Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan beragam peristiwa


yang melingkupinya. Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan
sunnatullah (alamiah), sehingga tak dapat terelakkan dalam keseharian setiap
insan. Sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan universal (Rahmatan li
al-‘Alamin), Islam tidak melepaskan perhatiannya pada unsur-unsur kesulitan
yang dialami umatnya. Islam memberikan apresiasi besar pada kesulitan yang
dihadapi kaum muslimin dengan dengan memberikan keringanan hukum pada
obyek hukum yang dinilai sulit.

Terbukti, dalam kaidah ini ditegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang


dialami seorang Muslim, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial
(mu’amalah), akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada obyek
yang dibebankan kepadanya. Bila seorang Muslim dalam menjalankan sebuah
kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi
serta kemudahan-kemudahannya.

Dalam penggalian Hukum Islam, kita mengenal kaidah “Kesulitan itu

mendatangkan kemudahan”. Yang dikenal dengan nama: ‫ﺍﻠﺘﻴﺴﻴﺮ‬ ‫ﺍﻠﻤﺸﻘﺔ ﺘﺠﻠﺐ‬.

Qa’idah ini merupakan dasar penting sumber syariah. Mayoritas


dispensasi syar’i didassari oleh kaidah ini, selain menjadi Qa’idah fiqhiyah,
Qa’idah ini juga menjadi Qa’idah ushuliyah ai-ammah. Bahkan menjadi Qa’idah
yang memiliki sifat qath’y, karena dalil-dalil yang mendasari dan menjadi
landasan tumpuannya sangant sempurna.

Sesungguhnya syari’ah tidak menuntut seseorang untuk melakukan


sesuatu yang menjatuhkannya pada kesulitan, atau sesuatu yang tidak sesuai

1
dengan karakter dan hati nuraninya. Kemudahan dan keringanan adalah tujuan
dasar dari “pemilik syari’ah yang bijaksana” dalam memberlakukan syari’ah
Islam.

Kesulitan sesuatu bisa terjadi secara insidentil dan secara kontinyu. Orang
yang menderita sakit-berdasarkan perkiraan medis-yang tidak memungkinkan
sembuh secara biasa, akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan bebrapa
kewajiban. Oleh karena itu, kesulitan tersebut diatasi dengan cara memberi
dispensasi, mengganti, dan mengubahnya. Sedangkan orang yang berpergian jauh
berdasarkan kebiasaan mengalami kelelahan dan karenanya berat dalam
melaksanakan kewajiban. Itupun diatasi dengan cara memberikan keringanan.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang hendak diuraikan dalam makalah ini adalah:

1. Apakah yang dimaksud dengan kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir?

2. Bagaimanakah tanggapan Al-Qur’an terhadap kaidah al-masyaqqah tajli

al-taisir?

3. Sebab-sebab apasaja yang dapat menimbulkan keringanan atau toleransi?

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan


Dengan rumusan-rumusan tersebut diatas, tujuan yang ingin dicapai oleh

penyusun adalah untuk mengetahui:

1. Mengetahui maksud dari kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir dan

memahaminya.

2. Mengetahui tanggapan Al-Qur’an terhadap kaidah al-masyaqqah tajli

al-taisir.

3. Mengetahui sebab-sebab yang dapat menimbulkan keringanan atau

toleransi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Kaidah

Secara bahasa, al-masyaqqat berarti al-ta’b (kelelahan,kepenatan,


keletihan), Sedang arti terminology kata al-taysir adalah al-subulat (gampang,
mudah, ringan), dan al-luyunat (lunak, halus, dan ramah).1

Adapun makna terminologi kaidah asasi ketiga di atas adalah :

‫ﺍﻥ ﺍﻻﺣﻜﺎﻡ ﺍﻠﺗﻲ ﻴﻧﺷﺎ ﻋﻥ ﺘﻂﺒﻳﻗﻬﺎ ﺤﺭﺝ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﻣﻜﻟﻑ ﻭﻤﺸﻗﺔ ﻔﻰ ﻨﻓﺳﻪ ﺍﻭ ﻣﺎﻟﻪ‬
‫ﻓﺎﺍﻟﺸﺭﻳﻌﺔ ﺘﺨﻓﻓﻬﻣﺎ ﺒﻣﺎ ﻴﻗﻊ ﺘﺣﺕ ﻗﺩﺭﺓ ﺍﻠﻣﻜﻟﻑ ﺩﻭﻥ ﻋﺳﺭ ﺍﻭ ﺨﺭﺝ‬

“Hukum yang praktiknya menyulitkan mukallaf, dan pada diri dan


sekitarnya terdapat kesulitan, maka syari’at meringankannya sehingga bebab
tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan.”2

Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya


kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka
syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa
kesulitan dan kesukaran.3

2.1 Sumber Hukum


2.1.1 Al Qur’an4
a. Surat Al Baqarah ayat 185 disebutkan:
‫ﻴﺮﻴﺪ ﷲ ﺒﻜﻡ ﺍﻠﻴﺴﺭ ﻮﻻ ﻴﺮﻴﺪ ﺒﻜﻡ ﺍﻠﻌﺴﺭ‬
1
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asas, (Jakarta: P.T. RajaGrafindo Persada,
2002), hlm. 139.
2
Ibid., hlm 139.
3
Djazuli, Ahmad, Prof, H, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 55.
4
Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, (Surabaya: Khalista, 2005), hlm. 173-175

3
Artinya: “Allah swt. mencintai terwujudnya kemudahan dan tidak
mencintai kesulitan bagimu sekalian”.
b. Surat Al Hajj ayat 78 dinyatakan:
‫ﻮﻤﺎﺠﻌﻝ ﻋﻠﻳﻛﻡ ﻔﻰ ﺍﻠﺩﻳﻥ ﻤﻥ ﺤﺭﺝ‬
Artinya: “Dan Dia tidak menjadikan atas kamu sekalian suatu
kesempitan dalam urusan agama”.
c. Surat Al Maidah ayat 6 dinyatakan:
‫ﻣﺎﻳﺮﻳﺪ ﷲ ﻟﻴﺠﻌﻞﻋﻠﻴﻜﻢ ﻣﻦ ﺣﺮﺝ‬
Artinya: “Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu
sekalian”.
d. Ayat lain yang menjadi dasar kaidah ini adalah surat An Nisa ayat
28 dinyatakan:
‫ﻴﺮﻴﺪ ﷲ ﺃﻥ ﻴﺧﻔﻒ ﻋﻨﻜﻢ‬
Artinya: “Allah mencintai kemudahan bagi kamu sekalian”.
2.1.2 Al Hadits5
Banyak sekali hadits Nabi saw. yang menjadi dasar
terbentuknya kaidah ini, diantaranya adalah:
a. ﴾ ‫ﺍﻨﻤﺎ ﺒﻌﺜﺘﻢ ﻤﻴﺴﺮ ﻴﻦ ﻭﻠﻢ ﺘﺒﻌﺜﻮﺍ ﻤﻌﺴﺮﻴﻦ ﴿ ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺸﻴﺨﺎﻥ‬
“Kalian semua ( kaum Muslimin dengan perantara Nabi saw)
diutus untuk memberi kemudahan; tidak untuk menyulitkan”.
(H.R. Bukhari-Muslim)
b. Hadits riwayat Imam Ahmad ra.:
‫ ﺜﻼ ﺜﺎ‬٬ ‫ ﺇﻥ ﺩﻴﻥ ﷲ ﻴﺴﺮ‬: ‫ﻗﺎﻞ ﺮﺴﻮﻞ ﷲ ﺼﺎﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ‬
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya agama Allah
adalah agama yang mudah.” (kata-kata itu) diucapkan tiga
kali.
c. Hadits riwayat Imam Bukhari-Muslim:
‫ﻤﺎﺨﻴﺮ ﺮﺴﻮﻞ ﷲ ﺮﺴﻮﻞ ﷲ ﺼﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮﺴﻠﻢ ﺒﻴﻦ ﺃﻤﺮﻴﻦ ﺍﻻ ﺍﺨﺘﺎﺮ ﺃﻴﺴﺮﻫﻤﺎ ﻤﺎ ﻠﻢ‬
‫ﻴﻜﻦ ﺇﺛﻤﺎ‬

5
Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 175-177

4
“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan diantara dua perkara,
kecuali beliau memilih yang lebih mudah atau ringan, selama
yang lebih mudah itu bukan perbuatan dosa”.
d. Hadits yang berbunyi:
‫ﻴﺴﺮﻮﺍ ﻮﻻ ﺘﻌﺴﺮﻮﺍ‬
“Permudahlah dan jangan menyulitkan”.
e. Hadits riwayat Imam Ahmad dari Jabir ra.:
‫ﺒﻌﺜﺖ ﺒﺎ ﻠﺤﻨﻴﻔﻴﺔ ﺍﻠﺴﻤﺤﺔ‬
“Aku (Nabi saw.) diutus untuk meninggalkan yang tidak
berhak dan dengan membawa ajaran yang mudah”.

Selain itu, masih banyak hadits-hadits lain yang membincang


seputar kemudahan dan keringanan syariat yang dibawa oleh Nabi
saw. Namun kelima hadits diatas kiranya sudah cukup untuk dijadikan
parameter, bahwa Islam bukanlah agama yang sulit.

Dari akumulasi (kumpulan) ayat dan hadits yang telah


disebutkan diatas, maka tercetuslah kaidah fiqh: al-masyaqqah tajlib
al-taysir yang oleh Ali Haydar dijelaskan bahwa kesulitan yang
terdapat pada sesuatu menjadi sebab dalam mempermudah dan
memperingan sesuatu tersebut, yang pada intinya menekankan
besarnya apresiasi syariat pada bentuk-bentuk kemudahan dan
keringanan hukum. Bahkan al-Sya’bi pernah menyatakan, jika
seorang muslim diperintahkan melakukan salah satu diantara dua hal,
kemudian ia memilih yang paling ringan baginya, maka pilihannya itu
lebih dicintai oleh Allah swt.

Namun perlu dicatat, kemudahan dimaksud jelas tidak berlaku


serampangan dan tanpa arah. Ada batasan dan kualifikasi tertentu
yang harus dipenuhi agar kemudahan itu dapat diperoleh.

3.1 Masyaqqah
3.1.1 Definisi Masyaqqah

5
Lafazh masyaqqah secara bahasa berarti sulit, berat, dan yang
searti dengannya. Dalam bahasa Arab, ketika dikatakan syaqqa alayhi
al-syai’ berarti ada sesuatu yang telah memberatkan seseorang. Di
dalam Al Qur’an terdapat lafazh yang berasal dari akar yang sama
dengan masyaqqah, yakni syiqq al-anfus, sebagaimana yang terdapat
dalam surat al-Nahl ayat tujuh.6
Adapun secara istilah, al-Syathibi memberikan empat makna.
(1) Masyaqqah dimaknai secara umum; meliputi hal-hal yang mampu
dilakukan oleh mukallaf ataupun tidak, karenanya ketika ada seorang
manusia berusaha untuk terbang dia dianggap melakukan masyaqqah
dalam pengertian pertama ini. (2) Masyaqqah dimaknai sebagai
perbuatan yang sebenarnya mampu dikerjakan manusia, hanya saja
hal itu akan menyebabkan orang yang melakukannya berada dalam
kesulitan yang sangat berat.7 (3) Masyaqqah dalam pengertian
kesulitan yang tidak sampai ‘keluar’ dari kebiasaan umum. (4)
Masyaqqah yang dimaknai sebagai ‘melawan hawa nafsu’.8
3.1.2 Karakter dan Kualifikasi Masyaqqah
Berdasarkan analisa al-Suyuthi, karakteristik kesulitan
(masyaqqah) secara umum terbagi dalam dua pembagian pokok:9
1) Masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban (ibadah).
Misalnya: rasa lelah ketika melakukan perjalanan haji, tidak
secara otomatis menggugurkan kewajiban haji.
2) Masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban. Masyaqqah
jenis kedua ini terbagi lagi dalam tiga tingkatan:

6
Al-Syathibi: al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, II/119, ed. Abdullah Darraz. Dar al-Ma’rifah,
Beirut.
7
Bagian yang kedua ini oleh al-Syathibi dibagi lagi menjadi dua bagian. Pertama, berupa sifat
yang menetap pada sebuah pekerjaan. Artinya ketika pekerjaan itu dikerjakan untuk pertama kali
akan langsung menimbulkan masyaqqah. Kedua, masyaqqah yang bukan merupakan ‘sifat asli’
dari pekerjaan itu, dengan kata lain kesulitan dalam perbuatan semacam ini baru terasa setelah
dilakukan berulang-ulang al-Muwafaqat, Ibid, II/ 120
8
Ibid, II/ 121
9
Periksa antara lain, Jalal al-Din al-Suyuthi: al-Asybah wa al-Nahzair, ed. Muhammad al-
Mu’tashim Billah. Dar al-Kitab al-‘Arabi, cet.IV, 1998, hal. 168, dan Abu al-Faydl Muhammad
Yasin bin Isa al-Fadani, Op.cit., hal. 234

6
a. Masyaqqah yang sangat berat dan umumnya sulit ditanggung
(a’la). Seperti rasa khawatir akan keselamatan jiwa, harta,
keturunan, organ tubuh, dan hal-hal mendasar lainnya. Pada
taraf inilah syariat memberlakukan keringanan hukum
(rukhshah). Sebab, demikian tulis al-Suyuthi, pemeliharaan
jiwa dan raga untuk menjalankan kewajiban-kewajiban
syariat lebih diutamakan daripada tidak melaksanakan sama
sekali. Artinya, jika umat Islam masih ‘dipaksa’
melaksanakan kewajiban yang sebenarnya sudah tidak
mampu dikerjakan, maka akan berakibat fatal pada
keselamatan jiwa maupun raganya.
b. Masyaqqah yang sangat ringan (adna). Seperti pegal-pegal,
pilek, pusing, dan lain sebagainya. Pada strata ini, tidak ada
sama sekali legitimasi syariat untuk memberi rukhshah.
Sebab kemaslahatan ibadah masih lebih penting daripada
menghindari mafsadah (kerusakan) yang timbul dari
masyaqqah kategori ini. Artinya, timbulnya mafsadah dari
hal-hal seperti ini masih sangat minim, sehingga
kemaslahatan ibadah yang nyata punya nilai lebih besar harus
lebih diutamakan.
c. Masyaqqah pertengahan (al-mutawassithah) yang berada
pada titik interval diantara dua bagian sebelumnya. Jenis
masyaqqah yang terakhir ini bisa mendapat rukhshah, jika
telah mendekati kadar masyaqqah pada urusan yang tertinggi
(a’la). Dan sebaliknya apabila lebih dekat pada kategori
masyaqqah yang paling ringan (adna) maka ia tidak dapat
menyebabkan rukhshah.
3.1.3 Metode Taqribi10
Masyaqqah adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan relatif,
dalam arti ukuran dan batasannya sangat sulit dibedakan (kadang si A

10
Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 180

7
merasa berat mengerjakan, tapi si B tidak, padahal pekerjaannya
sama). Hal ini terjadi pada jenis masyaqqah mutawassitah. Karena
itulah fuqaha mengajukan solusi metodologis berupa taqribi guna
mengukur berapa jenis masyaqqah yang bisa memperoleh keringanan
hukum.
Secara umum, taqribi dimaknai sebagai upaya pengukuran
kadar masyaqqah apakah telah melewati batas minimal atau tidak.
Jika kadar masyaqqah masih dalam taraf rendah (adna), maka tidak
ada pemberlakuan rukhshah. Tapi jika telah melampaui taraf rendah,
baik telah mencapai kategori mutawassithah ataupun sampai level
tertinggi (a’la), maka ia akan mendapat rukhshah.
Seseorang yang sedang berpuasa misalnya, pasti mengalami
masyaqqah, baik berupa lapar, haus, dan seterusnya. Jika puasa itu
dilakukan dalam keadaan sakit, maka secara otomatis masyaqqah-nya
bertambah, yakni masyaqqah berpuasa ditambah masyaqqah sakit.
Nah, pada kondisi inilah masyaqqah itu telah melewati batas minimal
(adna) sehingga bisa mendapatkan rukhshah.11
Contoh lainnya adalah musafir yang mengerjakan puasa. Selain
mengalami musyaqqah puasa, ia juga ditimpa masyaqqah berupa
beratnya melakukan perjalanan.12
4.1 Rukhshah (Toleransi)
4.1.1 Definisi Rukhshah dan ‘Azimah
Pada dasarnya, rukhshah adalah sebuah kodifikasi hukum yang
diberikan syariat bagi mukallaf yang mengalami kesulitan dalam
melaksanakan taklif yang dibebankan kepadanya. Dengan kata lain,
rukhshah adalah sebuah formulasi hukum yang telah berubah dari
bentuk asalnya, karena mempertimbangkan obyek hukum, situasi,
kondisi, dan tempat tertentu. Bisa pula dimaknai sebagai

11
Muhammad Yasin al-Fadani: Op.cit., hlm. 232-233
12
Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 181

8
diperbolehkannya sesuatu yang asalnya dilarang, beserta wujudnya
dalil yang melarang.13
Sebaliknya, jika formulasi hukum syariat tidak mengalami
perubahan, maka ia dinamakan ‘azimah. Atau dapat dikatakan,
‘azimah adalah suatu formulasi hukum-hukum dasar syariat yang
bersifat umum dan tidak tidak terbatas pada obyek, situasi, kondisi,
dan orang tertentu. Atau lebih mudahnya, ‘azimah adalah sebentuk
kerangka hukum dasar (fundamental) yang belum mengalami
perubahan, kodifikasi, reformasi, reformulasi, maupun reduksi.14
Dari sini dapat disimpulkan, bila hukum syariat masih seperti
sedia kala, maka ia dinamakan ‘azimah. Tapi bila telah berubah dan
mengalami perubahan bentuk dengan beberapa syarat tertentu, maka
ia dinamakan rukhshah.15
4.1.2 Hukum-hukum Rukhshah16
Bila ditilik dari sisi hukumnya, rukhshah terbagi menjadi lima:17
a. Rukhshah wajib. Contohnya, memakan bangkai bagi orang yang
sedang kelaparan, atau minum arak (khamr) bagi seseorang yang
tenggorokannya tersumbat hingga tak bisa bernafas. Jika makan
bangkai atau minum arak yang notabene haram merupakan satu-
satunya jalan yang diyakini bisa menyelamatkan jiwanya, maka
hal itu wajib dilakukan.
b. Rukhshah sunnah. Misalnya, shalat qashar bagi seorang musafir
yang telah melakukan perjalanan sepanjang dua marhalah atau
lebih, dan berbuka puasa bagi orang yang sakit atau musafir yang
mengalami masyaqqah bila melaksanakan puasa. Demikian pula
mengakhirkan shalat dhuhur, karena cuaca pada awal waktu
dhuhur sangat panas. Atau seperti melihat muka dan dua telapak

13
Baca al-Syathibi, Op.cit., I/301
14
Ibid.
15
Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 181
16
Ibid.
17
Jalal al-Din al-Suyuthi: op.cit., hlm. 171

9
tangan calon istri saat meminangnya. Semua contoh diatas
merupakan rukhshah yang sunnah dikerjakan.
c. Rukhshah mubah. Contohnya, seperti transaksi pesan-memesan
(salam) dan sewa-menyewa (ijarah). Dua jenis transaksi ini
dikategorikan rukhshah yang mubah karena memandang hukum
asalnya yang tidak diperbolehkan. Akad salam pada permulaanya
tidak diperbolehkan karena dianggap membeli barang yang tidak
wujud (ma’dum), dan manfaat dalam ijarah juga dinilai ma’dum.
d. Rukhshah khilaf al-awla (lebih utama ditinggalkan). Seperti
membilas bagian luar sepatu kulit (al-khuf atau muzah), menjama’
shalat atau berbuka puasa bagi seorang musafir yang tidak
mengalami masyaqqah bila harus mengerjakannya. Begitu pula
tayamum bagi orang yang telah mendapat air, tapi harus dibeli
dengan nilai diatas harga standar, sementara dia sebenarnya
memiliki uang (mampu) untuk membelinya. Semua toleransi
(rukhshah) dalam contoh diatas lebih utama untuk tidak
dikerjakan.
e. Rukhshah makruh. Contohnya mengqashar shalat dalam
perjalanan yang belum mencapai tiga marhalah. Kemakruhan ini
dimotivasi untuk menghindari khilaf Imam Hanafi yang tidak
memperbolehkan qashar sebelum perjalanan mencapai tiga
marhalah (142 km. Versi Hanafiyah). Sementara al-Syafi’i menilai
dua marhalah cukup untuk melakukan qashar.
4.1.3 Bentuk-bentuk Rukhshah
Jika ditilik dari bentuknya, rukhshah terbagi menjadi enam:18
a. Takhfif Isqath (keringanan pengguguran).
Yaitu: Keringanan dalam bentuk penghapusan, seperti tidak wajib
Sholat bagi wanita yang mentruasi atau nifas. Tidak wajib Haji
bagi yang tidak mampu (istitha’ah).19

18
Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 183
19
Adib Bisri, Moh, Drs, Op., Cit., hlm. 19

10
b. Takhfif Tanqish (keringanan pengurangan).
Misalnya: Sholat qashar bagi orang berpergian yang telah
mencukupi syarat, seperti disebut dimuka.20
c. Takhfif Ibdal (keringanan penggantian).
Misalnya: Salah satu syarat untuk melakukan shalat adalah wudlu’
tetapi karena adanya halangan, maka orang dapat mengganti
wudlu’ dengan tayamum.21
d. Takhfif Taqdim (keringanan mendahulukan).
Misalnya: Melakukan sholat ‘Ashar di waktu dhuhur, atau sholat
‘Isya’ di dalam waktu Magrib bagi orang yang sedang berpergian
(ini yang disebut jama’Taqdim).22
e. Takhfif ta’khir (keringanan mengakhirkan).
Misalnya: kebalikan dari contoh no. 4, yakni jama’ takkhir, yaitu
melakukan sholat Dhuhur di dalam waktu ‘Ashar, atau
mengerjakan sholat Magrib didalam waktu ‘Isya’.23
f. Takhfif Tarkhish (keringanan kemurahan).
Misalnya: orang sedang sangat kehausan, kalau tidak cepat minum
mungkin bisa mati, padahal yang ada hanyalah arak, maka orang
itu di beri keringanan boleh meminum arak tersebut.24
4.1.4 Obyek-obyek Rukhshah25
a. Ikrah (terpaksa)
Yaitu: Sesuatu keadaan yang membahayakan kelangsungan
hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa
maka akad tersebut tidak sah.26
Seperti dalam surat al-Nahl: 106, Allah swt. berfirman:27
‫ﻤﻥ ﻜﻔﺮﺒﺎ ﷲ ﻤﻥ ﺒﻌﺪ ﺇﻴﻤﺎ ﻨﻪ ﺇﻻ ﻤﻥ ﺃﻜﺮﻩ ﻮﻘﻟﺒﻪ ﻤﻂﻤﺌﻥ ﺒﺎﻹﻴﻤﺎﻥ‬
20
Ibid.,
21
Ibid.,
22
Ibid.,
23
Ibid.,
24
Ibid.,
25
Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 185
26
Djazuli, Ahmad, Prof, H, Op., Cit., hlm. 56.
27
Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 189

11
Arttinya: “Barang siapa kafir kepada Allah setelah beriman (dia
mendapat kemurkaan dari Allah), kecuali orang yang dipaksa
kafir padahal hatinya tenang...”
Misalnya: minum arak hukumnya haram, tetapi karena ia dipaksa
orang yang lebih kuat, dengan ancaman akan dianiaya kalaua tidak
mau minum, maka meminumnya menjadi tidak haram.28
b. Nis-yan (lupa)
Secara terminologis, nis-yan adalah hilangnya daya ingat
terhadap hal-hal yang sudah diketahui (ma’lum). Untuk
mengingatnya kembali dibutuhkan usaha dari awal lagi. Berbeda
dengan sahwu (lalai) yang hanya berupa keadaan lupa yang
bersifat temporal (sementara). Sehingga dengan hanya sedikit
diingatkan, maka otak akan mampu “merekam” kembali data dan
memori yang sempat hilang.29
Misalnya: Seharusnya makan itu membatalkan puasa, tetapi kalau
makannay karena lupa, maka puasanya tidak batal.
c. Jahl (ketidaktahuan)
Misalnya: Orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu,
kemudian memakan makanan yang diharamkan, maka ia tidak
dikenai sanksi.30
d. Al-‘Usr (kesulitan)
Yaitu: Suatu kondisi yang sulit dihindari.
Misalnya: Debu di jalan yang bercampur dengan kotoran, pada
hakekatnya adalah najis, tetapi karena sulitnya menghindar dari
debu itu, maka hukumnya menjadi tidak apa-apa.31
e. Safar (bepergian)

28
Adib Bisri, Moh, Drs, Terjemah al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh, Kudus,
Menara Kudus, 1977, hlm. 18.
29
Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 189
30
Djazuli, Ahmad, Prof, H, Op., Cit.
31
Adib Bisri, Moh, Drs, Op., Cit.

12
Misalnya: Sholat Dhuhur, ‘Ashar, Isya, masing-masing mestinya
empat raka’at, tetapi karena bepergian yang telah mencukupi
syari’at maka masing-masing bisa diqashar menjadi dua raka’at.
f. Maradl (sakit)
Contohnya, seorang yang sedang sakit “diperbolehkan” tayamum
sebagai pengganti wudlu, atau sholat sambil duduk, tidur, maupun
dengan isyarah ketika tidak bisa melakukanya dengan sempurna
(berdiri).32
g. Naqish (nilai minus)
Yang termasuk dalam kategori ini adalah anak-anak, orang gila,
idiot (safih), hamba sahaya.33
4.1.5 Sengaja Mencari Rukhshah (Tatabu’ al-Rukhas)
Sengaja mencari rukhshah bisa diartikan sebagai usaha untuk
melakukan sebab-sebab tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan
rukhshah. Artinya, seseorang dengan sengaja memilih salah satu
alternatif yang mungkin untuk dilakukan demi mendapatkan
keringanan yang dia kehendaki. Usaha seperti ini tidak boleh
dilakukan. Karenanya, apabila seorang musafir memiliki dua alternatif
jalan, misalnya, dimana yang satu jaraknya mencapai batas yang
diperbolehkan untuk meringkas sholat dan yang lain tidak, namun
kemudian dia memilih jalan yang lebih panjang dengan tujuan semata-
mata untuk mendapatkan rukhshah, cara yang demikian ini justru
membuatnya tidak bisa mendapatkan rukhshah.34

32
Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 194
33
Ibid.
34
Abu al-Faydl Muhammad Yasin al-Fadani, Op.cit, hal . 474

13
BAB III

ANALISIS KASUS

1.1 Rukhshah (Toleransi) dalam Mu’amalah35


Banyak aspek yang mendasari diterapkannya rukhshah dalam
mu’amalah, diantaranya gharar (ketidakjelasan). Gharar secara
terminologis adalah sesuatu yang yang masih bersifat kabur dan tidak jelas
akibatnya, sehingga bisa dan biasanya akan mengakibatkan kerugian pada
salah satu pihak yang melakukan transaksi. Dalam setiap mu’amalah,
gharar sangat dilarang sebab akan menggiring salah seorang diantara pelaku
transaksi menggunakan sesuatu dengan cara yang salah dan batil.
Dalam hubungannya dengan keringanan yang terdapat dalam
mu’amalah, gharar (ketidakjelasan) terbagi menjadi tiga tingkatan:
a. Ketidakjelasan yang tidak sulit untuk dihindari dan karenanya tidak
boleh dilakukan. Contohnya, penjualan janin binatang yang masih
berada dalam kandungan induknya dan penjualan sperma hewan
pejantan.
b. Ketidakjelasan yang sulit dihindari dan karenanya terpaksa dilakukan.
Contohnya, menjual telur, delima, semangka, kelapa, kacang tanah, dan
barang-barang sejenis yang umumnya dijual beserta kulitnya. Penjualan
barang-barang konsumsi diatas tidak diharuskan melalui pengelupasan
kulit, walaupun ketika kulitnya masih ada, kualitas isinya sulit
diketahui. Sebagaimana penjualan rumah yang tidak diharuskan melihat
kualitas pondasinya, maka penjualan barang-barang konsumsi diatas
juga tidak diharuskan setelah pengelupasan kulitnya. Hal semacam ini
diperbolehkan karena termasuk kategori imasyaqqah (kesulitan).
c. Ketidakjelasan tingkat antara maupun tingkat kedua. Ketidakjelasan
(gharar) jenis ini terbagi menjadi dua:

35
Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, hlm. 196

14
1. Masyaqqah-nya besar tapi tidak sulit dihindari, seperti buah pala
yang tidak boleh dijual beserta kulitnya. Sebab rempah-rempah
jenis ini walaupun kulitnya telah terkelupas, umumnya masih bisa
bertahan lama (awet), sehingga harus dikelupas terlebih dahulu
sebelum dijual. Contoh lain adalah penjualan barang yang tidak
ditentukan secara pasti, seperti menjual salah satu diantara dua baju
atau lebih. Juga seperti penjualan barang yang tidak berada di
tempat transaksi.
2. Transaksi yang tidak mengandung resiko besar, tapi jika tidak
dilakukan akan menimbulkan masyaqqah. Contohnya, membeli
biji-bijian dengan hanya melihat bagian luar tumpukannya. Contoh
lain adalah membeli barang hanya dengan melihat contohnya
(sample atau master), dimana contoh itu telah dianggap mewakili
kualitas barang-barang lain yang sejenis.
1.2 Rukhshah (Toleransi) dalam Pernikahan36
a. Talak (perceraian). Disyariatkan karena untuk menghindari masyaqah
yang timbul pada saat tali pernikahan tidak mungkin lagi untuk
dipertahankan.
b. Khulu’ dan setiap hal dimana sang istri diperbolehkan untuk mem-
fasakh (membatalkan) nikah dihadapan qadli (penghulu agama).
Toleransi ini adalah bentuk imbangan bagi wanita yang memang tidak
punya kekuasaan untuk mentalak, sebagaimana seorang suami.
c. Disyariatkannya ruju’ setelah terjadinya perceraian, karena
dimungkinkan perceraian terjadi bukan atas dasar pertimbangan yang
matang.
1.3 Rukhshah (Toleransi) Bagi Mujtahid37
Contohnya, seorang hakim di pengadilan, yang juga termasuk mujtahid,
juga mendapat keringanan. Dalam membuat keputusan hukum dia cukup
berpegang pada persangkaan kuat yang didapatkan dari kesaksian para saksi

36
Ibid.
37
Ibid.

15
yang adil dan terpercaya. Ia tidak diwajibkan memberi putusan hukum yang
benar-benar sesuai dengan kenyataan yang ada dan dalam pengertian yang
sebenar-benarnya. Walaupun demikian, dia tetap harus berusaha
memutuskan hukum yang sesuai dengan ‘kebenaran’ semaksimal mungkin.
1.4 Rukhshah (Toleransi) dalam Ibadah
Contohnya, seorang yang sedang sakit “diperbolehkan” tayamum sebagai
pengganti wudlu, atau sholat sambil duduk, tidur, maupun dengan isyarah
ketika tidak bisa melakukanya dengan sempurna.

16
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan:

1. Maksud dari kaidah al-masyaqqah tajli al-taisir adalah bahwa hokum-


hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran
bagi mukallaf (subyek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga
mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.
Dikatakan pula bahwa dalam hukum-hukum syar’i tidak akan pernah
didapati suatu tuntutan yang melewati batas kemampuan hamba-Nya.
Dalil-dalil tersebut juga mengindikasikan bahwa Allah memberlakukan
hokum-hukum-Nya (yang termuat dalam syari’ah Islam), pada hakikatnya
bertujuan untuk memberikan kemudahan dan keringanan kepada hamba-
Nya. Seluruh amal ibadah, baik yang berhubungan dengan hati, atau yang
berhubungan dengan anggota tubuh, tidak dibebankan oleh Allah, kecuali
semua itu sudah sesuai (seukuran) dengan kadar kemampuan seorang
mukallaf.
2. Menurut pandangan saya dalam Surat Al Maidah ayat 6 dinyatakan:

‫ﻣﺎﻳﺮﻳﺪ ﷲ ﻟﻴﺠﻌﻞﻋﻠﻴﻜﻢ ﻣﻦ ﺣﺮﺝ‬

Artinya: “Allah tidak menghendaki membuat kesulitan bagi kamu


sekalian”.
Secara etimologis (bahasa), lafadz haraj adalah sinonim dengan lafadz
dlayq, yang sama-sama memiliki arti ”kesempitan” atau “kondisi sulit”.
Sehingga menurut musafirin, kalimat haraj pada ayat diatas mencakup
berbagai macam kesulitan yang terjadi dalam segala bentuknya.
3. Setidaknya ada tujuh sebab-sebab yang dapat menimbulkan keringanan
atau toleransi. Seperti: Ikrah (terpaksa), Nis-yan (lupa), Jahl
(ketidaktahuan), Al-‘Usr (kesulitan), Safar (bepergian), Maradl (sakit),
Naqish (nilai minus).

17
DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Faydl Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani, al-Fawaid al-Janiyyah, Dar al-
Fikr, Beirut, Libanon, cet. I, 1997

Adib Bisri, Moh, Drs, Terjemah al-Faraidul Bahiyyah Risalah Qawa-id Fiqh,
Kudus: Menara Kudus, 1977.

Djazuli, Ahmad, Prof, H, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana, 2007.

Haq, Abdul, Formulasi Nalar Fiqh, Surabaya: Khalista, 2005

Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asas, Jakarta: P.T. RajaGrafindo
Persada, 2002.

Sudirman Abbas, Ahmad, Dr, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Persepektif Fiqh,


Jakarta: Anglo Media, 2004.

18

Anda mungkin juga menyukai