Anda di halaman 1dari 59

TUGAS MATA KULIAH MANAJEMEN KEJADIAN LUAR BIASA

DAN BENCANA

UPAYA KESEHATAN REPRODUKSI

Disusun oleh:

Kelompok 6 IKM-C 2015

1. Ariska Midya Fahmati 101511133006


2. Nur Eka Vutrianingsih 101511133024
3. Danang Setia Budi 101511133039
4. Tya Nisvi Rahmadhani 101511133048
5. Saarah Puspita Dewi 101511133051
6. Ursula Yesi Gusti Ayu Putri 101511133084
7. Farida Syamsi 101511133142
8. Aqmarina Adzkia Rahmani 101511133157
9. Surya Doni 101511133229

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2017
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puji syukur kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Tugas Mata Kuliah
Manajemen Kejadian Luar Biasa dan Bencana Upaya Kesehatan Reproduksi.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain
itu juga kepada orang tua dan pihak-pihak yang telah membantu penulisan
laporan. Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen
Kejadian Luar Biasa dan Bencana.
Kami menyadari bahwa tugas makalah ini belum sempurna, untuk itu
diharapkan pembaca memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
menyempurnakan laporan ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi penulis
dan pembaca.

Surabaya, 03 November 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................1

DAFTAR ISI ..............................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................4

1.1 Latar Belakang ..................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................5

1.3 Tujuan ...............................................................................................................5

1.4 Manfaat .............................................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................6

2.1 Pengertian Bencana ...........................................................................................6

2.2 Jenis-Jenis Bencana ...........................................................................................9

2.3 Siklus Penanggulangan Bencana ......................................................................11

2.4 Pengertian Kesehatan Reproduksi ....................................................................12

2.5 Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Darurat Bencana ....................................13

2.6 Kebijakan Pelayanan Kesehatan Reproduksi dalam Bencana ..........................16

BAB III PEMBAHASAN ..........................................................................................20

3.1 Studi Kasus Bencana Gunung Sinabung ...........................................................20

3.2 Analisis Data Bencana Letusan Gunung Sinabung ........................................... 22

3.3 Langkah-Langkah Manajemen Kesehatan Reproduksi dalam Situasi


Bencana ......................................................................................................................23

3.3.1 Identifikasi Koordinator Penanggulangan Bencana dalam Bidang


Kesehatan Reproduksi ................................................................................................23

3.3.2 Pencegahan dan Pengatasan Masalah Akibat Kekerasan Seksual ..............28

3.3.3 Pencegahan Penularan HIV/IMS ................................................................34

3.3.4 Pencegahan Peningkatan Kesakitan dan Kematian Maternal dan


Neonatal .....................................................................................................................40

3
3.3.5 Perencanaan Pelayanan Kesehatan Reproduksi yang Komprehensif dan
Terintegrasi ................................................................................................................47

3.3.6 Pengadaan Sarana Bilik Asmara .................................................................56

BAB IV PENUTUP ...................................................................................................58

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana adalah suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
disebabkan oleh alam maupun oleh manusia sendiri, sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
kerusakan sarana umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata
kehidupan, penghidupan manusia, dan dampak psikologis. Sementara
manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut, dan terpadu
untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan
observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan,
peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi bencana.
Sumber daya alam jika dimanfaatkan dengan cara mengikuti kebutuhan
masing-masing individu, ia akan memiliki kemampuan meregenerasi.
Penggunaan sumber daya alam yang tidak memperhatikan daya dukung
lingkungan akan mengakibatkan lingkungan rusak dimana-mana dan bahkan
tidak terselamatkan. Hal ini logis terjadi karena jumlah populasi manusia
yang meningkat, sehingga diikuti dengan peningkatkan konsumsi atas sumber
daya alam.
Dalam suatu kejadian luar biasa atau bencana, banyak terjadi masalah
kesehatan yang muncul, salah satunya adalah masalah kesehatan reproduksi.
Kesehatan reproduksi juga harus diperhatikan karena kesehatan reproduksi
merupakan suatu hak manusia (a human right) serta sebuah kebutuhan
kesehatan psikologi (a psychological health needs). Kegiatan
penanggulangan kesehatan reproduksi pasca bencana difokuskan pada upaya
pemulihan kondisi kesehatan reproduksi. Secara definisi, pemulihan adalah
serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan
lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali
kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi dan
rekonstruksi dan difokuskan pada perencanaan pelaksanaan kesehatan
reproduksi komprehensif.

5
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana program kesehatan reproduksi yang tepat terkait masalah
kesehatan reproduksi yang muncul pasca bencana?
2. Bagaimana penanggulangan dalam mengatasi permasalahan kesehatan
reproduksi yang muncul pasca bencana?
3. Apa yang dapat dilakukan dalam menangani masalah kesehatan reproduksi
pasca bencana?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui program kesehatan reproduksi yang tepat terkait masalah
kesehatan reproduksi yang muncul pasca bencana
2. Mengetahui penanggulangan dalam mengatasi permasalahan kesehatan
reproduksi yang muncul pasca bencana

1.4 Manfaat Penulisan

1. Manfaat bagi Penulis


Penulis dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam
manajemen kesehatan reproduksi pasca bencana. Serta dapat
menerapkannya dalam praktik ketika dibutuhkan.
2. Manfaat bagi Pembaca
Pembaca dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan dapat
mempersiapkan diri dalam menghadapi permasalahan yang berkaitan
dengan manajemen kesehatan reproduksi pasca bencana.
3. Manfaat bagi Pemerintah
Pemerintah dapat menjadikan makalah ini sebagai dasar awal dalam
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan manajemen bencana.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Pengertian Bencana

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang


Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa
yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Menurut Asian Disaster Reduction Center (2003), bencana adalah suatu


gangguan serius terhadap masyarakat yang menimbulkan kerugian secara
meluas dan dirasakan baik oleh masyarakat, berbagai material, dan
lingkungan (alam) dimana dampak yang ditimbulkan melebihi kemampuan
manusia guna mengatasinya dengan sumber daya yang ada.

Definisi lain menurut International Strategy for Disaster Reduction


(2000), bencana adalah suatu kejadian yang disebabkan oleh alam atau karena
ulah manusia, terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, sehingga
menyebabkan hilangnya jiwa manusia, harta benda, dan kerusakan
lingkungan, kejadian ini terjadi diluar kemampuan masyarakat dengan segala
sumber dayanya.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bencana adalah


suatu kejadian yang disebabkan karena kondisi alam yang tidak seimbang
sehingga menyebabkan kerusakan, gangguan ekonomi, penurunan kesehatan,
penderitaan bahkan sampai dengan kematian, bencana tersebut sifatnya
mendadak, sangat cepat, dan menimbulkan kepanikan masyarakat.

II.2 Jenis-Jenis Bencana


A. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain

7
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
angin topan, dan tanah longsor.
2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemic, dan wabah penyakit.
3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang
meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas
masyarakat, dan teror. (UU RI, 2007)
B. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana Tahun 2010
1. Gempa bumi merupakan peristiwa pelepasan energi yang
menyebabkan dislokasi (pergeseran) pada bagian dalam bumi
secara tiba-tiba. Mekanisme perusakan terjadi karena energi
getaran gempa dirambatkan ke seluruh bagian bumi. Di permukaan
bumi, getaran tersebut dapat menyebabkan kerusakan dan
runtuhnya bangunan sehingga dapat menimbulkan korban jiwa.
2. Tsunami diartikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang
yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif dari dasar laut.
Gangguan impulsif tersebut bisa berupa gempa bumi tektonik,
erupsi vulkanik atau longsoran. Kecepatan tsunami yang naik ke
daratan (run-up) berkurang menjadi sekitar 25-100 km/jam dan
ketinggian air.
3. Letusan gunung berapi adalah merupakan bagian dari aktivitas
vulkanik yang dikenal dengan istilah erupsi. Hampir semua
kegiatan gunung api berkaitan dengan zona kegempaan aktif sebab
berhubungan dengan batas lempeng. Pada batas lempeng inilah
terjadi perubahan tekanan dan suhu yang sangat tinggi sehingga
mampu melelehkan material sekitarnya yang merupakan cairan
pijar (magma). Magma akan mengintrusi batuan atau tanah di
sekitarnya melalui rekahan-rekahan mendekati permukaan bumi.
4. Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah
atau batuan, ataupun percampuran keduanya, menuruni, atau keluar

8
lereng akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan
penyusun lereng tersebut. Tanah longsor terjadi karena adanya
gangguan kestabilan pada tanah/batuan penyusun lereng.
5. Banjir dimana suatu daerah dalam keadaan tergenang oleh air
dalam jumlah yang begitu besar. Sedangkan banjir bandang adalah
banjir yang datang secara tiba-tiba yang disebabkan oleh karena
tersumbatnya sungai maupun karena pengundulan hutan di
sepanjang sungai sehingga merusak rumah-rumah penduduk
maupun menimbulkan korban jiwa.
6. Kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh
dibawah kebutuhan air baik untuk kebutuhan hidup, pertanian,
kegiatan ekonomi, dan lingkungan.
7. Angin topan adalah pusaran angin kencang dengan kecepatan angin
120 km/jam atau lebih yang sering terjadi di wilayah tropis di
antara garis balik utara dan selatan, kecuali di daerah-daerah yang
sangat berdekatan dengan khatulistiwa. Angin topan disebabkan
oleh perbedaan tekanan dalam suatu sistem cuaca.
8. Gelombang pasang adalah gelombang air laut yang melebihi batas
normal dan dapat menimbulkan bahaya baik di lautan, maupun di
darat, terutama daerah pinggir pantai. Umumnya gelombang
pasang terjadi karena adanya angin kencang atau topan, perubahan
cuaca yang sangat cepat, dan karena ada pengaruh dari gravitasi
bulan maupun matahari. Kecepatan gelombang pasang sekitar 10-
100 km/jam.
9. Kegagalan teknologi adalah semua kejadian bencana yang
diakibatkan oleh kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian, dan
kesengajaan manusia dalam penggunaan teknologi atau industri.
10. Kebakaran adalah situasi dimana suatu tempat atau lahan atau
bangunan dilanda api serta hasilnya menimbulkan kerugian.
Sedangkan lahan dan hutan adalah keadaan dimana lahan dan
hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan lahan dan
hutan serta hasil-hasilnya dan menimbulkan kerugian.

9
11. Aksi teror atau sabotase adalah semua tindakan yang menyebabkan
keresahan masyarakat, kerusakan bangunan, dan mengancam atau
membahayakan jiwa seseorang atau banyak orang oleh seseorang
atau golongan tertentu yang tidak bertanggung jawab. Aksi teror
atau sabotase biasanya dilakukan dengan berbagai alasan dan
berbagai jenis tindakan seperti pemboman suatu bangunan/tempat
tertentu, penyerbuan tiba-tiba suatu wilayah, tempat, dan
sebagainya.
12. Kerusuhan atau konflik sosial adalah suatu kondisi dimana terjadi
huru-hara atau kerusuhan, atau perang, ataupun juga keadaan yang
tidak aman di suatu daerah tertentu yang melibatkan lapisan
masyarakat, golongan, suku, ataupun organisasi tertentu.
13. Epidemi, wabah dan Kejadian Luar Biasa (KLB) merupakan
ancaman yang diakibatkan oleh menyebarnya penyakit menular
yang berjangkit di suatu daerah tertentu. Pada skala besar, epidemi,
wabah, atatu KLB dapat mengakibatkan meningkatnya jumlah
penderita penyakit dan korban jiwa. Beberapa wabah penyakit
yang pernah terjadi di Indonesia dan sampai sekarang masih harus
terus diwaspadai antara lain: demam berdarah, malaria, flu burung,
anthraks, busung lapar, dan HIV/AIDS.

II.3 Siklus Penanggulangan Bencana

Menurut Nurjanah (2012), secara umum kegiatan manajemen bencana


dapat dibagi dalam tiga kegiatan utama, yaitu:
A. Kegiatan Pra Bencana
Kegiatan pra bencana mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, serta peringatan dini. Kegiatan pada tahap pra bencana
ini sangat penting karena hal-hal yang sudah dipersiapkan pada tahap
ini merupakan modal dalam menghadapi bencana dan pasca bencana.
Pemerintah bersama masyarakat maupun swasta sangat sedikit
memikirkan tentang langkah-langkah atau kegiatan-kegiatan apa yang

10
perlu dilakukan di dalam menghadapi bencana atau bagaimana
memperkecil dampak bencana.
B. Kegiatan Saat Bencana
Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap
darurat umtuk meringankan penderitaan sementara, seperti search and
rescue (SAR), bantuan darurat, dan pengungsian. Kegiatan saat terjadi
bencana ini dilakukan pada saat kejadian bencana. Untuk
menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa
penyelamatan korban, evakuasi, dan pengungsian.
Pada saat terjadinya bencana, biasanya banyak pihak yang
menaruh perhatian dan mengulurkan tangan memberikan bantuan
tenaga, morit, maupun material. Banyaknya bantuan yang datang
sebenanya merupakan sebuah keuntungan yang harus dikelola dengan
baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat sasaran,
tepat manfaat, dan efisien.
C. Kegiatan Pasca Bencana
Kegiatan pasca bencana mencakup kegiatan pemulihan,
rehabilitasi, dan rekonstruksi. Kegiatan pada tahap pasca bencana ini
terjadi proses perbaikan kondisi masyarakat yang terkena bencana,
dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan
semula.
Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa rehabilitasi
dan rekonstruksi yang akan dilaksanakan harus memenuhi kaidah-
kaidah kebencanaan serta tidak hanya melakukan rehabilitasi fisik
saja, tetapi perlu juga diperhatikan rehabilitasi psikis yang terjadi
seperti ketakutan, trauma, atau depresi.

11
Gambar 2.1 Siklus Manajemen Bencana

Kegiatan manajemen bencana merupakan kegiatan yang tidak berdiri


sendiri, akan tetapi terkait dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat dan
memerlukan pendekatan yang bersifat multi-disiplin. Peraturan perundang-
undangan yang dijadikan acuan pun melingkup peraturan perundang-
undangan lintas sektor.

II.4 Pengertian Kesehatan Reproduksi

Kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial


yang menyeluruh dan tidak semata-mata terbebas dari penyakit atau
kecacatan dalam semua hal berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi
serta prosesnya. Kesehatan reproduksi, oleh karena itu, menyatakan bahwa
seseorang akan mampu memiliki kehidupan seks yang memuaskan, aman,
dan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan bebas untuk
memutuskan, kapan, dan seberapa sering melakukannya.
Hal yang tersirat dalam persyaratan terakhir adalah hak laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh informasi dan memiliki akses ke metode-
metode keluarga berencana yang aman, efektif, terjangkau, dan dapat
diterima, yang mereka pilih sendiri, dan juga metode lainnya sesuai pilihan
mereka sendiri untuk pengaturan kesuburan yang tidak bertentangan dengan
hukum.

12
Mereka juga harus memiliki hak untuk mengakses layanan kesehatan
yang tepat yang memungkinkan perempuan untuk menjalani kehamilan dan
persalinan dengan aman, sehingga memberikan para pasangan peluang yang
terbaik untuk mendapatkan seorang bayi yang sehat.

II.5 Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Darurat Bencana


Layanan kesehatan reproduksi yang berkualitas harus berdasarkan pada
kebutuhan penduduk yang terkena dampak, khususnya kebutuhan perempuan
dan anak perempuan. Dalam menyediakan layanan kesehatan reproduksi yang
komprehensif dan berkualitas tinggi, membutuhkan pendekatan multisektoral
yang terpadu.
Cara terbaik untuk menjamin bahwa layanan kesehatan reproduksi
memenuhi kebutuhan penduduk yang terkena dampak adalah dengan
melibatkan masyarakat dalam tiap-tiap fase pengembangan layanan tersebut.
Dalam situasi darurat bencana, penting untuk menyediakan pelayanan
kesehatan reproduksi, sebab:
1. Akses ke pelayanan kesehatan reproduksi merupakan suatu hak
2. Kesakitan dan kematian yang terkait dengan sistem reproduksi
merupakan persoalan kesehatan masyarakat yang signifikan
3. Orang-orang yang terdampak oleh konflik atau bencana berhak atas
perlindungan dan bantuan. Pemberian layanan kesehatan reproduksi
secara tepat waktu dapat mencegah kematian, penyakit, dan kecacatan
terkait dengan kehamilan yang tidak diinginkan, komplikasi
kebidanan, kekerasan seksual, dan bentuk kekerasan berbasis gender
lainnya, infeksi HIV, dan serangkaian gangguan reproduksi

Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam penyusunan


program kesehatan reproduksi dalam situasi darurat bencana, yaitu:
1. Koordinasi
Agar layanan kesehatan reproduksi dalam suatu situasi darurat
bencana menjadi adil, efektif, dan efisien, maka koordinasi harus
diselenggarakan secara lintas sektor.

13
2. Kualitas pelayanan
Pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas baik adalah
yang bersifat komprehensif, terjangkau, dan inklusif, dan yang
menjawab kebutuhan kesehatan reproduksi semua orang tanpa
diskriminasi. Hal ini berarti bahwa perempuan, laki-laki, remaja,
manula, dan penyandang cacat, dari semua etnis, agama, dan orientasi
seksual, memiliki akses ke layanan-layanan yang memenuhi standar
yang diakui.
3. Komunikasi
Komunikasi melibatkan perantara media yang menyebarkan
informasi melalui saluran-saluran yang tepat (misalnya poster, radio,
orang ke orang, dsb) agar masyarakat mendapatkan informasi yang
mereka butuhkan dengan cara yang mudah dan masuk akal sehingga
masyarakat dapat mengambil keputusan-keputusan yang praktis.
4. Partisipasi masyarakat
Yang dimaksud dengan partisipasi adalah keterlibatan dari
stakeholder yang berperan kunci dalam semua aspek dari siklus
program. Peluang untuk keterlibatan harus transparan, bebas dari
pemaksaan, dan terbuka bagi semua. yang penting adalah untuk
memastikan partisipasi semua kelompok, termasuk perempuan, laki-
laki, dan remaja (laki-laki maupun perempuan).
5. Pengembangan kapasitas teknis dan manajemen
Pengembangan kapasitas mencakup peningkatan-peningkatan
yang dibutuhkan di dalam suatu organisasi guna memastikan
tersedianya kompetensi teknis maupun manajemen yang memadai
untuk melayani klien dan untuk memperluas program-program.
6. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah proses pertanggungjawaban oleh orang-
perseorangan dan organisasi atas capaian kerja menurut standar-
standar dan prinsip-prinsip tertentu. Standar-standar dan prinsip-
prinsip yang relevan dalam hal ini mencakup tanggung jawab fiskal,

14
prinsip-prinsip kemanusiaan, standar profesi, hukum lokal dan
internasional, serta prinsip-prinsip yang telah diuraikan.
Akuntabilitas dapat berupa pengenaan sanksi atas pelanggaran
standar-standar tersebut, misalnya, pemecatan karena eksploitasi
seksual, atau pidana penjara.
7. Hak asasi manusia
Hak reproduksi adalah bagian dari hak asasi manusia yang diakui.
Konferensi Internasional mengenai Kependudukan dan Pembangunan
(International Conference on Population and Development/ICPD)
tahun 1994, yang dimana menetapkan kerangka untuk merealisasikan
hak-hak reproduksi yang berbunyi “Hak ini bersandar pada pengakuan
hak dasar semua pasangan dan orang-perorangan untuk memutuskan
secara bebas dan bertanggung jawab jumlah, jarak dan waktu
mempunyai anak dan untuk memiliki informasi dan sarana untuk
mendapatkan informasi, serta hak untuk mencapai standar tertinggi
kesehatan seksual dan reproduksi. Hak tersebut juga termasuk hak
mereka untuk membuat keputusan mengenai reproduksi yang bebas
dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan”.
8. Advokasi
Advokasi adalah tindakan strategis untuk memastikan bahwa
undang-undang, kebijakan, praktik, dan norma-norma sosial
memungkinkan orang untuk menikmati hak untuk kesehatan
reproduksi mereka.
Advokasi sangat diperlukan dalam situasi darurat bencana untuk
memastikan kebijakan yang mendukung dan dana yang memadai
untuk pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif.
Penyusunan program kesehatan reproduksi membutuhkan advokasi
karena sering disalahpahami, menentang beberapa sikap politik dan
budaya, dan seringkali tidak dianggap sebagai standar atau kegiatan
bantuan prioritas.

15
II.6 Kebijakan Pelayanan Kesehatan Reproduksi dalam Bencana

Dalam penetapan sebuah kebijakan manajemen bencana, proses yang


pada umumnya terjadi terdiri dari beberapa tahap, yaitu penetapan agenda,
pengambilan keputusan, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan
evaluasi kebijakan. Dalam kasus di Indonesia, pemerintah pusat saat ini
berada pada tahap formulasi kebijakan (proses penyusunan beberapa
Peraturan Pemerintah, atau yang biasa disingkat sebagai PP, sedang
berlangsung) dan implementasi kebijakan (BNPB telah dibentuk dan sedang
mendorong proses pembentukan BPBD di daerah).

Sementara pemerintah daerah sedang berada pada tahap penetapan


agenda dan pengambilan keputusan. Beberapa daerah yang mengalami
bencana besar sudah melangkah lebih jauh pada tahap formulasi kebijakan
dan implementasi kebijakan. Kebijakan manajemen bencana yang ideal selain
harus dikembangkan melalui proses yang benar, juga perlu secara jelas
menetapkan hal-hal sebagai berikut:

1. Pembagian tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah


2. Alokasi sumber daya yang tepat antara pemerintah pusat dan daerah,
serta antara berbagai fungsi yang terkait
3. Perubahan peraturan dan kelembagaan yang jelas dan tegas
4. Mekanisme kerja dan pengaturan antara berbagai portofolio lembaga
yang terkait dengan bencana

Sistem kelembagaan penanggulangan bencana yang dikembangkan di


Indonesia dan menjadi salah satu fokus studi bersifat kontekstual. Di daerah,
terdapat beberapa lembaga dan mekanisme yang sebelumnya sudah ada dan
berjalan. Kebijakan kelembagaan yang didesain dari pemerintah pusat akan
berinteraksi dengan lembaga dan mekanisme yang ada, serta secara khusus
dengan orang-orang yang selama ini terlibat di dalam kegiatan
penanggulangan bencana.
Melalui UU Nomor 24 Tahun 2007, pemerintah Indonesia telah memulai
proses penyusunan kebijakan menajemen bencana. Beberapa PP yang terkait

16
telah dikeluarkan (PP Nomor 21, 22, dan 23 Tahun 2008), sementara
beberapa PP lain sedang dipersiapkan.
Pengorganisasian Tim Siaga Kesehatan Reproduksi dalam
Penanggulangan Bencana:
1. Pengorganisasian badan penanggulangan bencana di Indonesia
Pembentukan struktur organisasi Badan Penanggulangan Bencana
menurut UU Nomor 24 Tahun 2007 dibagi dalam tiga tingkatan
kewenangan sesuai dengan susunan kepemerintahan, yaitu:
a. Pada tingkat nasional dibentuk Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB)
b. Pada tingkat provinsi dibentuk Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) tingkat provinsi
c. Pada tingkat kabupaten/kota dibentuk Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) tingkat kabupaten/kota

Penanggulangan bencana di bidang kesehatan adalah menjadi


tanggung jawab dari Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Departemen
Kesehatan dibawah koordinasi Badan Nasional Penanggulangan
Bencana di tingkat pusat.

2. Pengorganisasian tim siaga ksehatan reproduksi di bawah koordinasi


pusat penanggulangan krisis Depkes pada Badan Penanggulangan
Bencana
Berikut ini adalah struktur organisasi penanggulangan bencana
berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2007, keberadaan tim siaga
kesehatan reproduksi di tingkat pusat direkomendasikan berada
dibawah struktur dan koordinasi Pusat Penanggulangan Krisis Depkes
di bawah struktur dari Badan Pelaksana Penanggulangan Bencana.
Kebijakan dan penanganan krisis pada kondisi Gawat Darurat dan
Bencana, meliputi:
a. Reevaluasi dalam standarisasi model dan prosedur pelayanan
gawat darurat dan bencana di berbagai strata fasilitas kesehatan
secara berjenjang, serta reaktivasi jejaring antar fasilitas
kesehatan satu dengan yang lain

17
b. Perkuat kemampuan dan aksesibilitas pelayanan gawat darurat
diseluruh fasilitas kesehatan dengan prioritas awal di daerah
rawan bencana dan daerah penyangganya
c. Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan SDM di bidang
gawat darurat dan manajemen bencana secara berjenjang
d. Penanganan krisis menitikberatkan pada upaya sebelum
terjadinya bencana
e. Optimalisasi pengorganisasian penanganan krisis (gawat
darurat dan bencana) baik di tingkat pusat, propinsi, maupun
kabupaten/kota dengan semangat desentralisasi/otonomi
daerah serta memperkuat koordinasi dan kemitraan
f. Pemantapan jaringan lintas program dan lintas sektoral dalam
penanganan krisis
g. Membangun jejaring sistem informasi yang terintegrasi dan
online agar diperoleh data yang valid dan real time, serta
mampu memberikan berbagai informasi tentang situasi terkini
pada saat terjadi bencana
h. Setiap korban akibat krisis diupayakan semaksimal mungkin
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan cepat, tepat, dan
ditangani secara profesional
i. Memberdayakan kemampuan masyarakat (community
empowerement) khususnya para stakeholder yang peduli
dengan masalah krisis di bidang kesehatan dengan melakukan
sosialisasi terhadap pengorganisasian, prosedur, sistem
pelaporan, serta dilibatkan secara aktif dalam proses
perencanaan, monitoring dan evaluasi
j. Pemantapan regionalisasi penanganan krisis untuk
mempercepat reaksi tanggap darurat
Adapun manajer program dan penyedia layanan kesehatan
reproduksi juga harus mengenal peraturan perundang-
undangan nasional serta kebijakan-kebijakan di negara tempat

18
mereka bekerja terkait dengan isu-isu keluarga berencana di
bawah ini:
1) Undang-undang dan kebijakan mengenai akses ke
informasi keluarga berencana dan layanan keluarga
berencana
2) Undang-undang atau kebijakan terkait akses universal
ke informasi dan layanan KB
3) Undang-undang atau-kebijakan yang membatasi akses
untuk orang-orang tertentu (remaja, perempuan yang
belum menikah, dll) terhadap informasi atau layanan
KB
4) Undang-undang atau kebijakan terkait penyediaan pil
kontrasepsi darurat
5) Kontrasepsi darurat disediakan bagi perempuan
6) Persyaratan terkait pernikahan, persetujuan orang tua,
atau wali untuk pemberian informasi dan layanan KB
untuk remaja
7) Kapasitas dan kepentingan terbaik para remaja

19
BAB III
PEMBAHASAN

III.1 Studi Kasus Bencana Gunung Sinabung


Bencana gunung Sinabung di Kabupaten Karo Sumatera Utara terjadi di
empat kecamatan, yaitu Kecamatan Tiga Nderket, Kecamatan Brastagi,
Kecamatan Payung, dan Kecamatan Simpang Empat. Berikut data korban
bencana meletusnya gunung Sinabung adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 Korban dari Letusan Gunung Sinabung Tahun 2015
Kecamatan Desa KK Jiwa Lk Pr Lansia Bumil Balita Bayi
Tiga
Mardinding 262 950 492 458 97 3 16 30
Nderket
Kuta
255 1041 518 523 19 7 119 19
Gugung
Brastagi
Si Garang
422 1527 738 789 98 12 136 0
Garang
Guru
Payung 404 1227 606 621 136 7 0 51
Kinayan
Kuta
158 529 238 291 50 1 54 9
Tengah
Simpang
Tiga
Empat 303 991 499 492 97 10 79 12
Pancur
Pintu Besi 76 275 148 127 38 4 28 7
Total 1880 6540 3239 3301 535 44 432 128

Tabel 3.2 Data Penduduk Kabupaten Karo berdasarkan Klasifikasi


Umur
Kelompok Umur/ Perempuan /
Laki-laki / Male Jumlah/ Total
Age Group Female
0-4 20747 19926 40673
5-9 19327 18531 37858
10-14 18609 17455 36064
15-19 15007 13950 28957

20
Kelompok Umur/ Perempuan /
Laki-laki / Male Jumlah/ Total
Age Group Female
20-24 12292 11832 24124
25-29 13791 14018 27809
30-34 14939 14692 29631
35-39 14031 13926 27957
40-44 12404 12511 24915
45-49 9990 10875 20865
50-54 8293 9059 17352
55-59 6865 7689 14554
60-64 4816 5319 10135
65-69 3080 4257 7337
70-74 2076 2779 4855
75 + 1806 3931 5737
Jumlah 2012 178073 180750 358823
Jumlah 2010 174418 176542 3500

Tabel 3.3 Data Fasilitas Kesehatan Kabupaten Karo Sumatera Utara


Puskesmas
PKM
No Kecamatan RSU Rawat Rawat RSB BPU PKM Jml
Pembantu
Inap Jalan
1. Mardingding - - 1 8 - 5 1 15
2. Laubaleng - - 1 15 - 8 - 24
3. Tigabunanga - - 1 25 - 6 1 33
4. Juhar - - 1 11 - 3 - 15
5 Munte - - 1 34 - 2 - 37
6 Kutabuluh - - 1 10 1 2 - 14
7 Payung - - 1 6 - - - 7
8 Tigaderket - - 1 11 - 1 - 13
9 Simpang Empat - - 1 11 - 1 2 15
10 Naman Teran - - 1 14 - 2 5 22
11 Merdeka - - 1 4 - 1 3 9

21
Puskesmas
PKM
No Kecamatan RSU Rawat Rawat RSB BPU PKM Jml
Pembantu
Inap Jalan
12 Kabanjahe 4 - 2 25 8 17 - 55
13 Berastangi 2 - 2 21 9 23 3 60
14 Berastagi - - 1 19 2 8 6 37
15 Doolat Rakyat - - 1 3 1 1 - 6
16 Merek - - 1 11 2 5 - 19
17 Barusjahe - - 1 10 - 8 2 41
JUMLAH 6 - 19 258 23 93 23 422

III.2 Analisis Data Bencana Letusan Gunung Sinabung


Berdasarkan data korban letusan gunung Sinabung tahun 2015, diketahui
bahwa:
A. Jumlah Korban
1. Jumlah korban sebanyak 6540 jiwa dari total penduduk 358823
jiwa
2. Jumlah korban laki - laki: 3239 jiwa
3. Jumlah korban perempuan: 3301 jiwa
4. Jumlah korban lansia: 535 jiwa
5. Jumlah korban ibu hamil: 44 jiwa
6. Jumlah korban balita: 432 jiwa
7. Jumlah korban bayi: 128 jiwa
B. Jumlah Sarana dan Prasarana Pelayanan Kesehatan
Berdasarkan hasil Rapid Health Assessment:
1. Dari 17 Kecamatan di Kabupaten Karo, hanya terdapat 6 Rumah
Sakit Umum, yaitu 4 rumah sakit di Kecamatan Kabanjahe dan 2
rumah sakit di Kecamatan Berastangi
2. Kabupaten Karo tidak memiliki Puskesmas rawat inap tetapi
mempunyai rawat jalan
3. Puskesmas rawat jalan sebanyak 1 Puskesmas di setiap kecamatan
kecuali 2 kecamatan yaitu Kabanjahe dan Berastangi yang
memiliki 2 Puskesmas rawat jalan

22
4. Kabupaten Karo memiliki puskesmas pembantu sebanyak 258 yang
tersebar di seluruh Kecamatan dengan Pustu terbanyak adalah
Kecamatan Munte sebanyak 34 dan tersedikit di Kecamatan Doola
Rakyat sebanyak 3
5. Kecamatan yang memiliki Rumah Bersalin hanya kecamatan
Kutabuluh, Kabanjahe, Berastangi, Berastagi, Doolat Rakyat, dan
Merek dengan total 23 Rumah Bersalin
6. Balai Pengobatan Umum (BPU) yang terdapat di Kabupaten Karo
sebanyak 93 balai dan hanya 1 kecamatan yang tidak memiliki
BPU yaitu Kecamatan Payung
7. Puskesmas di Kabupaten Karo sebanyak 23 dengan 9 Kecamatan
yang tidak memiliki Puskesmas yaitu Kecamatan Laubaleng, Juhar,
Munte, Kutabuluh, Payung, Tigaderket, Kabanjahe, Doolat Rakyat
dan Merek
8. Bila dijumlah semua pelayanan kesehatan yang ada di setiap
kecamatan, maka kecamatan yang paling sedikit pelayanan
kesehatannya adalah Kecamatan Doolat Rakyat sebanyak 6
pelayanan kesehatan
9. Kecamatan yang paling banyak memiliki tempat pelayanan
kesehatan dari jumlah total adalah Kecamatan Berastangi sebanyak
60 pelayanan kesehatan

III.3 Langkah-Langkah Manajemen Kesehatan Reproduksi dalam Situasi


Bencana
Manajeman kesehatan reprodusi dalam situasi darurat bencana dapat
dilakukan dengan penerapan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM)
Kesehatan Resproduksi sebagai berikut:
III.3.1 Identifikasi Koordinator Penanggulangan Bencana dalam
Bidang Kesehatan Reproduksi
Sejak awal respon di setiap situasi bencana, sektor kesehatan atau
cluster kesehatan harus menetapkan satu organisasi sebagai coordinator

23
kesehatan reproduksi. Bisa berupa sebuah LSM internasional,
Kementerian Kesehatan (Kemenkes), atau lembaga PBB.
Organisasi yang dicalonkan, yaitu yang diidentifikasi memiliki
kapasitas terbaik untuk memenuhi peran ini, harus segera menugaskan
seorang petugas kesehatan reproduksi tetap untuk jangka waktu
minimal tiga bulan guna memberi dukungan teknis dan operasional
kepada mitra kesehatan dan untuk memastikan bahwa kesehatan
reproduksi adalah prioritas serta mencapai cakupan yang baik untuk
layanan PPAM.
Kerangka acuan petugas kesehatan reproduksi adalah sebagai
berikut, petugas kesehatan reproduksi bertanggung jawab untuk
mendukung mitra sektor/cluster kesehatan untuk melaksanakan PPAM
dan merencanakan penyediaan layanan kesehatan reproduksi
komprehensif. Peran petugas kesehatan reproduksi adalah untuk:
1. Mengkoordinasikan, mengkomunikasikan, dan berkolaborasi
dengan koordinator sektor kesehatan atau koordinator cluster
kesehatan dan secara aktif berpartisipasi dalam rapat koordinasi
kesehatan, menyediakan informasi, dan mengangkat masalah-
masalah teknis dan strategis serta keprihatinan-keprihatinan
2. Mendukung pengadaan dari bahan-bahan acuan dan supply
secara terkoordinasi, menjadi tuan rumah pertemuan reguler
para stakeholders kesehatan reproduksi padatingkat yang
relevan (nasional, sub-nasional/regional, ataupun lokal) untuk
memecahkan masalah, membuat strategi pelaksanaan PPAM,
dan menyediakan bahan-bahan PPAM
3. Memastikan komunikasi teratur antara semua tingkat dan
melaporkan kembali kesimpulan-kesimpulan penting, tantangan
yang memerlukan resolusi (misalnya kebijakan atau hambatan
lain yang membatasi akses penduduk ke layanan kesehatan
reproduksi) kepada mekanisme koordinasi kesehatan secara
keseluruhan, mengidentifikasi sinergi, serta kesenjangan serta
menghindari duplikasi kegiatan dan struktur paralel

24
4. Menyediakan petunjuk teknis dan operasional mengenai
pelaksanaan PPAM dan sesi orientasi untuk audiens spesifik,
kapan dan dimana memungkinkan (misalnya untuk penyedia
layanan, pekerja kesehatan masyarakat, staf program dan
penduduk yang terdampak, termasuk kaum remaja)
5. Bekerja sama dengan sektor lain (perlindungan, air dan sanitasi,
pelayanan masyarakat, koordinasi kamp, dll) yang terkait
penanganan hal-hal terkait kesehatan reproduksi
6. Mendukung para mitra kesehatan untuk mencari pendanaan
kesehatan reproduksi melalui proses perencanaan humanitarian
dan proposal dengan berkoordinasi dengan sektor/cluster
kesehatan

Untuk mendukung pelaksanaan dan pencapaian tujuan PPAM pada


fase awal darurat bencana, dibutuhkan dukungan obat-obatan dan
peralatan berupa kit kesehatan reproduksi, yakni: seperangkat alat dan
obat yang telah dikemas secara khusus sesuai jenis tindakan yang
dilakukan.
Di samping kit kesehatan reproduksi, sebaiknya disediakan juga kit
higienis yang ditujukan bagi kelompok tertentu yang pada kondisi
darurat seringkali tidak terrsedia, seperti: kit untuk wanita usia subur
(15-49 tahun) yang antara lain berisi pembalut wanita, kit untuk ibu
hamil, kit untuk ibu melahirkan, dan kit untuk bayi baru lahir.
Dalam kondisi darurat, kit kesehatan reproduksi dipesan jika
bencana berskala besar, dimana alat dan bahan untuk penerapan PPAM
di daerah yang terkena bencana sudah tidak ada atau tidak dapat dipakai
lagi. Pendistribusian kit kesehatan reproduksi dilakukan dengan
berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat. Kit kesehatan
reproduksi disusun untuk dipakai oleh masyarakat dan fasilitas
kesehatan tertentu sesuai jenis tindakan yang dilakukan:

25
Blok 1
Enam kit untuk dipakai di tingkat masyarakat dan fasilitas
kesehatan dasar untuk melayani kebutuhan penduduk sejumlah
10.000 orang dalam jangka waktu tiga bulan.

Tabel 3.4 Kit Kesehatan Reproduksi Blok 1

No Kit Nama Kit


Kit 0 Kit administrasi
Kit 1 Kit kondom
Kit 2 Kit persalinan bersih
Kit 3 Kit pasca perkosaan
Kit 4 Kit kontrasepsi oral dan injeksi
Kit pengobatan IMS/Infeksi Menular
Kit 5
Seksual

Blok 2
Lima kit untuk dipakai di tingkat pelayanan kesehatan dasar
dan rumah sakit rujukan. Tiap kit dapat melayani kebutuhan
penduduk sejumlah 30.000 orang dalam jangka waktu tiga bulan.

Tabel 3.5 Kit Kesehatan Reproduksi Blok 2

No Kit Nama Kit


Kit 6 Kit persalinan di klinik
Kit 7 Kit IUD
Kit penanganan keguguran dan komplikasi
Kit 8
aborsi
Kit jahitan robekan serviks dan vagina dan kit
Kit 9
pemeriksaan vagina
Kit 10 Kit persalinan dengan ekstraksi vakum

26
Blok 3
Dua kit untuk dipergunakan di tingkat rujukan atau operasi
kebidanan. Kit ini dapat melayani kebutuhan penduduk sebanyak
150.000 orang selama tiga bulan.
Tabel 3.6 Kit Kesehatan Reproduksi Blok 3
No Kit Nama Kit
Kit tingkat rujukan Kesehatan Reproduksi
Kit 11
(bagian A dan B)
Kit 12 Kit transfusi darah

Untuk kit bayi, ibu bersalin, ibu hamil, dan higienis untuk
perempuan berisi sebagai berikut:
Kit bayi
1. Popok katun yang dipakai ulang 12 buah
2. Baju bayi katun 12 buah
3. Sarung tangan dan kaki 12 set
4. Selimut bayi 1 buah
5. Kain bedong/flanel halus 12 buah
6. Topi bayi (flannel) 1 buah
7. Kelambu bayi yang bisa dilipat 1 buah
8. Sabun bayi 1 buah (80gr)
9. Bedak bayi 1 buah (100gr)
10. Handuk bayi 1 buah (halus dan berukuran sedang)
11. Baby oil/ minyak telon 1 botol (50 ml)
12. Tas kanvas warna merah dengan tulisan Kit Bayi

Kit ibu bersalin


1. Bra ibu menyusui: 3 buah (ukuran besar)
2. Sarung/kain panjang 1 buah
3. Pembalut ibu melahirkan: 3 pak (@12 buah)
4. Baju menyusui 1 buah (ukuran besar dan terbuat dari
katun)

27
5. Baju dengan kancing bukaan depan untuk menyusui,
ukuran besar, serta terbuat dari katun
6. Celana dalam, 3 buah, ukuran besar\tas kanvas warna
hijau dengan tulisan Kit Ibu Bersalin

Kit ibu hamil


1. Bra ibu menyusui: 3 buah (ukuran besar)
2. Kain panjang 1 buah
3. Celana dalam ibu hamil (dengan ukuran yang bisa
disesuaikan sesuai besar kehamilan) 3 buah
4. Baju ibu hamil, katun, lengan panjang, dan berukuran
besar
5. Tas kanvas warna hijau dengan tulisan Kit Ibu Hamil

Kit higiene untuk perempuan


1. Sarung 1 buah
2. T-shirt 2 buah
3. Handuk 1 buah
4. Sabun mandi 80 gram
5. Pasta gigi
6. Sikat gigi
7. Shampoo
8. Sisir plastik
9. Pembalut 3 pak (isi 10-12)
10. Celana dalam dan bra all size, 3 buah
11. Sandal
12. Tas kanvas warna biru dengan tulisan Kit Higiene

III.3.2 Pencegahan dan Pengatasan Masalah Akibat Kekerasan


Seksual
Dalam upaya pencegahan dan mengatasi masalah akibat kekerasan
seksual pada kondisi darurat bencana, dapat dilakukan dengan beberapa
hal berikut ini:

28
A. Desain Tempat Penampungan
Pada situasi bencana, perlindungan terhadap korban bencana
pasti tidak maksimal. Hal ini menyebabkan timbulnya tindak
kejahatan yang tidak diinginkan. Salah satunya kekerasan
berbasis gender. Kekerasan gender merupakan persoalan khusus
dalam konteks keadaan darurat yang pelik dan bencana alam,
dimana perempuan dan anak-anak seringkali menjadi sasaran
kekerasan, dan sangat rentan terhadap eksploitasi, kekerasan,
serta kesewenang-wenangan karena jenis kelamin, usia, dan
status mereka dalam masyarakat.
Kekerasan gender adalah pelanggaran hak asasi manusia
universal yang dilindungi oleh konvensi hak asasi manusia
internasional, termasuk hak seseorang untuk merasa aman, hak
untuk mencapai tingkat tertinggi kesehatan fisik dan mental, hak
untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak
manusiawi atau melecehkan, dan hak untuk hidup.
Banyak bentuk kekerasan berbasis gender yang terjadi. Pada
tahap awal ketika kehidupan masyarakat terganggu dengan
terjadinya perpindahan penduduk dan sistem perlindungan tidak
sepenuhnya berjalan, sebagian besar kekerasan berbasis gender
yang dilaporkan adalah kekerasan seksual yang melibatkan
korban perempuan dan pelaku laki-laki.
Kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan berbasis gender
yang paling sering terjadi dan paling berbahaya yang terjadi
dalam masa darurat yang parah. Kemudian dalam tahap yang
lebih stabil dan selama masa pemulihan dan pembangunan,
bentuk lain kekerasan berbasis gender muncul dan/atau semakin
sering dilaporkan.
Bentuk-bentuk kekerasan ini termasuk, antara lain,
kebiasaan-kebiasaan tradisi yang berbahaya (mutilasi alat
kelamin perempuan, pernikahan usia muda, pembunuhan untuk
balas dendam, dll.) dan kekerasan dalam rumah tangga. Walau

29
pencegahan dalam tahap awal keadaan darurat seharusnya
berfokus pada kekerasan seksual, setiap situasi adalah unik dan
bentuk lain kekerasan berbasis gender sebaiknya tidak
diabaikan.
Sebagai contoh, tingkat keparahan dan jumlah kasus rumah
tangga seringkali meningkat sesudah bencana alam dan karena
itu membutuhkan campur tangan dari aktor kemanusiaan.
Analisis mengenai tindakan dalam situasi cepat terkoordinasi
dapat memberikan informasi mengenai bentuk Kekerasan
Berbasis Gender yang lain yang mungkin terjadi, termasuk
frekuensi, risiko, dan seberapa mematikan.
Oleh karena itu, perlu dibuat tempat khusus untuk pelayanan
kesehatan reproduksi di lokasi bencana. Tempat ini ditujukan
untuk seluruh korban bencana tidak hanya perempuan atau
orang dewasa saja, laki-laki dan anak-anak juga membutuhkan
perawatan mengenai kesehatan reporduksi selama berada di
pengungsian.
Lokasi pelayanan kesehatan reproduksi sebaiknya dekat
dengan pengungsian penduduk. Agar petugas dapat memantau
dengan mudah dan korban bencana dapat mengakses lokasi
tersebut dengan mudah. Kondisi tempat pelayanan reproduksi
dibuat beberapa bilik yang berisi meja dan kursi untuk petugas
dan korban.
Dibuat beberapa bilik dengan tujuan menjaga privasi korban
yang berkonsultasi mengenai masalah reproduksi. Serta
dilengkapi dengan buku-buku yang terkait dengan kesehatan
reproduksi yang dapat dibaca oleh korban bencana.
B. Medical Service dan Psychological Service
Kondisi dalam pengungsian belum cukup optimal untuk
memenuhi kebutuhan reproduksi, tempat pengungsian tidak
cukup melindungi perempuan dari kejadian kekerasan dan
kondisi bilik mesra yang sangat minimal.

30
Minimnya jumlah dan kondisi bilik mesra di pengungsian
digunakan untuk melayani hampir 1000 PUS membuat
keengganan pasangan untuk menggunakan, sistem pembuangan
sampah medis seperti pembalut wanita yang belum teratur
dengan baik, menyebabkan rawan terjadi penularan infeksi,
kamar mandi belum terpisah antara laki-laki dan perempuan
dapat menyebabkan rawan pelecehan seksual, sehingga
diperlukan strategi untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan reproduksi yang dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat sesuai dengan sumber daya yang dimiliki.
Kekerasan gender merupakan persoalan khusus dalam
konteks keadaan darurat yang pelik dan bencana alam, dimana
perempuan dan anak-anak seringkali menjadi sasaran kekerasan,
dan sangat rentan terhadap eksploitasi, kekerasan dan
kesewenang-wenangan karena jenis kelamin, usia, dan status
mereka dalam masyarakat. Berikut beberapa pencegahan
kekerasan seksual yang dilakukan pada situasi bencana
1. Kegiatan pencegahan dasar
Pencahayaan jalur menuju jamban dan fasilitas mandi,
pengamanan serta pemisahan jamban maupun kamar
mandi untuk laki-laki dan perempuan yang harus
diperkenalkan. Pengaturan tempat tidur yang aman harus
dipastikan, terutama untuk anak yatim dan remaja
terpisah. Pusat kolektif sementara harus memisahkan
berdasarkan jenis kelamin dan umur.
2. Koordinasi multisector dengan partisipasi remaja
Usaha untuk mencegah dan mengatasi kekerasan
seksual, harus dikoordinasikan antara kesehatan,
perlindungan, manajemen pengungsian, pelayanan
komunitas dan sektor keamanan. Contoh dari koordinasi
multisektor termasuk:

31
a. Satuan tugas pencegahan GBV (Gender Based
Violence), dengan perwakilan dari beberapa sektor,
anggota komunitas dan remaja, dapat
mengidentifikasi titik masuk untuk mencapai remaja
dan mengembangkan pesan pencegahan dan strategi
yang secara khusus mengatasi kerentanan remaja
b. Sistem rujukan intersektoral harus dikembangkan,
sehingga selamat dari kekerasan seksual yang hadir
pada berbagai sektor yang berhubungan dengan
kesehatan, perlindungan atau pelayanan konseling,
seperti yang dipersyaratkan
c. Pertemuan intersekotral harus dilakukan secara
teratur untuk meninjau nomor, jenis kelamin dan
usia dari klien baru dilihati berdasarkan setiap
layanan dan untuk mengidentifikasi gap atau
kelemahan dalam jaringan rujukan.
d. Usaha intersektoral harus dilakukan untuk
memastikan bahwa mekanisme pengaduan untuk
SEA berada di tempat dan ramah pada remaja
3. Pelayanan yang ramah pada remaja
Perawatan klinis untuk korban kekerasan seksual harus
berdasarkan WHO/UNHCR 2004 Clinical Management of
Rape Survivors: Developing Protocols for Use with
Refugees and Internally Displaced Persons, dan harus
termasuk pengobatan luka fisik (atau penyerahan, jika luka
parah), Post-exposure Prophylaxis (PEP) untuk HIV,
Emergency Contraception (EC), pengobatan presumtif
untuk STIs, hepatitis B, dan imunisasi tetanus.
Baik penyediaan atau rujukan untuk kesehatan mental
dan dukungan psikososial, dan rujukan sukarelawan untuk
layanan yang terlindungi dan legal jika tersedia.
Keamanan korban harus selalu menjadi prioritas dan

32
sektor kesehatan atau perlindungan mungkin perlu untuk
memberikan sebuah tempat yang aman untuk mereka
tinggal jika ada resiko pembalasan dari pelaku dan/atau
intimidasi dari keluarga atau masyarakat.
C. Perlindungan Kelompok Berisiko
Kelompok berisiko yang dimaksud dalam hal ini yaitu
perempuan dan anak-anak. Dimana mereka sering menjadi
korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang yang tidak
dikenal hingga kerabat mereka sendiri. Situasi bencana yang
kurang kondusif untuk mencegah kejadian-kejadian tidak
diinginkan menjadi kerawanan bagi kelompok berisiko.
Pasalnya, para petugas lebih berfokus pada bantuan logistik
daripada masalah reproduksi. Keamanan kelompok berisiko juga
kurang terjamin. Hal ini bisa disebabkan oleh kondisi korban
yang terpisah dari keluarga, hubungan antar pengungsi yang
kurang harmonis atau acuh tak acuh, kurangnya pengetahuan
mengenai kesehatan repoduksi maupun kejahatan yang terjadi
pada kelompok berisiko di tempat pengungsian dan sebagainya.
Perlindungan terhadap kelompok berisiko pada situasi
bencana sangat diperlukan untuk menjamin hak-hak mereka.
Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk melindungi kelompok
berisiko tersebut yaitu:
1. Melakukan pendekatan pada korban bencana. Sering
berinteraksi dengan korban, akan membuat mereka
menerima keberadaan petugas kesehatan reproduksi.
Penerimaan tersebut akan berpengaruh terhadap
keterbukaan mereka kepada petugas untuk berani bercerita
mengenai masalah yang sedang mereka hadapi
2. Memberikan edukasi pada korban bencana. Kurangnya
pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan kejahatan
apa saja yang dapat terjadi pada korban bencana, menjadi
salah satu faktor terjadinya kekerasan seksual. Dengan

33
mengadakan kegiatan-kegiatan berbasis edukasi, dapat
menambah wawasan sekaligus mengalihkan pikiran
tentang bencana yang sedang menimpa mereka
3. Mengkoordinir keberadaan petugas kesehatan reproduksi
hingga petugas keamanan pada situasi bencana.
Keberadaan petugas kesehatan reproduksi maupun petugas
yang lainnya juga perlu diperhatikan untuk menjaga
keamanan dan keselamatan para korban, baik dari segi
jumlah hingga kemampuan
4. Sarana prasarana yang memadai dan aman untuk
menunjang kebutuhan para korban. Seperti kamar mandi
dan jamban yang terpisah untuk laki-laki dan perempuan.
Hal ini dilakukan untuk meminimalisir tindakan pelecehan
seksual
5. Ruang pelayanan yang nyaman, petugas yang kompeten
dan mampu menjaga kerahasiaan korban. Korban yang
telah mengalami kekerasan seksual maupun yang hanya
ingin berkonsultasi mengenai kesehatan reproduksi harus
merasa nyaman dan terlindungi untuk berbagi cerita
dengan petugas. Sehingga petugas mampu membantu dan
memberikan solusi untuk para korban

III.3.3 Pencegahan Penularan HIV/IMS


Pencegahan Penularan HIV/IMS (Infeksi Menular Seksual) dalam
kondisi bencana dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:
A. Free Condom
Pada saat terjadinya bencana banyak pengungsi yang
berdatangan di tempat pengungsian, sehingga banyak pula
pasangan suami istri yang ikut berpindah ke tempat
pengungsian.
Persedian kondom harus ada pada awal-awal korban berada
di pengungsian dengan tersedianya kondom untuk laik-laki dan

34
perempuan yang memiliki kualitas baik dalam jumlah yang
cukup.

Gambar 3.1 Perhitungan Persediaan Kondom

Sediakan kondom atas permintaan dan pastikan bahwa


kondom tersedia di semua fasilitas kesehatan dan di area-area
pribadi yang dapat diakses oleh masyarakat seperti di toilet
umum, di bar, di titik-titik distribusi non pangan, dan di tempat
pertemuan remaja dan masyarakat.
Berkonsultasi dengan staf lokal tentang bagaimana kondom
dapat disediakan dengan cara yang peka terhadap budaya lokal,
terutama untuk kelompok-kelompok yang paling berisiko,
seperti pekerja seks dan pelanggannya, laki-laki yang
berhubungan seks dengan laki-laki, pengguna narkoba melalui
suntikan dan kaum muda/remaja.
Para remaja dapat membantu mengidentifikasi lokasi-lokasi
dimana rekan-rekan mereka berkumpul. Pastikan kondom juga

35
tersedia untuk masyarakat sekitar, staf lembaga bantuan, staf
angkatan bersenjata, pengemudi truk pengiriman bantuan, dll.
Pengambilan kondom harus dipantau dengan melakukan
pengecekan rutin (dan pengisian stok jika perlu) pada titik
distribusi.
B. Safe Blood (Transfusi Darah yang Aman)
Penggunaan darah secara rasional dan aman untuk transfusi
darah sangat penting untuk mencegah penularan HIV dan
infeksi-infeksi lain yang dapat menular melalui transfusi (TTI/
Transfusion-Transmissible Infection) seperti hepatitis B,
hepatitis C, dan sifilis.
Jika darah yang tercemar HIV ditransfusikan, maka
penularan HIV kepada penerima hampir 100%. Transfusi darah
tidak boleh dilakukan jika fasilitas, perlengkapan dan staf yang
terlatih tidak ada, terutama pada saat keadaan darurat bencana di
pos pengungsian. Transfusi darah yang rasional mencakup
sebagai berikut:
1. Transfusi darah hanya dalam keadaan yang mengancam
nyawa dan bila tidak ada alternatif lain
2. Menggunakan obat-obatan untuk mencegah atau
mengurangi perdarahan aktif (misalnya oksitosin)
3. Menggunakan pengganti darah untuk mengganti volume
yang hilang seperti cairan pengganti berbasis kristaloid
(ringer laktat, normal salin) atau substitusi berbasis koloid
(haemaccell, gelofusin) jika memungkinkan
Sedangkan transfusi darah aman mencakup hal-hal sebagai
berikut:
1. Pengumpulan darah hanya dari donor darah sukarela
yang tidak dibayar dengan risiko rendah tertular infeksi
lain melalui transfusi (TTI) dan menetapkan kriteria
seleksi donor darah yang lebih ketat

36
2. Melakukan skrining terhadap semua darah untuk transfusi,
minimal untuk HIV 1 dan 2, hepatitis B, hepatitis C, dan
sifilis, dengan menggunakan alat tes yang paling tepat.
Satu tes skrining HIV tidak cukup untuk menentukan
status HIV. Jangan mengungkapkan hasil tes skrining
yang positif kepada donor jika mereka tidak dapat dirujuk
untuk mendapat layanan konseling dan tes sukarela
(VCT). Dalam hal ini lakukan skrining terhadap darah
untuk transfusi dan buang darah itu jika tidak dapat
digunakan. Hubungkan jasa transfusi darah dengan
layanan VCT sesegera mungkin setelah ditetapkan sebagai
bagian dari respon yang komprehensif dan rujuklah donor
ke VCT sebelum skrining darah mereka
3. Melakukan pengelompokan ABO dan tipe Rhesus D
(RhD) dan, jika ada waktu, melakukan pemeriksaan
silang
4. Hanya melakukan transfuse darah kepada wanita usia
subur dengan darah tipe RhD yang sesuai
5. Memastikan praktik transfusi yang aman di sisi tempat
tidur dan pembuangan kantong darah, alat suntik, dan
jarum suntik secara aman
6. Semua alat yang tercemar dengan cairan tubuh penderita
AIDS harus disterillisasikan secara baku. Kelompok
penyalahgunaan narkotik harus menghentikan kebiasaan
penyuntikan obat ke dalam badannya serta menghentikan
kebiasaan mengunakan jarum suntik bersama
7. Gunakan jarum suntik sekali pakai (disposable)
8. Membakar semua alat bekas pakai pengidap HIV
C. Universal Precaution (Kontrol Infeksi)
Universal Precaution yaitu tindakan pengendalian infeksi
yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi
resiko penyebaran infeksi dan didasarkan pada prinsip bahwa

37
darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit,
baik berasal dari pasien, maupun petugas kesehatan.
Prinsip kewaspadaan universal (universal precaution) di
pelayanan kesehatan adalah menjaga higiene sanitasi individu,
higiene sanitasi ruangan, serta sterilisasi peralatan. Hal ini
penting mengingat sebagian besar yang terinfeksi virus lewat
darah seperti HIV dan HIB tidak menunjukan gejala fisik.
Kewaspadaan universal diterapkan untuk melindungi setiap
orang (pasien dan petugas kesehatan) apakah mereka terinfeksi
atau tidak. Kewaspadaan universal berlaku untuk darah, sekresi
ekskresi (kecuali keringat), luka pada kulit, dan selaput lendir.
Penerapan standar ini penting untuk mengurangi risiko
penularan mikroorganisme yang berasal dari sumber infeksi
yang diketahui atau tidak diketahui (misalnya pasien, benda
terkontaminasi, jarum suntik bekas pakai, dan spuit) di dalam
sistem pelayanan kesehatan.
Tindakan pencegahan standar dalam control infeksi saat
terjadinya bencana adalah sebagai berikut:
1. Sering mencuci tangan. Cuci tangan dengan sabun dan air
sebelum dan sesudah kontak dengan pasien membuat
fasilitas dan perlengkapan untuk mencuci tangan mudah
didapat oleh semua penyedia layanan
2. Mengenakan sarung tangan, dengan menggunakan sarung
tangan non-steril sekali pakai untuk semua prosedur
dimana diperkirakan akan ada kontak dengan darah atau
cairan tubuh lain yang berpotensi terinfeksi virus. Cuci
tangan sebelum memakai dan setelah melepas sarung
tangan, serta buang sarung tangan segera setelah
digunakan. Staf yang menangani bahan-bahan dan benda
tajam wajib mengenakan sarung tangan yang lebih kuat
(sarung tangan khusus untuk pekerjaan berat) dan harus

38
menutupi luka dan lecet dengan balutan/plester tahan air.
Pastikan bahwa ada cukup persediaan
3. Memakai pakaian pelindung, seperti baju atau celemek
tahan air, jika darah atau cairan tubuh lain mungkin
terpercik. Staf diwajibkan menggunakan masker dan
pelindung mata di mana ada kemungkinan terpapar darah
dalam jumlah banyak
4. Penanganan aman terhadap benda-benda tajam:
a. Minimalkan perlunya menangani alat suntik dan jarum
suntik
b. Gunakan alat suntik dan jarum suntik sekali pakai yang
steril untuk setiap injeksi
c. Atur area kerja tempat penyuntikan untuk mengurangi
risiko cedera
d. Gunakan botol dosis-tunggal daripada botol multi-
dosis. Jika menggunakan botol multi-dosis, hindari
meninggalkan jarum pada penutup karet. Setelah
dibuka, simpan botol multi-dosis di lemari es
e. Jangan menutup kembali jarum suntik
f. Posisikan pasien dan beritahukan dengan benar
mengenai penyuntikan
g. Buang jarum suntik dan benda-benda tajam di kotak
pengaman (safety boxes) yang anti tusuk dan anti
bocor. Pastikan wadah anti tusuk untuk pembuangan
benda tajam selalu tersedia di tempat yang dekat namun
di luar jangkauan anakanak. Benda tajam tidak boleh
dibuang ke tempat sampah atau kantong sampah biasa.
1) Pembuangan limbah
Bakar semua sampah medis di area terpisah,
sebaiknya masih pada lahan fasilitas kesehatan.
Kubur benda-benda yang masih menjadi ancaman,

39
seperti benda tajam, di sebuah lubang tertutup
sedikitnya 10 meter dari sumber air.
2) Pemrosesan instrumen
Proses instrument-instrumen bekas pakai dalam
urutan sebagai berikut:
a) Dekontaminasi instrumen untuk membunuh
virus (HIV dan hepatitis B) dan menjadikan
barang lebih aman untuk ditangani
b) Bersihkan instrumen sebelum melakukan
sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi (DTT)
untuk menghilangkan kotoran
c) Sterilkan (menghilangkan semua patogen)
instrumen-instrumen untuk meminimalkan
risiko infeksi selama prosedur. Dianjurkan
menggunakan steam autoclaving. DTT
(melalui perebusan atau perendaman dalam
larutan klorin) mungkin tidak dapat
menghilangkan semua spora
d) Gunakan atau simpan dengan benar alatalat
segera setelah disterilisasi
e) Pemeliharaan fasilitas dengan membersihkan
tumpahan darah atau cairan tubuh lainnya
dengan segera dan hati-hati

III.3.4 Pencegahan Peningkatan Keakitan dan Kematian Maternal


dan Neonatal
Komponen-komponen Paket Pelayanan Awal Minimal (PPAM)
terkait dengan kesehatan maternal dan neonatal bertujuan untuk
mengurangi kesakitan dan kematian terkait dengan komplikasi-
komplikasi pada saat persalinan, kelahiran, dan masa nifas segera
setelah melahirkan dilakukan dengan memastikan bahwa:

40
1. Layanan kegawatdaruratan kebidanan dan neonatal tersedia
dengan baik, termasuk:
a. Perawat dan bidan yang menolong persalinan di pusat
kesehatan memiliki semua suplai yang diperlukan untuk
menolong persalinan normal dan menangani komplikasi
kebidanan dan neonatal (PoNeD: Pelayanan obstetrik
Neonatal emergency Dasar)
b. Staf medis yang terampil dan suplai yang dibutuhkan tersedia
di rumah sakit rujukan untuk menangani semua komplikasi
kebidanan dan neonatal (PoNeK/Pelayanan obstetrik
Neonatal emergency Komprehensif)
2. Suatu sistem rujukan diterapkan untuk memfasilitasi transpor
dan komunikasi dari tingkat masyarakat ke tingkat pusat
kesehatan masyarakat dan rumah sakit untuk ibu yang
mengalami komplikasi kebidanan
3. Suplai persalinan yang bersih disediakan untuk ibu hamil yang
terlihat yang mungkin tidak akan dapat menjangkau pusat
kesehatan masyarakat ketika akan melahirkan

Berikut adalah langkah-langkah pencegahan peningkatan kesakitan


dan kematian maternal dan neonatal pada saat kondisi darurat bencana:
A. Needs Assessment/Penilaian Kebutuhan
Setelah PPAM diterapkan, integrasikan pertimbangan-
pertimbangan kesehatan maternal dan neonatal ke dalam
penilaian kebutuhan untuk perencanaan kesehatan reproduksi
komprehensif dalam rangka merancang program kesehatan
maternal dan neonatal dan komprehensif.
Dengan menggunakan kombinasi alat bantu yang ada,
petugas kesehatan reproduksi perlu mengumpulkan atau
mengestimasi informasi berikut ini dengan berkoordinasi
dengan aktor-aktor sektor/cluster kesehatan lain.

41
1. Karakteristik populasi
Tabel 3.7 Karakteristik Korban Bencana Gunung
Sinabung

Kecamatan Desa KK Jiwa Lk Pr Lansia Bumil Balita Bayi


Tiga
Mardinding 262 950 492 458 97 3 16 30
Nderket
Kuta
255 1041 518 523 19 7 119 19
Gugung
Brastagi
Si Garang
422 15527 738 789 98 12 136 0
Garang
Guru
Payung 404 1227 606 621 136 7 0 51
Kinayan
Kuta
158 529 238 291 50 1 54 9
Simpang Tengah
Empat Tiga Pancur 303 991 499 492 97 10 79 12
Pintu Besi 76 275 148 127 38 4 28 7
Selain itu juga perlu mencari tahu jumlah populasi yang
terkena dampak serta distribusi geografisnya dan jumlah
wanita usia subur, ibu hami, dan bayi baru lahir. Indikator
demografis terkait status kesehatan maternal dan neonatal
dari populasi yang terkena dampak sebelum krisis terjadi
seperti angka kematian ibu (AKI), angka kelahiran kasar
(CBR), GFR, prevalensi kontrasepsi, presentasi persalinan
ditolong oleh tenaga kesehatan juga perlu dicari untuk
menentukan karakteristik populasi.
2. Karakteristik pelayanan kesehatan dan staf pemberi
layanan
Petakan titik-titik layanan kesehatan yang sudah ada
berdasarkan lokasi geografis, jenis dan lembaga lembaga
yang mendukung/mengaturnya. Setiap fasilitas yang ada
perlu dievaluasi terkait kapasitasnya untuk memberikan
layanan kesehatan maternal dan neonatal berkualitas
termasuk layanan kegawatdaruratan kebidanan dan

42
layanan bayi baru lahir, ketersediaan staf kesehatan
terampil dan suplai medis dan/atau kemungkinan untuk
merujuk ke layanandi tingkat lebih tinggi. Informasi yang
perlu dikumpulkan adalah sebagai berikut:
a. Jumlah, lokasi, dan tipe pusat kesehatan dan rumah
sakit
Tabel 3.8 Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan
di Daerah Bencana Gunung Sinabung
Puskesmas PKM
No Kecamatan RSU RSB BPU PKM Jml
RI RJ Pembantu
1. Mardingding - - 1 8 - 5 1 15
2. Laubaleng - - 1 15 - 8 - 24
3. Tigabunanga - - 1 25 - 6 1 33
4. Juhar - - 1 11 - 3 - 15
5 Munte - - 1 34 - 2 - 37
6 Kutabuluh - - 1 10 1 2 - 14
7 Payung - - 1 6 - - - 7
8 Tigaderket - - 1 11 - 1 - 13
Simpang
9 - - 1 11 - 1 2 15
Empat
10 Naman Teran - - 1 14 - 2 5 22
11 Merdeka - - 1 4 - 1 3 9
12 Kabanjahe 4 - 2 25 8 17 - 55
13 Berastangi 2 - 2 21 9 23 3 60
14 Berastagi - - 1 19 2 8 6 37
Doolat
15 - - 1 3 1 1 - 6
Rakyat
16 Merek - - 1 11 2 5 - 19
-
17 Barusjahe - - 1 10 8 2 41

Jumlah 6 - 19 258 23 93 23 422

43
Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui
bahwa pada lokasi bencana sudah terdapat fasilitas
pelayanan kesehatan diantaranya puskesmas
pembantu, puskesmas rawat jalan, rumah bersalin,
dan jika butuh rujukan yang lebih tinggi juga sudah
tersedia Rumah Sakit Umum pada 2 kecamatan.
Empat rumah sakit di kecamatan Kabanjahe, 2
rumah sakit di kecamatan berastangi. Untuk
kecamatan yang sangat minim pelayanan kesehatan
bisa dirujuk ke daerah lain.
b. Fasilitas yang mana yang menyediakan layanan
kesehatan maternal dan neonatal termasuk PONED
dan PONEK
Pada lokasi bencana banyak terdapat fasilitas
pelayanan kesehatan, namun hanya di beberapa
kecamatan yang menyediakan layanan PONED dan
PONEK diantaranya puskesmas di Kecamatan
Mardingding, Tigabunanga, Simpang empat, Naman
Teran, Merdeka, Berastangi, Berastagi, dan
Barusjahe, serta Rumah sakit umum di kecamatan
Kabanjahe dan Berastangi. Untuk melakukan
rujukan, sudah tersedia akses jalan yang memadai di
semua kecamatan.
c. Ketersediaan alat yang berfungsi, suplai dan obat-
obatan untuk pemberian layanan kesehatan maternal
dan neonatal
d. Supply untuk kewaspadaaan standard termasuk
fasilitas penanganan limbah medis dan pembuangan
plasenta
e. Jumlah, tipe, dan tingkat keterampilan petugas
kesehatan

44
f. Ketersediaan protokol dan panduan kesehatan
maternal dan neonatal terkait mekanisme rujukan:
1) Jarak dari masyarakat ke fasilitas PONED
2) Jarak dari fasilitas PONED ke fasilitas
PONEK
3) Pilihan transportasi yang dapat digunakan
4) Sarana komunikasi
5) Protokol untuk menangani dan merujuk
komplikasi
g. Ketersediaan air bersih, listrik, lemari pendingin,
dan sanitasi (fasilitas mandi dan toilet) pada titik
pemberian layanan
h. Ketersediaan nutrisi yang memadai untuk ibu hamil
dan menyusui
i. Komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai
ketersediaan layanan
B. Mengurangi Hambatan-Hambatan terkait Penggunaan Layanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal
Karena sebagian besar kematian ibu dan perinatal terjadi
akibat kegagalan untuk memperoleh pertolongan tepat pada
waktunya ketika terjadi komplikasi persalinan, maka sangatlah
penting untuk memiliki suatu sistem yang terkoordinasi dengan
baik untuk mengidentifikasi komplikasi kebidanan dan
memastikan bahwa penanganan segera dan/atau rujukan ke
rumah sakit dengan fasilitas pembedahan dilakukan dengan
benar.
Petugas kesehatan harus memahami bahwa semakin jauh
lokasi fasilitas rujukan maka semakin dini mereka harus
membuat keputusan untuk merujuk ibu dengan komplikasi
persalinan. Petugas dan manajer program kesehatan reproduksi
dapat menggunakan model tiga terlambat untuk

45
mengidentifikasi intervensi relevan untuk mengurangi hambatan
terhadap penggunaan layanan di tempat mereka.
C. MISP Safe Motherhood Monitoring
Kit melahirkan yang bersih tersedia dan tersebar-luas
dibandingkan jumlah paket melahirkan yang bersih yang
disebarluaskan ke jumlah kelahiran yang telah diestimasi dalam
kurun-waktu tertentu. Kit untuk bidan tersedia di pusat
kesehatan. Kecakapan dan kapasitas staf rumah sakit dalam
menyediakan Perawatan Obstetrik Darurat dinilai dan dukungan
diberikan. Sistem rujukan untuk darurat obstetrik berfungsi 24
jam sehari, tujuh hari seminggu. Berikut adalah petunjuk untuk
memantau koordinasi keibuan yang aman:
1. Estimasi cakupan kit melahirkan yang bersih
2. Jumlah dan jenis komplikasi obstetrik yang ditangani di
tingkat perawatan kesehatan utama dan tingkat rujukan
3. Jumlah angka kematian ibu dan bayi di fasilitas kesehatan
Pada situasi bencana tersebut dibutuhkan blok kit 1, blok kit
2, blok kit 6, blok kit 8, blok kit 9, blok kit 10, dan blok kit 11
yang disebarkan di fasilitas pelayanan kesehatan di Kecamatan
Mardingding, Berastagi, dan Simpang Empat.
Berikut adalah Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergency
(PONED) dan Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergency
Komprehensif (PONEK):

46
Gambar 3.2 PONED dan PONEK

III.3.5 Perencanaan Pelayanan Kesehatan Reproduksi yang


Komperehensif dan Terintegrasi
Pelaksaanaan perencanaan pelayanan integrasi kegiatan kesehatan
reproduksi komprehensif ke dalam pelayanan kesehatan dasar pada fase
awal respon darurat. Perencanaan pelayanan kesehatan reproduksi yang
komprehensif dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi risiko
terjadinya kehamilan-kehamilan yang tidak diinginkan, penularan IMS
(infeksi menular seksual), komplikasi dalam kekerasan berbasis gender,
serta kesakitan, dan kematian pada ibu dan bayi baru lahir.
Untuk dapat bergerak lebih jauh di luar PPAM dan membuat
rencana untuk penyelenggaraan layanan kesehatan reproduksi
komprehensif, petugas kesehatan reproduksi, dan manajer program,
dalam suatu kerjasama erat dengan para mitra di sektor/cluster
kesehatan, harus mengumpulkan informasi-informasi yang ada atau
membuat estimasi data yang dapat membantu dalam merancang

47
program kesehatan reproduksi komprehensif. Salah satu hal yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi kebijakan dan protokol Kementrian Kesehatan
yang relevan untuk perawatan terstandar, seperti manajemen
IMS dengan pendekatan sindrom dan protokol keluarga
berencana
2. Mengumpulkan atau membuat estimasi data demografis dan
informasi kesehatan reproduksi dari populasi yang terdampak,
seperti:
a. Jumlah wanita usia subur (15-49 tahun) diperkirakan 25%
dari jumlah penduduk
b. Jumlah pria yang aktif secara seksual diperkirakan 20%
dari jumlah penduduk, angka kelahiran kasar diperkirakan
mencapai 4% dari jumlah penduduk
c. Data mortalitas berdasarkan umur dan jenis kelamin
A. Pengumpulan Data Demografis dan Informasi Kesehatan
Reproduksi pada saat Bencana
Berdasarkan kasus Bencana Letusan Gunung Sinabung
Tahun 2015, didapatkan data demografis dan informasi
Kesehatan Reproduksi pada saat bencana sebagai berikut:
Tabel 3.9 Jumlah Pengungsi Bencana Letusan Gunung
Sinabung Tahun 2015
Kecamatan Desa KK Jiwa Lk Pr Lansia Bumil Balita Bayi
Tiga 30
Mardinding 262 950 492 458 97 3 16
Nderket
Kuta 19
255 1041 518 523 19 7 119
Gugung
Brastagi
Si Garang 0
422 1527 738 789 98 12 136
Garang
Guru 51
Payung 404 1227 606 621 136 7 0
Kinayan
Simpang Kuta 9
158 529 238 291 50 1 54
Empat Tengah

48
Kecamatan Desa KK Jiwa Lk Pr Lansia Bumil Balita Bayi
Tiga 12
303 991 499 492 97 10 79
Pancur
Pintu Besi 76 275 148 127 38 4 28 7
Jumlah 1880 6540 3239 3301 535 44 432 128

Berdasarkan tabel diatas, maka dapat diketahui bahwa


terdapat 4 kecamatan yang terdiri dari 7 desa yang terkena
dampak dari Letusan Gunung Sinabung tahun 2015. Total
korban atau pengungsi pada 7 desa tersebut adalah 6.540 jiwa.
1. Jumlah total pengungsi berjenis kelamin laki-laki adalah
3.239 jiwa
2. Jumlah total pengungsi berjenis kelamin perempuan
adalah 3.301 jiwa
3. Jumlah total pengungsi ibu hamil adalah 44 jiwa
4. Jumlah total pengungsi balita adalah 432 jiwa
5. Jumlah total pengungsi bayi adalah 128 jiwa

Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur dan jenis


kelamin dari Bencana Letusan Gunung Sinabung pada tahun
2015 adalah sebagai berikut:
Tabel 3.10 Penduduk Berdasar Kelompok Umur dan
Jenis Kelamin dari Bencana Letusan Gunung Sinabung
Tahun 2015
Kelompok Umur/ Laki-laki / Perempuan / Jumlah/
Age Group Male Female Total
0-4 20747 19926 40673
5-9 19327 18531 37858
10-14 18609 17455 36064
15-19 15007 13950 28957
20-24 12292 11832 24124
25-29 13791 14018 27809
30-34 14939 14692 29631

49
Kelompok Umur/ Laki-laki / Perempuan / Jumlah/
Age Group Male Female Total
35-39 14031 13926 27957
40-44 12404 12511 24915
45-49 9990 10875 20865
50-54 8293 9059 17352
55-59 6865 7689 14554
60-64 4816 5319 10135
65-69 3080 4257 7337
70-74 2076 2779 4855
75 + 1806 3931 5737
Jumlah 178073 180750 358823

Berdasarkan tabel diatas, dapat deketahui bahwa jumlah total


penduduk laki-laki adalah 178.073 jiwa, sedangkan jumlah total
penduduk perempuan adalah 180.750 jiwa. Jumlah total wanita
subur yaitu wanita yang berada pada kelompok umur 15-49
tahun adalah 91.804 jiwa.
B. Identifikasi Pelayanan Selanjutnya yang Komprehensif
Perencanaan berupa identifikasi kebutuhan pelayanan
kesehatan reproduksi dilaksanakan setelah terjadi erupsi gunung
Sinabung berupa rapid need assessment, namun tetap
berkesinambungan sebelum bencana, ketika bencana, dan
sesudah bencana. Pemantauan pelayanan kesehatan reproduksi
bagi pengungsi harus dilaksanakan secara structural sehingga
nantinya akan dilakukan evaluasi pelayanan kesehatan di dinas
kesehatan.
Sesuai dengan rekomendasi strategi regional WHO untuk
negara-negara anggota di Asia Tenggara, dua paket pelayanan
kesehatan reproduksi telah dirumuskan wakil-wakil sektor dan
inter-program dalam beberapa pertemuan koordinasi
pralokakarya nasional di Jakarta. Lima kelompok kerja telah
sepakat untuk melaksanakan pelayanan kesehatan dasar

50
penanggulangan masalah kesehatan reproduksi di Indonesia,
yaitu:
1. Paket kesehatan reproduksi esensial
a. Kesehatan ibu dan bayi
b. Keluarga berencana
c. Pencegahan dan penanggulangan ISR/PMS/HIV
d. Kesehatan reproduksi remaja
2. Paket kesehatan reproduksi komprehensif
a. Seluruh paket PKRE ditambah pencegahan dan
penanganan masalah usia lanjut
Strategi kesehatan reproduksi menurut komponen
pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif pada
saat setelah terjadi letusan Gunung Sinabung dapat
diuraikan sebagai berikut:
1) Kesehatan ibu dan bayi
Untuk kesehatan ibu dan bayi maka dapat
dilakukan perawatan ibu dan bayi yaitu:
a) Menyediakan layanan Antenatal Care
b) Menyediakan layanan Postnatal Care
c) Melatih penolong persalinan (bidan,
perawat, dan dokter) dalam melakukan
layanan kegawat daruratan kebidanan
dan perawatan bayi baru lahir
d) Meningkatkan akses ke layanan PONED
(Pelayanan Obstetrik Neonatal
Emergency Dasar) di Puskemas dan
PONEK (Pelayanan Obstetrik Neonatal
Emergency Komprehensif) di Rumah
Sakit

51
2) Keluarga berencana
Untuk komponen Keluarga Berencana
maka dapat dilakukan beberapa pelayanan di
pengungsian yaitu:
a) Mencari supplier dan pengadaan
kontrasepsi
b) Memberikan pelatihan untuk staf
c) Menetapkan program keluarga berencana
yang komprehensif
d) Memberikan pendidikan pada
masyarakat
3) Pencegahan dan penanganan Infeksi Saluran
Reproduksi (ISR), termasuk Penyakit Menular
Seksual (PMS), dan HIV/AIDS
Untuk Pencegahan dan Penanganan Infeksi
Saluran Reproduksi (ISR), termasuk Penyakit
Menular Seksual (PMS), dan HIV/AIDS,
maka dapat dilakukan beberapa pelayanan di
pengungsian yaitu:
a) Terselenggaranya layanan pencegahan
dan perawatan IMS yang komprehensif,
termasuk sistem surveilans IMS di
pengungsian
b) Berkolaborasi dalam membangun
layanan HIV komprehensif sesuai
keadaan
c) Penyediaan perawatan, dukungan, dan
pengobatan untuk orang yang hidup
dengan HIV/AIDS (ODHA)
d) Memberikan pendidikan pada
masyarakat

52
4) Kesehatan reproduksi remaja
Untuk kesehatan reproduksi remaja maka
dapat dilakukan beberapa pelayanan di
pengungsian yaitu:
a) Memperluas bantuan medis dan
tersedianya pelayanan klinis
b) Tersedianya layanan untuk konseling
terhadap kesehatan reproduksi remaja
c) Memberikan pendidikan pada remaja
5) Usia lanjut
Untuk usia lanjut maka dapat dilakukan
beberapa pelayanan di pengungsian yaitu:
a) Skrining keganasan organ reproduksi
pada usia lanjut
b) Tersedianya layanan untuk konseling
terhadap kesehatan reproduksi usia lanjut
c) Memberikan pendidikan pada
masyarakat
Tabel 3.11 Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif
Komponen
Pelayanan Kesehatan Layanan Kesehatan
Kesehatan
Reproduksi Prioritas (PPAM) Reproduksi Komprehensif
Reproduksi
- Mencari supplier dan
pengadaan kontrasepsi
Menyediakan alat kontrasepsi
- Memberikan pelatihan untuk
Keluarga seperti kondom, pil, suntik, dan staf
Berencana IUD untuk memenuhi - Menetapkan program keluarga
permintaan berencana yang komprehensif
- Memberikan pendidikan pada
masyarakat
- Koordinasikan mekanisme- - Memperluas bantuan medis,
mekanisme untuk mencegah psikologis, sosial, dan hukum
kekerasan seksual bersama bagi para korban/penyintas
Kekerasan sektor kesehatan dan - Mencegah dan menangani
Berbasis Gender sektor/cluster lainnya bentuk-bentuk lain dari
- Memberikan perawatan klinis kekerasan berbasis gender,
untuk korban/penyintas termasuk kekerasan dalam
perkosaan rumah tangga, perkawinan

53
Komponen
Pelayanan Kesehatan Layanan Kesehatan
Kesehatan
Reproduksi Prioritas (PPAM) Reproduksi Komprehensif
Reproduksi
dini/paksa, sunat perempuan
- Memberikan pendidikan
masyarakat
- Pastikan ketersediaan - Menyediakan layanan
layanan kegawatdaruratan antenatal care
kebidanan untuk ibu dan - Menyediakan layanan
perawatan bayi baru lahir postnatal care
Perawatan Ibu - Membangun sistem rujukan - Melatih penolong persalinan
dan Bayi Baru 24/7 untuk layanan (bidan, perawat, dokter) dalam
Lahir kegawatdaruratan kebidanan melakukan layanan
- Menyediakan kit persalinan kegawatdaruratan
bersih untuk perempuan yang kebidanandan perawatan bayi
kehamilannya sudah tampak baru lahir
jelas dan untuk penolong - Meningkatkan akses ke
persalinan layanan PONED dan PONEK
- Praktik transfusi darah yang - Selenggarakan layanan
aman pencegahan dan perawatan
- Memfasilitasi dan IMS yang komprehensif,
menegakkan kepatuhan termasuk sistem surveilans
terhadap tindakan IMS
pencegahan standar - Berkolaborasi dalam
- Menjadikan kondom gratis membangun layanan HIV
IMS, termasuk dan tersedia komprehensif sesuai keadaan
Pencegahan dan - Sediakan pengobatan - Sediakan perawatan, dukungan
Pengobatan HIV sindrom sebagai bagian dari dan pengobatan untuk orang
layanan klinis yang rutin yang hidup dengan HIV/AIDS
untuk pasien-pasien yang (ODHA)
datang untuk perawatan - Tingkatkan kesadaran tentang
- Sediakan pengobatan untuk layanan mpencegahan,
pasien pasien yang sudah perawatan dan pengobatan
berobat dengan ARV, IMS, termasuk HIV
termasuk untuk PMTCT, - Berikan pendidikan untuk
sesegera mungkin masyarakat

C. Pemesanan RIH Kits


Berikut adalah pemesanan RH Kits untuk kamp pengungsian
6.540 jiwa:
1. Jumlah total pengungsi: 6.540 jiwa
2. Jumlah total pengungsi berjenis kelamin laki-laki adalah
3.239 jiwa

54
3. Jumlah total pengungsi berjenis kelamin perempuan
adalah 3.301 jiwa
4. Obsevasi khusus: kondom perempuan dikenai dan
digunakan
5. Personnel: 1 dokter medis, 2 perawat terlatih, 1 bidan
terlatih, pendamping persalinan, dan pekerja kesehatan
lainnya.
6. Rujukan: rumah sakit setempat berdasarkan kecamatan
masing-masing, peralatan pelayanan kesehatan cukup
lengkap dan memiliki staff medis dan non medis yang
mampu melakukan prosedur kegawatdaruratan.
7. Jumlah Pemesanan RH Kits untuk 6.540 jiwa:
Tabel 3.12 RH Kits untuk Korban Letusan Gunung
Sinabung
NOMOR KODE
NAMA KIT JUMLAH
KIT WARNA
Blok 1
Kit 0 Administrasi Oranye 1 paket
Kondom
Bag. A: 650 buah
Kit 1 (Bagian A: kondom laki-laki Merah Bag. B: 660 bauh
tambah Bagian B: kondom
(20% populasi )
perempuan)

Biru tua 1 paket


Kelahiran Bersih (Perorangan)
(100 persalinan )
Kit 2 (Bagian A: kit persalinan bersih
ditambah bagian B : perlengkapan *Diasumsikan dari
untuk penolong persalinan) 10.000 jiwa terdapat
100 persalinan
Pasca Perkosaan Merah 1 paket
(Bagian A: Pil Kontrasepsi muda Kebutuhan : 850 buah
Kit 3
darurat dan pengobatan IMS (25% dari populasi
ditambah Bagian B: PEP) korban perempuan)
1 paket
Kit 4 Kontrasepsi oral dan injeksi Putih
Kebutuhan : 850 buah

55
(25% dari populasi
korban perempuan)
1 paket
Biru
Pengobatan IMS (Infeksi Menular Kebutuhan : 850 buah
Kit 5 muda/turq
Seksual) (25% dari populasi
uoise
korban perempuan)
Blok 2
1 paket
Kit persalinan (Fasilitas Diasumsikan 10.000
Kit 6 Coklat
Kesehatan) jiwa terdapat 100
kelahiran
1 paket
50 IUD
Kit 7 IUD Hitam (25% populasi wanita
usia subur. 5% dari
populasi tersebut
menggunakan IUD )
Penanggulangan Komplikasi
Kit 8 Kuning 1 paket
Keguguran dan Aborsi
Menjahit Sobekan (leher rahim 15 perempuan
Kit 9 dan vagina) dan Pemeriksaan Ungu (15% dari 100
vagina persalinan )
Persalinan dengan Vakum
Kit 10 Abu-Abu 1 paket
(Manual)
Blok 3
Tingkat Rujukan (Bagian A dan Hijau
Kit 11 1 paket
B) Fluoresens
Kit 12 Transfusi Darah Hijau Tua 1 paket
*1 paket diasumsikan mencukupi untuk 10.000 jiwa

III.3.6 Pengadaan Bilik Asmara


Pasangan suami-istri yang masih dalam usia subur berjumlah
sebanyak 1962 pasangan suami-istri usia subur. Jumlah tersebut
didapatkan dari data jumlah korban laki-laki dengan jumlah korban

56
perempuan, namun pada lansia, balita, bayi tidak dihitungkan dan
diambil 60% dari jumlah pengungsi.
Sarana bilik asmara yang didirikan di pengungsian gunung meletus
Sinabung diperuntukan untuk korban pasangan suami-istri yang sah di
tempat pengungsian korban gunung meletus Sinabung. Bilik asmara
tersebut didirikan karena memiliki tujuan yaitu untuk memenuhi
kebutuhan biologis yang berkaitan dengan hubungan suami-istri yang
termasuk dalam pembahasan kesehatan reproduksi. Selain itu, bilik
asmara didirikan karena prihatian melihat banyak pengungsi berstatus
suami istri yang tak bisa menyalurkan hasrat seksualnya. Apalagi, para
pengungsi sudah berada di sana selama empat bulan. Setiap pasangan
suami istri yang hendak memakai tenda harus melapor ke kordinator
posko. Bilik asmara ini selalu dijaga karena agar tidak disalah gunakan
oleh pengungsi korban gunung meletus Sinabung.
Letak bilik asmara juga di sekitar daerah pengungsian, namun
untuk menjaga kenyamanan para pengungsi, bilik asmara dibuat
terpisah dan lumayan jauh dari lokasi pengungsi lainnya. Sedangkan
untuk menjaga kenyamanan para pengguna bilik tersebut, telah
disiapkan dua orang personel tim yang mengawasi dari jarak yang tidak
terlalu dekat. Desain untuk bilik asmara hampir sama seperti tenda
pengungsian, namun didesain lebih tertutup dan ukuran yang sesuai.
Jumlah bilik asmara yang didirikan di daerah pengungsian korban
gunung meletus Sinabung didirikan sejumlah 2 bilik asmara, dengan
pertimbangan 1 bilik asmara dapat digunakan untuk sekitar 981
pasangan suami-istri usia subur yang sah secara bergantian dengan
waktu yang sudah ditentukan sesuai dengan kebutuhan.Bilik asmara
yang berjumlah 2 bilik dapat digunakan sesuai data pasangan suami-
istri usia subur yang sah di pengungsian gunung meletus Sinabung yang
jumlahnya sebanyak 1674 pasangan.

57
BAB IV
PENUTUP

Menurut WHO, kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera


fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau
kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi,
fungsi dan prosesnya. Semua orang, termasuk mereka yang hidup dalam
situasi darurat bencana, berhak atas kesehatan reproduksi. Untuk
melaksanakan hak tersebut, penduduk yang terkena dampak harus memiliki
lingkungan yang memungkinkan, akses informasi, dan layanan kesehatan
reproduksi yang komprehensif.
Dalam situasi darurat bencana ini sangat penting untuk menyediakan
pelayanan kesehatan reproduksi sebab kesakitan dan kematian yang terkait
dengan sistem reproduksi merupakan persoalan kesehatan masyarakat yang
signifikan. Untuk itu perlu dilaksanakan langkah-langkah manajemen
bencana terkait kesehatan reproduksi.
Langkah-langkah tersebut meliputi identifikasi koordinator
penganggulangan bencana dalam bidang kesehatan reproduksi, pencegahan
dan mengatasi masalah akibat kekerasan seksual, pencegahan penularan
HIV/IMS, pencegahan peningkatan kesakitan dan kematian maternal serat
neonatal, perancanaan pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif
terintegrasi, dan pengadaan sarana bilik asmara.
Dalam melaksanakan komponen pelayanan Paket Pelayanan Awal
Minimum (PPAM) yang meliputi penyediaan layanan klinis untuk para
korban/penyintas perkosaan, mengurangi penularan HIV, mencegah
meningkatnya kesakitan dan kematian yang tinggi pada ibu dan bayi baru
lahir, Kelompok Kerja Antar Lembaga untuk Kesehatan Reproduksi dalam
situasi darurat telah merancang paket perlengkapan yang berisi obat-obatan
dan perlengkapan yang bertujuan untuk memfasilitasi pelaksanaan layanan
prioritas kesehatan reproduksi ini, yaitu Reproductive Health Kits (RH Kit).
RH kit dirancang untuk digunakan pada fase awal respon bencana dan
berisi supply yang cukup untuk jangka waktu tiga bulan untuk jumlah

58
penduduk yang berbeda, tergantung pada cakupan penduduk dari layanan
kesehatan untuk masing-masing kit.
Pada dasarnya kesehatan reproduksi merupakan suatu hak bagi semua
orang walaupun dalam keadaan darurat bencana. Oleh karena itu, perlu dibuat
tempat khusus untuk pelayanan kesehatan reproduksi di lokasi bencana.
Tempat ini ditujukan untuk seluruh korban bencana tidak hanya perempuan
atau orang dewasa saja, laki-laki dan anak-anak juga membutuhkan
perawatan mengenai kesehatan reporduksi selama berada di pengungsian.
Lokasi pelayanan kesehatan reproduksi sebaiknya dekat dengan pengungsian
penduduk. Agar petugas dapat memantau dengan mudah dan korban bencana
dapat mengakses lokasi tersebut dengan mudah.

59

Anda mungkin juga menyukai