Halaman
2.1. Pengetahuan.......................................................................... 6
1
2.3.1. Pengertian................................................................... 9
2.4.1. Pengertian................................................................... 16
2.4.8. Tatalaksana................................................................. 26
2
4.1. Jenis penelitian....................................................................... 28
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
Penyakit akibat kerja disebabkan oleh pajanan terhadap bahan kimia dan
biologis, serta bahaya fisik ditempat kerja.Meskipun angka kejadiannya tampak lebih
kecil dibandingkan dengan penyakit-penyakit utama penyebab cacat lain, terdapat
bukti bahwa penyakit ini mengenai cukup banyak orang, khususnya di Negara-
negara yang giat mengembangkan industri (Aditama T.Y, 1999).
Ratusan juta tenaga kerja diseluruh dunia saat ini bekerja dalam kondisi yang
tidak nyaman dan beresiko terjadinya gangguan kesehatan akibat kerja. Menurut
International Labor Organization (ILO) setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang
disebabkan oleh penyakit atau yang di sebabkan oleh pekerjaan. Sekitar 300.000
kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah kematian karena
penyakit akibat kerja dimana diperkirakan terjadi 160 juta penyakit akibat hubungan
kerja baru setiap tahunnya (Buchari,2007).
5
pneumokoniosis (penyakit saluran napas) yang disebabkan oleh paparan debu tempat
kerja terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya.
Hazard atau faktor resiko penyakit paru di tempat kerja bersumber dari bahan
baku, bahan sampingan, proses produksi, produk atau limbah. Hazard kesehatan paru
yang berbentuk debu/partikel yang berasal dari alam atau buatan akan terpajan tenaga
kerja melalui inhalasi udara di tempat kerja, maka penyakit paru akibat kerja dapat
timbul dengan gejala yang bervariasi yaitu dari ringan hanya batuk-batuk sampai
sesak tidak dapat bernapas dengan segala konsekuensinya : pekerja mungkin jatuh
sakit, cacat dan sampai meninggal sehingga suatu perusahaan akan merugi akibat
produktivitas pekerja menurun. Hal ini dikarenakan adanya penyempitan pada jalan
napas (YunusF,2006).
6
akan menimbulkan pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan pada
pekerjaannya. Hal ini disebabkan keramik menghasilkan silica sehingga dapat
mengganggu kesehatan paru.
7
1.3.2 TUJUAN KHUSUS
pengetahuan dan sikap tenaga kerja pabrik penghasil keramik terhadap penyakit
kerja.
Kesehatan Respirasi.
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENGETAHUAN
Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu terutama melalui mata dan telinga.Bila
seseorang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai suatu bidang tertentu
dengan lancar, baik secara lisan maupun tertulis maka dapat dikatakan mengetahui
bidang tersebut.Sekumpulan jawaban verbal yang diberikan orang tersebut
dinamakan pengetahuan.Melalui lingkungan seseorang mendapat pengalaman dan
pengetahuan.Pengetahuan dapat diperoleh dari pendidikan formal atau pendidikan
informal.Makin tinggi pendidikan formal seseorang makin luas pengetahuannya.
Pengetahuan merupakan salah satu bentuk operasional dari perilaku manusia yang
dapat mempengaruhi sikap seseorang (Notoatmodjo S,2003).
9
Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar.
Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menjabarkan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya.
Analisa (analysis)
Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Sintesis (synthesis)
Sintesis merupakan kepala suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap
suatu materi atau objek.
10
2.2. SIKAP
Menurut Notoatmodjo S (2005), sikap adalah reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak
dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku
yang tertutup.Sikap merupakan kesiapan untuk beraksi terhadap objek di lingkungan
tertentu sebagai penghayatan terhadap objek.
Menerima (receiving)
Menerima dapat diartikan bahwa orang (subjek) mau dan bersedia
mempertahankan stimulus yang diberikan (objek).
Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mempersiapkan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sebuah sikap. Karena dengan
suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar attau salah, adalah berarti orang
menerima ide tersebut
Menghargai (valuing)
Indikasi sikap ketiga adalah mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah.
Bertanggung jawab (responsible)
11
Sikap yang paling tinggi adalah bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
telah dipilihnya dengan segala resiko.
a. Pengalaman pribadi
c. Pengaruh kebudayaan
d. Media massa
2.3. Debu
2.3.1 Pengertian
12
Menurut Departemen Kesehatan RI (2003) debu ialah partikel-partikel kecil
yang dihasilkan oleh proses mekanis. Jadi pada dasarnya, pengertian debu adalah
partikel yang berukuran kecil sebagai hasil dari proses alami maupun mekanis.
Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang
melayang di udara (Suspended Particulate Matter / SPM) dengan ukuran 1 mikron
sampai dengan 500 mikron (Pudjiastuti W,2002).
Sifat mengendap
Debu cenderung mengendap karena gaya gravitasi bumi. Namun karena
ukurannya yang relatif kecil berada di udara.Debu yang mengendap dapat
mengandung proporsi partikel yang lebih besar dari debu yang terdapat di
udara.
Permukaan cenderung selalu basah
Permukaan debu yang cenderung selalu basah disebabkan karena
permukaannya selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis.Sifat ini
menjadi penting sebagai upaya pengendalian debu di tempat kerja.
Sifat menggumpal
Debu bersifat menggumpal disebabkan permukaan debu yang selalu basah,
sehingga debu menempel satu sama lain dan membentuk gumpalan.
Listrik statis (elektrostatik)
Sifat ini menyebabkan debu dapat menarik partikel lain yang berlawanan.
Adanya partikel yang tertarik ke dalam debu akan mempercepat terjadinya
proses penggumpalan.
Opsis
Opsis adalah debu atau partikel basah atau lembab lainnya dapat memancakan
sinar yang dapat terlihat pada kamar gelap.
13
2.3.3 Klasifikasi Debu
1. Debu organik seperti debu kapas, debu daun-daunan, tembakau dan sebagainya.
2. Debu mineral yang merupakan senyawa kompleks seperti silikon dioksida (SiO2),
silikon trioksida (SiO3), arang batu dan sebagainya.
3. Debu metal merupakan debu yang mengandung unsur logam seperti timah hitam,
mercuri, aseton dan lain-lain.
Ditempat kerja debu jenis-jenis ini dapat ditemukan seperti dalam kegiatan pertanian,
pengusaha keramik, batu kapur, batubara,dan lain-lain (Pudjiastuti W,2002).
Secara alamiah partikulat debu dapat dihasilkan dari debu tanah kering yang
terbawa oleh angin atau berasal dari muntahan letusan gunung berapi. Sedangkan
sumber debu yang tidak sempurna akibat ulah manusia sebagian besar berasal dari
pembakaran hutan, pembakaran batubara, proses industri, dan gas buangan alat
transportasi. Debu yang terdapat di dalam udara terbagi dua, yaitu deposite
particulate matter adalah partikel debu yang hanya berada di udara, partikel ini
segera mengendap karena ada daya tarik bumi. Dan Suspended particulate matter
adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap (Yunus F,2006).
14
2.3.5 Ukuran Partikel Debu
(µm)
>100 Bila dilepaskan dengan kecepatan tinggi akan jatuh dengan cepat di sekitar
tempat partikel tersebut dilepaskan. Biasanya tidak terisap ke saluran pernapasan.
100-30 Karena partikelnya lebih kecil, maka akan terbawa oleh aliran udara di
sekitarnya. Dapat terisap ke saluran pernapasan, tetapi akan tertangkap oleh
mekanisme penyaringan di hidung. Tidak akan masuk ke dalam tubuh, kecuali
partikel tersebuut dapat larut oleh cairan di dalam hidung .
30-5 Karena partikelnya jauh lebih kecil, akan terbawa oleh aliran udara lebih jauh.
Mudah masuk ke dalam cabang-cabang bronkus, tetapi perlahan-lahan akan
dibersihkan oleh mekanisme pertahanan tubuh. Sebagian dapat terserap ke bagian
tubuh bila partikel tersebut tersimpan cukup lama.
<5 Partikelnya sangat kecil maka akan terbawa oleh aliran udara dan sangat
mudah terisap sampai masuk ke paru. Namun, partikel akan mengambang di udara
paru karena diameternya sangat kecil dan mudah dikeluarkan lagi. Selain itu, partikel
mudah pula diabsorpsi ke tubuh karena mengendap di daerah pertukaran gas.
15
Ukuran partikel suatu zat yang terisap mengakibatkan cara penetrasi dan area
penyimpanan yang berbeda-beda di dalam percabangan saluran pernapasan. Dengan
demikian, partikel zat kimia dibedakan menjadi tiga berdasarkan kemampuan
absorpsi partikelnya kedalam tubuh, yaitu :
Non-inspirable
Partikel-partikel yang dapat terisap oleh saluran pernapasan, tetapi tidak akan
diabsorpsi ke dalam tubuh karena akan terperangkap oleh mekanisme
penyaringan di hidung.
Inspirable
Partikel-partikel yang bila terisap oleh saluran pernapasan akan mudah masuk
ke dalam cabang-cabang bronkus dan dapat mengendap di semua bagian
saluran pernapasan, tetapi biasanya perlahan-lahan akan dibersihkan oleh
mekanisme pertahanan tubuh.
Respirable
Partikel-partikel yang bila terisap oleh saluran pernapasan akan mudah masuk
sampai ke alveolus sehingga dapat diabsorpsi oleh tubuh (Harrianto R ,2010)
a. Inert dust
Golongan debu ini tidak menyebabkan kerusakan atau reaksi fibrosis pada paru.
Efeknya sangat sedikit atau tidak ada sama sekali pada penghirupan normal.
b. Poliferatif dust
Golongan debu ini di dalam paru akan membentuk jaringan parut atau fibrosis.
Fibrosis ini akan membuat pengerasan pada jaringan alveoli sehingga mengganggu
fungsi paru. Debu dari golongan ini menyebabkan fibrocytic
pneumoconiosis.Contohnya: debu silika, asbestosis, kapas, berilium, dan sebagainya.
16
c. Tidak termasuk inert dust dan poliferatif dust
Kelompok debu ini merupakan kelompok debu yang tidak tahan di dalam
paru, namun dapat menimbulkan efek iritasi yaitu debu yang bersifat asam
atau asam kuat.
Efek debu terhadap kesehatan sangat tergantung pada sifat debu, komposisi kimia,
konsentrasi debu dan ukuran partikel debu (Pudjiastuti W,2002).
Simpul I
yaitu pancegahan terhadap sumbernya, antara lain isolasi sumber agar tidak
mengeluarkan debu diruangan kerja dengan “local echauster” atau dengan
melengkapi water sprayer pada cerobong pembuang asap.
17
Simpul II
yaitu pencegahan dilakukan terhadap media transmisi udara dengan cara
memakai metode basah, yaitu penyiraman lantai dan melakukan pengeboran
basah.
Simpul III
yaitu pencegahan terhadap tenaga kerja yang terpapar dengan menggunakan
Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker.
Simpul IV
yaitu pencegahan terhadap penderita atau orang sakit akibat terpajan partikel
debu antara lain melalui pemeriksaan dan pengobatan serta rehabilitas
terhadap korban atau orang sakit.
Penyakit paru kerja adalah penyakit atau kelainan pada paru yang timbul
sehubungan dengan pekerjaan. Berbagai bahan berupa debu, serat dan gas yang
timbul pada proses industri. Tergantung pada jenis bahan tersebut maka penyakit
yang ditimbulkannya pun bermacam-macam (Rampai B,2009).
Penyakit paru kerja yang disebabkan oleh debu dikenal sejak manusia
mengenal penambangan mineral. Berbagai jenis debu mineral dapat menimbulkan
pneumokoniosis (Cowie R.L,2005)
18
Beberapa prinsip yang digunakan secara umum untuk menentukan penyakit
paru akibat pajanan bahan di tempat kerja atau lingkungan antara lain :
a. Sebagian besar penyakit paru disebabkan atau diperberat oleh pajanan dari
tempat kerja atau lingkungan. Jadi pemicu dari tempat kerja dan lingkungan, harus
secara terus-menerus diperhatikan dalam evaluasi dan penatalaksanaan penyakit paru.
b. Sebagian penyakit paru mungkin disebabkan oleh banyak faktor, dan faktor
pekerjaan bias berinteraksi dengan faktor lain. Sebagai contoh : faktor resiko kanker
paru pada pekerja yang terpajan asbes sekaligus merokok lebih besar daripada hanya
terpajan asbes atau merokok secara sendiri-sendiri.
c. Dosis pajanan penting, sebagai faktor pemicu proporsi populasi yang terkena
dan derajat keparahan penyakit. Pajanan dengan dosis yang lebih tinggi biasanya
menyebabkan lebih banyak individu yang terkena serta derajat yang lebih parah
(Rampai B,2009).
2.4.1 Pengertian
1. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis), asbes
(asbestosis), dan timah (stannosis).
3. Kelainan yang timbul oleh debu organik seperti kapas (bisinosis) (Yunus F,2004).
19
Umumnya diperlukan waktu pajanan 10 tahun agar dapat menimbulkan
pneumokoniosis.
2.4.2 Epidemiologi
a. Sifat fisik
Keadaan fisik yang berupa partikel uap atau gas, ukuran, dan densitasi
partikel, bentuk dan kemampuan penetrasi yeng mempengaruhi sifat migrasi
dan reaksi tubuh.Sifat kelarutan partikel juga berpengaruh, seperti asbestos
dan silika yang merupakan partikel tidak larut.
b. Sifat kimia
Sifat fibrogenitas merupakan sifat suatu bahan yang menimbulkan fibrosis
jaringan.Debu fibrogenik merupakan debu yang dapat menimbulkan reaksi
jaringan paru (fibrosis) seperti batubara, silika bebas dan asbes.Dan debu
nonfibrogenik adalah debu besi, kapur dan timah.
20
c. Faktor Penjamu
Faktor ini berperan penting pada respon jaringan terhadap agen/bahan
terinhalasi.Gangguan sistem pertahanan paru alami seperti kelainan genetik,
kecepatan bersihan dan fungsi makrofag. Gangguan sistem pertahanan paru
didapat contohnya karena obat-obatan, asap rokok, dan alkohol. Kondisi
anatomi dan fisiologi saluran napas dan paru mempengaruhi pola pernapasan
yang akhirnya mempengaruhi deposit agen/bahan terinhalasi. Keadaan
imunologi juga berperan, contohnya alergi.
21
Debu inert akan tetap berada di makrofag selanjutnya debu akan keluar dan
difagositosis lagi oleh makrofag lainnya, makrofag dengan debu di dalamnya dapat
bermigrasi ke jaringan limfoid atau ke bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran
napas (Ngurah Rai,2003).
Pada debu yang bersifat sitoktoksis, partikel debu yang difagositosis makrofag
akan menyebabkan kehancuran yang diikuti dengan fibrositosis. Partikel debu akan
merangsang makrofag alveolar untuk mengeluarkan produk yang merupakan
mediator suatu respon peradangan dan memulai proses proferasi fibroblast. Mediator
yang paling banyak berperan adalah Tumor Necrosis Factor (TNF)-α, Interleukin
(IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor dan transforming growth factor (TGF)-β
yang memacu faktor fibrogenik makrofag alveolar atau epitel alveolar sehingga
memacu pembentukan kolagen selanjutnya terjadi fibrosis. Hilangnya integritas epitel
akibat mediator inflamasi yang dilepaskan makrofag alveolar merupakan kejadian
awal proses fibrogenesis di interstitial paru. Bila partikel debu telah masuk dalam
interstitial maka nasibnya ditentukan oleh makrofag interstitial, difagositosis untuk
kemudian di transfer ke kelenjar getah bening mediastinum atau terjadi sekresi
mediator inflamasi kronik. Sitokin yang dilepaskan di interstitial seperti PDGF, TGF,
TNF, IL-1 menyebabkan proliferasi fibroblast dan terjadilah pneumokoniosis
(Ngurah Rai,2003).
Debu silika dan asbes mempunyai efek biologis yang sangat kuat. Reaksi
parenkim dapat berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari silikosis, fibrosis
difus pada asbestosis dan pembentukan makula dengan emfisema fokal akibat
partikel debu (Yunus F,2004).
22
2.4.5 Jenis Pneumokoniosis
Asbes Asbestosis
Silika Silikosis
Besi Siderosis
Berilium Beriliosis
a. 5-10 µm : akan tertahan oleh saluran napas atas dan menimbulkan banyak penyakit
berupa iritasi sehingga menimbulkan penyakitpharyngitis.
b. 3-5 µm : akan tertahan oleh saluran pernapasan broncus / bronchioles yang dapat
menimbulkan bronchitis, allergis atau asma.
23
c. 1-3 µm : akan mencapai dipermukaan alveoli.
Menurut WHO 2006 ukuran partikel debu yang membahayakan adalah ukuran 0,1-5
atau sampai 10 mikron (Pudjiastuti W,2002).
A. Anamnesis
1. Riwayat pekerjaan
a. Pencatatan pekerjaan dan kegemaran yang terus-menerus atau part time secara
kronologis.
c. Hubungan antara pajanan dan gejalan yang timbul : waktu antara mulai bekerja dan
gejala pertama, perkembangan gejala, hubungan antara gejala dengan tugas tertentu,
perubahan gejala pada waktu libur / jauh dari tempat kerja.
2. Keluhan penyakit
b. Dahak (pagi/siang/malam/terus-menerus).
24
d. Nyeri dada.
3. Riwayat penyakit
a. Batuk
b. Dahak
c. Napas pendek
d. Mengi (wheezing)
e. Nyeri dada
25
1. Kecelakaan/operasi didaerah dada
2. Gangguan jantung
3. Bronchitis
4. Pneumonia
5. Pleuritis
6. TB paru
7. Asma
4. Riwayat kebiasaan
Ditanyakan riwayat kebiasaan merokok, meliputi : jumlah rokok yang dihisap, lama
merokok, cara mengisap rokok (dangkal/dalam), umur memulai merokok, jenis rokok
(buatan sendiri/pabrik, menggunakan filter/tidak) dan kontinuiti merokok.
B. Pemeriksaan fisik
Pada kebanyakan kasus pennyakit paru akibat kerja, hasil pemeriksaan fisik
relatif tidak membantu.Pada observasi umum, penyakit paru obstruksi dapat
ditemukan sesak napas, saat istirahat maupun setelah melaksanakan aktivitas
sedangkan pada kasus pneomokoniosis ditemukan jari-jari tabuh, demam tinggi,
takipnoe atau kadang sianosis, dan biasanya ditemukan krepitasi.
C. Pemeriksaan penunjang
1. Foto toraks
26
digunakan untuk keperluan epidemiologi penyakit paru akibat kerja.Perselubungan
pada pneumokoniosis dibagi atas dua golongan, yaitu perselubungan halus dan kasar.
Perselubungan halus
Perselubungan kasar
27
B Satu atau beberapa perselubungan yang lebih besar atau lebih banyak
dibanding kategori A dengan jumlah luas perselubungan tidak melebihi luas lapangan
paru kanan atas.
Tes fungsi paru merupakan tes kuatitatif dari faal paru, digunakan untuk
menentukan kapasitas fungsi paru dan kemampuannya untuk melakukan
pekerjaan.Dengan demikian dapat digunakan pula untuk membantu menentukan ciri-
ciri dan beratnya penyakit paru kerja.
Pada kondisi tertentu, diperlukan diagnosis pasti pajanan bahan di lingkungan kerja
dengan analisis bahan biologi (sputum, bronchoalveolar lavage/BAL).pemeriksaan
BAL membantu menegakkan diagnosis, pemeriksaan ini dapat terlihat debu di dalam
makrofag dan jenis debu kemungkinana dapat diidentifikasi menggunakan mikroskop
elektron. Pada kasus asbestosis dapat ditemukan serat asbes dan asbestos body (AB).
28
AB adalah bahan yang berbentuk secara intraselular dan berasal dari satu atau lebih
makrofag alveolar yang bereaksi dengan serat asbes (Harrianto R,2010).
Pada silikosis, makrofag yang ditemukan dalam BAL berisi partikel granit yang
semakin lama riwayat pajanan terdapat debu granit maka akan semakin banyak
ditemukan makrofag tersebut.
2.4.8 Tatalaksana
APD yang baik adalah yang memenihi standart keamanan dan kenyamanan bagi
pekerjanya (Safety and Acceptation).APD yang tepat bagi tenaga kerja yang berada
pada lingkungan kerja dengan paparan debu konsentrasi tinggi adalah :
b. Respiratori pemurni udara dapat membersihkan udara dengan cara menyaring atau
menyerap toksinitas rendah sebelum memasuki sistem pernapasan (Habsari
ND,2003).
29
BAB 3
Tingkat Pengetahuan
Penyakit Paru Kerja Akibat Debu
Sikap
1. Tingkat pengetahuan merupakan hasil dari “tahu”dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengideraan terjadi melalui
panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba.
2. Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu
stimulus atau objek.
3. Penyakit paru kerja akibat debu adalah penyakit atau kelainan pada paru yang
timbul sehubungan dengan pekerjaan yang disebabkan oleh debu.
30
3.5 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tenaga kerja di PT Prima Indah
Sanitoun Kota Binjai yaitu sejumlah 57 orang. Sampel adalah bagian dari populasi
yang mewakilkan populasi yang akan diambil (Notoadmojo S,2005).
Sampel dalam penelitian ini adalah semua tenaga kerja PT Prima Indah
Sanitoun Kota Binjai, yaitu sejumlah 57 orang.
Metode Pengumpulan data ialah cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti
untuk mengumpulkan data. Metode (cara atau teknik) menunjukkan suatu kata yang
abstrak dan tidak di wujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihat menggunakan
angket, wawancara, ujian (tes), dokumentasi dan lainnya.
Data sekunder adalah data yang diperoleh langsung dari bagian administrasi
PT Prima Indah Sanitoun.
31
dan reabilitasnya dengan menggunakan program Statistical Product and Service
Solutions (SPSS).
Sampel yang digunakan dalam uji validitas ini memiliki karakter yang hampir
sama dengan sampel dalam penelitian. Uji validitas dan reabilitas kuesioner
dilakukan dengan jumlah sampel sebanyak 20 subjek.
32
DAFTAR PUSTAKA
Cowie RL, Murray JF, Becklake MR., 2005.Pneumoconiosis. In: Mason RJ,
Demedts M, Nemey B, Elnes P., 2003. Pneumoconioses. In: Gibson GJ, Gedder
Kedokteran ECG.
33
Iqbal, Chayatin, Rozikin & Supradi.,2007. Promosi Kesehatan : SebuahPengantar
Kurniawidjaja, L.M., 2012. Filosofi dan konsep dasar kesehatan kerja serta
Mahfoedz, I. Et all., 2005. Teknik Membuat Alat Ukur untuk Penelitian Bidang
Mangunnegoro H., 2003. Diagnosis dan Penilaian Cacat Pada Penyakit Paru
Ngurah Rai IB., 2003. Pneumokoniosis. Patogenesis dan Ganguuan Fungsi In:
Cipta.
34
Pudjiastuti, W., 2002.Debu Sebagai Bahan Pencemaran yang Membahayakan
Kesehatan Kerja.
Rampai, B., 2009. Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan.Jakarta; Balai Penerbit
FKUI.
Seto. Jakarta.
35