Anda di halaman 1dari 27

Masalah Yang Sering Muncul Dalam Persalinan

Tugas

Untuk Memenuhi Nilai Mata Kuliah Sistem Reproduksi

Disusun Oleh :

Amalia Fitri Ramadhani

Mesha Novalini

Nurul Aida

Nurul Fadliah

Yora Aranda

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

(STIKes) Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Widya Dharma Husada Tangerang

Pamulang

2016
TINJAUAN TEORI

A. Masalah pada persalinan kala I


1. Persalinan premature
1) Definisi
Persalinan premature dikenal dengan istilah partus prematurus (preterm labor :
persalinan sebelum bayi aterm) mula timbul kontraksi uterus yang ritmis dan
menimbulkan perubahan pada serviks setelah janin viabel tetapi maturitas
janin belum tercapai. Biasanya persalinan premature terjadi pada usia
kehamilan antara 20-37 minggu (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
Persalinan premature adalah persalinan yang dimulai setiap saat setalah awal
minggu gestasi ke 20 sampai akhir minggu gestasi ke 37. Persalinan premature
mencapai puncaknya pada kelahiran premature yang merupakan hampir 12%
dari semua kelahiran di Amerika serikat dan merupakan urutan kedua defek
kelahiran sebagai penyebab utama mortalitas neonatus (Helen Varney.2007).
Prognosis bagi janin bergantung pada berat lahir dan lama kehamilan :
a. Bayi yang beratnya kurang dari 737 gram dan usia kehamilannya kurang
dari 26 minggu akan mempunyai angka keberhasilan hidup sekitar 10%.
b. Bayi yang beratnya sebesar 737 hingga 992 gram dan berada pada usia
kehamilan antara 27 dan 28 minggu memiliki angka keberhasilan hidup
melebihi 50%.
c. Bayi yang beratnya sebesar 992 hingga 1219 gram dan berada pada usia
kehamilan melebihi 28 minggu memiliki angka keberhasilan hidup 70%
hingga 90% (Dr. Lyndon Saputra, 2014).

Persalinan premature akan meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas


janin akibat kurangnya maturasi yang berat.

2) Penyebab
a. Penyebab maternal (Dr. Lyndon Saputra, 2014)
a) Penyakit kardiovaskular dan renal
b) Diabetes mellitus
c) Hipertensi gestasional
d) Infeksi
e) Pembedahan atau trauma abdomen
f) Inkompetensi serviks
g) Kelainan plasenta
h) Ketuban pecah dini
b. Penyebab fetal (Dr. Lyndon Saputra, 2014)
a) Infeksi
b) Hidramnion
c) Kehamilan kembar
3) Hasil pemeriksaan (Dr. Lyndon Saputra, 2014)
a. Mula timbul kontraksi uterus yang ritmik.
b. Kemungkinan rupture membrane, pelepasan sumbat mucus serviks dan
cairan yang mengandung darah dari dalam vagina.
c. Secara khas persalinan premature terjadi pada usia kehamilan 29 hingga 37
minggu.
d. Pada pemeriksaan dalam (vaginal toucher/VT) ditemukan effacement dan
dilatasi serviks.
4) Penanganan (Dr. Lyndon Saputra, 2014)
Penanganannya dirancang untuk menekan persalinan premature ketika hasil
pemeriksaan memperlihatkan perkembangan paru janin yang imatur, dilatasi
serviks yang kurang dari 4 cm dan tidak ada faktor yang merupakan
kontraindikasi bagi kehamilan.
Penanganan tersebut meliputi tirah baring dan jika diperlukan, terapi
dengan preparat tokolitik. Umumnya pemberian preparat tokolitik merupakan
kontra indikasi apabila :
a. Kehamilan kurang dari 20 minggu
b. Dilatasi serviks melebihi 4 cm
c. Efasemen serviks lebih dari 50%
5) Obat
a. Terbutalin (brethine), yaitu preparat beta-adrenergic blocker, merupakan
tokolitik yang paling sering digunakan. Preparat ini merupakan stimulator
reseptor beta yang menyebabkan relaksasi otot polos.
Kontra indikasi :
a) Hipertensi gestasional yang berat
b) Penyakit jantung
Efek yang merugikan pada ibu yaitu takikardia, diare, gelisah, dan termor :
nausea dan vomitus, sakit kepala, hiperglikemia atau hipoglikemia,
hipokalemia, serta edema paru. Efek yang merugikan pada janin yaitu
takikardia, hipoksia, hipoglikemia, dan hipokalsemia (Dr. Lyndon Saputra,
2014).

b. Magnesium sulfat merupakan obat pertama yang digunakan untuk


menghentikan kontraksi. obat ini merupakan preparat depresan SSP untuk
mencegah refluks kalsium kedalam sel, miometrium dan dengan demikian
akan mempertahankan relaksasi uterus.
Kontra indikasi :
a) Nyeri abdomen yang hebat dengan penyebab yang tidak diketahui
b) Oliguria

Efek yang merugikan bagi ibu yaitu rasa mengantuk, flushing, rasa hangat,
nausea, sakit kepala, bicara yang pelo, penglihatan yang kabur. Obat ini
berkaitan dengan intoksikasi yang manifestasinya berupa depresi SSP pada
ibu. Efek yang merugikan pada janin yaitu hipotonia, dan bradikardia (Dr.
Lyndon Saputra, 2014).

2. Persalinan disfungsional
1) Definisi
Persalinan disfungsional dikenal dengan istilah inersia uteri. Keadaan ini
mengacu pada kelambanan dalam kekuatan (kontraksi) persalinan. Persalinan
disfungsional agak berbeda dengan distorsia, persalinan disfungsional akan
menyebabkan partus lama, distorsia mengacu kepada persalinan yang sulit.
Keadaan ini dapat terjadi pada setiap saat dalam proses persalinan, meskipun
umumnya digolongkan menjadi primer (yang terjadi pada awal persalinan)
dan sekunder (yang terjadi kemudian dalam proses persalinan) (Dr. Lyndon
Saputra, 2014).
Insidensi infeksi serta perdarahan postpartum pada ibu dan mortalitas bayi
lebih tinggi pada pasien dengan partus lama dibandingkan dengan pasien
partus normal dan karena itu, kita harus dapat mengenali serta mencegah
persalinan disfungsional (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
2) Penyebab
Partus lama dapat terjadi karena berbagai permasalahan. Keadaan ini dapat
berkaitan dengan permasalahan pada passanger, passage atau power.
a. Permasalahan yang berkaitan dengan passanger meliputi malposisi atau
malpresepasi janin atau janin yang secara abnormal berukuran besar.
b. Permasalahan yang berkaitan dengan passage meliputi panggul yang
sempit.
c. Permasalahan yang berkaitan dengan power meliputi kontraksi uterus
yang hipotonia, hipertonia, dan tidak terkoordinasi.

Pemberian obat analgetik atau anastesia yang terlalu awal pada persalinan atau
keadaan lainnya seperti distorsi kandung kemih atau usus dapat turut
menyebabkan persalinan disfungsional (Dr. Lyndon Saputra, 2014).

3) Hasil pemeriksaan
a. Kontraksi hipotonik (yang paling sering terjadi selama fase aktif sehingga
menyebabkan fase aktif yang lama).
a) Jumlah kontraksi biasanya sedikit atau jarang.
Mungkin tidak terdapat peningkatan melebihi 2 atau 3 kali dalam periode
10 menit. Pola kontraksi sangat tidak teratur dan secara khas tidak
menimbulkan rasa nyeri.
b) Tonus uterus saat istirahat selalu dibawah 10 mmHg selama fase aktif.
c) Kekuatan kontraksi tidak mengalami kenaikan hingga di atas 25
mmHg.
b. Kontraksi hipertonik (paling sering terjadi selama fase laten sehingga
terdapat fase laten yang lama).
a) Intensitas kontraksi mungkin tidak lebih kuat dari pada intensitas
kontraksi hipotonik.
b) Cenderung terjadi dengan sering.
c) Kontraksi hipertonik ditandai oleh peningkatan tonus resting lebih dari
15 mmHg.
d) Kontraksi yang tidak terkoordinasi.
4) Penanganan
a. Tata kelola kontraksi hipotonik meliputi perbaikan penguatan kontraksi
a) Jika kontraksi terlalu lemah atau jarang sehingga tidak efektif maka
persalinan memerlukan induksi atau penguatan untuk membuat
kontraksi uterus lebih kuat
b) Persalinan mungkin perlu diinduksi jika serviks dianggap sudah siap
untuk berdilatasi seperti terlihat dengan nilai scoring 8 pada skala
kesiapan serviks.
c) Pematangan serviks dengan memecah ketuban atau memberikan gel
prostaglandin atau memasang laminaria dapat sebagai persiapan bagi
induksi persalinan.
d) Oksitosin diberikan untuk menginduksi atau menguatkan persalinan.
b. Tata kelola kontraksi hipertonik meliputi peningkatan istirahat,
pelaksanaan analgesia dengan obat seperti morfin sulfat yang mungkin
akan menimbulkam sedasi sehingga pasien dapat beristirahat.
a) Tindakan meningkatkan kenyamanan meliputi penggantian linen
tempat tidur dan pakaian pasien, meredupkan cahaya lampu
dikamarnya dan mngurangi suara berisik serta rangsangan.
b) Jika DJJ menunjukan deselerasi, kala I persalinan memanjang secara
abnormal atau kemajuan persalinan tidak terjadi sekalipun ibu sudah
mengejan (kala dua yang macet) maka kelahiran cesarea perlu
dilakukan.
3. Kelainan letak
1) Definisi
Salah satu penyebab penurunan AKI (Angka Kematian Ibu) yang lambat
adalah adanya komplikasi, contohnya adalah persalinan macet salah satu
penyebab persalinan macet adalah kelainan letak (malposisi). Dari seluruh
kehamilan, 99% dengan letak memanjang dan 1% dengan letak melintang.
Dari presentase letak memanjang, sekitar 4% adalah kejadian letak sungsang.
Kejadian kehamilan gemelli juga mengalami peningkatan lebih dari 50% dari
tahun 1980 – 1997. Jika tidak teridentifikasi pada saat pemeriksaan, tentu
kondisi ini akan berakibat fatal karena menyebabkan kesalahan diagnosis dan
berlanjut menjadi kesalahan penanganan. Oleh karena itu, kelainan letak
terutama tentang letak sungsang, letak lintang, dan gemelli.
Letak janin adalah hubungan antara sumbu panjang janin dengan sumbu
panjang ibu, dan dapat memanjang atau melintang, letak janin dapat
memanjang, mengolah, dan lintang. Presentase menunjukkan bagian janin
yang ada dibagian bawah rahim. Presentase yang mungkin yaitu presentasi
kepala, bokong, presentasi bahu, presentasi muka, dan presentasi rangkap.
Posisi digunakan untuk menunjukkan kedudukan bagian janin yang ada
dibagian bawah rahim terhadap sumbu tubuh ibu. Sebagai petunjuk digunakan
ubun-ubun kecil, dagu, sacrum, atau scapula. Sikap menunjukkan hubungan
bagian-bagian janin terhadap sumbunya khususnya terhadap tulang punggung
(Dr. Lyndon Saputra, 2014).
a. Jenis
a) Letak sungsang (presentasi bokong)
Definisi
Letak sungsang adalah kehamilan dengan anak letak memanjang dengan
bokong atau kaki sebagai bagian terendah (Krisnadi, 2005).
Letak sungsang adalah keadaan dimana janin terletak memanjang dengan
kepala difundus uteri dan bokong berada dibagian bawah kavum uteri
(Wiknjosastro, 2002).
Klasifikasi pada presentasi bokong
Klasifikasi pada presentasi bokong menurut Syaifuddin 2002 terdiri dari
atas 3 presentasi :
1) Presentasi bokong sempurna atau yang disebut dengan complete
terjadi jika kedua kaki mengalami fleksi pada panggul dan lutut.
2) Presentasi bokong murni atau yang disebut dengan frang breech
terjadi jika kedua kaki mengalami fleksi pada panggul dan ekstensi
pada lutut.
3) Presentasi kaki atau yang disebut foot ling breech terjadi jika sebuah
kaki mengalami ekstensi pada panggul dan lutut.
Etiologi
1) Fiksasi kepala pada pintu atas panggul tidak baik atau tidak ada,
misalnya pada panggul sempit, hidrocefalus, anensefali, plasenta
previa, tumor-tumor pelvis, dll.
2) Janin mudah bergerak, seperti pada hidramnion, multipara, janin kecil
(premature).
3) Gemelli (kehamilan ganda)
4) Kelainan uterus, seperti uterus arkuatus, bikornis, miomauteri.
5) Janin sudah lama mati.
6) Sebab yang tidak diketahui
Diagnosis
1) Palpasi
Kepala teraba difundus, bagian bawah bokong, dan punggung dikiri
atau kanan.
2) Auskultasi
DJJ paling jelas terdengar pada tempat yang lebih tinggi dari pusat.
3) Pemeriksaan dalam
Dapat diraba os sacrum, tuber ischii, dan anus, kadang-kadang kaki
(pada letak kaki).
Bedakan antara :
a. Lubang kecil tulang, Tulang (-), Isap (-), Mekoneum (+) : Anus
b. Tumit, Sudut 90, Rata jari-jari, Patella, Poplitea : Kaki
c. Menghisap, Rahang, Lidah : Mulut
d. Jari panjang, Tidak rata, Patella (-) : Tangan siku
4) Pemeriksaan foto rontgen : bayangan kepala difundus
b) Letak lintang
Definisi
Letak lintang adalah suatu keadaan dimana janin melintang didalam uterus
dengan kepala pada sisi yang satu, sedangkan bokong berada pada sisi
yang lain (Winkjosastro, 2002).
Letak melintang adalah keadaan sumbu panjang janin tegak lurus terhadap
sumbu panjang ibu (Krisnadi, 2005).
Etiologi
Penyebab dari letak melintang merupakan kombinasi dari berbagai faktor
sering pula penyebabnya tetap merupakan suatu misteri faktor tersebut
adalah :
1) Fiksasi kepala tidak ada, karena panggul sempit, hidrocepalus,
anensefalus, plasenta, previa, dan tumor-tumor pelvis.
2) Janin sudah bergerak pada hidramnion, multiparitas, anak kecil atau
sudah mati.
3) Gemelli (kehamilan ganda)
4) Kelainan uterus, seperti akuartus, bikornus atau septum
5) Lumbal skoliosis
6) Pelvis kidney dan kandung kemih serta rectum yang penuh
Diagnosis
1) Inspeksi
Perut membuncit kesamping
2) Palpasi
a. Fundus lebih rendah dari seharusnya pada usia kehamilan.
b. Fundus kosong dan bagian bawah kosong kecuali kalau bahu sudah
masuk kedalam pintu atas panggul.
c. Kepala teraba dikanan atau dikiri.
3) Auskultasi
DJJ setinggi pusat kanan atau kiri
4) Pemeriksaan dalam (VT)
Teraba tulang iga, scapula dan kalau tangan menumbung teraba
tangan. Untuk menentukkan tangan kanan atau kiri lakukan dengan
cara bersalaman.
Teraba bahu dan ketriak yang bisa menutup kekanan atau kekiri bila
kepala terletak dikiri, ketiak menutup kekiri.
Letak punggung ditentukkan adanya scapula, letak dada dengan
klavikula.
Pemeriksaan dalam agak sukar dilakukan bila pembukaan kecil dan
ketuban utuh, namun pada letak lintang biasanya ketuban cepat pecah.
5) Rontgen
Tampak janin pada letak lintang.
4. Ketuban pecah dini
1) Definisi
Ketuban pecah dini/KPD (PROM : Premature Rupture Of the Membrane)
mengacu kepada keadaan pecahnya ketuban (atau rupture membrane) yang
terjadi 1 jam atau lebih sebelum mula timbul persalinan. Preterm PROM
mengacu kepada rupture membrane pada kehamilan premature (Dr. Lyndon
Saputra, 2014).
Ketuban pecah dini dapat secara tekhnis didefinisikan pecah ketuban sebelum
awitan persalinan tanpa memerhatikan usia gestasi. Namun, pecah ketuban
dini didefinisikan sesuai jumlah jam dari waktu pecah ketuban sampai awitan
persalinan. Interval ini disebut periode laten yang dapat terjadi kapan saja dari
1 sampai 12 jam atau lebih (Helen Varney, 2007).
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya atau rupturnya selaputamnion
sebelum dimulainya persalinan yang sebenarnya atau pecahnya selaput
amnion sebelum usia kehamilan mencapai 37 minggu dengan atau tanpa
kontraksi (Hossam, 1992 dalam Mitayani, 2011).
Ketuban pecah dini atau PROM ini merupakan rupture spontan kantung
amnion sebelum dimulainya kontraksi uterus yang teratur sehingga terjadi
dilatasi serviks yang progresif (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
Ibu yang mengalami ketuban pecah dini akan berisiko untuk menderita
korioamnionitis jika lamanya waktu antara saat terjadinya rupture membrane
dan mula timbul persalinan lebih lama dari 24 jam (Dr. Lyndon Saputra,
2014).
Tanda infeksi meliputi takikardia janin, demam pada ibu, cairan amnion yang
berbau busuk dan nyeri tekan pada uterus. Terjadinya korioamnionitis dapat
menyebabkan sepsis dan kematian. Resiko terjadinya akan meningkat secara
signifikan jika ruptur membran amnion sudah terjadi 18 jam tanpa diikuti oleh
kelahiran bayi (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
Resiko infeksi pada janin, sepsis, dan mortalitas perinatal akan mengalami
peningkatan pada ketuban pecah dini. Peningkatan resiko ini terjadi untuk
setiap jam rupture membrane, setiap jam persalinan dan setiap kali melakukan
vaginal toucher (VT) atau prosedur yang invasive lainnya (Dr. Lyndon
Saputra, 2014).
2) Penyebab
a. Tidak diketahui
b. Malpresentasi dan panggul yang sempit sering menyertai ruptur
membrane.
c. Faktor predisposisinya meliputi gizi serta hygiene yang buruk dan
kurangnya perawatan antenatal, inkompetensi serviks, peningkatan
intrauteri akibat hidramnion atau kehamilan kembar, cacat pada membran
amnion, dan infeksi pada uterus, vagina serta serviks (paling sering
disebabkan oleh streptokokus grup B, gonokokus, chlamydia dan
mikroorganisme anaerob) (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
Penyebab pasti dari KPD ini belum jelas. Akan tetapi, ada beberapa keadaan
yang berhubungan dengan terjadinya KPD yaitu (Mitayani, 2011):
a. Trauma : amniosintesis, pemeriksaan pelvis, dan hubungan seksual
b. Peningkatan tekanan intrauterus, kehamilan kembar, atau polihidramnion
c. Infeksi vagina, serviks, atau korioamnionitis streptokokus, serta bakteri
vagina
d. Selaput amnion yang mempunyai struktur yang lemah atau selaput terlalu
tipis
e. Keadaan abnormal dari fetus seperti malpresentasi
f. Kelainan pada serviks atau alat genitalia seperti ukuran serviks yang
pendek (< 25 cm)
g. Multipara dan peningkatan usia ibu
h. Defisiensi nutrisi.
3) Hasil pemeriksaan
a. Secara khas, ketuban pecah dini menyebabkan cairan amnion
mengandung darah dan partikel verniks kaseosa untuk menyembur atau
merembes keluar dari dalam vagina
b. Demam pada ibu, takikardia janin dari cairan dari vagina yang berbau
busuk mengindikasikan proses infeksi.
c. Nilai pH cairan amnion yang alkalis dari forniks posterior akan mengubah
warna kertas nitrazin menjadi biru gelap.
d. Sediaan apus cairan yang diletakkan pada kaca obyek dan dibiarkan
mongering akan memperlihatkan pola seperti daun cemara (karena
kandungan natrium dan protein yang tinggi dalam cairan amnion. Hasil
yang positif memastikan bahwa cairan yang diperiksa itu adalah cairan
amnion (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
4) Penanganan
a. Penanganannya bergantung pada usia janin dan risiko infeksi
b. Pada kehamilan aterm biasanya dilakukan induksi dengan oksitosin jika
persalinan dan kelahiran spontan tidak terjadi dalam waktu yang relative
singkat (biasanya dalam waktu 24 jam sesudah ketuban pecah), jika
diinduksi persalinan itu gagal maka kelahiran bayi dilakukan lewat operasi
cesarean (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
c. Tata kelola kehamilan premature dengan usia kehamilan kurang dari 34
minggu merupakan masalah yang kontroversial.
a) Pada kehamilan premature dengan usia kehamilan 28 hingga 34
minggu, penanganannya meliputi perawatan pasien dirumah sakit dan
observasi pasien untuk mendeteksi tanda infeksi (seperti leukositosis
atau demam pada ibu, dan takikardia janin) sambil menunggu
maturasi janin.
b) Jika kondisi klinik menunjukkan infeksi, maka pemeriksaan baseline
kultur dan tes sensitivitas sudah tepat untuk dilakukan.
c) Jika hasil pemerikdaan tersebut memastikan adanya infeksi, maka
persalinan harus diinduksi dengan diikuti oleh pemberian antibiotic
IV.
d) Pemeriksaan kultur sampel aspirasi lambung atau swab dari telinga
bayi dapat dilakukan untuk menentukan perlunya terapi antibiotik.
e) Pada saat melahirkan harus sudah tersedia perlengkapan resusitasi
untuk mengatasi dengan segera neonatal distress yang terjadi (Dr.
Lyndon Saputra, 2014).
5. Partus presipitatus
1) Definisi
Partus presipitatus mengacu kepada persalinan yang hanya berlangsung
selama 3 jam atau kurang. Persalinan yang cepat ini lebih sering ditemukan
pada pasien multipara dan pasien yang sudah menjalani induksi dengan
oksitosin atau amniotomi. Ibu yang mengalami partus presipitatus berisiko
untuk terjadinya perdarahan akibat pelepasan premature plasenta dan laserasi
yang disebabkan oleh kekuatan serta kecepatan kelahiran bayi. Bayi yang
dilahirkan menghadapi resiko untuk mengalami perdarahan dan hematoma
subdural yang mungkin terjadi karena penurunan tekanan yang cepat pada
kepala bayi (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
2) Penyebab
Kurangnya resistensi jaringan maternal untuk menahan pelintasan bayi.
3) Hasil pemeriksaan
a. Kontraksi uterus yang kuat dengan tanda pelepasan plasenta sebelum
waktunya
b. Dilatasi serviks selama fase aktif yang kecepatannya melebihi 5 cm/jam
pada nulipara dan 10 cm/jam pada multipara.
4) Penanganan
Preparat tokolitik dapat diberikan untuk mengurangi kekuatan dan frekuensi
kontraksi. Umumnya diperlukan perencanaan untuk melahirkan bayi dengan
segera. Jika pasien memiliki riwayat partus presipitatus, perencanaan yang
dibuat mungkin untuk induksi persalinan pada kehamilan yang mendekati
aterm untuk mengendalikan mula timbul dan kemajuan persalinan (Dr.
Lyndon Saputra, 2014).
B. Masalah pada persalinan kala II
1. Emboli Cairan Amnion
1) Definisi
Emboli cairan amnion atau emboli cairan ketuban mengacu kepada
perembesan cairan amnion ke dalam sirkulasi darah ibu. Emboli cairan
amnion ini terjadi karena defek pada membran amnion sesudah terjadi ruptur
membran tersebut atau sebagai akibat dari solusio plasenta parsial. Janin
menghadapi resiko untuk mengalami tumpukan mekonium, lanugo, dan
verniks dalam arteriola pulmonalis (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
Emboli cairan ketuban adalah suatu kondisi yang mengancam kehidupan yang
terjadi pada saat cairan amnion memasuki sirkulasi ibu dan selanjutnya
mencapai kapiler di paru-paru (Mitayani, 2011).
2) Penyebab
Mekanisme penyebab yang pasti tidak jelas tetapi diyakini bahwa keadaan ini
merupakan suatu jenis reaksi anafilaksis. Faktor predisposisinya meliputi
kematian janin intrauteri, paritas yang tinggi, solusio plasenta, penguatan
persalinan dengan oksitosin, dan usia ibu yang lanjut (Dr. Lyndon Saputra,
2014).
Menurut (Mitayani, 2011) penyebab dari emboli cairan ketuban adalah
lepasnya bagian pinggir plasenta, robekan uterus atau serviks yang
menimbulkan kebocoran, persalinan yang kuat yang diinduksi dengan
oksitosin dosis berlebihan yang menyebabkan tekanan kuat.
3) Hasil pemeriksaan (Dr. Lyndon Saputra, 2014)
a. Dispnea mendadak
b. Sianosis
c. Takipnea
d. Perdarahan
e. Nyeri dada
f. Batuk dengan sputum yang berbuih dan berwarna merah muda
g. Pasien bertambah gelisah dan cemas
h. Syok yang tidak sesuai dengan intensitas kehilangan darah
4) Penanganan (Dr. Lyndon Saputra, 2014)
a. Memberikan oksigen, darah dan heparin
b. Memasang kateter tekanan vena sentral
c. Memantau dengan ketat status kardiopulmonal
d. Segera melahirkan bayi.
2. Tali pusat menumbung
1) Definisi
Tali pusat menumbung (atau prolapsus tali pusat; prolapsus funikuli) mengacu
pada peristiwa turunnya tali pusat kedalam vagina sehingga berada didepan
presenting part. Prolapsus ini dapat terjadi kapan saja ketika membrane pecah
khususnya jika presenting part belum masuk dengan pas kedalam serviks.
Tali pusat menumbung merupakan keadaan emergensi yang memerlukan
tindakan segera untuk menyelamatkan janin; tali pusat dapat terkompresi
diantara janin dan servik atau pelvis ibu dan dengan demikian akan
mengganggu perfusi fetoplasental (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
Terdapat 2 jenis prolaps tali pusat : menumbung (Frank) atau terkemuka
(Okul). Pada prolaps tali pusat menumbung, tali pusat masuk kedalam serviks.
Pada prolaps tali pusat terkemuka, tali pusat berada disamping bagian
presentasi tapi tidak masuk ke dalam serviks (Helen Varney, 2007).
Fakta penting tentang tali pusat menumbung (Dr. Lyndon Saputra, 2014):
a. Keadaan turunnya tali pusat kedalam vagina sehingga berada didepan
presenting part.
b. Tali pusat menumbung dapat terjadi kapan saja sesudah ketuban pecah.
c. Suatu keadaan emergensi yang memerlukan tindakan segera untuk
menyelamatkan janin (tali pusat dapat terkompresi diantara janin dan
servik atau pelvis ibu dan dengan demikian akan mengganggu perfusi
fetoplasental).
2) Penyebab
Tali pusat menumbung paling sering disebabkan oleh (Dr. Lyndon Saputra,
2014) :
a. Ketuban pecah dini (PROM)
b. Presentasi janin yang bukan presentasi kepala
c. Plasenta previa
d. Tumor intra uteri yang menghalangi engagement presenting part
e. Janin yang kecil
f. Disproporsi sefalopelvik yang menghalangi engagement yang ketat
g. Hidramnion
h. Kehamilan kembar
Tali pusat menumbung dapat pula terjadi jika ada faktor apapun yang
menghalangi desensus janin.
3) Hasil pemeriksaan
a. Tali pusat dapat diraba pada perineum ketika melakukan vaginal toucher.
b. Pemeriksaan USG dapat membantu memastikannya.
c. Pola DJJ memperlihatkan deselerasi yang bervariasi
4) Penanganan
Penanganannya berfokus untuk mengurangi tekanan pada tali pusat (Dr.
Lyndon Saputra, 2014)
a. Posisi trendelernburg atau lutut-dada akan membuat kepala bayi terlepas
dari tali pusat.
b. Kepala janin diangkat keatas agar terlepas dari tali pusat dengan tangan
yang sudah mengenakan sarung tangan steril dan dimasukkan kedalam
vagina ibu.
Oksigen biasanya diberikan untuk meningkatkan oksigenasi janin yang
memadai. Monitoring DJJ dimulai jika alat ini masih belum terpasang dengan
observasi yang sering untuk mendeteksi deselerasi. Jika tali pusat sudah
terpajan diluar kassa steril yang sudah dibasahi dengan larutan saline dipakai
untuk membungkus bagian tali pusat tersebut. Kelahiran pervagina dapat
dilakukan jika serviks sudah dilatasi lengkap; kelahiran dengan sectio cesarea
dilakukan bila dilatasi servik tidak lengkap (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
3. Ruptura Uteri
1) Definisi
Ruptura uteri terjadi ketika uterus mengalami strain yang berlebihan dan
melampaui kemampuannya untuk menahan strain tersebut sehingga terjadi
ruptur atau robekan pada uterus. Ruptura uteri yang akan terjadi biasanya
didahului oleh cincin retraksi patologik. Ruptura uteri dapat lengkap (komplet)
yang robeknya melewati endometrium, miometrium, dan peritoneum atau
tidak lengkap (inkomplet) sehingga perineum masih utuh. Viabilitas janin
bergantung pada derajat ruptur dan waktu antara terjadinya ruptur dan
dilakukannya ekstraksi abnormal. Prognosis pasien bergantung pada derajat
ruptur dan kehilangan darah (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
Ruptur uterus merupakan robekan uterus yang dapat ditemukan pada sebagian
besar bagian bawah uterus termasuk robekan pada vagina. Ruptur uterus dapat
didefinisikan juga sebagai suatu robekan pada dinding uterus yang terjadi
karena uterus tidak dapat menerima tekanan (Mitayani, 2011).
2) Penyebab
a. Biasanya ruptur uteri terjadi pada pasien dengan riwayat kelahiran cesarea
seperti ketika terdapat jaringan parut pasca insisi vertikal (SC klasik)
b. Ruptura uteri dapat pula terjadi karena perbaikan histerektomi
c. Penyebab lainnya meliputi :
a) Partus lama
b) Presentasi yang abnormal
c) Kehamilan kembar
d) Penggunaan oksitosin
e) Persalinan macet
f) Maneuver yang menimbulkan trauma dengan menggunakan forceps
atau traksi (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
3) Hasil pemeriksaan
a. Pada ruptur uteri ditemukan garis lekukan melintang melintasi uterus yang
terlihat pada abdomen (cincin retraksi patologik).
b. Kontraksi uterus yang kuat tanpa disertai dilatasi serviks.
c. Indikasi ruptur uteri yang lengkap :
a) Rasa nyeri hebat yang timbul mendadak pada saat terjadi kontraksi
uterus yang kuat.
b) Melaporkan perasaan seperti ada yang robek.
c) Berhentinya kontraksi uterus.
d) Perdarahan hebat (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
e) Tanda syok (peningkatan nadi, penurunan tekanan darah, pucat,
dingin, kulit lembap, sesak nafas, gelisah, gangguan penglihatan)
(Helen Verney, 2007).
f) Perubahan pada kontur abdomen dengan dua massa (benjolan) yang
terlihat nyata yaitu : massa uterus yang mengalami retraksi, massa
janin yang berada diluar rahim.
g) Bunyi DJJ tidak terdengar (Dr.Lyndon Saputra, 2014).
4) Penanganan
Pada akhir kehamilan organ uterus sangat banyak mengandung pembuluh
darah sehingga ruptura uteri merupakan kejadian yang bersifat emergensi jika
dibandingkan dengan ruptur lien atau ruptur hepar.
Penanganan terfokus pada tindakan berikut ini :
a. Penggantian cairan
b. Pemberian oksitosin IV untuk menghasilkan kontraksi uterus dan
meminimalkan perdarahan
Jika mungkin, operasi cesarea dilakukan untuk memastikan kelahiran bayi
yang aman.
Pengeluaran plasenta secara manual dibawah anastesi umum mungkin
diperlukan pada kejadian cincin retraksi patologik stadium plasenta.
Laparatomi mungkin diperlukan sebagai tindakan emergensi untuk
mengendalikan pendarahan dan memperbaiki ruptur, histerektomi
(pengangkatan uterus yang rusak) atau ligasi tuba dapat dilakukan pada saat
histerektomi.
Pasien ruptur uteri tidak dianjurkan untuk hamil kembali kecuali jika ruptur
tersebut terjadi pada segmen bawah uterus yang tidak aktif.
Pembedahan pada ruptur uteri :
a. Laparotomi untuk mengendalikan perdarahan
b. Histerektomi untuk mengangkat uterus yang rusak
c. Ligasi tuba untuk mencegah pembuahan dikemudian hari.
4. Disproporsi sefalopelvik
1) Definisi
Disproporsi sefalopelvik (CPD) mengacu kepada penyempitan jalan lahir.
Keadaan ini meliputi disproporsi ukuran kepla janin yang normal dengan
diameter pelvis. CPD akan menyebabkan kegagalan pada kemajuan pesalinan.
pada CPD kepala janin tidak dapat masuk pintu atas panggul (atau tidak terjadi
engagement): kepala tetep menjadi satu kesatuan yang mnegapung sehingga
dapat terjadi malposisi yang lebih lanjut akan mempersulit situasi tersebut,
jika ketuban sudah pecah kemungkinan terjadinya tali pusat menumbung akan
sangat meningkat (Dr.Lyndon Saputra, 2014).
Disproporsi sefalopelviks adalah disproporsi antara ukuran janin dan ukuran
pelvis, yakni ukuran pelvis tertentu tidak cukup besar untuk mengakomodasi
keluarnya janin tertentu melalui pelvis sampai terjadi kelahiran pervaginam.
Pelvis yang adekuat untuk jalan lahir bagi bayi 2,27 kg mungkin tidak cukup
besar sebagai jalan lahir untuk bayi 3,2 kg, atau pelvis yang cukup besar untuk
bayi 3,2 kg mungkin tidak cukup besar untuk bayi 3,6 kg. Oleh karena itu,
keadekuatan pelvis harus dievaluasi dalam hubungan dengan janin tertentu
yang akan melewatinya (Helen Varney, 2007).
2) Penyebab
Ukuran fisik panggul (pelvis) ibu merupakan kontributor utama :
a. Pintu atas panggul yang sempit terjadi ketika ukuran yang paling kecil
untuk diameter anterior posterior kurang dari 11 cm atau diameter
transversal yang maksimal hanya sebesar 12 cm atau kurang.
b. Jenis ukuran yang sempit ini dapat terjadi karena penyakit riketsia yang
dialami pasien pada usia kanak-kanak atau karena kondisi genetik ukuran
panggul yang kecil.
Pada primigravida, kepala janin biasanya sudah masuk pintu atas panggul
pada kehamilan 36-38 minggu. Ketika hal ini terjadi sebelum persalinan
dimulai, pintu atas panggul diasumsikan memiliki ukuran yang cukup
memadai. Ketika kepala janin dapat engaged atau melewati pelvic brim,
kemungkinan besar bagian ini juga akan dapat melewati midpelvis dan pintu
bawah panggul (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
Pintu bawah panggul yang semptit juga merupakan kontributor CPD.
a. Pada keadaan ini terdapat diameter transversal atau distansia
intrertuberosa (yaitu jarak antara kedua tuber iskiadika) pintu bawah
panggul yang ukurannya kurang dari 11 cm.
b. Meskipun ukuran ini mudah ditentukan pada kunjungan antenatal dan
dengan demikian kemungkinan pintu bawah panggul yang sempit sudah
dapat diantisipasi sebelum dimulainya persalinan, namun distansia
intrertuberosa juga dapat ditentukan pada saat bersalin.

Faktor janin dapat turut menjadi kontributor CPD (Dr. Lyndon Saputra,
2014):

a. Ukuran bayi yang besar (berat lahir > 4000 gram)


b. Faktor lainnya mengikuti posisi kepala bayi yang abnormal, anomali bayi
atau malpresentasi bayi.
3) Hasil pemeriksaan
Tidak terdapatnya engagement pada primigravida yang disebabkan oleh
anomali janin seperti ukuran kepala yang melebihi ukuran normal atau
kelainan panggul seperti ukuran panggul ibu yang lebih kecil dari ukuran
normal.
4) Penanganan (Dr. Lyndon Saputra, 2014)
a. Jika ukuran pelvis berada pada nilai borderline atau hanya pas saja
khususnya ukuran pintu atas panggul sementara letak dan posisi janin
tampak baik, maka dokter mungkin akan melakukan partus percobaan
atau trial labor untuk menentukan apakah persalinan itu dapat berjalan
secara normal.
b. Trial labor boleh dilanjutkan jika terdapat desensus presenting part dan
dilatasi serviks.
c. Jika persalinannya tidak mau maju atau bila terjadi komplikasi, tindakan
melahirkan dengan sectio cesarea merupakan pilihan terbaik.
C. Masalah pada persalinan kala III
1. Inversio Uteri
1) Definisi
Pada keadaan ini, bagian dalam uterus terbalik ke luar. Fundus yang
mengalami inverse dapat terletak dalam kavum uteri atau vagina, atau pada
inversion total, bagian fundus menonjol keluar dari dalam vagina. Inversio
uteri merupakan suatu fenomena yang jarang terjadi dan ditemukan pada
sekitar 1 dari 15000 kelahiran (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
2) Penyebab
Inversio uteri dapat terjadi setelah kelahiran bayi khususnya jika dilakukan
tindakan mendorong fundus uteri ketika uterus tidak berkontraksi dapat pula
terjadi ketika insersio plasenta terdapat pada fundus uteri : pada saat
melahirkan, pelintasan janin akan menarik fundus ke bawah (Dr. Lyndon
Saputra, 2014).
3) Hasil pemeriksaan
a. Semburan mendadak darah dalam jumlah banyak dari dalam vagina.
b. Fundus yang tidak teraba dalam abdomen.
c. Tanda dan gejala syok jika perdarahan berlanjut :
a) Hipotensi
b) Rasa pening
c) Pucat
d) Diaphoresis
d. Kemungkinan eksanguinasi jika perdarahan berlangsung tanpa dilakukan
pengecekan.
4) Penanganan
a. Terapi infuse cairan, dan transfusi komponen darah mungkin diperlukan
untuk menggantikan volume cairan dan darah yang hilang.
b. Anastesi umum, pemberian nitroglieserin atau preparat tokolitik dapat
dilakukan untuk menghasilkan relaksasi uterus.
c. Sesudah melaksanakan terapi diatas, dokter akan melakukan reposisi
uterus secara manual.
d. Setelah uterus berhasil direposisi, oksitosin dapat diberikan untuk
meningkatkan kontraksi uterus.
e. Akibat keterpajanan uterus, terdapat indikasi untuk memberikan terapi
antibiotik postpartum.
f. Sebagai upaya terakhir mungkin diperlukan tindakan histerektomi
emergensi (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
2. Anomali Plasenta
1) Definisi
Anomali plasenta meliputi ukuran plasenta atau pembuluh darah yang
terhubung dengan plasenta. Plasenta yang normal memiliki berat sekitar 500
gram, diameter 15 hingga 20 cm dan tebal 1,5 hingga 3 cm. Berat plasenta
kurang lebih seperenam dari berat janin (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
2) Jenis
a. Plasenta battledore yang meliputi perubahan cara pelekatan (insersio) tali
pusat. Tali pusat pada plasenta battledore memiliki insersio dibagian tepi
plasenta dan bukan dibagian tengahnya.
b. Plasenta suksenturiata terdapat satu atau lebih lobus aksesoris yang
terhubung dengan bagian utama plasenta melalui pembuluh darah.
c. Plasenta sirkumvalata, selaput yang membungkusnya berubah (biasanya
membrane korion dimulai pada bagian tepi plasenta dan meluas untuk
menyelubungi janin).
a) Pada jenis anomali ini tidak terdapat korion yang menyelubungi
seluruh permukaan fetal plasenta.
b) Tali pusat memasuki plasenta pada titik tengah yang biasa, pembuluh
darah yang besar menyebar dari titik tengah ini tetapi kemudian
berhenti mendadak pada tempat dimana korion terlipat balik pada
permukaannya.
d. Plasenta marginata, lipatan korion hanya mencapai tepi plasenta.
e. Insersio velamentosa tali pusat, tali pusat tidak masuk langsung kedalam
plasenta, sebaliknya tali pusat akan terpisah menjadi sejumlah pembuluh
darah kecil yang mencapai plasenta dengan menyebar lewat lipatan
amnion.
f. Vasa previa terdapat insersio tali pusat yang menyebrangi os servisis dan
mungkin tali pusat akan dilahirkan didepan presenting part bayi.
g. Plasenta akreta, vili korialis terbenam dalam atau terikat pada atau
kedalam miometrium uteri. Keadaan ini menimbulkan permasalahan yang
membuat plasenta tidak akan mudah terlepas dan dilahirkan sebagaimana
keadaan normalnya (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
Plasenta akreta adalah perlekatan plasenta sebagian atau total pada
dinding uterus. Pada plasenta akreta, plasenta melekat langsung pada
miometrium dengan desidua defektif atau tanpa desidua diantaranya.
Apabila filikorionik keluar melebihi kontak dengan miometrium dan
secara nyata menembus dinding uterus, kondisi ini disebut plasenta
inkreta (Helen Varney, 2007).
3) Penyebab
a. Penyebab pasti tidak diketahui
b. Keadaan yang menjadi kontributornya meliputi:
a) Pasien diabetes dengan plasenta yang abnormal berukuran besar.
b) Pada penyaakit tertentu seperti sifilis atau eritroblastosis, plasenta
dapat berukuran begitu besar sehingga beratnmya mencapai separuh
dari berat janin.
c) Plasenta dengan diameter yang lebar dapat terjadi jika uterus
memiliki jaringan parut atau sputum keadaan ini memaksa plasenta
melebar untuk mencari tempat implantasi (Dr. Lyndon Saputra,
2014).
4) Hasil pemeriksaan
Jenis plasenta biasanya baru ditentukan ketika melakukan pemeriksaan visual
plasenta sesudah plasenta itu dilahirkan (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
5) Penanganan
a. Inspeksi visual plasenta yang lengkap diperlukan sesudah plasenta
tersebut dilahirkan.
b. Pada plasenta suksenturiata diperlukan pengeluaran plasenta secara
manual.
c. Pada vasa previa tindakan melahirkan lewat operasi cesarea menjadi
metode pilihan untuk mencegah kehilangan banyak darah yang menyertai
putusnya tali pusat.
d. Pada plasenta akreta dapat diberikan metotreksat untuk menghancurkan
jaringan plasenta yang masih tertinggal sebagai alternative dapat
dilakukan tindakan histerektomi.
D. Masalah pada persalinan kala IV
1. Perdarahan post partum dini
1) Definisi
Perdarahan post partum dini mengacu kepada kehilangan darah sebanyak
500ml atau lebih selama satu jam pertama sesudah melahirkan. Normalnya
setelah melahirkan bayi pervaginam, kehilangan darah sebanyak 500ml
dianggap masih dapat diterima. Kisaran kehilangan darah yang masih bisa
diterima sesudah kelahiran cesarea adalah 1000 hingga 1200 ml (Dr. Lyndon
Saputra, 2014).
Resiko perdarahan post partum paling besar dalam waktu satu jam pertama
sesudah melahirkan bayi, setelah plasenta terlepas sehingga uterus yang sangat
banyak mengandung pembuluh darah dan sudah telanjang itu akan terpajan
semakin luas (Dr. Lyndon Saputra, 2014).
2) Penyebab
a. Penyebab primer perdarahan post partum yang dini adalah atonia
(relaksasi uterus)
b. Perdarahan terjadi karena uterus tidak mampu berkontraksi dengan baik
sehingga pembuluh darah pada lokasi pelekatan plasenta akan terbuka.
c. Setiap keadaan yang mengganggu kemampuan uterus untuk berkontraksi
dapat menyebabkan atonia uteri dan selanjutnya perdarahan post partum.
d. Laserasi serviks, jalan lahir atau perineum juga dapat menyebabkan
perdarahan post partum.
a) Laserasi servik dapat mengakibatkan perdarahan yang sangat banyak
jika pembuluh arterinya robek.
b) Biasanya keadaan ini terjadi segera setelah plasenta dilahirkan
e. Retensio fragmen plasenta merupakan penyebab perdarahan post partum
yang lain. Jika fragmen itu cukup besar, perdarahan akan sudah terlihat
pada periode post partum.
f. Koagulasi diseminata intravascular (DIC) dapat menyebabkan perdarahan
postpartum. Keadaan ini lebih sering ditemukan pada solusio plasenta,
missed abortion atau kehamilan janin intrauterine (Dr. Lyndon Saputra,
2014).
3) Faktor Predisposisi
a. Distensi berlebihan pada uterus (kehamilan kembar, polihidramnion, atau
bayi besar)
b. Induksi oksitosin atau augmentasi
c. Persalinan dan kelahiran cepat atau presipitatus
d. Kala I dan kala II persalinan yang memanjang
e. Grandmultiparitas
f. Riwayat atonia uterus atau perdarahan pasca partum pada saat melahirkan
anak sebelumnya
g. Penggunaan agens relaksan uterus, seperti magnesium sulfat dan
terbutalin.
4) Hasil pemeriksaan
a. Perdarahan yang terjadi mendadak dalam jumlah yang besar, atau terjadi
secara berangsur-angsur selama beberapa saat sebagai rembesan darah.
b. Tanda dan gejala syok hipovolemik jika kehilangan darahnya cukup
banyak.
a) Penurunan fungsi sensori
b) Pernafasan yang cepat dan dangkal dengan denyut nadi yang cepat
dan lembut
c) Penurunan keluaran urine yang mungkin kurang dari 25ml/jam
d) Kulit yang dingin dan basah
e) Mean arterial pressure dibawah 60 mmHg dan tekanan nadi yang
mengecil
c. Tampon perineum yang cepat penuh dengan darah.
d. Uterus yang lembek dan lemas (dalam kondisi relaksasi)
e. Perembesan darah yang terus menerus dari lokasi laserasi
f. Uterus yang lembek dan tidak berkontraksi jika keadaan ini disebabkan
oleh retensi fragmen plasenta
g. Pucat
5) Penanganan (Dr. Lyndon Saputra, 2014)
a. Penanganannya berfokus pada koreksi penyebab yang mendasarinya
perdarahan dan pelaksanaan tindakan untuk mengendalikan kehilangan
darah serta meminimalkan syok hipovolemik.
b. Terapi emergenci tergantung pada tindakan menggantikan darah dan
cairan dengan segera untuk mengembalikan volume intravsakular dan
menaikkan tekanan darah hingga diatas 60 mmHg.
c. Pemberian infuse yang cepat dengan larutan normal saline atau ringer
laktat dan mungkin pula diperlukan pemberian albumin atau plasma
ekspander untuk menambah volume intravascular hingga taraf yang
memadai sebelum golongan darah pada preparat whole blood dapat
dicocokkan dengan golongan darah pasien.
d. Massase uterus mulai dilakukan pada pasien atonia uteri :
a) Jika masase tidak efektif atau tidak berhasil mempertahankan
kontraksi uterus, maka pemberian oksitosin dapat diinstruksikan oleh
dokter untuk membantu kontraksi uterus.
b) Jika tindakan ini tidak efektif, dokter mungkin cenderung melakukan
masase bimanual.
e. Pemberian prostaglandin IM mungkin diinstruksikan oleh dokter untuk
meningkatkan kontraksi uterus yang kuat dan berlangsung lama.
f. Jika upaya untuk menghentikan perdarahan tidak berhasil, maka tindakan
histerektomi dapat dilakukan.Tindakan ini hanya dianggap sebagai upaya
terakhir.
g. Laserasi jika terdapat diperbaiki lewat pembedahan.
h. Fragmen plasenta yang masih tertinggal biasanya dikeluarkan lewat
dilatasi dan kuretase (D&C).
2. Fetal distress
1) Definisi
Fetal distress mengacu kepada gangguan janin yang mengakibatkan keadaan
stress yang patologis dan potensial membawa kematian janin. Normalnya
selama persalinan, janin dapat memberikan respon yang tepat seperti
ditunjukkan dibawah ini (Dr. Lyndon Saputra, 2014):
a. DJJ yang berkisar dari 120 hingga 160x/menit.
b. Memastikan kembali pola DJJ
a) Variabilitas baseline berada pada parameter yang dapat diterima
b) Akselerasi DJJ yang terjadi bersamaan dengan gerakan atau aktivitas
c) Deselerasi awal (yang mengindikasikan kompresi kepala janin pada
saat terjadi kontraksi) atau deselerasi bervariasi yang ringan (yang
mengindikasikan kompresi tali pusat, keadaan ini bisa dihilangkan
dengan posisi tubuh ibu).
2) Penyebab
a. Prematuritas
b. Insufisiensi uteroplasental
c. Malformasi kongenital
d. Inkompatibilitas ABO atau Rh
e. Komplikasi maternal seperti diabetes, penyakit jantung atau hipertensi
gestasional
f. Partus lama
g. Post maturitas
h. Infuse oksitosin
i. Perdarahan per vaginam
3) Hasil pemeriksaan (Dr. Lyndon Saputra, 2014)
a. Pola DJJ yang mengkhawatirkan
b. Asidosis janin
c. Cairan amnion yang mengandung mekonium
d. Berkurangnya atau berhentinya gerakan janin
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Saputra, Lyndon. 2014. Asuhan Kebidanan Masa Persalinan Fisiologis dan Patologis.
Tangerang Selatan : Binarupa Aksara Publisher.
Varney, Helen. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4. Jakarta : EGC.
Mitayani. 2011. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta : Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai