Referat Defisiensi G6PD
Referat Defisiensi G6PD
PENDAHULUAN
1
Manifestasi klinis yang paling sering pada defisiensi G6PD adalah penyakit
kuning neonatal, dan anemia hemolitik akut, yang biasanya dipicu oleh agen eksogen.
Beberapa varian G6PD menyebabkan hemolisis kronis,anemia hemolitik bawaan
non-spherocytic. Manajemen yang paling efektif pada defisiensi G6PD adalah
mencegah hemolisis dengan menghindari stres oksidatif.3,4,6
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Defisiensi G6PD adalah suatu kelainan enzim yang terkait kromosom sex (x-
linked), yang diwariskan, dimana aktifitas atau stabilitas enzim G6PD menurun,
sehingga menyebabkan pemecahan sel darah merah pada saat seorang individu
terpapar oleh bahan eksogen yang potensial menyebabkan kerusakan oksidatif.7
2.2 EPIDEMIOLOGI
Defisiensi G6PD merupakan penyakit defisiensi enzim tersering pada
manusia, sekitar 2-3% dari seluruh populasi di dunia diperkirakan sekitar ± 400 juta
manusia di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi didapatkan daerah tropis, ditemukan
dengan frekuensi yang bervariasi pada berbagai ras Timur tengah, India, Cina,
Melayu, Thailand, Filipina dan Melanesia.5,6
Defisiensi G6PD menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia
hemolitik akut di kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia insidennya diperkirakan 1-
14%, prevalensi defisiensi G6PD di Jawa Tengah sebesar 15% 19, di pulau-pulau
kecil yang terisolir di Indonesia bagian Timur (pulau Babar, Tanimbar, Kur dan
Romang di Propinsi Maluku), disebutkan bahwa insiden defisiensi G6PD adalah 1,6 -
6,7%.5,6
3
2.3 BIOKIMIA MOLEKULER DAN METABOLISME FISIOLOGIS ENZIM
G6PD
Enzim G6PD merupakan polipeptida yang terdiri atas 515 asam amino dengan
berat molekul 59,265 kilodalton. Enzim G6PD merupakan enzim pertama jalur
pentosa phoshat, yang mengubah glukosa-6-phosphat menjadi 6-fosfogluconat pada
proses glikosis. Perubahan ini menghasilkan Nicotinamide Adenine Dinucleotide
Phosphate (NADPH), yang akan mereduksi glutation teroksidasi (GSSG) menjadi
glutation tereduksi (GSH). GSH berfungsi sebagai pemecah peroksida dan oksidan
radikal H2O2.5
Dalam keadaan normal peroksida dan radikal bebas dibuang oleh katalase dan
gluthatione peroxidase, selanjutnya meningkatkan produksi GSSG. GSH dibentuk
dari GSSG dengan bantuan enzim gluthatione reductase yang keberadaannya
tergantung pada NADPH. Pada defisiensi G6PD, pembentukkan NADPH berkurang
sehingga berpengaruh pada regenerasi GSH dari GSSG, akibatnya mempengaruhi
kemampuan untuk menghilangkan peroksida dan radikal bebas.5
4
Gen G6PD terdiri 13 ekson dan 12 intron yang tersebar pada daerah seluas lebih
100 kb pada ujung terminal lengan panjang kromosom X. Defisiensi G6PD terjadi
akibat mutasi gen G6PD, suatu penyakit sex-linked. Laki-laki hanya mempunyai 1
kromosom X, sehingga jika terjadi mutasi maka defisiensi G6PD akan muncul atau
bermanifes. Wanita mempunyai 2 kromosom X, sehingga jika terdapat 1 gen yang
abnormal karena mutasi, pasangan atau allele-nya dapat “menutupi” kekurangannya
tersebut, sehingga defisiensi G6PD bisa bermanifes namun dapat pula tidak.
Defisiensi G6PD meliputi berbagai mutasi gen G6PD yang berbeda-beda dan tidak
bereaksi sama, hal ini menjelaskan mengapa individu defisiensi G6PD menunjukkan
reaksi berbeda dengan faktor pencetus yang sama. Gen G6PD yang berlokasi pada
kromosom Xq28 dengan panjang 18 Kb, terdiri atas 13 exon merupakan DNA dan 12
intron merupakan sekuen pengganggu, merupakan sampah DNA yang tidak berperan
dalam fungsi enzim. Fungsi enzim ditentukan oleh sekuens dan ukuran gen G6PD
dan mRNA yang menjadi ciri gen. Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction)
dapat membantu mengidentifikasi adanya mutasi. Saat ini telah diketahui lebih 40
mutasi yang tersebar sepanjang pada seluruh pengkode gen, masing-masing berbeda-
beda dan mempunyai ciri khas tersendiri. Telah dilaporkan lebih 400 varian G6PD,
dengan disertai penampilan klinis dan atau fenotif yang beragam. Varian tersebut
dibedakan berdasar aktifitas enzim residual, mobilisasi elektroforetik, afinitas dan
analog subtrat, stabilisasi terhadap panas dan pH optimum.5,8
5
dengan faktor pencetus akan menyebabkan terjadinya eksaserbasi anemia
hemolitik akut.8
Kelas III : defisiensi sedang (aktifitas residual G6PD, 10-60). Kelompok defisensi
enzim G6PD ringan (varian G6PD A). Pada kelompok ini, hemolisis yang
timbul akibat pemaparan dengan faktor pencetus akan berhenti dengan
sendirinya walaupun pemaparan masih terus berlanjut. Hal ini disebabkan
aktivitas enzim G6PD pada sel darah merah yang muda masih cukup
tinggi untuk menahan oksidan, dan hanya sel darah merah yang tua saja
yang mengalami hemolisis.8
Kelas IV : non defisiensi (aktifitas residual G6PD, 100). Kelompok yang tidak
mengalami gejala-gejala defisiensi G6PD.8
Sel darah merah membutuhkan suplai energi secara terus menerus untuk
mempertahankan bentuk, volume, kelenturan (fleksibilitas), dan regulasi pompa
natrium-kaliumnya. Energi ini diperoleh dari glukosa melalui dua jalur metabolisme
yaitu, 80% dari proses glikolisis anaerobik (jalur Emden-Meyerhof) dan 20% proses
glikolisis aerobik (jalur Pentosa Fosfat).8
6
Peran enzim G6PD dalam mempertahankan keutuhan sel darah merah serta
menghindarkan kejadian hemolitik, terletak pada fungsinya dalam jalur pentosa
fosfat. Di dalam sel darah merah terdapat suatu senyawa glutation tereduksi (GSH)
yang mampu menjaga keutuhan gugus sulfidril (SH) pada hemoglobin dan sel darah
merah. Fungsi GSH adalah mempertahankan residu sistein pada hemoglobin dan
protein-protein lain pada membran eritrosit agar tetap dalam bentuk tereduksi dan
aktif, mempertahankan hemoglobin dalam bentuk fero, mempertahankan struktur
normal sel darah merah, serta berperan dalam proses detoksifikasi, dimana GSH
merupakan substrat kedua bagi enzim gluthation peroksidase dalam menetralkan
hidrogen peroksida yang merupakan suatu oksidan yang berpotensi untuk
menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel darah merah.8
Senyawa GSH pada awalnya dalah suatu glutation bentuk disulfida (glutation
teroksidasi, GSSG) yang direduksi menjadi glutation bentuk sulfhidril (glutation
tereduksi, GSH). Reduksi GSSG menjadi GSH dilakukan oleh NADPH, pada jalur
pentosa fosfat, dimana pada jalur metabolisme ini NADPH dibentuk bila glucose-6-
phosphate dioksidasi menjadi 6-fosfogluconat dengan bantuan enzim G6PD.Dari
uraian di atas dapat diketahui bahwa fungsi enzim G6PD adalah menyediakan
NADPH yang diperlukan untuk membentuk kembali GSH.8,9
7
Gambar 2. Peranan enzim G6PD terhadap eritrosit1,2
8
2.5 SKRINING DEFISIENSI G6PD PADA NEONATUS
Di berbagai negara, skrining defisiensi G6PD pada neonatus rutin dilakukan. Hal
ini penting karena kernikterus yang merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas
pada neonatus defisiensi G6PD dapat dicegah dengan menghindari faktor-faktor
penyebab hemolisis. Laporan dari Singapura menunjukkan setelah program skrining
defisiensi G6PD neonatus sejak tahun 1965 menggunakan sampel darah tali pusat,
insidens kernikterus turun drastis dalam 20 tahun terakhir. Dilaporkan hanya 1 kasus
kernikterus pada neonatus defisiensi G6PD di Singapura. Neonatus defisiensi G6PD
dilindungi secara fisik di rumah sakit selama 2 minggu pertama dan orang tuanya
diberikan konseling mengenai obat-obatan yang dapat memicu krisis hemolisis.10
2.6 DIAGNOSIS
a. Pemeriksaan Fisik
9
tidak sepenuhnya diketahui. penyebab hemolisis akut pada defisiensi G6PD
ditandai dengan kelelahan, sakit punggung, anemia, dan jaundice. Peningkatan
bilirubin tak terkonjugasi, laktat dehidrogenase, dan retikulositosis adalah marker
kelainan tersebut.8
10
Gambar 3. Obat – obat yang dapat memicu hemolysis yang menyebabkan defisiensi G6PD 2,3
Hemolisis dan ikterus klinis biasanya muncul 24-72 jam setelah konsumsi obat.
Urin berwarna gelap akibat hemoglobinuria merupakan tanda khas. Anemia
memburuk hingga 7-8 hari, kadar hemoglobin akan kembali meningkat setelah 8-
10 hari obat dihentikan. Heinz bodies di darah tepi yang merupakan presipitat
hemoglobin terdenaturasi merupakan tanda khas pada pemeriksaan apusan darah.8
11
obstruksi tubular karena hemoglobin cast. Beberapa pasien mungkin memerlukan
hemodialisis.8
c) Favisme
Konsumsi fava beans/kacang fava dapat menyebabkan hemolisis dan kondisi ini
disebut favisme. Favisme ditemukan di negara-negara Mediterania, Timur Tengah
dan Afrika Utara, tidak ditemukan di Indonesia. Tidak semua penderita defisiensi
G6PD yang memakan kacang fava menderita favisme, dapat terjadi respons
berbeda-beda dari individu yang sama tergantung kesehatan pasien dan jumlah
kacang fava yang dikonsumsi. Divicine, isouramil dan convicine diperkirakan
sebagai bahan toksik dari kacang fava yang meningkatkan aktivitas hexose
monophosphate shunt, sehingga menyebabkan hemolisis pada penderita defisiensi
G6PD. Favisme menyebabkan anemia hemolitik akut, biasanya 24 jam setelah
kacang fava dikonsumsi. Hemoglobinuria yang muncul lebih berat dibanding
yang disebabkan oleh induksi obat maupun infeksi meskipun kadar bilirubinnya
lebih rendah. Hemolitik akibat favisme dapat terjadi intravaskular maupun
ekstravaskular dan dapat menyebabkan gagal ginjal akut.8
d) Ikterus Neonatorum
Sepertiga neonatus laki-laki ikterus neonatorum menderita defisiensi G6PD,
insidens pada neonatus perempuan lebih jarang. Ikterus biasanya muncul pada
umur 1-4 hari, mirip ikterus fisiologis. Kernikterus jarang terjadi, dapat
menyebabkan kerusakan saraf yang bersifat permanen jika tidak segera ditangani.
Ikterus neonatorum lebih berat pada bayi defisiensi G6PD prematur. Jika skrining
defi siensi G6PD tidak rutin dilakukan, pemeriksaan lebih seksama perlu
dilakukan pada neonatus yang menderita hiperbilirubinemia >150 mmol/L dalam
24 jam pertama atau memiliki saudara dengan riwayat ikterus neonatorum.8
12
e) Anemia Hemolitik Non-sferosis Kongenital
Pada beberapa pasien, varian defisiensi G6PD dapat menyebabkan hemolisis
kronik yang disebut anemia hemolitik non-sferosis kongenital. Kondisi ini dapat
muncul sporadis. Diagnosis didasarkan pada temuan klinis bahwa kelainan ini
ditemukan sejak bayi atau kanak-kanak. Kebanyakan pasien memiliki riwayat
ikterus neonatorum yang berat, anemia kronik yang dieksaserbasi oleh stres
oksidatif yang biasanya memerlukan transfusi darah, adanya retikulositosis, batu
empedu dan splenomegali. Kadar bilirubin dan LDH meningkat dan hemolisisnya
terjadi terutama ekstravaskular.8
b. Pemeriksaan Penunjang
Tes fenotip aktivitas enzimatik G6PD pada darah vena segar merupakan metode
diagnostik yang paling umum. Tes fenotip dapat dibagi menjadi 4 kategori:9
1. Tes direk yang langsung menilai aktivitas enzimatik G6PD. Standar perhitungan
adalah berdasarkan spektrofotometer. Tes spot fluorescent Beutler’s merupakan
tes skrining populer yang menginkubasi hemolisat dengan substrat reaksi G6PD,
ditempatkan di kertas filter dan disinari ultra violet (450 nm). Fluoresensi
menunjukkan aktivitas G6PD. Tes ini paling mudah meskipun masih jauh dari
ideal.9
2. Tes indirek yang mencakup tes reduksi methemoglobin. Sel eritrosit direaksikan
dengan nitrit dan substrat glukosa kemudian tingkat NADPH-dependent
methaemoglobin reduction dinilai dengan katalis redoks. Derajat NADPH-
13
dependent methaemoglobin reduction berkorelasi dengan aktivitas G6PD.
Metode indirek lain menggunakan kromofor seperti brillian cresil blue,
resazurin, formazan untuk memantau produksi NADPH.9
3. Tes sitokimia yang menilai status G6PD eritrosit, dapat digunakan untuk deteksi
laki-laki defisiensi homozigot, perempuan defisiensi homozigot dan heterozigot.
Tes sitokimia mencakup methaemoglobin elution test dengan melabel eritrosit
berdasarkan jumlah relatif methemoglobinnya sesuai metode indirek dengan
tes reduksi methe-moglobin. Metode terbaru sitofluorometrik mendeteksi
autofluoresens terinduksi glutaral-dehid dengan formazan yang menggunakan
teknik flowsitometri.
4. Tes cepat dengan point of care tests (POCT).9
2.7 PENATALAKSANAAN
14
yang tidak memerlukan transfusi darah kecuali jika ada eksaserbasi akibat stres
oksidatif yang dapat memperburuk anemianya. Pasien anemia hemolitik non-sferosis
kongenital biasanya mengalami splenomegali tetapi tindakan splenektomi jarang
memberi keuntungan.11
2.8 KOMPLIKASI
Kebanyakan pengidap defisiensi G6PD biasa jarang menimbulkan komplikasi.
Namun pada penderita yang mengalami defisiensi G6PD akibat induksi obat
mengakibatkan hemolisis dari sel darah merah sehingga penderita akan mengalami
anemia, dimana yang paling sering adalah anemia hemolitik.12
2.10 PROGNOSIS
Defisiensi G6PD sebagian besar tidak memberikan gejala yang khas sehingga
seseorang yang mengidap defisiensi G6PD dapat hidup normal. Namun apabila
terjadi anemia hemolitik akibat defisiensi G6PD dapat ditangani dan sesuai dengan
15
faktor stress yang mengakibatkan terjadinya hemolisis sel darah merah yang
menyebabkan defisiensi G6PD.8,10,12
16
DAFTAR PUSTAKA
Available in : http://www.cchi.can.hk/specialtopic/case1/case1.htm.
8. Kurniawan, L.B. 2104. Skrining, Diagnosis dan Aspek Klinis Defisiensi Glukosa-
6-Fosfat Dehidrogenase (G6PD). Continuining medical education. Departemen
Ilmu Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar.
Diakses pada tanggal 22 april 2017
9. Daud D. 2012. Peranan Enzym Glukosa 6 Fosfat Dehidrogenase Pada Sel Darah
Merah. Simposium Nasional Nefrologi Anak IX dan Hematologi Onkologi Anak
; Tatalaksana Mutakhir Penyakit Ginjal dan Hematologi Onkologi Anak. IDAI.
Surabaya
17
10. Soemantri A.G.2011. Biomolecular of Red Cell Glucose-6-Phosphate
Dehydrogenase Deficiency of Asia Population. Asian Symposium In Neonatology
G6PD Deficiency and Related Condition. Yogyakarta
11. Kirkman HN, Gaetani GF. 2012. Regulation of Glucose-6-Phosphate
Dehydrogenase in Human Erythrocytes. The Journal of Biological Chemistry.
Surabaya
12. Jarullah J, AlJaouni S, Sharma MC, Bushra MSJ, Kamal MA. Detection of
glucose-6-phosphate dehydrogenase in heterozygous Saudi female neonates. Enz
Eng. 2012;1(2)
18