Disusun Oleh :
Hapsari Kartika Dewi
20174011056
Dokter pembimbing :
dr. Kurnianto Trubus, M.Kes, Sp. An
Disusun oleh
20174011056
Februari 2019
Mengetahui,
Dokter Pembimbing
i
BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. NS
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Bangunharjo, Sewon, Bantul
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Status pernikahan : Menikah
No RM : 64-01-81
Masuk RS tanggal : 23 Januari 2019
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Keluar darah dari jalan lahir
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Frekuensi Nadi : 83x/menit
Suhu : 36,5oC
Frekuensi Pernapasan : 18x/menit
Skor Nyeri : 0 (tidak nyeri)
Berat badan : 53 kg
Tinggi Badan : 150 cm
BMI : 23,56
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis +/+, Sklera ikterik -/-, Pupil isokor
Hidung : Simetris, Sekret -/-
Mulut : Buka mulut 3 jari, skor Mallampati II
Leher : Pembesaran limfonodi (-), nyeri (-) , peningkatan JVP (-), leher
jarak pendek (-) , jarak thyromental > 6,5 cm, pergerakan leher bebas
Thorax
Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis teraba pada sela iga ke-4 linea midclavicula
kiri
Perkusi : pekak, kesan tak membesar
Auskultasi : bunyi jantung S1-S2 regular, bising jantung (-)
Paru-paru
Inspeksi : simetris saat inspirasi dan ekspirasi, retraksi (-)
Palpasi : nyeri (-/-), massa (-/-)
Perkusi : sonor (+/+)
Auskultasi: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Pemeriksaan Abdomen
Ekstremitas : akral hangat, nadi kuat, CRT < 2 detik, edema (-/-)
D. Pemeriksaan Penunjang
USG obstetri
Hasil :
Janin tunggal, memanjang, presentasi kepala, DJJ (+), gerak janin (+), AK
cukup, plasenta menutupi OUI, TBJ 2488 gram.
Kesan : Plasenta previa totalis
E. Diagnosa Klinis
F. Penatalaksanaan Obsgyn
Pro SC + MOW
Transfusi PRC 1 kolf
Konsul Anestesi
G. Penatalaksanaan Anestesi
1. Pra Anestesi
Pasang IV line ukuran 20 + threeway
Lengkapi Informed Consent Anestesi
Puasa 8 jam sebelum operasi
Koreksi kalium beri KCL 25 mEq dalam NaCl 0,9% 500 cc
Laboratorium post koreksi tanggal 27 Agustus 2018
ELEKTROLIT
Natrium 139.4 137 – 145 mmol/l
Kalium 4.82 3,5 – 5,1 mmol/l
Klorida 107.9 98 – 107 mmol/l
HEMATOLOGI
Hemoglobin 10.2 12.0-16.0 g/dl
Tidak menggunakan perhiasan/kosmetik
Tidak menggunakan gigi palsu
Memakai baju khusus kamar bedah
2. Anestesi
Diagnosa Pra Bedah : Plasenta previa totalis pada multigravida
aterm dengan riwayat SC 2x status ASA 2
3. Post Anestesi
Maintanence anastesi
B1 (Breathing) : Spontan, RR 16-18 x/mnt suara nafas vesikuler
B2 (Blood) : Perdarahan ± 300 cc, TD 100/70 mmHg,
Nadi 79 x/menit
B3 (Brain) : Compos mentis
B4 (Bladder) : Urin output (+)
B5 (Bowel) : Peristaltik (-)
B6 (Bone & Extr) : Edem (-/-)
Anestesi
H. Perawatan di ICU
Tanggal masuk ICU: 28 Agustus 2018
Alasan Masuk ICU
- Monitoring hemodinamik
- Manajemen airway
- Manajemem cairan
Pemeriksaan fisik
- Vital sign
Suhu : 36,0oC (aksila)
Tensi : 93/63 mmHg MAP: 70 mmHg
Nadi : 90 x/menit, irregular
Napas : 21 x/menit, irreguler
- Sistem integumen
Warna : kuning langsat
Turgor : Lembab, edema (-)
Lesi : tidak ada
- Sistem neurologi
Kesadaran: apatis
Pupil : isokor
- Sistem kardiovaskuler
Irama jantung : 92 x/menit, irregular
Palpitasi : ada
Nyeri dada : tidak ada
Akral : hangat
Diaporesis : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Clubbing finger : tidak ada
- Sistem pernapasan
Ventilasi : dengan ventilator, FiO2: 80, Peep: 5
Suara paru : vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Gerakan dada : simetris
Gambar 1. Plasenta
B. Klasifikasi
Menurut Chalik (2002) klasifkasi plasenta previa didasarkan atas terabanya
jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir :
1. Plasenta adhesive adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta
sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
2. Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki
sebagian lapisan myometrium.
3. Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai
myometrium.
4. Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus
lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
5. Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri yang
disebabkan oleh konstruksi ostium uteri.
C. Etiologi
Menurut Winknjosastro (2002) penyebab terjadinya retensio plasenta
diantaranya yaitu :
Kelainan dari uterus sendiri, yaitu : Kontraksi uterus kurang kuat untuk
melepaskan plasenta (plasenta adhessiva),
Kelainan dari plasenta, misalnya : Plasenta melekat erat pada dinding uterus
oleh sebab villi khorialis menembus desidua sampai miometrium – sampai
dibawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta)
Kesalahan manajemen kala III persalinan, seperti : manipulasi dari uterus
yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta dapat
menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonik yang tidak
tepat waktunya juga dapat menyebabkan serviks kontraksi (pembentukan
constriction ring) dan menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio
plasenta).
D. Patofisiologi
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan
retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah
berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan
lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal
secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil.
Pengecian mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan
plasenta.
Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak
dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang
ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi
jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di
uterus berada di antara serat- serat oto miometrium yang saling bersilangan.
Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan retaksi otot ini
mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti.
Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan
ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme
kala tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya duding uterus yang bebas tempat
plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis.
2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta
melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm).
3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan
pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang
terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta
disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus
yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan
tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa.
4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta
bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil
darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa
perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan akibat, bukan
sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase
kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89%
plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya. Tanda-
tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang mendadak,
uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus meninggi
ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina,
serta tali pusat yang keluar lebih panjang.
E. Faktor Predisposisi
Menurut Saifuddin (2009), faktor predisposisi retensio plasenta antara lain:
Grandemultipara
Paritas mempunyai pengaruh terhadap kejadian perdarahan postpartum
yang diakibatkan retensio plasenta karena pada setiap kehamilan dan
persalinan terjadi penurunan sel-sel desidua.
Kehamilan ganda, sehingga memerlukan implantasi plasenta yang luas.
Kuret berulang
Plasenta previa, karena dibagian isthmus, pembuluh darah sedikit,
sehingga perlu lebih masuk kedalam perlekatannya.
Bekas seksio caesaria
G. Komplikasi
A. Anestesi Umum
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik
elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan
tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah:
Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal
Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yangsesuai
dengan fisik dan kehendak pasien
Menentukan status fisik klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology)
D. Klasifikasi ASA
E. Premedikasi Anestesi
Midazolam
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin dengan sifat
yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine. Merupakan benzodiapin kerja
cepat yang bekerja menekan SSP. Midazolam berikatan dengan reseptor
benzodiazepin yang terdapat diberbagai area di otak seperti di medulla spinalis,
batang otak, serebelum system limbic serta korteks serebri. Efek induksi terjadi
sekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena bila sebelumnya diberikan
premedikasi obat narkotika dan 2-2,5 menit dengan tanpa premedikasi
narkotika sebelumnya.
Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi anestesi, basal
sedasion sebelum tindakan diagnostic atau pembedahan yang dilakukan di bawah
anestesi local serta induksi dan pemeliharaan selama anestesi. Obat ini
dikontraindikasikan pada keadaan sensitive terhadap golongan benzodiazepine,
pasien dengan insufisiensi pernafasan, acut narrow-angle claucoma.
Dosis premedikasi sebelum operasi
Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyeri sebelum
tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi dengan antikolinergik atau
analgesik. Dewasa : 0,07- 0,1 mg/kgBB secara IM sesuai dengan keadaan umum
pasien, lazimnya diberikan 5 mg. Dosis usia lanjut dan pasien lemah 0,025–0,05
mg/ kg BB (IM). Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-10
menit sebelum permulaan operasi, pada orang tua dosis harus diturunkan 1- 1,5 mg
dengan total dosis tidak melebihi 3,5 mg IV.
Midazolam mempunyai efek samping
Efek yang berpotensi mengancam jiwa : midazolam dapat mengakibatkan
depresi pernafasan dan kardiovaskular, iritabilitas pada ventrikel dan perubahan
pada kontrol baroreflek dari denyut jantung.Efek yang berat dan ireversibel : selain
depresi SSP yang berhubungan dengan dosis, tidak pernah dilaporkan efek samping
yang ireversibel Efek samping simtomatik : agitasi, involuntary movement,
bingung, pandangan kabur, nyeri pada tempat suntikan, tromboflebitis
dantrombosis. Midazolam dapat berinteraksi dengan obat alkohol, opioid,
simetidin, ketamin.
Fentanil
Fentanil merupakan opioid sintetikyang agonis selektif yang bekerja terutama
pada reseptor µ dengan sedikit berpengaruh pada reseptor δdan κ. Fentanil
merupakan opioid yang poten, mempunyai potensi analgesia 100-300 kali efek
morfin. Bersifat lipofilikyang memungkinkan masuk ke struktur susunan saraf
pusat dengan cepat. Sistemtransdermal menghantarkan fentanil, dari reservoir
dengan jumlah yang hampir konstan per unit waktu. Perbedaan konsentrasi yang
timbul antara larutan jenuh obat di dalam reservoir dan konsentrasi yang rendah di
dalam kulit mendorong pelepasan obat fentanil bergerak ke arah konsentrasi yang
lebih rendah dengan kecepatan yang ditentukan oleh membran pelepas
kopolimerdan difusi fentanil melalui lapisan kulit. Meskipun kecepatan aktual
penghantaran fentanil ke kulit berbeda selama periode pemakaian 72 jam, tiap
sistim dilabel dengan fluks nominal yang mencerminkan jumlah rata-rata obat yang
dihantarkan ke sirkulasi sistemik melalui kulit
Metabolit utama dari fentanil adalah norfentanil, sedangkan metabolit
minornya adalah hidroksipropionil-fentanil dan hidroksipropionil-norfentanil, yang
tidak mempunyai aktivitas farmakologi. Sejumlah kecil alkohol yang tergabung
dalam sistem peningkatan kecepatan fluks obat melalui membran kopolimer yang
membatasi kecepatan dan meningkatkan permeabilitas kulit terhadap fentanil.
Farmakokinetik Fentanyl Setelah penempelan sistim fentanyl, konsentrasi
fentanil serum akan meningkat mencapai 12-18 jam sampai tercapai tahap plateu.
Bila sistim ini dibiarkan tertinggal menempel, konsentrasi fentanil hanya akan
meningkat sedikit setelah 24 jam. Setelah pelepasan sistim, konsentrasi fentanil
akan menurun perlahan, dengan waktu paruh terminal mencapai 15-21 jam.
Opioid memediasi 3 reseptornya, µ, β, dan δ, dengan reseptor µ dibagi
menjadi 2 yaitu µ1 dan µ2. Aktivasi dari setiap reseptor akan memberikan efek
analgesik supraspinal dan spinal, menurunkan motilitas gastrointestinal, sedasi dan
depresi pernafasan. Fentanil mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptor µ, dan
rendah pada δdan β. Sifat analgesi dari fentanil 75 sampai 100 kali dari morfin,
perbedaan ini kemungkinan karenasifat lipofilik dari fentanil yang memungkinkan
lebih cepat melewati sawar darah otak.
F. Induksi
Ketamin
Derivat phencyclidine ini diformulasikan dalam bentuk campuran racemic.
Di antara agen anestetik lainnya ketamin mempunyai keunggulan dengan
menimbulkan efek hipnotik dan analgesi sekaligus berkaitan dengan dosis yang
diberikan. Ketamin memiliki efek yang beragam pada sistem saraf pusat,
menghambat reflex polisinaptik di medulla spinalis dan neurotransmiter eksitasi di
area tertentu otak. Ketamin memutus hubungan thalamus (penghubung impuls
sensoris dari sistem aktivasi retikuler ke korteks serebri) dengan korteks limbus
(berperan pada sensasi waspada), secara klinis disebut juga anestesi disosiasi, di
mana pasien tampak sadar (mata terbuka, reflek menelan dan kontraksi otot) tetapi
tidak mampu mengolah dan merespon input sensorisnya. Ketamin juga merupakan
antagonis reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate). Pada dosis sub anestesi ketamin
dapat menimbulkan halusinasi yang dapat dicegah dengan pemberian midazolam
ataupun agen hipnotik lainnya.
Propofol
Propofol mengikat reseptor GABAA, sehingga meningkatkan afinitas ikatan
GABA dengan reseptor GABAA, yang akan menyebabkan hiperpolarisasi
membran saraf. Injeksi propofol IV akan menimbulkan nyeri yang dapat dikurangi
dengan pemberian injeksi lidokain sebelumnya atau dengan mencampurkan
lidokain 2% dengan 18 ml propofol sebelum penyuntikkan. Formulasi propofol
mudah terkontaminasi dengan pertumbuhan bakteri, sehingga harus digunakan
dengan teknik yang steril dan tidak boleh dipakai setelah 6 jam pembukaan ampul.
Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik
dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg) dan pH 7 - 8.
Induksi anestesi dengan propofol berlangsung dengan lembut dengan hanya
sedikit menimbulkan efek samping eksitasi. Dosis 1-2,5 mg/kg (tergantung pada
usia dan status fisik pasien serta penggunaan premedikasi) menghasilkan induksi
anestesi dalam waktu 30 detik. Pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler harus
diberikan dosis induksi yang lebih rendah.
Farmakokonetik:
a. Absorbsi
Propofol hanya tersedia dalam bentuk pemberian secara IV untuk induksi
dan pemeliharaan anestesi.
b. Distribusi
Onset kerja propofol cepat, begitu pula dengan durasinya yang pendek
pada pemberian bolus dosis tunggal dikarenakan pendeknya distribusi
waktu paruhnya (2-8 menit). Pada lansia direkomendasikan pengurangan
dosis induksi dan laju infus propofol yang diberikan, karena Vd mereka
yang lebih kecil.
c. Biotransformasi dan eksresi
Propofol dimetabolisme dengan cepat menjadi metabolit inaktif dan
dieksresikan melalui ginjal. Laju klirens propofol (20-30 ml/kg/mnt)
melampaui aliran darah hepar, sehingga diduga propofol juga
dimetabolisme di organ yang lain seperti paru (ekstra hepatik).
Efek pada sistem organ
a. Kardiovaskuler
Propofol menghambat aktivitas simpatis vasokonstriktor sehingga
menurunkan resistensi pembuluh darah perifer, preload dan kontraktilitas
otot jantung yang akhirnya akan menurunkan tekanan darah arteri.
Hipotensi yang terjadi saat induksi biasanya akan pulih akibat dari
stimulasi laringoskopi dan intubasi. Hipotensi pada iduksi propofol
dipengaruhi oleh dosis yang besar, kecepatan injeksi dan usia tua.
Propofol secara nyata mempengaruhi barorefleks arterial terhadap
hipotensi. Perubahan pada denyut jantung dan cardiac output biasanya
hanya sementara
dan tidak bermakna pada pasien yang sehat, tetapi dapat diperparah pada
pasien lansia, konsumsi β-adrenergic blockers atau pada pasien dengan
gangguan fungsi ventilasi.
b. Respirasi
Pada dosis induksi propofol menekan secara dalam fungsi pernafasan
hingga menyebabkan apnea. Meski hanya dengan dosis sub anestetik
propofol menghambat respon normal terhadap hiperkarbia. Propofol
menekan refleks jalan nafas atas melebihi thiopental sehingga tindakan
intubasi, endoskopi dan pemasangan LMA dapat dilakukan tanpa
blokade neuromuskular. Walaupun melepaskan histamin, timbulnya
wheezing pada pasien ashma yang diinduksi dengan propofol jarang
terjadi.
c. Otak
Propofol menurunkan CBF, cerebral metabolitrate dan tekanan intra
kranial. Ketika dosis besar diberikan, efek penurunan tekanan
darah sistemik yang nyata dapat menurunkan CPP. Autoregulasi
pembuluh darah otak dalam merespon perubahan tekanan darah arteri
dan reaksi CBF terhadap perubahan tekanan CO2 tidak mengalami
perubahan. Propofol memiliki kemampuan yang sama dengan thiopental
sebagai protektor otak terhadap fokal iskemia. Induksi propofol dapat
disertai dengan fenomena eksitasi seperti kedutan otot, gerakan spontan,
ophisthotonus dan cegukan. Propofol mempunyai efek antikonvulsan
dan dapat digunakan untuk mengatasi keadaan status epileptikus.
G. Pemeliharaan
Nitrous Oksida
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak berasa,
lebih berat dari udara, tidak mudahterbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan
soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat,
tetapidapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larutdalam
darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, olehkarena itu pada operasi
abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal
ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa
menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi
dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi
N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.
Sevofluran
Sevoflurane termasuk senyawa baru yang ditemukan pada awal dekade 1970
oleh Walin et al di laboratorium travenol. Seperti halnya desflurane, sevoflurane
mempunyai daya larut yang rendah akibat fluoronisasi pada molekul eter.
Sevoflurane (2,2,2-trifluoro-1-(trifluoromethyl)ethyl fluoromethyl eter), disebut
juga sebagai fluoromethyl hexafluoroisopropyl ether, berbau sedap, tidak mudah
terbakar.
Sevoflurane sebagai anestetika baru berbeda dengan isoflurane terutama
dalam hal mobilitasnya. Sevoflurane mempunyai kelarutan yang lebih rendah
dalam darah, yang meningkatkan kecepatan bersihannya dan kecepatan dalam
mengatur kedalaman anesthesia. Karakteristik tersebut cocok dengan keperluan
anestesi masa kini.
Seperti desflurane, sevoflurane adalah senyawa halogenasi dengan
fluorine. Sevoflurane memiliki solubilitas sedikit lebih tinggi daripada desflurane
(0.65 vs 0.42). Sevoflurane merupakan agen inhalasi yang wangi dengan
peningkatan konsentrasi di alveolar yang cepat sehingga menjadi pilihan yang
sempurna sebagai obat induksi pada pasien pediatrik dan dewasa. Bahkan, induksi
inhalasi dengan 4-8% sevoflurane dengan campuran 50% oksigen dan nitrous
okside dapat dicapai dalam waktu 1-3 menit. Oleh karena solubilitas dalam darah
yang rendah yang mengakibatkan penurunan konsentrasi di alveolar segera setelah
dihentikan sehingga fase pulih sadar lebih cepat jika dibandingkan dengan
isoflurane. Namun fase pulih sadar yang cepat ini telah dihubungkan dengan
insidensi delirium yang tinggi paska pembedahan yang dapat diatasi dengan
fentanyl 1-2 ug/kgBB.
Sevoflurane mempunyai efek depresi kontraktilitas miokard yang ringan.
Resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah arterial lebih sedikit menurun
jika dibandingkan dengan isoflurane atau desflurane. Karena sevoflurane
memiliki efek yang minimal pada nadi, maka jika terjadi peningkatan nadi,
curah jantung tidak dapat terjaga dengan sebaik pada pemberian isoflurane
ataupun desflurane.
BAB III
PEMBAHASAN
Boulton Thomas dan Blogg Colin E. 1994. Anestesiologi. EGC: Jakarta. Gunawan
Sulistia G, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. FKUI: Jakarta
Chalik TMA. 2002. Hemoragi Utama Ostetri dan Ginekologi. Widya Medika.
Jakarta
Gunawan Sulistia G, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. FKUI: Jakarta
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th Ed, McGraw-
Hill’s
Neal M.J. 2006. At A Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Erlangga: Jakarta
Sjamsuhidajat, R, Jong de Wim. 2005. Syok.Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi
2. Jakarta: EGC.118-124.
Sudoyo, W Aru,dkk. 2006. Syok Hipovolemik .Dalam : Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
IV Jilid 1. Pusat Penerbitan FKUI. Jakarta. Hal:183-184