Anda di halaman 1dari 2

CONTOH KASUS PELANGGARAN KODE ETIK PSIKOLOGI

Contoh kasus:

NN adalah seorang psikolog yang barusaja menyandang gelar psikolognya dan bekerja
pada salah satu biro psikologi di Kota JK bersama dengan beberapa ilmuan psikologi dan
psikolog yang lain. Suatu hari, datang klien berinisial AB yang menderita depresi berat
sehingga mencoba membunuh diri dan membutuhkan layanan darurat di biro tersebut, namun
para psikolog senior sedang ke luar kota untuk melakukan perjalanan dinas selama beberapa
minggu sehingga klien tersebut diberikan kepada psikolog NN dengan maksud pemberian
layanan darurat untuk sementara waktu. Beberapa hari kemudian, salah seorang psikolog senior
berinisial SH kembali ke Kota JK untuk melakukan penanganan kepada klien AB, namun
psikolog NN menolak untuk memberikan penanganan klien tersebut kepada psikolog SH
karena menganggap bahwa dirinya mampu menyelesaikan masalah klien AB hingga selesai
tanpa bantuan dari psikolog SH walaupun penanganan yang diberikan oleh NN ke AB tidak
menunjukkan hasil yang signifikan.

Analisis:
Kasus di atas menunjukkan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh psikolog NN
kepada psikolog SH pada:
1. BAB I Pedoman Umum, pasal 4 prinsip C tentang profesional yang berbunyi “Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat berkonsultasi, bekerjasama dan/atau merujuk pada teman
sejawat, professional lain dan/atau institusi-institusi lain untuk memberikan layanan terbaik
kepada pengguna layanan psikologi. Dalam kasus tersebut, psikolog NN menolak untuk
memberikan pelayananan klien AB kepada psikolog SH sehingga melanggar pasal 4 prinsip C
yang menolak memberikan layanan terbaik kepada pengguna layanan psikologi.
2. BAB III Kompetensi pasal 12 ayat 3 dan 4 tentang Pemberian Layanan Psikologi dalam
Keadaan darurat yang berbunyi “Selama memberikan layanan psikologi dalam keadaan
darurat, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang belum memiliki kompetensi yang
dibutuhkan perlu segera mencari psikolog yang kompeten untuk mensupervisi atau
melanjutkan pemberian layanan psikologi tersebut (3). Apabila psikolog dan/atau Ilmuwan
Psikologi yang lebih kompeten telah tersedia atau kondisi darurat telah selesai, maka
pemberian layanan psikologi tersebut harus dialihkan kepada yang lebih kompeten atau
dihentikan segera (4). Kasus di atas sangat jelas bahwa psikolog NN tidak segera mencari
psikolog yang kompeten untuk mensupervisi atau melanjutkan pemberian layanan psikologi
seperti yang dijelaskan pada pasal tiga (3), dan tidak bersedia mengalihkan layanan AB kepada
SH walaupun tidak ada perubahan yang signifikan pada AB seperti yang dijelaskan pasal empat
(4).

Saran:
1. Memberikan pengarahan kepada psikolog/Ilmuwan psikologi yang belum kompeten mengenai
kode etik HIMPSI terkait kerjasama dengan teman sejawat demi memberikan layanan terbaik
kepada pengguna jasa psikologi.
2. HIMPSI memberikan pengarahan kepada psikolog/Ilmuwan psikologi yang belum kompeten
mengenai kode etik psikolog/Ilmuwan psikologi dalam pemberian layanan darurat dan
bagaimana langka selanjutnya ketika pemberian layanan telah dilakukan.

Referensi:

HIMPSI. (2010). Kode etik psikologi Indonesia (Hasil Kongres XI HIMPSI). Surakarta: Pengurus Pusat
HIMPSI.

Anda mungkin juga menyukai