Anda di halaman 1dari 46

Laporan Kasus

G2P1A0H2 GRAVID 6 - 7 MINGGU AKUT ABDOMEN EC


SUSPECT KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU + BEKAS SC

Disusun Oleh:

Cynthia Isra M
Faradina Santi
Ilham Irvianda
Isnani Kurniyanti
M. Rizki Pernadi
Nur Ulfah P
Pramita Rukmana
Sonya Andzil M Tori
Wahyuli Armi

Pembimbing:
dr. Edy Fakhrizal, Sp.OG (K)
dr. Rika Effendy, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2020
BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang terjadi diluar kavitas uterus

yang secara anatomis dan fisiologis tidak dirancang untuk menerima konsepsi

atau tempat pertumbuhan dan perkembangannya janin.1 Di Amerika Serikat

kejadian kehamilan ektopik terjadi pada 0,5-1,5% kehamilan trimester pertama.1,2

Di Jerman diperkirakan terdapat 20 kehamilan ektopik untuk setiap 1000

kelahiran hidup.3 Hampir 95% kehamilan ektopik terjadi pada tuba fallopi, dengan

lokasi terbanyak yaitu pada ampula sebesar 70%.2

Tahun 2011-2013, ruptur kehamilan ektopik terjadi sebesar 2,7% pada

kematian yang berkaitan dengan kehamilan dan merupakan penyebab terbanyak

kematian yang berkaitan dengan perdarahan.4 Peningkatan metode diagnostik dan

tatalaksana secara global telah menurunkan kejadian kehamilan ektopik hingga

0,05% namun kualitas diagnosis dan tatalaksana kondisi ini masih tidak merata,

sehingga diperlukan penegakan diagnosis dan tatalaksana yang tepat untuk

mencegah morbiditas dan mortalitas akibat kehamilan ektopik.3

Pada kehamilan ektopik dapat dijumpai trias klasik berupa menstruasi yang

tertunda, nyeri, dan perdarahan dari jalan lahir/ spotting. Saat terjadi ruptur

kehamilan ektopik dapat ditemukan gejala dan tanda berupa ketidakstabilan

hemodinamik dan akut abdomen.. Evaluasi diagnostik minimal yang dapat

dilakukan pada kehamilan yang dicurigai ektopik adalah transvaginal ultrasound

(TVU) dan konfirmasi kehamilan dengan BhCG.4 Pilihan tatalaksana kehamilan

ektopik dapat berupa terapi medikamentosa atupun pembedahan.4


BAB II

ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. SA
Umur : 36 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pegawai Negeri
Agama : Islam
Suku : Melayu
Status : Menikah
Alamat : Jl. Segar, Tenayan Raya, Pekanbaru
No RM : 00694941
Masuk RS tanggal 19 Juli 2020 pukul 23.00 WIB

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis
Keluhan utama
Pasien datang ke VK IGD RSUD Arifin Achmad dengan keluhan nyeri perut
bagian bawah yang memberat sejak 3 jam SMRS.

Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke VK IGD RSUD Arifin Achmad dengan keluhan nyeri
perut bagian bawah yang awalnya dirasakan sejak 11 jam SMRS namun
memberat sejak 3 jam SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus dan seperti ditusuk-
tusuk. Pasien juga mengeluhkan keluar darah bergumpal-gumpal dari jalan lahir
dan sudah 2 kali ganti pembalut sejak 11 jam SMRS. Nyeri pinggang menjalar ke
ari-ari disangkal, keluar air-air dari jalan lahir disangkal, dan keluar lendir
bercampur darah disangkal. Pasien mengaku sudah terlambat haid 2 minggu,
namun pasien tidak pernah melakukan pemeriksaan tes kehamilan. Menurut
pasien haid terakhirnya tanggal 5 Juni 2020 dengan perkiraan usia kehamilan saat
ini 6-7 minggu.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat hipertensi (-),
penyakit jantung (-),
penyakit paru (-),
penyakit ginjal (-)
penyakit hati (-),
DM (-),
alergi (-).

Riwayat penyakit keluarga


Riwayat penyakit infeksi menular (-),
penyakit keturunan (-),
cacat bawaan (-),
gangguan kejiwaan (-).

Riwayat haid
Menarche usia 14 tahun, siklus teratur 28 hari, lama haid 5-6 hari, ganti pembalut
2-3x/hari, jumlah haid normal kira-kira…….. nyeri haid (-), HPHT 5 Juni 2020.

Riwayat perkawinan
Menikah 1 kali, tahun 2010

Riwayat persalinan
1. Tahun 2010/ persalinan aterm /SCa/i gemelli/perempuan hidup sehat dan
laki-laki/ BBL:3100 g dan 2700 /RS Eria Bunda/ hidup.
Tahun 2010/aterm /laki-laki/2700 g/SC a/i gemelli aterm/ SpOG/RS Eria
Bunda/
hidup.
2. Hamil saat ini

Riwayat pemakaian kontrasepsi


Penggunaan kontrasepsi IUD sejak tahun 2010-2019

Riwayat operasi sebelumnya


Riwayat operasi SC tahun 2010

Riwayat sosial ekonomi


- Pasien seorang PNS
- Suami seorang wiraswasta
2.3 Pemeriksaan Fisik
2.3.1 Status generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis (GCS : 15)
TD : 100/70 mmHg
Nadi : 90 kali/menit
Napas : 20 kali/menit
Suhu : 36,50C
BBSH : 65 kg
BBH : 67 kg
TB : 158 cm
IMT : 26.10 (overweight)

Kepala : konjungtiva tampak anemis (+/+), sklera tidak ikterik, edema


palpebra (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Peningkatan JVP (-)
Thoraks : Paru  Gerakan dinding dada simetris, suara napas
vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung  Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen : Status lokalis
Genitalia : Status ginekologis
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-), ekimosis (-/-),
purpura (-/-)
2.3.2 Status lokalis
Muka : Tampak bibir pucat (+)
Mammae : Dalam batas normal
Abdomen :
Inspeksi : Perut datar,
tampak parut bekas operasi melahirkan (pfanensteil)
Auskultasi : Bising usus normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (+) di seluruh kuadran abdomen khususnya,
perut bagian bawah, nyeri lepas (+), defans muskular (+)
2.3.3 Status ginekologis
Genitalia eksterna
Inspeksi : Pada vulva tampak rembesan darah keluar dari vagina,
uretra tampak tenang
Genitalia interna
Inspekulo : Portio livide (+), OUE tertutup, fluksus (+) darah,
cavum douglas tampak menonjol,, erosi (-) massa (-),
polip (-), flour albus (-),
VT bimanual : Portio lunak, arah posterior, nyeri goyang porsio (+), OUE
tertutup, korpus uteri sulit dinilai (nyeri), adneksa dan
parametrium kanan kaku dan nyeri, adneksa dan
parametrium kiri lemas, cavum douglas teraba menonjol

2.4 Pemeriksaan Laboratorium


Darah lengkap (20/07/2020) MCHC : 34,2 g/dl
Hb : 9,7 g/dl (↓) RDW-CV : 14,1%
Ht : 28,4 % (↓) RDW-SD : 45,2 fl
Leukosit : 19.410 /ul (↑) PDW : 9,2 fl
Trombosit : 237.000/ul MPV : 10,2 fl
Eritrosit : 3.220.000/ul (↓) P-LCR : 26,1 % (↑)
MCV : 88,2 fl
MCH : 30,1 pg Hitung Jenis
Basophil : 0,3%
Eosinophil : 0,1% (↓)
Neutrophil: 88% (↑)
Limfosit : 8,2% (↓)
Monosit : 3,4%

Screening covid-19
Neutrofil limfosit ratio : 10,73 (↑)
Absolut limfosit count : 1.590/Ul

Hemostasis
PT : 14,5 detik
INR : 1,02
APTT : 31,8 detik

Kimia darah (20/07/2020)


CRP kuantitatif : 9,1 mg/L (↑)
Glukosa darah sewaktu : 157 mg/dL
Imunologi (20/07/2020)
HbsAg kualitatif : Non-reaktif
HIV kualitatif : Non-reaktif

Plano test (20/07/2020) : Positif

2.5 Diagnosis Kerja


G2P1A0H2 gravid 6-7 minggu, akut abdomen e.c suspek kehamilan
ektopik terganggu + BSC 1x

2.6 Pemeriksaan Penunjang


 USG (20/07/2020)

- Tampak uterus bentuk dan - Tampak GS ekstrauterin


ukuran normal, endometrial line
(+)
- Tampak gambaran hematokel
- Tidak tampak GS intrauterin pada cavum douglas
Kesan: Susp. KET

 Kuldosentesis: positif (+) darah


merah kehitaman
2.7 Diagnosis
G2P1A0H2 gravid 6-7 minggu, akut abdomen ec suspek kehamilan ektopik
terganggu + BSC 1x

2.8 Tata Laksana

1. Observasi KU, TTV

2. Pro Laparatomi eksplorasi cito

3. IVFD Ringer Laktat 20 tpm

4. Inj. Cefazoline 2 gr pre op

5. Persiapan PRC 3 labu

Diskusi dengan Konsulen Onsite dr. Nicko Pisceski K.S, SpOG

 setuju dengan rencana tatalaksana

2.9 Rencana : laparatomi eksplorasi cito

2.10 Prognosis

 Quo ad vitam : dubia ad bonam

 Quo ad functionam : dubia ad bonam

 Quo ad sanationam : dubia ad bonam


2.11 Laporan Operasi

Laporan Laparatomi

Pukul 04.30 – 06.00 wib


• Pasien dalam posisi terlentang di atas meja operasi dalam general anestesi
• Tampak scar pfanneinsteil
• Dilakukan tindakan Asepsis dan antisepsis daerah operasi dan sekitarnya
• Dipasang duk steril
• Dilakukan insisi mediana percobaan pada suprasimfisis sepanjang ± 3 cm,
diperluas secara tajam dan tumpul, tampak peritoneum berwarna kebiruan
(Cullen sign +), luka diperlebar sepanjang 8 cm mendekati pusat dan
diperdalam menembus peritoneum
• Peritoneum ditembus, keluar darah dan bekuan darah ±500 cc
• Pada eksplorasi selanjutnya, tampak ruptur tuba kanan sebesar ibu jari. Kesan
ruptur tuba pars ampularis,ovarium dextra dalam batas normal
• Uterus dalam batas normal
• Diputuskan untuk dilakukan salpingektomi dextra dengan cara sebagai
berikut :

- Menjepit,memotong,dan mengikat tuba dextra dengan benang chromic cat gut


no.1.0  jaringan di PA kan

- Perdarahan dirawat sebagaimana mestinya,dilanjutkan dengan pencucian


cavum abdomen dengan Nacl 0,9%

• Setelah diyakini tidak ada perdarahan lagi, alat dan kassa lengkap, abdomen
ditutup lapis demi lapis
• Tindakan selesai
• Perdarahan intra op ± 500 cc, urin ± 100 cc jernih
Diagnosis Post Operasi

P1A1H2 post salpingektomi dekstra a/i ruptur tuba pars ampularis dekstra +
BSC 1x

Instruksi Post Op :

• Observasi KU, TTV, perdarahan, tanda akut abdomen

• IVFD RL : D5% = 2:1 20 tpm

• Inj Cefotaxime 1 g/12 jam

• Inj ketorolac 30 mg/8 jam

• Inj. Asam traneksamat 500 mg/8 jam

• Puasa sampai bising usus (+)

• Cek DPL + PT APTT 6 jam post op

• Mobilisasi bertahap

2.12 Follow Up

2.12.1 Follow Up Post Op

Senin, 20 Juli 2020, 11.40 WIB

S Nyeri luka operasi (+)

O Kesadaran : CM Abdomen :

KU : TSS Inspeksi : luka ditutupi perban

TD : 130/80 mmHg Auskultasi : BU (-)


N : 80 x/m Perkusi : timpani

RR : 20 x/m Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans


muscular (-)
T : 36,5 °C

A P1A1H2 post salpingektomi dekstra a/i ruptur tuba pars ampularis dekstra +
BSC 1x

P • Observasi KU, TTV, perdarahan, tanda-tanda akut abdomen

• IVFD RL : D5% = 2:1 20 tpm

• Inj Cefotaxime 1 g/12 jam

• Inj Ketorolac 30 mg/8 jam

• Inj. Asam traneksamat 500 mg/8 jam

• Cek DPL + PT APTT 6 jam post op

• Puasa sampai bising usus (+)

• Mobilisasi bertahap

Senin, 20 Juli 2020, 21.00 WIB

S Nyeri luka operasi (+)

O Kesadaran : CM Laboratorium (20/07/2020, 15.00 WIB)

KU : TSS Hb : 8,5 g/dl (↓)

TD : 120/80 mmHg Ht : 24,5 % (↓)

N : 80 x/m Leukosit : 15.830/uL (↑)

RR : 20 x/m Trombosit : 173.000/uL

T : 36,5 °C PT : 15,2 detik (↑)

APTT : 31,9 detik


Abdomen :

Inspeksi : luka ditutupi perban

Auskultasi : BU (+)

Perkusi : timpani

Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas (-),


defans muscular (-)

A P1A1H2 post salpingektomi dekstra a/i ruptur tuba pars ampularis dekstra +
BSC 1x

P • Observasi KU, TTV, perdarahan, tanda-tanda akut abdomen

• IVFD RL : D5% = 2:1 20 tpm

• Inj Cefotaxime 1 g/12 jam

• Inj Ketorolac 30 mg/8 jam

• Inj. Asam traneksamat 500 mg/8 jam

• Cek DPL + PT APTT ulang 24 jam post cek Hb pertama (pukul 15.00 WIB)

• Rencana transfusi PRC 3 labu

Selasa, 21 Juli 2020, 07.30 WIB

S Nyeri luka operasi (+)

O Kesadaran : CM Abdomen :

KU : TSS Inspeksi : luka ditutupi perban

TD : 110/70 mmHg Auskultasi : BU (+)

N : 90 x/m Perkusi : timpani

RR : 20 x/m Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans


muskular (-)
T : 36,5 °C

A P1A1H2 post salpingektomi dekstra a/i ruptur tuba pars ampularis dekstra +
BSC 1x

P • Observasi KU, TTV, perdarahan, tanda-tanda akut abdomen

• IVFD RL : D5% = 2:1 20 tpm

• Inj Cefotaxime 1 g/12 jam

• Inj Ketorolac 30 mg/8 jam

• Inj. Asam traneksamat 500 mg/8 jam

• Cek DPL + PT APTT ulang 24 jam post cek Hb pertama (pukul 15.00 WIB)

• Rencana transfusi PRC 3 labu (belum tersedia stock darah)

• Pronalges sup 1x1 k/p

Selasa, 21 Juli 2020, 12.00 WIB

S Nyeri luka operasi (+)

O Kesadaran : CM Abdomen :

KU : TSS Inspeksi : luka ditutupi perban

TD : 110/70 mmHg Auskultasi : BU (+)

N : 90 x/m Perkusi : timpani

RR : 20 x/m Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans muskular(-)

T : 36,5 °C

A P1A1H2 post salpingektomi dekstra a/i ruptur tuba pars ampularis dekstra +
BSC 1x

P • Observasi KU, TTV, perdarahan, tanda-tanda akut abdomen

• Aff infus

• Aff DC
• Cefadroxil tab 500 mg 2x1

• Asam mefenamat tab 500 mg 3x1

• Lansoprazole tab 30 mg 1x1

• Hemafort tab 1x1

• Pronalges sup 1x1 k/p

• Cek DPL + PT APTT ulang 24 jam post cek Hb pertama (pukul 15.00 WIB)

• Rencana transfusi PRC 3 labu (belum tersedia stock darah)

Selasa, 21 Juli 2020, 21.00 WIB

S Nyeri luka operasi (+)

O Kesadaran : CM Laboratorium (21/07/2020, 16.11 WIB)

KU : TSS Hb : 7,4 g/dl (↓)

TD : 110/70 mmHg Ht : 21,4 % (↓)

N : 80 x/m Leukosit : 17.530/uL (↑)

RR : 20 x/m Trombosit : 167.000/uL

T : 36,5 °C PT : 19,1 detik (↑)

APTT : 40,2 detik

Abdomen :

Inspeksi : luka ditutupi perban

Auskultasi : BU (+)

Perkusi : timpani

Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas (-),


defans muscular (-)

A P1A1H2 post salpingektomi dekstra a/i ruptur tuba pars ampularis dekstra +
BSC 1x
P • Observasi KU, TTV, perdarahan, tanda-tanda akut abdomen

• Cefadroxil tab 500 mg 2x1

• Asam mefenamat tab 500 mg 3x1

• Lansoprazole tab 30 mg 1x1

• Hemafort tab 1x1

• Pronalges sup 1x1 k/p

• Rencana transfusi PRC 3 labu (belum tersedia stock darah)

Rabu, 22 Juli 2020, 07.00 WIB

S Nyeri luka operasi (+)

O Kesadaran : CM Abdomen :

KU : TSS Inspeksi : luka ditutupi perban

TD : 120/70 mmHg Auskultasi : BU (+)

N : 84 x/m Perkusi : timpani

RR : 20 x/m Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas


(-), defans muskular (-)
T : 36,7 °C

A P1A1H2 post salpingektomi dekstra a/i ruptur tuba pars ampularis dekstra +
BSC 1x

P • Observasi KU, TTV, perdarahan, tanda-tanda akut abdomen

• IVFD NaCl 0,9% 20 tpm

• Rencana transfusi PRC 3 labu

• Inj. Dexamethasone 5 mg 2x1 (post transfusi PRC)

• Cefadroxil tab 500 mg 2x1

• Asam mefenamat tab 500 mg 3x1


• Lansoprazole tab 30 mg 1x1

• Hemafort tab 1x1

• Pronalges sup 1x1 k/p

Rabu, 22 Juli 2020, 14.00 WIB

S Nyeri luka operasi (+)

O Kesadaran : CM Abdomen :

KU : TSS Inspeksi : luka ditutupi perban

TD : 110/60 mmHg Auskultasi : BU (+)

N : 88 x/m Perkusi : timpani

RR : 20 x/m Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas


(-), defans mukcular (-)
T : 36,8 °C

A P1A1H2 post salpingektomi dekstra a/i ruptur tuba pars ampularis dekstra +
BSC 1x

P • Observasi KU, TTV, perdarahan, tanda-tanda akut abdomen

• IVFD NaCl 0,9% 20 tpm

• Rencana transfusi PRC 3 labu (sudah masuk PRC ke-I pukul 08.30 WIB)

• Inj. Dexamethasone 5 mg 2x1

• Cefadroxil tab 500 mg 2x1

• Asam mefenamat tab 500 mg 3x1

• Lansoprazole tab 30 mg 1x1

• Pronalges sup 1x1 k/p


Kamis, 23 Juli 2020, 07.00 WIB

S Nyeri luka operasi (+)

O Kesadaran : CM Abdomen :

KU : TSS Inspeksi : luka ditutupi perban

TD : 110/70 mmHg Auskultasi : BU (+)

N : 90 x/m Perkusi : timpani

RR : 20 x/m Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas


(-), defans muskular (-)
T : 36,5 °C

A P1A1H2 post salpingektomi dekstra a/i ruptur tuba pars ampularis dekstra +
BSC 1x

P • Observasi KU, TTV, perdarahan, tanda-tanda akut abdomen

• IVFD NaCl 0.9% 20 tpm

• Rencana transfusi PRC 3 labu (sudah masuk PRC ke-II pukul 18.00 WIB)

• Inj. Dexamethasone 5 mg 2x1

• Cefadroxil tab 500 mg 2x1

• Asam mefenamat tab 500 mg 3x1

• Lansoprazole tab 30 mg 1x1

• Pronalges sup 1x1 k/p

• Cek DPL post tranfusi

Kamis, 23 Juli 2020, 18.00 WIB

S Nyeri luka operasi (+)


O Kesadaran : CM Laboratorium (23/07/2020, 17.00 WIB)

KU : TSS Hb : 9,5 g/dl (↓)

TD : 120/70 mmHg Ht : 27,3 % (↓)

N : 79 x/m Leukosit : 18.700/uL (↑)

RR : 20 x/m Trombosit : 228.000/uL

T : 37,3 °C

Abdomen :

Inspeksi : luka ditutupi perban

Auskultasi : BU (+)

Perkusi : timpani

Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas (-),


defans muskular (-)

A P1A1H2 post salpingektomi dekstra a/i ruptur tuba pars ampularis dekstra + BSC 1x

P • Observasi KU, TTV, perdarahan, tanda-tanda akut abdomen

• Sudah masuk PRC ke-III pukul 07.30 WIB

• Inj. Dexamethasone 5 mg 2x1

• Aff infus

• Cefadroxil tab 500 mg 2x1

• Asam mefenamat tab 500 mg 3x1

• Lansoprazole tab 30 mg 1x1

• Hemafort tab 1x1

• Cek PT APTT

Jum’at, 24 Juli 2020, 10.00 WIB


S Nyeri luka operasi berkurang

O Kesadaran : CM Laboratorium (24/07/2020, 09.00 WIB)

KU : TSS PT : 14 detik

TD : 120/70 mmHg INR : 0,98

N : 80 x/m APTT : 32,5 detik

RR : 20 x/m

T : 36,8 °C

Abdomen :

Inspeksi : luka ditutupi perban

Auskultasi : BU (+)

Perkusi : timpani

Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri lepas (-),


defans muskular (-)

A P1A1H2 post salpingektomi dekstra a/i ruptur tuba pars ampularis dekstra +
BSC 1x

P • Cefadroxil tab 500 mg 2x1

• Asam mefenamat tab 500 mg 3x1

• Lansoprazole tab 30 mg 1x1

• Hemafort tab 1x1

• Pasien boleh pulang setelah hasil swab keluar

Sabtu, 25 Juli 2020, 10.00 WIB

S Nyeri luka operasi berkurang


O Kesadaran : CM Abdomen :

KU : TSS Inspeksi : luka ditutupi perban

TD : 118/70 mmHg Auskultasi : BU (+)

N : 78 x/m Perkusi : timpani

RR : 20 x/m Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri


lepas (-), defans
T : 36,7 °C muskular (-)

A P1A1H2 post salpingektomi dekstra a/i ruptur tuba pars ampularis dekstra +
BSC 1x

P • Cefadroxil tab 500 mg 2x1

• Asam mefenamat tab 500 mg 3x1

• Lansoprazole tab 30 mg 1x1

• Hemafort tab 1x1

• Pasien boleh pulang setelah hasil swab keluar

Minggu, 26 Juli 2020, 10.00 WIB

S Nyeri luka operasi (-)

O Kesadaran : CM Abdomen :

KU : TSS Inspeksi : luka ditutupi perban

TD : 110/70 mmHg Auskultasi : BU (+)

N : 80 x/m Perkusi : timpani


RR : 20 x/m Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri
lepas (-), defans
T : 36,8 °C muskular (-)

A P1A1H2 post salpingektomi dekstra a/i ruptur tuba pars ampularis dekstra +
BSC 1x

P • Cefadroxil tab 500 mg 2x1

• Asam mefenamat tab 500 mg 3x1

• Lansoprazole tab 30 mg 1x1

• Hemafort tab 1x1

• Pasien boleh pulang setelah hasil swab keluar

Senin, 27 Juli 2020, 14.00 WIB

S Nyeri luka operasi (-)

O Kesadaran : CM Abdomen :

KU : TSS Inspeksi : luka ditutupi perban

TD : 120/70 mmHg Auskultasi : BU (+)

N : 80 x/m Perkusi : timpani

RR : 20 x/m Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri


lepas (-), defans
T : 36,8 °C muskular (-)

A P1A1H2 post salpingektomi dekstra a/i ruptur tuba pars ampularis dekstra +
BSC 1x

P  Pasien dipulangkan
 Terapi pulang :
• Cefadroxil tab 2x500mg
• Lansoprazole tab 1x30mg
• Hemafort tab 1x1

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan implantasi diluar cavum

uteri. Lebih dari 98% implantasi terjadi di tuba fallopi. Kehamilan ektopik dapat

juga berimplantasi di interstitium tuba, ovarium, servix, ruang abdominal atau

pada bekas luka caesar.5

3.2 Epidemiologi

Berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC),

kehamilan ektopik terjadi sebesar 2% pada seluruh kehamilan yang dilaporkan. 4

Sebanyak 95% kehamilan ektopik terjadi di tuba fallopi. Penelitian oleh Kharat

tahun 2017 di India mendapatkan kelompok usia terbanyak pada pasien dengan

kehamilan tuba adalah 26-30 tahun sebesar 62,9%, 82,5% dari kelompok tersebut

adalah multipara dan 88,1% berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah. 6
Kematian ibu pada kehamilan trimester pertama terjadi sebesar 10-15% di seluruh

dunia akibat kehamilan ektopik.1

3.3 Klasifikasi

Berdasarkan lokasi, kehamilan ektopik dapat dibagi menjadi :

1. Kehamilan tuba (>95%) yang terdiri dari pars ampula, pars ismika, pars

fimbriae, dan pars intertisial

2. Kehamilan ektopik lain (<5%) anatara lain di serviks uterus, ovarium, atau

abdominal

3. Kehamilan intraligamenter

4. Kehamilan heterotopik yaitu kehamilan ganda yang terjadi pada cavum uteri

sedangkan janin lainnya terletak ektopik

5. Kehamilan ektopik bilateral

Gambar 1. Lokasi kejadian kehamilan ektopik7


3.4 Faktor Resiko

Kelainan anatomi tuba mendasari banyak kasus kehamilan ektopik tuba.

Operasi pada kehamilan tuba sebelumnya, untuk pemulihan kesuburan, atau untuk

sterilisasi memberi risiko tertinggi. Bhattacarya pada tahun 2012 menyatakan

riwayat 1 kali kehamilan ektopik sebelumnya meningkatkan risiko terjadinya

kehamilan ektopik sebesar 5 kali lipat. Faktor lainnya yaitu penyakit menular

seksual dan infeksi tuba lainnya yang dapat merusak anatomi tuba. Satu episode

salpingitis menyebabkan kehamilan ektopik pada 9% wanita. Adhesi perituba

akibat salpingitis, apendisitis, atau endometriosis juga dapat meningkatkan risiko

selain itu, Bolaji tahun 2015 mengemukakan salpingitis isthmica nodosa, yang

merupakan kondisi di mana divertikula berlapis epitel meluas ke lapisan

muskularis yang mengalami hipertrofi.2

Hoover tahun 2011 menyatakan anomali tuba falopi kongenital terutama

akibat pajanan dietilstilbestrol pada uterus, dapat menjadi predisposisi kehamilan

ektopik. Clayton tahun 2006 mengungkapkan infertilitas, serta penggunaan ART

untuk mengatasinya, juga dihubungkan dengan peningkatan risiko kehamilan

ektopik. Perkins tahun 2015 menemukan dengan ART, tingkat kehamilan ektopik

di Amerika Serikat sejak 2001- 2011 adalah 1,6%. Implantasi "atipikal" -

kehamilan cornual, abdominal, serviks, ovarium, dan heterotopik - lebih sering

terjadi.2

Hyland tahun 2015 menyatakan merokok meningkatkan risiko kehamilan

ektopik meskipun mekanisme yang mendasari tidak jelas. Dengan segala bentuk

kontrasepsi, jumlah absolut kehamilan ektopik menurun karena kehamilan lebih


jarang terjadi namun beberapa kegagalan metode kontrasepsi menunjukkan

peningkatan jumlah relatif kehamilan ektopik contohnya termasuk sterilisasi tuba

dengan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), baik yang mengandung tembaga

maupun melepaskan progestin dan kontrasepsi khusus progestin.2

3.5 Patofisiologi

Proses implantasi ovum yang dibuahi yang terjadi di tuba pada dasarnya

sama dengan halnya di cavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau

interkolumner. Implantasi secara kolumner yaitu telur berimplantasi pada ujung

atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh

kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan kemudian

diresorpsi.8

Pada nidasi secara interkolumner telur bernidasi antara dua jonjot

endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen

tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan

pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba tidak sempurna, dengan

mudah vili korialis menembus endosalping dan masuk ke dalam lapisan otot-otot

tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin

selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti tempat implantasi, tebalnya

dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas. 8

Di bawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum

graviditas dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek. Endometrium dapat

pula berubah menjadi desidua. Setelah janin mati, desidua dalam uterus
mengalami degenerasi dan kemudian dikeluarkan berkeping-keping atau

dilepaskan secara utuh. Perdarahan pervaginam yang dijumpai pada kehamilan

ektopik terganggu berasal dari uterus dan disebabkan oleh pelepasan desidua yang

degeneratif. 8

Tuba bukan merupakan tempat untuk pertumbuhan hasil konsepsi,

sehingga tidak mungkin janin tumbuh secara utuh seperti dalam uterus. Sebagian

besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 sampai 10 minggu.

Terdapat beberapa kemungkinan mengenai nasib kehamilan dalam tuba yaitu:

a. Hasil konsepsi mati dini dan diresorpsi

Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati

karena vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorpsi total.

Dalam keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa dan haidnya

terlambat untuk beberapa hari. 8

b. Abortus ke dalam lumen tuba

Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh

darah oleh villi koriales pada dinding tuba di tempat implantasi dapat

melepaskan mudigah dari dinding tersebut bersama-sama dengan

robeknya pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau

seluruhnya. Bila pelepasan menyeluruh, mudigah dan selaputnya

dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian didorong oleh darah ke arah

ostium tuba abdominalis.8

Abortus ke dalam lumen tuba lebih sering terjadi pada kehamilan

pars ampularis, sedangkan penembusan dinding tuba oleh vili korialis ke


arah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars ismika. Perbedaan

ini disebabkan oleh lumen pars ampularis yang lebih luas sehingga dapat

mengikuti lebih mudah pertumbuhan hasil konsepsi jika dibandingkan

dengan bagian ismus dengan lumen sempit.8

Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada abortus,

perdarahannya akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikitnya oleh darah,

sehingga berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan yang berlangsung

terus menyebabkan tuba membesar dan kebiru-biruan (Hematosalping)

dan selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba,

berkumpul di cavum douglas dan akan membentuk hematokel

retrouterina.8

c. Ruptur dinding tuba

Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplantasi pada ismus dan

biasanya pada kehamilan muda. Sebaliknya ruptur pada pars interstitialis

terjadi pada kehamilan yang lebih lanjut. Faktor utama yang menyebabkan

ruptur ialah penembusan villi koriales ke dalam lapisan muskularis tuba

terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara spontan atau karena

trauma ringan. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium

tuba abdominal. Bila ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder dapat terjadi.

Dalam hal ini, dinding tuba yang telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah

karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi di arah

ligamentum latum dan terbentuk hematoma intraligamenter antara 2 lapisan

ligamentum tersebut.8
Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba,

tetapi bila robekan tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi

dikeluarkan dari tuba. Nasib janin bergantung pada tuanya kehamilan dan

kerusakan yang diderita. Bila janin mati dan masih kecil, dapat diresorpsi

seluruhnya, dan bila besar dapat diubah menjadi litopedion.8

Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh

kantong amnion dan dengan plasenta masih utuh kemungkinan tumbuh

terus dalam rongga perut, sehingga terjadi kehamilan ektopik lanjut atau

kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan

bagi janin, plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan

sekitarnya misalnya ke sebagian uterus, ligamentum latum, dasar panggul

dan usus.8

3.6 Diagnosis

Diagnosis kehamilan ektopik ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.2

1. Anamnesis

Pasien dapat menunjukkan gejala asimtomatik atauipun minimal

pada awalnya, hingga akut abdomen dan gejala hemodinamik yang tidak

stabil. Gambaran klasik kehamilan ektopik adalah amenorea, nyeri perut

bagian bawah, dan perdarahan dari jalan lahir. 2 Nyeri umumnya


mendahului keluhan perdarahan biasanya diawali pada salah satu sisi

abdomen bawah yang dapat menyebar ke seluruh perut.9 Saat terjadi ruptur

nyeri perut bawah dan nyeri pelvis umumnya dirasakan tajam dan seperti

ditusuk.2 Nyeri pada bahu ditemukan akibat iritasi subdiafragma dan

kadang ditemukan sinkop.9 Pada beberapa kasus kehamilan ektopik, selain

perdarahan dapat terjadi pengeluaran desidua yang tercetak membentuk

cavum uteri yang disebut dengan decidual cast.2

2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda

ketidakstabilan hemodinamik berupa penurunan tekanan darah dan

peningkatan nadi jika perdarahan berat dan hipovolemia terus berlanjut.

Nyeri bahu atau leher dapat dijumpai akibat iritasi diafragma terutama saat

inspirasi akibat perdarahan yang cukup banyak. Dengan pemeriksaan fisik

abdomen dapat ditemukan tanda-tanda akut abdomen. Pada pemerikasaan

palpasi bimanual dapat dijumpai uterus yang sedikit membesar, nyeri

goyang porsio, dan penonjolan cavum douglas.2

3. Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan

pada kasus kecurigaan kehamilan ektopik, seperti:

a. Darah rutin

Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk menilai penurunan

hemoglobin (Hb) atau hematokrit (Ht), dan leukositosis. Bahkan setelah

perdarahan yang nyata, kadar hemoglobin dan hematokrit hanya

mengalami sedikit penurunan. Setelah fase perdarahan akut, penurunan


kadar Hb atau Ht setelah beberapa jam lebih bermakna dalam

mengevaluasi kehilangan darah dibandingkan kadar awal.2 Penurunan Hb

dapat terlihat setelah 24 jam.8 Kurang lebih pada setengah dari total

populasi wanita dengan ruptur kehamilan ektopik didapatkan peningkatan

kadar leukosit yang bervariasi hingga 30.000/uL.2

b. Beta human chorionic gonadotrophin (B-hCG)

Tes kehamilan penting untuk penentuan diagnosis kehamilan

ektopik. Saat ini tes yang digunakan adalah enzyme link immunosorbent

assays (ELISAs) untuk subunit beta hCG dengan batas kadar minimal

deteksi pada urin sebesar 20-25 mIU/ml dan ≤5 mIU/ml pada serum.

Keluhan perdarahan atau nyeri yang disertai hasil tes kehamilan positif,

pemeriksaan transvaginal ultrasound dilakukan untuk mendeteksi lokasi

gestasi.2 Tidak ditemukannya gestational sac (GS) pada ultrasound dengan

kadar BhCG di atas ambang diskriminasi kemungkinan besar mengacu

pada kehamilan ektopik. Connolly dkk pada tahun 2013 menyatakan pada

kehamilan hidup intrauterin, GS ditemukan sebanyak 99% pada kehamilan

dengan kadar B-hCG sebesar >3510mIU/ml2,4.

c. Ultrasonografi (USG) transvaginal

Gestational sac terlihat pada kehamilan intrauterin usia 4 1/2-5

minggu dan yolk sac terlihat pada kehamilan 5-6 minggu. USG

transvaginal secara definitif dapat mendiagnosis kehamilan ektopik ketika

gestational sac dengan yolk sac, atau embrio, atau keduanya terlihat di

adneksa walaupun beberapa kasus tidak sampai ke tahap ini. 2 Gambaran

kehamilan ektopik pada USG transvaginal menunjukkan uterus yang


kosong dan massa kompleks atau massa pada area hipoekoik di adnexa

yang terpisah dari ovarium.2,8 Gambaran hemoperitoneum yaitu berupa

cairan anekoik dan hipoekoik yang terkumpul di cavum douglas kemudian

menyebar di sekitar uterus dan mengisi pelvis.2

Gambar 2. Gambaran kehamilan ektopik pada TVU8

d. Kuldosentesis

Kuldosentesis adalah teknik sederhana yang dulunya umum

dilakukan di masa lalu dan saat ini sudah banyak yang beralih ke TVU.

Prosedurnya dengan menarik serviks ke luar dan ke atas ke simpisis pubis

dengan tenakulum, kemudian dilakukan insersi dan aspirasi dengan jarum

spinal 16-18G melalui forniks posterior ke cavum douglas. Cairan yang

berisi fragmen bekuan lama atau darah yang tidak membeku mengarahkan

adanya hemiperitoneum. Jika darah yang diaspirasi membeku,

kemungkinan darah berasal dari pembuluh darah atau terjadi perdarahan

yang cepat.2
Gambar 3. Kuldosentesis8

3.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding ginekologi pada kehamilan ektopik yaitu awal

kehamilan intrauterin, abortus, aborsi intrauterin, torsio ovarium/ tuba fallopi,

ruptur kista/ folikel ovarium, mioma nekrotik, salpingitis, dan abses tuba-ovarium.

Di luar penyebab ginekologi, kehamilan ektopik dapat didiagnosis banding

dengan apendisitis akut, sistitis, pielonefritis, nefrolitiasis, perforasi organ

berongga (lambung, usus, kandung empedu), inflamasi intraabdomen


(peritoneum, semua organ abdomen, divertikulum), ruptur organ parenkim (hati,

limpa, dan ginjal), dan penyakit perdarahan vaskular (aorta, seluruh pembuluh

darah abdomen).10

3.9 Penatalaksanaan

Pilihan tatalaksana kehamilan ektopik dapat berupa terapi medikamentosa

atau pembedahan dan harus mempertimbangkan status klinis dan hasil penunjang

serta pilihan pasien setelah mendiskusikan tentang manfaat dan risikonya.4

1. Terapi medikamentosa

Pemberian metotreksat dapat diberikan jika hemodinamik stabil,

belum terjadi ruptur, dan tidak memiliki kontraindikasi. Syarat lainnya

adalah tidak disertai kehamilan intrauterin,ukuran massa adneksa ≤4 cm,

dan kadar B-hCG ≤10.000 mIU/ml. Metotreksat bekerja dengan

menghambat sintesis DNA, perbaikan, dan replikasi sel yang

mempengaruhi jaringan yang aktif berproliferasi seperti sumsum tulang,

mukosa bukal dan usus, epitel saluran napas, sel kanker, dan jaringan

trofoblas.4

2. Pembedahan

Baik salpingostomi dan salpingektomi dapat dilakukan dengan

laparaskopi maupun laparatomi. Keuntungan laparoskopi adalah

penyembuhan lebih cepat, perlengketan lebih minimal, dan merupakan

pilihan bila kondisi pasien baik sedangkan laparatomi dilakukan sesegera

mungkin untuk mengeluarkan tuba yang rusak.9 Pilihan salpingostomi


dan salpingektomi harus berdasarkan status klinis pasien, keinginan

untuk hamil di masa depan, dan kerusakan tuba falopi. Beberapa

penelitian berbasis uji kontrol teracak menunjukkan tidak ada perbedaan

yang signifikan antara salpingostomi dan salpingektomi terhadap

kejadian kehamilan intrauterin ataupun kehamilan ektopik.4

Pada beberapa penelitian kohort ditemukan angka kehamilan

intrauterin selanjutnya lebih tinggi setelah dilakukan salpingostomi

dibandingkan tindakan salpingektomi namun risiko kehamilan ektopik

berulang juga lebih besar terjadi. Secara umum, salpingektomi

merupakan pilihan untuk kerusakan tuba yang berat atau ruptur dan

pada kasus perdarahan berat di lokasi operasi.4 Jika hasil konsepsi masih

berada di tuba, masih memungkinkan untuk mempertahankan tuba

dengan mengeluarkan produk konsepsi dan melakukan rekonstruksi

tuba9. Penting untuk mengevaluasi kadar BhCG untuk menilai resolusi

jaringan trofoblas ektopik.4 Sekitar 6% kasus membutuhkan pembedahan

ulang atau pengobatan dengan metotreksat bila jaringan trofoblas masih

tertinggal.9

3.10 Prognosis

Pada pasien dengan riwayat kehamilan ektopik yang masih ingin memiliki

keturunan, terdapat tiga kemungkinan yang dapat terjadi yaitu pasien tersebut

tetap infertil, pasien dapat hamil intrauterin (baik viabel atau abortus spontan) atau

pasien dapat mengalami kehamilan ektopik kembali. Hanya sekitar 33,3% wanita

dengan riwayat kehamilan ektopik dapat mengalami kehamilan intrauterin namun


sebanyak 16,67% terjadi abortus spontan. Faktor risiko untuk kehamilan ektopik

yang berulang adalah kehamilan ektopik sebagai kehamilan pertama, usia kurang

dari 25 tahun, terdapat infeksi pada tuba dan riwayat infertilitas.11

BAB IV

PEMBAHASAN
4.1 Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?

Pasien didiagnosis dengan G2P1A0H2 gravid 6 - 7 minggu, akut abdomen

ec suspek kehamilan ektopik terganggu + BSC 1x. Penegakan diagnosis pasien

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada

anamnesis pasien mengaku terlambat haid 2 minggu, mengeluhkan nyeri perut

bagian bawah seperti ditusuk-tusuk dan keluar darah dari jalan lahir yang

bergumpal-gumpal. Hal ini sesuai dengan trias gejala klasik kehamilan ektopik,

yaitu terlambatnya haid, nyeri abdomen bagian bawah kemudian keluar darah dari

jalan lahir.9

Nyeri abdomen umumnya mendahului keluhan perdarahan pervaginam,

biasanya dimulai dari salah satu sisi abdomen bawah dan dengan cepat menyebar

ke seluruh abdomen yang disebabkan oleh terkumpulnya darah di rongga

abdomen.9 Darah yang terkumpul pada rongga peritoneum umumnya merupakan

iritan ringan sehingga sering tidak menyebabkan keluhan nyeri, namun keluhan

nyeri muncul saat terjadi inflamasi akibat peregangan oleh perdarahan akut dan

masif.12

Pasien mengalami keluhan perdarahan pervaginam yang bergumpal-gumpal.

Pada ruptur tuba dapat terjadi peluruhan desidua akibat penurunan estrogen dan

progesteron yang dihasilkan oleh trofoblas.2 Hal ini sesuai dengan teori reaksi

Arias stella pada tahun 1954 yang menemukan perubahan atipikal pada kelenjar

endometrium yang diakibatkan oleh jaringan korionik yang menghasilkan

perubahan hormonal berupa peningkatan estrogen dan progesteron pada

kehamilan ektopik.13
Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan tanda akut abdomen berupa nyeri

tekan dan nyeri lepas, serta defans muskular yaitu spasme otot abdomen

terlokalisir pada segmen bersangkutan yang merupakan refleks tonik akibat iritasi

peritoneum oleh perdarahan.12 Pada pemeriksaan inspekulo ditemukan darah beras

al dari OUE, cavum douglas menonjol dan pada palpasi bimanual ditemukan nyeri

goyang porsio (+). Ruptur tuba menyebabkan darah keluar dari OUE yang berasal

dari peluruhan endometrium serta menyebabkan penonjolan cavum douglas yang

terjadi akibat perdarahan mengalir melalui ostium tuba uterina dan menumpuk di

cavum douglas.2

Pada pemeriksaan penunjang laboratorium ditemukan penurunan hemoglobin

dan hematokrit yaitu Hb : 9,7 g/dl dan 28,4 %, serta peningkatan leukosit

19.410 /ul. Penurunan hemoglobin dan hematokrit terjadi sedikit pada awal

perdarahan bahkan setelah terjadi perdarahan nyata, namun terjadi penurunan

hemoglobin dan hematokrit yang bermakna beberapa jam setelah perdarahan

akut.2 Umumnya penurunan Hb baru terlihat setelah 24 jam. 8 Sekitar setengah

dari wanita dengan kehamilan ektopik yang ruptur, ditemukan berbagai derajat

leukositosis bahkan hingga 30.000/ul.2

American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG) pada tahun

2018 menyatakan pemeriksaan konfirmasi kehamilan dengan pemeriksaan B-

hCG dan USG transvaginal penting untuk evaluasi diagnostik kehamilan tuba.

Untuk menunjang adanya hemoperitoneum dapat dilakukan USG transvaginal dan

pemeriksaan kuldosentesis. Pada pasien didapatkan hasil pemeriksaan kehamilan

dengan plano test positif sehingga dapat mendukung diagnosis.2


Hasil USG pasien menunjukkan tidak tampak GS intrauterin dan tampak GS

ekstrauterin, serta hematokel pada cavum douglas. Untuk menunjang diagnosis

kehamilan tuba, pada USG dapat ditemukan uterus yang kosong disertai massa

kompleks atau massa pada area hipoekoik di adnexa yang terpisah dari ovarium.,

selain itu tampak gambaran kumpulan cairan anekoik atau hipoekoik pada cavum

douglas yang mengindikasikan hemoperitoneum. Pada pasian dilakukan kuldosent

esis dan didapatkan hasil positif dengan arah posterior. Kuldosentesis bertujuan

untuk mengetahui apakah terdapat hemoperitoneum dalam cavum douglas, namun

dengan kemajuan teknologi saat ini kuldosentesis sudah banyak digantikan oleh

USG transvaginal.2

4.2 Apakah faktor resiko pada pasien ini?

Faktor risiko kehamilan ektopik yang dicurigai pada pasien ini adalah

riwayat pemakaian IUD. Wanita dengan riwayat penggunaan IUD memiliki

risiko 16,27 x lebih besar mengalami kehamilan ektopik dibandingkan wanita

yang belum pernah memakai kontrasepsi.14 Hubungan antara riwayat penggunaan

IUD dan kehamilan ektopik telah dilaporkan pada tahun 1995 dari sebuah meta

analisis 16 penelitian case control. Beberapa penelitian terbaru telah

mengkonfirmasi hubungan ini. Walaupun risiko kehamilan ektopik muncul sangat

tinggi pada wanita dengan riwayat kegagalan kontrasepsi ketika sedang

menggunakan IUD, peningkatan kejadian yang tinggi juga terjadi pada wanita

dengan riwayat penggunaan IUD yang diduga berhubungan dengan inflamasi tuba

akibat IUD.15
4.3 Apakah tatalaksana pada pasien ini sudah tepat?

Pada pasien dilakukan tindakan laparotomi. Saat abdomen dibuka dan

peritoneum ditembus terdapat darah kurang lebih sebanyak 500 cc. Hal ini

membuktikan adanya perdarahan yang terkumpul di rongga abdomen. Setelah

ditelusuri didapatkan ruptur tuba pars ampularis kanan. Setelah tuba diklem,

dilakukan salfingektomi dekstra. Tindakan laparotomi yang dilakukan bersifat

diagnostik dan terapeutik. Laparatomi bertujuan untuk menghentikan perdarahan

mengeluarkan tuba yang rusak.9

Pada saat laparotomi, dilakukan eksplorasi pada kedua ovarium dan tuba

falopi. Jika terjadi kerusakan berat pada tuba, dilakukan salfingektomi, namun jika

terjadi kerusakan ringan pada tuba, dilakukan salfingostomi untuk

mempertahankan tuba. Pada pasien terjadi ruptur tuba dekstra sehingga pilihan

tatalaksana yang paling tepat adalah salfingektomi. Kelebihan lain salfingektomi

adalah dapat mengehentikan perdarahan dan durasi operasi lebih singkat.

Kerugian dari tindakan ini adalah kehilangan tuba dan fungsinya sehingga tuba

yang dapat digunakan hanya tuba kontralateral.9


4.4 Bagaimanakah kemungkinan kehamilan selanjutnya pada

pasien ini?

Pada pasien dengan riwayat kehamilan ektopik yang masih ingin memiliki

keturunan, terdapat tiga kemungkinan yang dapat terjadi yaitu pasien tersebut

tetap infertil, pasien dapat hamil intrauterin (baik viabel atau abortus spontan) atau

pasien dapat mengalami kehamilan ektopik kembali. Pada pasien ini tidak

disarankan untuk hamil kembali karena hanya sekitar 33,3% wanita dengan

riwayat kehamilan ektopik yang bisa hamil intrauterin selain itu, sebanyak

16,67% mengalami abortus spontan.11

Faktor risiko untuk kehamilan ektopik yang berulang adalah kehamilan

ektopik sebagai kehamilan pertama, usia kurang dari 25 tahun, terdapat infeksi

pada tuba dan riwayat infertilitas.11 Baik salpingektomi maupun salpingostomi

tidak dapat mencegah terjadinya kehamilan ektopik berulang, walaupun beberapa

penelitian melaporkan peningkata risiko pada salpingostomi dibandingkan

salpingektomi.16

Angka kejadian infertilitas juga meningkat baik pada salpingostomi maupun

salpingektomi akibat berkurangnya fungsi tuba. Hormon anti-mullerian, penanda

fungsi cadangan ovarium secara signifikan lebih rendah pada kelompok infertil

yang melakukan salfingektomi dibandingkan dengan kelompok infertil yang tidak

melakukan salfingektomi.16
BAB V

KESIMPULAN

1. Faktor resiko pada pasien ini adalah riwayat pemakaian IUD yang dapat

meningkatkan risiko terjadinya kehamilan ektopik.

2. Diagnosis pada pasien ini sudah tepat berdasarkan dari anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

3. Tatalaksana pada pasien ini sudah tepat sesuai dengan literatur.

4. Pada pasien ini tidak disarankan hamil kembali karena kemungkinan

terjadinya kehamilan ektopik berulang.


DAFTAR PUSTAKA

1. Asfaq S, Sultan S, Aziz S, Irfan SM, Hasan M, Siddique A. Ectopic pregnancy


with tubal rupture: an analysis of 80 cases. J Ayub Med Coll Abbottabad.
2017; 29(2):254-7.
2. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Dashe JS, Hoffman BL, Casey BM,
et al. Williams Obstetrics. Edisi ke-25. USA: McGraw-Hill; 2018. h. 80-97;
371- 379.
3. Taran FA, Kagan KO, Hubne M, Hoopmann M, Wallwiener D, Brucker S.
The diagnosis and treatment of ectopic pregnancy. Deutsches Arzteblatt
International. 2015; 112. h. 693-704.
4. ACOG. Tubal pregnancy. ACOG Practice Bulletin No. 193. Obstet Gynecol.
2018;131(3):e91-103.
5. Horne, A. Implantation and early pregnancy. Dalam: Bickerstaff H, Kenny
LC. Gynaecology by Ten Teachers. Edisi ke-20. CRC press: Boca Raton;
2017. h.91
6. Kharat D, Giri PG, Fonseca M. A study of epidemiology of ectopic
pregnancies in a tertiary care hospital of Mumbai, India. Int J Reprod
Contracept Obstet Gynecol. 2017;6(9):3942-6.
7. Hadijanto B. Perdarahan pada kehamilan muda. Dalam: Saifuddin AB,
T.Rachimhadi, G.H.Wiknjosastro. Ilmu kebidanan Sarwono Prawirohardjo.
Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo; 2016; p.474-87.
8. Sari RD, Prabowo AY. Buku ajar perdarahan pada kehamilan trimester 1.
Program studi pendidikan dokter fakultas kedokteran Universitas Lampung.
2018; 24-32.
9. Rauf S, Riu DS, Sunarno I. Gangguan bersangkutan dengan konsepsi. Dalam:
Anwar M. Baziad A, Prabowo RP. Ilmu Kandungan. Edisi ke-3. Jakarta: PT.
Bina Pustaka Sarwono Prawirohadjo; 2016. h.201-7.
10. Alkatout I, Honemeyer U, Noe KG, Scholz CE, Maass N, Elessawy M, et al.
diagnostic and treatment modalities for all localizations of ectopic pregnancy.
IJWHR. 2017; 5(2):82-9.
11. Kho RM, Lobo RA. Ectopic pregnancy. Dalam: Lobo RA, Gershenson DM,
Lentz GM, Valea FA. Comprehensive gynecology. Edisi ke-7. Philadelphia:
Elsevier; 2017. p. 366-68.
12. Jacobs DO. Abominal pain. Dalam: Jameson JL, Kasper DL, Longo DL, Fauci
AF, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison's Principle of Internal Medicine. Edisi ke
20. Mc-Graw Hill: USA. 2018. p. 81-2.
13. Fernandes W, Sirsat MV, Subramaniam. A study of endometrium in ectopic
pregnancy (The arias-stella reaction). J Obstet Gynecol India. 1968;89-95.
14. Koirala S, Balla P, Pokhrel A. A rare case of ovarian ectopic pregnancy with
IUD in situ: a case report. Authorea. 2020;1-7.
15. Gaskins A, Missmer S, Edwards J. Demographic, Lifestyle, And Reproductive
Risk Factor S For Ectopic Pregnancy. HHS public access. 2018 ;110(7):1328-
37.
16. Qian Rong Q, Jin L, Ya Qin W, Jing Y, Qing Z X. Repeated Ectopic
Pregnancy after Unilateral or Bilateral Salpingectomy in Assisted
Reproductive Technology. W J Gynecol Women’s Health. 2020; 3(3): 1-3.

Anda mungkin juga menyukai