Anda di halaman 1dari 35

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 2
2.1 Anatomi Toraks ................................................................................. 2
2.2 Definisi Trauma Toraks .................................................................... 6
2.3 Epidemiologi Trauma Toraks ........................................................... 7
2.4 Klasifikasi Trauma Toraks ................................................................ 7
2.5.1 Trauma Tumpul Toraks............................................................ 8
2.5.2 Trauma Tajam Toraks .............................................................. 8
2.5 Patofisiologi Trauma Toraks ............................................................. 9
2.5.1 Mekanisme Trauma .................................................................. 9
2.5.2 Faktor yang Mempengaruhi Trauma Toraks........................... 9
2.6 Tatalaksana Trauma Toraks .............................................................. 10
2.7 Kelainan Akibat Trauma Toraks ....................................................... 12
2.7.1 Fraktur Iga .............................................................................. 12
2.7.2 Fail Chest ............................................................................... 15
2.7.3 Kontusio Paru ......................................................................... 16
2.7.4 Pneumotoraks ......................................................................... 20
2.7.5 Hematotoraks ......................................................................... 24
2.7.6 Tamponade Jantung ............................................................... 27
2.7.7 Cidera Trakea dan Bronkus .................................................... 29
2.7.8 Kontusio Miokard .................................................................. 30
2.7.9 Laserasi Pembuluh Darah Besar ............................................ 30
2.7.10 Ruptur Diafragma .................................................................. 33
BAB 3 PENUTUP ................................................................................................ 35
3.1 Kesimpulan ......................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 36

3
4

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Tulang Costae ..................................................................... 3


Gambar 2.2 Anatomi Otot-Otot Dinding Dada ..................................................... 4
Gambar 2.3 Anatomi Torax .................................................................................. 4
Gambar 2.4 Vaskularisasi Toraks ......................................................................... 6
Gambar 2.5 Trauma Toraks .................................................................................. 7
Gambar 2.6 Struktur dan Komposisi Sela Iga ....................................................... 13
Gambar 2.7 Flail Chest ......................................................................................... 16
Gambar 2.8 Rontgen Toraks pada Kontusio Paru ................................................. 18
Gambar 2.9 CT-Scan pada Kontusio Paru ............................................................ 19
Gambar 2.10 Rontgen Pneumotoraks Bilateral ..................................................... 20
Gambar 2.11 Penanganan Sementara Open Pneumothorax ................................. 22
Gambar 2.12 Tube Thoracostomy Drainage ......................................................... 24
Gambar 2.13 Perdarahan Epidural dengan Pencitraan CT Scan ........................... 19
Gambar 2.14 Pericardiosintesis ............................................................................. 29
Gambar 2.15 Rontgen Toraks, Mediastinum yang Melebar Disebabkan
oleh Ruptur Aorta............................................................................ 31
Gambar 2.16 CT-Scan Toraks, Stent/Graft Management of the Aortic ................ 32
Gambar 2.17 Stent/Graft ....................................................................................... 24
Gambar 2.18 Rontgen Toraks, Ruptur Diafragma, Hernia dari Gaster................33
5

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, shalawat
serta salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para
sahabatnya. Syukur Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan referat dan
laporan kasus yang berjudul “TRAUMA TORAKS”.
Dalam penyelesaian referat ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada :
1. dr. Farid, Sp.Rad
2. dr. Qonita, Sp.Rad
Referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan hati penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan saran dan kritik yang
membangun. Semoga referat ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi
semua pihak.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jombang, 7 Oktober 2018

Penulis
6

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Toraks merupakan suatu area yang dibatasi di superior oleh thoracic inlet
dan inferior oleh thoracic outlet dengan batas luar adalah dinding toraks yang
disusun oleh vertebra torakal, tulang iga, sternum, otot, dan jaringan ikat (Assi et
al, 2012).
Kerangka toraks meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri
dari sternum, dua belas pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir
dianterior dalam segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang.
Tulang kosta tersebut berfungsi melindungi organ vital rongga toraks seperti
jantung, paru-paru, hati dan lien. Diafragma sebagai pembatas rongga toraks dan
rongga abdomen, memiliki bentuk seperti kubah dengan puncak menjorok ke
superior, sehingga sebagian rongga abdomen sebenarnya terletak di dalam “area”
toraks.
Trauma toraks merupakan suatu penyebab yang signifikan terhadap
morbiditas dan mortalitas baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Cidera
toraks menempati peringkat ketiga terbanyak pada kasus trauma akibat kecelakaan
lalu-lintas. Trauma toraks itu sendiri dapat menyebabkan kematian pada sekitar
25% pada trauma multipel, dan apabila disertai dengan cidera yang lain maka
angka kematian sekitar 50% pada pasien dengan trauma multipel. Keadaan ini
akibat dari adanya hipoksia dan hipovolemi (Dementriades, 2009).
Pada trauma toraks, hal yang terpenting adalah untuk mencegah akibat
terburuk, karena banyak sekali cidera pada toraks setelah beberapa jam menjadi
sangat fatal. Pengenalan terhadap trauma toraks serta penanganan yang cepat dan
tepat akan memberikan harapan hidup yang tinggi pada setiap pasien.
7

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Toraks


Toraks merupakan rongga pada tubuh manusia yang berbentuk kerucut,
pada bagian bawah lebih besar dari pada bagian atas dan pada bagian belakang
lebih panjang dari pada bagian depan. Organ yang terletak dalam rongga dada
yaitu esophagus, paru, hati, jantung, pembuluh darah dan saluran limfe (Assi et al,
2012).
Kerangka toraks meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri
dari sternum, dua belas pasang kosta, sepuluh pasang kosta yang berakhir
dianterior dalam segmen tulang rawan dan dua pasang kosta yang melayang.
Tulang kosta tersebut berfungsi melindungi organ vital rongga toraks seperti
jantung, paru-paru, hati dan lien (Assi et al, 2012).

Gambar 2.1
Anatomi Tulang Costae
(North Bristol NHS, 2018)
8

Gambar 2.2
Anatomi Otot – Otot Dinding Dada
(North Bristol NHS, 2018)

Secara anatomis rongga toraks di bagian bawah berbatasan dengan rongga


abdomen yang dibatasi oleh diafragma dan batas atas dengan leher dapat diraba
insisura jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada yaitu muskulus latisimus
dorsi, muskulus trapezius, muskulus rhombhoideus mayor dan minor, muskulus
seratus anterior, dan muskulus interkostalis. Tulang dinding dada terdiri dari
sternum, vertebra torakalis, iga dan scapula (Snell, 2006).

Gambar 2.3
Anatomi Toraks
(Assi et al, 2012)
9

Rongga toraks dapat dibagi menjadi bagian tengah yang disebut


mediastinum dan bagian lateral yang ditempati pleura dan paru. Paru diliputi oleh
selapis membran tipis yang disebut pleura viseralis, yang beralih di hilus
pulmonalis (tempat saluran udara utama dan pembuluh darah masuk ke paru-paru)
menjadi pleura parietalis dan menuju ke permukaan dalam dinding toraks. Dengan
cara ini terbentuk dua kantung membranosa yang dinamakan kavitas pleuralis
pada setiap sisi toraks, diantara paru-paru dan dinding thorax. Dada berisi organ
vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding
dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu muskulus
interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga
udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus (Snell, 2006).
Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan
limfatik. Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal
kebocoran udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif,
pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama – sama dengan
pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam toraks dan diafragma. Pleura
sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi
paru-paru normal, hanya ruang potensial yang ada. Diafragma bagian muskular
perifer berasal dari bagian bawah iga keenam kartilago kosta, dari vertebra
lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian muskuler melengkung
membentuk tendo sentral. Nervus frenikus mempersarafi motorik dari interkostal
bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi papilla mamae, turut
berperan dalam ventilasi paru – paru selama respirasi biasa/tenang sekitar 75%
(Snell, 2006).
10

Gambar 2.4
Vaskularisasi Toraks
(Wanek, 2004)

2.2 Definisi Trauma Toraks


Trauma toraks adalah luka atau cedera mengenai rongga toraks yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding toraks ataupun isi dari kavum toraks yang
disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan
gawat toraks akut. Trauma toraks dapat berupa trauma yang terisolasi atau dapat
berupa politrauma. Menurut etiologinya dibagi menjadi trauma tumpul dan trauma
tajam. Trauma yang spesifik yaitu berupa pulmonary barotraumas, luka bakar
pada cabang trakeobronkial yang diakibatkan dari aspirasi, cidera paru karena
ledakan, bahaya parenkim paru karena aspirasi, serta trauma iatrogenik
(Milisavljevic, 2012).
Fraktur pada costae dapat disebabkan akibat gaya langsung pada dinding
toraks dan dapat menyebabkan bahaya bagi jaringan serta organ dada termasuk
kontusio, laserasi maupun ruptur, sebagai tambahan gaya trauma dapat berakibat
secara tidak langsung seperti embolisasi yang terjadi karena masuknya udara paru
yang masuk kedalam vena pulmonalis setelah terjadinya laserasi paru
(Milisavljevic, 2012).
11

Gambar 2.5
Trauma Toraks
(www.trauma.org, 2015)

2.3 Epidemiologi Trauma Toraks


Trauma toraks merupakan satu dari empat kematian karena trauma yang
terjadi di Amerika Utara, secara keseluruhan angka mortalitas trauma toraks
adalah 10 %. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan
banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan
diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul toraks dan hanya 15-
30% dari trauma tembus toraks yang membutuhkan tindakan torakotomi.
Mayoritas kasus trauma toraks dapat diatasi dengan tindakan teknik prosedur yang
akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus
trauma toraks (Brunicardi, 2004).

2.4 Klasifikasi Trauma Toraks


Trauma toraks dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu trauma
tajam dan trauma tumpul.
1. Tauma tajam
 Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat
penyebab trauma.
 Terutama akibat tusukan benda tajam seperti pisau, kaca
ataupun peluru.
12

 Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi.


2. Trauma tumpul
 Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.
 Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga,
crush atau blast injuries.
 Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio
paru.
 Sekitar 10% yang memerlukan operasi torakotomi (Zulvikar,
2012).
2.4.1 Trauma Tumpul Toraks
Trauma tumpul toraks lebih sering terjadi apabila dibandingkan dengan
trauma tembus toraks kurang lebih 90% dari total seluruh kejadian trauma toraks.
Dua mekanisme yang terjadi pada trauma tumpul adalah transfer energy secara
indirek pada dinding dada dan organ toraks serta deselerasi deferensial, yang
dialami oleh organ toraks ketika terjadinya impak. Benturan yang bersifat direk
bila mengenai diding toraks dapat menyebabkan luka robek dan kerusakan dari
jaringan lunak dan tulang seoerti tulang costae. Cidera toraks dengan tekanan
yang kuat dapat menyebabkan peningkatan tekanan intratorakal sehingga
menyebabkan ruptur dari organ-organ yang berisi cairan atau gas (Zulvikar,
2012).
2.4.2 Tauma Tajam Toraks
Trauma tajam toraks biasanya diakibatkan oleh tekanan mekanikal yang
dikenal secara direk dan berlaku tiba-tiba pada suatu area fokal. Misalnya pisau
atau proyektil akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan stretching dan
crushing serta biasanya menyebabkan batas luka yang sama dengan bahan yang
tembus pada jaringan. Berat ringannya cidera internal yang berlaku tergantung
pada organ yang telah terkena dan seberapa vital organ tersebut (Zulvikar, 2012).

2.5 Patofisiologi Trauma Toraks


2.5.1 Mekanisme Trauma
a. Akselerasi
Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma.
Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi), sesuai
13

dengan hukum Newton II (kerusakan yang terjadi bergantung pada luas jaringan
tubuh yang menerima gaya dari trauma tersebut) (Labora, 2014).
b. Deselerasi
Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan.
Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma.
Kerusakan yang terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ dalam yang
mobile (seperti bronkus, sebagian aorta, organ visera, dsb) masih bergerak dan
gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding toraks/rongga tubuh lain
atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut (Labora, 2014).
c. Torsio dan Rotasi
Gaya torsio dan rotasi yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya
deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan
pengikat/fiksasi, seperti isthmus aorta, bronkus utama, diafragma atau atrium.
Akibat adanya deselerasi yang tiba-tiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau
terputar dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau porosnya (Labora, 2014).
f. Blast Injury
Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung
dengan penyebab trauma. Blast injury ini biasanya terjadi pada ledakan bom, hal
ini terjadi kaena gaya merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran
gelombang energi (Labora, 2014).

2.5.2 Faktor yang Mempengaruhi Trauma Toraks


a. Sifat Jaringan Tubuh
Meskipun jenis jaringan tubuh bukan merupakan mekanisme dari
perlukaan, namun sangat menentukan akibat yang diterima tubuh akibat trauma.
Seperti adanya fraktur iga pada bayi menunjukkan trauma yang relatif berat
dibandingkan bila ditemukan fraktur pada orang dewasa. Atau tusukan pisau
sedalam 5cm akan membawa akibat berbeda pada orang gemuk dan orang kurus,
berbeda pada wanita yang memiliki payudara disbanding laki-laki, dan sebagainya
(Zulvikar, 2012).
b. Lokasi
Lokasi tubuh dimana terjadi trauma sangat menentukan jenis organ yang
terjadi kerusakan, terutama pada trauma tajam (Zulvikar, 2012).
14

c. Arah Trauma
Arah gaya trauma atau lintasan trauma dalam tubuh juga sangat
menentukan dalam memperkirakan kerusakan organ atau jaringan yang terjadi.hal
ini seperti pada trauma yang terjadi akibat pantulan peluru dapat memiliki arah
atau lintasan peluru yang berbeda dari sumber peluru sehingga kerusakan atau
organ apa yang terkena sulit diperkirakan (Zulvikar, 2012).

2.6 Tatalaksana Trauma Toraks


Prinsip penatalaksanaan dari trauma toraks adalah primary survey dan
secondary survey. Standar pemeriksaan diagnosis hanya dilakukan pada pasien
stabil. Serta yang lebih penting adalah penanganan pasien tidak untuk penegakan
diagnosis namun terutama adalah untuk menemukan masalah yang mengancam
nayawa dan melakukan tindakan penyelamatan nyawa.
Primary Survey
a. Airway
Dengan memperhatikan patensi airway, dengarkan suara napas,
serta perhatikan apakah ada retraksi otot pernapasan dan gerakan
dinding dada. Penangan yang dapat dilakukan adalah inspeksi
orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan jaw-
thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan napas. Lakukan
reposisi kepala serta pasang collar-neck. Dapat dilakukan
criothyroidotomy atau tracheostomy ataupun intubasi bila diperlukan.
b. Breathing
Pemeriksaan frekuensi napas sangat diperlukan, perhatikan gerakan
respirasi, palpasi toraks, serta auskultasi untuk mendengarkan bunyi
napas. Penanganan yang dapat dilakukan adalah bantuan ventilasi
apabila diperlukan serta melakukan tindakan bedah emergensi untuk
atasi tension pneumothorax, open pneumothorax, hematotoraks,
ataupun flail chest.
c. Circulation
Periksa frekuensi denyut jantung serta denyut nadi, tekanan darah,
pulse oksimetri, serta pemeriksaan vena leher dan warna kulit apakah
ada cyanosis atau tidak. Penanganna yang dapat dilakukan adalah
15

resusitasi cairan dengan memasang dua IV lines, torakotomi emergensi


bila diperlukan, serta operasi vaskular emergensi.
d. Disability
Periksa kesadaran pasien dengan menggunakan Glasgow Coma Scale,
serta periksa keadaan pupil meliputi ukuran dan refleknya.
e. Exposure/Environtment Control
Buka baju pasien untuk mengevaluasi keseluruhan tubuh pasien, jaga
agar pasien tetap hangat dengan selimut dan cairan infus hangat karena
pasien dengan trauma sangat mudah mengalami hipotermi dengan
cepat (pada kehilangan darah yang banyak, pasien usia tua, serta anak-
anak memiliki risiko tinggi untuk terjadi hipotermi).

Secondary Survey
Secondary survey hanya boleh dilakukan setelah primary survey telah
dilakukan dan resusitasi telah berjalan. Terkadang secondary survey dilakukan
setelah dilakukan operasi penyelamatan nyawa. Pemeriksaan lengkap head to toe
dilakukan mulai dari kepala, leher, toraks, abdomen, punggung, rectal dan vaginal
serta musculoskeletal.

Tertiary Survey
Tertiary survey dilakukan semi-elektif tergantung dari format konsultasi
trauma. Tujuan dari tertiary survey adalah untuk mendiagnosis cidera minor
(Ddemetriades, 2009).

2.7 Kelainan Akibat Trauma Toraks


2.7.1 Fraktur Iga
Tulang iga terdiri 12 pasang, 7 pasang (iga ke-1sampai ke-7) langsung
berhubungan dengan sternum (true ribs), 3 pasang (iga ke-8 sampai ke-10) di
bagian anterior menyatu di sternum (false ribs) dan 2 pasang (iga ke-11 dan ke-
12) di bagian anterior bebas, tidak menyatu dengan sternum (floating ribs). Saat
inspirasi iga ke-1 relatif tetap tidak bergerak, iga ke-2 sampai ke-6 bergerak ke
atas dan ke depan (diameter antero-posterior rongga toraks bertambah), iga ke-7
sampai ke-10 bergerak ke atas dan ke luar (meningkatkan diameter lateral rongga
toraks). Di antara tulang iga terdapat muskulus interkostalis, arteri, vena dan
16

nervus interkostalis. Rongga toraks di bagian puncak (apeks) mengecil


(mengerucut) berukuran lebar 10 cm dan jarak antero-posterior 5 cm membentuk
suatu kubah (thoracic inlet). Daerah ini berisi organ penting yang dilindungi oleh
tulang iga-1 serta manubrium sterni, vertebra torakal ke-1 dan klavikula. Di dalam
thoracic inlet berisi pleksus brakialis, arteri dan vena subklavia, vena kava
superior, nervus frenikus, duktus torasikus, esofagus, dan trakea (Craven, 2004).
Iga merupakan komponen dari dinding toraks yang paling sering
mengalami trauma, perlukaan pada iga sering bermakna karena nyeri pada
pergerakan akibat terbidainya iga terhadap dinding toraks dapat menyebabkan
gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif untuk mengeluarkan sekret dapat
mengakibatkan insiden atelektasis dan pneumonia serta dapat disertai timbulnya
penyakit paru-paru. Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh
benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada
asa fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma adalah iga bagian
tengah yaitu iga 4-9 (Brunicardi, 2004).
Trauma iga banyak terjadi pada pengendara kendaraan bermotor roda dua
akibat trauma tumpul toraks. Kelainan yang sering dijumpai yaitu fraktur iga yang
hampir mencapai 50%. Selain itu penggunaan sabuk pengaman pada kendaraan
roda empat atau lebih juga sebagai penyebab terjadinya trauma toraks berupa
fraktur sternum. Fraktur iga baik tunggal maupun multipel juga terjadi pada orang
tua dengan insidens sekitar 12%. Insidens sesungguhnya fraktur iga masih belum
diketahui dan diperkirakan 50% fraktur iga tidak terdeteksi dengan foto toraks
(Weinberg dan Croce, 2008).
17

Gambar 2.6
Struktur dan Komposisi Sela Iga
(Ellis, 2005)

Biasanya penatalaksanaan fraktur iga seperti stabilisasi dengan


pembedahan, tidak langsung pada frakturnya karena fraktur iga cenderung
sembuh dengan hasil yang baik dalam 10 sampai 14 hari. Terapi ditujukan kepada
pencegahan terjadinya masalah gangguan respirasi. Kerusakan paru dapat terjadi
akibat rasa nyeri yang mengganggu pulmonary toilet serta kontusio paru atau
kombinasi keduanya. Terapi isinial yang diberikan berupa mengatasi rasa nyeri
yang timbul, fisioterapi dada dan mobilisasi. Modaliti untuk mengatasi rasa nyeri
berupa terapi sistemik dengan memberikan narkotik, obat antiinflamasi nonsteroid
(OAINS) dan terapi regional seperti blok tulang iga setempat, pemasangan chest
tube dan analgesia epidural (Duan dkk, 2007).
Rasa nyeri juga dapat diatasi dengan pemberian narkotik intravena, tetapi
dapat menyebabkan sedasi, penekanan batuk dan depresi pernapasan yang
mempengaruhi pulmonary toilet. Hal ini sebaiknya dihindari pemakaiannya pada
orang tua karena dapat menyebabkan pneumonia obstruksi. Analgesia epidural
banyak digunakan sebagai terapi regional untuk mengatasi rasa nyeri pada dinding
dada. Meskipun invasif tindakan ini lebih efektif dalam memperbaiki pulmonary
toilet. Modalitas regional lain untuk mengatasi rasa nyeri regional adalah dengan
18

blok nervus interkostal, analgesia intrapleura melalui chest tube dan blok
paravertebral toraks (Duan dkk, 2007).
Fraktur iga multipel dapat menyebabkan rasa nyeri, atelektasis dan gagal
napas. Diagnosis klinis fraktur iga didapatkan dari kelainan dada, pergerakan
fragmen, ekimosis dan juga pemeriksaan radiologi. Nyeri timbul pada saat
inspirasi dan pasien berusaha untuk mengurangi gerakan rongga dada yang
berakibat pada hipoventilasi. Mengurangi rasa nyeri juga menyebabkan
berkurangnya batuk dan dan napas dalam yang berakibat pada retensi sputum,
atelektasis dan penurunan kapasitas residu fungsional. Faktor–faktor tersebut
menyebabkan penurunan lung compliance, perubahan V/Q ˙mismatch dan
hipoksemia (Duan dkk, 2007).
Pemeriksaan foto toraks harus dilakukan, bukan hanya untuk
mengidentifikasi jumlah dan beratnya fraktur iga, tetapi juga untuk menilai
apakah ada pneumotoraks, hemotoraks ataupun efusi pleura. Analgesia yang
adekuat dan fisioterapi merupakan hal yang penting dalam mencegah komplikasi.
Berkurangnya rasa nyeri akan memperbaiki pola pernapasan dan efektifitas batuk.
Jika batuk tidak adekuat maka dapat dibantu dengan aspirasi kateter atau
bronchial toilet dengan bronkoskopi dan jika diperlukan dapat dilakukan intubasi
(Duan dkk, 2007).

2.7.2 Flail Chest


Flail Chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai
kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena
fraktur iga multiple pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis
fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan
gangguan pada pergerakan dinding daad. Jika kerusakan parenkin paru di
bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang makan akan menyebabkan
hipoksia yang serius (Brunicardi, 2004).
Kesulitan utama pada kelainan flail chest yatu trauma pada parenkim paru
yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidakstabilan dinding dada
menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi,
efek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya
hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan
19

gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail chest
mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding
dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan
tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga
atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis. Dengan foto toraks akan lebih
jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multiple, akan terapi terpisahnya sendi
costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya
hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis flail chest.
Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang
dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka ada kerusakan
parenkim paru pada flail chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan
ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus
dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitive ditujukan
untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta
pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua
penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan
hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan
untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita
tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan,
tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu
indikasi waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi (Brunicardi, 2004).

Gambar 2.7
Flail Chest
(London Health Sciences Centre, 2018)
20

2.7.3 Kontusio Paru


Kontusio paru merupakan cidera fokal dengan edem, perdarahan alveolar,
dan intertisial. Merupakan suatu memar atau peradangan pada paru yang dapat
terjadi pada cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda
berat (Simon et al, 2006).
Kontusio paru biasanya terjadi karena kecelakaan lalu lintas, trauma
tumpul dengan fraktur Iga yg multiple, cidera ledakan atau gelombang kejut yang
terkait dengan trauma penetrasi, flail chest, trauma tajam dengan mekanisme
perdarahan pada parenkim paru, serta luka tembak. Organ yang paling rentan
terhadap cedera ledakan adalah mereka yang mengandung gas, seperti paru-paru
(Simon et al, 2006).
Kontusio Paru menghasilkan perdarahan dan kebocoran cairan ke dalam
jaringan paru-paru, yang dapat menjadi kaku dan kehilangan elastisitas normal.
Kandungan air dari paru-paru meningkat selama 72 jam pertama setelah cidera,
berpotensi menyebabkan edema paru pada kasus yang lebih serius. Selain itu,
memar paru berkembang dari waktu ke waktu dan dapat menyebabkan hipoksia.
Perdarahan dan edema, robeknya parenkim paru menyebabkan cairan kapiler
bocor ke dalam jaringan di sekitarnya. Membran antara alveoli dan kapiler robek
dan kerusakan membran kapiler-alveolar dan pembuluh darah kecil menyebabkan
darah dan cairan bocor ke dalam alveoli dan ruang interstisial dari paru-paru
Dengan trauma yang lebih parah, ada sejumlah besar edema, perdarahan, dan
robeknya alveoli. memar paru ditandai oleh microhemorrhages (pendarahan kecil)
yang terjadi ketika alveoli yang traumatis dipisahkan dari struktur saluran napas
dan pembuluh darah. Darah awalnya terkumpul dalam ruang interstisial, dan
kemudian edema terjadi oleh satu atau dua jam setelah cedera. Sebuah area
perdarahan di paru-paru yang mengalami trauma, umumnya dikelilingi oleh
daerah edema. Dalam pertukaran gas yang normal, karbon dioksida berdifusi
melintasi endotelium dari kapiler, ruang interstisial, dan di seluruh epitel alveolar,
oksigen berdifusi ke arah lain. Akumulasi cairan mengganggu pertukaran gas, dan
dapat menyebabkan alveoli terisi dengan protein dan robek karena edema dan
perdarahan. Hasil akhir dari kontusio paru ini dapat menyebabkan
ventilasi/perfusi yang mengalami mismatch, biasanya rasio ventilasi perfusi
21

adalah sekitar satu banding satu. Volume udara yang masuk alveoli (ventilasi)
adalah sama dengan darah dalam kapiler di sekitar perfusi. Rasio ini menurun
pada kontusio paru, alveoli terisi cairan, tidak dapat terisi dengan udara, oksigen
tidak sepenuhnya berikat hemoglobin, dan darah meninggalkan paru-paru tanpa
sepenuhnya mengandung oksigen. Kurangnya inflasi paru-paru, hasil dari
ventilasi mekanis tidak memadai atau yang terkait, cedera seperti flail chest, juga
dapat berkontribusi untuk ketidakcocokan ventilasi/perfusi. Sebagai
ketidakcocokan antara ventilasi dan perfusi, saturasi oksigen darah akhirnya
berkurang. Vasokonstriksi pada hipoksik paru, di mana pembuluh darah di dekat
alveoli yang hipoksia mengerut (diameter menyempit) sebagai respons terhadap
kadar oksigen rendah, dapat terjadi pada kontusio paru. Para resistensi vaskular
meningkat di bagian paru-paru yang memar, yang mengarah pada penurunan
jumlah darah yang mengalir ke dalamnya, mengarahkan darah ke daerah yang
lebih baik berventilasi. Meskipun, mengurangi aliran darah ke alveoli tak
mendapat udara adalah cara untuk mengimbangi kenyataan bahwa darah yang
lewat tak mendapat udara, alveoli tidak teroksigenasi, yang oksigenasi darah tetap
lebih rendah dari normal. Jika sudah parah cukup, hipoksemia yang dihasilkan
dari cairan dalam alveoli tidak dapat dikoreksi hanya dengan memberikan oksigen
tambahan, masalah ini adalah penyebab sebagian besar kematian yang diakibatkan
trauma (Simon et al, 2006).
Tanda dan gejala dari kontusio paru adalah takikardi, dispneu,
bronchoorhea (sekresi bercampur darah), takipneu, hipoksia, perubahan
kesadaran, serta keadaan ini dapat timbul dan memburuk dalam 24-72 jam setelah
trauma (Simon et al, 2006). Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah
berupa pemeriksaan AGD, rontgent toraks, CT-Scan, Serta USG (Rachmad,
2002).
22

Gambar 2.8
Rontgen Toraks pada Kontusio Paru
(London Health Sciences Centre, 2018)

Gambar 2.9
CT-Scan pada Kontusio Paru
(London Health Sciences Centre, 2018)

Perawatan utama pada kontusio paru adalah mendukung upaya yang


dilakukan untuk menemukan luka memar yang menyertai, untuk mencegah cedera
23

tambahan, dan untuk memberikan perawatan suportif sambil menunggu luka


memar pada tahap proses penyembuhan. Pemantauan, termasuk melacak
keseimbangan cairan, fungsi pernapasan, dan saturasi oksigen dengan
menggunakan pulse oximetry juga diperlukan untuk monitor kondisi pasien.
Monitoring untuk komplikasi seperti sindrom gangguan pneumonia dan
pernapasan akut yang sangat penting. Pengobatan bertujuan untuk mencegah
kegagalan pernapasan dan untuk memastikan oksigenasi darah yang memadai.
Oksigen tambahan dapat diberikan dan mungkin dihangatkan dan dilembabkan.
Ketika tidak merespon maka tindakan lainnya dalam perawatan harus dilakukan,
seperti oksigenasi membran extracorporeal dapat digunakan, memompa darah
dari tubuh ke mesin yang oxygenates dan menghilangkan karbon dioksida
sebelum memompa kembali masuk (Simon et al, 2006).
Penatalaksanaan pada kontusio ringan dapat dilakukan nebulisasi, postural
drainase, fisioterapi dada, sucktioning, pemberian analgetik (dapat dilakukan
anestesi spinal atau opioid), oksigenasi 24-36 jam pasca cidera, antibiotic.
Sedangkan pada kontusio sedang dapat dilakukan intubasi dengan pemasangan
ventilator PEP, diuretic, serta pemasangan NGT. Pada penanganan kontusio berat
yang harus dilakukan adalah intubasi endotrakeal, ventilator, diuretic, antibiotic,
serta dilakukan pembatasan cairan (Simon et al, 2006).

2.7.4 Pneumotoraks
Pneumotoraks merupakan adanya udara di antara cavum pleura (tempat
antara diding dada dan paru). Penumotoraks itusendiri dibagi berdasarkan
etiologinya menjadi pneumotoraks spontan dan traumatik pneumotoraks.
Penumotoraks spontan itu sendiri dibagi lagi menjadi primer dan sekunder.
Traumatik pneumotoraks dapat terjadi karena adanya blunt trauma atau luka
penetrasi pada dinding toraks. Selain itu dapat juga diakibatkan karena trauma
iatrogenik (Slobodan, 2015).
24

Gambar 2.10
Rontgen Pneumotoraks Bilateral
(Slobodan, 2015)

Penyebab dari pneumotoraks diantaranya adalah spontaneous, terdiri atas


primer (ruptur dari pleura) dan sekunder (chronic obstructive pulmonary disease,
fibrosis kistik, asma bronchial, sindrom marfan, intertisial lung disease,
pneumocystis carinii pneumonia, pneumonia dengan abses paru, pulmonary
hydarid disease, kanker paru, perforasi esofagus, pneumotoraks catamenial,
pneumotoraks neonatal). Selain spontaneous pneumotoraks disebabkan oleh
trauma yaitu iatrogenik, blunt trauma, dan penetrating trauma. Yang termasuk
iatrogenik adalah central venous catheter insertion, implantasi peacemaker,
transthoracic needle biopsy, tranbronchial needle aspiration, thoracocentesis,
operasi laparoskopi, dan barotrauma. Bunt trauma dapat disebabkan oleh trauma
pada kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, serta cidera olahraga. Sedangkan yang
termasuk penetrating trauma adalah luka tembak dan luka tusuk (Slobodan,
2015).
Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang
pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan
antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan
menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena
25

darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada
oksigenasi. Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang
terkena dan pada perkusi hipersonor. Fototoraks pada saat ekspirasi membantu
menegakkan diagnosis (Rachmad, 2002).
Pada pneumotoraks terapi terbaik adalah dengan pemasangan chest tube
pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Namun apabila
hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja maka akan sangat berrisiko. Sebuah
selang dada dipasang dan dihubungan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap,
dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-
paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan
pada penderita dengan peneumotoraks traumatic atau pada penderita yang
mempunyai resiko terjadinya dapat menjadi life thereatening tension
pneumotorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan
positif diberikan. Toraks penderita harus dikompresi sebelum penderita
ditransportasi/rujuk (Rachmad, 2002).

a. Pneumotoraks Terbuka (Sucking Chest Wound)


Luka yang besar pada dinding dada terbuka dapat menyebabkan
pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama
dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari
diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek karena
mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea.
Akibatnya ventilasi akan terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan
hiperkapneu. Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa steril yang diplester
hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi
efek flutter type valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka,
mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk
menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang
dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan
menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan
menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang.
Kasa penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah plastic wrap atau
26

petrolatum gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan
dilanjutkan dengan penjahitan luka (Rachmad, 2002).

Gambar 2.11
Penanganan Sementara Open Pneumothorax
(Slide Player, 2018)

b. Tension Pneumothorax
Tension Pneumothorax adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura
yang positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura
viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea,
bronkus serta percabangannya dan selanjutnya menuju pleura melalui fistel yang
terbuka (Alsagaff dan Mukty, 2009). Waktu ekspirasi udara di dalam ronggal
pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama
maakin tinggi dan melebihi tekanan atmosfir. Udara yang terkumpul di rongga
pleura ini dapat menekan paru sehingga dapat menyebabkan gagal napas (Sudoyo
et al, 2006). Selain itu, tekanan udara tersebut dapat menyebabkan mediastinum
terdorong ke sisi yang berlawanan dan dapat menghambat pengembalian darah
vena ke jantung (venous return), hal ini yang mengakibatkan kematian serta akan
menekan paru kontralateral (Sjamsuhidayat dan de Jong, 2005).
Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi
penggunaan ventilasi mekanik atau ventilator dengan ventilasi tekanan positif
pada penderita dengan kerusakan pada pleura visceral. Tension pneumothoraks
dapat timbul sebagai komplikasi dari pneumotoraks sederhana akibat trauma
toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau
setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna.
Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan
tension pneumothoraks, jika salah cara menutup defek ata luka tersebut dengan
27

pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme


flap valve. Tension pneumothorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang
toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures)
(Sjamsuhidayat dan de Jong, 2005).
Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Bila
ada kemungkinan tension pneumothorax sebaiknya tidak menunggu foto rontgen.
Dengan pungsi darurat rongga toraks berupa tusukan sederhana dengan jarum di
ruang antariga II, penderita dapat diselamatkan. Tension pneumotorax ditandai
dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi
trakea, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis
merupakan manifestasi lanjut (Sjamsuhidayat dan de Jong, 2005).

Gambar 2.12
Tube Thoracostomy Drainage
(Slobodan et al, 2015)

Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan


penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar
pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang emngalami kelainan.
Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi pneumotoraks
sederhana. Evaluasi ulang selalu diperlukan. Terapi definitive selalu dibutuhkan
dengan pemasangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis papilla
28

mamae) diantara garis anterior dan midaxilaris (Sjamsuhidayat dan de Jong,


2005).

2.7.5 Hematotoraks
Hematotoraks adalah adanya kumpulan darah di dalam ruang antara
dinding dada dan paru (rongga pleura). Sumber darah mungkin dari dinding dada,
parenkim paru, jantung, atau pembuluh darah besar. Kondisi ini biasanya
merupakan akibat dari trauma tumpul atau tajam serta bisa merupakan komplikasi
dari beberapa penyakit (Guyton dan Hall, 2007).
Penyebab utama hematotoraks adalah trauma, seperti luka penetrasi pada paru,
jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada. Trauma tumpul pada dada
dapat menyebabkan hematotoraks karena laserasi pembuluh darah internal
(Mancini, 2011).

Secara umum, penyebab terjadinya hematotoraks ini adalah sebagai berikut:


a. Traumatis
 Trauma tumpul.
 Trauma penetrasi (trauma tembus, iatrogenik).
b. Non traumatis atau spontan
 Neoplasia (primer atau metastasis).
 Diskrasia darah, termasuk komplikasi dari pemakaian
antikoagulan.
 Emboli paru dengan infark.
 Robek adhesi pleura berkaitan dengan pneumotoraks spontan.
 Bullous emfisema.
 Tuberkulosis.
 Paru atriovenosa fistula.
 Nekrosis akibat infeksi.
 Telengiektasia hemoragik herediter.
 Kelainan vaskular intratoraks non pulmoner.
 Skuestrasi intralobar dan ekstralobar.
 Patologi abdomen (Mancini, 2011).
29

Hematotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks,
sebaiknya diterapi dengan selang dada berukuran besar. Selang dada tersebut akan
mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi risiko terbentuknya bekuan
darah di dalam rongga pleura dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan
darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya
penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun
banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada
penderita hematotoraks, status fisiologi dan volume darah yang keluar dari selang
dada merupakan faktor utama. Hematotoraks kecil, yaitu yang tampak sebagai
bayangan kurang dari 15% pada foto rontgen, cukup diobservasi dan tidak
memerlukan tindakan khusus. Hematotoraks sedang, artinya tampak bayangan
yang menutup 15-35% pada foto rontgen, dipungsi dan penderita diberi transfusi.
Pada pungsi sedapat mungkin dikeluarkan semua cairan. Jika ternyata terjadi
kambuhan, perlu dipasang penyalir sekat air. Pada hematotoraks besar (lebih dari
35%) dipasang penyalir sekat air dan diberikan transfuse (Sjamsuhidayat dan de
Jong, 2005).
Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada
sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2
sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi
bedah harus dipertimbangkan. Hematotoraks masif ( >750 cc) yang terjadi kurang
dari satu jam setelah trauma adalah indikasi untuk operasi. Sebelum operasi
sebaiknya ditentukan organ mana yang dicurigai sehingga teknik pembedahan
dapat disesuaikan. Perdarahan yang terjadi akibat fraktur iga biasanya tidak
banyak dan dapat berhenti sendiri. Namun harus tetap diwaspadai akan adanya
perdarahan dari arteri interkostalis yang robek (Rachmad, 2002).
Apabila perdarahan yang terjadi lebih dari 1.500 cc di dalam rongga pleura
maka disebut hematotoraks massif. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus
yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal
ini juga dapat disebabkan trauma tumpul. Kehilangan darah menyebabkan
hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya hipovolemia berat, tetapi
kadang dapat ditemukan distensi vena leher, jika disertai tension pneumothorax.
Meskipun jarang namun dapat terjadi efek mekanik dari darah yang terkumpul di
30

intratoraks lalu mendorong mesdiastinum sehingga menyebabkan distensi dari


pembuluh vena leher (Sjamsuhidayat dan de Jong, 2005).
Terapi awal hematotoraks masif adalah dengan penggantian volume darah
yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan
infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemberian
darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat
dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Bersamaan
dengan pemberian infus, sebuah selang dada (chest tube) no. 38 French dipasang
setinggi papila mamae, anterior dari garis midaksilaris lalu dekompresi rongga
pleura selengkapnya. Ketika kita mencurigai hematotoraks masif pertimbangkan
untuk melakukan autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1.500 ml,
kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera. Beberapa
penderita yang pada awalnya darah yang keluar kurang dari 1.500 ml, tetapi
pendarahan tetap berlangsung, kondisi ini juga membutuhkan torakotomi
(Sjamsuhidayat dan de Jong, 2005).

2.7.6 Tamponade Jantung


Tamponade jantung adalah terjadinya kompresi jantung yang terjadi ketika
darah atau cairan menumpuk di ruang antara miokardium (otot jantung) dan
pericardium (kantung yang meliputi jantung). Tamponade jantung sering
disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian, trauma tumpul juga dapat
menyebabkan perikardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh darah besar
maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri dari struktur
jaringan ikat yang kaku dan walaupun relative sedikit darah yang terkumpul,
namun sudah dapat menghambat aktivitas jantung dan mengganggu pengisian
jantung. Diagnostik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan
tekanan vena, penurunan tekanan arteri, dan suara jantung menjauh. Penilaian
suara jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan
berisik. Distensi vena leher tidak ditemukan bila penderita mengalami
hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi
penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan
tersebut lebih dari 10 mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya
tamponade jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi
31

pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat
tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka akan sangat mirip dengan
tamponade jantung. Tanda kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat
inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan
menunjukkan adanya temponande jantung. PEA pada keadaan tidak ada
hipovolemia dan tension pneumothorax harus dicurigai adanya temponande
jantung. Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi
dapat ditemukan pada berbagai keadaan lain. Pemeriksaan USG (Echocardiografi)
merupakan metode non invasif yang dapat membantu penilaian pericardium. Pada
penderita trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan
pemeriksaan USG abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung
perikard, dengan syarat tidak menghambat resusitasi. Evakuasi cepat darah dari
perikard merupakan indikasi bila penderita dengan syok hemoragik tidak
memberikan respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade jantung
(Rachmad, 2002).
Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari perikard adalah dengan
perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung pada
penderita yang tidak memberikan respon terhadap usaha resusitasi, merupakan
indikasi untuk melakukan tindakan perikardiosintesis melalui metode subksifoid.
Tindakan alternatif lain, adalah melakukan operasi jendela perikad atau
torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan
lebih baik dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan.
Walaupun kecurigaan besar akan adanya tamponade jantung, pemberian cairan
infus awal masih dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan cardiac
output untuk sementara, sambil melakukan persiapan untuk tindakan
perikardiosintesis melalui subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-
sheated needle atau insersi dengan teknik seldinger merupakan cara paling baik,
tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari
kantung perikard. Monitoring elektrokardiografi dapat menunjukkan tertusuknya
miokard (peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis
menyentuh epikardium) atau terjadinya disritmia (Rachmad, 2002).
32

Gambar 2.13
Pericardiosintesis
(Netterimages, 2018 )

2.7.7 Cidera Trakea dan Bronkus


Cidera trakea dan bronkus merupakan hal yang sangat jarang terjadi,
manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis, dengan hemoptisis
bermakna, hemopneumotoraks, krepitasi subkutan dan gawat nafas. Empisema
mediastinal dservical dalam atau pneumotoraks dengan kebocoran udara massif.
Penatalaksanaan yaitu dengan pemasangan pipa endotrakea (melalui control
endoskop) di luar cedera untuk kemungkinan ventilasi dan mencegah aspirasi
aspirasi darah, pada torakostomi diperlukan untuk hematotoraks atau
pneumotoraks (Rachmad, 2002).
33

2.7.8 Kontusio Miokard


Tidak hanya paru yang dapat mengalami kontusio saat terjadi trauma
toraks, namun jantung juga dapat mengalami kontusio. Biasanya, kontusio
miokard terjadi pada blunt trauma. Hal ini terjadi saat jantung mengalami pukulan
langsung dari sternum sehingga jantung mengalami memar. Manifestasi klinis
cedera jantung mungkin bervariasi dari ptekie epikardial superfisialis sampai
kerusakan transmural. Disritmia merupakan temuan yang sering timbul. Tanda
dan gejala yang dialami pasien mirip dengan serangan jantung. Pemeriksaan
jantung yaitu dengan isoenzim CPK merupakan uji diagnosa yang spesifik, EKG
mungkin meperlihatkan perubahan gelombang T-ST yang non spesifik atau
disritmia. Terapi yang paling penting saat terjadinya kontusio miokard ini adalah
terapi suportif (Demetriades, 2009).

2.7.9 Laserasi Pembuluh Darah Besar


Tanda syok pada pasien yang mengalami trauma toraks tanpa adanya
tanda dari perdarahan yang terlihat mengindikasikan adanya cidera pada satu atau
lebih pembuluh darah besar pada toraks. Perdarahan yang tidak terlihat ini dapat
bersifat cepat dan fatal. Pembuluh darah yang biasaya cidera adalah aorta. Hal ini
biasanya terjadi pada kecelakaan lalu-lintas yang parah karena adanya proses
deselerasi yang cepat dari kecepatan yang tinggi atau jatuh dari ketinggian. Ruptur
yang terjadi 93% terjadi pada arteri sublavia sinistra. Diagnosis klinis didapatkan
dengan anamnesis adanya riwayat trauma dengan kecepatan tinggi, adanya
murmur sistolik dari precordium (jarang), hoarseness (kompresi pada nervus
recurrent laryngeal), horner’s syndrome, paraplegi (jarang), hipertensi pada
tungkai dan lengan. Pemeriksaan penungjang yang dapat dilakukan adalah foto
rontgen toraks, CT-scan, aortic arch angiogram, atau transesophageal
echocardiogram (TEE) (Demetriades, 2009).
34

Gambar 2.14
Rontgent Toraks
Mediastinum yang Melebar Disebabkan oleh Ruptur Aorta
(Dementriades, 2009)

Terapi ABC serta resusitasi cardiopulmonary sangat dibutuhkan yang


selanjutnya harus segera mendapatkan terapi berupa pembedahan dengan segera
berupa surgical repair atau endovascular stent/graft. Jaga agar tekanan darah
sistolik rendah (90 mmHg) dengan pemberian beta blocker. Terapi pembedahan
tidak dilakukan pada cidera aorta minor pada multitrauma berat atau pasien
dengan usia tua (Demetriades, 2009).
35

Gambar 2.15
CT-Scan Toraks
Stent/Graft Management of the Aortic
(Dementriades, 2009)

Gambar 2.16
Stent/Graft
(Dementriades, 2009)
36

2.7.10 Ruptur Diafragma

Ruptur diafragma pada trauma thoraks biasanya disebabkan oleh trauma


tumpul pada daerah toraks inferior (antara papilla ammae dan tepi bawah kosta
terakhir) atau abdomen atas yang tersering oleh kecelakaan. Trauma tumpul di
daerah thoraks inferior akan mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal
mendadak yang diteruskan ke diafragma. Ruptur terjadi bila diafragma tidak dapat
menahan tekanan tersebut, herniasi organ intratoraks dan strangulasi organ
abdomen dapat terjadi. Dapat pula terjadi ruptur diafragma akibat trauma tembus
pada daerah toraks inferior. Pada keadaan ini trauma tembus juga akan melukai
organ-organ lain (intratoraks atau intraabdominal). Ruptur umumnya terjadi di
“puncak” kubah diafragma, ataupun kita bisa curigai bila terdapat luka tusuk dada
yang didapatkan dibawah ICS 4 anterior, di daerahh ICS 6 lateral, di daerah ICS 8
posterior (Demetriades, 2009).

Gambar 2.17
Rontgen Toraks
37

Ruptur Diafragma, Adanya Hernia dari Gaster


(Dementriades, 2009)

Kejadian ruptur diafragma lebih sering terjadi di sebelah kiri daripada


sebelah kanan. Kematian dapat terjadi dengan cepat setelah terjadinya trauma oleh
karena shock dan perdarahan pada cavum pleura kiri. Gejala klinis yang terjadi
pada ruptur diafragma ini dapat asimtomatis jika cideranya minimal, kehilangan
darah pada robekan diafragma yang luas, cardiopulmonary distress karena adanya
hernia diafragmatika yang besar, dapat juga disertai obstruksi atau perforasi dari
organ abdomen. Penegakan diagnosis dapat ditunjang dengan pemeriksaan
rontgen toraks, laparoscopi, torakoskopi, barium enema, CT-scan (Demetriades,
2009).
Apabila ada kemungkianan ruptur diafragma maka tidak boleh dipasang
thoracostomy tube sebelum operasi, perlu tindakan pembedahan untuk dilakukan
repair baik secara laparoskopi maupun pembedahan terbuka. Pada perforasi yang
kecil pada diafragma dextra posterior tidak membutuhkan operasi perbaikan
karena liver melindungi dari adanga herniasi. Namun, apabila terjadi pada bagian
anterior harus tetap dilakukan pembedahan karena hernia dapat terjadi
(Demetriades, 2009).

Anda mungkin juga menyukai