Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

TETANUS

Disusun Oleh :
dr. Bayu Ramadhan

Pembimbing :
dr. Ade Fitra
dr. Lidyawati

Narasumber :
dr. Agus, Sp.S

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


KEMENTERIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
RUMAH SAKIT OTORITA BATAM
2016/2017
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Tn.E
Tempat, Tanggal lahir : Batam, 24 Oktober 1967
Umur : 49 tahun
Alamat : Batam
Suku bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Buruh bangunan
Pendidikan terakhir : SMA
No.Rekam Medis : 38.83.71
Tanggal masuk : 28 November 2016
Tanggal pemeriksaan : 29 November 2016

1.2 Anamnesis
Dilakukan anamnesis secara aloanamnesa .
KeluhanUtama
Kaku pada seluruh badan dan mulut sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
Keluhan Tambahan
Sesak napas sejak 3jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSOB dengan keluhan kaku pada seluruh badan dan mulut
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS), Pasien merupakan rujukan dari
puskesmas dengan diagnosa tetanus. Kaku pada seluruh badan dan mulut terjadi secara
perlahan – lahan. Awalnya kaku dirasakan pada mulut yang tampak seperti orang
tersenyum, mulut sukar dibuka, dan tidak dapat dimasukin jari sehingga pasien kesulitan
bernapas. Keluhan disertai kaku pada leher dan perut serta punggung keras seperti papan.
Pasien juga mengeluh seluruh tubuh terasa nyeri, demam, sulit menelan dan nafas
terasa sesak. Penderita mengeluh mengalami kejang sebanyak 1 kali, kejang seluruh
tubuh yang terjadi ketika mendengar yang mengejutkan. Keluhan nyeri kepala hebat
disangkal. Muntah menyemprot disangkal. Penderita sebelumnya tidak pernah digigit
oleh anjing, kucing atau kera.
Riwayat luka tertusuk kayu diakui 12 hari SMRS . Luka pada paha kanan bagian
belakang. Saat itu luka langsung dijahit di puskesmas dan saat kontrol kembali 4 hari
kemuadian, luka tampak bernanah. Pada saat pengobatan luka di puskesmas, pasien tidak
mendapatkan suntikan anti tetanus. Penyakit dengan keluhan yang sama belum pernah
dialami sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat cabut gigi disangkal
- Riwayat luka karena trauma pada paha kanan diakui pasien 12 hari SMRS karena
tertusuk kayu.
- Riwayat mengorek kuping dengan benda logam disangkal
- Riwayat epilepsi disangkal
- Riwayat digigit hewan disangkal
Kesan : Luka pada paha kanan berhubungan dengan penyakit sekarang (sebagai port d
entre)
Riwayat Penyakit Keluarga
- Dikeluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama seperti pasien.
- Riwayat epilepsi dalam keluarga disangkal.
Riwayat Kebiasaan
- Tidak ada riwayat kebiasaan yang berhubungan dengan penyakit pasien.

1.3 Pemeriksaan Fisik


KeadaanUmum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 140/80 mmHg
- Frekuensi nadi : 88x/menit, regular, isi cukup
- Frekuensi napas : 26 x/menit
- Suhu : 37 C
- Saturasi O2 : 100%

Kepala : Normocephal, rambut berwarna hitam dan tumbuh merata.


Trismus (+)
Leher : Kuduk kaku (+)
Thorax
- Inspeksi : Hemitoraks kanan dan kiri simetris pada saat statis dan
dinamis
- Palpasi : Hemitoraks kanan dan kiri simetris pada saat fremitus taktil
- Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
- Auskultasi : Suara napas vesikular, wheezing -/-, rhonki -/-

Abdomen
- Inspeksi : Datar, simetris
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : Teraba tegang seperti papan, tidak teraba massa, dan tidak ada nyeri
tekan
- Perkusi : Timpani hampir diseluruh kuadran abdomen

Ekstremitas
- Superior : Akral teraba hangat, CRT < 2”, dan tidak tampak deformitas
- Inferior : Tampak adanya ulkus pada femur dekstra.
Akral teraba hangat, CRT < 2”, dan tidak tampak deformitas

STATUS NEUROLOGI
Kesadaran kuantitatif : GCS (E4 V6 M5)
Orientasi : Baik
Refleks Fisiologis
Pemeriksaan Kanan Kiri
Superior & Inferior
Bisep +2 +2
Trisep +2 +2
Patela +2 +2
Achiles +2 +2

Refleks Patologis
Pemeriksaan Kanan Kiri
Superior & Inferior
Hoffman Trommer - -
Babinski - -
Chaddock - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Openheim - -
Klonus patella - -
Klonus achilles - -

Tanda Rangsang Meningeal


Kaku kuduk :-
Brudzinski I : -/-
Brudzinski II : -/-
Kernig : -/-
Laseq : -/-

Peningkatan Tekanan Intrakranial


Penurunan Kesadaran :-
Muntah proyektil :-
Sakit kepala hebat :-
Edema papil : tidak dilakukan pemeriksaan

Saraf Kranial
Nervus I Olfaktorius : Normosmia
Nervus II Optikus
Kanan Kiri
Ketajaman penglihatan Baik Baik
Menilai warna Baik Baik
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Papil Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Retina Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Medan penglihatan Baik Baik

Nervus III Okulomotorius


Kanan Kiri
Ptosis - -
Gerakan mata ke medial + +
Gerakan mata ke atas + +
Gerakan mata ke bawah + +
Bentuk Pupil Bulat, isokor 3mm Bulat,isokor 3mm
Reflek Cahaya Langsung + +
Reflek Cahaya Tidak Langsung + +
Reflek Akomodatif + +
Strabismus Divergen - -
Diplopia - -

Nervus IV Troklearis
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral bawah + +
Strabismus konvergen - -
Diplopia - -

Nervus V Trigeminus : Sulit dinilai oleh karena trismus (+)


Nervus VI Abdusen
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral + +
Strabismus konvergen - -
Diplopia - -

Nervus VII Fasialis


Kanan Kiri
Fungsi Motorik
Mengerutkan dahi + +
Mengangkat alis + +
Memejamkan mata + +
Menyeringai + +
Mengembungkan pipi + +
Mencucurkan bibir + +
Reflek Glabella - -
Tanda Chovstek - -
Fungsi Pengecapan
2/3 depan lidah Sulit dinilai

Nervus VIII Vestibulokoklearis


Kanan Kiri
Mendengar suara berbisik + +
Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nistagmus - -
Past Pointing - -

Nervus IX dan X Glossofaringeus dan Vagus


Kanan Kiri
Arkus faring Sulit dinilai
Uvula Sulit dinilai
Refleks muntah Tidak dilakukan
Tersedak -
Disartria -
Daya kecap 1/3 lidah Sulit dinilai

Nervus XI Aksesorius
Mengangkat bahu & Menoleh
Kanan -
Kiri -

Nervus XII Hipoglosus


Menjulurkan lidah Sulit dinilai
Atrofi -
Artikulasi Buruk
Tremor -
Sistem Motorik
Ekstremitas Superior
Kekuatan Motorik : 5 5

Kanan Kiri
Tonus otot : normotonus normotonus
Trofi : eutrofi eutrofi
Gerakan : terbatas terbatas
Ekstremitas Inferior
Kekuatan Motorik :
5 5

Kanan Kiri
Tonus otot : normotonus normotonus
Trofi : eutrofi eutrofi
Gerakan : terbatas terbatas

Gerakan involunter :
Tremor : - -
Chorea : - -
Ballismus : - -
Athetose : - -

Sistem Sensorik : tidak dilakukan


Fungsi Keseimbangan dan Koordinasi : tidak dilakukan
Fungsi Vegetatif
Miksi :+
Inkontinensia urine :-
Defekasi :-
Inkontinensia alvi :-
Fungsi Luhur
Astereognosia :-
Apraksia :-
Afasia :-
Keadaan Psikis
Intelegensia : Baik
Demensia :-
Tanda regresi :-

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Dilakukan pemeriksaan laboratorium tanggal 29 November 2016
DARAH PERIFER LENGKAP
Parameter 17/3/16 Nilai Normal
Hb 13.8 13-18 g/dl
Hematokrit 40.4 35-50%
Eritrosit 4.26 3.8-5.8 x 106/µL
Leukosit 8.08 5.000-10.000/μL
Trombosit 369 150-440 ribu /μL
MCV 94.8 80-100 fl
MCH 32.4 26-34 pg
MCHC 34.2 32-36 g/dl
Basofil 0.04 0-1 %
Eosinofil 0.30 103/µL
Neutrofil 5.33 103/µL
Limfosit 2.00 103/µL
Monosit 0.41 103/µL
ELEKTROLIT
Parameter 8/3/16 Nilai Normal
Na 138 135-147 meq/l
Kalium 3.6 3.5-5 meq/l
Chlor 110 94-111 meq/l
KIMIA DARAH
Parameter 17/3/16 Nilai Normal
Ureum 12.8 18-55 mg/dL
Kreatinin 0.95 0,7-1,3 mg/dL
GDS 87 <126 mg/dL
SGOT 19 0-35 U/L
SGPT 22 0-45 U/L
Bilirubin total 0.43 0.3-1.2 mg/dl
Albumin 4.3 3.2-5.0 g/dl

1.5 Follow – up
Tanggal 29-11-2016
S:
Perut terasa sakit dan tegang,
O:
Sens : CM Td : 120/70 mmhg Temp : 38.1
RR: 24x/i HR : 100x/i SPO2 : 98%
Trismus (+) Opitotonus (+) Kejang (+)
A:
Tetanus Grade III
P:
Konsul dr. Agus. Sp.s
- Paracetamol Drip 1gr
- Clobazam 1 x 5mg

Tanggal 30-11-2016
S:
Os merasakan mual (+), Nafas terasa sesak(+)
O:
KU: gelisah Kes : cm RR: 28x/i SPO2: 98%
Trismus (+) Opitotonus (+) kejang (+)
A:
Tetanus Grade III
Abses Femur
P:
Inj ranitidin 2 x 1amp
Inj Ondansentron 3 x 1amp
Inj Tetanus Toxoid 0,5cc IM
-Diazepam 3 x 1amp IV

Tanggal 3-12-2016
S:
Demam (-), Opitotonus (+) Kejang (-)
O:
Trismus (+) 1 jari
A:
Tetanus Grade II
Abses femur
P:
-Terapi teruskan

Tanggal 6-12-2016
S:
Sesak (-) , sudah mulai dapat menggerakan tangan dan kaki, trismus (+) bsa masuk 3jari,
kejang (-)
O:
Kes : cm Td: 110/80mmhg rr: 20x/i
Temp: 36
A:
Tetanus Grade II
Abses femur
P:
-Diet bubur
-Diazepam Inj diganti dengan Diazempan 2x1 tab
-Terapi teruskan

Tanggal 8-12-2016
S: defans muskular (-) ,
O:
KU: baik Kes : cm Td: 110/80mmhg rr: 20x/i
Temp: 36 HR : 90x/i SPO2: 99%
A:
Tetanus
Abses Femur
P:
Pasien dibolehkan pulang dan rawat jalan
Terapi pulang
-Diazepam 2x1tab
-Eperison 2x1tab

1.6 Resume
Tn. E, 49 tahun, datang ke IGD dengan keluhan kaku pada seluruh badan dan mulut
sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Keluhan disertai kaku pada leher dan perut
serta punggung keras seperti papan. Pasien juga mengeluh seluruh tubuh terasa nyeri,
demam, sulit menelan dan nafas terasa sesak. Penderita mengalami kejang sebanyak 1 kali,
kejang seluruh tubuh yang terjadi ketika mendengar yang mengejutkan. Riwayat luka
tertusuk kayu diakui 12 hari SMRS . Pada pemeriksaan fisik didapatkan trismus (+) tidak
dapat dimasukkan jari, opistotonus (+), kejang spontan (+). Pemeriksaan laboratorium dan
EKG dalam batas normal.

1.7 Diagnosis
- Diagnosis klinis : Trimus et causa C. Tetanii, kaku pada kedua tangan, kedua kaki,
leher, perut dan punggung.
- Diagnosis topis : Neuromuscular junction
- Diagnosis etiologis : C. Tetanii
- Diagnosis patologi : Infeksi

1.8 Diagnosis banding


- Epilepsi
- Ensefalitis
- Rabies

1.9 Penatalaksanaan
- Diazepam injeksi 2 x 1 amp IV bolus 10-15 menit
- Tetagam 3000 U
- Drip metronidazole 3x500 mg
- Injeksi ceftriaxone 2 x 1 gr
- Ranitidin injeksi 2 x 50 mg IV
- Ondancentron injeksi 3x4 mg IV
- Paracetamol drip 2x1 k/p
- Infus livamir / 12 jam
- Episan 3x1 cth
- Clobazam 1x5 mg PO
- Sanadryl DMP 3x1C

1.10 Prognosis
- Ad Vitam : ad bonam
- Ad Fungsionam : ad bonam
- Ad Sanationam : dubia ad bonam
BAB II
ANALISA KASUS

Pada kasus ini terdapat Tn. E, 49 tahun, datangke IGD dengan keluhan kaku pada
seluruh badan dan mulut sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Keluhan disertai
kaku pada leher dan perut serta punggung keras seperti papan. Pasien juga mengeluh seluruh
tubuh terasa nyeri, demam, sulit menelan dan nafas terasa sesak. Penderita mengalami kejang
sebanyak 1 kali, kejang seluruh tubuh yang terjadi ketika mendengar yang mengejutkan.
Riwayat luka tertusuk kayu diakui 12 hari SMRS . Dari Pemeriksaan Fisik didapatkan gejala
yang medukung untuk ditagakkanya diagnosis tetanus yaitu adanya kaku kuduk (+), trismus
(+), dan Perut tegang dan keras seperti papan, kejang spontan (+). Pemeriksaan laboratorium
dan EKG dalam batas normal.
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditemukan. Sebagian
besar penderita mempunyai riwayat trauma dalam 14 hari terakhir. Kelompok khas adalah
pada individu yang belum diimunisasi atau pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang tidak
diimunisasi. Jika riwayat trauma dalam 14 hari terakhir didapatkan dari penderita dengan
trismus, kekakuan otot yang menyeluruh dan spasme tetapi tetap sadar, maka dapat
diperkirakan suatu diagnosis tetanus.
Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf
pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot.
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak,
ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap
desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam
tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam
patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja
pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang. Pada
kasus ini pasien telah diberikan TETAGAM 3000 U/IM yang bertujuan untuk mencegah
penyebaran toksin dan manifestasi klinis yang lebih lanjut disertai dengan pemberian
antibiotik metronidazol.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tetanus
Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama disebabkan
kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia sekolah, sirkumsisi
pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi akan
tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula. Di
negara maju, kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah
sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di
sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah.
Spora Clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang
hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat
yang utama di negara berkembang. Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia
masih tinggi. Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka
kematian tetanus neonatorumnya tinggi.
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat
dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate
yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani
dengan baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian. Penatalaksanaan yang baik
ditentukan antara lain oleh pemahaman yang tepat mengenai patofisiologi, manifestasi klinik,
diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus.

2.2 Definisi
Definisi Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini
ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka,
sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan
respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan
dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem
saraf perifer atau otot.
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif,
bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap
desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam
tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam
patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja
pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.

2.3 Patofisiologi
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif
yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan
atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan
oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan
produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat.
Kuman ini dapat membentuk metaloexotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia
adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion
spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke
motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam
sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke
SSP.
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan
saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik
sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga
terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau
pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum belakang terjadi kekakuan
yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul
kejang.
Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang
umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna,
saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung,
hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu
jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan
penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun
gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti.
Mekanisme kerja toksin tetanus:
1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai
efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai
saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin
mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama
dihubungkan dengan toksin tersebut.
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf
Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada
neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport
toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui
secara jelas. Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu
toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap
mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel
saraf.
3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu
dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino
Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling
utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang
eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA,
namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah
sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.

Perubahan akibat toksin tetanus


1. Susunan saraf pusat
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang
terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation.
Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer,
sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena
makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat
menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan
dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas
kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin,
ada beberapa yang resisten terhadap toksin.
Rasa sakit
Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan
neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa
sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada
kornu posterior dan interneuron.
Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya
brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek
hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan(6).
2. Aktifitas neuromuskular perifer
Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai
efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat.
Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit
karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat
pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n.fasialis lebih sensitif
terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi. Efek lain toksin tetanus
terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:
a. Neuropati perifer
b. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang
terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan
setelah sembuh.
c. Denervasi parsial dari otot tertentu.
3. Perubahan pada sistem saraf autonom
Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini
mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut.
Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari
otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu
lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum
mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi
kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu
organ tertentu.
4. Gangguan Sistem pernafasan
Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :
a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot
diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang
terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga
menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai
dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas
berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.
b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya
spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan
menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang
dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.
c. Kelainan paru akibat iatrogenik.
d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal
Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang
terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic
pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi
sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.
e. Gangguan pusat pernafasan
Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada
penderita tetanus adalah :
 Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa
ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret
pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai ½-1 jam.
 Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged
respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.
 Henti nafas akut dan mati mendadak.

Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder


seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau spasme laring,
hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam
basa.
5. Gangguan hemodinamika.
Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan
sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat
masih sangat jarang dilakukan karena :
 Kendala etik
 Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi
paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang kesemua
ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi
 Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit
penilaian dari hasil penelitian.

6. Gangguan metabolik
Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang,
peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan
hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi
dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya
peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum
protein terutama fraksi albumin.
Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak
dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem
pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein
yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme
anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan
sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak
cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa
pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap
toksin.
7. Gangguan Hormonal
Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi
pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan
adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan
awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang
berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang
merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi
monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang
diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar
endokrin.
8. Gangguan pada sistem lain
Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung
dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat
berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-
ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan
klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal
disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari
hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu. Secara teoritis
ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat terjadi karena
gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat batang
otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ
dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas
kapiler pada organ tertentu.

2.3 Manifestasi klinis


1. Manifestasi Klinis
Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus
sampai kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut
awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik(9).
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
a. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka
kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap
disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat
berkembang menjadi tetanus umum.
b. Tetanus sefal
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang
disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya
berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus
sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya
biasanya jelek.
c. Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa
trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut
(opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit dan
kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan
ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.

d. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,
umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak
mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah
ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan
spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan
opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan
ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan
tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi
pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti
nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s :
a. Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak
ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
b. Derajat II (sedang)
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia
ringan
c. Derajat III (berat) Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic
spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi
d. Derajat IV (sangat berat)
Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler,
yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat
atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia
atau penyebab iatrogenik.

2.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:
 Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat
luka.
 Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap
 Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot
perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.
 Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek
 Kejang umum episodik dicetuskan dengan rangsang minimal maupun spontan
dimana kesadaran tetap baik.
Temuan laboratorium :
 Lekositosis ringan
 Trombosit sedikit meningkat
 Glukosa dan kalsium darah normal
 Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
 Enzim otot serum mungkin meningkat
 EKG dan EEG biasanya normal
 Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka
dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram
positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan. -
Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

2.5 Diagnosis banding dan komplikasi


1. Diagnosis banding
Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah Meningitis
bakterialis, Rabies, Poliomielitis, Epilepsi, Ensefalitis, Sindrom Shiffman, Efek
samping fenotiazin, Peritonsiler abses.
2. Komplikasi
Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia,
bronkopneumonia dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada
sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat
menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat
menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada sistem
kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi,
hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran cerna,
infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolik.
2.6 Penatalaksanaan
1. Tatalaksana Dasar
a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.
Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk
vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin
G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka
terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi
ketiga.
Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2
juta 1 kali sehari. Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000
unit/kgBB/hari IV selama 10-14 hari.
Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari
digunakan bila diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah
ditegakkan diganti Penisilin
G. Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara
loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam
perinfus setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna
menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek
dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang.
Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan
tetrasiklin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis
dan diberikan secara peroral.
Disamping itu juga dilakukan perawatan luka. Luka dibersihkan atau
dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka dibiarkan terbuka. Sebaiknya
dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan sedasi. Pada tetanus
neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan hidrogen peroksida, bila
perlu dapat dilakukan omphalektomi.
b. Netralisasi toksin
1. Anti Tetanus Serum (ATS)
Digunakan Anti tetanus serum. Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah
50.000-100.000 unit, setengah dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi
diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada
tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan
secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi
iritasi meningen. Namun ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada
meningen dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV,
adapun dosis ATS yang disarankan 250-500 IU.
2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)
Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan
dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan
Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-
2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24
jam pertama setelah timbul gejala.
Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan
pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena
kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara
intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.
Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang
dapat diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan
HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar
antitoksin darah sebelum debridemen luka.
c. Menekan efek toksin pada SSP
1. Benzodiazepin
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini
mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat.
Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan
ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks
polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama terjadi bila
diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang diberikan pada neonatus adalah
0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994), pemberian diazepam pada anak
dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3
mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat
diberikan per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat
selama 24 jam.
2. Barbiturat
Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk
neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat
menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan
segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit
sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan
bersama-sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui
selang nasogastrik.
3. Fenotiazin
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM
4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak
dibenarkan diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada
penderita dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi.

2. Tatalaksana Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit
perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta
nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah
penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit
100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau
120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk
melihat tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari
hidung dan mulut harus dikerjakan.
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau
sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih
dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada :
1. Semua penderita dengan tetanus derajat IV
2. Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi
konservatif dan PaO2 < >
3. Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.
3. Tatalaksana berdasarkan tingkat penyakit tetanus
a. Tetanus ringan
Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik,
HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas.
b. Tetanus sedang
Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau trakeostomi
dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian cairan
parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral.
c. Tetanus berat
Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan intensif,
trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta pemberikan
cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan pankuronium bromid
0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3 jam. Bila terjadi
aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti propanolol.

2.7 Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka
mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang
modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya
adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien.
Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek
masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan
turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi
prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat,
karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis
baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup,
meskipun terjadi tetanus(.
Tabel . Philip’s Score
Waktu Masuk Skor Selama Perawatan Skor
Masa Inkubasi Spasme
> 14 hari 1 Hanya trismus 1
> 10 hari 2 Kaku seluruh badan 2
5 – 10 hari 3 Kejang terbatas 3
2 – 5 hari 4 Kejang seluruh badan 4
< 48 jam 5 Optistotonus 5
Imunisasi Frekuensi Spasme
Lengkap 0 6 x dalam 12 jam 1
< 10 tahun 2 Dengan rangsangan 2
> 10 tahun 4 Terkadang spontan 3
Ibu diimunisasi 8 Spontan < 3x per 15 menit 4
Tidak diimunisasi 10 Spontan > 3x per 15 menit 5
Luka Infeksi Suhu Suhu
Tidak diketahui 1 36.7 - 37 C 1
Distal/perifer 2 37.1 – 37.7 C 2
Proksimal 3 37.8 – 38.2 C 4
Kepala 4 38.3 – 38.8 C 8
Badan 5 > 38.8 C 10
Komplikasi Pernafasan
Tidak ada 1 Sedikit berubah 0
Ringan 2 Apnea saat kejang 2
Tidak membahayakan 4 Kadang apnea setelah kejang 4
Mengancam Nyawa (tidak 8 Selalu apnea setelah kejang 8
langsung) 10 Perlu trakeostomi 10
Mengancam nyawa
2.7 Pencegahan
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal.
Untuk pencegahan, perlu dilakukan:
a. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat
efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang
tersedia –adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid
tetanus tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid
difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai
DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat
diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis
imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.
Tetanus Toxoid harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun dan
jika riwayat imunisasi tidak diketahui. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10
tahun yang lalu, maka HTIG (Human Tetanus Immunoglobulin) juga harus diberikan.
Dosis TT (tetanus toxoid) pada usia > 7 tahun adalah 0,5 ml IM. Untuk usia< 7 tahun,
gunakan DPT atau DtaP sebagai pengganti TT. Jika kontraindikasi terhadap pertusis,
[10]
berikan DT dengan dosis 0,5 ml IM. Semua individu dewasa yang imun secara
parsial atau tidak sama sekali hendaknya mendapatkan vaksin tetanus. Serial vaksinasi
untuk dewasa terdiri atas tiga dosis, yaitu dosis pertama dan kedua diberikan dengan
jarak 4-8 minggu. Dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama. Dosis
ulangan diberikan tiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia dekade pertengahan
seperti 35, 45 dan seterusnya.
b. Perawatan Luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka
yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna mencegah
timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus dibuang. Untuk
pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada penghindaran
persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Ningsih S, Witarti N. Tetanus. 2007. Available from:


www.pediatrik.com/pediatrik/061031-joiq163.doc.
2. Lubis UN. Tetanus Lokal pada Anak. 2004. Available from:
www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15.
3. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam :
Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ; 209-213.
4. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical Neurology.
Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871
5. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson
Textbook of Pediatrics Vol 1” 17th edition W.B. Saunders Company. 2004
6. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
7. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2006.p 1777-
1784
8. Widoyono. Penyakit Tropis epidemiology, penularan, pencegahan dan
pemberantasannya. Edisi I Penerbit Erlangga. 2008 : p 29-33.

Anda mungkin juga menyukai