasi ke dalam genom pejamu. Setelah integrasi, provirus
tersebut dapat tetap tidak ditranskripsikan selama berbulan- bulan atau bertahun-
tahun dan infeksinya menjadi laten; jika tidak demikian, DNA provirus dapat
ditranskripsikan untuk membentuk partikel virus yang lengkap yang tumbuh dari
membran sel. Infeksi produktif tersebut, yang disertai dengan pertumbuhan virus
yang meluas, menyebabkan kematian sel.3
Infeksi HIV ditandai oleh hilangnya sel CD4+ yang terus- menerus, dan
pada akhirnya terkuras dari darah perifer. Infeksi produktif sel T merupakan
mekanisme terjadinya deplesi sel T CD4+ akibat infeksi HIV. Awalnya, HIV
berkolonisasi di organ limfoid (limpa, kelenjar getah bening, tosil) dan
menginfeksi sel T, makrofag, dan sel dendrite. Organ ini merupakan tempat
penyimpanan sel yang terinfeksi. Pada awalnya, sistem imun dapat berproliferasi
secara giat untuk menggantikan sel T yang mati sehingga menyamarkan kematian
7
sel yang masif yang terutama terjadi dalam jaringan limfoid. Hilangnya sel T
terjadi karena lisis sel langsung karena infeksi HIV produktif.3
Hilangnya sel T dapat terjadi melalui mekanisme lain, yaitu hilangnya
prekursor imatur sel T CD4+ akibat infeksi langsung pada sel progenitor timus
atau infeksi sel aksesoris yang menyekresikan sitokin yang penting untuk
diferensiasi sel T CD4+.3
Jadi hilangnya sel CD4+ terjadi, baik akibat meningkatknya perusakan
maupun berkurangnya produksi. Akhirnya, pada infeksi HIV lanjut, pada saat
jumlah sel T CD4+ dikuras habis, makrofag tetap merupakan tempat utama untuk
kelanjutan replikasi virus.3
1. Fase Akut
8
Fase akut menggambarkan respon awal seorang dewasa yang imunokompeten
terhadap infeksi HIV. Secara klinis, secara khas penyakit pada fase ini sembuh
sendiri 3-6 minggu setelah infeksi. 3
Fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik, yaitu nyeri tenggorok, mialgia,
demam, ruam, dan kadang- kadang meningitis aseptik. Namun, segera setelah hal
itu terjadi, akan muncul respon imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan
melalui serokonversi ( sekitar 3 hingga 17 minggu setelah pajanan) dan melalui
munculnya sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia
mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal, Namun, berkurangnya
virus dalam plasma bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang
akan terus berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan. 3
2. Fase Kronis
Fase kronis menunjukkan tahap penahanan relatif virus. Para pasien tidak
menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten, dan banyak
penderita yang mengalami infeksi oportunistik, seperti sariawan (Candidiasis) atau
herpes zoster. Limfadenopati persisten yang disertai dengan kemunculan gejala
konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah lelah) mencerminkan onset
adanya dekompensasi sistem imun, peningkatan replikasi virus, dan onset fase
krisis. 3
3. Fase Krisis
Fase ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang sangat
merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Pasien khasnya
akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan berat badan,
dan diare. Jumlah CD4+ menurun dibawah 500 sel/µL. 3
Setelah interval yang berubah- ubah, pasien mengalami infeksi oportunistik
yang serius, neoplasma sekunder, dan/ atau manifestasi neurologis , dan pasien
yang bersangkutan dikatakan telah menderita AIDS yang sesungguhnya. 3
9
2. CD4+ 200- 500 sel/µL: gejala awal penuruna CD4+
3. CD4+ dibawah 200 sel/µL: disertai imunosupresi yang berat
Menurut Zubair Djoerban, Depkes RI, pembagian tingkatan klinis HIV dibagi
atas:2
10
beberapa minggu atau bulan, tanpa dapat ditemukan penyebab lain kecuali
HIV.
Serangan pada sistem saraf merupakan manifestasi AIDS yang umum terjadi
dan penting. Yang bermakna pada beberapa pasien pasien adalah manifestasi
neurologis dapat merupakan satu- satunya gambaran yang muncul atau yang paling
awal muncul pada infeksi HIV. Gangguan neurologis dapat berupa meningitis aseptic,
mielopati vacuolar, neuropati perifer, dan yang paling umum adalah enselopati
progresif yang secara klinis disebut kompleks demensia- AIDS.5
VI. DIAGNOSIS
11
seksual (sifilis, gonorea, infeksi Clamidia trachomatis, herpes simpleks genital) atau
penyakit karena penurunan imunitas, seperti herpes zoster, candidiasis, dan
laukoplakia oral; serta orang- orang dengan perilaku berisiko tinggi, seperti kontak
seksual yang tidak aman dan penyalahgunaan obat- obatan. 1,2,3,7
Test yang bisa digunakan adalah test Rapid HIV antibody yang dapat
menunjukkan hasil dalam 20 menit , hal ini dapat meningkatkan efisiensi dari test
untuk perawatan. Sensitifitas dan spesifisitas hasil dari alat test Rapid HIV antibody
sama dengan pemeriksaan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) standar.
Rapid test berguna dalam beberapa kondisi seperti saat persalinan ibu hamil yang
tidak pernah melakukan pemeriksaan sebelum kehamilan, di klinik penyakit menular
seksual, dan di instalasi gawat darurat, serta di pengaturan rumah sakit, dimana
pengetahuan segera tentang status pasien akan mempengaruhi pengambilan
keputusan perawatan dan perawatan lebih lanjut pasien. Tes antibodi HIV standar bisa
menggunakan kedua test berikut. 7
Konfirmasi dari hasilnya masih dibutuhkan. Tes enzyme linked immunosorbent
assay (ELISA) adalah salah satu tes yang bisa digunakan. Tes enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA) , adalah tes yangbereaksi terhadap adanya antibodi
dalam serum dengan memperlihatkan warna yang lebih jelas apabila terdeteksi
antibodi virus dalam jumlah besar. Karena hasil positif palsu dapat menimbulkan
damapak psikologis yang besar, maka hasil uji ELISA yang positif diulang, dan
apabila keduanya positif, maka dilakukan uji yang lebih spesifik, Western blot. Uji
western blot juga dikonfirmasi dua kali. Uji ini lebih kecil kemungkinananya
memberikan hasil positif-palsu atau negatif-palsu. 1,2,3,7,8
HIV juga dapat di deteksi dengan uji lain, yang memeriksa ada tidaknya virus
atau komponen virus sebelum ELISA atau Western blot dapat mendeteksi antibodi.
Prosedur-prosedur ini mencakup biakan virus, pengukuran antigen p24, dan
pengukuran DNA dan RNA HIV yang menggunakan reaksi berantai polymerase
(PCR) dan RNA HIV-1 plasma. 1,2,3,7,8
12
VII. PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan suportif:
a. Asupan nutris dengan gizi yang baik serta multivitamin.
b. Psikososial dan dukungan agama
c. Istirahat yang cukup.
2. Pengobatan simptomatik: Antipiretik, antiimflamasi, obat diare, dan lain- lain
3. Pengobatan oportunistik:
Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai
infeksi HIV/AIDS , seperti jamur, tuberculosis, hepatitis, toksoplasma, sarcoma
kaposi, limfoma, kanker serviks. Pengobatan penyakit infeksi dengan antibiotic
sesuai dengan kausa infeksi.
4. Pengobatan antiretroviral:
Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat anti retroviral (ARV).
Kombinasi yang diberikan adalah kombinasi penghambat reverse transcriptase
dan penghambat protease. Beberapa penelitian menunjukkan indinavir, retrovir,
dan lamifudin yang diberikan sebagai kombinasi dapat meningkatkan CD4 dan
menghilangkan HIV pada 24/26 sampai ditingkat HIV. Namun, setelah pengobatan
beberapa waktu, mungkin HIVakan bermutasi menjadi resisten dan toksisitas obat
akan muncul sehingga perlu obat baru. Obat- obat yang diteliti adalah antisense
therapy, gene therapy dengan penghambat HIV yang ditujukan ke CD4 dan sel
induk (stem cell).1,2,3
Pengobatan antiretroviral yang bisa diberikan, seperti: 1,2,3
1. Zidovudin (AZT)
Dosis: 500-600 mg sehari per os
2. Lamivudin (3TC)
Dosis: 150 mg dua kali
3. Neviropin
Dosis: 200 mg sehari selama 14 hari, kemudian 200 mg sehari dua kali.
13
mengganti efavirenz. Lini pertama bagi anak- anak dibawah 3 tahun adalah
mengganti efavirenz dengan nevirapine. 1,2,3,7
Pengobatan antiretroviral tidak boleh monoterapi. Hal ini dikarenakan
oleh virus HIV yang sangat mudah resisten. Jika dua atau lebih obat digunakan
bersama- sama, virus hanya bisa berkembang sangat lambat dan butuh waktu
lama untuk menjadi resisten. Oleh karena itu, minimal digunakan kombinasi dua
obat dan lebih bagus jika menggunakan kombinasi tiga obat yang berbeda.1,2,3,9
Ada beberapa jenis program yang terbukti sukses diterapkan dibeberapa Negara
dan amat dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, untuk dilaksanakan secara
sekaligus, yaitu: 1,2,3,5,7,8,9,10
Banyaknya virus menjadi faktor resiko utama dalam penularan HIV. Pengobatan
sebagai pencegahan berdasarkan fakta bahwa antiretroviral dapat menurunkan jumlah
virus plasma dan genital diamping menurunkan tingkat infeksi. 10
14
DAFTAR PUSTAKA
15
7. WHO, HIV and Adolescent: HIV Testing and Counseling, Treatment and
Care for Adolescents Living With HIV.Switzerland.2013.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/94561/1/9789241506526_eng.pdf .
Diakses 16 Desember 2013.
8. ILO. Addressing HIV and AIDS in The Work Place.Jakarta.2012
www.betterwork.org/indonesia. Diakses 16 Desember 2013.
9. Dean.Antiretroviral Treatment. Australia.2006. http://www.health24.com.
Diakses 16 Desember 2013.
10. Piot, Peter. Response to the AIDS Pandemic- A Global Health Model. UK.
2013. www.nejm.com . Diakses 16 Desember 2013.
16