Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang sangat besar dan tidak terbatas dalam
pengembangannya. Sehingga keberadaan islam perlu dipelajari secara sungguh-
sungguh agar dapat mengetahui segala sesuatu tentangnya secara mendetail. Maka
dari itu, ilmu pendidikan islam adalah hal pertama yang harus kita pelajari agar
tidak terjadi kebingungan di kemudian hari. Dan juga kita harus mengetahui
sistem yang di terapkan dalam kegiatan pendidikan dalam dunia islam. Sehingga
kita bertambah wawasan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan.

B. Rumusan masalah
1. Pengertian sistem pendidikan islam?
2. Bagaimana sistem pendidikan islam di Indonesia?
3. Masalah dan prospek sistem pendidikan islam di Indonesia?
4. Sistem pendidikan islam dalam Integrasi duniawi dan ukhrowi

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sistem Pendidikan Islam
Sistem pendidikan islam berasal dari tiga kata yaitu : sistem, pendidikan
dan islam. Sistem berasal dari bahasa inggris yaitu dari kata system yang berarti
susunan suatu cara atau pola yang berurutan tentang suatu hal. Dan pendidikan
adalah suatu proses pemberian ajaran, bimbingan yang berupa keilmuan.
Sedangkan islam adalah agama yang di turunkan kepada Nabi Muhammad. Dari
definisi-definisi di atas bisa kita rangkai bahwa sistem pendidikan islam
merupakan suatu cara dalam pemberian ilmu kepada murid tentang ilmu-ilmu
islam. Jadi di sini di tegaskan bahwa dalam sistem pendidikan islam hanya
membahas tentang tata cara pengajaran yang di ajarkan oleh islam. Dari cara yang
klasik hingga cara modern.1
B. Sistem Pendidikan Islam di Indonesia
Pada awal berkembangnya agama islam di Indonesia, pendidikan islam
dilaksanakan secara informal. Seperti telah kita ketahui bahwa agama islam
datang ke Indonesia dibawa oleh para pedagang muslim. Sambil berdagang
mereka menyiarkan agama islam kepada orang-orang yang mengelilinginya yaitu
mereka yang membeli barang-barang dagangannya. Didikan dan ajaran islam
mereka berikan dan perbuatan dan suri tauladan. Pendidikan pengajaran islam
secara informal ini ternyata membawa hasil yang sangat baik sekali dan bahkan
menakjubkan, karena dengan berangsur-angsur tersiarlah agama islam di seluruh
kepulauan Indonesia, mulai Sabang sampai Maluku.2
Sistem pendidikan islam informal ini, terutama berjalan dalam lingkungan
keluarga sudah diakui kemampuannya dalam menanamkan sendi-sendi agama
dalam jiwa anak-anak. Usaha-usaha pendidikan agama di masyrakat yang kelak
dikenal dengan pendidikan non formal, ternyata mampu menyediakan kondisi
yang sanagat baik dalam menunjang keberhasilan pendidikan islam dan
memberikan motivasi yang kuat bagi umat islam untuk menyelenggarakan

1
Bakhtiar,adam. Paradigma Pendidikan Islam. (Jakarta: Raja Grafindo, 2011 ) hal. 24
2
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam,(Cet.7: Jakarta: PT Bumi Aksara,2004).h. 210

2
pendidikan agama yang lebih baik dan sempurna. Di pusat-pusat pendidikan
seperti di surau, langgar, masjid atau bahkan di rumah sang guru, tempat-tempat
pendidikan seperti inilah yang menjadi embrio terbentuknya sistem pondok
pesantren dan pendidikan islam yang formal yang terbentuk madarasah atau
sekolah yang berdasar keagamaan.
Sistem pendidikan islam mengalami perubahan sejalan dengan perubahan
zaman dan pergeseran kekuasaan di Indonesia. Kejayaan islam yang mengalami
kemunduran sejak jatuhnya Andalusia kini mulai bangkit kembali dengan itu
pemerintahan jajahan mulai mengenalkan sistem pendidikan formal yang lebih
sistematis dan teratur. Yang menarik kaum muslimin untuk memasukinya. Oleh
karena itu sistem pendidikan islam di Surau, Masjid atau tempat lain semacamnya
dipandang sudah tidak memadai lagi dan perlu disempurnakan.3
Demikianlah sistem klasikal, mulai diterapkan bangku, meja, papan tulis
mulai digunakan dalam melaksanakan pendidikan dan pengajran agama islam.
Demikiajn juga sistem pendidikan formal sekolah atau madrasah mulai tersebar di
mana-mana bahkan di kalangan pondok pesantren sudah diterapkan pula sistem
sekolah atau madrasah.
Pemerintah Indonesia pun sangat memperhatikan tumbuhnya pendidikan
agama islam. Dalam hal ini pendidikan agama islam dibidang studi yang
diintegrasikan dalam kurikulum sekolah. Dan pada waktu itu semua lembaga
pendidikan agama, baik formal,informal dan non formal berjalan dan berkembang
terus dan khusus mengenai pendidikan agama di sekolah. MPR telah menetapkan
bahwa pendidkan agama dimasukan dalam kurikulum sekolah dari dasar sampai
perguruan tinggi.
C. Masalah dan prospek sistem pendidikan islam di Indonesia
Berbagai hasil penelitian tentang problematika Pendidikan agama islam di
sekolah selama ini, ditemukan salah satu faktornya adalah karena pelaksanaan
pendidikan agama cenderung lebih banyak digarap dari sisi-sisi pengajaran atau
didaktik-metodiknya. Guru-guru PAI sering kali hanya diajak membicarakan
persoalan proses belajar mengajar, sehingga tenggelam dalam persoalan teknis-

3
Ibid. h. 215

3
mekanis semata. Sementara itu persoalan yang lebih mendasar yaitu yang
berhubungan dengan aspek paedagogisnya, kurang banyak disentuh. Padahal,
fungsi utama pendidikan agama di sekolah adalah memberikan landasan yang
mampu menggugah kesadaran dan mendorong peserta didik melakukan perbuatan
yang mendukung pembentukan pribadi beragama yang kuat.4
Tiga hal menurut Hidayat yang bisa dikemukakan untuk membuktikan
kekurang-tepatan orientasi pendidikan dimaksud, yaitu:
1. Pendidikan agama saat ini lebih berorientasi pada belajar tentang agama.
2. Tidak tertibnya penyusunan dan pemilihan materi-materi pendidikan
agama sehingga sering ditemukan hal-hal yang prinsipil yang seharusnya
dipelajari lebih awal, justru terlewatkan, misalnya pelajaran keimanan atau
tauhid.
3. Kurangnya penjelasan yang luas dan mendalam atas istilah-istilah kunci
dan pokok dalam ajaran agama sehingga sering ditemukan penjelasan
yang sudah sangat jauh dan berbeda dari makna, spirit dan konteksnya.
Berbagai faktor penyebab kurang efektifnya pendidikan agama di sekolah
sebagai berikut:
a. Faktor internal, yaitu faktor yang muncul dari dalam diri guru agama, yang
meliputi: kompetensi guru yang relatif masih lemah, penyalahgunaan
manajemen penggunaan guru agama, pendekatan metodologi guru yang
tidak mampu menarik minat peserta didik kepada pelajaran agama,
solidaritas guru agama dengan guru non-agama masih sangat rendah,
kurangnya waktu persiapan guru agama untuk mengajar, dan hubungan
guru agama dengan peserta didik hanya bersifat formal saja.
b. Faktor Eksternal, yang meliputi: sikap masyarakat/orangtua yang kurang
concern terhadap pendidikan agama yang berkelanjutan, situasi
lingkungan sekitar sekolah banyak memberikan pengaruh yang buruk,
pengaruh negatif dari perkembangan teknologi, seperti internet, play
station dan lain-lain.

4
Hidayatullah, Media Pembelajaran PAI ( Jakarta, Thariqi Press: 2012 ). h. 9

4
c. Faktor Institusional yang meliputi sedikitnya alokasi jam pelajaran
pendidikan agama Islam, kurikulum yang terlalu overloaded, kebijakan
kurikulum yang terkesan bongkar pasang, alokasi dana pendidikan yang
sangat terbatas, alokasi dana untuk kesejahteraan guru yang belum
memadahi dan lain sebagainya.
Berbagai kebijakan yang ada tidak akan terlaksana dengan baik bila tidak
dikemas dalam sistem pembelajaran yang efektif dan efisien. Tugas ini harus
diemban oleh seluruh lapisan masyarakat terutama para pelaksana pendidikan
yang bersentuhan langsung dengan sistem pendidikan. Fenomena di atas
nampaknya sudah mulai disadari oleh para pelaksana pendidikan di Sekolah
Umum. Keterbatasan alokasi waktu untuk Mata Pelajaran PAI harus diperkaya
dengan berbagai strategi baik dalam kebijakan maupun dalam proses
pembelajarannya. Keberadaan PAI tidak hanya dipandang sebagai salah satu Mata
Pelajaran yang berdiri sendiri, tetapi lebih dari itu keberadaanya terkait dengan
mata kuliah lainnya. Dengan demikian, porsi untuk Mata Pelajaran PAI bisa lebih
memadahi dengan kebijakan tersebut.5
D. Integrasi Duniawi dan Ukhrowi
Dalam ajaran Islam, terdapat dua hukum yang mengatur kehidupan
manusia. Yakni, hukum-hukum mengenai alam fisik (sunnatullah), dan pedoman
hidup dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia (dinullah). Studi tentang alam
fisik dilakukan dengan mempelajari ilmu fisika, geologi, geografi, biologi dan
lain-lain Sedangkan studi tentang tata kehidupan manusia dilakukan dengan
mempelajari ilmu sosiologi, politik, hukum, ilmu Qur’an, antropologi dan
sebagainya. Oleh karena itu, semua ilmu-ilmu tersebut harus dipelajari dalam
lembaga pendidikan Islam.6
Konsep inilah yang diusung oleh Muhammad Natsir, yakni pendidikan
yang integral. Pendidikan integralistik tersebut berdasarkan Tauhid dan bertujuan

5
http://muslimdaily.net/opini/wawasanislam/sistem-pendidikan-islam. Diakses tgl: 10-4-
2014. pukul 10.25 WIT
6
Muhammad Natsir, Kapita Selecta, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973).h. 82

5
untuk menjadikan manusia yang mengabdikan diri kepada kepada Allah dengan
tidak mengesampingkan kehidupan di dunia.
Hal pertama yang dibicarakan Natsir adalah tujuan pendidikan. Seringkali
kita membandingkan dan mempertentangkan antara pendidikan Timur dan
pendidikan di Barat. Dimana pendidikan Timur adalah pendidikan Islam,
sedangkan pendidikan Barat adalah pendidikan sekuler. Dalam hal ini Natsir
menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai keduanya adalah sama, yakni tujuan
hidup. Natsir mengatakan: keduanya tidak dapat dipisahkan, keduanya sama
(identiek), tujuan pendidikan ialah tujuan hidup”.7
Dan untuk dapat mencapai tujuan itu, maka diperlukan pendidikan yang
berkualitas tinggi, yakni pendidikan yang dapat memberikan ilmu pengetahuan
yang luas baik ilmu umum maupun ilmu agama. Jadi, menurut Natsir tujuan
pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia Muslim, yaitu untuk
menciptakan pribadi-pribadi dan hamba-hamba Allah yang senantiasa bertaqwa
kepada Allah Swt. Serta dapat mencapai kehidupan bahagia dunia akhirat.
Tidak terlalu sulit disepakati bahwa agama harus diintegrasikan keseluruh
aspek kehidupan manusia, agar menjadikannya rahmat bagi alam semesta. Maka
wajar saja jika muncul gagasan untuk mengintegrasikan agama dan ilmu umum.
Natsir mengemukakan bahwa antara Pendidikan Barat (secular sciences) dan
pendidikan Timur (religious sciences) masing-masing memiliki kelebihan dan
kelemahan. Seorang pendidik hendaknya tidak membeda-bedakan antara
keduanya, Natsir mengatakan: seorang pendidik Islam tidak usah memperdalam-
dalam dan memperbesar-besarkan pertentangan antara Barat dengan Timur. Islam
hanya mengenal pertentangan antara hak dan batil. Semua yang hak akan ia
terima, biarpun datangnya dari Barat, semua yang batil akan ia singkirkan
walaupun datangnya dari Timur.8
Demikian pula, Islam juga tidak mengenal dikotomi intelegensia. Pada era
kolonial, dikotomi tersebut terlihat sangat jelas sekali, orang-orang yang
berintelektual adalah mereka yang memiliki kemampuan berbahasa Belanda.

7
Ibid. h.82
8
Ibid. h. 109

6
Sedangkan mereka yang memiliki kemampuan berbahasa Arab hanya disebut
sebagai Kiyai kampung. Dalam perkembangannya, golongan intelektual yang
pandai berbahasa Arab menjadi terbelakang, bukan karena mereka bodoh, tetapi
kalah dalam sistem. Mereka yang pandai berbahasa asing (Belanda) memiliki
derajat yang tinggi dalam masyarakat, tapi sebaliknya, mereka yang memiliki
kemampuan berbahasa Arab dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Namun, bagi
Natsir hal tersebut justru merupakan suatu kesempatan bagi pendidikan Islam.
Pendidikan Islam mempunyai peluang untuk memperkokoh dasar yang sudah ada
kemudian menjadikannya senjata untuk bersaing dengan dunia luar.
Jadi, nilai dasar dalam sebuah pendidikan itu harus terangkum jelas.
Pendidikan Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum,
karena dikotomi itu akan mempersempit makna pendidikan Islam itu sendiri.
Berbagai ilmu dan perspektif intelektual yang dikembangkan dalam dunia Islam
memang mempunyai struktur, tetapi struktur itu nantinya akan bermuara kembali
pada pengetahuan tentang Yang Maha Esa sebagai substansi dari segenap ilmu
pengetahuan. upaya pengintegrasian antara pendidikan umum dan pendidikan
agama harus tetap memegang nilai-nilai ke-Islaman sebagai dasar agar tidak
keluar dari jalur dan pedoman yang telah ditentukan dalam agama Islam. Integrasi
yang dilakukan Natsir tidak sekedar mensejajarkan antara pendidikan agama dan
pendidikan umum, tetapi lebih kearah bagaimana agar bisa mencetak peserta didik
yang berintelektual dan ber akhlaq al-karimah. Lebih jauh, pendidikan Islam
mempunyai tanggung jawab dalam dua dimensi, yakni duniawi dan ukhrawi,
tujuannya untuk membantu setiap muslim agar dapat merealisasikan misi.

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sistem pendidikan islam berasal dari tiga kata yaitu : sistem, pendidikan
dan islam. Sistem berasal dari bahasa inggris yaitu dari kata system yang berarti
susunan suatu cara atau pola yang berurutan tentang suatu hal. Dan pendidikan
adalah suatu proses pemberian ajaran, bimbingan yang berupa keilmuan.
Sedangkan islam adalah agama yang di turunkan kepada Nabi Muhammad. Dari
definisi-definisi di atas bisa kita rangkai bahwa sistem pendidikan islam
merupakan suatu cara dalam pemberian ilmu kepada murid tentang ilmu-ilmu
islam. Jadi di sini di tegaskan bahwa dalam sistem pendidikan islam hanya
membahas tentang tata cara pengajaran yang di ajarkan oleh islam. Dari cara yang
klasik hingga cara modern.
Berbagai faktor penyebab kurang efektifnya pendidikan agama di sekolah
sebagai berikut:
1. Faktor internal
2. Faktor eksternal
3. Faktor institusional

B. Saran
Penulis berharap kepada para pembaca, apabila ada yang perlu diutarakan
sebagai masukan, kritikan maupun pendapat dalam makalah ini, maka penulis
menerima dengan senang hati. Karena penulis sadar bahwa masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
para pembaca sekalian

8
DAFTAR PUSTAKA

Adam Bakhtiar. Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta, Raja Grafindo, 2011.


Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, PT Bumi Aksara, 2004.
Muhammad Natsir, Kapita Selecta, Jakarta, Bulan Bintang, 1973)
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma`arif, Bandung,
1980.
Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta : Bumi Aksara, 2000.
http://muslimdaily.net/opini/wawasanislam/sistem-pendidikan-islam.html

Anda mungkin juga menyukai