Anda di halaman 1dari 11

ANALISA

DAMPAK BENCANA ALAM TANAH LONGSOR PADA KESEHATAN

Oleh:

Arsy Cahya Ramadhani (H1A012008)

Martina Rizki P.G (H1A212033)

Ni Kadek Widya Anggarini (H1A012037)

Pembimbing:

dr. Oxy Tjahjo Wahjuni, Sp.EM

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF MULOK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2017
1. DEFINISI

Tanah longsor atau dalam bahasa Inggris disebut Landslide, adalah perpindahan material
pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut,
bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai
berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut
menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi
licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng

2. PENYEBAB TANAH LONGSOR


Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar
daripada gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan
kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban
serta berat jenis tanah batuan.

a. Hujan
Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November karena
meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan
terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu
mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan
merekahnya tanah permukaan. Ketika hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak
sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas
hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi
jenuh dalam waktu singkat.

Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena melalui
tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga
menimbulkan gerakan lateral. Bila ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor
dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan
berfungsi mengikat tanah.
b. Lereng terjal
Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng
yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin.
Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180 apabila ujung
lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar.

c. Tanah yang kurang padat dan tebal


Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan
ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini memiliki
potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini
sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah
ketika hawa terlalu panas.

d. Batuan yang kurang kuat


Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran
antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah
menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah
longsor bila terdapat pada lereng yang terjal.

e. Jenis tata lahan


Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan,
dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang
kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah menjadi lembek dan jenuh dengan
air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya
adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan
umumnya terjadi di daerah longsoran lama.

f. Getaran
Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempabumi, ledakan, getaran
mesin, dan getaran lalulintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah,
badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak.
g. Susut muka air danau atau bendungan
Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan lereng
menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 220 mudah terjadi longsoran dan
penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.

h. Adanya beban tambahan


Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan kendaraan
akan memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama di sekitar tikungan
jalan pada daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadinya penurunan tanah dan
retakan yang arahnya ke arah lembah.

i. Pengikisan/erosi
Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu akibat
penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi terjal.

j. Adanya material timbunan pada tebing


Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman umumnya
dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah
tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah asli yang berada di bawahnya.
Sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan
retakan tanah.

k. Bekas longsoran lama


Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan
material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi
patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memilki ciri :

1) Adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda.


2) Umumnya dijumpai mata air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur
dan subur.
3) Daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai.
4) Dijumpai longsoran kecil terutama pada tebing lembah.
5) Dijumpai tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil pada
longsoran lama.
6) Dijumpai alur lembah dan pada tebingnya dijumpai retakan dan longsoran kecil.
7) Longsoran lama ini cukup luas.

l. Adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung)


Bidang tidak sinambung ini memiliki ciri:

1) Bidang perlapisan batuan


2) Bidang kontak antara tanah penutup dengan batuan dasar
3) Bidang kontak antara batuan yang retak-retak dengan batuan yang kuat.
4) Bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dengan batuan yang tidak
melewatkan air (kedap air).
5) Bidang kontak antara tanah yang lembek dengan tanah yang padat.
6) Bidang-bidang tersebut merupakan bidang lemah dan dapat berfungsi sebagai bidang
luncuran tanah longsor.
m. Penggundulan hutan
Tanah longsor umumnya banyak terjadi di daerah yang relatif gundul dimana
pengikatan air tanah sangat kurang.

n. Daerah pembuangan sampah


Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam
jumlah banyak dapat mengakibatkan tanah longsor apalagi ditambah dengan guyuran
hujan, seperti yang terjadi di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Leuwigajah di
Cimahi. Bencana ini menyebabkan sekitar 120 orang lebih meninggal.

3. TANDA-TANDA BENCANA TANAH LONGSOR


 Munculnya retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing.
 Biasanya terjadi setelah hujan.
 Munculnya mata air baru secara tiba-tiba.
 Tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan
 Muncul retakan-retakan di tanah dan tembok / pagar rumah
 Air sumur di sekitar lereng menjadi keruh
 Pohon yang tumbuh tidak normal, pohon yang terangkat dan terlihat akarnya.

4. MASALAH KESEHATAN AKIBAT TANAH LONGSOR:


Dampak terhadap masyarakat yang terjadi akibat bencana tanah longsor, yaitu sebagai
berikut (Pan American Health Organization, 2006)

1. Peningkatan Morbiditas

Tingginya angka kesakitan dalam keadaan terjadinya bencana dibagi dalam 2 katagori, yaitu:

a. Kesakitan primer, adalah kesakitan yang terjadi sebagai akibat langsung dari kejadian
bencana tersebut, kesakitan ini dapat disebabkan karena trauma fisik, termis, kimiawi,
psikis dan sebagainya.
b. Kesakitan sekunder, kesakitan sekunder terjadi sebagai akibat sampingan usaha
penyelamatan terhadap korban bencana, yang dapat disebabkan karena sanitasi
lingkungan yang buruk, kekurangan makanan dan sebagainya.

Korban tanah longsor berisiko terkena crush injury atau crush syndrome. Crush injury
dapat menyebabkan nekrosis kulit dan cedera tulang, sedangkan crush syndrome ditandai dengan
rhabdomyolysis, gagal ginjal dan hiperkalemia.

2. Tingginya Angka Kematian

Kematian akibat terjadinya bencana alam dibagi dalam dua kategori, yaitu:

a. Kematian primer, adalah kematian langsung akibat terjadi bencana, misalnya tertimbun
tanah longsor.
b. Kematian Sekunder, adalah kematian yang tidak langsung disebabkan oleh bencana,
melainkan dipengaruhi oleh faktor-faktor penyelamatan terhadap penderita cedera berat,
seperti. kurangnya persediaan darah, obat-obatan, tenaga medis dan para medis yang
dapat bertindak cepat untuk mengurangi kematian tersebut.
Berdasarkan studi penelitian selama tanah longsor yang terjadi di Chuuk, Mikronesia,
faktor risiko. Penyebab kematian pada 43 korban jiwa yang ditemukan terbanyak ialah sufokasi
yang terjadi akibat terkubur di tanah longsor, kemudian trauma tumpul yang menyebabkan
kematian mendadak karena cedera kepala multiple, sepsis akibat fraktur tulang, dan akibat
trauma abdomen dan pelvis. Umumnya luka yang diderita korban selamat relatif kecil; Secara
keseluruhan, 48 orang membutuhkan ruang gawat darurat, 43 di antaranya dirawat di rumah
sakit.

3. Masalah Kesehatan Lingkungan

Mencakup masalah-masalah yang berkaitan erat dengan sanitasi lingkungan, tempat


penampungan yang tidak memenuhi syarat, seperti penyediaan air bersih, tempat pembuangan
tinja dan air bekas, tempat pembuangan sampah, tenda penampungan dan kelengkapannya,
kepadatan dari tempat penampungan, dan sebagainya.

4. Suplai Bahan Makanan dan Obat-Obatan

Apabila kekurangan suplai bahan makanan dan obat-obatan untuk membantu korban
bencana, maka kemungkinannya akan menimbulkan berbagai masalah, diantaranya:

 Kekurangan gizi dari berbagai lapisan umur


 Penyakit infeksi dan wabah, diantaranya infeksi pencernaan (GED) seperti diare, infeksi
pernapasan akut seperti influensa, penyakit kulit.

Penyakit menular pasca bencana

 Tanah longsor berkaitan dengan wabah penyakit menular. Peningkatan kejadian malaria
sangat besar terjadi setelah gempa dan longsor di Kosta Rika pada tahun 1991. Sebagian
peningkatan kejadian malaria mungkin disebabkan oleh peningkatan nyamuk akibat
deforestasi dan perubahan pola aliran sungai.
 Dari penelitian Atuyambe dkk pada orang-orang yang kehilangan tempat tinggal setelah
terjadi longsor di Uganda Timur ditemukan bahwa tidak cukupnya akses terhadap air
bersih atau kakus, yang diperburuk oleh kepercayaan dan sikap tradisional terhadap air
dan kebersihan, dengan banyak penduduk kembali ke sumber air di sungai. Walapun
demikian, jumlah penyakit diare yang ditemukan jauh lebih sedikit dibandingkan yang
mengalami infeksi pernafasan dan malaria.
 Puing-puing dari bagian longsor dapat memasuki jalur air, yang meningkatkan kekeruhan
dan mengubah parameter lainnya. Jika tanah longsor melewati daerah-daerah yang dihuni
maka dapat mengganggu pengelolaan sampah dan mencemari persediaan air yang ada.
Hal ini mengakibatkan peningkatan pertumbuhan bakteri, termasuk peningkatan koliform
fekal sepuluh kali lipat dan peningkatan populasi Vibrio cholera penyebab diare. Selain
itu dapat terjadi demam lembah (valley fever) yang disebabkan oleh bakteri akibat
terjadinya rekahan-rekahan pada tanah.

5. PENANGGULANGAN DAMPAK TANAH LONGSOR


Pergunakan system triage, yaitu suatu system yang digunakan paramedis untuk
merasakan sarana medis yang tersedia saat jumlah korban dan penderita yang butuh perawatan
melebihi sarana medis yang ada. Buat perencanaan yang baik untuk penanggulangan bencana.
Buat kategori bencana, yaitu: Kategori I, jumlah korban antara 50 orang, Kategori II, jumlah
korban antara 51 – 100 orang, Kategori III, jumlah korban antara 101 – 300 orang dan Kategori
IV, jumlah korban diatas 300 orang.
Tentukan kategori rumah sakit yang mampu menampung korban. Harus ada system
komunikasi sentral untuk satu kode dengan nomer telepon khusus. Sistem ambulans dengan
petugas dinas 24 jam. Dari segi medis, melaksanakan tindakan – tindakan yang mudah, cepat,
dan menyelamatkan jiwa. Lebih mencurahkan perhatian pada penderita yang mempunyai
harapan yang lebih baik, seperti pendarahan luar, traumatic, amputasi, dan gangguan jalan napas.
Kerja sama yang lebih baik di bawah seorang pimpinan yang disebut dengan petugas
triage, yaitu suatu seleksi penderita yang menjamin supaya tak ada penderita yang tidak
mendapat perawatan medis. Menggunakan buku pedoman bagi petugas polisi, dinas kebakaran,
paramedis,dan satuan SAR dalam penanggulangan bencana

Cara penanggulangan bencana, antara lain sebagai berikut :


1.Terhadap Penyebab Primer
Cara–cara penanggulangan bencana apabila bencana tersebut terjadi karena penyebab
primer, diantaranya: menyelamatkan penduduk ke tempat yang dianggap lebih aman, melakukan
perawatan terhadap penderita yang cidera di suatu tempat yang aman, memberikan pelayanan
pengobatan kepada penderita dan menguburkan mayat serta binatang sesegera mungkin.

2.Terhadap Penyebab Sekunder


Pada daerah yang terkena bencana, penanggulangan bencana terhadap penyebab sekunder
dengan menyiapkan tempat penampungan yang memenuhi syarat sanitasi lingkungan, yaitu:
sarana air bersih, sarana jamban dan pembuangan air limbah, pencegahan khusus yang mungkin
timbul sebagai dampak bencana, menyediakan pelayanan kesehatan untuk mengawasi
kemungkinan wabah, penyediaan sarana dan prasarana medis untuk menghadapi kemungkinan
timbulnya wabah dan menyediakan suplai makanan dengan gizi yang baik untuk menghindari
terjadinya defisiensi nutrisi.
Upaya kesiapsiagaan dapat dilakukan dengan melakukan suatu rencana aksi yang
diimplementasikan dalam suatu kegiatan yang bertujuan untuk pengurangan risiko bencana.
Rencana aksi harus meliputi upaya-upaya yang dilakukan untuk pengurangan laju perubahan
iklim di setiap negara, meliputi 3 isu yang harus di perhatikan : (1) pengurangan risiko bencana;
(2) perubahan iklim global dan (3) pembangunan berkelanjutan, yang menjadi satu kesatuan
yang saling berhubungan dalam mengelola ancaman bencana alam (natural disaster). Saat
terjadinya bencana di suatu wilayah perlu dilakukan penanganan cepat (emergency response)
untuk memberi jaminan keselamatan, kesehatan dan hak-hak dasar kepada seluruh komponen
yang terlanda tanpa terkecuali, dalam masa krisis pemulihan cepat terhadap kehidupan dan
penghidupan masyarakat harus dilakukan secara terencana dan terpadu sehingga dapat ditangani
dengan cepat. Proses pemulihan (recovery) menjadi bagian dari upaya peredaman risiko bencana
dimana dalam perencanaan suatu program pemulihan harus memiliki unsur-unsur terhadap
pengurangan risiko bencana, berguna bagi keberlanjutan dan pembangunan berkelanjutan aman
dari risiko bencana (Schipper and Pelling, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Pedoman Penyusunan Rencana


Penanggulangan Bencana. Available at www.gitews.org>peraturan_kepala_BNPB. Acessed
Desember, 8 2017.

Kennedy ITR, Petley DM, Williams M, Murray V. 2015. A Systematic Review of the Health
Impacts of Mass Earth Movements (Landslides). ed 1. PLoS Med. Available at
http://currents.plos.org/disasters/article/a-systematic-review-of-the-health-impacts-of-mass-
earth-movements-landslides

Schipper, L and Pelling, M, 2006. Disaster Risk, Climate Change and International
Development: Scope for, and Challenges to, Integration. Journal of Disasters, Volume 30,
Number 1, Maret 2006, pp 19-38.

Sukandarrumidi. 2010. Bencana alam dan bencana antrhopogen. Yogyakarta.kanisiusmedia

Pan American Health Organization. 2006. Available at www.paho.org. Acessed Desember, 8


2017.

Anda mungkin juga menyukai