Trauma Thorax
Trauma Thorax
KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 2
2.1 Anatomi Toraks ................................................................................. 2
2.2 Definisi Trauma Toraks .................................................................... 6
2.3 Epidemiologi Trauma Toraks ........................................................... 7
2.4 Klasifikasi Trauma Toraks ................................................................ 7
2.5.1 Trauma Tumpul Toraks............................................................ 8
2.5.2 Trauma Tajam Toraks .............................................................. 8
2.5 Patofisiologi Trauma Toraks ............................................................. 9
2.5.1 Mekanisme Trauma .................................................................. 9
2.5.2 Faktor yang Mempengaruhi Trauma Toraks........................... 9
2.6 Tatalaksana Trauma Toraks .............................................................. 10
2.7 Kelainan Akibat Trauma Toraks ....................................................... 12
2.7.1 Fraktur Iga .............................................................................. 12
2.7.2 Fail Chest ............................................................................... 15
2.7.3 Kontusio Paru ......................................................................... 16
2.7.4 Pneumotoraks ......................................................................... 20
2.7.5 Hematotoraks ......................................................................... 24
2.7.6 Tamponade Jantung ............................................................... 27
2.7.7 Cidera Trakea dan Bronkus .................................................... 29
2.7.8 Kontusio Miokard .................................................................. 30
2.7.9 Laserasi Pembuluh Darah Besar ............................................ 30
2.7.10 Ruptur Diafragma .................................................................. 33
BAB 3 PENUTUP ................................................................................................ 35
3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 36
3
4
DAFTAR GAMBAR
KATA PENGANTAR
Penulis
6
BAB 1
PENDAHULUAN
Toraks merupakan suatu area yang dibatasi di superior oleh thoracic inlet
dan inferior oleh thoracic outlet dengan batas luar adalah dinding toraks yang
disusun oleh vertebra torakal, tulang iga, sternum, otot, dan jaringan ikat (Assi et
al, 2012).
Kerangka toraks meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri
dari sternum, dua belas pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir
dianterior dalam segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang.
Tulang kosta tersebut berfungsi melindungi organ vital rongga toraks seperti
jantung, paru-paru, hati dan lien. Diafragma sebagai pembatas rongga toraks dan
rongga abdomen, memiliki bentuk seperti kubah dengan puncak menjorok ke
superior, sehingga sebagian rongga abdomen sebenarnya terletak di dalam “area”
toraks.
Trauma toraks merupakan suatu penyebab yang signifikan terhadap
morbiditas dan mortalitas baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Cidera
toraks menempati peringkat ketiga terbanyak pada kasus trauma akibat kecelakaan
lalu-lintas. Trauma toraks itu sendiri dapat menyebabkan kematian pada sekitar
25% pada trauma multipel, dan apabila disertai dengan cidera yang lain maka
angka kematian sekitar 50% pada pasien dengan trauma multipel. Keadaan ini
akibat dari adanya hipoksia dan hipovolemi (Dementriades, 2009).
Pada trauma toraks, hal yang terpenting adalah untuk mencegah akibat
terburuk, karena banyak sekali cidera pada toraks setelah beberapa jam menjadi
sangat fatal. Pengenalan terhadap trauma toraks serta penanganan yang cepat dan
tepat akan memberikan harapan hidup yang tinggi pada setiap pasien.
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.1
Anatomi Tulang Costae
(North Bristol NHS, 2018)
8
Gambar 2.2
Anatomi Otot – Otot Dinding Dada
(North Bristol NHS, 2018)
Gambar 2.3
Anatomi Toraks
(Assi et al, 2012)
9
Gambar 2.4
Vaskularisasi Toraks
(Wanek, 2004)
Gambar 2.5
Trauma Toraks
(www.trauma.org, 2015)
dengan hukum Newton II (kerusakan yang terjadi bergantung pada luas jaringan
tubuh yang menerima gaya dari trauma tersebut) (Labora, 2014).
b. Deselerasi
Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan.
Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma.
Kerusakan yang terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ dalam yang
mobile (seperti bronkus, sebagian aorta, organ visera, dsb) masih bergerak dan
gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding toraks/rongga tubuh lain
atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut (Labora, 2014).
c. Torsio dan Rotasi
Gaya torsio dan rotasi yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya
deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan
pengikat/fiksasi, seperti isthmus aorta, bronkus utama, diafragma atau atrium.
Akibat adanya deselerasi yang tiba-tiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau
terputar dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau porosnya (Labora, 2014).
f. Blast Injury
Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung
dengan penyebab trauma. Blast injury ini biasanya terjadi pada ledakan bom, hal
ini terjadi kaena gaya merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran
gelombang energi (Labora, 2014).
c. Arah Trauma
Arah gaya trauma atau lintasan trauma dalam tubuh juga sangat
menentukan dalam memperkirakan kerusakan organ atau jaringan yang terjadi.hal
ini seperti pada trauma yang terjadi akibat pantulan peluru dapat memiliki arah
atau lintasan peluru yang berbeda dari sumber peluru sehingga kerusakan atau
organ apa yang terkena sulit diperkirakan (Zulvikar, 2012).
Secondary Survey
Secondary survey hanya boleh dilakukan setelah primary survey telah
dilakukan dan resusitasi telah berjalan. Terkadang secondary survey dilakukan
setelah dilakukan operasi penyelamatan nyawa. Pemeriksaan lengkap head to toe
dilakukan mulai dari kepala, leher, toraks, abdomen, punggung, rectal dan vaginal
serta musculoskeletal.
Tertiary Survey
Tertiary survey dilakukan semi-elektif tergantung dari format konsultasi
trauma. Tujuan dari tertiary survey adalah untuk mendiagnosis cidera minor
(Ddemetriades, 2009).
Gambar 2.6
Struktur dan Komposisi Sela Iga
(Ellis, 2005)
blok nervus interkostal, analgesia intrapleura melalui chest tube dan blok
paravertebral toraks (Duan dkk, 2007).
Fraktur iga multipel dapat menyebabkan rasa nyeri, atelektasis dan gagal
napas. Diagnosis klinis fraktur iga didapatkan dari kelainan dada, pergerakan
fragmen, ekimosis dan juga pemeriksaan radiologi. Nyeri timbul pada saat
inspirasi dan pasien berusaha untuk mengurangi gerakan rongga dada yang
berakibat pada hipoventilasi. Mengurangi rasa nyeri juga menyebabkan
berkurangnya batuk dan dan napas dalam yang berakibat pada retensi sputum,
atelektasis dan penurunan kapasitas residu fungsional. Faktor–faktor tersebut
menyebabkan penurunan lung compliance, perubahan V/Q ˙mismatch dan
hipoksemia (Duan dkk, 2007).
Pemeriksaan foto toraks harus dilakukan, bukan hanya untuk
mengidentifikasi jumlah dan beratnya fraktur iga, tetapi juga untuk menilai
apakah ada pneumotoraks, hemotoraks ataupun efusi pleura. Analgesia yang
adekuat dan fisioterapi merupakan hal yang penting dalam mencegah komplikasi.
Berkurangnya rasa nyeri akan memperbaiki pola pernapasan dan efektifitas batuk.
Jika batuk tidak adekuat maka dapat dibantu dengan aspirasi kateter atau
bronchial toilet dengan bronkoskopi dan jika diperlukan dapat dilakukan intubasi
(Duan dkk, 2007).
gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail chest
mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding
dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan
tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga
atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis. Dengan foto toraks akan lebih
jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multiple, akan terapi terpisahnya sendi
costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya
hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis flail chest.
Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang
dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka ada kerusakan
parenkim paru pada flail chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan
ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus
dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitive ditujukan
untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta
pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua
penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan
hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan
untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita
tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan,
tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu
indikasi waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi (Brunicardi, 2004).
Gambar 2.7
Flail Chest
(London Health Sciences Centre, 2018)
20
adalah sekitar satu banding satu. Volume udara yang masuk alveoli (ventilasi)
adalah sama dengan darah dalam kapiler di sekitar perfusi. Rasio ini menurun
pada kontusio paru, alveoli terisi cairan, tidak dapat terisi dengan udara, oksigen
tidak sepenuhnya berikat hemoglobin, dan darah meninggalkan paru-paru tanpa
sepenuhnya mengandung oksigen. Kurangnya inflasi paru-paru, hasil dari
ventilasi mekanis tidak memadai atau yang terkait, cedera seperti flail chest, juga
dapat berkontribusi untuk ketidakcocokan ventilasi/perfusi. Sebagai
ketidakcocokan antara ventilasi dan perfusi, saturasi oksigen darah akhirnya
berkurang. Vasokonstriksi pada hipoksik paru, di mana pembuluh darah di dekat
alveoli yang hipoksia mengerut (diameter menyempit) sebagai respons terhadap
kadar oksigen rendah, dapat terjadi pada kontusio paru. Para resistensi vaskular
meningkat di bagian paru-paru yang memar, yang mengarah pada penurunan
jumlah darah yang mengalir ke dalamnya, mengarahkan darah ke daerah yang
lebih baik berventilasi. Meskipun, mengurangi aliran darah ke alveoli tak
mendapat udara adalah cara untuk mengimbangi kenyataan bahwa darah yang
lewat tak mendapat udara, alveoli tidak teroksigenasi, yang oksigenasi darah tetap
lebih rendah dari normal. Jika sudah parah cukup, hipoksemia yang dihasilkan
dari cairan dalam alveoli tidak dapat dikoreksi hanya dengan memberikan oksigen
tambahan, masalah ini adalah penyebab sebagian besar kematian yang diakibatkan
trauma (Simon et al, 2006).
Tanda dan gejala dari kontusio paru adalah takikardi, dispneu,
bronchoorhea (sekresi bercampur darah), takipneu, hipoksia, perubahan
kesadaran, serta keadaan ini dapat timbul dan memburuk dalam 24-72 jam setelah
trauma (Simon et al, 2006). Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah
berupa pemeriksaan AGD, rontgent toraks, CT-Scan, Serta USG (Rachmad,
2002).
22
Gambar 2.8
Rontgen Toraks pada Kontusio Paru
(London Health Sciences Centre, 2018)
Gambar 2.9
CT-Scan pada Kontusio Paru
(London Health Sciences Centre, 2018)
2.7.4 Pneumotoraks
Pneumotoraks merupakan adanya udara di antara cavum pleura (tempat
antara diding dada dan paru). Penumotoraks itusendiri dibagi berdasarkan
etiologinya menjadi pneumotoraks spontan dan traumatik pneumotoraks.
Penumotoraks spontan itu sendiri dibagi lagi menjadi primer dan sekunder.
Traumatik pneumotoraks dapat terjadi karena adanya blunt trauma atau luka
penetrasi pada dinding toraks. Selain itu dapat juga diakibatkan karena trauma
iatrogenik (Slobodan, 2015).
24
Gambar 2.10
Rontgen Pneumotoraks Bilateral
(Slobodan, 2015)
darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada
oksigenasi. Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang
terkena dan pada perkusi hipersonor. Fototoraks pada saat ekspirasi membantu
menegakkan diagnosis (Rachmad, 2002).
Pada pneumotoraks terapi terbaik adalah dengan pemasangan chest tube
pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Namun apabila
hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja maka akan sangat berrisiko. Sebuah
selang dada dipasang dan dihubungan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap,
dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-
paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan
pada penderita dengan peneumotoraks traumatic atau pada penderita yang
mempunyai resiko terjadinya dapat menjadi life thereatening tension
pneumotorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan
positif diberikan. Toraks penderita harus dikompresi sebelum penderita
ditransportasi/rujuk (Rachmad, 2002).
petrolatum gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan
dilanjutkan dengan penjahitan luka (Rachmad, 2002).
Gambar 2.11
Penanganan Sementara Open Pneumothorax
(Slide Player, 2018)
b. Tension Pneumothorax
Tension Pneumothorax adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura
yang positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura
viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea,
bronkus serta percabangannya dan selanjutnya menuju pleura melalui fistel yang
terbuka (Alsagaff dan Mukty, 2009). Waktu ekspirasi udara di dalam ronggal
pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama
maakin tinggi dan melebihi tekanan atmosfir. Udara yang terkumpul di rongga
pleura ini dapat menekan paru sehingga dapat menyebabkan gagal napas (Sudoyo
et al, 2006). Selain itu, tekanan udara tersebut dapat menyebabkan mediastinum
terdorong ke sisi yang berlawanan dan dapat menghambat pengembalian darah
vena ke jantung (venous return), hal ini yang mengakibatkan kematian serta akan
menekan paru kontralateral (Sjamsuhidayat dan de Jong, 2005).
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi
penggunaan ventilasi mekanik atau ventilator dengan ventilasi tekanan positif
pada penderita dengan kerusakan pada pleura visceral. Tension pneumothoraks
dapat timbul sebagai komplikasi dari pneumotoraks sederhana akibat trauma
toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau
setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna.
Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan
tension pneumothoraks, jika salah cara menutup defek ata luka tersebut dengan
27
Gambar 2.12
Tube Thoracostomy Drainage
(Slobodan et al, 2015)
2.7.5 Hematotoraks
Hematotoraks adalah adanya kumpulan darah di dalam ruang antara
dinding dada dan paru (rongga pleura). Sumber darah mungkin dari dinding dada,
parenkim paru, jantung, atau pembuluh darah besar. Kondisi ini biasanya
merupakan akibat dari trauma tumpul atau tajam serta bisa merupakan komplikasi
dari beberapa penyakit (Guyton dan Hall, 2007).
Penyebab utama hematotoraks adalah trauma, seperti luka penetrasi pada paru,
jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada. Trauma tumpul pada dada
dapat menyebabkan hematotoraks karena laserasi pembuluh darah internal
(Mancini, 2011).
Hematotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks,
sebaiknya diterapi dengan selang dada berukuran besar. Selang dada tersebut akan
mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi risiko terbentuknya bekuan
darah di dalam rongga pleura dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan
darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya
penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun
banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada
penderita hematotoraks, status fisiologi dan volume darah yang keluar dari selang
dada merupakan faktor utama. Hematotoraks kecil, yaitu yang tampak sebagai
bayangan kurang dari 15% pada foto rontgen, cukup diobservasi dan tidak
memerlukan tindakan khusus. Hematotoraks sedang, artinya tampak bayangan
yang menutup 15-35% pada foto rontgen, dipungsi dan penderita diberi transfusi.
Pada pungsi sedapat mungkin dikeluarkan semua cairan. Jika ternyata terjadi
kambuhan, perlu dipasang penyalir sekat air. Pada hematotoraks besar (lebih dari
35%) dipasang penyalir sekat air dan diberikan transfuse (Sjamsuhidayat dan de
Jong, 2005).
Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada
sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2
sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi
bedah harus dipertimbangkan. Hematotoraks masif ( >750 cc) yang terjadi kurang
dari satu jam setelah trauma adalah indikasi untuk operasi. Sebelum operasi
sebaiknya ditentukan organ mana yang dicurigai sehingga teknik pembedahan
dapat disesuaikan. Perdarahan yang terjadi akibat fraktur iga biasanya tidak
banyak dan dapat berhenti sendiri. Namun harus tetap diwaspadai akan adanya
perdarahan dari arteri interkostalis yang robek (Rachmad, 2002).
Apabila perdarahan yang terjadi lebih dari 1.500 cc di dalam rongga pleura
maka disebut hematotoraks massif. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus
yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal
ini juga dapat disebabkan trauma tumpul. Kehilangan darah menyebabkan
hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya hipovolemia berat, tetapi
kadang dapat ditemukan distensi vena leher, jika disertai tension pneumothorax.
Meskipun jarang namun dapat terjadi efek mekanik dari darah yang terkumpul di
30
pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat
tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka akan sangat mirip dengan
tamponade jantung. Tanda kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat
inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan
menunjukkan adanya temponande jantung. PEA pada keadaan tidak ada
hipovolemia dan tension pneumothorax harus dicurigai adanya temponande
jantung. Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi
dapat ditemukan pada berbagai keadaan lain. Pemeriksaan USG (Echocardiografi)
merupakan metode non invasif yang dapat membantu penilaian pericardium. Pada
penderita trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan
pemeriksaan USG abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung
perikard, dengan syarat tidak menghambat resusitasi. Evakuasi cepat darah dari
perikard merupakan indikasi bila penderita dengan syok hemoragik tidak
memberikan respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade jantung
(Rachmad, 2002).
Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari perikard adalah dengan
perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung pada
penderita yang tidak memberikan respon terhadap usaha resusitasi, merupakan
indikasi untuk melakukan tindakan perikardiosintesis melalui metode subksifoid.
Tindakan alternatif lain, adalah melakukan operasi jendela perikad atau
torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan
lebih baik dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan.
Walaupun kecurigaan besar akan adanya tamponade jantung, pemberian cairan
infus awal masih dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan cardiac
output untuk sementara, sambil melakukan persiapan untuk tindakan
perikardiosintesis melalui subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-
sheated needle atau insersi dengan teknik seldinger merupakan cara paling baik,
tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari
kantung perikard. Monitoring elektrokardiografi dapat menunjukkan tertusuknya
miokard (peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis
menyentuh epikardium) atau terjadinya disritmia (Rachmad, 2002).
32
Gambar 2.13
Pericardiosintesis
(Netterimages, 2018 )
Gambar 2.14
Rontgent Toraks
Mediastinum yang Melebar Disebabkan oleh Ruptur Aorta
(Dementriades, 2009)
Gambar 2.15
CT-Scan Toraks
Stent/Graft Management of the Aortic
(Dementriades, 2009)
Gambar 2.16
Stent/Graft
(Dementriades, 2009)
36
Gambar 2.17
Rontgen Toraks
37