PP No 95 Tahun 2012 PDF
PP No 95 Tahun 2012 PDF
TENTANG
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
2. Kesejahteraan . . .
-2-
12. Pengendalian . . .
-3-
19. Standardisasi . . .
-4-
29. Standar . . .
-5-
Pasal 2
BAB II . . .
-6-
BAB II
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
Bagian Kedua
Penjaminan Higiene dan Sanitasi
Paragraf 1
Umum
Pasal 4
d. di rumah . . .
-7-
Paragraf 2
Cara yang Baik di Tempat Budidaya
Pasal 5
(4) Cara . . .
-8-
Paragraf 3
Cara yang Baik di Tempat Produksi Pangan Asal Hewan
Pasal 6
Paragraf 4
Cara yang Baik di Tempat Produksi Produk Hewan Nonpangan
Pasal 7
Paragraf 5 . . .
-9-
Paragraf 5
Cara yang Baik di Rumah Potong Hewan
Pasal 8
Pasal 9
(2) Hewan . . .
- 10 -
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12 . . .
- 11 -
Pasal 12
Pasal 13
Pasal 14
Pasal 15
Pasal 16
(2) Pelaksanaan . . .
- 12 -
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan kriteria Hewan
potong serta persyaratan cara yang baik di rumah potong
diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 6
Cara yang Baik di Tempat Pengumpulan dan Penjualan
Pasal 18
Pasal 20 . . .
- 13 -
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
Paragraf 8
Sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner
Pasal 23
(3) Pemerintah . . .
- 14 -
Pasal 24
Pasal 25
Bagian Ketiga
Penjaminan Produk Hewan
Paragraf 1
Umum
Pasal 26
e. Standardisasi . . .
- 15 -
Paragraf 2
Pengaturan Peredaran Produk Hewan
Pasal 27
Pasal 28
Pasal 29
Pasal 30
(3) Analisis . . .
- 16 -
(5) Dalam hal hasil analisis risiko negara asal dan/atau Unit
Usaha tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Menteri mengeluarkan surat
penolakan.
(6) Dalam hal hasil analisis risiko negara asal dan Unit
Usaha memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Menteri mengeluarkan surat persetujuan.
Pasal 31
Pasal 32 . . .
- 17 -
Pasal 32
Pasal 33
(3) Pelaku . . .
- 18 -
Pasal 34
Pasal 35 . . .
- 19 -
Pasal 35
Pasal 36
Paragraf 3
Pengawasan Unit Usaha Produk Hewan
Pasal 37
Pasal 38
Pasal 39 . . .
- 20 -
Pasal 39
Pasal 40
Pasal 41
Pasal 42
Pasal 43
c. memeriksa . . .
- 21 -
Pasal 44
Paragraf 4
Pengawasan Produk Hewan
Pasal 45
Pasal 46 . . .
- 22 -
Pasal 46
Pasal 47
Pasal 48
Pasal 49 . . .
- 23 -
Pasal 49
Paragraf 5
Pemeriksaan dan Pengujian Produk Hewan
Pasal 50
Pasal 51
(5) Pengembangan . . .
- 24 -
Pasal 52
Paragraf 6
Standardisasi Produk Hewan
Pasal 53
Paragraf 7
Sertifikasi Produk Hewan
Pasal 54
(2) Sertifikasi . . .
- 25 -
Pasal 55
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian
Sertifikat Veteriner diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 8
Registrasi Produk Hewan
Pasal 57
(1) Registrasi produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (1) huruf g dilakukan terhadap produk
Hewan berupa pangan segar asal Hewan yang dikemas
untuk diedarkan.
(2) Produk . . .
- 26 -
Pasal 58
Bagian Keempat
Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis
Paragraf 1
Umum
Pasal 59
Paragraf 2
Penetapan Zoonosis Prioritas
Pasal 60
(2) Dalam . . .
- 27 -
Pasal 61
Pasal 62 . . .
- 28 -
Pasal 62
Pasal 63
(3) Hasil . . .
- 29 -
Pasal 64
Pasal 65
Pasal 66 . . .
- 30 -
Pasal 66
Pasal 67
Paragraf 3
Manajemen Risiko
Pasal 68
Pasal 69 . . .
- 31 -
Pasal 69
Pasal 70
Pasal 71
c. pengendalian . . .
- 32 -
Pasal 72
Pasal 73
Paragraf 4
Kesiagaan Darurat
Pasal 74
Pasal 75 . . .
- 33 -
Pasal 75
Paragraf 5
Pemberantasan Zoonosis
Pasal 76
Pasal 77
(4) Dalam . . .
- 34 -
Pasal 78
Pasal 79
Paragraf 6
Partisipasi Masyarakat
Pasal 80
Setiap orang yang memiliki atau memelihara Hewan wajib
menjaga dan mengamati kesehatan Hewan dan kebersihan
serta kesehatan lingkungannya.
Pasal 81
Pasal 82
(2) Keikutsertaan . . .
- 35 -
BAB III
KESEJAHTERAAN HEWAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 83
f. perlakuan . . .
- 36 -
Pasal 84
Pasal 85
Bagian Kedua
Penangkapan dan Penanganan
Pasal 86
Bagian Ketiga . . .
- 37 -
Bagian Ketiga
Penempatan dan Pengandangan
Pasal 87
Bagian Keempat
Pemeliharaan dan Perawatan
Pasal 88
Bagian Kelima . . .
- 38 -
Bagian Kelima
Pengangkutan
Pasal 89
Bagian Keenam
Penggunaan dan Pemanfaatan
Pasal 90
Pasal 91
Pasal 92 . . .
- 39 -
Pasal 92
Bagian Ketujuh
Perlakuan dan Pengayoman yang Wajar Terhadap Hewan
Pasal 93
Pasal 94
Bagian Kedelapan . . .
- 40 -
Bagian Kedelapan
Pemotongan dan Pembunuhan
Pasal 95
(1) Penerapan prinsip kebebasan Hewan pada pemotongan
dan pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
83 ayat (3) huruf g paling sedikit harus dilakukan
dengan:
a. cara yang tidak menyakiti, tidak mengakibatkan
ketakutan, dan stres pada saat penanganan Hewan
sebelum dipotong atau dibunuh;
b. cara yang tidak mengakibatkan ketakutan dan stres,
serta dapat mengakhiri penderitaan Hewan sesegera
mungkin pada saat pemotongan atau pembunuhan;
c. menggunakan sarana dan peralatan yang bersih; dan
d. memastikan Hewan mati sempurna sebelum
penanganan selanjutnya.
(2) Dalam hal pemotongan dan pembunuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menggunakan pemingsanan,
dilarang menggunakan cara yang mengakibatkan Hewan
menderita, stres, dan/atau mati.
Pasal 96
Bagian Kesembilan
Praktik Kedokteran Perbandingan
Pasal 97
b. menggunakan . . .
- 41 -
Pasal 98
Pasal 99
BAB IV
Pasal 100
Pasal 101 . . .
- 42 -
Pasal 101
Pasal 102
Pasal 103
Pasal 104 . . .
- 43 -
Pasal 104
Pasal 105
Pasal 106
Pasal 107
BAB V . . .
- 44 -
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 108
Pasal 109
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 110
Pasal 111
Pasal 112
Agar . . .
- 45 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Oktober 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
ATAS
TENTANG
I. UMUM
Kesehatan Masyarakat Veteriner merupakan rantai penghubung antara
kesehatan Hewan dan produk Hewan, kesehatan manusia, serta
kesehatan lingkungan. Kesehatan Masyarakat Veteriner, sebagai salah
satu unsur dari kesehatan Hewan dalam arti luas, adalah segala urusan
kesehatan Hewan dan produk Hewan yang secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Penyakit Hewan yang dapat
menular kepada manusia melalui Hewan dan/atau produk Hewan adalah
penyakit Hewan yang masuk dalam kategori Zoonosis. Oleh karena itu
penyelenggaraan Kesehatan Masyarakat Veteriner menjadi bagian penting
dari aktivitas masyarakat untuk melindungi kesehatan dan ketentraman
batin masyarakat melalui penjaminan Higiene dan Sanitasi pada rantai
produksi produk Hewan, penjaminan produk Hewan dalam hal kehalalan
bagi yang dipersyaratkan, keamanan, kesehatan, dan keutuhan, serta
Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis.
Penjaminan Higiene dan Sanitasi adalah persyaratan dasar sistem
jaminan keamanan pangan. Penjaminan Higiene dan Sanitasi
dilaksanakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang dapat
mengganggu kesehatan akibat mengkonsumsi pangan asal hewan
(foodborne disease) atau menggunakan produk Hewan dengan
mengendalikan risiko produk Hewan dalam proses produksi tercemar atau
terkontaminasi oleh bahaya biologis, kimiawi, dan fisik, serta risiko
produk Hewan menjadi tidak halal bagi yang dipersyaratkan. Penjaminan
Higiene dan Sanitasi dilaksanakan dengan menerapkan cara yang baik
pada rantai produksi produk Hewan di tempat budidaya seperti budidaya
Hewan potong dan Hewan perah, tempat produksi pangan asal Hewan
seperti daging, susu, telur, madu, dan hasil turunannya, tempat produksi
produk Hewan nonpangan seperti kulit dan bulu, rumah potong Hewan,
tempat pengumpulan dan penjualan, serta pengangkutan. Kepada Unit
Usaha produk Hewan yang telah menerapkan cara yang baik secara
konsisten diberikan Sertifikat Nomor Kontrol Veteriner sebagai jaminan
kehalalan produk hewan bagi yang dipersyaratkan, keamanan, kesehatan,
serta keutuhan produk Hewan.
Penjaminan . . .
-2-
“Produk . . .
-4-
Huruf e . . .
-5-
Huruf e
Yang dimaksud dengan “tempat pengumpulan” adalah
gudang/ruang penyimpanan Hewan atau produk Hewan
sesuai dengan persyaratan suhu penyimpanan suatu
produk Hewan, misalnya gudang/ruang beku (cold storage)
yang memerlukan suhu minimal -18°C untuk produk
Hewan beku dan gudang/ruang dingin (chilled room) untuk
produk Hewan yang memerlukan suhu penyimpanan
antara 4°C sampai dengan 8°C.
Yang dimaksud dengan “tempat penjualan” adalah pasar
tradisional, pasar swalayan, toko, dan kios.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “pengangkutan” meliputi
pengangkutan melalui darat, laut, dan udara.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Hewan potong” adalah Hewan yang
dipelihara atau dibudidayakan untuk dimanfaatkan
dagingnya sebagai konsumsi manusia misalnya sapi potong,
kerbau, kambing, domba, kelinci, unggas potong, dan babi,
Hewan perah dan unggas petelur yang sudah tidak
produktif serta termasuk jenis-jenis Satwa Liar yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang
konservasi sumber daya alam hayati dapat diburu dan
dimanfaatkan dagingnya, misalnya rusa.
Khusus untuk Satwa Liar, pemasukan ke dalam jenis
Hewan potong dapat dilakukan setelah memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
konservasi sumber daya alam hayati.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Hewan perah” adalah Hewan yang
dipelihara atau dibudidayakan untuk dimanfaatkan
susunya sebagai konsumsi manusia, misalnya sapi perah,
kerbau Murrah, dan kambing Ettawa.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “unggas petelur” adalah jenis
Hewan unggas yang dipelihara atau dibudidayakan untuk
dimanfaatkan telurnya sebagai konsumsi manusia,
misalnya ayam petelur, bebek, dan burung puyuh.
Ayat (2) . . .
-6-
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Hewan pengganggu dalam ketentuan ini misalnya serangga
dan tikus.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kesehatan dan kebersihan personel dalam ketentuan ini
meliputi persyaratan sehat jasmani dan rohani, tidak
memiliki luka terbuka, tidak menderita penyakit zoonotik
(misalnya tuberkulosis dan hepatitis), tidak merokok
sewaktu menangani produk Hewan (misalnya pada saat
memerah susu dan menampung susu), menjaga kebersihan
tangan, dan berpakaian bersih.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
-7-
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “bahaya biologis, kimiawi, dan fisik”
adalah suatu agen biologi, kimia, dan fisik yang masuk
dan/atau berada dalam produk Hewan dan pakan Hewan
yang berpotensi menimbulkan gangguan pada kesehatan
manusia, Hewan, dan lingkungan.
Bahaya biologis misalnya mikroorganisme/jasad renik.
Bahaya kimiawi misalnya residu obat Hewan dan hormon,
cemaran pestisida, bahan tambahan pangan berbahaya,
logam berat, dan protein infeksius (prion).
Bahaya fisik misalnya serpihan kayu, pecahan kaca, dan
serpihan batu.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) . . .
-8-
Ayat (3)
Huruf a
Pemeriksaan kesehatan Hewan sebelum dipotong
(pemeriksaan ante-mortem) dilakukan untuk menjamin
Hewan yang dipotong sehat dan layak dipotong.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Pengurangan penderitaan Hewan potong ketika dipotong
dilakukan sesuai dengan kaidah Kesejahteraan Hewan
misalnya dengan menyegerakan penyembelihan pada saat
Hewan sudah dalam posisi siap disembelih dengan
menggunakan pisau yang tajam.
Huruf f
Penjaminan penyembelihan yang Halal bagi yang
dipersyaratkan dilakukan sesuai dengan syariat Islam,
antara lain meliputi persyaratan juru sembelih, Hewan yang
akan disembelih, dan tata cara penyembelihan halal.
Huruf g . . .
-9-
Huruf g
Pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah Hewan
potong dipotong (pemeriksaan post-mortem) dilakukan
untuk menjamin karkas, daging, dan jeroan aman dan
layak dikonsumsi manusia.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “inspeksi” adalah pemeriksaan dengan
menggunakan penglihatan dan penciuman.
Yang dimaksud dengan “palpasi” adalah pemeriksaan dengan
menggunakan perabaan.
Yang dimaksud dengan “insisi” adalah pemeriksaan berupa
penyayatan dengan menggunakan pisau yang tajam dan bersih.
Ayat (2)
Huruf a
Pemberian stempel atau label sebagai keputusan hasil
pemeriksaan kesehatan karkas atau jeroan, diterapkan
pada ternak selain unggas, seperti sapi, kambing, dan babi.
Pemberian stempel pada karkas dan label pada jeroan
dilakukan oleh Dokter Hewan atau paramedik Veteriner
sebagai penanggung jawab teknis di rumah potong Hewan.
Huruf b
Surat keterangan kesehatan daging paling sedikit memuat
keterangan tentang asal Hewan, rumah potong Hewan, hasil
pemeriksaan kesehatan Hewan (pemeriksaan ante-mortem),
serta hasil pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas
(pemeriksaan post-mortem). Surat keterangan kesehatan
daging ini ditandatangani oleh Dokter Hewan Berwenang
setempat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11 . . .
- 10 -
Pasal 11
Huruf a
Pemotongan Hewan untuk keperluan keagamaan misalnya
penyembelihan Hewan qurban pada hari raya Idul Adha.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “upacara adat” adalah upacara terkait
dengan tradisi dan budaya pada masyarakat tertentu yang
menggunakan Hewan sebagai simbol yang ada dalam adat
tersebut.
Huruf c
Pemotongan darurat dalam ketentuan ini bertujuan untuk
mengurangi penderitaan Hewan dan membatasi penyebaran
penyakit hewan menular atau Zoonosis serta untuk
memanfaatkan daging Hewan yang bersangkutan dapat
dikonsumsi manusia apabila berdasarkan diagnosa Dokter
Hewan dinyatakan aman dan layak.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Upacara pemakaman misalnya mappasilaga tedong pada masyarakat
adat Tanatoraja dan upacara ngaben pada masyarakat pemeluk
agama Hindu di Bali.
Upacara pernikahan misalnya upacara pernikahan pada masyarakat
Tapanuli.
Pasal 14
Pemotongan darurat dilakukan setelah mendapat diagnosa dari
Dokter Hewan.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penanggung jawab Hewan” adalah
orang yang diberi tugas oleh pemilik Hewan untuk menangani
dan memotong Hewan.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17 . . .
- 11 -
Pasal 17
Kriteria Hewan potong diantaranya adalah umur, tinggi badan, bobot
badan, jenis kelamin, dan status reproduksi.
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “pemisahan produk Hewan yang
Halal dari produk Hewan atau produk lain yang tidak Halal”
dalam ketentuan ini adalah untuk pangan asal Hewan.
Tujuan pemisahan adalah untuk mencegah tercemarnya
pangan asal Hewan yang Halal dari bahan atau produk
yang tidak Halal.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “penjaminan suhu ruang tempat
pengumpulan dan penjualan produk Hewan yang dapat
menghambat perkembangbiakan mikroorganisme” dalam
ketentuan ini adalah untuk mempertahankan kualitas dan
daya simpan produk Hewan segar dan olahan, misalnya
untuk pangan segar dan olahan asal Hewan yang tidak
dikalengkan seperti keju, sosis, dan nugget memerlukan
suhu penyimpanan di bawah 7°C, atau suhu di atas 60°C
untuk pangan asal Hewan yang telah dimasak dan siap saji.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “pemisahan produk Hewan dari
Hewan dan komoditas selain produk Hewan” adalah untuk
pangan asal Hewan yang tidak dikemas. Tujuan pemisahan
adalah untuk mencegah tercemarnya pangan asal Hewan
yang tidak dikemas dari bahaya biologis, kimia, dan/atau
fisik yang berasal dari produk non Hewan seperti sayur,
produk kosmetik, dan produk nonpangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 19 . . .
- 12 -
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pembinaan dengan jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun
dimaksudkan agar Unit Usaha produk Hewan memiliki waktu
yang cukup untuk secara bertahap memenuhi persyaratan cara
yang baik secara terus menerus.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “diedarkan di dalam wilayah negara
Republik Indonesia” adalah diedarkan baik untuk kepentingan
perdagangan maupun untuk kepentingan yang bukan komersial
seperti bantuan, pameran, dan penelitian.
Pasal 27 . . .
- 13 -
Pasal 27
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia dalam
ketentuan ini dapat berupa Pemasukan dalam rangka
perdagangan dan Pemasukan bukan dalam rangka perdagangan
seperti tukar menukar untuk keperluan penelitian, pameran,
bantuan, sumbangan, hibah, atau barang bawaan penumpang.
Huruf c
Dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia dalam
ketentuan ini dapat berupa Pengeluaran dalam rangka
perdagangan dan Pengeluaran bukan dalam rangka
perdagangan seperti tukar menukar untuk keperluan penelitian,
pameran, sumbangan, hibah, atau barang bawaan penumpang.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “analisis risiko” adalah proses
pengambilan keputusan teknis kesehatan Hewan yang
didasarkan kepada kaidah ilmiah dan kaidah keterbukaan
publik melalui serangkaian tahapan kegiatan, meliputi
identifikasi bahaya, penilaian risiko, manajemen risiko, dan
komunikasi (sosialisasi) risiko.
Yang dimaksud dengan “identifikasi bahaya” adalah proses
identifikasi bahaya biologis (patogen) dan kimiawi yang
berpotensi masuk ke Indonesia melalui kebijakan
Pemasukan dari luar negeri suatu komoditi produk Hewan.
Yang . . .
- 14 -
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “verifikasi” adalah kegiatan
pemeriksaan lapang untuk memastikan kesesuaian antara
informasi yang disampaikan dan penerapannya dalam hal
sistem penyelenggaraan kesehatan Hewan dan jaminan
keamanan produk Hewan di negara dan Unit Usaha asal.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “tingkat perlindungan yang dapat
diterima (acceptable level of protection/ALOP)” adalah
tingkat perlindungan terhadap bahaya biologis dan kimiawi
yang mampu dikelola oleh negara pengimpor.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “Otoritas Veteriner Kementerian” adalah
Otoritas Veteriner yang berada pada kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan
masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan.
Ayat (5) . . .
- 15 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Rekomendasi teknis dari kepala lembaga pemerintahan non
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang pengawasan obat dan makanan, dalam ketentuan
ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan pangan
olahan asal Hewan yang tidak berpotensi membawa agen
penyakit zoonotik. Sedangkan untuk pangan olahan asal
Hewan yang berpotensi membawa penyakit zoonotik
rekomendasi dari kepala lembaga pemerintahan non
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang pengawasan obat dan makanan hanya dapat
dikeluarkan setelah ada rekomendasi dari Menteri.
Huruf b
Rekomendasi teknis untuk produk Hewan selain pangan
olahan asal Hewan yang tidak berpotensi membawa risiko
Zoonosis dilakukan sesuai dengan pedoman dari organisasi
kesehatan Hewan dunia. Misalnya Pemasukan daging
olahan dalam kaleng yang berasal dari negara yang
terjangkit penyakit sapi gila (BSE) tetap memiliki risiko
mengandung prion.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 33 . . .
- 16 -
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Sertifikat Veteriner” adalah
pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh Otoritas
Veteriner di bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner
Kementerian mengenai penjaminan keamanan produk
Hewan, meliputi status kesehatan Hewan di tingkat
nasional, daerah/wilayah, dan Unit Usaha asal produk
Hewan sesuai dengan persyaratan kesehatan negara
pengimpor, dan penjaminan telah diterapkannya cara yang
baik di Unit Usaha asal, serta proses produksi yang
memastikan produk Hewan bebas dari agen Zoonosis.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Izin dari menteri terkait untuk tujuan ekspor produk Satwa Liar
merupakan izin yang dikeluarkan oleh Otoritas Pengelola
Konservasi Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, yang diantaranya
merupakan implementasi dari CITES (Convention on International
Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yaitu
konvensi mengenai kontrol terhadap perdagangan spesies-
spesies flora dan fauna dalam rangka konservasi spesies yang
bersangkutan.
Pasal 35
Fasilitasi untuk melakukan kegiatan Pengeluaran produk Hewan ke
luar wilayah negara Republik Indonesia dilakukan dalam rangka
meningkatkan kemampuan pelaku usaha untuk memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh negara tujuan.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39 . . .
- 17 -
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Huruf a
Kondisi fisik produk Hewan misalnya pemeriksaan terhadap
kondisi warna, bau, konsistensi, keutuhan produk dan
kemasan, serta suhu produk.
Huruf b
Dokumen dalam ketentuan ini misalnya pemeriksaan terhadap
Sertifikat Veteriner dan sertifikat Halal bagi yang dipersyaratkan.
Huruf c
Label dalam ketentuan ini misalnya pemeriksaan terhadap
keterangan mengenai nama produk, produsen, tanggal produksi
dan/atau tanggal kadaluwarsa, jumlah dan jenis spesifikasi
produk, serta tanda Halal bagi yang dipersyaratkan.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50 . . .
- 18 -
Pasal 50
Ayat (1)
Pemeriksaan dan Pengujian dalam ketentuan ini merupakan
bagian dari program pemantauan dan surveilans terhadap
bahaya biologis, kimiawi, dan fisik serta peneguhan kesesuaian
antara persyaratan dan kondisi produk Hewan.
Pemeriksaan produk Hewan di laboratorium dilakukan terhadap
kondisi fisik sampel dan dokumen yang menyertai sampel.
Pengujian produk Hewan di laboratorium paling kurang
dilakukan terhadap susunan kimiawi, cemaran mikroorganisme,
dan residu pada produk Hewan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pembinaan kompetensi laboratorium”
adalah menyediakan pembiayaan dan bimbingan teknis untuk
menerapkan sistem manajemen mutu laboratorium uji
berdasarkan standar internasional sistem mutu laboratorium
terkini, misalnya ISO 17025 yang menjadi acuan akreditasi
laboratorium, meliputi pembinaan kompetensi sumber daya
manusia laboratorium, validasi metoda Pengujian, pengadaan
sarana dan fasilitas Pengujian sesuai dengan Standar, serta
pemeliharaan laboratorium.
Yang dimaksud dengan “pengembangan kompetensi
laboratorium” adalah meningkatkan kemampuan melakukan
Pengujian baik dalam hal peningkatan jumlah sampel maupun
jenis Pengujian.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 52 . . .
- 19 -
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “Standar Nasional Indonesia (SNI)”
adalah Standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi
Nasional dan berlaku secara nasional.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pangan segar asal Hewan” adalah
pangan yang belum mengalami pengolahan lebih lanjut selain
pendinginan, pembekuan, pemanasan, dan pengasapan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61 . . .
- 20 -
Pasal 61
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “analisis risiko dalam penetapan
Zoonosis yang memerlukan prioritas dalam pengendalian dan
penanggulangannya” adalah analisis yang didasarkan pada
kapasitas penularan, angka kesakitan (morbiditas), tingkat
kematian (fatality rate), dan/atau angka kematian (mortalitas),
dampak kesehatan pada manusia, kerugian ekonomi, dan
pertimbangan lainnya (geografi, klimatologi, sosial, pertahanan
dan keamanan). Berdasarkan analisis risiko dapat ditetapkan
apakah kegiatan Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis
lebih diutamakan pada Hewan seperti brucellosis, atau pada
manusia seperti toxoplasmosis, atau secara bersama-sama pada
manusia dan Hewan seperti Avian Influenza dan rabies.
Ayat (2)
Huruf a
Pengamatan Zoonosis pada Hewan dan produk Hewan
dalam ketentuan ini misalnya salmonellosis yang timbul
akibat terbawanya kuman salmonella melalui pangan asal
Hewan dan anthrax yang berasosiasi dengan kulit Hewan
tertular.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Lembaga penelitian dan pengembangan dalam ketentuan ini
yaitu lembaga penelitian dan pengembangan kementerian,
lembaga pemerintah non kementerian, dan perguruan
tinggi.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
- 21 -
Ayat (2)
Kegiatan lain terkait Zoonosis dalam ketentuan ini misalnya
pemusnahan Satwa Liar terkait dengan Pengendalian dan
Penanggulangan Zoonosis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “menginformasikan hasil Pengamatan
Zoonosis kepada Menteri” adalah dalam rangka memadukan
hasil Pengamatan Zoonosis pada manusia dengan Pengamatan
Zoonosis pada Hewan agar penulusuran sumber penularan pada
Hewan dapat diketahui dengan adanya data atau informasi
sumber penularan Zoonosis pada manusia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penyalahgunaan agen penyebab
Zoonosis” adalah penggunaan sebagai senjata biologi, misalnya
agen penyebab anthrax untuk kegiatan bioterorisme.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67 . . .
- 22 -
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “daerah wabah” adalah tempat
berjangkitnya suatu Zoonosis pada populasi Hewan
dan/atau masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat
secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada
waktu dan daerah tertentu atau munculnya kasus Zoonosis
baru di daerah bebas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “daerah tertular” adalah daerah
yang ditemukan kasus Zoonosis tertentu pada populasi
Hewan rentan dan/atau manusia berdasarkan pengamatan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “daerah penyangga (buffer zone)”
adalah daerah di sekitar dan berbatasan langsung dengan
daerah tertular atau daerah wabah dalam radius tertentu
yang ditetapkan berdasarkan jenis penyakitnya yang akan
dilakukan tindakan pengendalian untuk mencegah
penyebaran penyakit lebih lanjut ke daerah bebas.
Huruf d
Daerah bebas dalam ketentuan ini dapat dibedakan
menjadi daerah bebas secara historis dan daerah bebas
setelah dilakukan berbagai upaya pengendalian dan
penanggulangan.
Daerah bebas secara historis adalah daerah yang tidak
pernah diketemukan kasus atau agen Zoonosis.
Daerah bebas setelah dilakukan berbagai upaya
pengendalian dan penanggulangan adalah daerah yang
semula terdapat kasus atau agen Zoonosis tetapi
berdasarkan pengamatan dalam waktu tertentu sudah tidak
lagi ditemukan kasus atau agen Zoonosis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 68 . . .
- 23 -
Pasal 68
Yang dimaksud dengan “manajemen risiko” adalah upaya untuk
menekan atau menurunkan tingkat risiko hingga tingkat yang dapat
diterima atau sama dengan batas risiko yang dapat diterima
(appropriate level of protection/ALOP), misalnya pengendalian Hewan
sebagai sumber penyakit (reservoir), identifikasi wilayah berisiko
tinggi terhadap munculnya Wabah Zoonosis, dan identifikasi praktik
dan perilaku berisiko menularkan dan/atau menyebarkan Zoonosis.
Pasal 69
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penutupan daerah wabah” adalah
pelarangan keluar masuknya Hewan rentan dan sakit serta
produk Hewan yang terkait dengan wabah dari dan ke
daerah yang ditetapkan sebagai daerah wabah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Penghentian produksi dan Peredaran Produk Hewan dalam
ketentuan ini termasuk penutupan sementara rumah
potong Hewan yang tertular atau tercemar agen Zoonosis,
penarikan dan pemusnahan produk Hewan yang sudah
beredar dengan mempertimbangkan risiko penularan
kepada manusia, Hewan, dan/atau lingkungan, serta
dampak negatif yang ditimbulkan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j . . .
- 24 -
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 70
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “vektor” adalah Hewan yang dapat
membawa bibit penyakit Hewan menular dan menyebarkan
kepada Hewan dan/atau manusia, seperti lalat, nyamuk, dan
caplak.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Pembatasan Peredaran Produk Hewan dalam ketentuan ini
termasuk penarikan dan pemusnahan produk Hewan yang
sudah beredar.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 71 . . .
- 25 -
Pasal 71
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang konservasi sumber daya alam hayati diantaranya adalah
dalam hal penanggulangan Zoonosis prioritas yang dilakukan di
dalam habitatnya, terutama di dalam kawasan konservasi, maka
pelaksanaan penanggulangan Zoonosis di lapangan harus sesuai
dengan ketentuan mengenai konservasi ekosistem, spesies dan
genetik, serta harus berada di bawah koordinasi pejabat yang
berwenang dalam pengelolaan spesies Satwa Liar dan kawasan
konservasi.
Tindakan pemusnahan tidak selalu dapat dilakukan bagi Satwa
Liar terutama bagi spesies yang telah terancam punah. Oleh
sebab itu dalam pelaksanaan depopulasi dan euthanasia spesies
di dalam kawasan konservasi baik untuk spesies terancam
punah maupun tidak, mengingat fungsi dan nilainya yang
penting di dalam ekosistem dan bagi kepentingan umat manusia
baik generasi saat ini maupun yang akan datang, serta
mengingat kemungkinan banyaknya penyakit baru yang muncul
(new emerging diseases) yang berasal dari Satwa Liar, maka
Pengendalian dan Penanggulangan Zoonosis harus dilakukan
dengan prinsip kehati-hatian sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Kesiagaan darurat dimaksudkan untuk mengantisipasi muncul
dan menyebarluasnya Wabah Zoonosis:
a. yang diprioritaskan pengendalian dan penanggulangannya;
b. yang berpotensi menjadi prioritas dalam pengendalian dan
penanggulangannya; dan
c. yang belum terdapat di suatu wilayah atau di dalam wilayah
negara Republik Indonesia.
Ayat (2) . . .
- 26 -
Ayat (2)
Institusi terkait dalam ketentuan ini misalnya kementerian,
lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan
penelitian dan pengembangan, dan perguruan tinggi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “disimulasikan” adalah mengujicobakan
tindakan respon cepat apabila terjadi wabah yang harus
dilakukan oleh setiap pemangku kepentingan sesuai dengan
peran dan kewenangannya.
Pasal 75
Evaluasi dimaksudkan untuk memastikan efektifitas dan
dipahaminya pedoman kesiagaan darurat.
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah keadaan
dimana muncul Wabah Zoonosis di luar yang telah ditetapkan
sebagai Zoonosis prioritas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
- 27 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “Hewan untuk keperluan khusus”
adalah Hewan yang telah dilatih secara khusus agar dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan pelaksanaan tugas dan fungsi
Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, dan kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kepabeanan, misalnya memanfaatkan
anjing sebagai pelacak narkotika dan psikotropika, atau
pemanfaatan kuda dalam pasukan kavaleri.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Orang yang menangani Hewan dalam ketentuan ini
misalnya pembudidaya Hewan, pengangkut Hewan, petugas
kandang, juru sembelih, operator alat pemingsanan,
penangkar, peneliti yang menggunakan Hewan percobaan,
dan orang yang memanfaatkan jasa Hewan.
Huruf c . . .
- 28 -
Huruf c
Pemilik fasilitas pemeliharaan Hewan dalam ketentuan ini
misalnya pengelola kebun binatang, taman konservasi
(conservation park/area), dan tempat penampungan Hewan
(animal rescue centre) baik penampungan yang bersifat
sementara maupun yang tetap, baik yang komersial
maupun nirlaba.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Huruf a
Menggunakan dan memanfaatkan Hewan di luar kemampuan
kodratnya dalam ketentuan ini misalnya menggunakan dan
memanfaatkan Hewan sebagai Hewan laboratorium dan Hewan
jasa (seperti Hewan beban dan Hewan tarik).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c . . .
- 29 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Di luar batas kemampuannya dalam ketentuan ini misalnya
mempekerjakan Hewan muda yang belum cukup umur, Hewan
sakit, Hewan cacat, Hewan bunting, atau Hewan/ternak yang
secara alami tidak diutamakan untuk dimanfaatkan kekuatan
fisiknya, seperti pemanfaatan tenaga domba untuk menarik
pedati.
Huruf e
Memanfaatkan bagian tubuh atau organ Hewan untuk tujuan
selain medis dalam ketentuan ini misalnya pemanfaatan organ
tubuh Hewan yang diyakini dapat berkhasiat sebagai obat tanpa
pembuktian ilmiah.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemotongan Hewan” adalah
menyembelih Hewan pada bagian leher dengan cara
memutus/memotong tiga saluran yaitu saluran pernafasan,
saluran darah, dan saluran makan. Tujuan Pemotongan Hewan
pada umumnya adalah untuk mempercepat pengeluaran darah
secara sempurna dan/atau untuk memenuhi persyaratan agama
tertentu seperti pemotongan Halal pada agama Islam dan
pemotongan kosher pada agama Yahudi untuk Hewan yang
akan dikonsumsi dagingnya oleh manusia seperti sapi, domba,
dan ayam.
Yang dimaksud dengan “pembunuhan Hewan” adalah
mematikan Hewan dengan cara antara lain menusuk jantung
pada Hewan babi yang akan dikonsumsi dagingnya,
mematahkan tulang leher pada ayam dalam rangka tindakan
pengendalian dan penanggulangan penyakit Hewan menular,
menembak Hewan buruan, pemberian gas beracun atau bahan
lainnya untuk manajemen pengendalian populasi dalam rangka
pengendalian dan penanggulangan penyakit Hewan menular.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 96 . . .
- 30 -
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Hewan laboratorium” adalah Hewan
yang dipelihara secara khusus sebagai Hewan percobaan,
penelitian, Pengujian, pengajaran, dan penghasil bahan biomedis
ataupun dikembangkan menjadi Hewan model untuk penyakit
manusia, seperti mencit, tikus, marmut, kelinci, unggas, kera,
dan monyet.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Ayat (1)
Huruf a
Penderitaan yang tidak perlu terjadi dalam ketentuan ini
misalnya mempertahankan kehidupan ternak sapi atau
kuda yang mengalami kecelakaan atau kaki patah, karena
fungsi kaki Hewan tersebut tidak akan kembali normal
sedangkan Hewan akan selalu mengalami nyeri.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “memutilasi tubuh Hewan” adalah
prosedur pemotongan atau pengambilan bagian tubuh
Hewan berupa jaringan sensitif atau struktur tulang Hewan
yang menyebabkan penderitaan pada Hewan selain untuk
tujuan tindakan medis, misalnya melakukan potong telinga
dan potong ekor pada anjing jenis tertentu.
Huruf c
Memberi bahan yang mengakibatkan keracunan, cacat,
cidera, dan/atau kematian pada Hewan dalam ketentuan
ini misalnya pemberian obat keras tanpa Pengawasan
Dokter Hewan.
Huruf d
Mengadu Hewan dalam ketentuan ini termasuk memelihara
dan melatih, menyelenggarakan, menginformasikan, dan
mengelola fasilitas untuk kegiatan mengadu Hewan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 100 . . .
- 31 -
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sanitasi lingkungan” adalah
tindakan untuk menghilangkan atau menekan
pertumbuhan dan penyebaran mikroorganisme patogen di
lokasi ditemukannya bangkai Hewan yang mati akibat
Bencana Alam.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111 . . .
- 32 -
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.