Anda di halaman 1dari 24

MANAJEMEN BENCANA DAN KLB

“LANGKAH MANAJEMEN KESEHATAN REPRODUKSI PASCA


BENCANA LETUSAN GUNUNG SINABUNG”

Disusun oleh:
Kelompok 7 IKM-A 2014

Anita Puspitasari 101511133013


Mulyaminingrum 101511133040
Muhammad Yusuf 101511133067
Fryska Rosydah 101511133082
Samara Rahma Dania 101411131098
Sonia Elka Amalia 101511133185
Nur Syarifah Wardani Y 101511133200
Nurul Fauziah Ningum 101511133206

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AIRLANGGA
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun
makalah Manajemen Bencana dan KLB ini tepat pada waktunya. Dalam makalah
ini penulis akan membahas mengenai “Langkah Manajemen Kesehatan Reproduksi
Pasca Bencana Letusan Gunung Sinabung”.
Makalah ini berisikan tentang manajemen program penanggulangan pasca
bencana pada kesehatan reproduksi. Penyusunan makalah ini penulis banyak
mendapat tantangan dan hambatan dalam penulisannya. Penulis menyadari bahwa
masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu,
penulis mohon saran serta kritik yang dapat memperbaiki makalah ini lebih baik
lagi.
Akhir kata penulis sampaikan terima kasih pada semua pihak yang ikut
dalam membantu menyelesaikan tugas ini dan semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis serta pembaca.

Surabaya, 27 November 2016

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 5
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 5
1.4 Manfaat ..................................................................................................... 5
BAB 2 ..................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6
2.1 Definisi Bencana ........................................................................................... 6
2.2 Definisi Manajemen Bencana........................................................................ 7
2.3 Kesehatan Reproduksi Dalam Bencana ........................................................ 9
2.3.1 Definisi Kesehatan Reproduksi .............................................................. 9
2.3.2 Pedoman Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) ........................... 10
2.3 Siklus Proyek Kesehatan Reproduksi ..................................................... 13
BAB 3 ................................................................................................................... 15
PEMBAHASAN ................................................................................................... 15
3.1 Penilaian RHA Kesehatan Reproduksi ........................................................ 15
3.2 Penyusunan Program ................................................................................... 18
BAB 4 ................................................................................................................... 21
PENUTUP ............................................................................................................. 21
4.1 Keseimpulan ................................................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 22
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang memiliki potensi tinggi terjadinya berbagai
macam bencana. Salah satunya bencana gunung meletus, tidak heran jika
Indonesia memiliki julukan “Ring of Fire” karena memiliki banyak gunung
berapi. Hingga tahun 2012, Indonesia memiliki 127 gunung berapi aktif dengan
kurang lebih 5 juta penduduk yang berdiam di sekitarnya. Sejak 26 Desember
2004, setelah gempa besar dan tsunami terjadi, semua pola letusan gunung
berapi berubah, misalnya Gunung Sinabung, yang terakhir kali meletus pada
1600-an, tetapi tiba-tiba aktif kembali pada tahun 2010 dan meletus pada 2013.
Bencana yang terjadi juga dapat menimbulkan berbagai permasalahan salah
satunya adalah kesehatan reproduksi.
Semua orang termasuk mereka yang hidup dalam kondisi darurat bencana
berhak atas terjaganya kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi adalah
keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata
terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala hal yang berkaitan dengan
sistem, fungsi dan proses reproduksinya. Manajemen kesehatan reproduksi
adalah suatu kegiatan pembinaan dan evaluasi yang meliputi aspek
perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi dalam lingkup nasional
dan lintas provinsi terkait dengan kesehatan reproduksi.
Kesehatan reproduksi sangat penting untuk diperhatikan dalam situasi krisis
seperti bencana karena kesehatan reproduksi merupakan hak setiap manusia dan
juga kebutuhan psikososial seseorang. Saat bencana, risiko kejadian kekerasan
seksual, penularan IMS, kehamilan yang tidak diinginkan, serta komplikasi
kehamilan meningkat. Selain itu, masalah kesehatan reproduksi lain yang
muncul ialah tempat persalinan kurang memadai dan kurangnya akses
pelayanan gawat darurat. Oleh karena itu, dalam situasi bencana, manajemen
kesehatan reproduksi sangat penting untuk dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut.
1. Apa komponen dan indikator MISP dalam kesehatan reproduksi dalam
bencana?
2. Bagaimana manajemen program kesehatan reproduksi saat bencana?
3. Bagaimana penilaian dari Rapid Health Assesment pada kesehatan
reproduksi?
4. Bagaimana kebijakan program terkait kesehatan reproduksi saat terjadinya
bencana?

1.3 Tujuan
Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah:
1. Mengetahui komponen dan indikator MISP dalam kesehatan reproduksi
dalam bencana
2. Mengetahui manajemen program kesehatan reproduksi saat bencana?
3. Mengetahui penilaian dari Rapid Health Assesment pada kesehatan
reproduksi
4. Mengetahui kebijakan program terkait kesehatan reproduksi saat terjadinya
bencana

1.4 Manfaat
Manfaat dari pembahasan makalah ini adalah:
1. Menjamin pemenuhan hak kesehatan reproduksi setiap orang yang
diperoleh melalui pelayanan kesehatan yang bermutu, aman, dan dapat
dipertanggungjawabkan sekalipun dalam situasi bencana.
2. Menjamin kesehatan ibu dalam usia reproduksi agar mampu melahirkan
generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu
dalam situasi bencana.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Bencana
Definisi bencana dalam buku Disaster Management-A Disaster
Manager’s Handbook adalah suatu kejadian, alam, atau buatan manusai, tiba-
tiba atau progresif, yang menimbulkan dampak yang dahsyat (hebat) sehingga
komunitas (masyarakat) yang terkena atau terpengaruh harus merespon dengan
tindakan-tindakan luar biasa. Menurut UU No. 24 tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana mendefinisikan bencana sebagai “peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban
jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis”. Berdasarkan penyebabnya, bencana dibedakan atas 3 kategori yaitu
bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa kegagalan teknologi, gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang
diakibatkan oleh perostiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh
manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas
masyarakat, dan teror.
Mengacu pada kedua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa bencana
merupakan suatu kejadian atau serangkaian eristiwa beupa gangguan atau
kekacauan yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam
maupun faktor manusia pada pola normal kehidupan yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis. Gangguan atau kekacauan yang terjadi biasanya hebat,
terjadi tiba-tiba, tidak disangka dan dalam wilayah cakupan yang cukup luas.
Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa
atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan
(vulnerability) masyarakat. Bila terjadi hazard, tetapi masyarakat tidak rentan,
maka berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri peristiwa yang mengganggu,
sementara bila kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi peristiwa yang
mengancam maka tidak akan terjadi bencana.
2.2 Definisi Manajemen Bencana
Bencana adalah hasil dari munculnya kejadian luar biasa (hazard) pada
komunitas yang rentan (vulnerable) sehingga masyarakat tidak dapat mengatasi
berbagai implikasi dari kejadian luar biasa tersebut. Upaya untuk
menghindarkan masyarakat dari bencana baik dengan mengurangi kemungkinan
munculnya hazard maupun mengatasi kerentanan disebut dengan manajemen
bencana. Menurut William Nick Carter (1991) bahwa penganggulangan bencana
alam (disaster management) perlu diselengarakan melalui tahapan-tahapan :
persiapan (preparation), penghadangan atau penanganan (facing disaster),
perbaikan akibat kerusakan (reconstruction), pemfungsian kembali prasarana
dan sarana sosial yang rusak (rehabilitation), dan penjinakan gerak alam yang
menimbulkan bencana (mitigation). Tahapan-tahapan ini tidak mutlak, karena
salah satu tahapnya bisa mendahului yang lain. Dengan kata lain manajemen
bencana adalah sebuah ilmu pengetahuan terapan yang berupaya meningkatkan
tidakan-tindakan yang berkaitan dengan pencegahan, mitigasi,, kesiapsiagaan,
tanggap darurat dan pemulihan dengan menggunakan pengamatan dan analisa
yang sistematis atas bencana.
Pada dasarnya manajemen bencana merupakan sebuah proses yang
dinamis, proses tersebut terdiri dari fungsi manajemen klaksik yang meliputi
perencanaan, pengorganisasian, pembagian tugas, pengendalian dan
pengawasan. Proses tersebut juga melibatkan berbagai macam organisasi yang
harus bekerjasama untuk melakukan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan,
tanggap darurat, dan pemulihan akibat bencana.
Terdapat lima model manajemen bencana yaitu:
a. Disaster management continuum model. Model ini mungkin
merupakan model yang paling popular karena terdiri dari tahap-
tahap yang jelas sehingga lebih mudah diimplementasikan. Tahap-
tahap manajemen bencana di dalam model ini meliputi emergency,
relief, rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan
early warning.
b. Pre-during-post disaster model. Model manajemen bencana ini
membagi tahap kegiatan di sekitar bencana. Terdapat kegiatan-
kegiatan yang perlu dilakukan sebelum bencana, selama bencana
terjadi, dan setelah bencana. Model ini seringkali digabungkan
dengan disaster management continuum model.
c. Contract-expand model. Model ini berasumsi bahwa seluruh tahap-
tahap yang ada pada manajemen bencana (emergency, relief,
rehabilitation, reconstruction, mitigation, preparedness, dan early
warning) semestinya tetap dilaksanakan pada daerah yang rawan
bencana. Perbedaan pada kondisi bencana dan tidak bencana adalah
pada saat bencana tahap tertentu lebih dikembangkan (emergency
dan relief) sementara tahap yang lain seperti rehabilitation,
reconstruction, dan mitigation kurang ditekankan.
d. The crunch and release model. Manajemen bencana ini
menekankan upaya mengurangi kerentanan untuk mengatasi
bencana. Bila masyarakat tidak rentan maka bencana akan juga kecil
kemungkinannya terjadi meski hazard tetap terjadi.
e. Disaster risk reduction framework. Model ini menekankan upaya
manajemen bencana pada identifikasi risiko bencana baik dalam
bentuk kerentanan maupun hazard dan mengembangkan kapasitas
untuk mengurangi risiko tersebut.
Pendekatan lain adalah lingkaran manajemen bencana (disaster
management cycle) yang terdiri dari dua kegiatan besar. Pertama adalah
sebelum terjadinya bencana (pre event) dan kedua adalah setelah terjadinya
bencana (post event). Kegiatan setelah terjadinya bencana dapat berupa
disaster response/emergency response (tanggap bencana) ataupun disaster
recovery. Kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya bencana dapat
berupa disaster preparedness (kesiapsiagaan menghadapi bencana) dan
disaster mitigation (mengurangi dampak bencana). Ada juga yang
menyebut istilah disaster reduction, sebagai perpaduan dari disaster
mitigation dan disaster preparedness

RISK MANAGEMENT Preparedness

Early warning

Mitigation
Protection

Recovery
Emergency
Responses/
Humanitarian
Reconstruction Relief

Damages, Losses
& Needs
Rehabilitation Assessment, and
CRISIS MANAGEMENT Master Plan/Action
Plan Formulation
2.3 Kesehatan Reproduksi Dalam Bencana
2.3.1 Definisi Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial
yang menyeluruh dan tidak tidak semata-mata terbebas dari penyakit atau
kecacatan- dalam semua hal berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi
serta prosesnya. Kesehatan reproduksi oleh karena itu menyatakan bahwa
seseorang mampu memiliki kehidupan seks yang memuaskan dan aman dan
bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan bebas untuk
memutuskan, kapan dan seberapa sering melakukannya.
Situasi darurat bencana adalah suatu peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang telah mengakibatkan ancaman yang kritis terhadap kesehatan,
keselamatan, keamanan atau kesejahteraan suatu masyarakat atau sekelompok
besar orang. Kemampuan bertahan dari masyarakat yang terdampak menjadi
kewalahan dan bantuan dari luar dibutuhkan. Hal ini bisa merupakan akibat
dari peristiwa seperti konflik bersenjata, bencana alam, epidemi atau kelaparan
dan sering kali menyebabkan penduduk harus mengungsi.
Pada situasi bencana, laki-laki dan perempuan berhak untuk
memperoleh informasi dan memiliki akses ke metode-metode keluarga
berencana yang aman, efektif, terjangkau, dan dapat diterima, yang mereka
pilih sendiri, dan juga metode lainnya sesuai pilihan mereka sendiri untuk
pengaturan kesuburan yang tidak bertentangan dengan hukum. Mereka juga
harus memiliki hak untuk mengakses layanan kesehatan yang tepat yang
memungkinkan perempuan untuk menjalani kehamilan dan persalinan dengan
aman sehingga memberikan para pasangan peluang yang terbaik untuk
mendapatkan seorang bayi yang sehat.
2.3.2 Pedoman Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM)
Pedoman Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) merupakan
serangkaian kegiatan prioritas kesehatan reproduksi yang harus
dilaksanakan segera pada tanggap darurat krisis kesehatan untuk
menyelamatkan jiwa khususnya pada kelompok perempuan dan remaja
perempuan. PPAM Kesehatan Reproduksi, yang terdiri dari:
1. Identifikasi organisasi dan individu untuk memfasilitasi
koordinasi dan implementasi PPAM sebagai focal point.
Focal point ditunjuk untuk mengkoordinasikan kegiatan
kesehatan reproduksi sejak awal untuk mengatasi keadaan gawat
darurat. Focal point akan bekerja dibawah koordinator umum bidang
kesehatan. Semua organisasi pemberi bantuan harus bekerja sesuai
dengan tugasnya dan siap siaga terhadap keadaan darurat. Kepekaan
terhadap aspek kesehatan reproduksi dan gender harus selalu
ditekankan dalam setiap pelatihan sumber daya manusia. Tenaga
kesehatan yang berpengalaman dalam bidang kesehatan reproduksi
harus ditempatkan paling sedikit selama 6 bulan, sesuai dengan
waktu yang diperkirakan untuk memantapkan pelayanan kesehatan
reproduksi komprehensif.
2. Pencegahan dan manajemen kekerasan seksual dan akibatnya
Semua petugas yang terlibat dalam penanggulangan keadaan
darurat harus sensitif terhadap masalah kekerasan seksual. Langkah-
langkah untuk membantu korban kekerasan seksual, termasuk
perkosaan, harus sudah disusun pada fase awal darurat. Korban
kekerasan seksual harus segera dirujuk ke fasilitas kesehatan dan
pihak yang berwajib harus terlibat untuk memberikan perlindungan
dan dukungan hukum.
3. Menekan penularan HIV
Upaya yang dilakukan dalam hal pencegahan HIV/AIDS
secara umum adalah dengan cara memberikan informasi mengenai
penyakit HIV Aids kepada kelompok orang yang beresiko tinggi
dalam terkena serangan penyakit ini.
A. Melaksanakan tindakan kewaspadaan universal (universal
precaution). Dalam keadaan darurat ada kecenderungan
mengabaikan tindakan kewaspadaan universal. Mematuhi
dan melaksanakan kewaspadaan universal/universal
precaution terhadap HIV dan AIDS Tindakan kewaspadaan
universal harus ditekankan pada pertemuan pertama dengan
para koordinator kesehatan. Dalam keadaan darurat, terdapat
kecenderungan mengabaikan tindakan kewaspadaan
universal sehingga membahayakan pasien dan juga petugas
kesehatan
B. Menjamin tersedianya kondom secara gratis. Kondom harus
dijamin ketersediaannya sejak awal dalam jumlah cukup.
Masyarakat harus diinformasikan tentang ketersediaan
kondom di fasilitas kesehatan dan fasilitas lainnya.

4. Mencegah Meningkatnya Kesakitan dan Kematian Maternal


dan Neonatal
Hal ini dilakukan dengan cara memastikan ketersediaan
layanan kegawatdaruratan kebidanan dan perawatan neonatal
termasuk:
a. Di fasilitas kesehatan: penolong persalinan terlatih dan
supply untuk pertolongan persalinan normal dan
penanganan komplikasi kebidanan dan bayi baru lahir.
b. Di rumah sakit rujukan: staf medis yang terampil dan
supply untuk penanganan kegawatdaruratan kebidanan dan
bayi baru lahir.
Membangun sistem rujukan untuk memfasilitasi transportasi
dan komunikasi dari masyarakat ke puskesmas dan antara
puskesmas dan rumah sakit. Menyediakan kit persalinan bersih
untuk ibu hamil yang terlihat dan penolong persalinan ika terpaksa
melahirkan di rumah ketika akses ke fasilitas Kesehatan tidak
memungkinkan.
Menyediakan kit persalinan untuk menjamin persalinan yang
bersih dan aman. Pada fase awal keadaan darurat, persalinan sering
terjadi di luar fasilitas kesehatan sehingga penting untuk. Semua
petugas yang terlibat dalam penanggulangan keadaan darurat harus
sensitif terhadapmasalah kekerasan seksual. Langkah-langkah untuk
membantu korban kekerasan seksual, termasuk perkosaan, harus
sudah disusun pada fase awal darurat. Korban kekerasan seksual
harus segera dirujuk ke fasilitas kesehatan dan pihak yang berwajib
harus terlibat untuk memberikan perlindungan dan dukungan
hukum.
5. Perencanaan pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif
yang terintegrasi dalam pelayanan kesehatan dasar.
Hal ini dimulai dengan merencanakan integrasi kegiatan
kesehatan reproduksi komprehensif ke dalam pelayanan kesehatan
dasar pada fase awal respon darurat. Jika tidak dilakukan, hal ini
dapat menyebabkan penundaan yang tidak perlu dalam penyediaan
layanan ini yang mampu meningkatkan risiko terjadinya kehamilan-
kehamilan yang tidak diinginkan, penularan IMS (infeksi menular
seksual), komplikasi dalam kekerasan berbasis gender, serta
kesakitan dan kematian pada ibu dan bayi baru lahir.
Penyelenggaraan layanan kesehatan reproduksi komprehensif harus
dilaksanakan segera setelah standar-standar untuk indikator PPAM
telah dicapai.
2.3 Siklus Proyek Kesehatan Reproduksi
Siklus proyek menggambarkan bagaimana monitoring dan evaluasi
terhubung disepanjang penyelenggaraan layanan yang berkelanjutan dan
pengelolaan program. Siklus proyek membantu petugas dan manajer program
kesehatan reproduksi memahami bagaimana masing-masing dapat digunakan
untuk menginformasikan perihal pembuatan keputusan sepanjang siklus
rancangan program, perencanaan dan pelaksanaannya.
1. Monitoring/Pemantauan
Monitoring adalah fungsi kontinyu dengan menggunakan
pengumpulan data secara sistematik terhadap indikator tertentu untuk
menginformasikan kepada manajemen maupun stakeholder utama
tentang suatu kegiatan yang sedang berlangsung dalam hal
perkembangan dan pencapaian hasil dalam penggunaan dana maupun
bantuan.
Pada pemantauan penyelenggaraan penanggulangan bencana
diperlukan sebagai upaya untuk memantau secara terus-menerus
terhadap proses pelaksanaan penyelenggaraan penanggulangan
bencana. Pemantauan penyelenggaraan penanggulangan bencana
dilakukan oleh unsur pengarah beserta unsur pelaksana BNPB
dan/atau BPBD dan dapat melibatkan lembaga perencanaan
pembangunan nasional dan daerah, sebagai bahan evaluasi
menyeluruh dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
2. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian secara sistematik dan objektif
terhadap kegiatan, program atau kebijakan yang sedang berjalan atau
yang sudah selesai dilaksanakan. Tujuannya adalah untuk
menentukan relevansi dan pemenuhan tujuan, misalnya efisiensi,
efektifitas, dampak, dan sustainabilitasnya.
Evaluasi pada penyelenggaraan penanggulangan bencana
dilakukan dalam rangka pencapaian standar minimum dan
peningkatan kinerja penanggulangan bencana. Evaluasi dilakukan
oleh unsur pengarah BNPB untuk penanganan bencana tingkat
nasional dan unsur pengarah BPBD untuk penanganan bencana
tingkat daerah
BAB 3

PEMBAHASAN
3.1 Penilaian RHA Kesehatan Reproduksi
Berdasarkan penilaian cepat atau Rapid Health Assesment (RHA) yang telah
dilakukan, sumber daya manusia perlu diperhatikan terutama yang masih berada
dalam radius 5-10 km yang mana pada area tersebut merupakan area yang rawan
terkena dampak dari erupsi Gunung Sinabung.
Data Penduduk yang Terkena Dampak Letusan Gunung Sinabung dan
Dampak:

Kecamatan Desa KK Jiwa Lk Pr Lansia Bumil Balita Bayi


Tiga Nderket Mardinding 262 950 482 458 97 3 16 30
Brastagi Kuta 255 1041 518 523 19 7 119 19
Gugung
Si Garang - 422 15527 738 789 98 12 136 0
Garang
Payung Guru 404 1227 606 621 136 7 0 51
Kinayan
Simpang Empat Kuta 158 529 238 291 50 1 54 9
Tengah
Tiga 303 991 499 492 97 10 79 12
Pancur
Pintu Besi 76 275 148 127 38 4 28 7
Berikut fasilitas kesehatan yang bisa dijadikan sebagai posko pelayanan kesehatan korban bencana erupsi Gunung Sinabung:
N0 Kecamatan Rumah Sakit Puskesmas Puskesmas Rumah BPU Puskesm Jumla
Umum Rawat Rawat Pembantu bersalin s h
inap jalan
1 Mardinding - - 1 8 - 5 1 15
2 Laubaleng - - 1 15 - 8 - 24
3 Tigabunanga - - 1 25 - 6 1 33
4 Juhar - - 1 11 - 3 - 15
5 Munte - - 1 34 - 2 - 37
6 Kutabuluh - - 1 10 1 2 - 14
7 Payung - - 1 6 - - - 7
8 Tiga derket - - 1 11 - 1 - 13
9 Simpang - - 1 11 - 1 2 15
Empat
10 Naman Teran - - 1 14 - 2 5 22
11 Merdeka - - 1 4 - 1 3 9
12 Kabanjahe 4 - 2 25 8 17 - 55
13 Berastangi 2 - 2 21 9 23 3 60
14 Berastagi - - 1 19 2 8 6 37
15 Doolat rakyat - - 1 3 1 1 - 6
16 Merek - - 1 11 2 5 - 19
17 Barusjahe - - 1 10 - 8 2 41
JUMLAH 6 - 19 258 23 93 23 422
Beberapa poin yang harus diperhatikan dalam melakukan
penyalamatan dan penanggulangan korban bencana alam gunung meletus
salah satunya adalah Kebutuhan Sumber Daya Kesehatan. Kebutuhan
sumber daya kesehatan pada saat bencana merupakan salah satu faktor yang
sangat penting untuk mencegah terjadinya dampak tersebut, khususnya
kematian, kecacatan dan kejadian penyakit. Sumber daya manusia
kesehatan sangat diperlukan dalam radius 5 Km sampai 10 km. Maka untuk
memenuhi sumber daya manusia kesehatan harus membentuk tim cepat,
tanggap dan waspada, tim penilaian cepat kesehatan ( RHA), dan Tim
bantuan kesehatan.
Kebutuhan akan kebutuhan medis seperti obat-obatan dan alat
kesehatan, ada beberapa analisa mengenai jenis penyakit akibat gunung
meletus antara lain ISPA. Luka memar akibat terkena lava, patah tulang dll.
Obat perbekalan dan alat kesehatan yang diperlukan adalah: Kantong
mayat, kasa elastic perban, Alkohol 70%, tabung oksigen, emergency kit,
spatu boot, Ethyl Chlorida Spray, minor surgery set dll.
Untuk fasilitas kesehatan yang disediakan juga dijaga dengan baik
agar tidak terjadi membeludaknya pasien karena di beberapa fasilitas
kesehatan lainnya yang rusak akibat erupsi gunung. Selain itu guna
mengantisipasi membeludaknya pasien, maka petugas kesehatan yang
berada di daerah aman bisa membantu di fasilitas kesehatan lainnya yang
berada di zona rawan terkena dampak erupsi Gunung Sinabung.
3.2 Penyusunan Program
3.2.1 Program Safe Motherhood di pengungsian
Motherhood saat bencana adalah standar upaya atau tindakan yang
dilakukan agar Kehamilan Perempuan / Wanita berjalan lancar atau dengan
kata lain untuk menyelamatkan agar kehamilan dan persalinannya sehat di
pengungsian. Program Safe Motherhood sering disebut juga dengan Four
Pillarsof Safe Motherhood (konsep yang dikembangkan oleh WHO,
1994).Empat Pilar Safe Motherhood tersebut terdiri dari keluarga
berencana, persalinan bersih dan aman, asuhan antenatal, dan pelayanan
obstetri esensial. empat pilar tersebut sangat penting untuk dilakukan jika
terdapat suatu bencana, karena pada saat bencana atau berada pada
pengungsian sangat rentan akan terjadinya suatu penyakit.
3.2.2 Tujuan program Safe Motherhood di pengungsian
Gerakan yang digunakan untuk menyelamatkan wanita agar
kehamilan dan persalinanya berjalan dengan sehat, aman dan mendapatkan
bayi yang sehat serta untuk mencegah atau menurunkan kematian ibu
dengan slogan Making Pregnancy Safer (MPS) di pengungsian atau saat
terjadinya bencana.
3.2.3 Sasaran program safemotherhooddi pengungsian
Sasaran dari program safemotherhood adalah wanita hamil
3.2.4 Pelaksanaan Program Safe Motherhood saat bencana
Pelaksanaan Safe Motherthood terdapat 3 pesan kunci dalam MPS
yaitu setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, setiap
komplikasi obstetrik dan neonatal mendapat penanganan adekuat, dan
setiap perempuan usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan
kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.
Empat strategi utama dalam MPS yaitu meningkatkan akses dan cakupan
pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang berkualitas, membangun
kemitraan yang efektif melalui kerja sama lintas program, lintas sektor dan
mitra lainnya, mendorong pemberdayaan perempuan dan juga keluarga
melalui peningkatan pengetahuan, mendorong keterlibatan masyarakat
dalam menjamin penyediaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu dan
bayi baru lahir (Martaadisoebrata, 2005).
Empat Pilar Safe Motherhood tersebut terdiri dari:
1. Keluarga berencana. Konseling dan pelayanan keluarga berencana
harus tersedia untuk semua pasangan dan individu. Dengan
demikian, pelayanan keluarga berencana harus menyediakan
informasi dan konseling yang lengkap dan juga pilihan metode
kontrasepsi yang memadai, termasuk kontrasepsi darurat.
Pelayanan ini harus merupakan bagian dari program komprehensif
pelayanan kesehatan reproduksi. Program keluarga berencana
memiliki peranan dalam menurunkan risiko kematian ibu melalui
pencegahan kehamilan, penundaan usia kehamilan, dan
menjarangkan kehamilan.
2. Asuhan antenatal. Dalam masa kehamilan.
Petugas kesehatan harus memberi pendidikan pada ibu hamil
tentang cara menjaga diri agar tetap sehat dalam masa tersebut.
Membantu wanita hamil serta keluarganya untuk mempersiapkan
kelahiran bayi. Meningkatkan kesadaran mereka tentang
kemungkinan adanya risiko tinggi atau terjadinya komplikasi
dalam kehamilan/ persalinan dan cara mengenali komplikasi
tersebut secara dini. Petugas kesehatan diharapkan mampu
mengindentifikasi dan melakukan penanganan risiko
tinggi/komplikasi secara dini serta meningkatkan status kesehatan
wanita hamil.
3. Persalinan bersih dan aman. Dalam persalinan
Wanita harus ditolong oleh tenaga kesehatan profesional yang
memahami cara menolong persalinan secara bersih dan aman.
Tenaga kesehatan juga harus mampu mengenali secara dini gejala
dan tanda komplikasi persalinan serta mampu melakukan
penatalaksanaan dasar terhadap gejala dan tanda tersebut. Tenaga
kesehatan harus siap untuk melakukan rujukan kom
plikasi persalinan yang tidak dapat diatasi ke tingkat pelayanan
yang lebih mampu.
4. Pelayanan obstetri esensial.
Pelayanan obstetri esensial bagi ibu yang mengalami kehamilan
risiko tinggi atau komplikasi diupayakan agar berada dalam
jangkauan setiap ibu hamil. Pelayanan obstetri esensial meliputi
kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan untuk melakukan
tindakan dalam mengatasi risiko tinggi dan komplikasi
kehamilan/persalinan.
3.2.5 Keterlibatan Sektor
Gerakan Sayang Ibu (GSI) Kelangsungan Hidup, Gerakan Reproduksi Keluarga
Perkembangan dan Perlindungan Sehat (GRKS)
Ibu dan Anak
1. Ruang lingkup 3. dikenal sebagai upaya 4. merupakan upaya promosi
kegiatan GSI KHPPIA ini bertujuan mendukung terciptanya
meliputi advokasi menghimpun koordinasi keluarga yang sadar akan
dan mobilisasi sosial. lintas sektor dalam pentingnya mengupayakan
2. untuk mencegah 3 penenetuan kegiatan dan kesehatan reproduksi
macam pembiayaan dari berbagai
keterlambatan sumber dana

3.2.6 Indikator Outcome Program Safe Motherhood


a. Cakupan penanganan kasus obstetric,
b. Case fatality rate kasus obstetri yang ditangani,
c. Jumlah kematian absolute
d. Penyebaran fasilitas pelayanan obstetric yang mampu PONEK dan
PONED
e. Presentase bedah sesar terhadap seluruh persalinan di suatu wilayah
3.2.7 Pemantauan dan Evaluasi
Pengukuran AKI sebagai indikator dampak secara berkala dalam
waktu kurang dari 5-10 tahun tidak realistis, oleh karenanya para pakar
dunia menganjurkan pemakaian indikator praktis yaitu indicator outcome.
BAB 4

PENUTUP
4.1 Keseimpulan
Kesehatan reproduksi sangat penting untuk diperhatikan dalam situasi
krisis seperti bencana karena kesehatan reproduksi merupakan hak setiap
manusia dan juga kebutuhan psikososial seseorang.
Saat bencana, risiko kejadian kekerasan seksual, penularan IMS,
kehamilan yang tidak diinginkan, serta komplikasi kehamilan meningkat.
Selain itu, masalah kesehatan reproduksi lain yang muncul ialah tempat
persalinan kurang memadai dan kurangnya akses pelayanan gawat darurat.
Oleh karena itu, dalam situasi bencana, manajemen kesehatan reproduksi
sangat penting untuk dilakukan.
Program kesehatan reproduksi dalam situasi darurat bencana dapat
berjalan apabila telah prinsip-prinsip dasar telah berjalan sesuai dengan
fungsinya. Prinsip-prinsip dasar tersebut antara lain koordinasi, kualitas
pelayanan, komunikasi, partisipasi masyarakat, pengembangan kapasitas
teknis dan manajemen, akuntabilitas, hak asasi manusia (hak reproduksi), serta
advokasi.
Upaya kesehatan reproduksi pada situas idarurat bencana dilaksanakan
melalui penerapan komponen PPAM yang meliputi komponen keluarga
berencana, kekerasan berbasis gender, perawatan ibu dan bayi baru lahir, dan
IMS, pencegahan, dan pengobatan HIV. Selain itu layanan kesehatan
reproduksi komprehensif juga perlu dilaksanakan agar kesehatan reproduksi
pengungsi tetap terjaga.
Siklus proyek membantu petugas dan manajer program kesehatan
reproduksi memahami bagaimana masing-masing dapat digunakan untuk
menginformasikan perihal pembuatan keputusan sepanjang siklus rancangan
program, perencanaan dan pelaksanaannya
DAFTAR PUSTAKA
Bappenas. 2009. Pengarusutamaan Penanggulangan Bencana Dalam
Perencanaan Pembangunan. Diunduh dari https://www.bappenas.go.id pada
tanggal 07 November 2017
FKUB. 2014. Safe motherhood. http://bidan.fk.ub.ac.id/wp-
content/uploads/2014/08/Safe-Motherhood.pptm diakses kamis, 9
november 2017
Kementrian Kesehatan RI. 2015. Buku Pedoman Paket Pelayanan Awal Minimum
(PPAM) Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan.
http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/PEDOMAN%20KESPRO%20P
PAM.pdf. Diunduh pada 8 November 2017.
Naga, Mayang Anggraini. 2009. Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta. Diakses dari
laman : http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-paper-6688-KIA-1-
1.pdf
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
Prayogo, Kosmos. 2008. Pengaruh Manajemen Bencana .... Program Pascasarjana
Universitas Indonesia. Diunduh dari lib.ui.ac.id /files pada tanggal 07
November 2017
TUGAS PAK WINDHU
Situasi
20.000 orang mengungsi karena gempa bumi dan banjir ke daerah pegunungan.
Mereka tinggal di tenda-tenda yang dibuat secara darurat. Sekitar 1000 pengungsi
lagi diperkirakan akan datang.
a. jumlah pusat pelayanan kesehatan yang ada di daerah tersebut sedikit sekali
b. ada Rumah Sakit di kota terdekat dengan jarak 20 km
c. perempuan mengambil air dari sungai dekat tenda darurat
d. memsak menggunkan kayu bakar yang diambil dengfan jarak i km
e. ada laporan terjadi kekerasan dan ancaman
Respon
1. Kebutuhan apa yang segera diperlukan oleh pengungsi?
2. Intervensi ‘RH’ apa yang harus diimplemntasikan menurut anda
berdasarkan prioritas?
JAWAB
1. Kebutuhan apa yang segera diperlukan oleh pengungsi?
a. Air bersih
b. Fasiltas pelayanan kesehatan
c. Dapur umum
d. Perlindungan dari ancaman kekerasan dan acaman
e. Sarana transportasi ke rumah sakit
f. Tenda asmara
2. Intervensi RH apa yang harus diimplementasikan menurut anda berdasarkan
prioritas?
a. Penyediaan air bersih yang cukup di tempat pengungsian.
b. Penambahan fasilitas pelayanan kesehtana untuk mengantisipasi jumlah
pengungsi yang terus bertambah.
c. Pengadaan dapur umum yang memnuhi syarat kesehatan.
d. Perlindungan dari kekerasan dan ancaman selama dan setelah tahap
darurat dari aparat penegak hukum dan pejabat lokal yang harus
didorong untuk mengambil langkah-langkah efektif yang menjamin
keamanan pengungsi yang terkena dampak bencana alam.
e. Penyediaan sarana transportasi yang sesuai dengan medan pada wilayah
terdampak ke rumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai