Manusia Purba
Manusia Purba
PENDAHULUAN
1
1.4 Manfaat Penulisan Makalah
1.4.1 Bagi pembaca. Dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pembaca untuk menambah
pengetahuan tentang kehidupan manusia purba di Indonesia pada zaman dahulu.
1.4.2 Bagi Penulis. Dapat menjadi informasi berharga bagi para penulis guna menciptakan tulisan
yang lebih bermanfaat bagi masyarakat untuk bisa mengetahui kehidupan manusia purba di
Indonesia.
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pernahkah kamu mendengar tentang Situs Manusia Purba Sangiran? Kini Situs Manusia
Purba Sangiran telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia, tentu ini sangat
membanggakan bangsa Indonesia. Pengakuan tersebut tentu didasari
berbagai pertimbangan yang kompleks. Satu di antaranya karena di wilayah tersebut
tersimpan ribuan peninggalan manusia purba yang menunjukkan proses kehidupan manusia dari
masa lalu. Sangiran telah menjadi sentral bagi kehidupan manusia purba. Berbagai penelitian
dari para ahli juga dilakukan di sekitar Sangiran. Beberapa temuan fosil di Sangiran telah
mendorong para ahli untuk terus melakukan penelitian termasuk di luar Sangiran. Dari Sangiran
kita mengenal beberapa jenis manusia purba di Indonesia. Setelah ditetapkan sebagai warisan
dunia, Situs Manusia Purba Sangiran dikembangkan sebagai pusat penelitian dalam negeri dan
luar negeri, serta sebagai tempat wisata. Selain itu Sangiran juga memberi manfaat kepada
masyarakat di sekitarnya, karena pariwisata di daerah tersebut.
3
BAB III
PEMBAHASAN
Makalah ini membahas tentang sejarah manusia purba di Indonesia, jenis-jenis manusia
purba yang ditemukan di Indonesia, dan lokasi penemuan fosil manusia purba di Indonesia.
3.1 Sejarah Manusia Purba di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu tempat ditemukannya fosil manusia purba. Ini artinya,
Indonesia pada masanya pernah didiami oleh manusia purba. Kenyataan ini menjadikan
Indonesia menjadi salah satu tempat penting bagi para ahli yang akan melakukan studi tentang
manusia purba. Adapun tempat lain yang juga ditemukan fosil manusia purba yaitu Prancis,
Jerman, Belgia, dan Cina.
Faktor apakah yang membuat Indonesia menjadi tempat menarik untuk didiami oleh
manusia purba? Kita tahu, kehidupan manusia purba masih sangat bergantung oleh alam. Jadi
besar kemungkinan faktor utama yang menarik manusia purba untuk mendiami Indonesia adalah
kesuburan tanahnya serta kekayaan akan faunanya. Sejak 10.000 tahun yang lalu ras-ras manusia
seperti yang kita kenal sekarang ada di Indonesia. Pada kala Holosin dikenal dua ras, yaitu ras
Austromelanosoid dan ras mongoloid. Ras Austromelanosoid mempunyai ciri-ciri tubuh agak
besar, tengkorak kecil, rahang kedepan, hidung lebar, alat pengunyah kuat. Ras mongoloid
memiliki ciri-ciri tubuh lebih kecil, tengkorang sedang, muka lebar dan datar, hidung sedang.
Temuan rangka manusia Pos Plestosin di pantai timur Sumatera Utara, gua-gua di Jawa Timur,
Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara. Sisa-sisa manusia di langsa tamiang dan binjai
menunjukkan ciri-ciri austromelanosoid.
Dengan melihat keadaan di Sumatera Timur dan membandingkan dengan keadaan di
pantai selat Malaka, manusia ini memakan bintang laut, kerang laut, dan ikan, disamping
beberapa hewan darat, seperti babi dan badak. Manusia ini juga telah mengenal api, mengubur
mayat, dan upacara tertentu. Pada saat bersamaan di gua lawa, sampung, ponorogo, didapati
manusia yang termasuk ras Austromelanosoid. Mereka hidup dari binatang buruan, seperti
kerbau, rusa, dan gajah.
Di Flores, yaitu Liang Toge, Liang Momer, dan Liang Panas didapatkan sisa-sisa
manusia yang menunjukkan ciri-ciri Austromelanooid. Di Liang Toge, Flores Barat manusianya
diperkirakan hidupnya secara meramu dan berburu. Dari data tersebut maka populasi di
4
Indonesia di kala Pos Plestosin: Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara didiami ras
Austromelanosoid dengan sedikit unsur Mongoloid, tapi di Sulawesi selatan menunjukan ras
mongoloid. Mungkin karena pengaruh mongoloid melalui Filipina – Kalimantan – Sulawesi.
Kehidupan praaksara di Indonesia dimulai sejak munculnya manusia purba. Berdasarkan
banyaknya fosil purba yang ditemukan, menunjukkan bahwa Indonesia merupakan tempat yang
menarik bagi manusia purba untuk ditempati. Oleh karena itu, Indonesia menjadi sangat penting
bagi para ilmuan
5
Fragmen fosil Meganthropus yang ditemukan masih sangat sedikit. Sampai sekarang
belum ditemukan perkakas atau alat-alat yang digunakan oleh Meganthropus. Para ahli
mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi keberadaan dan kebudayaan yang ditingalkan. Oleh
karena itu, para ahli masih berbeda pendapat tentang keberadaan Megantropus. Sebagian ahli
menganggap sebagai Pithecanthropus, tetapi ada juga ahli yang menganggapnya sebagai
Australopithecus.
3.2.2 Pithecanthropus
Manusia purba jenis Pitchecanthropus banyak ditemukan di Indonesia nama
Pitchecanthropus berasal dari dua kata yaitu pithecos dan anthropus. Fosil Pitchecanthropus
dapat ditemukan di Trinil, Mojokerto, Kedungbrubus, Sangiran, Sambungmacan, dan Ngandong.
Daerah-daerah tersebut diduga masih berupa padang rumput dengan pohon-pohon jarang
sehingga cocok sebagai daerah perburuan. Manusia jenis ini hidup dengan cara berburu dan
mengumpulkan makanan. Mereka tinggal di tempat terbuka dan hidup berkelompok.
Secara umum Pithecanthropus memiliki ciri-ciri berubuh tegap dengan tinggi badan 165-
180 cm, alat pengunyahnya tidak sehebat Meganthropus, belum ada dagu dan hidungnya lebar
dengan volume otak berkisar 750-1.300 cc. Pithecanthropus hidup sekitar 2,5 juta-200 ribu tahun
yang lalu. Beberapa jenis Pithecanthropus yang ditemukan di Indonesia antara lain
Pithecanthropus mojokertensis, Pithecanthropus erectus, dan Pithecanthropus soloensis. Setiap
jenis manusia purba tersebut memiliki ciri fisik yang berbeda.
3.2.2.1 Pithecanthropus mojokertensis
Pithecanthropus mojokertensis (manusia kera dari Mojokerto) merupakan manusia purba jenis
Pithecanthropus tertua yang ditemukan di Indonesia. Manusia purba jenis ini diperkirakan hidup
sekitar 2,5-1,25 juta tahun yang lalu. Pithecanthropus mojokertensis ditemukan oleh von
Koeningswald di Mojokerto pada tahun 1936. Fosil yang berhasil ditemukan berupa tengkorak
anak-anak, atap tengkorak, rahang atas, rahang bawah, dan gigi lepas. Berdasarkan temuan
tersebut, ciri-ciri Pithecanthropus mojokertensis dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1) Tulang pipi kuat
2) Berbadan tegap
3) Tonjolan kening tebal
4) Otot tengkuk kukuh
6
5) Muka menonjol ke depan
6) Volume otak 650-1.000 cc
3.2.3 Homo
Hasil penelitian Van Koeningswald menyimpulkan bahwa makhluk yang diberi nama homo ini
memiliki tingkatan lebih tinggi dibanding Pitchecanthropus Erectus dan Meganthropus. Bahkan
manusia purba jenis homo dapat dikatakan sebanding dengan manusia biasa. Di Indonesia
7
ditemukan tiga jenis fosil homo, yaitu Homo soloensies, Homo wajakensis, dan Homo
florensiensis.
8
nama Homo Floresiensis. Ukuran manusia ini tidak lebih besar dari anak-anak usia lima tahun.
Homo Floresiensis diperkirakan memiliki tinggi badan 100 cm dan berat badan 30 kg. Selain itu,
mereka sudah berjalan tegak dan tidak memiliki dagu. Manusia purba ini hidup di Kepulauan
Flores sekitar 18.000 tahun lalu. Homo floresiensis hidup sezaman dengan gajah-gajah pigmi
(gajah kerdil) dan kadal-kadal raksasa (komodo) di Flores.
Menurut tim ilmuwan yang menemukan fosil tersebut. Homo floresiensi merupakan keturunan
spesies Homo erectus yang hidup di Asia Tenggara sekitar 1 juta tahun lalu. Akibat proses
seleksi alam, tubuh mereka berevolusi menjadi bentuk yang lebih kecil. Hipotesis ini didasarkan
pada penemuan berbagai peralatan yang biasa digunakan oleh Homo erectus di sekitar fosil
Homo floresiensis. Selain itu, di Flores ditemukan fosil stegodon (gajah purba) berukuran kecil.
Penemuan ini semakin menguatkan ipotesis para ilmuwan bahwa banyak makhluk hidup di pulau
ini menyesuaikan diri dengan habitatnya dengan cara menjadi lebih kecil.
Sementara itu, dalam jumlah ilmiah Nature para ilmuwan lan menjelaskan Homo
Floresiensis sebagai spesies baru manusia. Akan tetapi, pendapat ini ditentang oleh para peneliti
dari Universitas Gadjah Mada. Menurut mereka, Homo floresiensis bukan merupakan spesies
baru, melainkan nenek moyang dari orang-orang katai Flores yang menderita penyakit
microcephalia, yaitu bertengkorak kecil dan berotak kecil. Sampai sekarang penyakit tersebut
masih ditemukan pada beberapa penduduk yang hidup di sekitar Gua Liang Bua.
3.3.1 Sangiran
Secara geografis, Sangiran terletak di kaki Gunung Lawu dan sekitar 15 km dari
lembah Sungai Bengawan Solo. Sangiran dianggap pusat peradaban besar, penting, dan lengkap
manusia purba di Indonesia, bahkan dunia. Sangiran merupakan pusat perkembangan manusia
dunia yang memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia sejak 150.000 tahun yang lalu.
9
Karakteristik wilayah Sangiran berbentuk menyerupai kubah raksasa berupa cekungan
besar di pusat kubah akibat erosi di bagian puncaknya. Kubah raksasa tersebut diwarnai dengan
perbukitan bergelombang. Kondisi deformasi geologis itu menyebabkan tersingkapnya berbagai
lapisan batuan yang mengandung fosil-fosil manusia puba dan binatang, termasuk artefak.
Lapisan batuan Sangiran memperlihatkan proses evolusi lingkungan yang sangat panjang. Proses
itu dimulai dari formasi Kalibeng berlanjut pada formasi Pucangan, formasi Kabuh, dan formasi
Notopuro.
Penelitian purbakala di Sangiran diawali oleh P.E.C. Schemulling pada tahun 1864,
dengan laporan penemuan fosil vertebrata dari Kalioso, bagian dari wilayah Sangiran. Semenjak
dilaporkan Schemulling situs itu seolah-olah terlupakan dalam waktu yang lama. Selanjutnya,
pada tahun 1895 Eugene Dubois mendatangi tempat ini, tetapi Dubois tidak menghasilkan
temuan sehingga dokter dan ahli anatomi tidak berminat untuk melanjutkannya. Pada tahun
1932, seorang ahli geografi, L.J.C. van Es, membuat peta geologi di kawasan Sangiran dengan
skala 1:20.000. peta ini kemudian dimanfaatkan oleh Gustav Heindrich Ralph von Koeningswald
pada tahun 1934 untuk melakukan survei eksploratif wilayah Sangiran.
Berbekal peta tersebut, Koeningswald berhasil menemukan berbagai peralatan manusia
purba. Di sela-sela survei tersebut, pada tahun 1936 seorang penduduk menyerahkan sebuah fosil
rahang kanan manusia purba kepada Koeningswald. Inilah temuan pertama fosil manusi purba
yang diberi kode S1 (Sangiran 1). Sejak saat itu hingga 1941, ditemukan fosil manusia purba
Homo erectus. Homo erectus merupakan takson paling penting dalam sejarah manusia, sebelum
masuk pada tahapan manusia Homo sapiens, manusia modern.
Sejak penemuan von Koeningswald, situs Sangiran menjadi sangat terkenal dan secara
resmi ditetapkan sebagai Warisan Dunia pada tahun 1966, yang tercantum dalam Nomor 593
Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) UNESCO.
10
Penelitian Eugene Dubois diawali dengan penggalian pada endapan aluvial Bengawan
Solo dan dari lapisan tersebut ditemukan tulang rahang. Dalam penggalian berikutnya, Eugene
Dubois berhasil menemukan gigi geraham, bagian atas tengkorak, dan tulang paha kiri. Eugene
Dubois memberi nama penemuannya Pithecanthropus erectus yang berarti manusia kera berjalan
tegak. Pada masa sekarang para ahli sepakat menyebut Pitechanthropus erectus dengan sebutan
Homo erectus yang artinya manusia berjalan tegak.
Tengkorak Pithecanthropus erectus dari Trinil sangat pendek tetapi memanjang ke
belakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, di antara otak kera (600 cc) dan otak manusia modern
(1.200-1.400 cc). Tulang kening sangat menonjol dan di bagian belakang mata terdapat
penyempitan yang sangat jelas, menandakan otak yang belum berkembang. Pada bagian
belakang kepala terlihat bentuk meruncing yang diduga pemiliknya merupakan perempuan.
Berdasarkan kaburnya sambungan perekatan antartulang kepala, ditafsirkan individu ini telah
mencapai usia dewasa.
Penemuan manusia purba jenis Homo erectus oleh Eugene Dubois telah mendorong
beberapa penelitian lain. Pada tahun 1907-1908 Selenka melakukan penelitian dan penggaian di
Desa Trinil. Dalam penelitiannya ini, Lenere Selenka tidak berhasil menemukan fosil manusia.
Akan tetapi, ia berhasil menemukan fosil-fosil hewan dan tumbuhan yang dapat memberikan
dukungan untuk menggambarkan lingkunga hidup Homo erectus. Inilah penelitian pertama yang
mengaitkan fosil manusia dengan lingkungan alamnya.
3.3.3 Ngandong
Ngandong merupakan sebuah desa di tepi Bengawan Solo dalam wilayah Kabupaten
Blora, Jawa Tengah. Pada tahun 1933, Ter Haar, Oppenoorth, dan von Koeningswald melakukan
penelitian di daerah ini dan berhasil menemukan beberapa atap tengkorak yang diidentifikasi
sebagai Homo soloensis. Berdasarkan morfologi yang dimiliki, manusia Ngandong digolongkan
sebagai Homo erectus paling maju. Tengkorak Homo erectus Ngandong berukuran besar dengan
volume otak rata-rata 1.100 cc, lebih besar dibandingkan dengan Homo erectus dari sangiran dan
Trinil.
11
3.3.4 Patiayam
Situs Patiayam merupakan daerah perbukitan di lereng Gunug Muria, sebelah utara
jalan raya antara Kota Kudus dan Pati. Penemuan fosil manusia di daerah ini terjadi pada tahun
1978 ketika tim dari Pusat Arkeologi Nasional menemukan gigi dan pecahan tengkorak Homo
erectus. Dari penelitian selanjutnya diketahui bahwa fosil Homo erectus ini berasal dari formasi
Slumprit yang berumur awal ploistosen tengah.
3.3.5 Wajak
Wajak merupakan sebuah desa yang terletak di Tulungagung, Jawa Timur. Nama
Wajak mulai terkenal pada tahun 1889 saat B.D. Reitschoten menemukan sebuah fosil
tengkorak. Fosil tersebut kemudian diserahkan kepada C.P. Sluiter, kurator dari Koninklijke
Natuurkundige Vereeniging (Perkumpulan Ahli Ilmu Alam) di Batavia pada saat itu. Sluiter
kemudian menyerahkan fosil tengkorak Wajak kepada Eugene Dubois.
Bagi Dubois, fosil tersebut membuka harapan baru untuk menemukan missing link asal
usul manusia. Ini sesuai teori ahli geologi Verbeek yang sepakat bahwa pegunungan batu
gamping tersier di Jawa sangat menjanjikan bagi Dubois. Dubois akhirnya tinggal selama lima
tahun di Tulungagung yang saat itu masih merupakan kota kecil bagian dari Kediri. Dia
menyusur kembali tempat Rietschoten menemukan fosil tengkorak manusia, yakni di cekungan
bebatuan sekitar Wajak. Di sekitar tempat itu Dubois menemukan fosil mamalia dan reptil, serta
fosil tengkorak meskipun tidak seutuh temuan Rietschoten. Fosil temuannya diberi nama Homo
wajakensis.
3.3.6 Flores
Penelitian kehidupan purba di Flores dimulai pada tahun 2003. Penelitian tersebut
dilakukan oleh beberapa ilmuwan dari Indonesia dan Australia. Tim Indonesia dipimpin oleh
Raden Pandji Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan tim Australia dipimpin oleh
Mike Morwood dari Universitas New England. Pada penggalian di gua Liang Bua, Flores, para
ilmuwan tersebut menemukan fosil manusia kerdil atau hobbit yang diberi nama Homo
floresiensis.
12
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Indonesia merupakan tempat yang cocok untuk kehidupan manusia purba
sehingga banyak ditemukan fosil-fosil manusia purba di Indonesia utamanya di Pulau
Jawa. Jenis-jenis manusia purba yang ditemukan di Indonesia antara lain
Meganthropus paleojavanicus, Pithecanthropus mojokertensis, Pithecanthropus
erectus, Pithecanthropus soloensis, Homo soloensies, Homo wajakensis, dan Homo
florensiensis. Lokasi penemuan fosil manusia tersebut antara lain di Sangiran, Trinil,
Ngandong, Patiayam, Wajak, dan Flores.
1.2 Saran
Mengingat di Indonesia banyak ditemukan fosil-fosil manusia purba, maka
dapat dilakukan penelitian lanjutan untuk memperjelas proses evolusi manusia dan
untuk memperbaiki teori-teori lama yang kurang tepat.
13
DAFTAR PUSTAKA
14
LAMPIRAN
15