MERANGKUM BUKU
DI SUSUN OLEH :
KHAZANA TULISTRA (16137057)
DOSEN PENGAMPU :
Dr. Yaswinda, S.Pd., M.Pd
Seperti yang umum ditemui di negara-negara berkembang, tenaga kerja di India masih
didominasi oleh tenaga kerja sektor informal. Pada awal tahun 1970 -an, sekitar 93% dari
tenaga kerja India bekerja di sektor informal. Jika hanya tenaga kerja wanita yang dilihat,
maka yang bekerja di sektor informal sekitar 94%. Tenaga kerja yang mayoritas merupakan
wirausaha mikro yang bersifat mempekerjakan diri sendiri (self-employed) atau buruh lepas
ini jelas tidak dilindungi secara hukum. Mereka umumnya tidak memiliki kartu identitas,
apalagi jaminan sosial. Mereka justru kerap dibayar dengan tarif di bawah upah minimum
dan diperlakukan semena-mena melalui pemutusan hubungan kerja secara mendadak dan
tanpa pesangon. Kehidupan mereka dapat dibilang memprihatinkan. Selain memiliki tingkat
pendapatan yang rendah, siklusnya pun tidak stabil. Mereka tidak setiap hari memiliki
pendapatan. Akibatnya, tidak jarang mereka harus hidup di jalan karena tidak mampu
menyewa tempat tinggal.
Segera setelah mendengar permasalahan tersebut, Ela Bhatt berkunjung dan bertemu
dengan komunitas wanita tukang panggul. Hasilnya langsung ia tuangkan ke dalam sebuah
artikel yang dimuat koran lokal. Dalam artikel itu kehidupan kerja komunitas perempuan
tukang panggul dipaparkan dengan lugas, baik menyangkut upah yang sangat rendah dan
tidak menentu, maupun perlakuan tidak adil lainnya. Keseluruhan peristiwa tersebut menjadi
buah bibir masyarakat pada umumnya dan komunitas pekerja tekstil pada khususnya.
Women’s Wing-TLA semakin banyak didatangi para wanita yang bekerja di sektor tekstil.
Akhirnya, Ela Bhatt melalui Women’s Wing-TLA yang dipimpinnya memfasilitasi sebuah
pertemuan umum yang dihadiri oleh para pedagang kain bekas dan ratusan buruh
perempuan. Dalam pertemuan tersebut tercetus sebuah ide bahwa mereka membutuhkan
asosiasi khusus untuk mewadahi aspirasi dan memfasilitasi kebutuhan mereka.
Pertemuan inilah yang menjadi tonggak pendirian Self Employed Women’s Association
(SEWA) pada bulan Desember 1971. Pada tahun 1972 SEWA resmi terdaftar secara hukum
dengan Arvind Buch (pemimpin TLA) sebagai ketua dan Ela Bhatt sendiri sebagai
Sekretaris Umum. Dari sini tersirat kebijaksanaan Ela Bhatt. Walaupun yang menggagas
SEWA adalah dirinya, ia tetap mendahulukan atasannya di TLA untuk menjabat sebagai
ketua SEWA. Baginya, jabatan tidak akan membatasi dirinya dalam berkarya.
b. FINANSIAL
Dana adalah sumber daya utama untuk memulai usaha apa pun, termasuk social
enterprise. Dana bisa berasal dari berbagai sumber, sehingga tidak perlu melulu
mengandalkan kemampuan sendiri yang terbatas. Dana semikomersial adalah dana yang
tidak gratis namun menawarkan skema pengembalian yang lunak. Dana komersial adalah
dana-dana yang berasal dari lembaga keuangan komersial seperti bank dan perusahaan
pembiayaan yang berupa pinjaman dengan suku bunga sesuai harga pasar atau penanaman
modal dari perusahaan modal ventura (PMV) komersial yang memiliki target deviden atau
peningkatan nilai perusahaan tertentu. PMV umumnya ingin menjual kembali perusahaan
yang dimodalinya ketika nilai perusahaannya sudah meningkat signifikan.
c. DUKUNGAN
Aspek dukungan di dalam ekosistem kewirausahaan sosial yang dimaksud di sini adalah
kondisi atau fasilitas yang dapat mendukung seorang social entrepreneur dalam
mengaktualisasikan visinya. Bentuk-bentuk dukungan pemerintah dan fasilitas pendanaan
dari berbagai pihak sudah dijelaskan di bagian sebelumnya. Bagian ini akan lebih membahas
bentuk dukungan lainnya, yaitu dukungan moral, kegiatan pendukung, infrastruktur, dan
dukungan keahlian.
Dukungan Moral
Menjadi wirausaha, apalagi wirausaha sosial, memang tidak mudah karena banyak
tantangan yang harus dihadapi. Tantangan untuk menjadi wirausaha pemula di dunia bisnis
konvensional saja sudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi sebagai pegawai negeri
atau pegawai swasta. Cara pandang ini masih harus dihadapi oleh para social entrepreneur
muda di Indonesia. Namun, sehubungan dengan semakin masifnya promosi
kewirausahaan, semakin banyak orangtua yang bersedia mendukung anak mereka
mengaktualisasikan diri dengan mencoba menjadi seorang wirausaha sosial.
Dukungan infrastruktur
Kegiatan pendukung lain yang dimaksud di sini adalah kegiatan yang menyuburkan
iklim kewirausahaan sosial di tanah air. Kegiatan-kegiatan ini pada umumnya berupa
kompetisi business plan, seminar atau workshop, konferensi, dan penghargaan. Kegiatan
pendukung semacam ini dipandang sudah cukup tersedia di Indonesia meskipun masih
berpusat di kota-kota besar, terutama Jakarta.
Dukungan Keahlian
MODAL MANUSIA
Sumber Daya Manusia
Secara umum, kualitas SDM Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini terlihat dari rata-
rata lama pendidikan secara nasional yang masih di bawah delapan tahun. Artinya,
mayoritas orang Indonesia tidak tamat SMP
Institusi Pendidikan
Pendidikan
Untuk Tridharma yang pertama ini, dapat dikatakan bahwa belum banyak universitas di
Indonesia yang telah secara khusus memiliki program studi dalam bidang social
entrepreneurship.
KONDISI PASAR
Ada dua hal dalam aspek kondisi pasar yang dapat memengaruhi perkembangan
kewirausahaan sosial, yaitu konsumen dan jejaring. Dalam hal profil konsumen, secara
umum potensi konsumen dan pasar Indonesia sangat besar. Namun, tidak banyak social
entrepreneur yang mampu memanfaatkan potensi tersebut. Entah karena kurangnya
network, kurangnya kemampuan menjaga kualitas produk, kurangnya kemampuan
mengembangkan strategi pemasaran, atau mungkin karena alasan teknis lainnya. Namun,
perlu digarisbawahi bahwa sebagai organisasi yang memiliki modal berupa misi sosial
serta proses produksi yang melibatkan proses pemberdayaan, sebuah social enterprise
dituntut untuk mampu mengembangkan cerita produk (brand story) yang akan selalu
melekat pada produk yang dihasilkan, baik di dalam kemasan, brosur, poster, maupun
media-media promosi lainnya. Cerita itulah yang akan menjadi salah satu kunci sukses
dalam memasarkan produk yang dihasilkan oleh socialenterprise, tentunya dengan tetap
menjaga kualitas prima dari produk.
LOKASI GEOGRAFIS
Ada tiga hal utama dalam aspek lokasi geografis yang berkaitan erat dengan kewirausahaan
sosial dan perlu diketahui oleh kamu yang berani menjadi wirausaha sosial. Ketiga hal tersebut
adalah karakteristik kemiskinan, sumber daya alam, dan karakteristik wilayah.
Kemiskinan
Dalam 10 tahun terakhir, menurut BPS tingkat kemiskinan di Indonesia sudah
mengalami penurunan yaitu sekitar 17,42% pada tahun 2003 menjadi 11,47% pada tahun 2013.
Dengan demikian, rata-rata penurunan tingkat kemiskinan hanya sekitar 0,6% per tahun.
Sumber Daya Alam
Indonesia merupakan negara kepulauan yang dibentuk oleh gugusan pulau-pulau dengan
sumber daya alam yang berbeda- beda. Setiap wirausaha sosial perlu memahami potensi
sumber daya alam di lokasi operasi mereka. Jangan sampai kegiatan atau program yang
dilakukan tidak dirancang berdasarkan pemetaan potensi lokal karena dalam konteks proses
pemberdayaan, tidak ada satu solusi yang dapat berlaku disemua konteks.
Karakteristik Wilayah
Selain karakteristik kemiskinan dan potensi sumber daya alam, karakteristik wilayah dari
lokasi operasi juga merupakan hal yang penting untuk dipetakan oleh seorang social
entrepreneur. Secara umum, karakteristik wilayah dapat digolongkan ke dalam dua kategori.
Kategori pertama, apakah lokasi tersebut merupakan wilayah perkotaan (urban) atau perdesaan
(rural). Kategori kedua, apakah lokasi tersebut merupakan wilayah pegunungan, dataran, atau
pesisir. Karakteristik wilayah seperti ini biasanya merupakan faktor pembentuk karakteristik
budaya masyarakatnya. Sebagai contoh, masyarakat perkotaan cenderung lebih individualis
daripada masyarakat perdesaan. Memaksa masyarakat untuk membentuk kelompok lebih dulu
sebelum mengikuti program pemberdayaan bisa berujung dengan sedikitnya jumlah pendaftar.
Di wilayah perdesaan, hal tersebut justru dapat menjadi motivasi tersendiri bagi masyarakat
untuk mendaftarkan diri dalam suatu program.
KESIMPULAN
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan ekosistem
kewirausahaan sosial di Indonesia masih belum ideal untuk mendukung tumbuh suburnya
wirausaha-wirausaha sosial baru. Hal ini mungkin karena perkembangan kewirausahaan sosial di
Indonesia saatinimasihdalamtahapawal.Kalau diibaratkan dengan masa tumbuh kembang
manusia, perkembangan kewirausahaan sosial kita saat ini seperti bayi yang baru bisa
merangkak. Beberapa bentuk dukungan memang sudah ada, namun hambatan juga masih cukup
banyak. Masalah sosial yang harus kita tanggulangi juga masih banyak.
Meski ekosistem yang kondusif bagi tumbuh kembangnya wirausaha sosial belum
terbangun, pada kenyataannya virus kewirausahaan sosial sudah menyebar dan berkembang di
Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari kerja keras dan karya besar insan-insan wirausaha sosial
yang berhasil menginspirasi banyak orang, terutama anak muda di Indonesia.
Asep Supriadin: Membuktikan Bahwa Petani Juga Bisa Punya Pabrik Bersama Koperasi
Putera Mekar
Seperti pola umum pendirian koperasi, KSU Putera Mekar didirikan dengan tujuan
sederhana, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan petani teh selaku anggotanya. Adalah Bapak
Asep Supriadin, seorang petani teh, yang aktif menggerakkan para petani lainnya untuk
bergotong royong meningkatkan kesejahteraan bersama. Berdiri sejak 9 Maret 2009, saat ini
KSU Putera Mekar beranggotakan 454 petani yang memiliki perkebunan teh rakyat seluas
406,51 hektare. KSU Putera Mekar pun masih menjadi satu-satunya pabrik teh Indonesia yang
dimiliki oleh petani, dengan Bapak Asep Supriadin sebagai ketua pengurusnya sejak pendirian
hingga kini.
Indonesia mempunyai sangat banyak masalah sosial. Dengan banyaknya masalah sosial yang
ada, pemerintah tidak dapat me-nyelesaikannya sendirian. Indonesia butuh kalian, wahai
Pemuda-Pemudi Cerdas Indonesia, untuk menciptakan perubahan, bukan lagi sekadar menunggu
perubahan. Sekarang eranya Revolusi Mental, kan? Yakinlah bahwa kamu juga bisa menjadi
seorang wirausaha sosial. Mempelajari konsep dan model bisnisnya terlebih dahulu tentu akan
dapat membantu kamu menyusun langkah untuk menjadi wirausaha sosial. Nah, sebelum kita
masuk lebih lanjut tentang bagaimana membangun social enterprise-mu sendiri, kita perlu tahu
sebenarnya apa, sih, social enterprise itu.
Apa itu Social Enterprise?
Hingga kini belum ada kesepakatan di dunia terkait definisi ataupun kriterianya. Perbedaan
tersebut kelihatannya dipengaruhi oleh perbedaan mazhab atau school of thought yang
dianut, serta karakteristik unik social enterprise di masyarakat yang berbeda-beda. Karena
tidak adanya kesepakatan tersebut, akhirnya setiap negara menyusun kriteria dan definisinya
masing-masing seperti di Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Korea Selatan, dan Thailand.
Salah satu tujuan dilakukannya penelitian dan penyusunan buku ini adalah untuk menyusun
kriteria dan definisi yang mencerminkan karakteristik social enterprise di Indonesia.
Social mission/IMPACT (misi/DAMPAK sosial)
Kriteria pertama dan paling penting yang harus dimiliki oleh sebuah SE adalah misi sosial, yaitu
ada masalah sosial yang ingin dituntaskan. Bisa dikatakan bahwa kriteria ini menjadi “the reason
and purpose to live” atau motivasi pendirian sekaligus tujuan bagi sebuah organisasi SE untuk
terus ada di tengah masyarakat. Kriteria ini disebut oleh semua narasumber dan di banyak
literatur sebagai kriteria wajib sebuah SE. Tetapi sayangnya belum banyak yang menjelaskan
soal apa itu masalah sosial, sehingga tak jarang menjadi tercampur dengan masalah pasar biasa.
EMPOWERMENT (PEMBERDAYAAN)
Kata “pemberdayaan” tak jarang dipandang bermakna abstrak. Padahal konsep ini sangat
praktis selama kita paham maknanya. Proses pemberdayaan sesungguhnya adalah proses untuk
mengaktifkan atau meningkatkan potensi dan keberdayaan yang sudah ada di masyarakat.
Dengan demikian wirausahawan sosial bukan seorang donatur yang selalu memberi atau seorang
guru yang selalu mengajari, melainkan lebih seperti seorang fasilitator yang memicu semangat
dan membangun kesadaran atas adanya potensi tersebut, atau seperti teman/pendamping yang
bersama masyarakat mendiskusikan solusi untuk memperbaiki kondisi hidupnya.
principles (prinsip bisnis yang sesuai dengan etika)
Sebuah SE perlu menerapkan prinsip-prinsip bisnis yang baik untuk mendukung
keberlanjutan operasionalnya, yang otomatis juga berarti untuk mendukung perluasan dampak
sosialnya. Walaupun misalnya sebuah SE tidak memiliki orientasi laba dan mengandalkan donasi
untuk mendanai kegiatannya, jika SE tersebut tidak mengamalkan prinsip-prinsip bisnis yang
baik, para donatur mungkin kehilangan kepercayaan dan memilih untuk memberikan donasi pada
lembaga lain. Perlu pula digarisbawahi bahwa prinsip bisnis yang dianut SE bukanlah untuk
memaksimalkan profit, melainkan untuk memaksimalkan benefit atau manfaat yang dapat
diberikan kepada masyarakat. Adapun empat prinsip bisnis yang penting bagi sebuah SE adalah
ethical, responsible, accountable, dan transparent (ERAT).
Ethical
Etika bisnis (business ethics) dalam suatu organisasi dideskripsikan sebagai suatu nilai/
norma yang memengaruhi persepsi benar/salah terkait perilaku dalam hubungan antara anggota,
karyawan, pimpinan, mitra kerja, pelanggan, dan masyarakat. Etika bersifat lebih universal
daripada hukum karena seseorang bisa saja berperilaku tidak etis tanpa melanggar hukum.
Misalnya, jika seorang pimpinan tidak mau mendengarkan berbagai masukan dari karyawan
untuk kebaikan organisasi, pimpinan tersebut tidak melanggar hukum apa pun. Namun, dalam
kacamata SE pimpinan tersebut telah berperilaku tidak etis. Dalam kerangka SE, sangat penting
untuk membangun modal sosial (trust) dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders);
dan salah satu cara jitunya adalah dengan keinginan untuk mendengarkan aspirasi mereka.
Yang kami maksud dengan tawaran/proposisi nilai sosial (social value proposition)
adalah nilai atau misi sosial yang ditawarkan oleh organisasi melalui kegiatan organisasinya.
Yang pasti, sebuah SE harus memiliki unsur pemberdayaan dalam kegiatan organisasinya.
Sumber Daya Manusia (Human Resource)
Aspek ketiga menyangkut jenis sumber daya manusia yang berkontribusi besar atau bersifat
kunci dalam penyelenggaraan SE.
Arus Penerimaan (Revenue Stream)
Unsur terakhir terkait dengan target organisasi (organizational goals) dari masing-masing SE,
yang secara umum terdiri dari tiga jenis, yaitu kesinambungan (continuity), p e n g e m b a n g a
n c a k u p a n kegiatan sosial (development), dan peningkatan skala usaha (growth). Unsur ini
mengandung karakteristik urutan perkembangan SE.