0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
248 tayangan2 halaman
Tulisan ini membahas pentingnya menciptakan lingkungan yang mendukung literasi di sekolah dan madrasah. Gerakan Literasi Sekolah perlu didukung oleh berbagai pihak termasuk guru, komite sekolah, masyarakat, dan pemerintah agar siswa terbiasa membaca dan menulis. Model ekologi sosial Bronfenbrenner digunakan untuk menjelaskan peran lingkungan dalam membentuk perilaku siswa yang literat.
Tulisan ini membahas pentingnya menciptakan lingkungan yang mendukung literasi di sekolah dan madrasah. Gerakan Literasi Sekolah perlu didukung oleh berbagai pihak termasuk guru, komite sekolah, masyarakat, dan pemerintah agar siswa terbiasa membaca dan menulis. Model ekologi sosial Bronfenbrenner digunakan untuk menjelaskan peran lingkungan dalam membentuk perilaku siswa yang literat.
Tulisan ini membahas pentingnya menciptakan lingkungan yang mendukung literasi di sekolah dan madrasah. Gerakan Literasi Sekolah perlu didukung oleh berbagai pihak termasuk guru, komite sekolah, masyarakat, dan pemerintah agar siswa terbiasa membaca dan menulis. Model ekologi sosial Bronfenbrenner digunakan untuk menjelaskan peran lingkungan dalam membentuk perilaku siswa yang literat.
Tulisan Arip Ripandi (Sekretaris PGM Kota Tasikmalaya) yang dimuat
di Harian Pagi Radar Tasikmalaya (Selasa, 2 Januari 2018) dengan judul pentingnya literasi bagi guru madrasah, menggambarkan bagaimana masih lemahnya minat membaca dan menulis para guru di lingkungan madrasah. Tulisan ini mencoba menawarkan solusi bagaimana menciptakan lingkungan yang literat, sehingga guru dan siswa memiliki minat membaca dan menulis yang kuat.
Gerakan Literasi Sekolah, Starting Point
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang dicanangkan pemerintah yakni gerakan pembiasaan membaca 15 menit sebelum belajar, seyogyanya menjadi pintu masuk (strarting point) bagi guru untuk memiliki keinginan dan gairah membaca dan menulis. Mengapa menjadi starting point, sebab dalam GLS, peserta didik didorong untuk terbiasa membaca, merangkum, mendeskripsikan, dan membuat jurnal dari apa yang mereka baca. Persoalan yang muncul saat ini adalah bagimana peserta didik memiliki empat kemampuan tersebut, kalau sekolah dan guru pun tidak begitu paham terhadap apa dan bagimana GLS tersebut. Fakta di lapangan menunjukkan, mayoritas guru dan sekolah/madrasah baru bisa menyediakan waktu 15 bagi anak untuk menuju perpustakaan sekolah, peserta didik membaca buku yang dia sukainya, selesai 15 menit, mereka masuk kelas memulai pelajaran sesuai jadwal, tanpa melalui tahapan GLS di atas (membaca, merangkum, mendeskripsikan, dan membuat jurnal). Fenomena ini muncul disebabkan lemahnya pemahaman terhadap apa dan bagimana tahapan GLS tersebut. GLS dipahami hanya sekedar gerakan pembiasan membaca selama 15 sebelum belajar. Selain pemahaman yang minim terhadap GLS, juga belum adanya dukungan yang maksimal dari pelbaagi pihak. GLS belum didukung adanya aturan yang jelas, baik petunjuk pelaksanaan (juklak) maupun pentunjuk teknis (juknis), belum adanya pelatihan-pelaatihan tentang GLS secara terprogram, yang ada baru sekedar infrormasi dan anjuran dari pihak terkait dan belum ada dukungan buku yang lengkap terhadap perpustakaan sekolah/madsarah.
Model Ekologi Social Bronfenbrenner, Solusi Lahirkan Lerat
GLS sebagai bagian dari upaya melahirkan lingkungan yang literat, harus dilakukan melalui proses interaksi antara; guru yang paham akan literasi, komite yang paham literasi, siswa yang paham literasi, masyarakat yang paham literasi, dan pemerintah yang paham literasi. Kita bisa belajar dari model ekologi social Bronfenbrenner. Murut mdoel ini, untuk membiasakan litarasi sejak dini tidak bisa dilakukan oleh sekolah dan guru saja, tetapi harus dilakukan melalui berbagai lingkungan, baik makrosystem, exsosystem, mesosystem, dan mirosystem yang kesemunya itu harus berjalan secara sinergis. Dukungan lingkungan yang literat (baik berbentuk fisik, sosial dan idiologi) akan mampu memberikan contoh kepada anak untuk menjadi seorang literat. Microsistem, berisi tentang setting ruang yang saling berhadapan, dimana anak-anak terlibat secara langsung dengan keluarga, sekolah, dan pusat pembelajaran anak, dokter, dan tempat ibadah. Pengaturan ini adalah untuk mempengaruhi anak secara perkembangan fisik tapi juga secara mental dan system keyakinan, dan selain itu dampaknya dapat sesuaikan dengan kebutuhan atau cara pandang anak. Mesosystem keterkaitan hubungan antara pengaturan, dimana anak secara aktif sebagai participant. Ini merupakan keterpaduan antara 2 pengaturan dalam mikrosystem. Contoh keterpaduan anatar rumah dan pusat pembelajaran anak. Hal ini diharapkan adanya kesamaan harapan dan nilai di rumah dan pengelola pusat pembelajaran anak dalam rutinitas anak sehari hari secara siaga. Contohnya anak terkadang tidak diperhatikan kesiapan di sekolah, pusat pembelajaran anak, atau pra sekolah seperti kemampuan dalam mengerut pencil, menggunting, memasang kaos kaki yang dapat berakibat menghambat aktivitas pekerjaan anak. Selajutnya Exosystem yaitu keterkaitan antara pengaturan 2 atau lebih. Dalam hal ini anak tidak terlibat secara langsung dalam pengaturan tetapi dipengaruhi oleh microsystem dan mesosistem. Ekosistem antara lain mempengaruhi anak melalui anggota keluarga seperti lingkungan kerja orang tua, relasi sosial orang tua, pengaruh lingkungan orang tua. Macrosystem yaitu masyarakat yang luas dan lingkup budaya. Model ini menggabungkan ruang nilai dan system keyakinan budaya di dalamnya bahwa kehidupan masyarakat yang terorganisir dan di dalamnya terdapat keluarga, sekolah, tempat ibadah, organisasi sosial dan institusi Negara.
*) Ketua Prodi PGMI IAILM Suryalaya & Mahasiswa S3 SPs UPI Bandung.