Anda di halaman 1dari 13

PERTEMUAN 7

PELAKU-PELAKU EKONOMI

A. TUJUAN PEMBELAJARAN:
Setelah mempelajari materi ini diharapkan pembaca dan mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan pilar-pilar utama penyangga perekonomian dalam pembangunan
industri
2. Menjelaskan pola tata peran pelaku ekonomi (PTPPE) dalam pembangunan
industri
3. Menjelaskan tentang masalah kebijakan privatisasi di Indonesia
4. Menjelaskan sejarah dan perkembangan koperasi di dunia dan di Indonesia

B. URAIAN MATERI
1. Pilar-Pilar Utama Perekonomian
Di dalam sistem perekonomian Indonesia dikenal ada tiga pilar utama
yang menyangga perekonomian. Ketiga pilar itu adalah (1) Badaan Usaha Milik
Negara (BUMN), (2) Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan yang terakhir (3)
adalah Koperasi, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa di dalam
perekonomian nasional ada dua kelompok pelaku ekonomi, yakni swasta dan
pemerintah. Kelompok swasta dapat dibagi menjadi dalam dua sub-kelompok,
yakni koperasi dan perusahaan non-koperasi. Sedangkan kelompok
pemerintah adalah BUMN (Tambunan, 2016: 187). Di lain pihak Yuniarti (2016:
269) menyebutkan para pelaku ekonomi itu adalah (1) Rumah Tangga, (2)
Perusahaan dan (3) Pemerintah.
Menurut jumlah unit usaha, jumlah BUMN jauh lebih kecil dibandingkan
perusahaan-perusahaan swasta, namun kelompok BUMN tersebut beroperasi
di sektor-sektor atau sub-sektor-sub-sektor ekonomi yang sangat strategis
seperti pertambangan, energi dan di sejumlah industri manufaktur (Tambunan,
2016: 187).
Jika dilihat dari penjelasan dia atas maka secara secara spesifik dengan
adanya keberadaan BUMN sebagai salah satu pilar dalam menjalankan roda
perekonomian nasional dapat dikatakan sebagai wujud dari representasi dari
UUD 1945 pasal 33 ayat 1 sampai 5. Pasal ini telah diamandemen dengan
ayat-ayatnya sebagai berikut:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.****)
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.****)
Jika ditelaah dengan seksama dari pasal-pasal 33 UUD 1945 tersebut
maka dapat dimaknai bahwa keberadaan BUMN dalam menopang serta
menjalankan roda perekonomian adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa
tawar-tawar dan harus dilaksanakan oleh Negara. Tujuannya jelas untuk
menumbuhkembangkan pembangunan industri di tanah air supaya sila ke 5
dari Pancasila sebagai dasar kehidupan bernegara kita dapat diwujudkan
secara nyata untuk selama-lamanya.
Menurut Tambunan (2016: 187) Peran dari pelaku-pelaku ekonomi
tersebut di dalam perekonomian Indonesia selama ini dapat dilihat dari
sejumlah indikator sebagai berikut:
1. Dalam sumbangannya terhadap pembentukan atau pertumbuhan PDB
(pangsa PDB)
2. Kesempatan kerja (pangsa kesempatan kerja)
3. Peningkatan cadangan aluta asing (devisa) terutama lewat ekspor (pangsa
ekspor) dan
4. Sumbangannya terhadap keuangan pemerintah lewat pembayaran pajak
dan lainnya.
Sekarang, pertanyaannya, pelaku ekonomi mana yang selama ini paling
berperan atau belakangan ini semakin besar perannya di dalam perekonomian
nasional terutana sebagai motor penggerak pertumbuhan PDB atau
pendapatan nasional?. Pertanyaan lainnya yang juga semakin penting adalah
apakah perekonomian harus lebih mengandalkan pada BUMS, terutama sektor
mikro, kecil dan menengah (UMKM) atau BUMN, atau koperasi?. Semua itu
perlu kajian mendalam dengan tetap memberikan solusi terbaik untuk setiap
kendala-kendala yang ada disetiap pilar-pilar penopang perekonomian
tersebut.

2. Pola Tata Peran Pelaku Ekonomi


Menurut Tjakrawerdaja, dkk (2017: 113) berdasarkan ciri-ciri sistem
ekonomi pancasila (SEP), peran serta masyarakat dalam aktivitas ekonomi
direpresentasikan oleh tiga pelaku ekonomi, yakni BUMN, koperasi dan
swasta. Perilaku tiga pelaku ekonomi tersebut harus diatur dalam pola tata
peran pelaku ekonomi yang selanjutnya disebut PTPPE, yaitu peran apa yang
dikerjakan oleh koperasi, BUMN atau usaha swasta dalam pembangunan
Industri. Pembagian peran atau aturan perilaku industri ini merupakan
perwujudan pelaksanaan dari ayat (2) pasal 33 UUD 1945 beserta
penjelasannya.
Dalam merumuskan PTPPE, harus ditetapkan terlebih dahulu tujuannya:
1. Terwujudnya efisiensi dan produktivitas yang tinggi dari pemanfaatan
sumber daya ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Terwujutnya perekonomian rakyat yang maju dan berkembang
3. Terwujutnya kemitraan setara antar pelaku ekonomi, yaitu BUMN, koperasi
dan swasta.

Masih menurut Tjakrawerdaja, dkk, dalam rangka menyusun PTPPE


maka perlu terlebih dahulu diuraikan ciri dan misi para pelaku ekonominya,
sebagai berikut:
1. Badan Usaha Milik Negara
Badan usaha milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan langsung
yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Sebagi perusahaan
Negara, BUMN mempunyai ciri-ciri sebagai berikut;
a. Pemilikan oleh Negara
BUMN dimiliki oleh Negara itu berarti bahwa seluruh modal perusahaan
bersumber dari Negara.
b. Agen pembangunan
BUMN mempunyai fungsi melayani kepentingan umum atau pelayanan
kepada masyarakat. Di samping itu, BUMN merupakan lembaga
ekonomi yang tidak mempunyai tujuan utama mencari keuntungan
tetapi dibenarkan untuk memupuk keuntungan.
c. Stabilisator perekonomian Negara
BUMN sebagai penyedia barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat
yang tidak menguntungkan bagi pelaku ekonomi lainnya. Di samping itu,
BUMN juga menjaga stabilitas harga yang terjangkau oleh sebagian
besar daya beli masyarakat.
d. Pendorong terwujudnya pasar yang berkeadilan
BUMN berfungsi sebagai pencegah terjadinya kegagalan pasar karena
terjadinya persaingan yang tidak sehat.
2. Peran Koperasi
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau
badan hokum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan
prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar
atas asas kekeluargaan. Sebagai gerakan ekonomi rakyat, koperasi
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Kumpulan orang bukan kumpulan modal, sehingga masyarakat bisa
dengan mudah menjadi anggotanya. Koperasi sebagai pelaku ekonomi
rakyat, anggotanya terdiri dari unit-unit usaha kecil di sector pertanian.
Kelautan, dan sektor informal lainnya.
b. Wadah kegiatan bisnis sosial yang bekerja untuk kepentingan
kesejahteraan anggotanya.
Melalui kegiatan bisnis sosial, usaha kecil dari rakyat banyak akan
memiliki posisi tawar (bargaining power) yang besar, baik di pasar input
maupun pasar output.
c. Sarana pemerataan ekonomi
Dengan peranan tersebut, koperasi akan dapat mengupayakan
terciptanya lapangan usaha yang produktif dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan serta mewujudkan kemakmuran bersama seluruh
rakyat, sehingga mampu menjadi soko guru perekonomian rakyat.
3. Peran Swasta
Usaha swasta adalah usaha yang modalnya dimiliki oleh pihak swasta,
memiliki fungsi dan peranan yang terbagi atas berbagai jenis dan bentuk,
serta mempunyai tujuan untuk memperoleh keuntungan. Usaha swasta
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Dimiliki oleh perorangan
Seluruh modal dimiliki oleh per orang atau sekumpulan orang melalui
suatu kerjasama.
b. Maksimalisasi keuntungan
Tujuan usahanya untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal untuk
pengembangan skala usaha.
c. Mendorong pertumbuhan ekonomi
Dengan sifat alamiah seperti itu, maka peran yang tepat bagi usaha
swasta adalah “penggerak dinamika perekonomian” (Kartasasmita,
1996). Atau, menurut istilah yang digunakan oleh Tjakrawerdaja (1986),
peran yang sesuai bagi swasta adalah sebagai penggerak utama
pertumbuhan ekonomi.

3. Kebijakan Privatisasi di Indonesia


Menurut Basri (2002: 268) paling tidak ada lima faktor yang
melatarbelakangi keberadaan BUMN, yaitu:
1. Pelopor atau perintis karena swasta tidak tertarik untuk menggelutinya;
2. Pengelola bidang-bidang usaha yang “strategis” dan pelaksana
pelayanan publik;
3. Penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar;
4. Sumber pendapatan Negara; dan
5. Hasil dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.
Masih menurut Basri, jika dikaji lebih lanjut, maka faktor keempat
cendrung semakin tidak relevan, sedangkan factor kelima agaknya semakin
bisa diabaikan. Maka tinggal tiga faktor pertama yang patut dijadikan
pembenaraan bagi keberadaan BUMN. Namun ketiga factor tersebut tidak
bersifat mutlak. Keabsahan ketiga faktor tersebut tergantung pada berbagai
keadaan. Yang terpenting, apakah mekanisme pasar berfungsi secara
optimal serta dilengkapi dengan perangkat-perangkat pengamannya, seperti;
pengaturan tentaang praktik monopoli dan oligopoly; peraturan tentang
praktek kolusi, penegakkan kaidah-kaidah praktek bisnis yang sehat;
perlindungan terhadap usaha kecil; serta perlindungan kepada konsumen.
Lebih lanjut Basri mengatakan bahwa di Negara-negara berkembang
seperti Indonesia, kelengkapan perangkat pengaman tersebut masih sangat
langka. Oleh karena itu, keberadaan BUMN masih tetap diperlukan. Bagi
Indonesia dewasa ini permasalahan utamanya bukan terletak pada
kepemilikan, melainkan bagaiman menciptakan struktur pasar yang tidak
distortiff serta menjunjung tinggi nilai-nilai persaingan yang sehat. Selama ini
sudah terbukti bahwa praktik-praktik monopli baik yang dilakukan oleh
swasta, BUMN, maupun koperasi praktis selalu merugikan masyarakat
khususnya, dan perekonomian umunnya.
Secara umum Privatisasi BUMN dapat kita artikan sebagai upaya yang
dilakukan oleh pemerintah untuk melepas atau menjual sebagian atau
seluruh saham ataupun aset-aset yang dimiliki oleh BUMN kepada pihak
swasta dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan dan
memberi manfaat yang signifikan bagi Negara dan masyarakat khususnya
dalam memiliki sahamnya.
Menurut Tambunan (2016: 195) sejak krisis ekonomi 1997-1998, BUMN
menjadi salah satu topik perdebatan publik dan akademis karena di satu sisi,
citra BUMN yang selama ini buruk, antara lain dianggap sarang KKN, sumber
pemerasan dari birokrat, tidak membawa manfaat bagi masyarakat banyak
maupun sekitarnya. Sedang di sisi lain, upaya pemerintah melakukan
privatisasi BUMN yang oleh banyak kalangan masyarakat dianggap tidak
sejalan dengan UUD 45 Pasal 33.
Menurut (Anggoro, 2008) dalam Tambunan (2016: 198) sesungguhnya
isu privatisasi BUMN sudah mulai muncul secara bertahap sejak era orde
baru. Waktu itu, privatisasi sebagai bagian dari kebijakan liberalisasi
ekonomi. Akibat krisis ekonomi 1997-1998, dan keharusan pemerintah
menanggung utang-utang dari bank-bank swasta yang selanjutnya
menyebabkan deficit APBN, maka pemerintah diminta oleh IMF melalui letter
of Intent memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 mengenai
Privatisasi BUMN sebagai perusahaan Publik (Persero). Undang-undang ini
kemudian diikuti oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 2003. BUMN
yang termasuk awal di Privatisasi adalah PN Pertamina yang di ubah menjadi
PN Pertamina (Persero) pada taahun 2003. Keberhasilan privatisasi ini
segera dilanjutkan dengan penjualan saham milik pemerintaah, misalnya
PT.Indosat. Kasus Indosat ini mengundang kontroversial, terutama dijual
kepada pihak asing, yakni Singapura Telcom & Telemedia.
Sebenarnya apakah kinerja BUMN di Indonesia selama ini sedemikian
buruknya hingga harus di privatisasikan? Dengan data yang terbatas,
menurut Purwoko (2002), pada tahun 2000, BUMN yang memiliki total asset
sebesar 861,52 Triliun hanya mampu menghasilkan keuntungan sebesar Rp.
13,34 Triliun, atau dengan tingkat Return on Assets (ROA) sebesar 1,55
persen. Tingkat ROA BUMN Indonesia dalam periode 1997-2001 hanya
berkisar antara 1,55 persen sampai dengan 3,25 persen. Baru pada tahun
2004 hingga seterusnya mulai menunjukkan adanya peningkatan ROA.
Berdasarkan laporan perkembangan kinerja BUMN dari Dirjen Pembinaan
BUMN Departemen Keuangan RI, seperti yang dikutip oleh Purwoko (2002),
pada tahun 2000 hanya 78, 10 persen (107 perusahaan) BUMN yang
beroperasi dalam keadaan sehat, sedangkan sisanya, 16,06 persen (22
perusahaan) dalam kondisi kurang sehat dan 5,84 persen (8 perusahaan)
dalam keadaan tidak sehat (Tambunan, 2016: 195).
Menurut Santosa (2005) dalam Tambunan (2016: 195), dari 158 BUMN
yang ada pada tahun 2004 hanya 76 BUMN yang dapat menyetorkan deviden
ke APBN 2004 sebesar Rp. 7,8 Triliun, dimana angka ini turun 47 persen dari
tahun 2003 sebesar Rp 12, 29 Triliun. Sedangkan untuk tahun 2005, waktu
itu ditargetkan deaden dari BUMN ini hanya sebesar Rp. 9,42 Triliun,
sedangkan untuk tahun 2006 sebesar 12,3 Triliun. Dari realisasi tahun 2004,
81,77 persen dari laba BUMN sebesar 25,09 Triliun diperoleh hanya dari 10
BUMN, yaitu Telkom, Bank Mandiri, Pertamina, BNI, Pusri, Jamsostek, PNG,
Pelindo II, dan Astek. Sedangkan jumlah BUMN yang merugi adalah 55
BUMN dengan kerugian sebesar Rp 6,48 Triliun (data 2003), di antaranya
84,87 persen dari 10 BUMN, yaitu PLN, Bulog, PPI, PELNI, PANN, KKA,
Industri Sandang, PTPN II, BBI.
Dari uraian penjelasan singkat di atas dapat kita katakan bahwasanya
kebijakan privatisasi ini mengundang polemik pro dan kontra bagi masyarakat
Indonesia. Keduabelah pihak baik itu yang setuju maupun yang kontra
memberikan alasannya masing-masing yang cukup argumentative yaitu
dimana pihak yang setuju mengatakan sebagai berikut:
Suara Pro Konsep privatisasi:
1. Menutup kerugian APBN
2. Meningkatkan efisiensi dan pemberantasan korupsi
3. Memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat,
4. Memperluas kepemilikan saham masyarakat.
Sehingga pada akhirnya hal tersebut diharapkan akan mampu meningkatkan
kinerja dan perluasan eskalasi pertumbuhan ekonomi yang kondusif dan
pada akhirnya akan menambah lapangan kerja baru.
Sementara itu pihak yang kontra atau tidak setuju dengan kebijakan
privatisasi ini memaparkan alasannya sebagai berikut:
1. Dengan alasan menutup kerugian APBN dengan menjual aset, lama
kelamaan BUMN akan habis terjual, dikarenakan APBN selalu defisit.
2. Dengan dalih untuk meningkatkan efisiensi dan pemberantasan korupsi
akan tetapi pada faktanya korupsi tetap merajalela walaupun sudah di
privatisasi. Untuk memberantas korupsi di BUMN bukanlah dengan cara
privatisasi melainkan harus dilakukan dengan penegakkan hukum yang
tegas, konsisten dan berkeadilan.
3. Dengan alasan memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat
ternyata dalam pelaksanaan angka pengangguran tiap tahun terus
meningkat dan pada hakekatnya kita berbagi pendapatan atau
keuntungaan dengan pihak asing yang dengan kata lain dapat disebut
sebagai upaya merampok kekayaan Indonesia secara halus.
4. Dengan dalih dapat memperluas kepemilikan saham masyarakat akan
tetapi pada faktanya kemampuan masyarakat untuk dapat memiliki saham
tersebut mungkin hanya akan dirasakaan oleh segelintir orang saja yang
memang hidup dalam berkecukupan sementara mayoritas masyarakat
hidup dalam kondisi pas-pas san atau bahkan dalam kondisi kemiskinan.
Jadi, mana mungkin mereka dapat memiliki saham tersebut kalaulah
hidup sehari-hari saja sudah susah ditambah lagi harga-harga yang terus
naik. Jadi masyarakat yang dimaksud oleh pihak yang pro privatisasi patut
untuk dipertanyakan?
Terlepas dari polemik pro kontra tersebut, menurut para ekonom salah
satunya Dr. Faisal Basri harus ada berbagai alternatif untuk penaganan
permasalahan BUMN tersebut. Menurut beliau harus ada suatu pedoman
untuk menata kembali BUMN. Ada dua factor yang menjadi kriteria, yaitu
eksternalisasi dan efisiensi. Beliau menggambarkannya dalam bentuk
sebuah peraga sebagai berikut:
PERAGA KONSEP

EKSTERNALISASI

RENDAH TINGGI

• Likuidasi/jual • Korporatisasi
RENDAH • Rekayasa Ulang
• Merger/akuisisi
EFISIENSI
• Go publik/ go • Pertahankan
TINGGI internasional Go public
• Go publik/go
internasional

Menurut Basri (2002: 270) eksternalisasi adalah manfaat ekonomi dari


keberadaan BUMN yang dinikmati oleh pihak-pihak di luar BUMN yang
bersangkutan, meliputi perusahaan-perusahaan lain dan masyarakat pada
umumnya. Sedangkan efisisensi di sini lebih dititikberatkan pada efisiensi
teknis dalam lingkup internal perusahaan.
Keputusan melego BUMN hanya sahih dan tidak perlu dipertanyakan
lagi seandainya baik eksternalis dan efisiensi BUMN dimaksud tergolong
rendah. Artinya, keberadaan BUMN tersebut tidak banyak memberikan
manfaat berarti bagi perekonomian; ditambah lagi dengan kinerja internalnya
yang tidak efisien. Dalam hal ini misi dan keberadaan BUMN tersebut menjadi
ssangat tidak jelas.
Sebaliknya, jika eksternalitas maupun efisiensi suatu BUMN tinggi,
maka tiada alasana untuk melegonya. Apalagi kalau tercipta iklim persaingan
yang sehhat di pasar, sehingga tidak memberikan peluang bagi BUMN
tersebut untuk menetapkan harga dengan semena-mena. BUMN seperti ini
biasanya memiliki potensi alamiah untuk memonopoli pasar. Kalau demikian
halnya, yang diperlukan adalah mekanisme pengaturan harga agar si
monopolis berproduksi pada tingkat yang optimal dan tidak merugikan
masyarakat sebagai konsumen serta perekonomian secara keseluruhan,
sebagaimana yang ditunjukkan dari kemunculan rugi beban mati (deadweight
loss)

4. Sekilas Sejarah dan Perkembangan Koperasi di Indonesia dan Dunia


Koperasi sebenarnya bukanlah organisasi usaha yang khas berasal dari
Indonesia. Kegiatan berkoperasi dan organisasi koperasi pada mulanya
diperkenalkan di Inggris sekitar abad pertengahan. Pada waktu itu misi utama
berkoperasi adalah untuk menolong kaum buruh dan petani yang
menghadapi masalah-masalah ekonomi dengan menggalang kekuatan
mereka sendiri. Kemudian di Perancis, yang didorong oleh gerakan kaum
buruh yang tertindas oleh kekuatan kapitalis sepanjang abad ke-19 dengan
tujuan utamanya membangun suatu ekonomi alternatif dari asosiasi-asosiasi
koperasi menggantikan perusahaan-perusahaan milik kapitalis (Moene dan
Wallerstein,1993). Ide koperasi kemudian menjalar ke AS dan Negara-negara
lainnya di dunia. Di Indonesia, koperasi baru diperkenalkan pada awal abad
20.
Sejak munculnya ide tersebut hingga saat ini, banyak koperasi di Negara
maju (NM), seperti di Uni Eropa (UE) dan AS sudah menjadi perusahaan-
perusahaan besar termasuk di sector pertanian, industri manufaktur, dan
perbankan yang mampu bersaing dengan korporat-korporat kapitalis. Bahkan
menurut laporan dari Asosiasi Koperasi Dunia (International Cooperative
Alliance/ICA), yang masuk di dalam 10 besar koperasi di dunia berdasarkan
total nilai omset dan total nilai asset adalah koperasi-koperasi dari NM, bukan
dari Negara berkembang (NB) (Tambunan, 2016: 204)
Menurut Soetrisno (2001) dalam Tambunan (2016: 204), sejarah
kelahiran dan berkembangnya koperasi di NM dan NB memang sangat
diametral. Di NM, koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan
ketidakadilan pasar, oleh karena itu , tumbuh dan berkembang dalam
suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu, koperasi meraih
posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi,
termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang
mengatur koperasi, tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi
dalam kerangka rangka melindungi dirinya. Sedangkan di NB, koperasi
dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra
Negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat.
Melihat sejarah singkat keberhasilan koperasi di NM tersebut, pada
akhirnya pemerintah berupaya untuk membuat berbagai regulasi untuk
menumbuhkembangkan dan menjalankan koperasi, salah satunya yaitu
dengan dibentuknya Kementrian Negara Koperasi dan Usaha kecil dan
Menengah.
Menurut data dari ICA, di dunia sampai tahun 2009 saja ada sekitar 800
juta orang adalah anggota koperasi dan diestimasi bahwa koperasi-koperasi
secara total mempekerjakan lebih dari 100 juta orang, 20 % lebih dari jumah
yang diciptakan oleh perusahaan-perusahaan multi nasional. Pada tahun
1994, Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa kehidupan
dari hamper 3 miliar orang atau setengah dari jumlah populasi di dunia
terjamin oleh perusahaan-perusahaan koperasi (Tambuna, 2009: 236).

Perkembangan di Indonesia
Seperti telah diketahui bahwa tiga pilar penyangga perekonomian
adalah BUMN, BUMS dan Koperasi. Ketiganya mempunyai fungsi dan peran
masing-masing sesuai karakternya. Namun, sebagaimana yang diungkapkan
Widiyanto (1998) dalam Tambunan (2016: 206), dari ketiga pilar itu koperasi
yang mendapatkat predikat sebagai soko guru perekonomian, adalah pilar
ekonomi yang “jalannya paling terseok” jika dibandingkan dengan BUMN dan
BUMS. Padahal, koperasi selama ini sudah didukung oleh pemerintah
(bahkan berlebihan) sesuai kedudukan istimewa dari koperasi di dalam
sistem perekonomian Indonesia.
Sebagai soko guru perekonomian , ide dasar pembentukan koperasi
sering dikaitkan dengan pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat 1 yang
menyebutkan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Dalam penjelasan UUD 1945 itu
dikatakan bahwa bangun usaha yang paling cocok dengan asas
kekeluargaan itu adalah koperasi. Tafsiran itu sering disebut sebagai
perumus pasal tersebut.
Masih dalam penjelasan Widiyanto (1998), untuk lebih menata
organisasi koperasi, pada tahun 1967, pemerintah Indonesia (Presiden dan
DPR) mengeluarkan UU No. 12 dan pada tahun 1992 UU tersebut direvisi
menjadi UU No. 25, dibanding UU No. 12, UU No. 25 lebih komprehenshif,
tetapi juga lebih berorientasi ke pemahaman “Kapitalis”. Hal ini disebabkan
UU baru ini sesungguhnya memberi peluang koperasi untuk bertindak
sebagai sebuah perusahaan yang memaksimalkan keuntungan.
Berdasarkana data resmi dari Departemen Koperasi dan UKM, sampai
dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat
sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggotaan ada sebanyak
26.000.000 orang. Corak koperasi di Indonesia adalah koperasi dengan skala
kecil; ini sangat berbeda dengan koperasi-koperasi di Negara maju yang
pada umumnya skala besar dengan nilai asset dan omset yang sangat besar.
Di Indonesia tidak semua koperasi yang ada adalah koperasi aktif. Misalnya
hingga tahun 2004 tercatat 130.730, tetapi yang aktif hanya mencapai 71,50
persen, sedangkan yang menjalani rapat tahunan anggota (RAT) hanya
35,42 persen koperasi saja. Mengenai jumlah koperasi yang meningkat
cukup pesat sejak krisis keuangan Asia 1997-1998, menurut Soetrisno
(2003a,c), pada dasarnya sebagai tanggapan teradap dibukanya secara luas
pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres
18/1998, sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis
pengembangan dan hingga 2001 sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian
koperasi (Tambunan, 2016: 206).
Masih menurut Soetrisno (2003) dalam Tambunan (2016: 207),
memasuki tahun 2000, koperasi Indonesia didominasi oleh koperasi kredit
yang menguasai antara 55 hingga 60 persen dari keseluruhan aset koperasi.
Sementara itu, dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program
pemerintah, hanya sekitar 25 persen dari populasi koperasi atau sekitar 35
persen dari populasi koperasi aktif. Hingga akhir 2002, posisi koperasi dalam
pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah Bank Rakyat
Indonesia (BRI)-unit desa sebesar 46 persen dari KSP/USP dengan pangsa
sekitar 31 persen. Dengan demikian, walaupun program pemerintah cukup
gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi,
tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga
pada dasarnya, masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.

C. SOAL LATIHAN/TUGAS
Jawablah pertanyaan berikut ini:
1. Coba saudara jelaskan secara singkat tiga pilar penyangga perekonian?
2. Jelaskanlah peran dari pelaku-pelaku ekonomi dalam perekonomian
Indonesia?
3. Jelaskanlah tentang koperasi dan peranannya?
4. Paparkanlah permasalahan BUMN di Indonseia dan Peraga Konsep
penyelesaian masalahnya?

D. DAFTAR PUSTAKA

Basri, Faisal. 2002. “Perekonomian Indonesia : Tantangan dan Harapan bagi


Kebangkitan Indonesia”. Erlangga. Jakarta.

Tambunan, Tulus TH. 2016. “Perekonomian Indonesia : Era Orde Lama


Hingga Jokowi”. Ghalia Indonesia. Bogor.

_________________. 2009. “Perekonomian Indonesia”. Ghalia Indonesia.


Bogor.

Tjakrawerdaja Subiakto, dkk. 2017. Sistem Ekonomi Pancasila. PT Raja


Grafindo Persada. Depok.

Yuniarti, Vinna Sri. 2016. Ekonomi Makro Syariah. CV Pustaka Setia. Bandung.

Anda mungkin juga menyukai