Anda di halaman 1dari 35

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Pengesahan ...... i

BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 4

1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah................................................................. 4

1.3. Tujuan Penelitian .................................................................. 4

1.4. Manfaat Penelitian ................................................................ 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 6

2.1. Pengetahuan.......................................................................... 6

2.1.1. Pengertian Pengetahuan............................................. 6

2.1.2. Tingkat Pengetahuan didalam Domain Kognitif......... 6

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan........ 7

2.1.4. Cara Pengukuran Pengetahuan................................... 8

vii 2.2. Sikap..................................................................................... 8

2.2.1. Pengertian sikap ......................................................... 8

2.2.2. Tingkatan Sikap.......................................................... 8

2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap


.................................................... 9

2.2.4. Cara Pengukuran Sikap............................................... 9

2.3. Debu ..................................................................................... 9

1
2.3.1. Pengertian................................................................... 9

2.3.2. Sifat Debu .................................................................. 10

2.3.3. Klasifikasi Debu ........................................................ 11

2.3.4. Sumber dan Distribusi Debu ....................................... 11

2.3.5. Ukuran Partikel Debu ................................................. 12

2.3.6. Komposisi Kimia........................................................ 14

2.3.7. Dampak Pencemaran Udara oleh Debu ....................... 14

2.3.8. Pengendalian dan Penanggulangan Debu .................... 15

2.4. Penyakit Paru Kerja Akibat Debu........................................... 15

2.4.1. Pengertian................................................................... 16

2.4.2. Epidemiologi .............................................................. 17

2.4.3. Sifat Debu dan Hubungannya dengan Penyakit


Paru.............................................................. 17

2.4.4. Patogenesis Pneumokoniosis ...................................... 18

2.4.5. Jenis Pneumokoniosis................................................. 20

2.4.6. Ukuran Debu yang Berpengaruh................................. 20

2.4.7. Diagnosis Penyakit Paru Akibat Kerja ........................ 21

2.4.8. Tatalaksana................................................................. 26

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL........ 27

3.1. Kerangka Konsep Penelitian .................................................... 27

3.2. Definisi Operasional .............................................................. 27

2
4.1. Jenis penelitian....................................................................... 28

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................. 28

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian.............................................. 28

4.4. Metode Pengumpulan Data .................................................... 28

4.4.1. Data Primer ................................................................ 29

4.4.2. Data Sekunder ............................................................ 29

4.4.3 Uji Validitas dan Reabilitas ........................................ 29

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tenaga kerja merupakan tulang punggung di bidang industri yang sangat


menentukan keberhasilan dari suatu usaha untuk mempertinggi produksi,
produktivitas dan efisiensi kerja.Keberhasilan tenaga kerja sebagai sumber daya
manusia perlu mendapat perhatian khusus.Baik kemampuan, keselamatan serta
kesehatan kerjanya, sekalipun faktor modal, material yang bermutu baik, serta mesin-
mesin canggih tidak dapat dijalankan oleh tenaga kerja dengan kesehatan yang rendah
dan tidak memuaskan. Maka dari itu para pekerja berhak mendapatkan perlindungan
kesehatan dan keselamatan dalam bekerja (Konvensi ILO No.155/1981) serta
mendapatkan pelayanan Kesehatan Kerja ( KonvensiILO No.197/2006; UU
No.36/2009; UU 13/2003). Maka dari itu para pekerja memerlukan pengetahuan dan
keterampilan dalam menjaga kesehatan dan mencegah terjadinya kecelakaan kerja
(Kurniawidjaja L.M,2010).

Industri dan produksinya mempunyai dampak positif dan negatif kepada


manusia. Di satu pihak akan memberikan keuntungan berupa terciptanya lapangan
kerja, mempermudah komunikasi dan transportasi serta akhirnya terjadi peningkatan
kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Di pihak lain timbul dampak negatif karena
pajanan bahan-bahan yang terjadi pada proses industri atau oleh karena produk-
produk hasil industri tersebut. Pajanan bahan tersebut dapat mempengaruhi kesehatan
lingkungan antara lain berupa pencemaran air karena pembuangan limbah dari pabrik,
pencemaran udara oleh bahan-bahan yang diolah atau karena asap pabrik tersebut
(Mangunnegoro H,2003).

4
Penyakit akibat kerja disebabkan oleh pajanan terhadap bahan kimia dan
biologis, serta bahaya fisik ditempat kerja.Meskipun angka kejadiannya tampak lebih
kecil dibandingkan dengan penyakit-penyakit utama penyebab cacat lain, terdapat
bukti bahwa penyakit ini mengenai cukup banyak orang, khususnya di Negara-
negara yang giat mengembangkan industri (Aditama T.Y, 1999).

Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 86 ayat 1


yang menyatakan bahwa setiap pekerja atau buruh mempunyai hak untuk
memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan
kesusilaan dan perilaku yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-
nilai agama (Suma’mur P.K, 2009).

Ratusan juta tenaga kerja diseluruh dunia saat ini bekerja dalam kondisi yang
tidak nyaman dan beresiko terjadinya gangguan kesehatan akibat kerja. Menurut
International Labor Organization (ILO) setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang
disebabkan oleh penyakit atau yang di sebabkan oleh pekerjaan. Sekitar 300.000
kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah kematian karena
penyakit akibat kerja dimana diperkirakan terjadi 160 juta penyakit akibat hubungan
kerja baru setiap tahunnya (Buchari,2007).

Di Amerika, The National Institute for Occupational Safety and Health


(NIOSH) memperkirakan bahwa angka kematian yang terkait dengan Penyakit Paru
Akibat Kerja atau dalam publikasi internasional disebut dengan Occupational Lung
Diseases (OLD) sekitar 30% yang disebabkakan oleh pajanan di tempat kerja. Lebih
dari 20 juta pekerja di Amerika Serikat telah terpajan bahan material yang dapat
menyebabkan penyakit sistem pernapasan.Hampir 100.000 kematian akibat
kecelakaan atau penyakit akibat kerja, sebagai konsekuensinya banyak perusahaan
beroperasi sederhana, hal ini karena kekhawatiran kesehatan dan keselamatan.

Menurut WHO (World Health Organization) tahun 2007, diantara semua


penyakit akibat kerja 30% sampai 50% adalah penyakit pneumokoniosis. Selain itu
ILO (international Labour Organization) mendeteksi bahwa sekitar 40.000 kasus baru

5
pneumokoniosis (penyakit saluran napas) yang disebabkan oleh paparan debu tempat
kerja terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya.

Hazard atau faktor resiko penyakit paru di tempat kerja bersumber dari bahan
baku, bahan sampingan, proses produksi, produk atau limbah. Hazard kesehatan paru
yang berbentuk debu/partikel yang berasal dari alam atau buatan akan terpajan tenaga
kerja melalui inhalasi udara di tempat kerja, maka penyakit paru akibat kerja dapat
timbul dengan gejala yang bervariasi yaitu dari ringan hanya batuk-batuk sampai
sesak tidak dapat bernapas dengan segala konsekuensinya : pekerja mungkin jatuh
sakit, cacat dan sampai meninggal sehingga suatu perusahaan akan merugi akibat
produktivitas pekerja menurun. Hal ini dikarenakan adanya penyempitan pada jalan
napas (YunusF,2006).

Kasus pneumokoniosis menempati urutan pertama Occupational Diseases


(OD) di Negara Jepang dan China (ILO,2005). Lebih dari 3% kematian akibat
penyakit paru kronik di New York berhubungan dengan pekerjaan (WHO,2007).
Sebuah studi di Mesir pada pekerjaan keramik lebih banyak ditemukan gejala
terhadap saluran pernapasan seprti batuk, demam, dan produksi sputum (Agus
D.S,2011).

Kasus pneumokoniosis Program Perlindungan Kesehatan Respirasi (PPKR)


merupakan upaya komprehensif yang bertujuan menurunkan bahkan
menghilangkanresiko penyakit paru akibat pajanan hazard kesehatan di dunia usaha
dan dunia kerja. Dari segi manajemen dan ketenagakerjaan , program ini bermanfaat
bagi pekerja yang layak (decent work) dan terlindung dari risiko menderita sakit,
cacat atau kematian yang berkaitan dengan penyakit paru akibat kerja (PAK Paru)
(Kurniawidjaja L.M,2010).

Pabrik keramik PT Prima Indah Sanitoun merupakan pabrik yang bergerak


dalam bidang industri closet, dengan jumlah pekerja 57 orang yang mendominasi
pekerjanya adalah laki-laki. Closet tersebut terbuat dari keramik yang berbahan baku
dari tanah liat, pasir dan feldspar. Bahan baku tersebut akan menghasilkan debu dan

6
akan menimbulkan pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan pada
pekerjaannya. Hal ini disebabkan keramik menghasilkan silica sehingga dapat
mengganggu kesehatan paru.

Secara umum, tingkat pengetahuan pekerja tentang kegunaan alat pelindung


diri keselamatan dan kesehatan kerja sudah cukup tinggi (82,3%), serta tingkat
penyediaan alat pelindung diri oleh perusahaan juga sudah cukup memadai (87,6%).
Namun, pekerja yang mengaku selalu mempergunakan alat pelindung hanya 41,7 %.
Hal ini lah yang menandakan rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran
menggunakan alat pelindungterhadap bahan-bahan berbahaya pada pekerja pabrik
(Yunus F,2006).

Salah satu penyebab minimnya pekerja yang selalu mempergunakan


alatpelindung adalah masih rendahnya kesadaran pekerja dalam memakai alat
pelindung diri dan mematuhinya.Hal ini juga tak terlepas dari faktor pendidikan,
sosial budaya, sikap dan perilaku para pekerja.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan


dalampenelitian ini adalah bagaimana tingkat pengetahuan dan sikap tenaga
kerjapabrik penghasil keramik terhadap penyakit paru kerja akibat debu.

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 TUJUAN UMUM

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap tenaga kerja pabrik


penghasilkeramik terhadap penyakit paru kerja akibat debu.

7
1.3.2 TUJUAN KHUSUS

1. Untuk mengetahui penggunaan alat pelindung pada karyawan.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1. Dari hasil penelitian ini , kita dapat mengetahui bagaimana tingkat

pengetahuan dan sikap tenaga kerja pabrik penghasil keramik terhadap penyakit

paru akibat kerja.

2. Sebagai pacuan untuk memberikan penyuluhan kesehatan dan keselamatan

kerja.

3. Sebagai data dasar dalam menyusul strategi untuk Program Perlindungan

Kesehatan Respirasi.

8
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENGETAHUAN

2.1.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu terutama melalui mata dan telinga.Bila
seseorang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai suatu bidang tertentu
dengan lancar, baik secara lisan maupun tertulis maka dapat dikatakan mengetahui
bidang tersebut.Sekumpulan jawaban verbal yang diberikan orang tersebut
dinamakan pengetahuan.Melalui lingkungan seseorang mendapat pengalaman dan
pengetahuan.Pengetahuan dapat diperoleh dari pendidikan formal atau pendidikan
informal.Makin tinggi pendidikan formal seseorang makin luas pengetahuannya.
Pengetahuan merupakan salah satu bentuk operasional dari perilaku manusia yang
dapat mempengaruhi sikap seseorang (Notoatmodjo S,2003).

Menurut Machfoedz, et al (2005) cara orang yang bersangkutan


mengungkapkan apa-apa yang diketahuinya dalam bentuk bukti atau jawaban baik
lisan dan tertulis. Bukti atau jawaban tersebut merupakan reaksi dari suatu stimulus
yang dapat berupa pernyataan lisan maupun tertulis.Seseorang memiliki pengetahuan
yang tinggi apabila mampu mengungkapkan sebagian besar informasi dari suatu
objek dengan benar.Demikian juga bila seseorang hanya mampu menggunakan
sedikit informasi dari suatu objek dengan benar maka dikategorikan berpengetahuan
rendah tentang objek tersebut.

2.1.2 Tingkat Pengetahuan Didalam Domain Kognitif

Pengetahuan dalam domain kognitif menurut Notoatmodjo S (2003)


mencakup 6 (enam) tingkatan, yaitu :

9
Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar.
Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menjabarkan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya.
Analisa (analysis)
Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Sintesis (synthesis)
Sintesis merupakan kepala suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap
suatu materi atau objek.

2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Notoatmodjo S (2003) menyebutkan bahwa pengetahuan sangat dipengaruhi


oleh beberapa faktor, yaitu : sosial ekonomi, kultur atau budaya, pendidikan dan
pengalaman.

2.1.4 Cara Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket


yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat
disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan domain kognitif (Notoatmodjo S,2003).

10
2.2. SIKAP

2.2.1 Pengertian Sikap

Menurut Notoatmodjo S (2005), sikap adalah reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak
dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku
yang tertutup.Sikap merupakan kesiapan untuk beraksi terhadap objek di lingkungan
tertentu sebagai penghayatan terhadap objek.

Sikap juga dikatakan sebagai kecenderungan untuk bertindak, berfikir,


berpersepsi, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai. Sikap
bukanlah perilaku, tetapi lebih merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan
cara tertentu terhadap objek sikap.

2.2.2 Tingkatan Sikap

Sifat dapat diklasifikasikan dalam berbagai tingkatan, diantaranya adalah


sebagai berikut (Notoatmodjo S,2005) :

Menerima (receiving)
Menerima dapat diartikan bahwa orang (subjek) mau dan bersedia
mempertahankan stimulus yang diberikan (objek).
Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mempersiapkan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sebuah sikap. Karena dengan
suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar attau salah, adalah berarti orang
menerima ide tersebut
Menghargai (valuing)
Indikasi sikap ketiga adalah mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah.
Bertanggung jawab (responsible)

11
Sikap yang paling tinggi adalah bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
telah dipilihnya dengan segala resiko.

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap antara lain :

a. Pengalaman pribadi

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

c. Pengaruh kebudayaan

d. Media massa

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

f. Pengaruh faktor emosional

2.2.4 Cara Pengukuran Sikap

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.Secara


langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap
suatu objek. Sedangkan secara tidak langsung dapat dilakukan pernyataan-pertanyaan
hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo S,2003).

2.3. Debu

2.3.1 Pengertian

Debu adalah partikel-partikel zat padat yang disebabkan oleh


kekuatankekuatan alami atau mekanis, seperti pengolahan, penghancuran,
pelembutan pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan
organik maupun anorganik, misalnya batu, kayu, bijih logam, arang batu, butir-butir
zat padat dan sebagainya (Suma’mur PK, 2006).

12
Menurut Departemen Kesehatan RI (2003) debu ialah partikel-partikel kecil
yang dihasilkan oleh proses mekanis. Jadi pada dasarnya, pengertian debu adalah
partikel yang berukuran kecil sebagai hasil dari proses alami maupun mekanis.

Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang
melayang di udara (Suspended Particulate Matter / SPM) dengan ukuran 1 mikron
sampai dengan 500 mikron (Pudjiastuti W,2002).

2.3.2 Sifat debu

Menurut Pudjiastuti W (2002), dari sifatnya debu dikategorikan pada :

Sifat mengendap
Debu cenderung mengendap karena gaya gravitasi bumi. Namun karena
ukurannya yang relatif kecil berada di udara.Debu yang mengendap dapat
mengandung proporsi partikel yang lebih besar dari debu yang terdapat di
udara.
Permukaan cenderung selalu basah
Permukaan debu yang cenderung selalu basah disebabkan karena
permukaannya selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis.Sifat ini
menjadi penting sebagai upaya pengendalian debu di tempat kerja.
Sifat menggumpal
Debu bersifat menggumpal disebabkan permukaan debu yang selalu basah,
sehingga debu menempel satu sama lain dan membentuk gumpalan.
Listrik statis (elektrostatik)
Sifat ini menyebabkan debu dapat menarik partikel lain yang berlawanan.
Adanya partikel yang tertarik ke dalam debu akan mempercepat terjadinya
proses penggumpalan.
Opsis
Opsis adalah debu atau partikel basah atau lembab lainnya dapat memancakan
sinar yang dapat terlihat pada kamar gelap.

13
2.3.3 Klasifikasi Debu

Secara garis besar, ada tiga macam debu yaitu :

1. Debu organik seperti debu kapas, debu daun-daunan, tembakau dan sebagainya.

2. Debu mineral yang merupakan senyawa kompleks seperti silikon dioksida (SiO2),
silikon trioksida (SiO3), arang batu dan sebagainya.

3. Debu metal merupakan debu yang mengandung unsur logam seperti timah hitam,
mercuri, aseton dan lain-lain.

Dari segi karakter zatnya, debu terbagi atas :

1. Debu fisik (debu tanah, batu dan mineral )

2. Debu kimia (debu organic dan anorganik)

3. Debu biologis (virus, bakteri, jamur)

Ditempat kerja debu jenis-jenis ini dapat ditemukan seperti dalam kegiatan pertanian,
pengusaha keramik, batu kapur, batubara,dan lain-lain (Pudjiastuti W,2002).

2.3.4 Sumber dan distribusi debu

Secara alamiah partikulat debu dapat dihasilkan dari debu tanah kering yang
terbawa oleh angin atau berasal dari muntahan letusan gunung berapi. Sedangkan
sumber debu yang tidak sempurna akibat ulah manusia sebagian besar berasal dari
pembakaran hutan, pembakaran batubara, proses industri, dan gas buangan alat
transportasi. Debu yang terdapat di dalam udara terbagi dua, yaitu deposite
particulate matter adalah partikel debu yang hanya berada di udara, partikel ini
segera mengendap karena ada daya tarik bumi. Dan Suspended particulate matter
adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap (Yunus F,2006).

14
2.3.5 Ukuran Partikel Debu

Masing-masing partikel debu umumnya memiliki bentuk tersendiri yang


berbeda satu sama lain (tidak beraturan, bulat, serat). Konsep yang digunakan untuk
mengukur partikel debu dengan standart partikel aerodinamik. Diameter aerodinamik
adalah diameter satuan kepadatan suatu partikel bulat yang akan jatuh pada kecepatan
yang sama di udara.

Table 2.1 Korelasi ukuran dan perilaku partikel.

Diameter aerodinamik Perilaku partikel

(µm)

>100 Bila dilepaskan dengan kecepatan tinggi akan jatuh dengan cepat di sekitar
tempat partikel tersebut dilepaskan. Biasanya tidak terisap ke saluran pernapasan.

100-30 Karena partikelnya lebih kecil, maka akan terbawa oleh aliran udara di
sekitarnya. Dapat terisap ke saluran pernapasan, tetapi akan tertangkap oleh
mekanisme penyaringan di hidung. Tidak akan masuk ke dalam tubuh, kecuali
partikel tersebuut dapat larut oleh cairan di dalam hidung .

30-5 Karena partikelnya jauh lebih kecil, akan terbawa oleh aliran udara lebih jauh.
Mudah masuk ke dalam cabang-cabang bronkus, tetapi perlahan-lahan akan
dibersihkan oleh mekanisme pertahanan tubuh. Sebagian dapat terserap ke bagian
tubuh bila partikel tersebut tersimpan cukup lama.

<5 Partikelnya sangat kecil maka akan terbawa oleh aliran udara dan sangat
mudah terisap sampai masuk ke paru. Namun, partikel akan mengambang di udara
paru karena diameternya sangat kecil dan mudah dikeluarkan lagi. Selain itu, partikel
mudah pula diabsorpsi ke tubuh karena mengendap di daerah pertukaran gas.

Sumber : Harrianto R, 2010

15
Ukuran partikel suatu zat yang terisap mengakibatkan cara penetrasi dan area
penyimpanan yang berbeda-beda di dalam percabangan saluran pernapasan. Dengan
demikian, partikel zat kimia dibedakan menjadi tiga berdasarkan kemampuan
absorpsi partikelnya kedalam tubuh, yaitu :

Non-inspirable
Partikel-partikel yang dapat terisap oleh saluran pernapasan, tetapi tidak akan
diabsorpsi ke dalam tubuh karena akan terperangkap oleh mekanisme
penyaringan di hidung.
Inspirable
Partikel-partikel yang bila terisap oleh saluran pernapasan akan mudah masuk
ke dalam cabang-cabang bronkus dan dapat mengendap di semua bagian
saluran pernapasan, tetapi biasanya perlahan-lahan akan dibersihkan oleh
mekanisme pertahanan tubuh.
Respirable
Partikel-partikel yang bila terisap oleh saluran pernapasan akan mudah masuk
sampai ke alveolus sehingga dapat diabsorpsi oleh tubuh (Harrianto R ,2010)

2.3.6 Komposisi Kimia

a. Inert dust

Golongan debu ini tidak menyebabkan kerusakan atau reaksi fibrosis pada paru.
Efeknya sangat sedikit atau tidak ada sama sekali pada penghirupan normal.

b. Poliferatif dust

Golongan debu ini di dalam paru akan membentuk jaringan parut atau fibrosis.
Fibrosis ini akan membuat pengerasan pada jaringan alveoli sehingga mengganggu
fungsi paru. Debu dari golongan ini menyebabkan fibrocytic
pneumoconiosis.Contohnya: debu silika, asbestosis, kapas, berilium, dan sebagainya.

16
c. Tidak termasuk inert dust dan poliferatif dust
Kelompok debu ini merupakan kelompok debu yang tidak tahan di dalam
paru, namun dapat menimbulkan efek iritasi yaitu debu yang bersifat asam
atau asam kuat.

2.3.7 Dampak Pencemaran Udara Oleh Debu

Partikel debu selain memiliki dampak terhadap kesehatan juga dapat


menyebabkan gangguan sebagai berikut :

a. Gangguan fisik seperti terganggunya pemandangan dan pelunturan warna


bangunan dan pengotoran.

b. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan poripori


tumbuhan sehingga menggangu jalannya fotosintesis.

c. Merubah iklim global regional maupun internasional.

d. Mengganggu perhubungan / penerbangan yang akhirnya mengganggu kegiatan


sosial ekonomi di masyarakat.

e. Mengganggu kesehatan manusia seperti timbulnya iritasi pada mata, alergi,


gangguan pernapasan dan kanker pada paru-paru.

Efek debu terhadap kesehatan sangat tergantung pada sifat debu, komposisi kimia,
konsentrasi debu dan ukuran partikel debu (Pudjiastuti W,2002).

2.3.8 Pengendalian Dan Penanggulangan Debu

Pengendalian debu dapat berdasarkan empat simpul, yaitu :

Simpul I
yaitu pancegahan terhadap sumbernya, antara lain isolasi sumber agar tidak
mengeluarkan debu diruangan kerja dengan “local echauster” atau dengan
melengkapi water sprayer pada cerobong pembuang asap.

17
Simpul II
yaitu pencegahan dilakukan terhadap media transmisi udara dengan cara
memakai metode basah, yaitu penyiraman lantai dan melakukan pengeboran
basah.
Simpul III
yaitu pencegahan terhadap tenaga kerja yang terpapar dengan menggunakan
Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker.
Simpul IV
yaitu pencegahan terhadap penderita atau orang sakit akibat terpajan partikel
debu antara lain melalui pemeriksaan dan pengobatan serta rehabilitas
terhadap korban atau orang sakit.

2.4 Penyakit Paru Kerja Akibat Debu

Penyakit paru kerja adalah penyakit atau kelainan pada paru yang timbul
sehubungan dengan pekerjaan. Berbagai bahan berupa debu, serat dan gas yang
timbul pada proses industri. Tergantung pada jenis bahan tersebut maka penyakit
yang ditimbulkannya pun bermacam-macam (Rampai B,2009).

Penyakit paru kerja yang disebabkan oleh debu dikenal sejak manusia
mengenal penambangan mineral. Berbagai jenis debu mineral dapat menimbulkan
pneumokoniosis (Cowie R.L,2005)

Untuk menentukan adanya penyakit paru yang terjadi berhubungan dengan


pekerjaan, harus dilakukan evaluasi medis yang menyeluruh.Riwayat pekerjaan
sehubungan dengan pajanan bahan harus diketahui, serta ditentukan derajat lama
pajanan dan penggunaan alat pelindung. Masa antara pajanan yang didapat sampai
timbul kelainan mungkin berlangsung lama, sehingga menimbulkan kesulitan dalam
menentukan hubungan antara pekerjaan atau penyakit (Mangunnegoro H dan Yunus
F,2003).

18
Beberapa prinsip yang digunakan secara umum untuk menentukan penyakit
paru akibat pajanan bahan di tempat kerja atau lingkungan antara lain :

a. Sebagian besar penyakit paru disebabkan atau diperberat oleh pajanan dari
tempat kerja atau lingkungan. Jadi pemicu dari tempat kerja dan lingkungan, harus
secara terus-menerus diperhatikan dalam evaluasi dan penatalaksanaan penyakit paru.

b. Sebagian penyakit paru mungkin disebabkan oleh banyak faktor, dan faktor
pekerjaan bias berinteraksi dengan faktor lain. Sebagai contoh : faktor resiko kanker
paru pada pekerja yang terpajan asbes sekaligus merokok lebih besar daripada hanya
terpajan asbes atau merokok secara sendiri-sendiri.

c. Dosis pajanan penting, sebagai faktor pemicu proporsi populasi yang terkena
dan derajat keparahan penyakit. Pajanan dengan dosis yang lebih tinggi biasanya
menyebabkan lebih banyak individu yang terkena serta derajat yang lebih parah
(Rampai B,2009).

2.4.1 Pengertian

Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu “pneumo” berarti


paru dan “konis” berarti debu (Cowie RL,2005).

Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan berbagai keadaan berikut :

1. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis), asbes
(asbestosis), dan timah (stannosis).

2. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batubara.


Universitas

3. Kelainan yang timbul oleh debu organik seperti kapas (bisinosis) (Yunus F,2004).

International Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis sebagai


suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang menyebabkan
reaksi jaringan terhadap debu tersebut (Agus D.S,2011).

19
Umumnya diperlukan waktu pajanan 10 tahun agar dapat menimbulkan
pneumokoniosis.

2.4.2 Epidemiologi

, asbestosis, dan pneumokoniosis batu bara merupakan jenis pneumokoniosis


terbanyak. Data di Australia tahun 1979-2002 menyebutkan terdapat >1000 kasus
pneumokoniosis terdiri dari 56% asbestosis, 38% silikosis, dan 6% pneumokoniosis
barubara. Resiko penyakit ini meningkat seiring dengan lama pajanan terhadap
partikel silika. Sebanyak 12% pekerja dengan masa kerja lebih dari 30 tahun
menderita silikosis (Agus D.S,2011).

Data prevalensi pneumokoniosis nasional di Indonesia belum ada.Data yang


ada hanya data penelitian-penellitain berskala kecil pada berbagai industri yang
beresiko terjadi pneumokoniosis.

2.4.3 Sifat Debu dan Hubungannya dengan Penyakit Paru

Respon jaringan tubuh terhadap debu yang terinhalasi dipengaruhi oleh


beberapa faktor, antara lain : (Demedts M,2003)

a. Sifat fisik
Keadaan fisik yang berupa partikel uap atau gas, ukuran, dan densitasi
partikel, bentuk dan kemampuan penetrasi yeng mempengaruhi sifat migrasi
dan reaksi tubuh.Sifat kelarutan partikel juga berpengaruh, seperti asbestos
dan silika yang merupakan partikel tidak larut.
b. Sifat kimia
Sifat fibrogenitas merupakan sifat suatu bahan yang menimbulkan fibrosis
jaringan.Debu fibrogenik merupakan debu yang dapat menimbulkan reaksi
jaringan paru (fibrosis) seperti batubara, silika bebas dan asbes.Dan debu
nonfibrogenik adalah debu besi, kapur dan timah.

20
c. Faktor Penjamu
Faktor ini berperan penting pada respon jaringan terhadap agen/bahan
terinhalasi.Gangguan sistem pertahanan paru alami seperti kelainan genetik,
kecepatan bersihan dan fungsi makrofag. Gangguan sistem pertahanan paru
didapat contohnya karena obat-obatan, asap rokok, dan alkohol. Kondisi
anatomi dan fisiologi saluran napas dan paru mempengaruhi pola pernapasan
yang akhirnya mempengaruhi deposit agen/bahan terinhalasi. Keadaan
imunologi juga berperan, contohnya alergi.

2.4.4 Patogenesis Pneumokoniosis

Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah partikel


debu dan respon tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu
tersebut.Komposisi kimia, sifat fisik, dosis dan lama pajanan menentukan dapat atau
mudah tidaknya terjadi pneumokoniosis.Sitotoksisitas partikel debu terhadap
makrofag alveolar memegang peranan penting dalam patogenesis
pneumokoniosis.Debu berbentuk quartz lebih sitotoksik dibandingkan yang sulit
larut. Sifat kimiawi permukaan partikel debu yakni aktifitas radikal bebas dan
kandungan besi juga merupakan hal yang penting (Ngurah Rai,2003).

Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respon makrofag alveolar terhadap


debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan
proses selanjutnya tergantung pada sifat toksisitas partikel debu. Reaksi jaringan
terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi debu. Jika pajanan terhadap debu
anorganik cukup lama maka akan timbul reaksi inflamasi awal. Gambaran utama
inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas bawah.Alveolitis dapat
melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar karena dapat menimbulkan luka
dan fibrosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak diketahui. Sebagian debu
seperti debu batubara tampak relative inert dan menumpuk dalam jumlah relative
banyak di paru dengan reaksi jaringan yang minimal (Yunus F,2004).

21
Debu inert akan tetap berada di makrofag selanjutnya debu akan keluar dan
difagositosis lagi oleh makrofag lainnya, makrofag dengan debu di dalamnya dapat
bermigrasi ke jaringan limfoid atau ke bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran
napas (Ngurah Rai,2003).

Pada debu yang bersifat sitoktoksis, partikel debu yang difagositosis makrofag
akan menyebabkan kehancuran yang diikuti dengan fibrositosis. Partikel debu akan
merangsang makrofag alveolar untuk mengeluarkan produk yang merupakan
mediator suatu respon peradangan dan memulai proses proferasi fibroblast. Mediator
yang paling banyak berperan adalah Tumor Necrosis Factor (TNF)-α, Interleukin
(IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor dan transforming growth factor (TGF)-β
yang memacu faktor fibrogenik makrofag alveolar atau epitel alveolar sehingga
memacu pembentukan kolagen selanjutnya terjadi fibrosis. Hilangnya integritas epitel
akibat mediator inflamasi yang dilepaskan makrofag alveolar merupakan kejadian
awal proses fibrogenesis di interstitial paru. Bila partikel debu telah masuk dalam
interstitial maka nasibnya ditentukan oleh makrofag interstitial, difagositosis untuk
kemudian di transfer ke kelenjar getah bening mediastinum atau terjadi sekresi
mediator inflamasi kronik. Sitokin yang dilepaskan di interstitial seperti PDGF, TGF,
TNF, IL-1 menyebabkan proliferasi fibroblast dan terjadilah pneumokoniosis
(Ngurah Rai,2003).

Debu silika dan asbes mempunyai efek biologis yang sangat kuat. Reaksi
parenkim dapat berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari silikosis, fibrosis
difus pada asbestosis dan pembentukan makula dengan emfisema fokal akibat
partikel debu (Yunus F,2004).

22
2.4.5 Jenis Pneumokoniosis

Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu penyebabnya.

Tabel 2.2 Beberapa Jenis Pneumokoniosis Berdasarkan Debu Penyebabnya

Jenis debu Pneumokoniosis

Asbes Asbestosis

Silika Silikosis

Batubara Pneumokoniosis batubara

Besi Siderosis

Berilium Beriliosis

Talk Talkosis (talk pneumokoniosis)

Grafit Pneumokoniosis grafit

Debu karbon Pneumokoniosis karbon

Sumber :Agus DS,2011

2.4.6 Ukuran Debu yang Berpengaruh

Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya pneumokoniosis. Dari


hasil penelitian, ukuran tersebut dapat mencapai target organ sebagai berikut:

a. 5-10 µm : akan tertahan oleh saluran napas atas dan menimbulkan banyak penyakit
berupa iritasi sehingga menimbulkan penyakitpharyngitis.

b. 3-5 µm : akan tertahan oleh saluran pernapasan broncus / bronchioles yang dapat
menimbulkan bronchitis, allergis atau asma.

23
c. 1-3 µm : akan mencapai dipermukaan alveoli.

d. 0,5-0,1 µm : akan tertinggal dipermukaan alveoli/selaput lendir

e. sehingga menyebabkan fibrosis paru.

f. 0,1-0,5 µm : melayang dipermukaan alveoli.

Menurut WHO 2006 ukuran partikel debu yang membahayakan adalah ukuran 0,1-5
atau sampai 10 mikron (Pudjiastuti W,2002).

2.4.7 Diagnosis penyakit paru akibat kerja

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang.

A. Anamnesis

1. Riwayat pekerjaan

a. Pencatatan pekerjaan dan kegemaran yang terus-menerus atau part time secara
kronologis.

b. Identifikasi bahan berbahaya di tempat kerja : bahan yang digunakan pekerja.

c. Hubungan antara pajanan dan gejalan yang timbul : waktu antara mulai bekerja dan
gejala pertama, perkembangan gejala, hubungan antara gejala dengan tugas tertentu,
perubahan gejala pada waktu libur / jauh dari tempat kerja.

2. Keluhan penyakit

a.Batuk (sifat batuk keras / tidak keras), waktu batuk


(pagi/siang/malam/terusmenerus).

b. Dahak (pagi/siang/malam/terus-menerus).

c. Napas pendek (waktu jalan cepat, waktu berjalan panjang).

24
d. Nyeri dada.

3. Riwayat penyakit

Ditanyakan tentang ada tidaknya penyakit/keluhan yang pernah diderita :

a. Batuk

1. Selama 3 (tiga) bulan, terjadi tiap tahun

2. Sifat batuk (keras / tidak keras)

3. Waktu batuk (pagi/siang/malam/terus-menerus)

4. Peningkatan batuk selama 3 minggu atau lebih, selama 1 tahun terakhir

b. Dahak

1. Dahak selama 3 bulan, terjadi tiap tahun

2. Waktu terjadinya dahak (pagi/siang/malam.terus-menerus)

3. Peningkatan dahak selama 3 minggu atau lebih, selama 3 tahun terahir

c. Napas pendek

Selama 12 bulan terakhir pernah mengalami/tidak terbangun tidur malam

d. Mengi (wheezing)

1. Sejak 3 bulan terakhir pernah mengalami/tidak

2. Waktu mengi disertai napas pendek atau napas normal

e. Nyeri dada

Sejak 3 tahun terakhir pernah mengalami/tidak, lamanya 1 minggu

f. Penyakit-penyakit lain yang pernah diderita

25
1. Kecelakaan/operasi didaerah dada

2. Gangguan jantung

3. Bronchitis

4. Pneumonia

5. Pleuritis

6. TB paru

7. Asma

8. Gangguan dada lainnya

4. Riwayat kebiasaan

Ditanyakan riwayat kebiasaan merokok, meliputi : jumlah rokok yang dihisap, lama
merokok, cara mengisap rokok (dangkal/dalam), umur memulai merokok, jenis rokok
(buatan sendiri/pabrik, menggunakan filter/tidak) dan kontinuiti merokok.

B. Pemeriksaan fisik

Pada kebanyakan kasus pennyakit paru akibat kerja, hasil pemeriksaan fisik
relatif tidak membantu.Pada observasi umum, penyakit paru obstruksi dapat
ditemukan sesak napas, saat istirahat maupun setelah melaksanakan aktivitas
sedangkan pada kasus pneomokoniosis ditemukan jari-jari tabuh, demam tinggi,
takipnoe atau kadang sianosis, dan biasanya ditemukan krepitasi.

C. Pemeriksaan penunjang

1. Foto toraks

Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar menurut ILO untuk


interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus yang terjadi.Klasifikasi ini

26
digunakan untuk keperluan epidemiologi penyakit paru akibat kerja.Perselubungan
pada pneumokoniosis dibagi atas dua golongan, yaitu perselubungan halus dan kasar.

Table 2.3 Klasifikasi ILO (2000) Gambaran Radiologi Pneumokoniosis

Gambaran radiologi Deskripsi

Perselubungan halus

bercak kecil bulat


P Diameter sampai 1,5 mm
Q Diameter 1,5 – 3 mm
R Diameter 3 – 10 mm
bercak kecil ireguler
S Diameter sampai 1,5 mm
T Diameter sampai 1,5 – 3 mm
U Diameter 3 – 10 mm

Kerapatan Berdasarkan konsentrasi perselubungan pada zona yang


terkena
0/- 0/0 0/1 Kategori 0 – tidak terlihat perselubungan pada zona yang
terkena.
1/0 1/1 ½ Kategori 1 – terlihat perselubungan lingkar kecil dengan
jumlah relatif sedikit.
2/1 2/2 2/3 Kategori 2 – terlihat beberapa perselubungan ireguler kecil.
Corakan paru tidak jelas.
3/2 3/3 ¾ Kategori 3 – banyak terlihat perselubungan lingkar kecil.
Corakan paru sebagian atau keseluruhan tidak jelas.

Perselubungan kasar

A Satu perselubungan dengan diameter 1-5 cm atau beberapa perselubungan


dengan diameter >1cm, tetapi bila dijumlahkan perselubungan tidak melebihi 5cm.

27
B Satu atau beberapa perselubungan yang lebih besar atau lebih banyak
dibanding kategori A dengan jumlah luas perselubungan tidak melebihi luas lapangan
paru kanan atas.

C Satu atau beberapa perselubungan yang jumlah luasnya melebihi luas


lapangan paru kanan atas atau sepertiga lapangan kanan.

2. Tes Fungsi Paru

Tes fungsi paru merupakan tes kuatitatif dari faal paru, digunakan untuk
menentukan kapasitas fungsi paru dan kemampuannya untuk melakukan
pekerjaan.Dengan demikian dapat digunakan pula untuk membantu menentukan ciri-
ciri dan beratnya penyakit paru kerja.

a. Spirometri dapat dihasilkan pengukuran volume ekspirasi dan inspirasi individu.


Membandingkan hasilnya dengan nilai normal, hal ini berguna untuk menilai
kegagalan fungsi paru (ILO,2000).

b. Tes pernapasan tunggal dengan menggunakan mini-Wright peak-flow meter


portable dapat digunakan untuk tes pernapasan tunggal, yang merefleksikan beratnya
obstruksi saluran pernapasan, dengan mengukur kecepatan hembusan ekspirasi paksa
(peak expiratory flow rate,PEFR). Pengukuran serial PEFR mencatat hembusan
ekspirasi paksa sebelum,selama dan setelah jam kerja, serta selama liburan, paling
tidak selama 1 minggu (Harrianto R,2010).

3. Analisis debu penyebab

Pada kondisi tertentu, diperlukan diagnosis pasti pajanan bahan di lingkungan kerja
dengan analisis bahan biologi (sputum, bronchoalveolar lavage/BAL).pemeriksaan
BAL membantu menegakkan diagnosis, pemeriksaan ini dapat terlihat debu di dalam
makrofag dan jenis debu kemungkinana dapat diidentifikasi menggunakan mikroskop
elektron. Pada kasus asbestosis dapat ditemukan serat asbes dan asbestos body (AB).

28
AB adalah bahan yang berbentuk secara intraselular dan berasal dari satu atau lebih
makrofag alveolar yang bereaksi dengan serat asbes (Harrianto R,2010).

Pada silikosis, makrofag yang ditemukan dalam BAL berisi partikel granit yang
semakin lama riwayat pajanan terdapat debu granit maka akan semakin banyak
ditemukan makrofag tersebut.

2.4.8 Tatalaksana

Pneumokoniosis tidak akan mengalami regresi, mengilang ataupun berkurang


progresivitas hanya dengan menjauhi pajanan. Tatalaksana medis umumnya terbatas
hanya pengobatan bersifat simptomatik. Pemberian oksigen dan bronkodilator bila
terdapat keadaan hipoksemia dan obstruksi (Cowie RL,2005).

Pencegahan penyakit akibat kerja dapat berupa :

1. Bahan penyebab penyakit dapat diidentifikasi, diukur dan dikontrol.

2. Populasi yang beresiko mudah diawasi secara teratur dan diobati.

3. penggunaan APD (Alat Pelindung Diri).

APD yang baik adalah yang memenihi standart keamanan dan kenyamanan bagi
pekerjanya (Safety and Acceptation).APD yang tepat bagi tenaga kerja yang berada
pada lingkungan kerja dengan paparan debu konsentrasi tinggi adalah :

a. Masker untuk melindungi debu atau partikel-partikel yang masuk ke pernapasan


dapat terbuat dari kain yang memiliki ukuran pori-pori tertentu.

b. Respiratori pemurni udara dapat membersihkan udara dengan cara menyaring atau
menyerap toksinitas rendah sebelum memasuki sistem pernapasan (Habsari
ND,2003).

Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting. Dapat dilakukan


dengan mengurangi kadar debu, lama pajanan, dan melakukan deteksi dini dengan
cara pemeriksaan berkala.

29
BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 KERANGKA KONSEP

Tingkat Pengetahuan
Penyakit Paru Kerja Akibat Debu

Sikap

3.2 DEFINISI OPERASIONAL

1. Tingkat pengetahuan merupakan hasil dari “tahu”dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengideraan terjadi melalui
panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba.

2. Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu
stimulus atau objek.

3. Penyakit paru kerja akibat debu adalah penyakit atau kelainan pada paru yang
timbul sehubungan dengan pekerjaan yang disebabkan oleh debu.

3.3 JENIS PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian total sampling yaitu sampel


yang diambil dari keseluruhan tenaga kerja pabrik keramik di PT Prima Indah
Sanitoun Kota Binjai

3.4 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di PT Prima Indah Sanitoun Kota Binjai selama bulan


September dan Oktober 2013.

30
3.5 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tenaga kerja di PT Prima Indah
Sanitoun Kota Binjai yaitu sejumlah 57 orang. Sampel adalah bagian dari populasi
yang mewakilkan populasi yang akan diambil (Notoadmojo S,2005).

Sampel dalam penelitian ini adalah semua tenaga kerja PT Prima Indah
Sanitoun Kota Binjai, yaitu sejumlah 57 orang.

3.6 METODE PENGUMPULAN DATA

Metode Pengumpulan data ialah cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti
untuk mengumpulkan data. Metode (cara atau teknik) menunjukkan suatu kata yang
abstrak dan tidak di wujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihat menggunakan
angket, wawancara, ujian (tes), dokumentasi dan lainnya.

Alat ukur yang digunakan dalam penetian ini adalah kuesioner.Kuesioner


adalah daftar pertanyaan yang diberikan langsung kepada responden sesuai dengan
permintaan pengguna.

3.6.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber


data.Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner oleh responden yang
dilakukan secara langsung oleh peneliti terhadap sampel penelitian.

3.6.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh langsung dari bagian administrasi
PT Prima Indah Sanitoun.

3.6.3 Uji Validitas dan Reabilitas

Pada penelitian ini digunakan kuesioner yang berisi pertanyaan yang


berhubungan dengan tingkat pengetahuan dan sikap tenaga kerja PT Prima Indah
Sanitoun terhadap penyakit paru kerja akibat debu. Kuesioner ini akan diuji validitas

31
dan reabilitasnya dengan menggunakan program Statistical Product and Service
Solutions (SPSS).

Sampel yang digunakan dalam uji validitas ini memiliki karakter yang hampir
sama dengan sampel dalam penelitian. Uji validitas dan reabilitas kuesioner
dilakukan dengan jumlah sampel sebanyak 20 subjek.

Setelah kuesioner valid, peneliti akan membagikan kuesioner pada subjek


penelitian dan menyetujui informed consent

32
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y., 1999. Dampak asap kebakaran hutan terhadap kesehatan

paru.Jakarta: YP IDI & IDKI; p.3-33.

Agus, D.S., 2011. Pneumokoniosis.Jakarta : Persahabatan Hospital. No.12.

Azhar,B.,2009. Hubungan Tingkat Pengetahuan Karyawan Pabrik Triplek

Tentang Bahaya Penyakit Paru Akibat Kerja dengan Pemakaian

AlatPelindung Diri,UNRI, Riau.

Buchari., 2007. Penyakit Akibat Kerja dan Penyakit Terkait Kerja.USU..

Cowie RL, Murray JF, Becklake MR., 2005.Pneumoconiosis. In: Mason RJ,

Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA, editors. Textbook of Respiratory

Medicine. 4thEd.Philidelphia: Elsevier Saunders. P. 1748-82.

Demedts M, Nemey B, Elnes P., 2003. Pneumoconioses. In: Gibson GJ, Gedder

DM, Costales U, Sterk PJ, Celcin B, editors. Respiratory Medicine. 3rd

ed. London: Elsevier Science. P.675-92.

Harrianto, R., 2010. Buku Ajar Kesehatan Kerja.Jakarta; Penerbit Buku

Kedokteran ECG.

ILO., 2000. Occupational Safety and Health Concention. Geneve: ILO(No.155).

ILO.,2006 Promotional Framework for Occupational Safety and Health

Recommendation. Geneva: ILO (No.197).

33
Iqbal, Chayatin, Rozikin & Supradi.,2007. Promosi Kesehatan : SebuahPengantar

Promosi Belajar Mengajar dalam Pendidikan. Jakarta :Graha Ilmu.

Kurniawidjaja, L.M., 2010. Program Perlindungan Kesehatan Respirasi di Tempat

Kerja dan Managemen Resiko Penyakit Paru Akibat Kerja. Jakarta

Kurniawidjaja, L.M., 2012. Filosofi dan konsep dasar kesehatan kerja serta

perkembangannya dalam praktik. Jakarta: Webmaster IDKI.

Mahfoedz, I. Et all., 2005. Teknik Membuat Alat Ukur untuk Penelitian Bidang

Kesehatan. Jakarta: Fitramaya.

Mangunnegoro H., 2003. Diagnosis dan Penilaian Cacat Pada Penyakit Paru

Kerja. Dalam : Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena

Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja. Edisi Kedua.Jakarta; Dewan

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (BK3N); 11126.

Ngurah Rai IB., 2003. Pneumokoniosis. Patogenesis dan Ganguuan Fungsi In:

Abdullah A,Patau J, Susilo HJ, Saleh K, Tabri NA, Mappangara, et al.

Naskah lengkap pertemuan ilmiah khusus (PIK) X Perhimpunan Dokter

Paru Indonesia. Makassar:Sub-bagian paru Bagian Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. p. 183-216.

Notoatmodjo, S., 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka

Cipta.

Notoatmodjo, S., 2005. Metodelogi Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta

34
Pudjiastuti, W., 2002.Debu Sebagai Bahan Pencemaran yang Membahayakan

Kesehatan Kerja.

Rampai, B., 2009. Penyakit Paru Kerja dan Lingkungan.Jakarta; Balai Penerbit

FKUI.

Suma’mur, PK., 2006. Penyakit Akibat Kerja dan Cacat yang

Diakibatkannya.Proceeding Seminar Penyegaran dan Penambahan Ilmu

Kedokteran /Kesehatan Kerja;2006 18 Maret; Jakarta.

Suma’mur, PK., 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. C. V. Sagung

Seto. Jakarta.

35

Anda mungkin juga menyukai