Anda di halaman 1dari 45

MAQASHID AL-SYARI’AH

Suatu Tinjauan Sebagai Suatu Disiplin Ilmu Dan


Metode Istinbath Hukum Islam

Oleh:

Prof. DR. H. Said Agil Husin Al Munawwar, Lc, M.A


I. Pendahuluan

Fitur elastisitas (harakah) hukum Islam pada ranah fitrah manusia dan tabiatnya lentur
terhadap persoalan modernitas adalah bentuk konkrit kebenaran Islam sebagai sebuah aturan etis-moral
dan etis-universal.

Maka Islam sebagai agama dengan dengan kebesaran, keagungan dan kesempurnaan
aturannya dapat memenuhi seluruh kebutuhan manusia, kapanpun, dimanapun, dan dalam
kondisi apapun. Ini adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat diperdebatkan kebenarannya.
Teks nash yang masih menjelaskan hal tersebut sangat banyak sekali, dan perlu didekatkan serta
didukung oleh perjalanan sejarah umat Islam.

Sebagai agama yang menuntut seperangkat nilai dan moral, maka syariah adalah bagian
dari konstitusi fenomonologis dan penjelasan tentang sistim dunia yang berpola pada dasar
hukum moral yang diderivasi dari Al Qur’an dan As Sunnah.

Ditengah-tengah perkembangan zaman yang terus melaju, dipastikan melahirkan


masalah dan kasus baru sekaligus sebagai isu penting untuk dibicarakan. Sementara teks
sumber hukum Islam itu sudah cukup dengan apa yang ada, tidak ada teks baru atau hubungan
baru yang wahyu diturunkan atau dikerjakan (an nushus mutanahiyah wa al waqa’i ghairu
mutanahiyah).

Dapat dikatakan bahwa semangat lain yang menjadi titik tolak untuk menjadikan
hukum Islam mampu berselaras dengan berbagai perubahan karena Islam adalah agama
Rahmatan lil ‘Alamin (rahmat bagi semesta alam) dan Shahihun likulli zaman wa makaan
(agama yang adapatif untuk setiap kurun waktu dan tempat). Islam juga menjunjung tinggi
keadilan (al-‘adalah), kebebasan (al-hurriyah), persamaan derajat (al-musawah), kebijaksanaan
(al-hikmah) dan kebaikan manusia (mashahih lil ‘ibada).

Beranjak dari nilai inilah, maka semua perbedaan pandangan tentang dimensi agama
Islam mulai dari akidah, ibadah, muamalah dan akhlak yang bersifat parsial (juz’iyyah) dapat
dipahami dan diintegrasikan melalui nilai universal. Semangat universalitas (kulliyah) itulah
yang mengilhami para ulama pembaharu klasik sampai kontemporer untuk tetap menjaga
elastisitas hukum Islam agar bisa berdialog dengan berbagai perubahan sosial dan
perkembangan peradaban manusia.

Pembicaraan tentang Maqashid Al-Syari’ah merupakan suatu perubahan penting dalam


hukum Islam yang tidak luput dari perhatian ulama. Sebagian mereka ada yang menempatkan
dalam bahasan ushul fiqh dan sebagian lainnya sudah menjadi karya sebagai suatu disiplin ilmu yang
mandiri dengan sumber tersendiri yang disebut dengan ilmu Maqashid Al-Syari’ah.

Kajian sekitar Maqashid Al-Syari’ah terus berkembang pesat pada era sekarang ini.
Perhatian ulama Islam dalam bentuk pengkajian, penelitian dan tahqiq terus melahirkan berbagai

1
karya tentang Maqashid Al-Syari’ah melalui ranah lingkup kerja bidang Ijtihad, Istinbath, Ifta’ dan
Qadla’ untuk membuktikan apa yang sudah ditetapkan oleh Syari’ (Allah SWT) bahwa semua itu untuk
kemaslahatan umat manusia. Semua teks yang difirmankan atau disabdakan dan hukum yang
disyariatkan tidak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan umat manusia.

Maqashid Al-Syari’ah merupakan suatu disiplin ilmu yang memberikan pencerahan


terhadap pemahaman dan pengembangan hukum Islam. Setelah melalui proses sejarah yang
panjang melalui beberapa periode perkembangannya sampai dengan masa ulama kontemporer
sekarang ini, dengan segala pergeseran paradigmatiknya. Penerapan hukum Islam itu
semestinya tidak dipahami pada tataran simbolik semata namun harus digali sampai kepada
tingkat filosofi dan tujuan syariat itu diturunkan Allah SWT.

Dapat diketahui bahwa Maqashid Al-Syari’ah ini menjada salah satu cara atau metode
bagi seorang mujtahid ketika menetapkan berbagai persoalan hukum yang terjadi ditengah-
tengah masyarakat. Substansi Maqashid Al-Syari’ah itu adalah al-Maslahah yang artinya tujuan
pokok dan utama setiap pelembagaan hukum Islam adalah untuk merealisasikan kemaslahatan
dan menghindarkan manusia dari berbagai macam kesulitan dan kemudharatan. Untuk itu
Allah SWT setiap mentranformasikan hukum-Nya kepada manusia selalu mengandung
maksud, motif, dan tujuan sebagai sasaran yang hendak dicapai, yang semuanya itu adalah
untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.

Intelektual Islam telah mempolarisasi Maqashid Al-Syari’ah itu untuk kemaslahatan


manusia yang terkait agama, jiwa, harta, keturunan dan kehormatannya. Untuk mewujudkan
kelima kebutuhan itu dapat ditinjau dari berbagai aspek yaitu aspek kemaslahatan yang
didatangkannya, tertib tujuannya, dan cakupannya. Dari aspek kemaslahatan yang
didatangkannya dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan secara hirarkis yaitu primer
(dharuriyah), sekunder (hajiyah), dan tersier (tahsiniyah). Kemudian dari segi tujuannya dapat
dibedakan kepada tujuan esensial (ashliyah) dan pengikut (tab’iyyah). Sedangkan dari segi
cakupannya dapat dibedakan kepada tujuan umum (‘ammah), khusus (khassah) dan spesifik
(juziyyah), dan juga dari berbagai aspek lainnya yang lebih luas lagi.

Maqashid Al-Syari’ah memiliki orientasi dan tujuan yang jelas seperti disampaikan
oleh para ulama, yang substansinya adalah al maslahah. Cara atau metode untuk mengetahui
dan menetapkan Maqashid Al-Syari’ah dituangkan dalam kerangka yang sangat jelas sampai
dengan batasan maslahah (dhawabith) yang dapat dijadikan pertimbangan sebagai metode
istinbath hukum Islam.

Dalam bingkai semangat maslahah inilah para ulama ushul menggunakan dan
mengembangkan suatu instrument metodologis berupa Maqashid Al-Syari’ah (tujuan syariat),
hikmah syariah (hikmah syariat), asrar al-syariah (rahasia syariat), mahasin (keindahan syariat).
Inilah paradigma baru dalam rangka revitalisasi dan kontekstualisasi (min al-nash la al-waqi’),
hukum Islam yang diharapkan mampu berinteraksi secara intens dengan nilai modernitas.

2
II. Maqashid Al-Syari’ah

A. Pengertian dan sejarah Maqashid Al-Syari’ah

1. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah


Ditinjau dari sisi etimologi Maqashid Al-Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu Maqashid
dan Syariah. Kata pertama, Maqashid, merupakan jamak dari kata maqshad, yaitu masdar mimi
dari kata qasada-yaqsudu-qasdhan-maqshadan yang artinya bermaksud. Menurut ibn al-
Manzhur (w.711 H), kata ini secara Bahasa dapat berarti ityan al-sya’i (mendatangkan sesuatu),
tawajjuh (mengarah), istiqmah al thariq (keteguhan pada satu jalan) dan al I’timad (sesuatu
yang menjadi tumpuan). Misalnya Allah menjelaskan jalan yang lurus dan mengajak manusia
untuk mengikuti jalan tersebut, sebagaimana terdapat pada QS. An Nahl : 9 yang berbunyi :

“Dan hak bagi Allah (menerangkan) jalan yang lurus dan diantara jalan-jalan ada yang
bengkok. Dan jikalau Dia menghendaki, tentunya Dia menunjuki kamu semuanya (kepada
jalan yang benar)”.

Disamping itu, kata ini juga bermakna al-‘adl (keadilan) dan al tawassuth ‘adam al
ifrath wal al tafrith (mengambil jalan tengah, tidak terlalu longgar dan tidak terlalu sempit),
seperti pernyataan seseorang “kamu harus berbuat qasd (adil) dalam setiap urusanmu baik
dalam berbuat dan berkata-kata”, artinya mengambil jalan tengah (al wasath) dalam dua hal
yang berbeda. Kata ini terpakai dengan arti di atas, dengan QS. Luqman : 19 yang berbunyi :

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan rendahkan suaramu. Sesungguhnya seburuk-
buruk suara ialah suara keledai”.

Demikian juga dalam hadis Nabi SAW berikut ini:

Dari Jabir bin Samurah RA, ia berkata : “aku shalat bersama Rasulullah SAW, shalat dan
khutbahnya tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek”. (HR. Muslim).
Selain dari makna diatas, ibn al-Manzhur (w.711 H) menambahkan dengan al kasr fi
ayy wajhin kana (memecahkan masalah dengan cara apapun). Misalnya pernyataan seseorang
qashadtu al ‘ud qashdan kasartuhu (aku telah menyelesaikan sebuah masalah, artinya aku
sudah pecahkan masalah itu dengan tuntas).
Ada juga yang menyatakan bahwa kata Maqashid Al-Syari’ah memiliki 3 (tiga) makna
lain yaitu :

3
1. Mendapatkan manfaat.
2. Semakin menjauh dari sifat lupa.
3. Menuju tujuan yang benar dengan menjalankan apa yang disyariatkan.

Berdasarkan makna-makna di atas dapat disimpulkan, bahwa kata al-qashd dipakaikan


untuk pencarian jalan yang lurus dan keharusan berpegang pada jalan itu. Kata al-qashd itu
juga dipakaikan untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan atau perkataan mestilah dilakukan
dengan memakai timbangan keadilan, tidak berlebihan dan tidak pula terlalu sedikit, tetapi
diharapkan mengambil jalan tengah. Pemakaian makna tidak berlebihan dan tidak terlalu
longgar dimaksudkan untuk mengkompromikan teori ulama yang kadang-kadang terlalu
tekstual dalam melihat nash dan ada juga yang terlalu longgar dalam memaknai nash. Dengan
demikian, maqashid adalah sesuatu yang dilakukan dengan penuh pertimbangan dan ditujukan
untuk mencapai sesuatu yang dapat menghantarkan seseorang kepada jalan yang lurus
(kebenaran) dan kebenaran yang didapatkan itu mestilah diyakininya serta diamalkannya
secara teguh. Selanjutnya, dengan melakukan sesuatu itu diharapkan dapat menyelesaikan
masalah yang dihadapinya dalam kondisi apapun.

Adapun kata syariah secara bahasa berasal dari syari’-yusyari’u-syar’an-fahusyari’


berarti maurid al ma’ alladzi tasyr’u dihi al-dawah (tempat air mengalir, dimana hewan minum
dari sana). Seperti dalam hadis Nabi SAW, fa asyra’a naqatahu artinya adhkalaha di syariah
al-ma’ (lalu ia memberi minum untanya artinya dia memasukkan unta itu ke dalam tempat air
mengalir). Kata ini juga berarti masyara’ah al-ma’ (tempat tumbuh dan sumber mata air), yaitu
imawrid al-syaribah allati yasyra’uha al-nas fayashrabuhu minha wa yastaquna (tempat
lewatnya orang-orang yang minum, yaitu manusia yang mengambil minuman dari sana atau
tempat mereka mengambil air). Selain itu, pada tepat lain, kata syariah ini juga biasa dipakaikan
untuk pengertian al din dan al millah (agama), al-thariqah (jalan), al minhaj (metode) dan al-
Sunnah (kebiasaan).

Pemakaian kata al syariah dengan pengertian di atas diantaranya berdasarkan firman Allah
SWT dalam QS. Al Jatsiyah : 18 yang berbunyi :

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu),
maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui”.

Juga berdasarkan QS. Al Maidah : 48 yang berbunyi :

“Bagi tiap kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang”.

4
Dan juga di dalam QS Al-Syura : 13, Allah SWT berfirman :

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama, yaitu apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh, dana apa yang telah Kami wahyukan kepadamua dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa..”.

Pemakaian kata al-syariah dengan arti tempat tumbuh dan sumber mata air bermakna
bahwa sesungguhnya air merupakan sumber kehidupan manusia, binatang dan tumbuh-
tumbuhan. Demikan pula halnya dengan agama Islam merupakan sumber kehidupan setiap
muslim, kemaslahatannya, kemajuannya, dan keselamatannya baik di dunia maupun di akhirat.
Tanpa syariah manusia tidak akan mendapatkan kebaikan, sebagaimana ia tidak mendapatkan
air untuk diminum. Oleh karena itu, syariat Islam merupakan sumber setiap kebaikan,
pengharapan, kebahagiaan, baik kehidupan di dunia maupun di akhirat.7

Menurut Ibu Taimiyah (w.728 H) secara istilah syariah berarti segala sesuatu yang
ditetapkan oleh Allah baik berupa akidah maupun amaliah.8

Menurut Ibnu Abdi Al Salam (w. 660 H) kata syariah bermakna “jalan yang lurus dan
aturan (hukum) yang diridhoi Allah bagi hambaNya.”9 Lebih ringkas, Muhammad Ali Al-
Taharawi mendefinisikan al-syariah sebagai efek perintah dalam bentuk pembebanan berupa
ubudiyyah. 10

Al-Raysumi mengatakan bahwa al-syariah bermakna ketentuan hukum Islam yang


bersifat praktis dalam bentuk konsepsi aqidah, legislasi, akhlak, maupun muamalah. Dalam
konteks Fiqh, syariah diartikan hukum-hukum yang disyariatkan Allah untuk hambaNya baik
berupa ketentuan dari Al Qur’an dan As Sunnah.

Dengan demikian Maqashid Al-Syari’ah secara Bahasa adalah upaya manusia untuk
mendapatkan solusi sempurna dan jalan yang benar berdasarkan sumber Utama ajaran Islam,
Al Qur’an dan Hadis Nabi SAW. Pengertian ini tentunya belum dapat menjelaskan hakikat dari
Maqashid Al-Syari’ah yang sebenarnya.

Adapun pengertian Maqashid Al-Syari’ah secara terminologi diberikan beragam oleh


para ulama. Oleh karena itu, pengertian secara istilahiy perlu dikemukakan di bawah ini.

Ulama yang mematangkan konsep Maqashid Al-Syari’ah , al Syatibi (w.790 H), tidak
mendefinisikan Maqashid Al-Syari’ah secara gambling. Demikian yang tergambar dari
kitbnya, al Muwafaqat, tetapi lebih menitikberatkan pada isi dari Maqashid Al-Syari’ah itu
sendiri. Demikian pula ulama-ulama klasik lainnya. Secara umum pembahasan ulama-ulama
itu sudah langsung mengacu kepada isi dari Maqashid Al-Syari’ah itu,tanpa terlebih dahulu
mendefinisikannya. Pendefinisian Maqashid Al-Syari’ah baru dilakukan oleh sebagian ulama-

5
ulama kontemporer. Namun setidaknya kajian utama dari Maqashid Al-Syari’ah atau materi-
materi yang menjadi inti dari semuanya sudah tergambar dalam beberapa ungkapan dan
pembahasan para ulama tersebut. Pada dasarnya mereka mengatakan bahwa sesungguhnya isi
Maqashid Al-Syari’ah itu adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat.

Menurut Thahir ibn ‘Asyur (w.1973M):

‫ بحيث‬،‫"مقاصد الشريعة العامة هي المعاني والحكم الملحوظة للشارع في جميع أحوال التشريع أو معظمها‬
‫ وغايتها‬،‫ أوصاف الشريعة‬:‫ فيدخل في هذا‬.‫ال تختص مالحظتها بالكون في نوع خاص من أحكام الشريعة‬
‫ضا معان من الحكم ليست ملحوظة‬ً ‫ ويدخل في هذا أي‬.‫ والمعاني التي ال يخلو التشريع عن مالحظتها‬،‫العامة‬
."‫ ولكنها ملحوظة في أنواع كثيرة منها‬،‫في سائر أنواع األحكام‬
)Makna-makna dan hikmah-hikmah yang diperhatikan dan dipelihara oleh syari’ dalam
setiap bentuk penentuan hukum-Nya. Hal ini tidak hanya belaku pada jenis-jenis hukum
tertentu sehingga masuklah dalam cakupannya segala sifat, tujuan umum, dan makna syari’at
yang terkandung dalam hukum serta masuk pula di dalamnya makna-makna hukum yang tidak
diperhatikan secara keseluruhan tetapi dijaga dalam banyak bentuk hukum).

‘Allal al-Fasi (w.1974M) memberikan definisi Maqashid Al-Syari’ah dengan: 11

."‫ واألسرار التي وضعها الشارع عند كل حكم من أحكامها‬،‫ الغاية منها‬:‫"المراد بمقاصد الشريعة‬
(tujuan syari’at dan rahasia-rahasia yang dibuat syari’ pada setiap hukum shari’at itu).

Ahmad Raisuni memaknainya sebagai “tujuan-tujuan diturunkannya syariat untuk


merealisasikan kemaslahatan hamba” 12

Adapun Manshur al-Khalifiy mendefinisikan Maqashid Al-Syari’ah sebagai al-ma’ani


(makna-makna) dan al-hikam (hikmah-hikmah) yang dikehendaki oleh syari’ dalam setiap
penetapan hukum untuk merealisasikan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. 13

Yusuf Hamid al-‘Alim mendefinisikan bahwa Maqashid Al-Syari’ah adalah “tujuan


yang hendak dicapai oleh ketentuan hukum Islam dan rahasia-rahasia yang dihendaki oleh
pembuat syari’ah yang Maha Bijaksana, Allah”.

Muhammad bin Sa’ad Al-Yubi mendefinisikannya dengan “makna-makna dan rahasia-


rahasia yang mendapatkan perhatian al-syari’ dalam pensyariatan hukum secara umum atau
khusus untuk mewujudkan kemaslahatan hamba” 15

Mustafa bin Karamatullah Makhdum dalam kitabnya Qawaid Al-Wasa’il fi al Syari’ah


Al Islamiyah memberikan defenisinya sebagai “kemaslahatan-kemaslahatanyang dijadikan
pertimbangan al-Syari’ dalam pensyariatan hukum”. 16

Nuruddin bin Muchtar al-Khadimi mengatakan:

6
ً ‫ والمترتبة عليها سواء أكانت تلك المعاني حكما‬،‫"المقاصد هي المعاني الملحوظة في األحكام الشرعية‬
‫ هو تقرير عبودية الله ومصلحة‬،‫جزئية أم مصالح كلية ام سمات إجمالية وهي تتجمع ضمن هدف واحد‬
."‫اإلنسان في الدارين‬
)bahwa Maqashid Al-Syari’ah adalah makna-makna yang termuat dalam hukum, baik berupa
hikmah-hikmah yang bersifat juz’i ataupun kulliy yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama
yaitu kemaslahatan manusia di dunia maupun di akhirat(.17

Sedangkan Yusuf Al-Qardhawi mendefinisikan Maqashid Al-Syari’ah sebagai tujuan


yang menjadi target teks dan hukum-hukum particular untuk direalisasikan dalam kehidupan
manusia, baik berupa perintah, larangan, dan mubah.

Ulama Ushul Fiqh mendefinisikan Maqashid Al-Syari’ah dengan makna dan tujuan
yang dikehendaki syara’ dalma mensyari’atkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia.
Maqashid Al-Syari’ah di kalangan ulama ushul fiqih disebut juga asrar al-syari’ah, yaitu
rahasia-rahasia yang terdapat di balik hukum yang ditetapkan oleh syara’, berupa kemaslahtan
bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat.18

Al-Khadimi menggarisbawahi beberapa komponen besar yang harus ada dalam


Maqashid Al-Syari’ah yaitu : (1) harus mengandung tujuan dan rahasia yang hendak dicapai ;
(2) hukum syari’at ; (3) semua tujuan dan rahasia yang dikehendaki harus bermuara pada nilai
ketaatan atau ’ubudiyah kepada Allah; (4) tujuan dan rahasia itu berupa maslahat bagi manusia
di dunia dan akhirat”.

Adapun definisi yang dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhaili sebagai berikut :19

‫ أو الغاية من الشريعة واألسرار التي‬،‫"المعاني واألهداف الملحوظة للشرع في جميع أحكامه أو معظمها‬
."‫وضعها الشارع عند كل حكم من أحكامها‬
)Maqashid Al-Syari’ah adalah makna-makna dan tujuan yang dapat dipahami/dicatat pada
setiap hukum untuk mengagungkan hukum itu sendiri, atau bisa didefinisikan dengan tujuan
akhir dari syariat Islam dan rahasia-rahasia yang ditetapkan oleh al- syari’ pada setiap hukum
yang ditetapkan-Nya(.

Wahbah al-Zuhaili menetapkan syarat-syarat Maqashid Al-Syari’ah. Menurutnya,


bahwa sesuatu baru dapat dikatakan sebagai Maqashid Al-Syari’ah apabila memenuhi empat
syarat sebagai berikut, yaitu:20

1. Harus bersifat tetap, maksudnya makna-makna yang dimaksudkan itu harus bersifat
pasti datau diduga kuat mendekati kepastian.
2. Harus jelas, sehingga para fuqaha tidak akan berbeda dalam penetapan makna tersebut.
Sebagai contoh, memelihara keturunan yang merupakan tujuan disyariatkannya
perkawinan.
3. Harus terukur, maksudnya makna itu harus mempunyai ukuran datau batasan yang jelas
yang tidak diragukan lagi. Seperti menjaga akal yang merupakan tujuan pengharaman
khamr dan ukuran yang ditetapkan adalah kemabukan.

7
4. Berlaku umum, artinya makna itu tidak akan berbeda karena perbedaan waktu dan
tempat. Seperti sifat Islam dan kemampuan untuk memberikan nafkah sebagai
persyaratan kafa’ah dalam perkawinan menurut mazhab Maliki.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Maqashid Al-Syari’ah


itu adalah rahasia-rahasia dan tujuan akhir yang hendak diwujudkan oleh al syari’ dalam setiap
hukum yang ditetapkan-Nya, dan dengan mengetahui yang demikian akan sangat berguna bagi
mujtahid dan juga bagi orang-orang yang tidak mencapai derajat mujtahid. Bagi mujtahid,
pengetahuan terhadap Maqashid Al-Syari’ah akan membantu mereka dalam mengistinbathkan
hukum secara benar dan sebagai ilmu yang penting untuk memahami teks-teks ayat Al Qur’an
dan Hadis Nabi SAW. Adapun bagi orang lain diharapkan mampu memahami rahasia-rahasia
penetapan hukum dalam Islam sehingga akan memotivasi mereka dalam melaksanakan hukum
itu sendiri.

Menyimak keterangan di atas, terdapat hubungan antara makna bahasa dengan istilah.
Apabila dihubungkan dengan pengertian secara bahasa, Maqashid Al-Syari’ah merupakan
istiqamah al-thariq dan al-i’timad (berpegang teguh pada satu jalan) dan al-syari’ (Allah SWT)
pun menghendaki untuk merealisasikanya. Sesungguhnya Al-Syari’ (Allah SWT) telah
menjadikannya sebagai al-kasr fii ayy wajhin kana (menyelesaikan masalah dengan cara
apapun) tetapi berpegang teguh pada prinsip al-‘adl wa al-tawassuth’adam al-ifrath wa al-
tafrith (mengambil sikap pertengahan dan tidak berlebihan). Dengan demikian, Maqashid Al-
Syari’ah merupakan tujuan dan kiblat dari hukum syara’, dimana semau mujtahid harus
menghadapkan perhatiannya ke sana.

Berbicara tentang tujuan akhir dan rahasia-rahasia yang hendak diwujudkan dalam
Maqashid Al-Syari’ah, Yusuf Hamid al-‘Alim menambahkan bahwa tujuan syari’ (Allah
SWT) dalam menetapkan hukum adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat,
baik dengan cara mewujudkan manfaat atau dengan cara menolak segala bentuk mafsadat. 21
Sejalan dengan itu, dalam salah satu pernyataannya ibn Taimiyah (w.728 H) juga telah
mengatakan bahwa sebagai sebuah hukum yang dikehendaki oleh Allah SWT, baik dalam
bentuk perintah maupun larangan, ada dua tujuan yang hendak diwujudkan yaitu untuk
pengabdian kepada-Nya dan untuk merealisasikan kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat.22

Bertitik tolak dari keterangan di atas, Maqashid Al-Syari’ah adalah tujuan akhir (al-
ghayah) yang dikehendaki oleh syari’ untuk merealisasikan kemaslahatan manusia. Kajian
yang mendalam dan menyeluruh terhadap ketetapan hukum dalam Al Qur’an dan Sunnah telah
membawa kepada suatu kesimpulan, bahwa secara umum ketetapan Allah SWT dan Rasul-
Nya tidak ada yang sia-sia dan tanpa tujuan apa-apa, yaitu mengarah kepada kemaslahatan,
baik kepada kemaslhatan umum maupun khusus. Walaupun demikian, secara khusus terkadang
sulit untuk menemukan kemaslahatan dari sebuah penetapan hukum. Misalnya larangan Nabi
SAW memakai emas dan sutera bagi laki-laki.23 Apabila dihubungkan dengan ketentuan
larangan secara umum, tentunya apa saja yang dilarang akan menyebabkan mafsadah bagi
orang yang melanggarnya. Akan tetapi, pada larangan bagi laki-laki memakai emas dan sutera
sepertinya tidak akan menimbulkan mafsadah apabila dilanggar. Sebab apabila menimbulkan

8
mafsadah bagi laki-laki, tentu saja bagi perempuan juga akan menimbulkan mafsadah yang
sama pula. Namun seperti yang dikatakan oleh ibn Taimiyah (w.728 H), terkadang tujuan
syari’ itu tidak hanya untuk kemaslahatan manusia tetapi sebagai sebuah ujian (al-ibtila’ wa
al-imtihan) untuk menguji kepatuhan seorang hamba.24

Secara umum, jika ada orang Islam yang bertanya kenapa Allah SWT mewajibkan
shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, zakat, haji, menghadirkan saksi dalam
pernikahan, menuliskan transaksi hutang piutang, memotong tangan pencuri, mencabuk orang
yang berzina, dan sebagainya, maka hal itu tentu mempunyai tujuan yang hendak diwujudkan
untuk kemaslahatan hidup manusia itu sendiri, baik di dunia maupun akhirat nanti. Walaupun
sebagian tujuan itu terkadang tidak diketahui oleh manusia, setidaknya dengan melaksanakan
hukum yang ditetapkan oleh syari’ seseorang ingin membuktikan pengabdian kepada-Nya.
Pengetahuan terhadap tujuan dalam bentuk rahasia-rahasia hukum (asrar al-ahkam) pada
materi-materi hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT, dikenal di kalangan uama dengan
istilah hikmah. Istilah ini berbeda denga ‘illat (alasan) yang menyebabkan ditetapkannya suatu
hukum. Pembicaraan tentang hikmah di satu sisi dan ‘illat di sisi lain merupakan kesatuan yang
tak terpisahkan dari kajian Maqashid Al-Syari’ah.

Lebih lanjut ibn Mukhtar al-Khadimiy mencontohkan dengan pensyariatan jual beli
yang ditujukan untuk menciptakan kemaslahatan, yaitu mendapatkan kemanfaatan dari proses
melakukan tuka menukar benda. Maslahah yang dilahirkan dari jual beli menurutnya
merupakan kemaslahatan yang hakiki, karena terjadinya pemindahan hak milik dari seseorang
kepada orang lain secara sah sehingga keduanya dapat menikmatinya secara halal. Hal ini
tentunya berbeda dengan riba, yang walaupun menghasilkan maslahah tetapi hanya untuk
kalangan tertentu saja, yaitu bagi si pelaku riba. Itulah sebabnya Allah SWT menyatakan
“perang” terhadap pelaku riba dan menurunkan aturan yang menghapuskan transaksi
tersebut.25

Munculnya teori Maqashid Al-Syari’ah tentu saja tidak lahir begitu saja, tetapi diilhami
oleh dalil-dalil berupa ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi SAW. Terdapat kesulitan untuk
menentukan ayat atau hadis mana yang melandasi teori Maqashid Al-Syari’ah ini secara
langsung karena tidak satupun ayat ataupun hadis yang menyatakan secara jelas tentang itu.
Namun, seperti diakui oleh al-Khadimiy, bahwa indikasi dalil untuk mengatakan bahwa
maslahah merupakan tujuan dari Maqashid Al-Syari’ah ini sangat banyak dan tidak terbatas
jumlahnya. Dalil-dalil yang mengindikasikan kepada masalah tersebut terdapat dalam Al
Qur’an, Sunnah, Ijma’, sahabat, pendapat para tabi’in dan seluruh mujtahid. Dalam berbagai
dalil tersebut disinyalir bahwa ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam hukum-hukum yang
ditetapkan pada dasarnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan sebagai perwujudan dari
Maqashid Al-Syari’ah . Seluruh penetapan hukum itu menghendaki terealisasinya hal-hal yang
membawa manfaat dan kebaikan kepada manusia, dan sebaliknya menghindarkan manusia dari
hal-hal yang membahayakan dan merusak dirinya.26

Dalam pandangan beberapa pakar, termasuk kontemporer, definisi Maqashid Al-


Syari’ah mengalami pergeseran makna dan orientasi dengan melibatkan sosial sciences, filsafat
hukum, dan lebih bercorak neo-antroposentris daripada neo-sentris. Wahbah al-Zuhaili

9
memberikan definisi yang lain tentang Maqashid Al-Syari’ah denga nilai-nilai dan sasaran
hukum yang tersirat. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia
syariat yang ditetapkan oleh Allah SWT.27 Tawaran lainnya tentang pemaknaan Maqashid Al-
Syari’ah dengan pencarian nilai-nilai universal berasal dari Abdullah Saeed dengan teori
kontekstual dan ethico-legalnya.

Yasser Auda menambahkan bahwa Maqashid Al-Syari’ah adalah wisdom behind ruling
(rahasia-rahasia dibalik ketentuan hukum) dalam bingkai prinsip moralitas (morality),
universalitas (universality), keadilan sosial (sosial justice), kemanusiaan (humanity), hak asasi
manusia (human rights) dalam rangka memberikan jawaban atas berbagai persoalan yang
dihadapi, baik oleh Komunitas Muslim maupun Non-Muslim.28

Maqashid Al-Syari’ah memiliki beragam padanan kata. Al-Syatibi sering


menggunakan berbagai istilah seperti kata maqashid al-syariah (tujuan-tujuan hukum), al-
maqashid al-syari’yyah fii al-syari’ah (tujuan hukum yang terdapat dalam hukum syariah) dan
maqashid min syari’ al-hukm (tujuan disyariatkannya hukum Islam).29

III. Sejarah Maqashid Al-Syari’ah

Muhammad Sa’ad al-Yubi dalam bukunya Maqashid al-syari’ah al-Islamiyah wa


alaqatuha bi al-abdillah al-syari’yah menyebutkan bahwa Maqashid Al-Syari’ah sebagaimana
juga bidang ilmu-ilmu syari’ lainnya tidak langsung menjadi satu bidang ilmu yang mandiri
melainkan melalui beberapa fase sampai kepada fase terkodifikasinya Maqashid Al-Syari’ah
menjadi sebuah bidang ilmu seperti sekarang ini (‘ilmu mustaqil). 30 Setidaknya terdapat tiga
fase dalam perkembangan; Pertama, fase Maqashid Al-Syari’ah belum dibicarakan dalam
pembahasan tersendiri. Kedua, fase Maqashid Al-Syari’ah telah dibicarakan terpisah dari
bahasan usul fikih lainnya. Ketiga, fase Maqashid Al-Syari’ah dibicarakan dalam kitab
tersendiri.31

a. Periode Pertama, Maqashid Al-Syari’ah belum dibicarakan dalam pembahasan tersendiri

Maqashid Al-Syari’ah sebenarnya sudah ada sejak nash Al Qur’an diturunkan dan
Hadis disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW karena Maqashid Al-Syari’ah pada dasarnya
tidak pernah meninggalkan nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti yang tercermin dalam
ayat “wa ma arsalnaaka illa Rahmatan lil ‘Alamin (QS. Al Anbiya’ : 107).

Perkembangan Maqashid Al-Syari’ah bersamaan dengan perkembangan hukum Islam,


Maqashid Al-Syari’ah muncul bersama dengan turunnya Wahyu. Dalam Al Qur’an dan Sunnah
terdapat dimensi hukum yang memuat Maqashid Al-Syari’ah akan tetapi belum terkodifikasi
dan belum menjadi sebuah bidang ilmu.32

Al Qur’an dan Sunnah banyak menjelaskan tentang Maqashid Al-Syari’ah.33 Diantara


ayat al Qur’an yang menjelaskan tentang Maqashid Al-Syari’ah adalah:

 QS. Al Baqarah : 185

10
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.34
 QS. Al Ma’idah : 6

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur”.35
 QS. Al Hajj : 78

“dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.36
Diantara hadis yang menyebutkan mengenai Maqashid Al-Syari’ah antara lain:
 Hadis Riwayat Bukhari

“sesungguhnya kamu dibangkitkan dalam kondisi mudah dan kamu tidak dibangkitkan
dalam kondisi sulit”.37
 Hadis riwayat Ibnu Majah

“Allah telah menghilangkan kesulitan”.38

 Hadis riwayat Malik


"‫"ال ضرر وال ضرار‬
“tidak boleh melakukan perbuatan yang berbahaya dan membahayakan”.39

Penelaahan terhadap Maqashid Al-Syari’ah mulai mendapat perhatian intensif pada


masa sahabat dan tabi’in. pada masa ini penggunaan Maqashid Al-Syari’ah terlihat pada
penggunaan qiyas, rasio, urf dan mashlahah. 40 Pada masanya para sahabat dihadapkan kepada
berbagai persoalan baru dan perubahan sosial yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah
SAW. Hal ini menuntut kreativitas para sahabat untuk memecahkan persoalan baru yang
muncul akibat perubahan sosial itu. Kreativitas para sahabat itu juga dituntut untuk melakukan
penelaahan terhadap Maqashid Al-Syari’ah sebagai upaya melakukan terobosan-terobosan
hukum untuk mengantisipasi perubahan social yang terjadi.41

11
Salah satu contoh penerapan muqashid dikalangan sahabat adalah tentang pengucapan
talak tiga sekaligus dihukum jatuh tiga. Pada masa Nabi SAW, dan masa Abu Bakar r.a. dan
di awal pemerintahan Umar Ibn al Khatab r.a. penjatuhan thalaq tiga sekaligus dihitung satu.
Setelah melihat adanya perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat waktu itu, Umar
Ibn al Khatab r.a. memutuskan bahwa penjatuhan thalaq tiga sekaligus itu dianggap jatuh tiga.42
Keputusan Umar Ibn al Khatab r.a. ini adalah untuk menutup peluang terjadinya tindakan
semena-mena para suami yang waktu itu sering kali berbuat sewenang-wenang menjatuhkan
thalaq pada isteri-isteri mereka. Selain itu juga untuk menjaga eksistensi fungsi thalaq itu
sendiri dan mengembalikan fungsi yang sebenarnya. Hasil dari keputusan itu menampakkan
bahwa thalaq sebagai hak suami tidak diselewengkan sebagai alat menganiaya isteri.
Pertimbangan maqashid al-syari’ah terlihat dalam ijtihad yang dilakukan Umar Ibn al Khatab
r.a. di atas.43 Oleh karena itu ijtihad Umar Ibn al Khatab r.a. ini sesuai dengan adagium fikih
yang menyatakan bahwa “Perubahan suatu fatwa tergantung kepada perubahan zaman,
keadaan, dan kebiasaan masyarakat itu”.44

Masa penggunaan maqashid al-syari’ah seperti ini berlanjut sampai pada masa imam
mazhab yang empat, yakni Abu Hanifah (w. 150 H), Malik (w. 179 H), Syafi’I (w. 204 H) dan
Ahmad bin Hambal (w. 241H). Pada masa imam mazhab ini terdapat kajian ushul mereka
sebagai dasar ijtihad yang sangat berkaitan dengan maqashid sepert istishlah, istihsan, qiyas
dan lain sebagainya.45

b. Periode Ke-Dua, maqashid al-syari’ah Dibahas Secara Terpisah Dari Pembahasan Ushul
Fikih Yang Lain

Maqashid al-syari’ah dibahas secara terpisah dimulai pada abad ke IV H dan


seterusnya. Pada abad ini maqashid syariah merupakan ruh dari semangat penegakan syari’at
islam. Meski demikian tidak banyak catatan sejarah yang merekam kapan pastinya istilah ini
untuk pertama kali diistilahkan. Menurut Raisuni,46 kata al-maqashid pertama kali digunakan
oleh Al-Tirmidzi Al-Hakim (w. 320H), melalui buku-bukunya, al-Shalat wa Maqashiduha, Al-
Hajj wa Asraruh, Al-‘Illah, ‘Ilal Al-Syari’ah, ‘Ilal Al-‘Ubudiyyah dan Al-Furuq. Yang
kemudian disalin oleh Imam al-Qarafi menjadi judul kitab karangannya.

Tapi jika kita menulusuri karangan-karangan yang sudah memuat tentang maqashid al-
syari’ah, maka akan menemukannya jauh sebelum Al-Tarmidzi. Karena Imam Malik (w.
179H) dalam Muwattha’nya sudah menuliskan riwayat yang menunjuk pada kasus penggunaan
maqashid pada masa sahabat. Kemudian setelah itu diikuti oleh Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam
karyanya yang sangat popular Al-Risalah, dimana dia telah menyinggung pembahasan ta’lil
al-ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum), sebagian maqashid kulliyyah seperti hifzhu
al-nafsdan hifzhu al-mal, yang merupakan cikal bakal bagi tema-tema ilmu maqashid. Setelah
Imam Syafi’i, muncul Al-Hakim Al-Tirmidzi, kemudian muncul Abu Mansur Al-Maturidi (w.
333H) dengan karyanya Ma’khad Al-Syara’ disusul Abu Bakar Muhammad Al-Qaffal Al-
Syasyi Al-Kabir (w. 365H) dengan bukunya Ushul Al-Fiqh dan Mahasin Al-Syari’ah yang
mencoba membahas alasan-alasan dan hikmah hukum supaya lebih mudah dipahami dan
diterima oleh manusia. Setelah Al-Qaffal muncul Abu Bakar Al-Abhari (w. 375H) dengan
karyanya Mas’alah Al-Jawab wa Al-Dalail wa Al-‘Illah dan Al-Taqrib wa Al-Irsyad fiTartib

12
Thuruq Al-Ijtihad. Setelah al-Abhari muncul Al-Baqillany (w. 403H) dengan karyanya Kitab
al-Bayan ‘an Faraidh al-Din wa Syara’I al-Islam. 47 Kemudian datang setelahnya Al-Syaikh
Al-Shaduq (w. 381H) dengan kitabnya Ilalu Al-Syarai’ wa Al-Ahkam, yang mengumpulkan
riwayat-riwayat tentang ta’lilu al-ahkam dari ulama-ulama Syi’ah, dan Al-‘Amiri (w. 381H)
dalam kitabnya Al-I’lam bi Manaqibi Al-Islam, meskipun kitab ini membahas tentang
perbandingan agama, namun ia menyinggung tentang Dharuriyyat Al-Khams (lima hal pokok
yang dijaga ; dalam agama, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta) yang
merupakan tema pokok dalam ilmu maqashid al-syari’ah.

Dalam perkembangan selanjutnya muncul Imam Al-Haramain Al-Juwaini Abu Al-


Ma’ali Abdul Malik bin Abdul Malik (w. 478H), Al-Yubi menyebutkan bahwa Imam Al-
Haramain merupakan ulama pertama yang menulis tentang kaidah maqashid dan
pembagiannya dalam kitabnya Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh, Al-Haramain menyinggung
berulang kali tentang dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat, yang juga menjadi tema pokok dalam
ilmu Maqashid.48 Kemudian datang Imam Al-Ghazali (w. 505 H) dalam karyanya Ushul Al-
Fiqh dan Syifa’ Al Gholil fi Bayan Al-Syubah wa Al-Mustashfa fi yang membahas beberpa
metode untuk mengetahui maqashid, dan menawarkan cara untuk menjaga maqashid al-
syari’ah dari sisi al-wujud (yang mengokohkan eksistensinya) dan al-’adam (menjaga hal-hal
yang bisa merusak maupun menggagalkannya).49 Kemudian Imam Al-Razi (w. 606H) dengan
karyanya al-Mahsul, lalu Imam Al-Amidi (w. 631 H) dengan karyanya al-Ihkam fi Ushul al-
Ahkam, dan ‘Izzuddin bin’Abd Al-Salam (w. 660 H) dengan karyanya Qawa’id al-Ahkam fi
Mashalih al-Anam al Fawaid fi Ikhtishar al-Maqashid, kemudian Al-Qarafi (w. 684 H) dengan
karyanya al-Furuq, Al-Thufi (w. 716 H), Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), Ibnu Al-Qayyim Al-
Jauziyyah (w. 751 H), baru setelah itu disusul oleh Imam Al-Syatibi.50

Substansi pembahasan maqashid al-syari’ah ini kemudian mulai menjadi semakin


berkembang dan mulai menjadi bahasan sendiri pada abad ke-5 Hjriyah. Imam al-Juwaini
Imam al Haramain Abu al-Ma’ali Abd al Malik ibn Abd al Malik ibn Abdullah ibn Yusuf al
Juwaini dapat dikatakan sebagai ulama ushul yang pertama kali meletakkan dasar kajian
tentang maqashid al-syari’ah ini. Imam al-Juwaini mengatakan orang-orang yang tidak
mampu memahami dengan baik tujuan Allah dalam memberikan perintah dan larangan-Nya,
ia belum dipandang mampu dalam menetapkan atau melakukan istinbath hukum-hukum
Syari’at. 51

Kemudian Al-Juwaini mengelaborasi lebih jauh maqashid al-syari’ah itu dalam


hubungannya dengan illat. Dalam kitabnya, Al-Burhan fi Ushul Fiqh, beliau menerangkan
tentang istinbath hukum dengan mencocokkan realita yang terjadi tidak hanya mencari
kesesuaian kaidah-kaidah dengan furu’nya sebagaimana imam-imam sebelumnya. Sesuatu
yang dikuatkan oleh akal dan mempunyai dalil, maka itu adalah al-ashl. Imam Al-Haramain
menyebutkan lafaz al-maqashid, al-maqshud, dan al-qashdu sebanyak 10 kali dalam kitabnya
Al-Burhan.52 Imam Al-Haramain merupakan pemimpin dalam hal nazahariyah al-maqashid
karena Imam Al-Haramain telah lebih dulu memaparkan pembagian maqashid al-syari’ah
dengan mengenalkan istilah dharuriyat, hajiyat, dan tahsinniyat dalam penetapan suatu hukum
beserta persyartannya. Pemikiran Imam Al-Juwaini ini selanjutnya dikembangkan oleh al

13
Ghazali. Bagi al Ghazali memahami maqashid al-syari’ah berkaitan dengan pembahasan
tentang masalik al-Munasabah yang terdapat masalil al-Ta’lil.53

c. Periode Ke-Tiga, maqashid al-syari’ah Dibahas Dalam Suatu Kitab Tersendiri

Menurut al-Yubi penulisan maqashid secara tersendiri dalam sebuah buku diawali oleh
Izz al-Din Ibn abd al-Salam dengan bukunya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih fi al-An’am al
Fawaid fi Ikhtishari Al Maqashid dan dilanjutkan oleh Imam al-Syathibi dengan bukunya al-
Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’ah. Setelah al-Syathibi muncul ulama-ulama kontemporer Syaikh
Thahir Al-Jazairi (w. 1338H) dalam Maqashid Al Syari’, setelah itu Thahir Ibn ‘Asyur (w.
1343H) dengan bukunya Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah dan Allal al-Fasi (w. 1394H)
dengan bukunya Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah wa makarimuha. 54

Apa yang ditulis oleh Imam Al-Syatibi sebenarnya melanjutkan apa yang telah dibahas
oleh ulama-ulama sebelumnya, apa yang dilakukan oleh Imam Al-Syatibi bisa menarik
perhatian banyak pihak karena ia mengumpulkan persoalan-persoalan yang tercecer dan
dibahas sepotong-sepotong oleh orang-orang sebelumnya menjadi sebuah pembahasan
tersendiri diman ia mengkhususkan pembahasan mengenai maqashid ini satu juz (yaitu juz dua)
dari empat juz isi kitabnya. Ia juga mengembangkan dan memperluas apa yang telah dibahas
oleh ulama-ulama sebelumnya mengenai maqashid, juga menyusunnya secara urut dan
sistematis seperti sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri sehingga lebih mudah untuk
dipelajari. Hal inilah yang menjadi kontribusi signifikan Imam al-Syatibi dalam ilmu maqashid
al-syari’ah serta membri inspirasi banyak orang untuk membahas maqashid al-syari’ah ini
lebih jauh hingga Ibnu ‘Asyur (w.1393 H) pada akhirnya mempromosikan maqashid al-
syari’ah ini sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

Berdasarkan pelacakan historis, dapat diketahui bahwa perumus pertama konsep


maqashid al-syari’ah adalah Abu Mansur al-Maturidi. Sedangkan perumus komposisi dan
stratifikasi maqashid al-syari’ah pertama kali disampaikan oleh Imam al-Haramain Al-Juwaini
sebagaimana yang termaksud dalam kitabnya. Al-Burhan fi Usul al-Fiqh. Beliau sendiri tidak
menyebutnya sebagai maqashid al-syari’ah tetapi lebih kepada ‘illat hukum. Memasuki
periode IBnu Taimiyah, nampaknya konsep maqashid al-syari’ah masih belum merupakan
konsep yang sistemik walau telah mempertegas bahwa kemaslahatan menjadi tujuan akhir
suatu hukum. Oleh karena itu, konsep atau teori maqashid al-syari’ah secara sistemik adalah
apa yang dikemukakan oleh Imam al-Syatibi dalam karya monumentalny, Al-Muwafaqat fi
Ushul Al-Syari’ah.

Bagi al-Syatibi memahami maqashid al-syari’ah sangat urgen untuk dilakukan ketika
seorang ulama mujtahid ingin melakukan istinbath hukum. Karena dengan memahami
maqashid al-syari’ah ia akan dapat mengetahui apa tujuan Allah menetapkan hukum-
hukumNya. Oleh karena itu, al-Syatibi menekankan keberhasilan penggalian hukum syara’
secara optimal bagi seorang mujtahid tergantun pada pemahaman maqashid al-syari’ah.55

Kitab-kitab yang membahas maqashid al-syari’ah antara lain: Al-Burhan fi Ushul Fiqh
karya Imam Al-Haramain Al-Juwaini (w.478 H/1085 M), Al-Mustashfa, Al-Mankhul dan Syifa
al-Ghalil karya Abu Hamid Al-Ghazali (w.505 H/1111 M), Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam karya

14
Saif al-Din Al-Amidi (w.631 H/1223 M), Al-Qawa’id Kubra dan Al-Qawa’id Sughra atau Al-
Fawa’id fi Ikhtishari al-Maqashid karya Sulthan Al-Ulama Al-Izz Al-Din Ibn Abd Al-Salam
(w.660 H/1261M), Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah karya Taqiyuddin Ibn Taimiyah (w.728
H/1327 M), I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-Alamin karya Ibn (w.751 H/1355 M) dan Al-
Muwafaqat karya Al-Syatibi (w.790 H/1388 M). Syaikh Thahir bin ‘Asyur (w.1393 H/1973
M) yang menulis buku dengan judul Maqashid Al-Syari’ah Al-Islamiyah dan Syaikh ‘Allal Al-
Fasi (w.1974 M) yang menyusun buku Maqashid Al-Syari’ah Al-Islamiyah Wa Makarimuha.56

IV. Klasifikasi Maqashid al-Shari’ah

a. Maqashid al-Shari’ah dari segi kekuatan hukum

Para maqashidiyyun sepakat bahwa maksud dan tujuan syari’at memiliki hirarki yang
menunjukkan tingkatan penekanan yang berbeda satu dan lainnya.57 Hal ini disebabkan karena
ada tujuan syari’at yang secara mutawatir telah disebutkan dalam teks (Al-Qur’an dan Sunnah)
sehingga ketentuan hukumnya bersifat pasti (qat’i al-dalalah) dan ada pula yang disebutkan
dalam nash tetapi tidak secara eksplisit atau tidak sampai derajat mutawatir. Menanggapi yang
kedua ini para maqashidiyyun masih bisa menerima sebagai maqashid al shari’ah yang bersifat
qat’i. Di samping itu, ada pula tujuan syari’at yang tidak disebutkan dalam nash secara
eksplisit. Para maqashidiyyun berbeda pendapat tentang sah tidaknya sebagai maqashid al
shari’ah. Dari segi kekuatan hukum, para maqashidiyyun membagi maqashid al shari’ah
menjadi tiga bagian, yaitu: (1) al-maqashid al-qat’iyyah; (2) al-maqashid al-zanniyyah; dan
(3) al-maqashid al-wahmiyyah.

Pertama, al-maqashid al-qat’iyyah adalah jenis maqashid yang secara qat’i dan
mutawatir telah disebutkan dalam Al-Qur’an atau hadis sehingga menjadi pengetahuan yang
yakin (fi al-dhihn al-yaqin) bahwa maksud yang termaktub dalam nash dalam bilangan yang
banyak adalah apa yang dikehendaki shar’i, seperti dalam surat al-Baqarah, ayat 185:

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu”.

dan surat al-Hajj, ayat 78:

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan suatu kesempatan untuk kamu dalam urusan agama”.

dan beberapa ayat lainnya yang semakna. Ini menunjukkan bahwa maqashid dari kedua ayat
tersebut adalah menghilangkan kesulitan (raf’u al-haraj) meskipun tanpa melalui penelitian
yang mendalam.

Pada kasus lain, cara penetapan maqashid juga bisa ditemukan dalam ayat itu sendiri
seperti dalam surat al-Baqarah, ayat 179:

15
“Dan dalam qisas ada jaminan kelangsungan hidup bagimu”.

Bisa diyakini bahwa maksud di balik hukum qisas adalah “menjaga keberlangsungan
hidup “ (hifz al-hayyah). Dengan demikian, kandungan maksud syari’at yang tertera secara
eksplisit dalam teks tidak lagi memerlukan klasifikasi apakah dia ‘am (umum) atauh khas
(khusus).58 Contoh lain dari maksud syari’at yang telah disebutkan secara jelas dalam nash itu
sendiri adalah sebagaimana dalam surat al-’Ankabut, ayat 45:

“Sesungguhnya salat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”.

Kedua, al-maqashid al-zanniyyah yaitu maksud syari’at yang termaktub dalam nash
baik dalam Al-Qur’an maupun hadis akan tetapi tidak sampai pada derajat mutawatir dan bisa
digali melalui pencarian ‘illah atau istiqra. Contoh maqashid kategori ini adalah ketika Allah
melarang adanya monopoli dan menimbun harta, maka Allah mensyari’atkan adanya jual-beli,
mempermudah akad jual beli, perintah menafkahkan sebagian harta. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa “agar supaya tidak ada sentralitas peredaran kekayaan pada kelompok
tertentu” adalah sebagai maksud (maqashid) dari ketentuan hukum yang berkaitan dengan harta
dan kekayaan. Karena penyebutan maksud dalam beberapa perintah di atas tidak secara jelas,
maka maqashid yang terkandung bersifat zann (dugaan). akan tetapi para maqashidiyyun
sepakat bahwa status zann yang dilakukan berdasarkan ilmu pengetahuan yang cukup dianggap
sebagai hal yang bisa diterima sebagai bentuk pemahaman terhadap hukum Islam dan
beristinbat melalui proses ijtihad.59

Ketiga, al-maqashid al-wahmiyyah adalah pencarian maksud syari’at melalui akal atau
sering disebut dengan maqashid ilusif. Di samping tidak ada ketentuan yang jelas dalam nash
dan bahkan bertentangan dengan kehendak nash, maqashid kategori ini juga digali melalui
prinsip al-taysir (kemudahan) yang berlebihan sehingga nilai bahayanya lebih besar dibanding
manfaatnya (……………………………….). Contoh, mengambil nilai manfaat atau maslahah
dari khamer dan memperbolehkan meminum khamer untuk menghangatkan badan. Penetapan
maslahah semacam ini di samping bertentangan dengan akal sehat juga sangat bertolak
belakang dari maksud nash, sehingga para ulama maqashidiyyun sepakat tidak bisa
menerimanya sebagai dasar dalam hukum Islam atau dengan memberi sebutan
…………………… 60

b. Maqashid al-shari’ah dari segi orientasi atau objek

Di dalam hukum syari’at, ada banyak ketentuan yang secara langsung berkaitan dengan
semua sendi kehidupan manusia yang bersifat hirarkhi (……………………………..…..).
Sama halnya dalam menentukan orientasi maslahah dalam hukum Islah, juga terdapat hirarkhi
yang sekaligus menunjukkan skala prioritas atau imam al-Juwayni (w. 478 H/1085 M)

16
menyebutnya dengan maratib al-maqashid (hirarkhi tujuan). Nur al-Din Mukhtar al-Khadimi
membagi maqashid kategori ini menjadi dua, yaitu al-maqashid al-kuliyyah (tujuan universal)
dan al-maqashid al-juziyyah (tujuan parsial).61 Sedangkan ‘Abd Majid al-Najjar membaginya
menjadi tiga, yaitu: (1) al-maqashid al-kuliyyah; (2) al-maqashid al-naw’iiyyah; (3) al-
maqashid al-juziyyah.62

Pertama, al-maqashid al-kuliyyah adalah maqashid yang memiliki cakupan maslahah


dalam skala makro sehingga untuk merealisasikannya memerlukan upaya keras dan
berkesinambungan dari skop yang paling tendah sampai yang paling tinggi. Contohnya adalah
maqashid dari mereaslisasikan sistem kepemerintahan di muka bumi, prinsip kemudahan (al-
taysir) dan menghilangkan kesulitan (raf’u al’haraj), tujuan menjaga institusi umat. Dengan
merealisasikan tujuan syari’at secara makro (kuliyyah), menurut ‘Allal al-Fasi, maka secara
otomatis telah menjaga dan merealisasikan tujuan syari’at secara mikro (juziyyah).63

Kedua, al-maqashid al-naw’iiyyah adalah sejumlah ketetuan hukum syari’at yang


dimaksudkan untuk mencapai satu tujuan, seperti sejumlah ketentuan hukum syari’at yang
berhubungan dengan hukum keluarga bertujuan untuk semakin memperkuat dan menjaga
ikatan kekeluargaan (………………………….………….). Contoh lain adalah sekumpulan
hukum Islam ang berhubungan dengan al-mu’amalat al-maliyyah adalah dimaksudkan untuk
merealisasikan hifz al-mal (menjaga harta). Al-maqashid al-naw’iyyah juga sering disebut
dengan al-maqashid al-khassah (tujuan khusus).

Ketiga, al-maqashid al-juziyyah adalah tujuan yang hendak dicapai melalui satu
ketentuan hukum secara khusus. Contoh, tujuan dari perintah wudhu adalah untuk mensucikan.
Tujuan ini secara langsung dinyatakan dalam satu tempat (ayat) dengan melakukan suatu
perintah tertentu, seperti dalam surat al-Ma’idah, ayat 6:

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak mensucikan kamu”.

Contoh lain adalah tentang larangan Allah berupa “judi” dan “minum khamer”. Tujuan
dari larangan ini secara spesifik disebutkan yakni menghindari fitnah dan permusuhan akibat
jui dan khamer, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Ma’idah, ayat 91:

“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara


kamu lantaran meminum khamer dan berjudi”.

Dan contoh ketiga adalah larangan melamar seorang perempuan yang telah dilamar
oleh orang lain. Larangan ini bertujuan supaya tidak ada permusuhan dengan saudara seiman
atau dengan orang lain.65

17
c. Maqashid al-shari’ah dari segi cakupan

Sejalan dengan perubahan waktu, dimana umat Islam dihadapkan pada kompleksitas
dalam banyak hal maka mau tidak mau hukum Islam juga harus bergeser secara metodologis.
Oleh sebab itu, para pakar maqashidiyyun kontemporer mencoba untuk memberikan rumusan
klasifikasi teori maqashid dengan memberi ruang-ruang baru pada dimensi yang memiliki
cakupan lebih luas. Klasifikasi kontemporer yang dirumuskan pada sarjana hukum Islam
adalah:

Pertama, al-maqashid al-’ammah (tujuan bersifat umum). Maqashid ini digali melalui
kompleksitas bangunan hukum Islam dengan menambahkan nilai-nilai baru pada ranah
daruruyyah dan hajiyyah sepeti “keadilan” dan “kebebasan”.66 Ibn ‘Asyur (w. 1393 H/1973
M) memaknai al-maqashid al-ammah dengan menjaga perintah Tuhan, mencari maslahah dan
menolak bahaya (jalb al-masalih wa dar’ al-mafasid), membangun persamaan derajat antara
sesama manusia, manghrgai hukum yang berlaku, dan mendorong demi terciptanya kemajuan
untuk manusia (human development).67 Sedangkan, ‘Allal al-Fasi mengatakan:

Tujuan hukum Islam yang paling tinggi adalah menjaga kelestarian dan kedamaian
eksosistem yang ada di alam semesta sehingga keberlangsungan kehidupan yang ada
di dalamnya tetap terjaga. Ini tidak akan mampu dicapai kecuali melalui; (1) kearifan
manusia sebagai khalifah di muka bumi; (2) mendorong manusia berbuat benar yang
didasari oleh moralitas dan integritas; (3) selalu melakukan langkah maju; (4)
menjaga sumber daya alam; (5) dan melakukan perencanaan untuk kebaikan
manusia.68
Kedua, al-maqashid al-khassah (tujuan khusus). Maqashid ini digali melalui bahasan
tertentu dalam hukum Islam, seperti kesejahteraan bagi anak-anak dalam hukum kelurga,
melakukan upaya preventif dalam wilayah hukum pidana, dan mencegah adanya monopoli
orang atau kelompok tertentu dalam hukum transaksi.69 Menurut Ibn ‘Asyur, contoh wilayah
spesifik yang ingin dicapai oleh al-maqashid al-khassah adalah: (1) maksud shari’ atau
pembuat syari’at dalam menetapkan suatu ketentuan hukum yang berhubungan dengan
keluarga; (2) maksud shari’ dalam menetapkan suatu ketentuan hukum yang berkaitan dengan
harta; (3) maksud shari’ dalam hal hukum transaksi relevansinya dengan para pekerja dan
kesempatan kerja; (4) maksud shari’ dalam hal peradilan dan kesaksian; (5) maksud shari’
yang berkaitan dengan perintah sadaqah; dan (6) maksud shari’ dalam menetapkan suatu
ketentuan hukum yang berhubungan dengan hukuman bagi pelaku tindak pidana.70

Ketiga, al-maqashid al-juziyyah (tujuan parsial). Maqashid yang berkaitan dengan


maksud atau hikmah di balik ketetapan suatu hukum atau ‘Allal al-Fasi mengartikannya dengan
………………………………………… (rahasia-rahasia yang ada pada setiap ketentuan
hukum).71 seperti menemukan kebenaran sebagai hikmah dari perintah untuk mendatangkan
saksi dalam persidangan, memberikan rukshah (keringanan) adalah hikmah dari kebolehan
membatalkan puasa bagi orang yang sakit, memberi makan fakir miskin sebagai hikmah dari
larangan menyimpan daging kurban.72

18
d. Maqashid al-shari’ah dari segi orisinalitas

Berangkat dari semangat maslahah untuk kehidupan dan perkembangan manusia ke


arah yang lebih baik, ada maslahah yang bersifat usul (pokok, fundamental, dan dasar) dan ada
maslahah yang berisfat wasail (saranan, alat, atau wasilah). Operasional dari maslahah yang
bersifat wasail diproyeksikan untuk bisa mencapai maslahah yang bersifat usul (pokok).
Berangkat dari kedua komponen penting inilah, para maqashidiyyun membagi maslahah
menjadi dua, yakni: (1) maqashid al-usul (tujuan yang bersifat dasar dan fundamental) dan; (2)
maqashid al-wasail (tujuan yang bersifat sarana).

Pertama, maqashid al-usul adalah tujuan dasar yang ingin dicapai oleh ketentuan
hukum Islam itu sendiri, yaitu berupa al-daruriyyat al-khams yang meliputi hifz al-din
(menjaga agama), hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al’aql (menjaga akal), hifz al-nasl (menjaga
keturunan), dan hifz al-mal (menjaga harta). Di samping itu, ada juga prinsip-prinsip dasar yang
secara otomatis menempel pada hukum Islam itu sendiri, sepeti keadilan (al-’adalah),
kebebasan (al-hurriyyah), persamaan derajat (al-musawah), kebijaksanaan (al-hikmah), dan
kebaikan untuk manusia (masalih al-ibad).

Kedua, maqashid al-wasail adalah berupa sarana untuk mencapai tujuan yang bersifat
dasar atau fundamental (maqashid al-usul). Imam al-Shatibi mengistilahkan poin kedua ini
dengan maqashid al-tabi’I. Artinya, untuk mencapai tujuan yang bersifat dasar (maqashid al-
usul), maka harus melalui sarana tertentu. Dan saranan yang dimaksud adalah maqashid al-
wasail.73

e. Maqashid al-shari’ah dari segi kekuatan maslahah

Maqashid dalam kategori ini diorientasikan untuk membantu manusia dalam mencapai
segala urusan yang dihadapi baik untuk jangka pendek (dunia) maupun jangka panjang
(akhirat). Berdasarkan kekuatan dan cakupannya, ada beberapa tingkatan yang masing-masing
memiliki hirarkhi yang berbeda. Sebagai contoh nilai maslahah dari adanya larangan mencuri
adalah sebagai bentuk realisasi hifz al-mal dan memiliki kedudukan lebih kuat dibanding nilai
maslahah dari kebolehan transaksi jual-beli baik dalam skala mikro maupun makro. Dari
perspektif kekuatan maslahah para maqashidiyyun membagi menjadi tiga bagian, yaitu: (1) al-
maqashid al-daruriyyah; (2) al-maqashid al-hajiyyah; (3) al-maqashid al-tahsiniyyah.74

Pertama, al-maqashid al-daruriyyah adalah untuk menunjukkan tingkat kebutuhan


yang harus ada atau disebut juga dengan kebutuhan primer. Jika tingkat kebuthan ini tidak
terpenuhi maka keselamatan umat manusia akan terancam baik di dunia maupun di akhirat.
Menurut al-Shatibi dan Ibn ‘Asyur, al-maqashid daruriyyah harus direalisasikan, karena jiak
tidak, semangat hukum Islam yang seharusnya memberi jaminan keselamatan manusia di dunia
dan akhirat akan mengalami kegagalan.75 Menurut al-Shatibi ada lima hal yang termasuk dalam
kategori ini, atau yang sering disebut dengan al-daruriyyat al-khams, adalah meliputi hifz al-
din (menjaga agama), hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al’aql (menjaga akal), hifz al-nasl
(menjaga keturunan), dan hifz al-mal (menjaga harta).76 Para ulama maqashidiyyun sepakat
bahwa dalam setiap ketentuan hukum Islam pasti bertujuan untuk merealisasikan kelima

19
kebutuhan dasar di atas. Sebagai contoh, tentang hukum qisas dalam surat al-Baqarah, ayat
179:77

“Dan dalam qisas itu ada jaminan kelangsungan hidup bagimu hai orag-orang yang berakal,
supaya kamu bertakwa”.

Ayat ini mensyari’atkan hukum qisas dengan tujuan agar supaya ancaman bagi
keberlangsungan kehidupan manusia dapat dihilangkan.78

Kedua, al-maqashid al-hajiyyah adalah kebutuhan sekunder. Al-Shatibi mengatakan


bahwa jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun
ia akan mengalami kesulitan. Semangat dasar syari’at Islam adalah menghilangkan segala
kesulitan tersebut.79 Adnan M. Umamah menambahkan bahwa hajiyyah adalah untuk
memberikan keluasan kepada manusia keluar dari kesulitan dan kesempitan.80 Sebagai contoh,
dengan adanya hukum rukhsah (keringanan), seperti dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf, adalah
contoh perhatian syari’at Islam terhadap orang yang berada dalam kondisi kesulitan. Contoh
lain adalah pembolehan tidak berpuasa bagi musafir, hukuman diyah (denda) bagi seorang yang
membunuh secara tidak sengaja, penagguhan atau bahkan pembebasan hukuman potong tangan
atas pelaku pencurian karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya atau keluarganya dari
kelaparan dan seterusnya.

Ketiga, al-maqashid al-tahsiniyyah adalah kebutuhan tersier. Menurut Imam al-


Ghazali, tahsiniyyah adalah kebutuhan yang tidak sampai mengancam eksistensi salah satu dari
lima hal pokok (al-daruriyyat al khams) dan tidak pula menimbulkan kesulitan pada tingkat
hajiyyah apabila tidak terpenuhi, akan tetapi ia hanya merupakan pelengkap, memperindah,
mempermudah kaitanyya dengan kebiasaan setempat dan dalam konteks muamalah.81 Senada
dengan Imam al-Ghazali, al-Shatibi memaknai tahsiniyyah82 “kepatutan menurut adat-istiadat,
menghindari hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai
dengan tuntuan norma dan akhlak dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah mu’amalah,
dan ‘uqubah”. Contoh tahsiniyyah adalah anjuran berhias ketika hendak ke Masjid, anjuran
memperbanyak ibadah sunnah, larangan menyikasi mayat dalam peperangan dan sebagainya.

V. Dasar Hukum Maqashid al-Shari’ah

Menurut al-Khadimiy, walaupun terdapat banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi
SAW dan sulit untuk memilah-milahnya, ada sebagian ulama yang menjadikan ayat-ayat dan
hadis tertentu sebagai pijakan hukum untuk maqashid al-shari’ah ini. Ayat-ayat yang
dimaksud di antaranya:83

QS. Al Hajj : 78

20
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”

QS. An-Nisa : 28

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah”

QS. Al-Baqarah : 286

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat


pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka berdoa): “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami
lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang
berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami,
janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya”.

QS. Al-Baqarah : 185

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu….”

QS. Al-Maidah : 6

“Allah tidak hendak menyulitkan kamu….”

21
QS. Al-A’raaf : 157

“...dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…”

QS. Ath-Thalaaq : 7

“Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.

Dalil-dalil yang semakna dengan ini juga terdapat dalam hadis Nabi SAW. Diantaranya
terdapat dalam sunan al-Nasa’i sebagai berikut:

“Dari Abu Hurairah ra berkata, telah bersabda Nabi SAW, “Sesungguhnya agama (Islam) itu
mudah”. (HR al-Nasa’i)84

“Dari Sa’id ibn Abi Burdah dari ayahnya dari kakeknya berkata, “Rasulullah SAW Mengutus
Mua’adz ibn Jabal, Rasulullah berkata, “Mudahkanlah dan jangan dipersulit, gembirakanlah
dan jangan ditakut-takuti… (HR al-Bukhari)85

“Dari Urwah ibn al-Zubeir, bahwa Aisyah RA berkata, “Ada seorang Pemuka agama Yahudi
datang menemui Rasulullah SAW dan berkata, “Kecelakaan atasmu (Muhammad)”. Aisyah
menjawab, “Untukmu kecelakaan dan laknat”. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Sabar ya
Aisyah, sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang santun (penuh kasih sayang)
dalam setiap urusannya”. (HR al-Bukhari)86

Ayat dan hadis diatas secara umum menggambarkan, bahwa syariat Islam itu
merupakan syariat yang mudah dan tidak menginginkan adanya kesulitan dalam
melaksankannya. Seorang muslim tidak dibebani sesuatu kecuali sesuai dengan
kesanggupannya. Menjadikan syariat Islam itu mudah untuk diamalkan dan menghindarkan
dari kesulitan dalam pelaksanaannya merupakan sebuah kemaslahatan. Tidak satu pun

22
ketentuan dalam syariat Islam yang dimaksudkan untuk memberi beban yang tidak sanggup
dipikul oleh seseorang, karena membebani seseorang dengan sesuatu yang tidak sanggup
dipikulnya merupakan sebuah kemafsadatan. Makna lain dari ayat dan hadis di atas
mengindikasikan bahwa ajaran Islam itu bermuara kepada kemaslahatan, yaitu mewujudkan
manfaat dan menghindarkan mafsadat. Semua hal yang dapat mewujudkan kemaslahatan itu
mesti diperjuangkan, sebaliknya semua hal yang mengakibatkan kemudharatan, kesulitan, dan
bahaya mesti dihilangkan. Demikianlah yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat dan hadis-hadis
tersebut. Dengan demikian maqashid al-shari’ah, yang berujung kepada kemaslahatan,
diyakini mempunyai landasan yang kuat, baik dalam penemuannya maupun dalam
pengembangannya.

Tentu saja dalil untuk menghasilkan maqashid al-shari’ah itu tidak hanya berpedoman
kepada beberapa ayat atau hadis yang disebutkan di atas, akan tetapi ketika suatu ketentuan
dalam beberapa ayat atau hadis yang lain diteliti dan ternyata menghasilkan kemaslahatan, lalu
dilihat lagi ayat dan hadis lainnya yang juga menghasilkan kemaslahatan, maka diambil
kesimpulan secara istiqra (induktif) dan disimpulkan bahwa semua hukum syara’ itu bermuara
kepada kemaslahatan. Oleh karena itu untuk melanjutkan hal yang demikian, maka ulama juga
harus berupaya maksimal agar dalam penetapan hukum Islam harus mengacu kepada
kemaslahatan yang diinginkan oleh Allah SWT.

Keberadaan maqashid al-shari’ah, sebagai sebuha teori hukum yang kemudian


diangkat menjadi suatu disiplin ilmu yang mandiri, juga berawal dari kesepakatan mayoritas
ulama dan mujtahid(‘ijma). Dari sisi ‘ijma dapat dilihat bahwa ulama-ulama salaf dan khalaf,
dari dulu sampai sekarang, menyepakati bahwa syariat Islam itu mengandung kemudahan dan
meniadakan taklif yang tidak disanggupi oleh umat.87

Untuk membuktikan hal itu banyak sekali contoh-contoh berupa ketentuan-ketentuan


Allah SWT dan Rasul SAW yang menunjukkan bahwa kemaslahatan merupakan tujuan utama
syariat Islam. Misalnya kebolehan meng-qashar dan menjamak shalat bagi seseorang yang
berada di dalam perjalanan, gugurnya qadha shalat bagi wanita karena haidh dan nifas,
dispensasi untuk tidak berpuasa bagi orang yang lanjut usia, orang sakit dan orang yang sedang
melakukan perjalanan, pembebasan taklif bagi orang gila, orang pingsan, dan anak kecil. Hal
ini menunjukkan bahwa aturan-aturan hukum Islam memberikan pertimbangan hukum sesuai
dengan kemampuan seseorang.

Contoh-contoh dalam bidang muamalah juga dapat ditunjukkan dengan kebolehan jual-
beli salam, aqad musaqah dan muzara’ah, ijarah, dan sebagainya. Semua ini mengartikan
bahwa syariat Islam mengutamakan kemudahan dan menjauhkan seseorang dari kesulitan-
kesulitan yang tidak sanggup ia pikul, baik dalam melakukan aktifitas dunianya maupun dalam
aktifitas akhiratnya. Dengan ketentuan-ketentuan seperti itu maka tidak dapat dipungkiri bahwa
syariat Islam bertujuan mewujudkan kemaslahatan dan perlinfungan bagi manusia mulai dari
dunianya sampai kehidupan akhiratnya.

Maqashid al-shari’ah, yang merupakan penelusuran terhadap tujuan-tujuan Allah SWT


dalam menetapkan hukum, mesti mendapatkan perhatian yang besar. Dari sisi logika berpikir,

23
ketika tujuan-tujuan tersebut diketahui oleh mujtahid, atas dasar itulah dilakukan pemahaman
hukum Islam dan untuk selanjutnya digunakan dalam pengembangan hukum Islam yang baru.
Hal ini mengingat terbatasnya dalil-dalil hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi SAW, sedangkan permasalahan yang dihadapi umat tidak pernah habis-habisnya. Tanpa
mengetahui maqashid al-shari’ah hukum Islam akan mengalami stagnansi dan dikhawatirkan
penetapan hukum tiak akan mencapai sasaran yang diinginkan oleh Allah SWT, dan lebih
lanjut tidak akan mempunyai nilai yang digariskan dalam prinsip-prinsip hukum Islam itu
sendiri.

Akan tetapi perlu digarisbawahi, bahwa maslahat yang dituju oleh sebuah penetapan
hukum lebih bermuara kepada kepentingan manusia, karena dengan maslahat akan dapat
menghasilkan manfaat dalam pelaksanaannya dan menghindarkan pelakunya dari hal-hal yang
membahayakan dirinya. Sedangkan maqashid al-shari’ah lebih jauh dari itu, yaitu untuk
menjaga kepentingan Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh al-Ghazali (w. 505 H)
dalam al-Mustashfa:

‫"أن المصلحة المرسلة في األصل عبارة عن [جلب منفعة أو دفع ضرر] غير أنه يقول بعد هذا ونعني‬
‫ ومقصود الشرع من الخلق خمسة وهي أن يحفظ عليهم دينهم ونفسهم‬، ‫بالمصلحة على مقصود الشرع‬
‫وعقلهم ونسلهم ومالهم فكل ما يتضمن حفظ هذه األصول الخمسة فهو مصلحة وكل ما يفوت هذه األصول‬
."‫فهو مفسدة ودفعه مصلحة‬
“Maslahat pada dasarnya merupakan sebuah kesimpulan untuk mewujudkan manfaat atau
menolak hal-hal yang bersifat mudharat, tetapi bukan itu yang kami maksud, karena mencari
manfaat dan menolak mudharat merupakan tujuan setiap makhluk dan kebaikan untuk makhluk
dalam mencapai tujuan mereka, tetapi yang kami maksud dengan maslahat itu sebenarnya
adalah memelihara tujuan syara”.88

Dengan demikian pembicaraan tentang maqashid al-shari’ah tidak hanya berkenaan


dengan kemaslahatan yang hendak dicapai oleh manusia, tetapi lebih jauh dari itu bagaimana
sebuah penetapan hukum dapat memelihara kepentingan Allah SWT.

Menurut ‘Abdullah Darraz (w. 1932 M), pentahqiq kitab al-Muwafaqat fi Ushul al-
Syari’ah karya al-Shatibi (w. 790 H), kebanyakan pembahasan yang dilakukan oleh ulama
klasik dalam kitab ushul fiqhnya belum banyak membicarakan maqashid al-shari’ah89, namun
al-Shatibi (w. 790 H) telah menjadikan hal ini sebagai tema sentral dalam karyanya, al-
Muwafaqat. Hal ini dilakukan al-Shatibi (w. 790 H) untuk membuktikan bahwa hukum syara’
itu ditetapkan untuk memelihara kemaslahatan yang merupakan kepentingan manusia secara
keseluruhan. Untuk itu al-Shatibi (w. 790 H), sebagai “bapak” maqashid al-shari’ah, telah
membangun kaedah-kaedah ilmiah yang didukung oleh dalil-dalil yang diinduksi dari dalil-
dalil syari’ dan memformulasikannya sedemikian rupa sehingga akhirnya menjadi sebuah teori
maqashid al-shari’ah.

24
VI. Tujuan al-Syari’ah

Dari definisi-definisi di atas terliaht bahwa maqashid al-shari’ah mempunyai


pengertian, orientasi dan tujuan yang sama, walaupun dengan bahasa yang berbeda yaitu tahqiq
al-maslahah li al-nas (mewujudkan kemaslahatan manusia) dengan jaib al-manfa’ah
(mengambil manfaat) dan daf’ al-mafsadah (menghindari kerusakan).

Menurut al-Ghazali (w. 505 H) maslahah pada dasarnya adalah ungkapan dari menarik
manfaat dan menolak mudharat, maslahah ialah memelihara tujuan syara, yaitu memlihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka, setiap upaya memlihara kelima prinsip ini
disebut maslahat, dan setiap yang menghilangkan kelima prinsip ini disebut mafsadat dan
menolaknya disebut maslahat.90

Maslahah yang dimaksud adalah kemaslahatan yang sepenuhnya diinginkan syari’.


Karena itu, aturannya didasarkan pada perintah dan batasan-batasan yang ditetapkan Allah
SWT dan Rasul-Nya; sama sekali tidak merujuk pada syahwat manusia. Oleh karena itu, bisa
jadi aturan yang ditetapkan syara’ terasa sangat memberatkan manusia, bertentangan dengan
kebiasaan mereka atau di luar batas kondisi sosial mereka.91

Tidak semua persoalan disebutkan secara detil dan rinci dalam Al-Qur’an dan Al-
Sunnah. Sebagian besar persoalan seperti “diserahkan” kepada manusia untuk memilih dan
menentukan yang terbaik (maslahah) bagi mereka. Sehubungan dengan pengakuan atau
penyebutan syara’ terhadapanya, maslahah itu sendiri dapat diklasifikasikan menjadi tiga
bagian besar, yaitu: Pertama, kemasalahatan yang secara jelas diakui sebagai maslahah oleh
syara’ (maslahah mu’tabarah). Terhadap kemaslahatan seperti ini, tak ada beda pendapat
bahwa ia harus diakui sebagai maslahah dan harus diikuti. Kedua, sesuatu yang secara jelas
disebutkan bukan sebagai maslahah oleh syara’ (maslahah mulghah). Kemaslahatan seperti ini
juga tidak diperdebatkan bahwa ia harus ditinggalkan. Ketiga, suatu keadaan yang secara tegas
tidak disebut, akan tetapi juga tidak dibatalkan, sebagai kemaslahatan dalam nash (masalahah
mursalah).92

Menurut al-Shatibi, tujuan syari’ (Allah SWT) ada empat macam, yaitu:

1. Qasdu al-Syari’ fi Wad’i al-Shari’ah (tujuan shari’ dalam menetapkan syariat)

2. Qasdu al-Syari fi Wad’i al-Shari’ah al-Ifham (tujuan Shari’ dalam menetapkan


syari’ahnya agar dapat dipahami).

3. Qasdu al-Syari’ fi Wad’i al-Shari’ah li al-Taklif bi Muqtadaha (tujuan Shari’ dalam


menentukan syari’at untuk dilaksanakan sesuai dengan yang dituntu oleh Allah SWT).

4. Qasdu al-Syari’ fi Dukhul al-Mukallaf Tahta Ahkam al-Shari’ah (tujuan Shari’ dalam
membawa manusia ke bawah naungan hukum).93

Substansi maqashid al-shari’ah adalah kemaslahatan. Kemaslahatan dalam taklif tuhan


dapat berwujud dua bentuk, yaitu: pertama, dalam bentuk hakiki, yakni manfaat langsung

25
dalam arti kausitas; kedua, dalam bentuk majazi, yakni bentuk yang merupakan membawa
kepada kemaslahatan.

VII. Faidah Mempelajari Ilmu Maqashid al-Shari’ah

Berdasarkan pengertian dan landasan berpikir ilmu maqashid al-shari’ah di atas, berikut
akan dikemukakan secara ringkas beberapa faidah mempelajari ilmu maqashid al-shari’ah.
Faidah-faidah itu dapat disebutkan sebagai berikut:94

1. Meletakkan pondasi kaedah-kaedah yang diharapkan dapat membantu mujtahid dalam


mengistinbathkan hukum syari’, dan mengetahui kemaslahatan yang dikehendaki oleh
Allah SWT dari setiap beban hukum yang dipikulkan kepada manusia. Apapun persoalan
yang dihadapi oleh mujtahid, di mana pun ia berada, bagaimana pun situasi dan kondisi
yang dihadapinya, ia akan mampu untuk menetapkan hukum sesuai dengan kondisi itu.

2. Seorang mujtahid akan mampu melakukan tarjih terhadap pendapat ulama yang berbeda-
beda dan mampu memilih yang lebih kuat.

3. Dengan mengetahui maqashid al-shari’ah menjadikan seorang mujtahid mampu


memahami ketentuan syariat Islam secara kulli (global), dan dengan bekal itu juga akab
mampu memahami syariat Islam secara juz’I (parsial).

4. Pengetahuan terhadap maqashid al-shari’ah menjadikan seorang mujtahid mampu untuk


mengaplikasikan wiyas dalam menghadapi persoalan-persoalan baru.95

5. Menjadikan seorang mujtahid mampu untuk menyelesaikan ta’arudh (pertentangan)


antara teks-teks Al-Qur’an dan Al-Sunnah dengan maqashid (tujuan hukum).96

Menurut al-Khadimiy, faidah mempelajari ilmu maqashid al-shari’ah ada tujuh, dapat
disimpulkan sebagai berikut:97

1. Adanya motivasi untuk mendalami ‘illat-’illat dari setiap penetapan hukum Islam serta
hikmah dan tujuan-tujuannya, baik secara umum maupun secara khusus. Tujuan utama
ta’lil al-ahkam itu ditempuh dengan cara menemukan dan mendalami sifat-sifat yang
menyertai hukum dalam teks hukum tersebut. Namun menurut ibn ‘Asyur (w. 1973 M),
sebagian ketentuan hukum yang ditetapkan Allah SWT terkadang tidak ditemukan ‘illat
dan hikmahnya, di mana mujtahid mengkategorikannya dengan ketentuan-ketentuan yang
ta’abbudi.98

2. Mampu menghubungkan setiap pembahasan dalam ilmu ushul fiqg dengan konsep
maqashid al-shari’ah. Misalnya dalam melakukan pembahasan dan penerapan qiyas, ‘urf,
dzari’ah, dan sebagainya.

3. Mengurangi intensitas perbedaan dan perselisihan dalam masalah fiqh, begitu juga dengan
fanatisme mazhab. Hal ini tentunya diakibatkan oleh pengetahuan ulama terhadap
maqashid al-shari’ah. Dengan ilmu ini ulama mampu mengambil jalan tengah dari
pendapat yang berbeda-beda dan sekaligus mampu menghilangkan pertentangan-
pertentangan tersebut, termasuk mampu mengkompromikan antara pendapat-pendapat

26
yang berpegan kepada nash secara tekstual dan pendapat yang berpegang kepada jiwa
sebuah teks (ruh al-nash).

4. Memotivasi seorang mukallaf untuk melaksanakan beban taklifnya untuk senantiasa patuh
dan mengikuti taklif itu dengan sebaik-baiknya, terutama ketika hikmah-hikmah hukum
yang dibebankan kepadanya diketahui dengan sepenuhnya.

Jadi merupakan suatu keharusan bagi seorang ulama dan mujtahid untuk mengenal dan
memahami maqashid al-shari’ah. Hal ini secara umum dimaksudkan agar ia mampu untuk
berijtihad terhadap perkara-perkara yang tidak ditemukan ketentuannya secara eksplisit dalam
nash dan ijtihadnya itu sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah SWT. Di samping itu untuk
menyikapi banyaknya perbedaan pandangan yang bertentangan dalam bidang fiqh, seorang
ulama mempunyai kemampuan untuk memilih dan selanjutnya menguatkan salah satu
pendapat yang lebih sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.

Pengetahuan terhadap maqashid al-shari’ah akan menjadikan seorang mujtahid


mampu memahami ketentuan Allah SWT dan untuk selanjutnya ia akan mampu
mengembangkan hukum Islam sesuai dengan kehendak Allah SWT. Demikianlah antara lain
faedah mengetahui maqashid al-shari’ah.

VIII. Kaidah dan Cara Mengungkap Maqashid al-Shari’ah

Menurut Ibn Taymiyyah (w. 728 H), sebagaimana ditulis oleh al-Badawi dalam disertasi
doktornya, ada enam cara untuk mengungkap maqashid al-shari’ah yaitu: pertama, istiqra’
(penalaran induktif)99. Kedua, memahami kaidah-kaidah bahasa Arab (dabt al-lisan al-
arabiyyah)100. Ketiga, merujuk kepada pendapat para sahabat (aqwal al-sahabah). Keempat,
memahami konteks pembicaraan (siyaq al-kalam). Kelima, membedakan antara tujuan pokok
(al-maqashid al-asliyyah) dan tujuan yang bersifat akibat (al-maqashid al-tabi’iyyah). Dan
keenam, melaksanakan ketentuan nash menurut kadar kemampuan ketika tidak disebutkan
tujuan secara jelas.101

Beranjak dari Ibn Taymiyyah, Imam al-Shatibi mencatat bahwa maqashid al-shari’ah
bisa diungkap melalui empat cara. Pertama, memahami makna perintah (al-amr) dan larangan
(al-nahly). Kedua, mengungkap ‘illah dari sebuah perintah dan larangan. Ketiga, mengungkap
tujuan syari’at yang bersifat pokok (al-asliyyah) dan akibat (tabi’iyyah). Dan keempat,
pencarian nilai maslahah yang tersirat dari nash. Teori inilah yang nantinya akan
dikembangkan oleh Ibn ‘Asyur terutama pada wilayah maslahah dan terus dikembangkan para
maqashidiyyun kontemporer termasuk Jasser Auda. Berikut adalah kaidah dan sekaligus cara
mengungkap maksud syari’at (al-turuq likashf maqashid al-shari’):

1. ….………………….

Cara pertama adalah memahami makna perintah (al-amr) dan larangan (al-nahy) yang
berada di awal ayat dan jelas. Metode ini tergolong metode yang menekankan pada pendekatan
linguistik atau kebahasaan. Al-Shatibi menjelaskan bahwa makna sebuah perintah adalah
menunjukkan kewajiban untuk dilaksanakan, sedangkan makna larangan menunjukkan

27
kewajiban untuk ditinggalkan. Maka perbuatan “melaksanakan perintah” dan “menjauhi
larangan” adalah bentuk dari maqashid al-shari’ (kehendak pembuat syari’at).102

a. Maksud dari “perintah di awal ayat” adalah apa yang menjadi maksud ari pembuat
syari’at, seperti dinyatakan dalam Al-Qur’an, surat al-Jum’ah ayat 9:

maka “perintah untuk bersegera mengingat Allah SWT adalah maqashid al-shari’
sedangkan perintah untuk meninggalkan jual beli adalah maksud kedua, maksud yang
mengikuti, maksud yang bersifat khafi, dan maksud yang tidak memiliki ketetapan
hukum yang kuat (ghayr al-wadih fi al-dalalah).103

b. “Perintah” dan “larangan” yang telah jelas seperti dalam surat al-Jum’ah di atas juga
menuntut adanya makna sebaliknya yakni “meninggalkan” atau “melakukan” seperti
dalam kaidah ……………………………104 Melakukan “perintah” dan “larangan”
adalah maksud sang pembuat syari’at, sedangkan menjalankan kebalikannya adalah
maksud yang kedua.

2. ….……………….

Cara kedua, lanjut al-Shatibi, adalah dengan mengungkap ‘illah dari sebuah “perintah”
atau “larangan”, seperti perintah “menikah” adalah karena maslahah bagi keturunan, perintah
“jual-beli” adalah supaya bisa saling mengambil manfaat dari kedua belah pihak, dan hukum
qisas supaya tidak terjadi kejahatan105 dan seterusnya, seperti kaidah
…………………………. Akan tetapi jika ‘illah hukum tidak mampu ditemukan, maka
106

harus dicari ‘illah baru yang mencerminkan maslahah.107

3. ….……………………..

Selanjutnya, cara ketiga adalah mengungkap tujuan syari’at yang bersifat pokok (al-
asliyyah) dan akibat (tabi’iyyah) seperti dalam kaidah
……………………………………….. Tujuan pokok berfungsi sebagai ketentuan hukum,
108

sedangkan tujuan yang mengikuti lebih berfungsi sebagai penguat, pelengkap, penyempurna
dari tujuan pokok. Sebagai contoh ketika al-Shatibi memahami maksud ayat
…………………………………………. Al-Shatibi, sebagaimana Ibn Taymiyyah, menjadikan
“ingat kepada Allah SWT adalah maqashid al-asliyyah dari ibadah salat. Sedangkan
“mencegah dari perbuatan keji dan mungkar” adalah maqashid al-tabi’ah. Contoh lain dari
tujuan pokok (al-maqashid al-asliyyah) adalah melangsungkan keturunan, kemudian diikuti
tujuan kedua (al-maqashid al-tabi’iyyah) berupa “mencari ketenangan”, “mencari kenikmatan
dengan cara yang halal”, “menjaga agar tidak terjerumus”. Jika tujuan pokok memiliki rujukan
dalam nash, maka tujuan yang mengikuti lebih didasarkan pada pelacakan hikmah di balik
tujuan pokok.109

4. ….………………………….

28
Cara keempat adalah pencarian maslahah. Ini disebabkan karena tidak adanya petunjuk
secara jelas dalam bentuk :perintah” atau “larangan”, “diwajibkan” atau “dilarang”, “boleh
dilakukan” atau “tidak” yang tertuang dalam nash dan terjadi pasca kenabian (companion).
Dalam kondisi semacam ini, al-Shatibi mengambil jalan pencarian maslahah al-mursalah
sebagaimana yang dilakukan para fugaha’ salaf dengan menjadikan kebutuhan daruriyyat
sebagai barometer kekuatan maslahah itu. Ia kemudian menyusun kaidah …………………..110
Contoh cara keempat ini adalah pengumpulan mushaf, kodifikasi hadis, dan beberapa kasus
baru lainnya.111

Ibn ‘Asyur menjelaskan sekaligus mengembangkan teori al-Shatibi dengan


menawarkan tiga format yang sama sekali baru dalam menentukan maqashid al-shari’ah.
Pertama adalah pencarian ‘illah melalui pola pikir induksi (istiqra’). Kedua melalui dalil-dalil
Al-Qur’an yang secara tegas menyebutkan tujuan syari’at (adillah al-qur’an al-wadihah al-
sarihah fi dalaltiha). Dan ketiga melalui dalil-dalil sunnah yang mutawatir, baik secara
ma’nawi atau ‘amali (al-sunnah al mutawatirah: al-tawatur al-ma’nawi aw al-tawatur al-
’amali).112

1. ….……………..

Istiqra’ secara etimologis berarti “pengikutsertaan”, “terus-menerus” (al-tatabu’).


Dalam istilah yang lebih populer, istiqra’ disebut juga dengan induksi (lawan dari deduksi),
yaitu sebuah metode berfikir yang bertolak dari suatu yang khusus menuju yang umum,
kadang-kadang juga bertolak dari yang kurang umum menuju yang umum.113 Dalam istilah
ilmu hukum Islam, istiqra’ (induksi) adalah ……………………….114 (sebuah metode
pengambilan kesimpulan umum yang dihasilkan oleh fakta-fakta khusus). Metode ini sering
digunakan oleh para fuqaha’ terutama dalam menetapkan suatu hukum.115 Imam al-Shafi’i
tergolong salah satu dari para fuqaha’ yang sering kali mengoperasionalkan metode istiqra’
terutama daam menentukan waktu lamanya menstruasi bagi wanita.116 Kelompok rasionalis
menterjemahkan istiqra’ dengan …………………………117 (menarik kesimpulan umum
berdasarkan karakteristik satuan-satuannya).

Pada dasarnya, metode istiqra’ adalah metode berfikir induktif-empiris dalam


penetapan hukum Islam. Hal ini tentu saja berhubungan erat dengan sumber-sumber hukum
dalam Islam yakni Al-Qur’an dan Hadis. Sebagaimana diketahui bahwa cukup banyak teks Al-
Qur’an dan Hadis yang hanya memaparkan norma-norma dan nilai-nilai dasar yang bersifat
universal, sehingga untuk memahami teks-teks semacam itu diperlukan metode pemikiran
tertentu, agar sebuah teks dapat dipahami kandungannya dan dapat diperoleh sebuah ketetapan
hukum darinya. Di samping itu, metode istiqra’ juga merupakan bagian dari tata kerja
epistimologi, yaitu dengan menjadikan teks Al-Qur’an dan Hadis sebagai rujukan utama yang
otoritatif sebagai landasan membangun pengetahuan. Setidaknya ada dua cara untuk
mendapatkan pengetahuan dari teks yaitu berpegang pada makna literal teks dan berpegang
pada maksud atau sasaran teks yang sebenarnya.118

Seperti yang dikatakan oleh al-Shatibi dan Ibn ‘Asyur, bahwa metode istiqra’ adalah
salah satu metode yang tepat untuk mengidentifikasi maqashid al-shari’ah. Metode ini tertuang

29
dalam usul al-fiqh yang juga dibutuhkan para mujtahid dalam rangka menjelaskan sekaligus
menjawab persoalan-persoalan hukum dengan mudah.119 Hal ini disebabkan karena meskipun
nash (Al-Qur’an dan Hadis) memiliki tingkat kebenaran absolut, akan tetapi pemahaman
terhadap nash lebih bersifat nisbi atau relatif. Dari kesadaran inilah para mujtahid berupaya
keras bagaimana hukum Islam tetap mampu mengawal berbagai capaian kemajuan di banyak
aspek kehidupan. Dalam metode istiqra’, yang menjadi obyek kajian adalah teks dan konteks
(al-nass dan al-waqi’). Teks adalah mencermati dhahir nash, sedangkan konteks adalah makna
substansi atau ‘illah yang terkandung dalam sebuah teks. Makna substansi tidak boleh merusak
arti dhahir suatu nash, demikian pula sebaliknya.

Ada dua macam istiqra’, yaitu istiqra’ tamm120 (induksi sempurna) dan istiqra’ naqis121
(induksi tidak sempurna). Jika kesimpulan itu didasarkan atas kesamaan karakteristik semua
satuannya disebut istiqra’ tamm dan memiliki kekuatan hukum yang bersifat qat’i122 Akan
tetapi jika kesimpulan didasarkan atas kesamaan sebagian karakter satuannya disebut istiqra’
naqis123 dan memiliki kekuatan hukum yang bersifat zann. Dalam tradisi keilmuan usul al-fiqh,
metode induksi digunakan, antara lain, dalam menetapkan suatu kaedah umum untuk
membahas persoalan-persoalan hukum atau menetapkan hukum fiqh ‘amali (praktis): apakah
persoalan itu wajib, sunnah, mubah, makruh, haram, halal, sah, batal atai fasid.

Para ulama usul silang pendapat tentang kekuatan hukum kedua jensi istiqra’ ini. Akan
tetapi al-Ghazali124, Ibn Najjar, dan kebanyakan ulama usul sepakat bahwa istiqra’ tamm
memiliki kekuatan hukum qat’i, sedangkan istiqra’ naqis bersifat zann. Berbeda dari pendapat
di atas, al-Shafi’I dan Ibn Taymiyyah berpendapat bahwa keduanya (tamm atau naqis)
memiliki kekuatan hukum qat’i selagi tidak kontradiksi dengan substansi ajaran Islam.125

a. ….……………………..

Mengkaji dan meneliti semua hukum yang diketahui ‘illah-nya. Dengan meneliti
‘illah, maka maqashid akan dapat diketahui dengan mudah. Contoh, larangan
melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain, demikian juga larangan
menawar sesuatu yang sudah ditawar orang lain sebagai premis mayor. ‘Illah dari
larangan itu adalah “keserakahan” dengan menghalangi kepentingan orang lain
sebagai premis minor. Dari situ dapat diambil satu tujuan/maqsad yaitu
langgengnya persaudaraan antara saudara seiman. Dengan berdasarkan pada
maqsad tadi maka tidak haram meminang pinangan orang lain setelah pelamar
pertama mencabut keinginannya itu sebagai kongklusi.126

b. ….………………………..

Meneliti dalil-dalil hukum yang memiliki kandungan ‘illah yang sama sampai
dirasa yakin bahwa ‘illah tersebut adalah maqsad-nya, seperti banyaknya perintah
untuk memerdekakan budak menunjukkan bahwa salah satu maqashid al-shari’ah
adalah adanya kebebasan (al-hurriyyah).

2. ….………………………..

30
Cara kedua dalam melacak maqashid al-shari’ah adalah melalui penelitian terhadap
dalil-dalil Al-Qur’an yang secara jelas dan tegas memuat tentang kandungan hukum sehingga
kemungkinan kecil mengartikan bukan pada makna dhahirnya. Seperti dalam Al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 205, surat al-Baqarah ayat 185 dan surat al-Hajj ayat 78. Menurut Ibn ‘Asyur,
maqashid dari ayat-ayat di atas bisa dengan mudah ditemukan dari dhahir nash. Dengan
demikian, “nash” berkedudukan sebagai premis mayor dan “dhahir” sebagai premis minor dan
makna “kerusakan”, “kemudahan”, dan “kesulitan” berfungsi sebagai kongklusi atau maksud
syari’at.

3. ….…………………………..

Cara ketiga untuk mengungkap maksud syari’at adalah melakukan observasi terhadap
dalil-dalil sunnah yang mutawatir, baik secara maknawi atau amali (al-tawatur al-ma’nawi dan
al-tawatur al-’amali). Mutawatir ma’nawi adalah kesaksian banyak sahabat Nabi pernah
melakukan sesuatu. Maka status apa yang dilakukan Nabi saat itu adalah maqashid al-
daruriyyat. Contoh dari mutawatir maknawi adalah shadaqah jariyah dan mandahulukan salat
dari khutbah dalam salat hari raya.

Sedangkan contoh mutawatir ‘amali adalah hadis shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim
tentang seorang sahabat bernama Abu Barzah yang membatalkan salatnya karena mencari
kudanya yang lepas. Setelah ia mendapatkan kudanya kembali, ia segera mengulang salatnya.
Ketika dikonfirmasi kepada Nabi, Nabi mengatakan bahwa membatalkan salat demi
keselamatan (kendaraan) kuda adalah lebih baik daripada dia kehilangan kudanya dan harus
pulang ke rumah dengan jalan kaki. Maqashid al-shari’ah dari kasus ini adalah “kemudahan”
(al-taysir).127

Menurut al-Shatibi, untuk mengetahui maqashid al-shari’ah setidaknya dibutuhkan tiga


syarat128:

1. Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Syarat ini menjadi sesuatu yang mutlak dikuasai
karena Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam berbahasa Arab. Persoalan yang
muncul kemudian adalah, apakah Al-Wur’an dapat dipahami melalui terjemahan dalam
bahasa-bahasa selain Arab? Pandangan al-Shatibi- berkaitan dengan ini dapat dilihat
dalam uraiannya tentang penunjukan (dalalah) suatu lafaz.

Bagi al-Shatibi, penunjukan lafaz terhadap makna dpat dilihat dari dua aspek: pertama,
lafaz yang menunjukkan kepada makna yang pasti (mutlaq). Penunjukan lafaz terhadap
makna model ini disebut sebagai dalalah asliyyah; kedua, lafaz yang tidak menunjukkan
kepada makna yang pasti, tetapi menunjukkan kepada makna tambahan. Model
penunjukan makna ini disebut sebagai dalalah tabi’ah.

Menurut al-Shatibi, dalalah asliyyah terdapat dalam semua bahasa. Oleh karena itu
dalalah ini dapat dialih bahasakan, seperti ungkapan tentang berita seseorang berdiri.
Akan tetapi apabila menyangkut penekanan dalam suatu ungkapan atau pernyataan
terhadap seseorang, menurut al-Shatibi hal seperti itu masuk dalam wilayah dalalah
tabi’ah dan tidak dapat dialih bahasakan, sebab terkait dengan lisan Arab yang senantiasa

31
memperlihatkan keadaan pemberi berita (mukhbir), orang yang diberitakan (mukbar
‘anh), isi berita (nafs al-ikhbar), situasi dan sususan kata (al-hal wa al-nasaq), jenis
rangkaian kata (naw’ al-uslub), pendek (ijaz), panjang (itnab) dan lain sebagainya.129

2. Memiliki pengetahuan tentang Sunnah.130

3. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat.131

Sementara cara mengetahui maqashid al;shari’ah, menurut al-Shatibi dapat menempuh


tiga cara132: Pertama, melakukan analisis terhadap lafal perintah (al-amr) dan larangan (al-
nahy). Tujuan perintah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis adalah agar isi dari
perintah dapat diwujudkan. Sebaliknya, tujuan dari sebuah larangan yang terdapat dalam dua
sumber ajaran Islam tersebut adalah agar isi dari larangan itu betul-betul dijauhi dan
ditinggalkan. Keharusan meninggalkan perbuatan yang dilarang adalah tujuan yang
dikehendaki oleh Allah SWT.133

Satu hal yang harus diperhatikan dalam masalah perintah dan larangan adalah, perintah
dan larangan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis mempunyai dua dimensi: primer
dan sekunder. Sebagai contoh, ketegasan perintah untuk melaksanakan shalat adalah tujuan
primer. Sedangkan terhindarnya seseorang dari perbuatan keji (al-fakhsha) adalah tujuan
sekunder.

Cara kedua, analisis ‘illah (alasan ditetapkannya hukum) yang terdapat dalam perintah
atau larangan, maka ‘illah yang tampak tersebut yang harus dijadikan pedoman dan diikuti,
karena dengan mengikuti makna literal ‘illah yang ada dalam nash itulah tujuan hukum dalam
perintah dan larangan dapat terwujud. Contoh yang dapat dikemukakan dalam masalah ini
adalah tujuan untuk mendapatakan keturunan dalam perintah perkawinan, saling mendapatkan
manfaat dalam perintah jual beli.

Sedangkan ‘illah hukum yang tidak dapat diketahui secarea jelas (ghayr al-ma’lumah),
menurut al-Shatibi, harus diserahkan kepada shari’ dengan jalan tawaqquf (diam, tidak
melakukan analisis padanya). Hal tersebut ditempuh, karena melakukan perluasan cakupan (al-
ta’addi) terhadap sesuatu yang tidak jelas, sama artinya dengan menetapkan hukum tanpa adil,
dan terobosan itu bertentangan dengan syariat. Perluasan cakupan suatu perintah atau larangan
hanya dapat dilakukan apabila tujuan hukumnya diketahui secara jelas. Sedangkan cara ketiga
adalah, analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang tidak disebut oleh shari’
(sukut al-shari’).134

IX. Syarat Diterima al-Maslahah

Al-Ghazali berpandangan bahwa maslahah bisa diterima sebagai metode istinbath


hukum Islam, apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:

1. Maslahah harus sejalan dengan tindakan syara’ (mulaimah)

2. Maslahah menempati level daruriyah atau hajiyah yang menduduki tempat daruriyah.

3. Maslahah bersifat qath’i atau zanni yang mendekatinya, dan

32
4. Maslahah tidak betentangan dengan Al-Qur’an, Al-Hadis, atau Al-Ijma’

Maslahah menurut al-Ghazali bukan merupakan dalil yang independen. Pemikiran al-Thufi
tentang maslahah dibentuk berdasarkan atas 4 (empat) prinsip:

1. Independensi rasio (akal) dapat menemukan maslahah dan mafsadah.

2. Maslahah sebagai dalil yang independen dan terlepas dari nash.

3. Objek operasional maslahah adalah Al-Mu’amalat dan Al-Adat, bukan Al-Ibadah dan Al-
Muqaddarat.

4. Maslahah merupakan dalil yang kuat.135

X. Maqashid al-Shari’ah Sebagai Metode Istinbath Hukum Islam

Al-Shatibi menyebutkan bahwa syarat pertama bagi seseorang untuk sampai pada
tingkatan mujtahid adalah memahami maqashid al-shari’ah secara komprehensif.136 Dalam
konteks yang sama berakitan dengan relevansi kaidah maqashid dalam ijtihad kontemporer
Musfir bin Ali Al-Qahthany dalam bukunya Manhaj Istinbath Ahkam al-Nawazil al-Fiqhiyyah
al-Mu’ashirah menyebutkan salah satu yang dibutuhkan oleh seorang mujtahid dalam
menetapkan persoalan kontemporer adalah memelihara maqashid al-shari’ah.137 Seorang
mujtahid sangat butuh terhadap maqashid al-shari’ah ketika memahami nash-nash (Al-Qur’an
dan Al-Sunnah) untuk mengaplikasikannya dalam hukum. Begitu juga ketika dia ingin
menyesuaikan antara dalil-dalil yang (tampak) berlawanan, karema ketika itu dia mesti
menggunakan maqashid al-shari’ah. Seorang mujtahid juga mesti memperhatikan sesuatu
yang ada kemaslahatannya bagi manusia dan menjauhkan sesuatu yang ada kemudharatannya
bagi mereka.138

Penguasaan terhadap maqashid menjadi faktor penting dalam memahami nushus al-
syari’ah (teks umum) serta mengaplikasikannya terhadap waqa’i (persoalan yang terjadi),
termasuk persoalan baru yang tidak ditemukan nashnya. Sudah semestinya, agar sebelum

33
mengambil konklusi hukum dari dalil juz’i, para mujtahid harus mengetahui maqashid yang
ditetapkan oleh syara.

Hal ini dikarenakan beberapa hal, di antaranya; Pertama, Dalalah Alfazh (pesan teks)
dan ungkapan-ungkapan makna yang beragam bentuk. Untuk mentarjih salah satu dari macam-
macam bentuk itu, digunakanlah prinsip maqashid syari’ (pembuat hukum: Allah SWT).
Kedua, adapun dalil-dalil juz’i yang padanya terdapat ta’arudh (kontardiksi) pada sebagian
perintah zhahir, membutuhkan bisa memilah mana yang pas dan mana yang tidak. Oleh sebab
itu, untuk dapat melakukannya digunakanlah metode maqashid. Ketiga, sebagian waqa’i
(kasus yang terjadi) tidak dijelaskan oleh ‘ibarat (ungkapan) nash. Untuk dapat mengetahui
hukum di dalamnya membutuhkan qiyas dan maslahah mursalah atau metode lainnya. Hal itu
tidak mungkin dilakukan kecuali dengan menggunakan pemahaman asrar al-syari’ah dan
maqashid ‘ammah. Asrar al-syari’ah adalah rahasia-rahasia yang terdapat di balik hukum yang
ditetapkan oleh syara’, berupa kemaslahatan, keadilan, kebahagiaan umat manusia baik di
dunia maupun di akhirat. Oleh sebab itu, penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti
menyalahi cita-cita syari’ah.139

Imam Shatibi menilai arti penting maqashid al-shari’ah, terlihat dengan jelas dalam
hukum yang terkait dengan persoalan muamalah atau yang disebut oleh para ahli ushul fiqih
dengan persoalan ma’qulat al-ma’na (kasus yang dapat dilacak ‘illat (causa hukum) dan tujuan
hukumnya. Dalam bidang inilah berlaku kaidah yang menyatakan bahwa “hukum itu
ditentukan tergantung pada ada atau tidak adanya ‘illat hukum terebut”. Jika ada ‘illat-nya,
hukum pun ada. Tetapi jika ‘illat-nya hulang, maka hukum pun akan hilang. Dengan demikian,
hukum-hukum itu tergantung pada ruh tasyri’ atau asrar al-syari’ah dan tidak semata-mata
bergantung kepada bentuk harfiyahnya.

Daftar Catatan Kaki:


1
Muhammad ibn Mukarram ibn ‘Ali Jamal al-Din ibn al-Manzhur [selanjutnya disebut ibn al-
Manzhur]. Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1414 H), cet. Ke-3, jilid ke-3, h. 353., Ahmad Ridha,
Mu’jam Matn al-Lughah, (Beirut: Dar Maktabah al-Hayah, 1960), Juz 4, hlm. 576., Khalil bin Ahmad
al-Farahidiy, Kitab al-Ain, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), Juz 5, hlm. 54.
2
Muslim ibn Hajjaj Abu Yusuf al-Qusyairi al-Naisaburi [ditahqiq oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd
al-Baqi], al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar bi Naql al-’Adl ila Rasulillah SAW, (Beirut: Dar al-Ihya’
al-Turats al-’Arabi, [tth]), Juz 2, h. 591.
3
Ibn al-Manzhur, Lisan al-’Arab, op.cit., h. 355.
4
Ibn al-Manzhur, Lisan…., ibid., jilid ke-8, h. 176.
5
Muslim, al-Musnad al-Shahih…,Juz 4, h. 2305
6
Ibn al-Manzhur, Lisan….., op.cit., h. 175, Nur al-Din Mukhtar al-Khadimiy [selanjutnya
disebut ibn Mukhtar al-Khadimiy], ‘Ilm al-Maqashid al-Syari’ah, (Riyadh: Maktabah al-Abikan,
2001), cet. Ke-1, h. 14.
7
Ibn Mukhtar al-Khadimiy, Ilm al-Maqashid….., ibid, h. 14.

34
Abd al-Rahman bin Abd al-Qasim, Majmu’ al-Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad ibn Taimiyah,
8

(Al-Madinah Al-Munawwarah: Makma’ al-Malik Fahd Li Thiba’ at al-Mushhaf al-Syarif, 2004).

Izz al-Din Bin Zaghibah, al-Maqashid Al-Ammah li al-Syari’ah al-Islamiyah, (Cairo: Dar al-
9

Safwah, 1996), h. 39.

Muhammad Ali al-Tahanawi, Manshir’ah Kasysyaf Ishtilahat al-Funun wa al-Ulum, vol. 1


10

ed. Ali Dahruj (Beirut:, Maktabah Lebanon, 1996), h. 1019., Muhammad al-Tahir bin ‘Asyur, Maqashid
al-Shari’ah al-Islamiyyah, (Tunisia: Dar Syuun li al-Nashr wa al-Tawzi’, 2007), h. 49.

Alal al-Fasi, Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah wa Makarimuha, (Dar al-Gharb al-Islamiy,


11

1993), cet. Ke-5. h. 7.

Ahmad Raisuni, Nadzariat al-Maqashid ‘inda Imam al-Syathibi, (Jeddah: Dar al-Ilmiah li al-
12

Kitab al-Islami, 1995), h. 19.


13
Riyadh Manshur al-Khalifi [selanjutnya disebut Manshur al-Khalifi], al-Maqashid al-Syari’ah
wa Atsaruha fi Fiqh al-Mu’amalat al-Milkiyyah, (Kuweit: Maktabah al-Istisyarat al-Syari’yyah, 2004),
h. 8.

Yusuf Hamid al-Alim, al-Maqashid al-’Ammah li al-Syari’ah al-Islamiyyah, (Riyadh: al-


14

Ma’had al-’Alawiy li al-Fikr al-Islamiy, 1994), cet. Ke-2, h. 79.


15
Lihat : “Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah hal. 371”
16
Lihat : “Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah hal. 34”
17
Nur al-Din bin Mukhtar al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqashidy, (Qatar: Wizarat al-Awqaf wa
Syuun al-Diniyah), h. 52.
18
Nur al-Din bin Mukhtar al-Khadimi, Abhas fi Maqashid al-Syari’ah, h. 14.
19
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), Juz 2, cet. 1, h.
1017.
20
Wahbah al-Zuhaili, loc.cit., h. 1018.
21
Yusuf Hamid al-Alim, loc.cit., h. 79.

Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawiy, Maqashid al-Syari’ah ‘ind Ibn Taimiyah, (Mesir: Dar
22

al-Nafa’is, 2000), cet. Ke-1, h. 52.

Muhammad ibn Isma’il Abu ‘Abdillah al-Bukhari, ditahqiq oleh Muhammad Zahir ibn Nashir
23

al-Nashir, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umur Rasulillah SAW wa Sunanuh wa
Ayyamuh, (Damaskus: Dar Thauf al-Najah, 1422 H), jilid ke-7, h. 150 dan jilid ke-8, h. 49.

Taqiy al-Din Abu al-’Abbas Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah (w. 728 H) al-Harani,
24

[ditahqiq oleh ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad Qasim], Majmu’ al-Fatawa, (Madinah: Majma’ al-
Mulk, 1995), jilid ke-14, h. 144-145.
25
Ibn Mukhtar al-Khadimiy, ‘Ilm Maqashid….., op.cit., h. 28.
26
Ibid., h. 17.

35
27
Wahbah al-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh al-Islami, (Damascus: Dar al-Fikr, 1986), h. 225.

Yasser Auda, Maqashid al-Syari’ah as Philoshophy of Islamic Law: A System Approach, h. 1-


28

2 dan 23-25.
29
Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, ed. Muhammad al-Khadar Husein al-Tulisi,
(ttp, Dar al-Fikr, t.th), h. 4-5.

Muhammad Sa’ad bin Sa’id al-Yubi, Maqashid al-Syari’ah al-Islmaiyah wa alaqatuha bi al-
30

Adillah al-Syari’yah, (Riyadh: Dar al-Hijrah Li al-Nasyr wa wal-Taqzi’, 1998), h. 41.


31
Ibid.
32
Nur al-Din bin Mukhtar al-Khadimi, Ilm al-Maqashid al-Syari’yah, (Riyadh: Maktabah al-
Abikan, 2001), h. 53.
33
Al-Yubi, loc.cit.
34
Departemen Agama Ri, op.cit., h. 28.
35
Ibid., h. 108.
36
Ibid., h. 341.
37
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2002), Juz 1,
h. 93.

Ibnu Majah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub
38

al-Araby, t.th), Juz 2, h. 1137.


39
Malik bin Anas, Muwaththa’ Malik, (t.tp: Mushtafa al-Bab al-Halaby, 1985), Juz 2, h. 784.
40
Al-Khadimi, Ilm al-Maqashid….., h. 54. Al-Yubi, op.cit., h. 44.
41
Nur al-Din bin Mukhtar al-Khadimi, al-Ijtihad…….., h. 91.

Muhammad Said Ramadhan al Buthi, Dhawabit al Mashlahat fri al Syari’ah al Islamiyah,


42

(Beirut: Muasasah al Risalah, 1977), h. 140-141.


43
Al-Khadimi, al-Ijtihad……, h. 96.
44
Ibn Qayyim al Juziyah, I’lam al Muwaqi’in ‘an Rab al ‘Alamin, (Beirut: Dar al Fikr, t.th), Juz
3, h. 14.
45
Al-Khadimi, Ilm al-Maqashid….., h. 55.
46
Al-Raisuni, op.cit., h. 40-42.
47
Ibid., h. 43-46.
48
Al-Yubi, op.cit., h. 48.
49
Ibid., h. 51. Al-Raisuni, op.cit., h. 52.
50
Ibid., h. 54-66.

36
51
Abu al Ma’ali Abd al Malik Ibn Abdullah Ibn Yusuf al Juwaini, al Burhan Fi Ushul al Fiqh,
(Cairo: Dar al Anshar, 1400 H), Juz 1, h. 295.
52
Al-Raisuni, op.cit., h. 48.
53
Abu Hamid al Ghazali, Syifa’ al Ghalil fi Bayan al Syabah wa al Mukhil wa Masalik al Ta’lil,
(Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1999 M), h. 79.
54
Al-Yubi, op.cit., h. 73. Baca juga al-Khadimi, Ilm al-Maqashid….., h. 61.
55
Abu Ishaq al Syathibi, al-Muwafaqat, (Mesir: Maktabah al-Tijariyah, t.th), Jilid 4, h. 89.
56
Mukaddimah Tahqiq Kitab “Al Fawaid fi Ikhtisar al Fawaid aw al-Qawaid al-Sughro” oleh
Al-Izz Ibnu Abd. Salam, Iyad Khalid al-Thabba, (Beirut - Lebanon: Dar al Fikr al Mu’ashir dan
Damascus: Dar al Fikr, 1996 M - 1416 H), h. 14-15, Al-Khadimi, op.cit., h. 65.
57
’Adnan M. Umamah, al-Tajdid fi al-Fikr al-Islami (Beirut: Dar Ibn al-Jawzi’, 1994), h. 190.
Lihat juga Raid Nasri Jamil Abu Mu’nas, Manhaj al-Ta’lil bi al-Hikmah wa Atharuh fi Tashri’ al-
Islam: Dirasah Usuliyyah Tahliliyyah (Herndon: al-Ma’had al-’Alimi li al-Fikr al-Islami: 2007), h. 262.
58
Lihat ‘Abd al-Majid al-Najjar, Maqashid al-Shari’ah Bi’ab’ad al-Jadidah, h. 38.
59
Ibid., h. 38-39. Contoh lain adalah ketika Allah SWT memperbolehkan ta’aruf atau perkenalan
di antara kedua belah pihak terutama laki-laki dan perempuan, maka dalam pernikahan disyaratkan
adanya kesepakatan dari kedua calon mempelai, termasuk disyaratkan adanya persetujuan seorang wali
dan mengumumkan pernikahan itu. Dari contoh ini maka tujuan atau maksud syari’at yang ditemukan
melalui pencarian ‘illah adalag agar supaya terjalin dan lebih memperkokoh hubungan keluarga.
60
Ibid., h. 40. Lihat juga Muhammad Mukhtar Ibn Ahmad Mazid, Ahkam al-Jarahah al-
Tibbiyyah wa al-Athar al-Mutarattibah ‘Alayha (Jeddah: Maktabah al-Sahabah, 1994), h. 190. Dalam
disertasi yang kemudian ia jadikan buku ini, Mazid mengangkat tema tentang bagaimana hukum serang
laki-laki atau perempuan yang melakukan operasi ketampanan atau kecantikan dengan tujuan
merealisasikan al-maqashid al-tahsiniyyat. Dalam salah satu bab tentang fi jarahat al-tajmil al-
tahsiniyyah (operasi kecantikan/ketampanan untuk merealisasikan tahsiniyyah). Ia berkesimpulan
bahwa operasi kecantikan/ketampanan yang sampai merubah ciptaan Allah SWT, dari hidung pesek
menjadi mancung, dari hitam menjadi putih, dari laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya adalah
haram. Karena meskipun ia ingin melaksanakan maqashid al-tahsiniyyah akan tetapi bertentangan
dengan hifz al-nafs (maqashid al-daruriyyat) yakni Allah SWT telah memuliakan manusia sebagai
ciptaan yang paling bagus dan sempurna. Mazid menambahkan bahwa melaksanakan maqashid al-
tahsiniyyah dengan melakukan operasi kecantikan atau ketampanan sampai merubah ciptaan Allah
SWT adalah betuk dari maqashid al-wahmiyyah atau maqashid ghayr mu’tabarah atau sering disebut
dengan maqashid mulghah (tujuan yang sesat).
61
Nur al-Din Mukhtar al-Khadimi, Abhath fi Maqashid al-Shari’ah, h. 42.
62
Abd al-Majid al-Najjar, Maqashid al-Shari’ah Bi’ab’ad al-Jadidah, h. 40-41.
63
Menurut ‘Allal al-Fasi bahwa dengan mendirikan sistem kepemerintahan yang kuat, menjaga
segala peraturn yang ada, menegakkan undang-undang secara adil dan terus berkelanjutan (istiqamah),
memaksimalkan peran akal secara proporsional, menjaga perbuatan yang dapat merugikan orang lain,
maka hal ini berarti telah mengaplikasikan prinsip-prinsip al-maqashid al-kulliyyah berupa prinsip

37
memudahkan (al-taysir) dan menghilangkan kesulitan (raf’u al-haraj), tujuan menjaga institusi umat,
persamaan derajat di antara sesama manusia dan seterusnya. Lihat ‘Allal al-Fasi, Maqashid al-Shari’ah
al-Islamiyyah wa Makarimuha (Beirut: Maktabah al-Wahdah al-’Arabiyyah, 1963), h. 45-46.
64
’Abd al-Majid al-Najjar, Maqashid al-Shari’ah Bi’ab’ad al-Jadidah, h. 41-42.
65
Ibid.
66
Jasser Auda, Maqashid al-Shari’ah a Beginner’s, h. 6-7; Jasser Auda, Maqashid al-Shari’ah
as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, h. 5.

Ahmad al-Raysuni, Imam al-Shatibi’s Theory of the Higher Objectives and Intents of Islamic
67

Law (London: The International Institute of Islamic Thought, 2005), xxiii.


68
Ibid.
69
Jasser Auda, Maqashidi Approach to Contemporary Application of the Shari’ah, dalam
Intellectual Discourse, Vol, 19, No. 1 (IIUM Press: 2011), h. 197.
70
Ahsan Lihasasinah, al-Fiqh al-Mqasidi ‘Inda al-Imam al-Shatibi wa Atharuh ‘ala Mabahith
Usuli al-Tashri’ al-Islami (Cairo: Dar al-Islam li al-Taba’ah wa al-Nashr wa al-Tawzi’, 2008), h. 25;
Ahmad al-Raysuni, Imam al-Shatibi’s Theory of the Higher Objectives and Intents of Islamic Law,
xxiii.

’Allal al-Fasi, Maqashid al-Shari’ah al-Islamiyyah (Rabat: Maktabah al-Wahdah al-


71

’Arbaiyyah, t.th), h. 7.
72
Jasser Auda, Maqashid al-Shari’ah al-Shari’ah a Beginner’s, h. 6-7; Jasser Auda, Maqashid
al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law: A System Apprach, h. 5.
73
’Abd al-Majid al-Najjar, Maqashid al-Shari’ah Bi’ab’ad al-Jadidah, h. 45-46.
74
’Abd al-Qadir ‘Awdah, dalam bukunya terutama pada bab “tartib al-maqashid al-’ammah min
al-tashri” menjelaskan secara panjang lebar dan sangat rapi tentang al-maqashid al-daruriyyat
sehingga mudah untuk dipahami. Ia membaginya menjadi tiga bagian, daruriyyat, hajiyyat, dan
tahsiniyyat, di mana ketiga tujuan tersebut harus direalisasikan dari urutan yang pertama, daruriyyat,
kemudian urutan kedua hajiyyat, dan baru tahsiniyyat. Lihat ‘Abd al-Qadir ‘Awda, al-Tashri’ al-Janiy
al-Islami Muqaranan bi al-Qanuni al-Wad’i (Beirut: Dar al-Katib al-’Arabi, t.th), h. 203. Lihat juga
Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawi, Maqashid al-Shari’ah ‘inda Ibn Taymiyyah (Yordan: Dar al-
Nafais li al-Nashri’ wa al-Tawzi’, 1999), h. 85.
75
Ahsan Lihasasanah, al-Fiqh al-Maqashid ‘inda al-Imam al-Shatibi wa Atharuh ‘ala Mabahith
Usul al-Tashri’ al-Islami, h. 19. Untuk melengkapi hirarkhi yang dibuat al-Shatibi, Adnan M. Umamah
menambahkan dengan beberapa contoh riil, seperti untuk merealisasikan hifz al-nasl adalah dengan
ijtihad, untuk merealisasikan hifz al-nafs adalah dengan perkawinan yang sah, untuk merealisasikan hifz
al-aql adalah melalui pengharaman meminum khamer dan semua yang memabukkan, untuk
merelasisasikan hifzal-’ird adalah melalui pemberian hukuman terhadap pelaku zina dan qadhaf
(menuduh orang lain berbuat zina), dan untuk merealisasikan hifzal-mal adalah dengan keharaman
mencuri, hukum had (potong tangan) bagi pelaku dan termasuk pendusta dan pengkhianat. Lihat Adnan
M. Umamah, al-Tajdid fi al-Fikr al-Islami (Beirut: Dar Ibn al-Jawzi’, 1994), h. 190.

38
76
Tentang klasifikasi hirarkhi kelima al-maqashid al-daruriyyat al-khams ini ‘Abd al-Qadir
‘Awdah menawarkan contoh penyelesaian yang cukup menarik tentang bagaimana dan tindakan apa
yang harus diutamakan ketika terjadi perselisihan di antara komponen yang ada dalam al-daruriyyat al-
khams itu sendiri. Contoh dari daruriyyat adalah ijtihad. Dengan melakukan ijtihad, maka seseorang
telah merealisasikan hifz al-din dan menjaga agama memiliki tingkatan yang lebih utama dari hifz al-
nafs. Selanjutnya, meminum khamer demi menyelamatkan jiwa diperbolehkan bagi orang yang dipaksa
untuk meminumnya atau dalam kondisi darurat karena hifz al-nafs harus lebih diutamakan daripada hifz
al-aql. Dan berikutnya, jika seseorang terpaksa harus berkorban demi menyelamatkan harta orang lain
yang sangat membutuhkan untuk kelangsungan hidupnya, maka hal itu boleh atau bahkan harus
dilakukan karena hifz al-nafs memiliki kedudukan yang lebih utama dari hifz al-mal, dan begitu
seterusnya. Lihat ‘Abd al-Qadir ‘Awda, al-Tashri’ al-Janaiy al-Islami Muqaranan bi al-Qanuni al-
Wad’i, h. 203.

Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT. Listakwarta Putra, 2003),
77

halaman 44.
78
’Abd al-Majid al-Najjar, Maqashid al-Shari’ah Bi’ab’ad al-Jadidah, h. 47-46.
79
Al-Shatibi, al-Muwafaqat, vol. 2, h. 226. Lihat juga Ahsan Lihasasanah, Al-Fiqh al-Maqashid
‘inda al-Imam al-Shatibi wa Atharuh ‘ala Mabahith Usul al-Tashri’ al-Islami, h. 20. Dan periksa juga
dalam ‘Abd al-Majid al-Najjar, Maqashid al-Shari’ah Bi’ab’ad al-Jadidah, h. 48.

….…………………………………………………………………………………Lihat Adnan
80

M. Umamah, al-Tajdid fi al-Fikr al-Islami (Beirut: Dar Ibn al-Jawzi’, 1994), h. 335.
81
Abu Hamid al-Ghazali mengatakan:
………………………………………..………………………………………………….. Lihat Abu
Hamid al- Ghazali, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, vol. 1 (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turath al-’Arabi,
1997), h. 217.

….……………………………………………………………………………….….…..
82

Pendapat ini dikutip oleh Ahsan Lihasasanah, Al-Fiqh al-Maqashid ‘inda al-Imam al-Shatibi wa
Atharuh ‘ala Mabahith Usul al-Tashri’ al-Islami, h. 20.
83
Ibn Mukhtar al-Khadaimiy, ‘Ilm Maqashid……, ibid., h. 78.
84
Abi ‘Abd al-Rahman Ahmad ibn Syu’ib ibn ‘Ali al-Nasa’i, ditahwiw oleh Nashir al-Din al-
Albani, Sunan al-Nasa’i, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1417 H), h. 464.
85
Muhammad ibn Isma’il Abu ‘Abdillah al-Bukhari, ditahqiq oleh Muhammad Zahir ibn Nashir
al-Nashir, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umur Rasulillah SAW wa Sunanuh wa
Ayyamuh, (Damaskus: Dar Tahuf al-Najah, 1422 H), Juz ke-8, h. 30.
86
Al-Bukahri, al-Jami’ al-Musnad….,ibid., h. 12.
87
Ibn Mukhtar al-Khadimiy, ‘Ilm Maqashid…., op.cit., h . 11.
88
Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, al-Mustashfa Min Ilm al-Ushul, (Qum:
Intisyarat Dar al-Dzakha’ir, 1368 H), cet. ke-2, juz ke-1, h. 286-287.

39
89
Ibrahim ibn Musa al-Lakhmi al-Gharnathi Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H) [ditahqiq oleh
Abdullah Darraz], al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Mesir: Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, t.th),
juz ke-1, h. 5.
90
Al-Ghazali, al-Mustashfa min Ilm Ushul, (Beirut: Al-Risalah, 1997), h. 416.
91
Ibrahim bin Musa al-Khumiy al-Gharnathiy al-Syathibiy al-Malikiy (al-Syathibiy), al-
Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th), Juz 2, h. 172.
92
Al-Razy, Al-Mahsul, (Riyadh: Jami’ah Al-Imam Muhammad bin Saud al-Islamiyah, 1400 H),
Juz 6, h. 219-220.
93
Al-Syathibi, op.cit.
94
’Abd al-’Aziz ibn ‘Abd al-Rahman ibn ‘Ali Rabi’ah [selanjutnya disebut Ibn Rabi’ah], ‘Ilm
Maqashid al-Syari’, (Riyadh: Maktabah al-Malik Fahdh al-Wathaniyyah Atsna’ al-Nasyr, 2002), cet.
Ke-1, h. 38.

Lihat juga Muhammad Thahir ibn ‘Asyur [ditahqiq oleh Muhammad al-Thahir al-Maisawi],
95

Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyyah, (Yordania: Dar al-Nafa’is, 2001), cet.ke-2, h. 183.


96
Ibn ‘Asyur, Maqashid…..,ibid., h. 183.
97
Ibn Mukhtar al-Khadimiy, ‘Ilm Maqashid…., op.cit., h. 51-52.
98
Ibn ‘Asyur, Maqashid…., op.cit., h. 184.
99
Kalau ditelisik lebih jauh ke belakang, metode penggalian hukum secara induktif pada
dasarnya telah ada dalam tradisi keilmuan Yunani. Metode ini kemudian dikembangkan oleh sarjana
Islam dari filsafat Aristoteles dengan mengedepankan rasional-fislosofis. Kerangka berfikir Aristoteles
ini terkenal di dunia Islam dengan istilah nalar burhani, yaitu sebuah model berfikir yag berusaha untuk
menganalisis ilmu sampai pada prinsip-prinsip dan dasar-dasarnya yang terdalam. Silogisme adalah
bentuk aplikasi dari nalar bayani yang di dalamnya tersusun beberapa premis yang disebut dengan
premis mayor, premis minor, dan konklusi. Hal ini berarti bahwa pengambilan kesimpulan tidak bisa
terjadi apabila hanya terdiri dari sau premis. Di samping itu, dua premis tersebut harus mengandung
satu term yang sama. Premis-premis dalam silogisme di atas menurut Aristoteles sebenarnya didapat
dengan cara induktif (istiqra’i) dari realitas empiris yang ada, melalui proses abstraksi. Benda-benda
dan peristiwa-peristiwa parsial dan empiris pada dasarnya masing-masing memiliki kandungan yang
universal, yang dapat disatukan antara satu dengan yang lainnya yang sejenis. Re3ns Bod, A New
History of the Humanities (United Kingdom: Oxford University Oress, 2013), h. 128-129; Gerhard
Endress, “Mathematics and Philosophy in Medieval Islam” dalam The Enterprise of Science in Islam:
New Perspectives, eds. J.P. Hogendijk dan Abdelhamid. I. Sabra (USA: The Massachusetts Institute of
Technology, 2003), h. 142-143. Lihat juga Hussam Muhy al-Din al-Alusi, Madhkal ila al-Falsafah
(Beirut: al-Muassasah al-’Arabiyyah li al-Dirasat wa al-Nashr al-Markaz al-Raisi, 2005), h. 86. Buku
ini secara khusus membahas tentang logika Aristoteles dan pengaruhnya terhadap para sarjana Muslim
terutama dalam kajian hukum Islam dan sarjana Eropa di abad pertengahan.
100
Menurut Ibn Taymiyyah, kaidah-kaidah bahasa Arab buka tujuan akan tetapi tidak lebih dari
sebuah sarana untuk bisa memahami Al-Qur’an secara komprehensif dan akurat karena Al-Qur’an
ditulis dalam bahasa Arab, meskipun Al-Qur’an juga mengandung banyak istilah, kaidah yang bukan

40
berasal dari bahasa Arab. Pada bagian lain ia juga menegaskan
………………………………….……….. Lihat Ibn Taymiyyah, Majmu’al-Fatawa, vol. 7, h. 298.
101
Dalam disertasi doktornya, al-Badawi menjelaskan secara panjang lebar tentang konsep
maqashid al-shari’ah terutama metode untuk mengungkap maqashid al-shari’ah. Disertasi yang
kemudian dicetak dalam bentuk buku ini sempat mendapatkan apresiasi dari para penguji dengan
predikat mumtaz (cum laude). Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawi, Maqashid al-hari’ah ‘inda Ibn
Taymiyyah (Ardan: Dar al-Nafais li al-Nashr wa al-Tawzi’, 1999), h. 201-240. Menanggapi poin yang
terakhir ini, al-Shatibi menegaskan bahwa jika seorang mujtahid mampu menemukan tujuan syari’at
yang tidak ada ketentuan secara jelas dalam nash, jika temuan itu baik dan selaras dengan spirit nash
maka bisa diterima. Akan tetapi jika temuan itu justru bertolak belakang dengan nilai-nilai dasar
syari’at, maka temuan itu tidak bisa diterima atau batal. Lihat al-Shatibi, al-Muwafqat, vol. 2, h. 685.
102
Menurut al-Shatibi, ada empat mazhab yang memberi respon terhadap upaya menyibak
maqashid al-shari’ah, yaitu mazhab Zahiriyyah, Batiniyyah, al-Muta’ammiqun fi al-qiyas (berpegang
teguh pada metode qiyas), dan jumhur atau al-rasikun. Pertama mazhab Zahiriyyah (tekstualis)
berpendapat bahwa maqashid al-shari’ah hanya mampu di ketahui secara tekstual atas petunjuk teks.
Kedua, mazhab Batiniyyah (esensialis) yang mengatakan bahwa maqashid al-shari’ah tidak bisa
dicapai dengan sekedar memahami teks secara literal akan tetapi harus melalui pemahaman tentang apa
yang ada di balik teks. Ketiga al-muta’ammiqun fi al-qiyas memahami bahwa maqashid al-shari’ah
hanya mampu diungkap melalui qiyas, dan keempat adalah a;-rasikhun yang mengatakan bahwa
maqashid al-shari’ah harus dipahami dalam perspektif teks dan konteks. Teks yang dimaksudkan di
sini adalah mencermati makna literal nash, sedangkan konteks adalah makna substansi atau ‘illah yang
terkandung dalam sebuah teks. Makna substansi tidak boleh merusak arti literal suatu nash, demikian
pula sebaliknya. Lihat al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkum, vol. 2 (Mesir: al-Maktabah al-
Tijariyyah al-Kubra, t.th), h. 274-275 dan 667.
103
Ibid., h. 668. Raid Nasri Jamil Abu Mu’nas memberi komentar atas langkah pertama al-
Shatibi. Ia berpendapat bahwa lafal “perintah” atau “larangan” yang telah jelas bukanlah tujuan syari’at
tetapi tidak lebih dari sekedar maksud sang pembuat syari’at untuk dilaksanakan atau ditinggalkan. Abi
Mu’nas menambahkan bahwa maksud syari’at yang sebenarnya adalah justru pada pencarian ‘illah
berupa maslahah atau mafsadah bagi manusia dengan melaksanakan perintah atau meninggalkan
larangan itu. Inilah hakekat maksud syari’at yang tidak sekedar berorientasi untuk sang pembuat syari’at
tetapi juga untuk manusia. Lihat Raid Nasri Jamil Abu Mu’nas, Manhaj al-Ta’lil bi al-Hikmah wa
Atharuh fi al-Tashri’ al-Islami (London: The International Institute of Islamic Thought, 2007), h. 358-
359. Lihat juga Ahmad al-Raysuni, Nazariyyat al-Maqashid ‘inda al-Imam al-Shatibi (London: The
International Institute of Islamic Thought, 2007); Ahmad ‘Ali Taha, Maqashid al-Shari’ah ‘inda al-
Imam Malik: Bayn al-Nazriyyah wa al-Tatbiq (t.t: Dar al-Salam, 2009). Dalam buku terakhir ini,
tampak ada kesesuaian dengan pandangan al-Shatibi.
104
”Perintah untuk melakukan sesuatu berarti juga larangan untuk melakukan kebalikannya”.
Lihat Ahsan Lihasasanah, Al-Fiqh al-Maqashid ‘inda al-Imam al-Shatibi wa Atharuh ‘ala Mabahiyh
Usul al-Tashri’ al-Islami, h. 99. Lihat juga al-Shatibi, al-Muwafaqat, vol. 2, h. 668. Menurut Wahbah
al-Zuhayli, kaidah ini telah disepakati oleh mayoritas ulama usul kecuali Mu’tazilah. Sebagai contoh:
larangan “berdiri” berarti menunjukkan peritah “dudul” dan seterusnya. Lihat Wahbah Zuhayli, Usul
al-Fiqh al-Islami, vol. 2 (DamaskusL Dar al-Fikr, 1986), h. 228.
105
Al-Shatibi, al-Muwafaqat, vol. 2, h. 668.

41
”Tujuan syari’at tergantung pada ada atau tidanya ‘illah hukum”. Kaidah ini hampir ada di
106

setiap pembahasan tentang usul al-fiqh. Lihat Muhammad al-Amin Ibn Muhammad al-Mukhtar,
Mudhakkarah fi Usul al-Fiqh (Madinah Munawwarah: Maktabah al-’Ulum wa al-Hikam, t.th), h. 33-
34.
107
Al-Shatibi, al-Muwafaqat, vol. 2, h. 669.
108
”Sesungguhnya, ketika sang pembuat syari’at menetapkan hukum-hukum baik berupa
kebiasaan atau ibadah pasti mengandung tujuan yang bersifat pokok dan tujuan yang mengikuti
(tabi’ah)”. Lihat al-Shatibi, al-Muwafaqat. Vol. 2, h. 670.
109
Ibid., h. 671. Konsep al-Shatibi tentang klasifikasi maqashid asliyyah dan maqashid al-
tabi’iyyah, menurut Abu ‘Ubaydah, sering merujuk pada pemikiran Ibn Tayminyyah. Lihat juga Al-
Shatibi, Al-I’tisam, vol. 1, ed. Abu ‘Ubaydah (t.t: Maktabah al-Tawhid, t.tp), h. 86-87. Lihat juga
penjelasan dalam tesis al-Najran yang sudah dicetak menjadi buku tentang pambahasan ini. Lihat
Sulayman Ibn Muhammad Ibn ‘Abd Allah al-Najran, al-Mufadalah fi al-’Ibadat: Qawa’id wa Tatbiqat
(Riyadh: t.p., 2004), h. 271-272; ‘Abdullah Ibn ‘Abd Rahman al-Bassami, Tawdih al-Ahkam min
Bulugh al-Maram, vol. 1 (Makkah al Mukarramah: Maktabah al-Asadi, 2003), h. 91.

”Maka (dalam keadaan semacam ini) para ahli hukum Islam harus melakukan penelitian
110

tentang persoalan itu dan mengoperasionalkan berdasarkan ketentuan yang ada pada kebutuhan
daruriyyat kemd=udian barulah dibangun ketentuan hukum baru berdasarkan maslahah al-mursalah”.
Al-Shatibi, al-Muwafaqat , vol. 2, h. 672.
111
Ibid., h. 672.
112
Mohammad Tahir Ibn ‘Asyur, Maqashid al-Shari’ah al-Islamiyyah, vol. 2 (Yordan: Dar al-
Nafais), 2001), h/ 189-196.
113
Muhammad Hasan Hasan Jabal, Difa’u ‘an al-Qur’an al-Karim: Usalat al-A’rab wa Dalalath
‘ala al-Na’ani fi al-Qur’an al-Karim wa al-Lughah al-’Arabiyyah (Beirut: al-Taba’ah al-Hadithah,
2000), h. 114.

Ahmad Ibn ‘Abd al-Halim, Majmu’ al-Fatawa li Shaykh al-Islam Taqiy al-Din Ibn
114

Taymiyyah al-Harrani, vol. 9 (t.t: Dar al-Wata’ li al-Taba’ah wa al-Nashr wa al-Tawzi’, 2005), h. 106.
115
Sebagai contoh penerapan metode istiqra’ dalam usul al-fiqh adalah prinsip bahwa
…………………………….. (pada prinsipnya kalimat perintah menunjukkan hukum wajib).
Kesimpulan ini diambil berdasarkan pada satuan-satuan pernyataan (premis) berupa: (1) dalil nash yang
menunjukkan celaan bagi orang yang tidak mengindahkan perintah Allah SWT; (2) dalil nash yang
menunjukkan ancaman bagi orang yang tidak melaksanakan perintah; (3) pernyataan Nabi berupa
perintah atau tindakan memberi contoh yang kemudian dipahami para sahabatnya sebagai sesuatu yang
wajib dilaksanakan dan anggapan mereka dibenarkan oleh Nabi sendiri; (4) aspek kebahasaan
menunjukkan bahwa fi’il amr (kalimat perintah) menunjukkan wajib kecuali ada indikasi yang
menunjukkan makna lain.
116
Imam al-Shafi’I menetapkan hukum masa hadi terpendek adalah sehari semalam, masa yang
lumrah ena atau tujuh haru atau tujuh malam, dan masa hadi yang terpanjang adalah lima belas hari
atau lima belas malam. Penetapan hukum semacam ini dilakukan oleh Imam al-Shafi’i berdasarkan
penelitian atas beberapa wanita di Mesir yang kemudian ia tetapkan sebagai ketentuan hukum fikih bagi
semua wanita di dunia.

42
117
Muhammad ‘Ali al-Tahanawi, Mawsi’at Kashshaf Istilahat al-Funun wa al- ‘Ulum, vol. 1
(Beirut: Maktabah Lebanon Nashirun, 1996), h. 172.
118
Contoh dalam hukum fikih “salat lima wakti hukumnya wajib” kesimpulan ini tidak hanya
didasarkan pada satu penggalan ayat saja, tetapi harus dilakukan penelitian (istiqra’) untuk mencari
ayat-ayat lain yang akan mendukung hasil kesimpulan nanti. Hukum wajib salat dihasilkan oleh
penelitian istiqra’ bahwa: (1) banyak ayat yang mengandung ‘amr untuk melaksanakan salat; (2)
penghargaan khusus kepada orang yang melaksanakan salat; (3) ancaman bagi yang meninggalkan
salat; (4) perintah melaksanakan salat dalam kondisi apapun, baik dalam keadaan sehat atau sakit,
situasi aman atau dalam peperangan, duduk atau berdiri dan sebagainya; (5) riwayat secara mutawatir
dari Nabi hingga saat ini yang menunjukkan bahwa umat Islam memelihara pelaksanaan salat.
Pernyataan 1-5 tersebut sudah diuji kebenarannya. Ternyata kebanyakan premis tersebut menunjukkan
bahwa salat itu hukumnya wajib. Karena menyangkut persoalan agama, maka kesimpulan yang
diperoleh dari istiqra’ naqis dengan mutu zann harus meyakinkan.
119
Al-Shatibi
mengatakan…………………………………………………………………………… Lihat al-Shatibi,
al-Muwafaqat, vol.2, h. 323.
120
Istiqra’ Tamm biasanya ditemukan dalam penelitian tentang ilmu-ilmu alam di mana
karakteristik objek-objek yang diteliti bersifat konstan.
121
Ibn ‘Asakir mendefinisikan istiqra’ tamm dengan
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………….. Lihat Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawi, Maqashid al-Shari’ah
‘inda Ibn Taymiyyah (Ardan: Dar al-Nafais li al-Nashr wa al-Tawzi’, 1999), h. 203. Dalam wilayah
kajian hukum Islam, istiqra’ naqis menempatkan Al-Qur’an, Hadis, dan pendapat para ulama yang
memiliki otoritas sebagai objek utama. Eksistensi istiqra’ naqis yang menghasilkan kesimpulan zann
(kemungkinan besar benar).
122
Hussam Muhy al-Din al-Alusi, Madhkal ila al-Falsafah (Beirut: al-Muassasah al-’Arabiyyah
li al-Dirasat wa al-Nashr al-Markaz al-Raisi, 2005), h. 86.
123
Ibn ‘Asakir mendefinisikan istiqra’ naqis dengan
…………………………………………….. Lihat Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawi, Maqashid al-
Shari’ah ‘inda Ibn Taymiyyah, h. 203.

’Amir al-Jazzar, Majmu’ah al-Fatawa li Shaykh al-Islam Taqiyy al-Din Ibn Taymiyyah al-
124

Harrani, vol. 9 (t.t: Dar al-Wafa’ li al-Taba’ah wa al-Nashr wa al-Tawzi’, 2005), h. 106-107.
125
Muhammad al-Badawi, Maqashid al-Shari’ah ‘inda Ibn Taymiyyah, h. 203.

Ahsan Lihasasanah, Al-Fiqh al-Maqashid ‘inda al-Imam al-Shatibi wa Atharuh ‘ala


126

Mabahith Usul al-Tashri; al-Islami, h. 104-105. Lihat juga Birkat Ahmad Bani Mulham, Maqashid al-
Shari’ah al-Islamiyyah fi Shahabah (t.t: Dar al-Nafais, 2005).
127
Redaksi hadis ini
adalah:……………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………………

43
……………………………………………………………………………………………………………
…. Hadis ini dimuat dalam Shahih al-Bukhari pada bab ‘amal fi al-salah, hadis no. 1211, vol. 2., h.
367.
128
Al-Shatibi, al-Muwafaqat, vol. 2., h. 128-150.
129
Ibid., h. 292.
130
Ibid., h. 293.
131
Ibid., h. 294.
132
Ibid., h. 295.
133
Ibid., loc.cit., h. 295.
134
Ibid., h. 295.
135
Lihat al-Ghazali, Al-Mustashfa, jilid II, h. 311.
136
Al-Thufi, Syarh Mukhtashar al-Raudhah, jilid III. h. 46.
137
Al-Syathibi, op.cit., Juz 5, h. 41.
138
Musfir bin Ali al-Qaththany, op.cit., h. 328.
139
Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lamu al-Muwaqi’in, Juz 3, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), h. 3.

44

Anda mungkin juga menyukai