TETANUS
Disusun Oleh :
dr. Bayu Ramadhan
Pembimbing :
dr. Ade Fitra
dr. Lidyawati
Narasumber :
dr. Agus, Sp.S
1.2 Anamnesis
Dilakukan anamnesis secara aloanamnesa .
KeluhanUtama
Kaku pada seluruh badan dan mulut sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
Keluhan Tambahan
Sesak napas sejak 3jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSOB dengan keluhan kaku pada seluruh badan dan mulut
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS), Pasien merupakan rujukan dari
puskesmas dengan diagnosa tetanus. Kaku pada seluruh badan dan mulut terjadi secara
perlahan – lahan. Awalnya kaku dirasakan pada mulut yang tampak seperti orang
tersenyum, mulut sukar dibuka, dan tidak dapat dimasukin jari sehingga pasien kesulitan
bernapas. Keluhan disertai kaku pada leher dan perut serta punggung keras seperti papan.
Pasien juga mengeluh seluruh tubuh terasa nyeri, demam, sulit menelan dan nafas
terasa sesak. Penderita mengeluh mengalami kejang sebanyak 1 kali, kejang seluruh
tubuh yang terjadi ketika mendengar yang mengejutkan. Keluhan nyeri kepala hebat
disangkal. Muntah menyemprot disangkal. Penderita sebelumnya tidak pernah digigit
oleh anjing, kucing atau kera.
Riwayat luka tertusuk kayu diakui 12 hari SMRS . Luka pada paha kanan bagian
belakang. Saat itu luka langsung dijahit di puskesmas dan saat kontrol kembali 4 hari
kemuadian, luka tampak bernanah. Pada saat pengobatan luka di puskesmas, pasien tidak
mendapatkan suntikan anti tetanus. Penyakit dengan keluhan yang sama belum pernah
dialami sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat cabut gigi disangkal
- Riwayat luka karena trauma pada paha kanan diakui pasien 12 hari SMRS karena
tertusuk kayu.
- Riwayat mengorek kuping dengan benda logam disangkal
- Riwayat epilepsi disangkal
- Riwayat digigit hewan disangkal
Kesan : Luka pada paha kanan berhubungan dengan penyakit sekarang (sebagai port d
entre)
Riwayat Penyakit Keluarga
- Dikeluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama seperti pasien.
- Riwayat epilepsi dalam keluarga disangkal.
Riwayat Kebiasaan
- Tidak ada riwayat kebiasaan yang berhubungan dengan penyakit pasien.
Abdomen
- Inspeksi : Datar, simetris
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : Teraba tegang seperti papan, tidak teraba massa, dan tidak ada nyeri
tekan
- Perkusi : Timpani hampir diseluruh kuadran abdomen
Ekstremitas
- Superior : Akral teraba hangat, CRT < 2”, dan tidak tampak deformitas
- Inferior : Tampak adanya ulkus pada femur dekstra.
Akral teraba hangat, CRT < 2”, dan tidak tampak deformitas
STATUS NEUROLOGI
Kesadaran kuantitatif : GCS (E4 V6 M5)
Orientasi : Baik
Refleks Fisiologis
Pemeriksaan Kanan Kiri
Superior & Inferior
Bisep +2 +2
Trisep +2 +2
Patela +2 +2
Achiles +2 +2
Refleks Patologis
Pemeriksaan Kanan Kiri
Superior & Inferior
Hoffman Trommer - -
Babinski - -
Chaddock - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Openheim - -
Klonus patella - -
Klonus achilles - -
Saraf Kranial
Nervus I Olfaktorius : Normosmia
Nervus II Optikus
Kanan Kiri
Ketajaman penglihatan Baik Baik
Menilai warna Baik Baik
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Papil Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Retina Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Medan penglihatan Baik Baik
Nervus IV Troklearis
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral bawah + +
Strabismus konvergen - -
Diplopia - -
Nervus XI Aksesorius
Mengangkat bahu & Menoleh
Kanan -
Kiri -
Kanan Kiri
Tonus otot : normotonus normotonus
Trofi : eutrofi eutrofi
Gerakan : terbatas terbatas
Ekstremitas Inferior
Kekuatan Motorik :
5 5
Kanan Kiri
Tonus otot : normotonus normotonus
Trofi : eutrofi eutrofi
Gerakan : terbatas terbatas
Gerakan involunter :
Tremor : - -
Chorea : - -
Ballismus : - -
Athetose : - -
1.5 Follow – up
Tanggal 29-11-2016
S:
Perut terasa sakit dan tegang,
O:
Sens : CM Td : 120/70 mmhg Temp : 38.1
RR: 24x/i HR : 100x/i SPO2 : 98%
Trismus (+) Opitotonus (+) Kejang (+)
A:
Tetanus Grade III
P:
Konsul dr. Agus. Sp.s
- Paracetamol Drip 1gr
- Clobazam 1 x 5mg
Tanggal 30-11-2016
S:
Os merasakan mual (+), Nafas terasa sesak(+)
O:
KU: gelisah Kes : cm RR: 28x/i SPO2: 98%
Trismus (+) Opitotonus (+) kejang (+)
A:
Tetanus Grade III
Abses Femur
P:
Inj ranitidin 2 x 1amp
Inj Ondansentron 3 x 1amp
Inj Tetanus Toxoid 0,5cc IM
-Diazepam 3 x 1amp IV
Tanggal 3-12-2016
S:
Demam (-), Opitotonus (+) Kejang (-)
O:
Trismus (+) 1 jari
A:
Tetanus Grade II
Abses femur
P:
-Terapi teruskan
Tanggal 6-12-2016
S:
Sesak (-) , sudah mulai dapat menggerakan tangan dan kaki, trismus (+) bsa masuk 3jari,
kejang (-)
O:
Kes : cm Td: 110/80mmhg rr: 20x/i
Temp: 36
A:
Tetanus Grade II
Abses femur
P:
-Diet bubur
-Diazepam Inj diganti dengan Diazempan 2x1 tab
-Terapi teruskan
Tanggal 8-12-2016
S: defans muskular (-) ,
O:
KU: baik Kes : cm Td: 110/80mmhg rr: 20x/i
Temp: 36 HR : 90x/i SPO2: 99%
A:
Tetanus
Abses Femur
P:
Pasien dibolehkan pulang dan rawat jalan
Terapi pulang
-Diazepam 2x1tab
-Eperison 2x1tab
1.6 Resume
Tn. E, 49 tahun, datang ke IGD dengan keluhan kaku pada seluruh badan dan mulut
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Keluhan disertai kaku pada leher dan perut
serta punggung keras seperti papan. Pasien juga mengeluh seluruh tubuh terasa nyeri,
demam, sulit menelan dan nafas terasa sesak. Penderita mengalami kejang sebanyak 1 kali,
kejang seluruh tubuh yang terjadi ketika mendengar yang mengejutkan. Riwayat luka
tertusuk kayu diakui 12 hari SMRS . Pada pemeriksaan fisik didapatkan trismus (+) tidak
dapat dimasukkan jari, opistotonus (+), kejang spontan (+). Pemeriksaan laboratorium dan
EKG dalam batas normal.
1.7 Diagnosis
- Diagnosis klinis : Trimus et causa C. Tetanii, kaku pada kedua tangan, kedua kaki,
leher, perut dan punggung.
- Diagnosis topis : Neuromuscular junction
- Diagnosis etiologis : C. Tetanii
- Diagnosis patologi : Infeksi
1.9 Penatalaksanaan
- Diazepam injeksi 2 x 1 amp IV bolus 10-15 menit
- Tetagam 3000 U
- Drip metronidazole 3x500 mg
- Injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr
- Ranitidin injeksi 2 x 50 mg IV
- Ondancentron injeksi 3x4 mg IV
- Paracetamol drip 2x1 k/p
- Infus livamir / 12 jam
- Episan 3x1 cth
- Clobazam 1x5 mg PO
- Sanadryl DMP 3x1C
1.10 Prognosis
- Ad Vitam : ad bonam
- Ad Fungsionam : ad bonam
- Ad Sanationam : dubia ad bonam
BAB II
ANALISA KASUS
Pada kasus ini terdapat Tn. E, 49 tahun, datangke IGD dengan keluhan kaku pada
seluruh badan dan mulut sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Keluhan disertai
kaku pada leher dan perut serta punggung keras seperti papan. Pasien juga mengeluh seluruh
tubuh terasa nyeri, demam, sulit menelan dan nafas terasa sesak. Penderita mengalami kejang
sebanyak 1 kali, kejang seluruh tubuh yang terjadi ketika mendengar yang mengejutkan.
Riwayat luka tertusuk kayu diakui 12 hari SMRS . Dari Pemeriksaan Fisik didapatkan gejala
yang medukung untuk ditagakkanya diagnosis tetanus yaitu adanya kaku kuduk (+), trismus
(+), dan Perut tegang dan keras seperti papan, kejang spontan (+). Pemeriksaan laboratorium
dan EKG dalam batas normal.
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan. Sebagian
besar penderita mempunyai riwayat trauma dalam 14 hari terakhir. Kelompok khas adalah
pada individu yang belum diimunisasi atau pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang tidak
diimunisasi. Jika riwayat trauma dalam 14 hari terakhir didapatkan dari penderita dengan
trismus, kekakuan otot yang menyeluruh dan spasme tetapi tetap sadar, maka dapat
diperkirakan suatu diagnosis tetanus.
Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf
pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot.
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak,
ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap
desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam
tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam
patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja
pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang. Pada
kasus ini pasien telah diberikan TETAGAM 3000 U/IM yang bertujuan untuk mencegah
penyebaran toksin dan manifestasi klinis yang lebih lanjut disertai dengan pemberian
antibiotik metronidazol.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tetanus
Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama disebabkan
kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia sekolah, sirkumsisi
pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi akan
tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula. Di
negara maju, kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah
sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di
sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah.
Spora Clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang
hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang utama di negara berkembang. Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia
masih tinggi. Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka
kematian tetanus neonatorumnya tinggi.
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat
dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate
yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani
dengan baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian. Penatalaksanaan yang baik
ditentukan antara lain oleh pemahaman yang tepat mengenai patofisiologi, manifestasi klinik,
diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus.
2.2 Definisi
Definisi Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka,
sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan
respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan
dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem
saraf perifer atau otot.
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif,
bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap
desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam
tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam
patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja
pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.
2.3 Patofisiologi
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif
yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan
atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan
oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan
produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat.
Kuman ini dapat membentuk metaloexotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia
adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion
spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke
motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam
sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke
SSP.
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan
saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik
sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga
terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau
pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum belakang terjadi kekakuan
yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul
kejang.
Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang
umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna,
saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung,
hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu
jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan
penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun
gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti.
Mekanisme kerja toksin tetanus:
1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai
efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai
saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin
mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama
dihubungkan dengan toksin tersebut.
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf
Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada
neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport
toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui
secara jelas. Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu
toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap
mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel
saraf.
3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu
dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino
Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling
utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang
eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA,
namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah
sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.
6. Gangguan metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang,
peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan
hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi
dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya
peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum
protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak
dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem
pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein
yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme
anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan
sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak
cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa
pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap
toksin.
7. Gangguan Hormonal
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi
pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan
adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan
awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang
berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang
merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi
monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang
diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar
endokrin.
8. Gangguan pada sistem lain
Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung
dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat
berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-
ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan
klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal
disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari
hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu. Secara teoritis
ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat terjadi karena
gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat batang
otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ
dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas
kapiler pada organ tertentu.
d. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,
umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak
mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah
ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan
spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan
opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan
ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan
tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi
pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti
nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s :
a. Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak
ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
b. Derajat II (sedang)
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia
ringan
c. Derajat III (berat) Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic
spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi
d. Derajat IV (sangat berat)
Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler,
yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat
atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia
atau penyebab iatrogenik.
2.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat
luka.
Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot
perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
Kejang umum episodik dicetuskan dengan rangsang minimal maupun spontan
dimana kesadaran tetap baik.
Temuan laboratorium :
Lekositosis ringan
Trombosit sedikit meningkat
Glukosa dan kalsium darah normal
Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
Enzim otot serum mungkin meningkat
EKG dan EEG biasanya normal
Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka
dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram
positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan. -
Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)
2. Tatalaksana Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit
perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta
nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah
penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit
100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau
120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk
melihat tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari
hidung dan mulut harus dikerjakan.
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau
sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih
dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada :
1. Semua penderita dengan tetanus derajat IV
2. Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi
konservatif dan PaO2 < >
3. Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.
3. Tatalaksana berdasarkan tingkat penyakit tetanus
a. Tetanus ringan
Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik,
HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas.
b. Tetanus sedang
Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau trakeostomi
dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian cairan
parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral.
c. Tetanus berat
Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan intensif,
trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta pemberikan
cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan pankuronium bromid
0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3 jam. Bila terjadi
aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti propanolol.
2.7 Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka
mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang
modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya
adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien.
Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek
masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan
turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi
prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat,
karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis
baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup,
meskipun terjadi tetanus(.
Tabel . Philip’s Score
Waktu Masuk Skor Selama Perawatan Skor
Masa Inkubasi Spasme
> 14 hari 1 Hanya trismus 1
> 10 hari 2 Kaku seluruh badan 2
5 – 10 hari 3 Kejang terbatas 3
2 – 5 hari 4 Kejang seluruh badan 4
< 48 jam 5 Optistotonus 5
Imunisasi Frekuensi Spasme
Lengkap 0 6 x dalam 12 jam 1
< 10 tahun 2 Dengan rangsangan 2
> 10 tahun 4 Terkadang spontan 3
Ibu diimunisasi 8 Spontan < 3x per 15 menit 4
Tidak diimunisasi 10 Spontan > 3x per 15 menit 5
Luka Infeksi Suhu Suhu
Tidak diketahui 1 36.7 - 37 C 1
Distal/perifer 2 37.1 – 37.7 C 2
Proksimal 3 37.8 – 38.2 C 4
Kepala 4 38.3 – 38.8 C 8
Badan 5 > 38.8 C 10
Komplikasi Pernafasan
Tidak ada 1 Sedikit berubah 0
Ringan 2 Apnea saat kejang 2
Tidak membahayakan 4 Kadang apnea setelah kejang 4
Mengancam Nyawa (tidak 8 Selalu apnea setelah kejang 8
langsung) 10 Perlu trakeostomi 10
Mengancam nyawa
2.7 Pencegahan
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal.
Untuk pencegahan, perlu dilakukan:
a. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat
efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang
tersedia –adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid
tetanus tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid
difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai
DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat
diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis
imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.
Tetanus Toxoid harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun dan
jika riwayat imunisasi tidak diketahui. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10
tahun yang lalu, maka HTIG (Human Tetanus Immunoglobulin) juga harus diberikan.
Dosis TT (tetanus toxoid) pada usia > 7 tahun adalah 0,5 ml IM. Untuk usia< 7 tahun,
gunakan DPT atau DtaP sebagai pengganti TT. Jika kontraindikasi terhadap pertusis,
[10]
berikan DT dengan dosis 0,5 ml IM. Semua individu dewasa yang imun secara
parsial atau tidak sama sekali hendaknya mendapatkan vaksin tetanus. Serial vaksinasi
untuk dewasa terdiri atas tiga dosis, yaitu dosis pertama dan kedua diberikan dengan
jarak 4-8 minggu. Dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama. Dosis
ulangan diberikan tiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia dekade pertengahan
seperti 35, 45 dan seterusnya.
b. Perawatan Luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka
yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna mencegah
timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus dibuang. Untuk
pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada penghindaran
persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA