Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GAWAT DARURAT

GANGGUAN TRAUMA/ CEDERA KEPALA

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Keperawatan Gawat Darurat
yang dibina oleh Ibu Arista Maisyaroh, S. Kep. Ners., M. Kep.

oleh :
Kelompok 5A
1. Fera Dwi Irawati (16/162303101046)
2. Maretha Ivanda Putri (25/162303101071)
3. Melisa Dia Pitaloka (27/162303101073)
4. Muntiyatul Choiro Safitri (28/162303101081)
Tingkat 3A

D3 KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER


KAMPUS LUMAJANG
Jalan Brigjend Katamso, Lumajang 67312 Telepon/Fax (0334)882262, 885920
September 2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha pengasih lagi Maha
penyayang, dipanjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga makalah tentang
“Asuhan Keperawatan pada Pasien Gawat Darurat Gangguan Trauma/ Cedera
Kepala” ini dapat diselesaikan.
Makalah ini telah disusun dengan semaksimal mungkin dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu disampaikan banyak terima kasih kepada Ibu Arista Maisyaroh, S.
Kep. Ners., M. Kep. selaku dosen matakuliah Keperawatan Gawat Darurat D3
Keperawatan Universitas Jember Kampus Lumajang yang telah memberi tugas
mengenai “Asuhan Keperawatan pada Pasien Gawat Darurat Gangguan Trauma/
Cedera Kepala” dan kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, tentu masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu diharapkan saran dan
kritik dari pembaca agar dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata diharapkan semoga makalah tentang “Asuhan Keperawatan
pada Pasien Gawat Darurat Gangguan Trauma/ Cedera Kepala” ini, dapat
memberikan manfaat terhadap pembaca, mahasiswa khususnya.

Lumajang, 05 September 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................4
1.1 Latar Belakang........................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................5
1.3 Tujuan.......................................................................................................5
1.3.1 Tujuan Umum....................................................................................5
1.3.2 Tujuan Khusus...................................................................................5
1.4 Manfaat....................................................................................................6
1.4.1 Manfaat Teoritis.................................................................................6
1.4.2 Manfaat Praktis..................................................................................6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................8


2.1 Konsep Gangguan Trauma/ Cedera Kepala.........................................8
2.1.1 Definisi...............................................................................................8
2.1.2 Etiologi...............................................................................................8
2.1.3 Patofisiologi.......................................................................................9
2.1.4 Klasifikasi........................................................................................10
2.1.5 Manifestasi Klinis............................................................................11
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang...................................................................14
2.1.7 Penanganan......................................................................................15
2.1.8 Komplikasi.......................................................................................19
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Gawat Darurat...................................20
2.2.1 Pengkajian........................................................................................20
2.2.2 Diagnosis Keperawatan....................................................................24
2.2.3 Intervensi Keperawatan....................................................................24

BAB 3 SIMPULAN DAN SARAN......................................................................28


3.1 Simpulan..................................................................................................28
3.2 Saran........................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................30

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 kecelakaan
lalu lintas merupakan penyebab kematian urutan kesebelas di seluruh dunia,
sekitar 1,2 juta jiwa meninggal setiap tahunnya. Tingkat kematian akibat
kecelakaan lalu lintas jalan lebih tinggi pada kelompok usia muda, anak-anak dan
orang muda di bawah usia 25 tahun mencapai lebih dari 30% dari mereka tewas
dan terluka dalam kecelakaan lalu lintas. Dari usia muda tersebut, laki-laki lebih
mungkin terlibat dalam kecelakaan lalu lintas daripada perempuan, laki-laki muda
di bawah usia 25 tahun hampir 3 kali lebih mungkin untuk terbunuh dalam
kecelakaan mobil (Wardani, 2017).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013,
jumlah data yang dianalisis seluruhnya 1.027.758 orang untuk semua umur.
Adapun responden yang pernah mengalami cedera 84.774 orang dan tidak cedera
942.984 orang. Prevalensi cedera secara nasional adalah 8,2% dan prevalensi
angka cedera kepala di Jawa Tengah sebesar 8,3%. Prevalensi cedera tertinggi
berdasarkan karakteristik responden yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun
(11,7%), dan pada laki-laki (10,1%), (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Di Indonesia, cedera kepala (head injury) diakibatkan para pengguna
kendaraan bermotor roda dua terutama bagi yang tidak memakai helm. Hal ini
menjadi tantangan yang sulit karena diantara mereka datang dari golongan
ekonomi rendah sehingga secara sosio ekonomi cukup sulit memperoleh
pelayanan kesehatan. Cedera kepala diperkirakan akan terus meningkat seiring
dengan meningkatnya pengguna kendaraan bermotor roda dua dan diperkirakan
39% kenaikan per tahun (Lumban, 2015 dalam Wardani, 2017). Cedera kepala
adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai
perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas
otak. (Muttaqin, 2008), cedera kepala biasanya diakibatkan salah satunya benturan

4
5

atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari terjadinya cedera kepala yang paling fatal
adalah kematian (Nasir, 2012).
Akibat trauma kepala pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik
maupun psikologis, asuhan keperawatan pada penderita cedera kepala memegang
peranan penting terutama dalam pencegahan komplikasi. Komplikasi dari cedera
kepala adalah infeksi, perdarahan. Cedera kepala berperan pada hampir separuh
dari seluruh kematian akibat trauma-trauma. Cedera kepala merupakan keadaan
yang serius. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman dan pengelolaan yang lebih
baik terutama tentang penanganan (A, B, C, D, E), pencegahan cedera kepala
terutama cedera kepala berat merujuk pada petugas kesehatan untuk secepat
mungkin melakukan penanganan yang cepat, tepat dan benar. Diharapkan dengan
penanganan yang cepat dan benar dapat menekan morbiditas dan mortilitas
penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan
keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi
(Tarwoto, 2007). Dalam makalah ini, kami akan membahas lebih lanjut tentang
Asuhan Keperawatan pada Pasien Gawat Darurat Gangguan Trauma/ Cedera
Kepala.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana konsep Gangguan Trauma/ Cedera Kepala?
1.2.2 Bagaimana konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien Gawat Darurat
Gangguan Trauma/ Cedera Kepala?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis masalah tentang Asuhan Keperawatan pada Pasien
Gawat Darurat Gangguan Trauma/ Cedera Kepala dalam konteks ilmu
Keperawatan Gawat Darurat.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui definisi dari Gangguan Trauma/ Cedera Kepala.
b. Mengetahui etiologi Gangguan Trauma/ Cedera Kepala.
c. Mengetahui patofisiologi Gangguan Trauma/ Cedera Kepala.
6

d. Mengetahui klasifikasi Gangguan Trauma/ Cedera Kepala.


e. Mengetahui manifestasi klinis Gangguan Trauma/ Cedera Kepala.
f. Mengetahui pemeriksaan diagnostik/ penunjang Gangguan Trauma/
Cedera Kepala.
g. Mengetahui penatalaksanaan Gangguan Trauma/ Cedera Kepala.
h. Mengetahui komplikasi Gangguan Trauma/ Cedera Kepala.
i. Mengetahui konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien Gawat Darurat
Gangguan Trauma/ Cedera Kepala.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
a. Untuk pengembangan keilmuan di bidang pembelajaran Keperawatan
Gawat Darurat.
b. Untuk menambah pengetahuan tentang Asuhan Keperawatan pada Pasien
Gawat Darurat Gangguan Trauma/ Cedera Kepala dalam konteks ilmu
Keperawatan Gawat Darurat.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Manfaat Bagi Penulis
Manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh penulis dapat berupa
pengalaman berharga dalam menyusun karya tulis ilmiah tentang
Gangguan Trauma/ Cedera ini, serta penulis juga bisa memperoleh
informasi secara langsung dari berbagai macam sumber ilmiah tentang
definisi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, pemeriksaan
diagnostik/ penunjang, penatalaksanaan, komplikasi, dan konsep Asuhan
Keperawatan pada Pasien Gawat Darurat Gangguan Trauma/ Cedera
Kepala. Dengan demikian penulis akan lebih mengetahui bahwa Gangguan
Trauma/ Cedera merupakan hal yang sangat perlu diwaspadai karena dapat
menyebabkan kematian.
b. Manfaat Bagi Pembaca
Manfaat yang diperoleh pembaca dapat berupa informasi tentang definisi,
etiologi, patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, pemeriksaan
diagnostik/ penunjang, penatalaksanaan, komplikasi, dan konsep Asuhan
7

Keperawatan pada Pasien Gawat Darurat Gangguan Trauma/ Cedera


Kepala. Dengan demikian diharapkan pembaca bisa mencegah dirinya
agar terhindar dari Gangguan Trauma/ Cedera Kepala.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Gangguan Trauma/ Cedera Kepala


2.1.1 Definisi
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma
tajam (Batticaca, 2008).
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanent (Irwana,2009).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik.

2.1.2 Etiologi
a. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan
dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan
atau kecederaan kepada pengguna jalan raya .
b. Jatuh
Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke
bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun
maupun sesudah sampai ke tanah.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan
seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain,
atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara
paksaan). (Marlina, 2013)

8
9

Selain itu penyebab lain terjadinya trauma kepala menurut Smeltzer (2002),
antara lain :
a. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak, misalnya
tertembak peluru atau benda tajam
b. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
c. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan
maupun bukan dari pukulan
d. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
e. Kecelakaan lalu lintas
f. Jatuh
g. Kecelakaan industri
h. Serangan yang disebabkan karena olahraga
i. Perkelahian

2.1.3 Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-
deselerasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk, 2009). Pada trauma
kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak
yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan
dinamakan lesi kontusio. Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan
berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara
tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
10

tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr
dkk, 2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan
dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya
merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam
setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini
berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya
glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan
perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya
kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau selsel
fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang
konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera
metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan
sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan
iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak (Lombardo, 2003).

2.1.4 Klasifikasi
Cedera kepala dibagi menjadi:
a. Cedera Kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya tengkorak atau
luka penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas,
masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang
tengkorak menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter
saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera kepala
terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak
b. Cedera Kepala Tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan
yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat,
kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan
tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: komusio (gegar otak), kontusio
(memar), dan laserasi (Brunner & Suddarth, 2001; Long, 1990)
11

Berdasarkan tingkat keparahan, biasanya Cedera Kepala berdasarkan


tingkat keparahannya didasari atas GCS. Dengan Glasgow Coma Scale (GCS),
cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi :
a. Cedera kepala ringan
Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai
dengan nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada
fraktur tengkorak, kontusio/hematoma
b. Cedera kepala sedang
Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit–24 jam, dapat
mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung)
c. Cedera kepala berat
Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio
serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral (Hudack dan Gallo, 1996).

2.1.5 Manifestasi Klinis


a. Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak tegap,
kehilangan tonus otot.
b. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
c. Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
d. Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua fungsi.
e. Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)
f. Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi
atau tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya
simetris) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan
penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak
simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap
sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam
menentukan posisi tubuh.
g. Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak
bisa beristirahat, merintih.
12

h. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas


berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi).
i. Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi,
perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung
(CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang,
kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi
tubuh.
j. Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang – ulang.
k. Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
l. Cemas,delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
m. Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
n. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam penglihatan,seperti
ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia,
gangguan pengecapan dan penciuman.
o. Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
p. Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada hematoma,
kesadaran mungkin hilang, atau bertahap sering dengan membesarnya
hematoma atau edema intestisium.
q. Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk.
r. Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan
motorik timbul dengan segera atau secara lambat.
s. Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat. Hematoma
ini mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan detoriorasi yang cepat,
sakit kepala, kejang, koma dan hernia otak dengan kompresi pada batang
otak.
t. Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan dikarakteristikkan
dengan sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk berat, penurunan tingkat
kesadaran, dan peningkatan TIK. Hematoma subdural kronis juga dapat
terjadi.
u. Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
13

v. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertenai, depresi pernapasan)


w. Apabila meningkatnya tekanan intracranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak.
a. Cedera kepala ringan menurut Sylvia, (2005):
1) Kebingungan saat kejadian dan kebingungan terus menetap setelah cedera.
2) Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
3) Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa minggu atau
lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma ringan.
b. Cedera kepala sedang, Diane, (2002):
1) Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau
hahkan koma.
2) Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
pergerakan.
c. Cedera kepala berat, Diane, (2002):
1) Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
2) Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
3) Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
4) Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan laboratorium
14

1) AGD: untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi


perdarahan sub arakhnoid.
2) Kimia elektrolit darah: mengetahui ketidakseimbangan yang berperan
dalam peningkatan TIK atau perubahan mental.
b. Radiology
1) CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2) MRI: sama dengan CT Scan
3) Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma.
4) EEG: untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
5) Sinar X: untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang ( fraktur ),
pergeseran struktur dari garis tengah ( karena perdarahan ) adanya
fragmen tulang.
6) BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7) PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8) Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat
sehingga menyebabkan penurunan kesadan.
9) Myelogram: Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya
bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.
10) Thorax X ray: Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
c. Fungsi lumbal: CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub
arakhnoid.
d. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
e. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadan.
f. Pemeriksaan fungsi pernafasan: Mengukur volume maksimal dari inspirasi
dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan
pusat pernafasan (medulla oblongata).

2.1.7 Penatalaksanaan
15

a. Penanganan Berdasarkan Klarifikasi Derajat Cedera Kepala


Pembagian derajat cedera kepala dibedakan sebagai berikut, ditentukan
berdasarkan tingkat kesadaran (GCS) terbaik 6 jam pertama pascatrauma:
1) Cedera kepala ringan: GCS 14 – 15
Penanganannya mencakup anamnesa yang berkaitan dengan jenis dan waktu
kecelakaan, riwayat penurunan kesadaran atau pingsan, riwayat adanya amnesia
(retrograde atau antegrade) serta keluhan – keluhan lain yang berkaitan dengan
peninggian tekanan intracranial seperti: nyeri kepala, pusing, dan muntah.
Amnesia retrograde cenderung merupakan tertanda ada – tidaknya trauma pada
kepala, sedangkan amnesia antegrade (pasca trauma) lebih berkonotasi akan
berat-ringannya konkusi cedera kepala yang terjadi. Pemeriksaan fisik disini
ditekankan untuk menyingkirkan adanya gangguan sistemik lainnya, serta
mendeteksi deficit neurologis yang mungkin ada. Kepentingan pemeriksaan
radiologis berupa foto polos kepala dimaksudkan untuk mrngetahui adanya :
fraktur tengkorak (linier/depresi), posisi kelenjar pineal, pneumosefalus, korpus
alinenum dan lainnya. Sedangkan foto servikal atau bagian tubuh lainnya
dilakukan sesuai dengan indikasi. Pemeriksaan CT Scan memang secara ideal
perlu dilakukan bagi semua kasus cedera kepala.
Indikasi rawat inap pada penderita dengan cedera kepala ringan adalah:
a) Amnesia antegrade/ pascatraumatika
b) Adanya riwayat penurunan kesadran/ pingsan
c) Adanya keluhan nyeri kepala mulai dari derajat yang moderat sampai berat
d) Intoksikasi alcohol atau obat – obatan
e) Adanya fraktur tulang tengkorak
f) Adanya kebocoran likuor serebro – spinalis (otorre/ rinorre)
g) Cedera berat bagian tubuh lain
h) Indikasi sosial (tidak ada keluarga/ pedamping di rumah)
Penderita cedera kepala yang tidak mempunyai atau memenuhi kriteria
indikasi rawat di atas, setelah beberapa saat menjalani pemantauan di rumah sakit
diperkenankan untuk pulang berobat jalan dengan catatan bila ada gejala – gejala
seperti yang terancam di bawah ini harus segera kembali ke rumah sakit :
a) Mengantuk dan sukar dibangunkan
b) Mual dan muntah
c) Kejang
d) Salah satu pupil melebar atau adanya tampilan gerakan mata yang tidak biasa
e) Kelumpuhan anggota gerak salah satu sisi
16

f) Nyeri kepala yang hebat atau bertambah hebat


g) Kacau / bingung (confuse), tidak mampu berkonsentrasi, terjadi perubahan
personalitas
h) Gaduh, gelisah
i) Perubahan denyut nadi atau pola pernapasan
j) Pusing hebat
2) Cedera kepala sedang: GCS 9 – 13
Penanganan pertama selain mencakup anamnesa (seperti diatas) dan
pemeriksaan fisik serta foto polos tengkorak, juga mencakup pemeriksaan sken
tomografi computer otak (CT – Scan). Pada tingkat ini semua kasus mempunyai
indkasi untuk dirawat. Selama hari pertama perawatan di rumah sakit perlu
dilakukan pemeriksaan neurologis setiap setengah setengah jam sekali, sedangkan
follow up sken tomografi computer otak pada hari ke – 3 atau bila ada perburukan
neurologis.
3) Cedera kepala berat: GCS ≤ 8
Penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan pada penderita dalam
kelompok ini karena sedikit keterlambatan akan mempunyai risiko terbesar
berkaitan dengan morbiditas dan moralitas, di mana tindakan ‘menunggu’ ( wait
and see) disini dapat berakibat sangat fatal. Penanganan kasus – kasus yang
termasuk kelompok ini mencakup beberapa tahap yaitu:
a) Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip–prinsip ABC (Airway–
Breathing–Circulation). Keadaan-keadaan hipoksemia, hipotensi, dan anemia
akan cenderung memperhebat peninggian tekanan intracranial dan
menghasilkan prognosis yang lebih buruk. Semua penderita cedera kepala
berat memerlukan tindakan intubasi pada kesempatan pertama. Usaha untuk
menurunkan tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan
PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan
menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan
PaCO2 ini yakin dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Intubasi
dilakukan sedini mungkin kepala klien yang koma untuk mencegah terjadinya
PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat
mencegah peningkatan tekanan intracranial.
b) Penangan khususnya pada klien dengan CKB yang mengalami perdarahan
atau hematom di kepala baik pada bagian EDH maupun SDH dilakukan
17

tindakan trepanasi. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka


tulang kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan
definitif.
c) Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan–gangguan di bagian tubuh lainnya.
d) Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata, motoric, verbal,
pemeriksaan pupil, refles okulosefalik dan reflek okulovestibuler. Penilaian
neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita masih rendah
(syok).
e) Penanganan cidera–cidera di bagian lainnya
f) Pemberian pengobatan seperti: antiedema serebri, antikejang, dan natrium
bikarbonat.
g) Tindakan pemeriksaan diagnostic seperti: skan tomografi computer otak,
angiografi serebral, dan lainnya. (Satyanegara, 2010)
b. Pemilihan Tindakan Operasi atau Konservatif pada Kasus Cedera Kepala
Kriteria sederhana sebagai patokan indikasi tindakan operasi adalah :
1) Lessi massa intra atau ekstra – aksial yang menyebabkan pergeseran garis
tengah (pembuluh darah serebral anterior) yang melebihi 5 mm.
2) Lesi massa ekstra – aksial yang tebalnya melebihi 5 mm dari tabula interna
tengkorak dan berkaitan dengan pergeseran arteri serebri anterior atau media
3) Lesi massa ektra- aksial bilateral dengan tebal melebihi 5 mm dari tabula
eksterna (kecuali bla ada atrofi otak)
4) Lesi massa intra – aksial lobus temporalis yang menyebabkan elevasi hebat
dari arteri serebri media atau menyebabkan pergeseran garis tengah
(Satyanegara, 2010).
c. Terapi Operasi/Pembedahan pada Cedera Kepala
Kriteria paling sederhana yang dipakai sebagai indikasi tindakan operatif
adalah adanya lesi massa intracranial dengan pergeseran garis tengah >5 mm
(kecuali penderita sudah ‘mati otak’). Prinsip pertimbangan pemilihan obat
anetesi inhalasi volatin seperti halotan, enflurane dan isoflurane dapat
meningkatkan aliran darah serebral, sehingga umumnya dipergunakan dalam
kadar yang rendah.
Kasus – kasus dengan lesi massa intracranial yang mempunyai indikasi
operasi, berkaitan dengan predileksi lokasi khususnya dilobus frontal bagian
inferior dan lobus temporal, biasanya insisi kulit yang kerap dilakukan dalam
18

tindakan kraniotomi adalah berbentuk (tragus) pada argus zygomatikus,


melengkung ke posterior di atas telinga menuju ke garis tengah dan berakhur di
anterior di belakang garis batas rambut. Bila ada penurunan kesadaran/
perburukan klinis yang progresif, perlu segera dilakukan operasi dekompresi
berupa kraniektomi untuk mengurangi tekanan batang otak dan prevensi
terjadinya hermiasi tentorial.
Tindakan operasi pada cedera kepala terbuka agak berbeda dengan cedera
kepala yang tertutup. Pada cedera kepala terbuka yang menjadi tujuan adalah
debrideman jaringan otak yang nekrotik, mengangkat fragmen tulang atau korpus
alineum, menghentikan perdarahan, evakuasi hematom dan penutypan duramater
serta kulit yang kedap air. Pembukakan kranial di sini cenderung terbatas: berupa
insisi linier, huruf “S” atau flap bentuk “U” dan dilanjutkan dengan kraniektomi
atau kraniotomi kecil. (Satyanegara, 2010)
d. Terapi Medikamentosa pada Cedera Kepala
Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah obat – obatan
golongan deksamethasone (dengan dosis awal 10 mg dan kemudian dilanjutkan
4mg setiap 6 jam), manitol 20% ( dosis 1 – 3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk
mengatasi edema serebri yang terjadi akan tetapi memang hal ini masih banyak
kontroversi pendapat dalam memilih mana yang terbaik. Demikian pula
pemberian rutin obat – obat anti kejang seperti golongan fenitoin hingga kini
masih kontroversi sehubungan dengan variasi insidens epilepsy pascatrauma.
Namun, berdasarkan data statistic beberapa penelitian menunjukkan nilai insidensi
epilepsy sebesar 5% dari semua kasus yang dirawat dan 15% dari kasus cedera
kepala berat, dimana hal ini dikaitkan dengan: (1) adanya kejang dalam waktu 1
minggu pertama, (2) hematom intracranial, dan (3) fraktur depress tengkorak.
Dalam hal ini dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin
sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic.
Untuk penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin
(Tegretol).
Akhir – akhir ini ada beberapa obat yang penggunaannya mulai popular
seperti THAM dan barbiturate. THAM ( Tris – hidroksi- metil- aminome-tana)
merupakan suatu buffer yang dapat masuk kedalam susunan saraf pusat dan secara
19

teoretis lebih superior daripada natrium bikarbonat dan dalam hal ini dapat
mengurangi tekanan intracranial. Disamping untuk mengatasi tekanan intracranial
yang meninggi, barbiturate mempunyai efek protektif terhadap otak untuk
proteksi terhadap anoksia dan ischemia. Dosis terapi barbiturate yang biasa
diterapkan adalah : diawali dengan 10 mg/kg BB dalam 30 menit dan kemudian
dilanjutkan dengan bolus 5 mg/kg BB setiap 3 jam serta drip 1 mg/kg BB/jam
untuk mencapai kadar serum 3 – 4 mg%.
Ada beberapa obat – obat yang tampaknya merupakan harapan yang
menggembirakan untuk terapi cedera kepala seperti : oksigen hiperbarik dan free
radical scavangers, namun penerapannya secara luas masih dalam penelitian
(Satyanegara, 2010).

2.1.8 Komplikasi
a. Koma.
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi
ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa
ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki
vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative statesering
membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon
reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu
tahun jarang sembuh
b. Seizure.
Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya
sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian,
keadaan ini berkembang menjadi epilepsi
c. Infeksi.
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen)
sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya
karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang
lain
d. Kerusakan saraf.
20

Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus


facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari
saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan
ganda
e. Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
berat mengalami masalah kesadaran. (Marlina, 2013)

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Gawat Darurat


2.2.1 Pengkajian
a. Data Subjektif
1) Identitas (pasien dan keluarga/ penanggung jawab) meliputi: Nama, umur,
jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
alamat, dan hubungan pasien dengan keluarga/pengirim).
2) Keluhan utama: Bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat darurat,
apakah pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim oleh orang lain?
3) Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal, jam),
lokasi/tempat mengalami cedera.
4) Mekanisme cedera: Bagaimana proses terjadinya sampai pasien menjadi
cedera.
5) Allergi (alergi): Apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap makanan
(jenisnya), obat, dan lainnya.
6) Medication (pengobatan): Apakah pasien sudah mendapatkan pengobatan
pertama setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani proses pengobatan
terhadap penyakit tertentu?
7) Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya): Apakah pasien
menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera, apakah penyakit
tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera?
8) Last Oral Intake (makan terakhir): Kapan waktu makan terakhir sebelum
cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk mempermudah
mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih lanjut/operasi.
21

9) Event Leading Injury (peristiwa sebelum/awal cedera): Apakah pasien


mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu bisa terjadi?
b. Pengkajian ABCDE FGH
1) Airway
a) Cek jalan napas paten atau tidak
b) Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh ke belakang,
terdapat cairan, darah, benda asing, dan lain-lain.
c) Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas tambahan seperti
snoring, gurgling, crowing.
2) Breathing
a) Kaji pernapasan, napas spontan atau tidak
b) Gerakan dinding dada simetris atau tidak
c) Irama napas cepat, dangkal atau normal
d) Pola napas teratur atau tidak
e) Suara napas vesikuler, wheezing, ronchi
f) Ada sesak napas atau tidak (RR)
g) Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan
3) Circulation
a) Nadi teraba atau tidak (frekuensi nadi)
b) Tekanan darah
c) Sianosis, CRT
d) Akral hangat atau dingin, Suhu
e) Terdapa perdarahan, lokasi, jumlah (cc)
f) Turgor kulit
g) Diaphoresis
h) Riwayat kehilangan cairan berlebihan
4) Disability
a) Kesadaran : composmentis, delirium, somnolen, koma
b) GCS : EVM
c) Pupil : isokor, unisokor, pinpoint, medriasis
d) Ada tidaknya refleks cahaya
e) Refleks fisiologis dan patologis
22

f) Kekuatan otot
5) Exposure
a) Ada tidaknya deformitas, contusio, abrasi, penetrasi, laserasi, edema
b) Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka, kedalaman
c. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum : Lemah, gelisah, cenderung untuk tidur
2) TTV : Suhu, nadi, tensi, RR, GCS
3) Penanganan kasus – kasus cedera kepala di unit gawat darurat didasarkan
patokan pemantauan dan penanganan terhadap penderita secara umum yaitu
perhatian urutan prioritas terhadap “6B” yakni:
a) Breathing ( Jalan Napas dan Pernapasan)
Perlu diperhatikan adanya obstruksi jalan napas perlu segera dibebaskan
dengan tindakan – tindakan : suction, intubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang
cukup atau hiperventilasi bila perlu merupakan tindakan yang berperan
penting sehubungan dengan edema serebri yang terjadi.Sangat penting
diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernapasan penderita.
b) Blood (Sirkulasi Darah)
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah
(Hb, Leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun
menirikan adanya suatu peninggian tekanan intracranial sebaliknya tekanan
darah yang menurun dan makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya
syok hipovolemik akibat perdarahan ( yang kebanyakan bukan dari kepala /
otak) dan memerlukan tindakan transfusi.
c) Brain (Otak)
Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon – respon
mata, fungsi motoric, dan fungsi verbal (GCS). Perubahan respon ini
merupakan implikasi adanya perbaikan/perburukan cedera kepalanya, dan bila
pada pemantauan menunjukkan adanya perburukan kiranya perlu pemeriksaan
lebih mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap
cahaya) serta gerakan–gerakan bola mata (reflek okulosefalik,
okulovestibuler, deviasi konjugat, nistagmus).
d) Bladder (Kandung Kencing)
23

Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat


bahwa kandung kemih yang penuh akan dapat menyebabkan penderita
mengejan sehingga tekanan intracranial cenderung lebih meningkat.
e) Bowel (Sistem Pencernaan)
Seperti halnya diatas, bahwa usus penuh juga cenderung untuk meninggikan
tekanan intracranial.
f) Bone (Tulang)
Adanya fraktur mengakibatkan nyeri yang juga pada gilirannya akan
mengakibatkan kenaikan tekanan intracranial. Sehingga penanganan kelainan
tulang sehubungan dengan trauma yang dialami penderita juga harus
dilakukan secara adekuat.

2.2.2 Diagnosis Keperawatan


a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial
b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan
napas
c. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,
neurovaskuler, kerusakan medula oblongata neuromaskuler
d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
pengeluaran urine dan elektrolit meningkat
e. Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi
f. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi sensori dan
kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan
g. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
(Doenges, 2000).

2.2.3 Intervensi Keperawatan


a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial
24

Tujuan: Setelah dilalukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan


perfusi jaringan serebral kembali normal
Kiteria Hasil:
1) Klien melaporkan tidak ada pusing atau sakit kepala
2) Tidak terjadi peningkatan tekanan intracranial
3) Peningkatan kesadaran, GCS ≥ 13
4) Fungsi sensori dan motorik membaik, tidak mual, tidak ada mutah
Intervensi:
1) Kaji tingkat kesadaran.
2) Pantau status neurologis secara teratur, catat adanya nyeri kepala, pusing.
3) Tinggikan posisi kepala 15- 30 derajat
4) Pantau TTV, TD, suhu, nadi, input dan output, lalu catat hasilnya.
5) Kolaborasi pemberian Oksigen.
6) Anjurkan orang terdekat untuk berbicara dengan klien.
b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan
napas
Tujuan: Dalam waktu 2 x 24 jam setelah diberikan intervensi, bersihan jalan
napas kembali efektif.
Kriteria hasil:
1) Pernapasan klien normal (16-20x/menit)
2) Tidak ada penggunaan otot bantu napas.
3) Bunyi napas normal, Rh-/-
4) Pergerakan pernapasan normal.
Intervensi:
1) Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman, dan
penggunaan otot bantu napas.
2) Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat karakter dan volume sekret.
3) Berikan posisi semifowler/fowler tinggi.
4) Lakukan pengisapan (suction).
5) Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml/ hari kecuali tidak
diindikasikan.
25

c. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan obstruksi trakeobronkial,


neurovaskuler, kerusakan medula oblongata, hiperventilasi.
Tujuan: Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam diharapkan
pola nafas efektif dengan
Kriteria hasil:
1) Klien tidak mengatakan sesak nafas
2) Retraksi dinding dada tidak ada, dengan tidak ada otot-otot dinding dada.
3) Pola nafas reguler, RR. 16-24 x/ menit, ventilasi adekuat
4) bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien,
5) kepatenan jalan nafas dapat dipertahankan.
Intervensi:
1) Kaji kecepatan, kedalaman, frekuensi, irama nafas, adanya sianosis. Kaji
suara nafas tambahan (rongki, mengi, krekels).
2) Atur posisi klien dengan posisi semi fowler 30o . Berikan posisi semi prone
lateral/ miring, jika tak ada kejang selama 4 jam pertama ubah posisi miring
atau terlentang tiap 2 jam.
3) Anjurkan pasien untuk minum hangat (minimal 2000 ml/hari).
4) Kolaborasi terapi oksigen sesuai indikasi.
5) Lakukan suction dengan hati-hati (takanan, irama, lama) selama 10-15 detik,
catat, sifat, warna dan bau sekret
6) Kolaborasi dengan pemeriksaan AGD, tekanan oksimetri.
d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
pengeluaran urine dan elektrolit meningkat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam ganguan
keseimbangan cairan dan elektrolit dapat teratasi dengan
Kriteria Hasil:
1) Menunjukan membran mukosa lembab
2) Tanda vital normal , haluaran urine adekuat dan bebas oedema.
Intervensi:
1) Kaji tanda klinis dehidrasi atau kelebihan cairan.
2) Catat masukan dan haluaran, hitung keseimbangan cairan, ukur berat jenis
urine.
26

3) Berikan air tambahan sesuai indikasi


4) Kolaborasi pemeriksaan laboratorium kalium/ fosfor serum, Ht dan albumin
serum.
e. Nyeri akut berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi
Tujuan : Setelah dilakuan tindakan keperawatan selama 2x24 jam rasa nyeri
dapat berkurang/ hilang dengan
Kriteria Hasil:
1) Sekala nyeri berkurang 3-1
2) Klien mengatakan nyeri mulai berkurang, ekspresi wajah klien rileks
Intervensi:
1) Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya, lokasinya dan lamanya.
2) Catat kemungkinan patofisiologi yang khas, misalnya adanya infeksi, trauma
servikal.
3) Berikan tindakan kenyamanan, misal pedoman imajinasi, visualisasi, latihan
nafas dalam, berikan aktivitas hiburan, kompres
4) Kolaborasi dengan pemberian obat anti nyeri, sesuai indikasi misal, dentren
(dantrium) analgesik; antiansietas misal diazepam (valium).
f. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi sensori dan
kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan.
Tujuan : Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat perawatan
dengan
Kriteri Hasil :
1) Tidak adanya kontraktur, footdrop.
2) Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
3) Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan dilakukannya
Intervensi:
1) Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan
Yang terjadi.
2) Berikan bantu untuk latihan rentang gerak
3) Bantu pasien dalam program latihan dan penggunaan alat mobilisasi.
4) Tingkatkan aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai
kemampuan
27

g. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit


kepala.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x 24 jam
Kiteria Hasil:
1) Bebas tanda-tanda infeksi, Mencapai penyembuhan luka tepat waktu
2) Suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5oC)
Intervensi:
1) Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan
2) Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, kaji keadaan luka, catat
adanya kemerahan, bengkak, pus daerah yang terpasang alat invasi dan TTV
3) Anjurkan klien untuk memenuhi nutrisi dan hidrasi yang adekuat.
4) Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi
5) Pantau hasil pemeriksaan lab, catat adanya leukositosis
6) Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai indikasi. (Wilkinson, 2016)
BAB 3
SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma
tajam. Berdasarkan tingkat keparahan, biasanya Cedera Kepala berdasarkan
tingkat keparahannya didasari atas GCS. Dengan Glasgow Coma Scale (GCS),
cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi cedera kepala ringan, cedera kepala
sedang, dan cedera kepala berat.
Asuhan keperawatan pada pasien gawat darurat gangguan trauma/ cedera
kepala meliputi tahap pengkajian (pengkajian ABCDE, B1-B6), diagnosis,
intervensi, implementasi, dan evaluasi keperawatan. Diagnosis keperawatan yang
muncul pada pasien gawat darurat gangguan trauma/ cedera kepala antara lain
yaitu perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial, gangguan pola nafas berhubungan dengan
obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata
neuromaskuler, dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan pengeluaran urine dan elektrolit meningkat

3.2 Saran
Makalah yang kami susun semoga dapat membantu kita untuk lebih
memahami tentang asuhan keperawatan pada pasien gawat darurat gangguan
trauma/ cedera kepala. Dan sebagai mahasiswa keperawatan yang kedepannya
akan melakukan pelayanan keperawatan, maka kita harus lebih memahami
tentang asuhan keperawatan pada pasien gawat darurat gangguan trauma/ cedera
kepala. Sehingga diharapkan kedepannya kita bisa memberikan pelayanan
keperawatan pada klien dengan gangguan trauma/ cedera kepala dengan lebih
baik dan lebih bermutu atau berkualitas.
Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari bahwa masih terdapat
banyak kesalahan, kekurangan, serta kejanggalan baik dalam penulisan maupun

28
29

dalam pengonsepan materi. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun agar ke depan lebih baik dan kami berharap kepada semua
pembaca mahasiswa khususnya, untuk lebih ditingkatkan dalam pembuatan
makalah yang akan datang.
30

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.


2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Menteri Kesehatan RI.

Batticaca, F.B. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury.


http://www.biausa.org [diakses 14 desember 2013]

Doenges M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3 . EGC.
Jakarta.

Irwana, O. 2009. Cedera Kepala .Faculty of Medicine Universitas of Riau Pekan


Baru.Online.http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/05/cedera_kepal
a_files_of_drsmed_fkur.pdf (diakses pada tanggal 14 desember 2013)

Marlina, N.P., 2013. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Pasien dengan
Cedera Kepala Berat. Laporan Pendahuluan, Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.

Muttaqin, A. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Nasir, M. 2012. Asuhan Keperawatan pada Ny. A dengan Cedera Kepala Sedang
di Instalasi Gawat Darurat RSUD Sragen. Karya Tulis Ilmiah, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf. 4th ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Jilid Satu. Edisi Kedelapan. Jakarta : EGC

Tarwoto, et al. 2007. Keperawatan Medikal Bedah, Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Sagung Seto.

Wardani, A.K. 2017. Analisis Asuhan Keperawatan pada Pasien Cedera Kepala
Berat dengan Masalah Keperawatan Ketidakefektifan Bersihan Jalan
Napas di Instalasi Gawat Darurat RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto. Karya Ilmiah Akhir Ners, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah.

Wilkinson, J.M. 2016. Diagnosis Keperawatan: Diagnosis NANDA-I, Intervensi


NIC, Hasil NOC. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai