Anda di halaman 1dari 19

Laporan Praktikum Hari/tanggal : Selasa, 9 April 2019

Teknologi Pati, Gula Dan Golongan : P1


Sukrokimia Dosen : Dr. Ir. Titi Candra S, M.Si
Asisten :
1. Kania Hafidza H F34150111
2. Alfian Yuliansyah F34150120

PRODUKSI DAN KARAKTERISASI PRODUK


BERBASIS PATI
Disusun oleh

Ricky Syahputra F34160002


Chrisman Siagian F34160028
Faturachman Zaki F34160035

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Industri yang berbasis pada produk-produk pertanian maupun perkebunan
saat ini menjadi salah satu sektor yang perlu diperhatikan untuk membangun
perekonomian negara. Perekonomian Indonesia mendapat dukungan dari sektor
industri tersebut. Salah satu produksi agroindustri potensial untuk dikembangkan
adalah gula. Pati (C6H10O5)n merupakan salah satu jenis polisakarida yang dapat
diperoleh dari berbagai macam tumbuh-tumbuhan, terutama singkong, jagung, ubi
jalar, kentang, padi, gandum, sorgum, dan lain lain. Meskipun bentuk kristalnya
berbeda-beda, dalam banyak hal pati dapat saling menyubstitusi. Bahan ini
penting dalam industri pangan, lem, tekstil, kertas, permen, glukosa, dekstrosa,
HFS, dan lain lain. Namun, pati alami memiliki beberapa kekurangan yaitu
membutuhkan waktu yang lama dalam pemasakan, pasta yang terbentuk keras dan
tidak bening, serta sifatnya yang terlalu lengket dan tidak tahan perlakuan asam.

Dengan berbagai kekurangan tersebut, perlu dikembangkan berbagai


modifikasi terhadap pati yang diharapkan memenuhi kebutuhan industri, baik
dalam skala nasional maupun internasional. Industri yang memproduksi barang-
barang di atas menginginkan pati yang mempunyai kekentalan yang stabil baik
pada suhu tinggi maupun rendah, mempunyai ketahanan baik terhadap perlakuan
mekanis, dan daya pengentalannya tahan pada kondisi asam dan suhu tinggi.
Sifat-sifat penting lainnya yang diinginkan ada pada pati termodifikasi antara lain
kecerahan yang lebih tinggi, kekentalan yang lebih tinggi, gel yang lebih jernih,
dan kualitas lainnya yang lebih baik dibanding pati alami.

Untuk membuat produk-produk tersebut perlu diketahui karakteristik pati


dan tepung yang akan dipakai sebagai substitusi, sehingga praktikum kali ini perlu
untuk mengetahui proses pembuatan pati, tepung, dan proses karakterisasinya
dengan beberapa uji. Sehingga diharapkan dapat ditemukan produk yang
memenuhi kebutuhan industri dan masyarakat.

Tujuan
Tujuan dari praktikum pati ini adalah mengetahui proses pembuatan
tepung dan ekstraksi pati dari berbagai sumber pati, mengetahui karakteristik
komoditas pati, dan melakukan analisa kualitas dari tepung dan pati yang
digunakan.
METODOLOGI
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah pisau, timbangan, pemarut, kain saring,
baskom, nampan, pengering, tampah, alat pengukus, panci, kompor, penggiling,
oven, test plate, pipet tetes, mikroskop, cawan aluminium, cawan porselin, tanur,
erlenmeyer 250 ml, autoclaf, corong buchner, aspirator, gelas ukur, pipet
volumetri, pipet tegak, kompor listrik, dan buret. Bahan yang digunakan adalah
umbi-umbian (ubi ungu, ubi merah, kimpul, kentang, pisang, singkong), tepung
ketan merah dan tepung iles-iles, bahan kimia berupa bahan pemutih (natrium
bisulfit, kapur), NaCl 0,2 M dan NaOH 0,3%, larutan iod, alkohol netral 95%,
NaOH 0,05 N, phenolptalein, HCl 3%, H2SO4 0,325 N, NaOH 1,25%, NaOH
40%, larutan Luff schrolls, KI, dan indikator kanji.

Metode

A. Karakterisasi Komoditas Pati


1. Densitas kamba 2. Reaksi enzimatis

Satu umbi utuh Buah dan umbi

Bobot umbi ditimbang. Wadah Diiris lalu dibiarkan dalam


ditimbang, diisi air hingga udara terbuka 15-30 menit
penuh dan ditimbang.

Perubahan warna
Buah dimasukan dalam wadah,
ditambahkan air hingga penuh.

Densitas kamba

3. Pengaruh pemasakan

Umbi dan buah

Dikukus selama 15 menit.


Amati perubahannya.

Perubahan yang
terjadi
B. Pembuatan Tepung dan Ekstraksi Pati
1. Pembuatan tepung dari umbi dan pisang 2. Pembuatan tepung serealia
Umbi Biji-bijian

Pembersihan kotoran, pengupasan, Bersihkan kotoran, lalu rendam dalam


dan pengecilan ukuran secara manual air untuk steeping

Rendam bahan yang sudah bersih kemudian Giling serealia dengan menggunakan
tambahkan natrium bisulfit (1.5 g/l) dan waring blender
kapur (20 g/l)

Ayak dengan saringan 80 mesh


Keringkan dibawah cahaya matahari
kemudian oven pada suhu 50oC sampai
kering (24 jam)
Tepung Serealia

Giling dan ayak dengan saringan 80 mesh

Tepung Umbi

3.Pembuatan pati umbi-umbian 4. Pembuatan pati serealia

Umbi 1 kg Serealia 2 kg

Rendam selama 48 jam dengan larutan


Kupas kulitnya, kemudian parut, Na-bisulfit 0.2%, lalu cuci
tambahkan air
Lumatkan dengan blender, kemudian
Sedikit demi sedikit dilumatkan dan tambahkan air sedikit demi sedikit,
peras menggunakan kain saring sampai air perasan berwarna jernih

Untuk bahan dengan gum yang banyak, Diamkan semalam sampai pati mengendap,
parutan dicuci dengan NaCl 0.2 M, dan kemudian cuci dengan larutan NaOH 0.1N.
air pencuci ditambah NaOH 0.3%, lalu
dicuci sampai bersih Buang air di atasnya, lakukan
penetralan secara berulang jika
Diamkan sampai pati mengendap, diperlukan
lalu buang air di atasnya, dan
keringkan Keringkan dibawah sinar matahari
atau oven pengering 50oC

Pati dari umbi


Pati dari umbi
5. Pembuatan pati dari pisang/ganyong

Pisang 2 kg

Pisang dikupas lalu ditimbang


kulitnya

Dimasukkan kedalam larutan sodium


metabisulfit 0,2% selama 15 menit

Pisang diparut lalu direndam dan


disaring

Diamkan sampai pati mengendap


lalu buang cairan diatasnya

Pati dikeringkan

Ditimbang bobotnya

Dihitung rendemen dan


neraca massa ekstraksi pati

Pati pisang

6. Pembuatan leguminosa 7. Pembuatan pati beras/beras ketan

Kacang hijau 200 g Tepung ketan 200 g

Rendam dalam 800 ml larutan


Rendam dalam 1 L larutan 0.05 N NaOH
NaOH 0.2% pada suhu kamar
pada suhu kamar selama 1 malam
selama 1 malam
Giling dengan blender selama 3 menit, Setelah dekantasi, buang
kemudian saring. Residu digiling dan supernatan, lalu endapan dicuci
disaring. sebanyak 2 kali

Buang air di atasnya, endapan Diamkan hingga mengendap, lalu


dicuci sebanyak 2 kali keringkan dengan oven pengering 50oC

Diamkan hingga mengendap, lalu Pati beras ketan


keringkan dengan oven pengering
50oC
Pati kacang hijau
C. Karakterisasi Pati dan Tepung
1. Uji Iod 2. Bentuk Granula

Bahan Bahan

Letakkan pada test plate Taruh di gelas objek, tambahkan


setetes air, lalu tutup

Tambahkan iod
Amati bentuk granula

Warna bahan
menjadi hitam Gambar
granula
3. Suhu Gelatinisasi 4. Kejernihan Pasta

Suspensi Pasta pati


pati 1%

Ukur tinggi volume awal Celupkan dalam air mendidih


30 menit

Letakkan panaskan, setelah Kocok tabung tiap 5 menit,


35°C turunkan, ukur tinggi dan dinginkan pada suhu
larutan kamar

Lanjutkan sampai 45oC,


Nilai
ukur kembali tinggi larutan
transmittan(%T)

Suhu gelatinisasi

6. Kelarutan dan Swelling Point


5. Kadar pati 0.5 g pati
1 g bahan
Masukkan sheker water bath
Dimasukkan dalam erlenmeyer 250
ml dan ditambahkan 100 ml HCl 3% 30 ml larutan jernih
ditempatkan pada cawan petri
Dihidrolisis selama 1 jam dalam
autoclaf 115°C Oven pada suhu 100°C

Bobot
Setelah dingin dinetralkan dengan
NaOH

Dimasukkan ke dalam labu ukur


250 ml dan ditera dengan akuades

Dipipet 10 ml contoh dan dimasukkan


dalam erlenmeyer 250 ml

Ditambahkan 15 ml akuades dan 25 ml


Luff schroll

Dididihkan selama 10 menit

Dinginkan

Ditambahkan 20 ml KI 20% dan 25 ml


H2SO4 secara perlahan

Dititrasi dengan sodiumtiosulfat 0,1 N


dengan indikator kanji

Hasil
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
[Terlampir]
Pembahasan

Praktikum pengamatan karakteristik komoditas pati dilakukan terhadap


beberapa jenis umbi, yaitu talas, kimpul, ubi, singkong, kentang dan pisang.
Parameter yang diuji adalah bobot per buah, volume, densitas kamba dan reaksi
enzimatis. Berdasarkan hasil uji, nilai bobot per buah tertinggi terdapat pada umbi
singkong, dan yang terendah terdapat pada buah pisang, yaitu sebesar 410 g dan
60 g. Hal ini sesuai, karena saat pengamatan ukuran singkong memang paling
besar dibandingkan dengan umbi yang lain. Berdasarkan hasil pengukuran
volume, nlai terbesar terdapat pada singkong, dan yang terkecil adalah kentang
yaitu 236,99 ml dan 71,475 ml. Pengukuran ini dilakukan dengan water
replacement method, sama seperti pengujian densitas. Selanjutnya pengukuran
densitas kamba umbi. Umbi dengan densitas kamba terbesar adalah singkong dan
yang terkecil adalah pisang.
Pengujian reaksi enzimatis dilakukan dengan mengamati perubahan warna
terhadap irisan umbi. Jika terjadi pencoklatan, maka reaksi dinyatakan positif (+).
Sebaliknya, jika tidak terjadi pencoklatan maka reaksi dinyatakan negatif (-).
Berdasarkan pengamatan, diperoleh hasil bahwa talas menimbulkan reaksi negatif
(-). Sedangkan umbi yang lain, menunjukkan reaksi positif (+). Reaksi negatif dari
talas dapat disebabkan karena kurangnya oksidasi atau tidak adanya senyawa
polinol yang teroksidasi oleh enzim fenolase, yang akan menyebabkan warna
coklat bila bereaksi. Pembentukan warna coklat ini dipicu oleh reaksi oksidasi
yang dikatalisis oleh enzim fenol oksidase atau polifenol oksidase. Sampel umbi
yang mengalami kecoklatan seperti ubi jalar daln lain-lain disebabkan karena
adanya kandungan vitamin C yang dapat mereduksi kembali quinon berwarna
hasil oksidasi (o-quinon) menjadi senyawa fenolat (o-difenol) tak berwarna
(Mardiah 1996).
Umbi-umbian diberi perlakuan pemasakan. Semua umbi mengalami
perubahan tekstur dari keras menjadi lembut. Setiap bahan makanan yang
dilakukan pengolahan mengeluarkan aroma khas masing-masing. Perlakuan
pemasakan juga mempengaruhi perubahan warna pada umbi. Umbi yang
mengalami perubahan warna setelah dilakukan perebusan seperti ubi jalar,
disebabkan karena terjadi perubahan pigmen. Perebusan menyebabkan pecahnya
pigmen karoten pada ubi jalar (Suprapti 2003). Terutama panas sangat
berpengaruh terhadap pigmen bahan pangan. Kemudian terdapat perubahan
organoleptik pada sampel umbi, yaitu rasa. Berdasarkan hasil praktikum, terdapat
umbi yang mengalami perubahan rasa, misalnya menjadi manis, ada pula yang
tidak mengalami perubahan. Rasa hambar pada umbi setelah dimasak disebabkan
karena kandungan gula tidak dominan. Umbi yang mengalami perubahan menjadi
lebih manis disebabkan oleh kandungan gula yang lebih dominan pada umbi.
PEMBUATAN TEPUNG
Tepung dan pati merupakan dua produk yang berbeda cara pengolahan dan
pemanfaatannya. Pada pembuatan tepung, seluruh komponen yang terkandung
didalamnya dipertahankan keberadaannya, kecuali air sehingga tepung bisa jadi
tidak murni hanya mengandung pati, karena tercampur dengan serat, protein dan
sebagainya, sedangkan pati pada prinsipnya hanya mengekstrak kandungan
patinya saja (Muchtadi et al 1988). Tepung merupakan keseluruhan bagian dari
bahan (umbi, serealia, atau leguminosa yang mengalami proses pengolahan
menjadi berbentuk bubuk seperti pengecilan ukuran, pengeringan, dan
penggilingan. Tepung adalah bahan kering yang berbentuk powder, termasuk
didalamnya pati, agar, karagenan, gum dan lainya.
Tepung juga berbentuk partikel padat dengan butiran halus atau sangat
halus tergantung pemakaiannya. Pemakaian tepung biasanya digunakan untuk
keperluan penelitian, rumah tangga, dan bahan baku industri. Kadar air yang
rendah dalam tepung berpengaruh terhadap tepung. Jumlah air yang terkandung
dalam tepung dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sifat dan jenis atau asal
bahan baku pembuatan tepung, perlakuan yang telah dialami oleh tepung,
kelembaban udara, tempat penyimpanan dan jenis pengemasan. Pati secara alami
terdapat di dalam senyawa-senyawa organik di alam yang tersebar luar seperti di
dalam biji-bijian, akar, batang yang disimpan sebagai energi selama dormansi dan
perkecambahan. Pati merupakan suatu karbohidrat yang tersusun atas atom-atom
karbon, hidrogen, dan oksigen dengan perbandingan 6:10:5 (C6H10O5).
Pati merupakan polimer kondensasi dari suatu glukosa yang tersusun dari
unit-unit anhidroglukosa. Unit-unit glukosa terikat satu dengan lainnya melalui C1
Oksigen yang dikenal sebagai ikatan glikosida(Swinkels 1985). Komponen utama
dalam pati adalah amilosa dan amilopektin yang tersusun dalam granula pati.
Butir-butir pati tidak larut dalam air dingin tetapi apabila suspensi dalam air
dipanaskan, akan terjadi suatu larutan koloid yang kental. Larutan koloid ini
apabila diberi larutan iodium akan berwarna biru.Warna biru terserbut disebabkan
oleh molekul amilosa yang membentuk senyawa. Amilopektin dengan iodium
akan memebrikan warna ungu atau merah lembayung(Poedjiadi dan Supriyanti
2006).
Proses penepungannya meliputi penggilingan biji-bijian yang akan
ditepungkan, pengeringan dan pengayakan. Penggilingan selain berfungsi untuk
menghancurkan biji juga untuk memisahkan biji dari lembaganya. Menurut
Thompson (1976) penggilingan serealia dapat dilakukan dalam kondisi kering dan
basah. Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air bahan sehingga tepung
dapat disimpan dalam waktu cukup lama. Proses pengeringan pada setiap bahan
berbeda bergantung pada karakteristik bahan yang akan dikeringkan. Ada dua cara
pengeringan yang biasa digunakan pada bahan pangan yaitu pengeringan dengan
penjemuran (memanfaatkan sinar matahari) dan pengeringan dengan alat
pengering. Keuntungan pengeringan dengan alat pengering buatan adalah kondisi
pengeringan dapat diatur sehingga hasil yang diperoleh sesuai dengan apa yang
diharapkan.
Menurut Payne et al (1941), ada dua keuntungan penjemuran di bawah
sinar matahari, yaitu adanya daya pemutih karena sinar ultra violet matahari dan
mengurangi degradasi kimia yang dapat menurukan mutu bahan. Sedangkan
kelemahannya dapat terkontaminasinya bahan oleh debu yang dapat mengurangi
derajat keputihan tepung. Pengayakan dilakukan untuk memperoleh butiran
tepung yang lebih halus. Ukuran butiran tepung yang dihasilkan dari proses
pengayakan bergantung pada ukuran mesh pada saringan yang digunakan. Makin
besar ukuran mesh, makin kecil butiran tepung yang dihasilkan. Setiap jenis
serealia memilki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Oleh karena
itu, teknik yang digunakan dalam proses penepungan tiap bahan tersebut juga
dapat berbeda.
Letak perbedaan utama dalam proses pembuatan tepung dari jenis bahan
yang berlainan adalah pada tahap persiapan bahan sebelum penggilingan. Tepung
serealia yang dihasilkan dalam praktikum kali ini dibuat dengan cara sederhana
dan tidak ada perbedaan persiapan bahan maupun metode pembuatan tepung
antara bahan satu dengan yang lain kecuali pada pembuatan tepung kacang hijau.
Data hasil pengamatan menunjukkan bahan tidak memiliki rendemen 100%,
bahan memiliki selisih yang cukup besar antara berat awal dengan berat akhir. Hal
ini dikarenakan tidak keseluruhan massa hasil pengilingan bahan merupakan
tepung dari bahan tersebut seperti berat ampas kulit, penurunan kadar air akibat
penjemuran, dan sisa bahan yang kasar setelah di ayak. Hasil rendemen terbesar
adalah tepung ubi ungu karena tidak mengalami pengurangan ampas kulit dan
penjemuran seperti pada ubi jalar, kentang, dan singkong sedangkan untuk hasil
rendemen terkecil adalah kentang karena kentang mengalami pengurangan bobot
kulit dan kadar air yang di kandung cukup tinggi. Untuk serealia yang digunakan
sebagai bahan baku kadar airnya cukup rendah sehingga ketika digiling dan
dikeringkan susut bobotnya tidak terlalu besar.

Fungsi Natrium Bisulfit dan NaOH


Natrium Metabisulfit atau Sodium Metabisulfit (Na2S2O5) merupakan
salah satu pengawet makanan anorganik. Penggunaan zat ini harus sesuai
kadarnya, tidak berlebihan sehingga tidak membahayakan kesehatan konsumen
(Apriyantono et al 1998). Ciri-ciri dari zai ini adalah wujudnya kristal atau bubuk
berwarna putih, bersifat mudah larut dalam air dan sedikit larut dalam alkohol,
rumus molekulnya Na2S2O, titik leburnya 150 °C, kelarutan senyawa ini adalah
1,2-1,3 kg/L, padatan sodium metabisulfit yang dilarutkan sebanyak 20% akan
tampak berwarna kuning pucat hingga jernih.
Natrium bisulfit pada pembuatan tepung dan pati berfungsi untuk
mencegah proses pencoklatan pada bahan seperti umbi kentang sebelum diolah,
menghilangkan kotoran dan getah yang masih melekat, menghilangkan bau dan
rasa getir terutama pada umbi serta untuk mempertahankan warna agar tetap
menarik dan dapat ber fungsi sebagai pengawet.
Reaksi pencoklatan enzimatik pada bahan untuk pembuatan tepung dan
pati terutama disebabkan oleh aktivitas oksidase, seperti fenolase atau
polifenolase yang akan mengkatalis reaksi oksidasi senyawa fenol menjadi keton.
Belerang dioksida dan sulfit berperan sebagai inhibitor bagi polifenol oksidase.
Belerang dioksida dapat mereduksi O2 sehingga proses oksidasi tidak
berlangsung atau bereaksi dengan quinon (Ikhlas 1992). Gambar 1 menunjukkan
proses penghambatan pencoklatan oleh natrium bisulfit. Sulfit menghambat reaksi
pencoklatan dengan mengikat logam Cu pada enzim. Winarno (1995) menyatakan
bahwa molekul sulfit lebih mudah menembus dinding sel mikroorganisme,
bereaksi dengan asetaldehida membentuk senyawa yang tidak dapat difermentasi
oleh enzim mikroorganisme, mereduksi ikatan disulfida enzim dan bereaksi
dengan keton membentuk hidroksisulfonat yang dapat menghambat mekanisme
respirasi.

Gambar 1. Reaksi Penghambatan Reaksi Pengcoklatan dengan Natrium Bisulfit


Soda api yang dalam ilmu kimia disebut NaOH (natrium hidroksida)
merupakan sejenis basa logam kaustik. Oleh sebab itu, beberapa orang menyebut
soda api dengan nama soda kaustik. Senyawa ini terbentuk dari oksida basa
natrium oksida (NaOH) yang dilarutkan dalam senyawa air. Soda api atau soda
kaustik, memiliki sifat senyawa alkalin dimana fungsinya semakin kuat saat
dilarutkan bersama air. Perendaman dengan NaOH pada pembuatan pati dan
tepung pada pembuatan pati serealia (jagung), leguminosa (kacang hijau) dan
ketan hitam bertujuan untuk melunakkan struktur kulit kacang, jagung, dan beras
agar mudah diproses selanjutnya juga untuk melarutkan protein yang terkandung
dalam bahan (Hubeis 1985).

EKSTRAKSI PATI
Pati merupakan polisakarida yang terdapat pada tanaman dalam bentuk
granula. Granula pati banyak tersimpan pada bagian batang, akar, umbi, biji dan
atau pada buah. Pati pada tanaman berperan sebagai sumber energi untuk fase
dorman, germinasi dan pertumbuhan. Pati mengandung dua komponen utama
yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa adalah polimer rantai lurus dari glukosa
dengan ikatan rantai α-1,4 glikosidik. Bila ditambah dengan sejumlah iodine,
amilosa akan membentuk kompleks amilosa-iodin. Larutan amilosa memilki
viskositas yang tinggi dan relatif tidak stabil dibanding amilopektin (Mcdonald
1984).
Proses ekstraksi pati dari berbagai jenis bahan berbeda-beda, tergantung
pada karakteristik bahan yang akan diekstrak patinya. Misalnya pada bahan yang
mengandung gum cukup banyak, sebelum diekstrak patinya harus direndam dulu
dalam larutan NaCl untuk menghilangkan gumnya. Kandungan gum yang terlalu
banyak dalam pati dapat menyebabkan pati yang dihasilkan berwarna coklat.
Selain itu, gum juga dapat menghambat proses penyaringan. Pada umumnya
proses ektraksi pati meliputi penggilingan bahan, pelarutan granula, dekantasi,
pengeringan, penggilingan pati, dan pengayakan. Penggilingan bahan bertujuan
untuk menghancurkan dinding sel sehingga granula bahan dapat diekstrak. Proses
pelarutan granula dilakukan dengan menambahkan air pada tepung kemudian
tepung diperas untuk mengekstrak patinya. Pemerasan di sini berfungsi untuk
memisahkan granula pati dari selulosa atau kandungan lain yang tidak diharapkan.
Dekantasi berfungsi untuk memisahkan fraksi pati. Pengeringan dilakukan untuk
mengurangi kadar air pada pati. Pengeringan dapat dilakukan dengan cara
sederhana (menggunakan sinar matahari langsung) atau dengan pengeringan
buatan (menggunakan mesin). Setelah dikeringkan, pati digiling dan diayak untuk
mendapatkan bentuk butiran (serbuk) yang diinginkan.
Data hasil pengamatan menunjukkan bahan tidak memiliki rendemen
100%, bahan memiliki selisih yang cukup besar antara berat awal dengan berat
akhir. Hal ini dikarenakan tidak keseluruhan massa hasil pengilingan bahan
merupakan tepung dari bahan tersebut seperti berat ampas kulit, penurunan kadar
air akibat penjemuran, dan sisa bahan yang kasar setelah di ayak. Hasil rendemen
terbesar adalah ketan putih karena tidak mengalami pengurangan ampas kulit dan
penjemuran seperti pada ubi jalar, kentang, dan singkong sedangkan untuk hasil
rendemen terkecil adalah kentang karena kentang mengalami pengurangan bobot
kulit dan kadar air yang di kandung cukup tinggi. Untuk serealia yang digunakan
sebagai bahan baku kadar airnya cukup rendah sehingga ketika digiling dan
dikeringkan susut bobotnya tidak terlalu besar.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi rendemen antara lain mutu
bahan baku (kondisi tanaman, umur panen), penanganan pascapanen (pengeringan
dan penyimpanan) dan proses ekstraksi, penyaringan, pengeringan dan
penggilingan). Perbedaan varietas ternyata berpengaruh terhadap rendemen
tepung dan pati yang dihasilkan. Hal ini diduga disebabkan faktor genetik
tanaman. Greenwood (1970) menyatakan bahwa keberadaan amilosa dalam pati
mungkin bervariasi yang disebabkan oleh faktor genetik. Dengan demikian variasi
kadar amilosa dari pati maupun tepung yang dihasilkan diperkirakan dipengaruhi
varietas.
KARAKTERISASI PATI DAN TEPUNG
Uji Iod
Granula pati ubi jalar berbentuk polygonal dengan kandungan amilosa dan
amilopektin berturut-turut adalah 20% dan 80% (Swinkels 1988). Pati ubi jalar
memiliki derajat pembengkakan 20-27 ml/g, kelarutan 15-35%, dan amilopektin.
Amilosa gelatinisasi pada suhu 75-88°C untuk granula berukuran kecil (Moorthy
2004). Komponen utama dalam pati adalah amilosa dan amilopektin yang
tersusun dalam granula pati. Butir-butir pati tidak larut dalam air dingin tetapi
apabila suspensi dalam air dipanaskan, akan terjadi suatu larutan koloid yang
kental. Larutan koloid ini apabila diberi larutan iodium akan berwarna biru.Warna
biru terserbut disebabkan oleh molekul amilosa yang membentuk senyawa.
Amilopektin dengan iodium akan memberikan warna ungu atau merah lembayung
(Poedjiadi dan Supriyanti 2006). Berdasarkan hasil praktikum tepung yang
digunakan menunjukkan warna biru pada tepung kentang dan pada tepung lainnya
berwarna ungu. Hal ini menunjukkan pada tepung kentang zat yang teridentifikasi
adalah amilosa. Sedangkan pada pengujian iodin pada pati diperoleh warna
tepung iles-iles adalah cokelat gelap. Hal ini menunjukkan bahan tepung iles-iles
yang digunakan sedah mengalami kerusakan sehingga warna uji iodnya berubah.
Bentuk Granula
Bahan-bahan yang digunakan dalam pratikum ini adalah ketan putih, ubi
ungu, ubi merah, kimpul, kentang, dan tepung iles-iles. Dalam bentuk aslinya
secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula.
Bentuk dan ukuran granula pati merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena
itu digunakan untuk identifikasi. Pati memiliki bentuk granula yang berbeda untuk
setiap tumbuhan. Granula pati dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop
cahaya. Pengamatan bentuk granula dilakukan dengan melihat sampel pati yang
telah ditetesi sedikit air melalui mikroskop pada perbesaran tertentu. Biasanya
digunakan perbesaran 10 x 10.
Berdasakan hasil yang diperoleh memang pada umumnya bentuk granula
adalah bulat. Kentang memiliki ukuran granula 12-100 µm, dan bentuk
granulanya bundar. Hal ini sesuai dengan gambar hasil praktikum yaitu berbentuk
bundar. Bentuk dari pati ubi ungu, pati kimpul, pati ketan putih, dan pati iles-iles
adalah bulat. Ukuran granula terutama berpengaruh pada profil gelatinisasi,
interaksiamilosa-lipid, kelarutan dan swelling volume serta kemudahan
didegradasi oleh enzim. Semakin besar ukuran granula menyebabkan granula
bersifat lebih kristalin, lebih sedikit membentuk kompleks dengan lemak, lebih
sedikit larut dan mengembang serta lebih lambat didegradasi enzim (Lindeboom
et al 2004).

Suhu Gelatinisasi
Proses masuknya air ke dalam pati yang menyebabkan granula
mengembang dan akhirnya pecah disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu
dimana terjadinya gelatinisasi disebut dengan suhu gelatinisasi. Pati yang telah
mengalami gelatinisasi akan kehilangan sifat birefringence atau sifat
merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop terlihat hitam
putih. Kisaran suhu yang menyebabkan 90% butir pati dalam air panas
membengkak sehingga tidak kembali ke bentuk normalnya disebut Birefringence
End Point Temperature atau disingkat BEPT.
Ketika granula pati dipanaskan di dalam air, maka energi panas akan
menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air
yang masuk selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan
amilopektin. Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya
pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas
tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula
menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin berdifusi keluar. Proses gelatinisasi
dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Perubahan bentuk granula pati selama proses gelatinisasi
(Sumber : Angela 2001)
Faktor-faktor yang mempengaruhi gelatinisasi adalah kandungan amilosa
dan ukuran granula pati. Ukuran granula pati yang lebih kecil lebih tahan terhadap
gelatinisasi dibandingkan dengan granula berukuran besar (Banks et al 1973).
Selain konsentrasi, pembentukan gel dipengaruhi oleh pH larutan, garam, lemak
dan surfaktan, protein dan susu. Pembentukan gel optimum pada pH 4-7. Pada pH
yang terlalu tinggi pembentukan gel makin cepat tercapai, tapi cepat turun lagi,
sedangkan bila pH terlalu rendah menyebabkan gel terbentuk lambat, akibatnya
suhu gelatinisasi lebih tinggi (Winarno 1997). Adanya gula akan menyebabkan
gel lebih tahan terhadap kerusakan mekanik.
Menurut Rapaille dan Vanhemelrijck (1994), keberadaan lemak dan
protein dapat menyelimuti granula pati sehingga dapat menghalangi proses
gelatinisasi. Gula dan padatan terlarut mengakibatkan kompetisi dalam
penyerapan air. Gelatinisasi membutuhkan air yang tersedia pada derajat
reaktivitas tertentu sehingga dengan adanya komponen lain maka air yang tersisa
perlu ditingkatkan reaktivitasnya dengan cara menaikkan suhu (Olkku et al 1978).
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh suhu gelatinisasi terbesar adalah suhu
gelatinisasi pati kentang yaitu 56°C, dan suhu gelatinisasi terendah adalah pati
kimpul yaitu 40°C. Hal ini menunjukkan pati kentang lebih tahan terhadap panas
daripada pati kimpul.

Kadar Pati
Kadar pati adalah faktor yang menjadi parameter yang menunjukkan
kualitas dari tepung / pati. Semakin tinggi kadar pati suatu bahan maka memiliki
kualitas yang semakin baik. Faktor yang mempengaruhi kadar pati adalah lama
perendaman, jumlah bahan, ukuran bahan, dsb. Metode yang digunakan untuk
pengujian kadar pati pada tepung yaitu metode luff school. Luff school merupakan
salah satu metode yang digunakan dalam penentuan kadar pati secara kimiawi.
Metode ini menggunakan reagen Luff yang mengandung tembaga sitrat (CuO)
sebagai oksidator bagi gula pereduksi hasil hidrolisis pati dalam keadaan asam
(Winarno 1997). Berdasarkan hasil praktikum bahan yang mengandung kadar pati
paling tinggi adalah kimpul dengan kadar pati 74,25% dan bahan yang
mengandung kadar pati paling rendah adalah pisang dengan kadar pati 66,35%.
Kejernihan Pasta
Kejernihan pasta merupakan salah satu parameter penting dalam
menentukan kualitas pasta pati disamping viskositas pasta, terutama berdasarkan
penampakan visual terkait pada sifat jernih atau buram dari pasta yang dihasilkan.
Pada sebagian jenis makanan, pasta pati diharapkan berwujud jernih seperti untuk
bahan pengisi kue. Namun ada pula makanan yang menghendaki pasta pati
berwujud buram (opaque) seperti pada salad dressing (Makfoeld 1983).
Kejernihan pasta terkait dengan sifat dispersi dan retrogradasi.
Balagopalan et al (1988) menyatakan bahwa pati alami yang memiliki swelling
power (pembengkakan granula) tinggi dan kecenderungan retrogradasinya rendah
memiliki kejernihan pasta yang lebih tinggi. Retrogradasi adalah proses
kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi. Beberapa molekul
pati, khususnya amilosa yang dapat terdispersi dalam air panas, meningkatkan
granula-granula yang membengkak dan masuk ke dalam cairan yang ada di
sekitarnya. Pasta pati (1%) disiapkan dengan cara mensuspensikan 50 mg sampel
dalam 5 ml air (digunakan tabung reaksi berulir). Campuran dicelupkan dalam air
mendidih selama 30 menit, kemudian tabung dikocok setiap 5 menit. Sampel
didinginkan hingga suhu kamar. Nilai transmitan (%T) dibaca pada spektrometer
dengan λ 650 nm. Akuades digunakan sebagai blanko.
Sunarti et al (2007) menyatakan bahwa pasta pati bukan berupa larutan
melainkan berupa granula pati bengkak tak terlarut yang memiliki sifat seperti
partikel gel elastis. Apabila granula pati dipanaskan hingga suhu gelatinisasinya,
granula akan membentuk pasta pati yang kental. Kejernihan pasta terkait dengan
sifat dispersi dan retrogradasi. Winarno (1997) menambahkan bahwa pada saat
terjadi gelatinisasi akibat panas, maka suspensi pati yang mula-mula buram
berangsur-angsur berkurang dan akhirnya menjadi jernih. Tingkat kejernihan
pasta berhubungan langsung dengan pengembangan granula pati. Makin besar
kemampuan granula pati mengembang maka pasta yang diperoleh lebih jernih.
Pati yang mengandung amilopektin memiliki keunggulan yaitu tingkat
kejernihan yang tinggi sehingga dapat memperbaiki sifat dan penampakan produk
akhirnya. Pati yang ada pada umbi-umbian akan membentuk penampakan yang
jernih, cair, dan tekstur yang dimilikinya kohesif. Pengujian tingkat kejernihan
pasta dilakukan untuk melihat seberapa jauh larutan pati dapat ditembus oleh
cahaya. Pengujian ini dilakukan dengan mengukur nilai transmisi cahaya yang
dilewatkan pada sampel pasta pati. Alat yang digunakan untuk mengetahui nilai
persen transmisinya adalah spektrofotometer. Persen transmisi adalah banyaknya
cahaya yang dilewatkan pada suatu sampel. Semakin tinggi nilai persen transmisi
maka sampel semakin jernih.
Proses pemanasan yang dilakukan berulang-ulang dapat mempengaruhi
kejernihan pasta. Semakin banyak pemanasan yang terjadi menyebabkan
kejernihan pasta pati cenderung menurun (Suriani 2008). Pati dengan warna
buram dapat digunakan untuk produk sejenis salad dressing. Sunarti et al (2007)
melaporkan kejernihan pasta pati sangat tergantung dari sifat dispersi dan sifat
retrogradasi bahan. Balagopalan et al (1988) menyatakan bahwa suspensi pati
alami dalam air berwarna buram (opaque), namun proses gelatinisasi pada granula
pati dapat meningkatkan transparansi larutan tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa pati ketan putih dan pati
kentang memiliki kejernihan pasta yang tinggi dengan nilai %transmittannya
masing-masing adalah 89.1% dan 78,2%. Hal ini menunjukkan kadar amilopektin
pada kedua bahan cukup tinggi. Sedangkan pati iles-iles memiliki nilai
%transmittan sangat rendah yaitu sekitar 8,8%.

Kelarutan dan Swelling Power (Pembengkakan Granula)


Swelling power merupakan kenaikan volume dan berat maksimum pati
selama mengalami pengembangan di dalam air. Swelling power menunjukkan
kemampuan pati untuk mengembang dalam air. Swelling power yang tinggi
berarti semakin tinggi pula kemampuan pati mengembang dalam air. Nilai
swelling power perlu diketahui untuk memperkirakan ukuran atau volume wadah
yang digunakan dalam proses produksi sehingga jika pati mengalami swelling,
wadah yang digunakan masih bisa menampung pati tersebut. Sifat swelling pada
pati sangat tergantung pada kekuatan dan sifat alami antar molekul di dalam
granula pati, yang juga tergantung pada sifat alami dan kekuatan daya ikat
granula. Menurut Sunarti et al (2007) berbagai faktor yang menentukan daya ikat
tersebut adalah:
1. Perbandingan amilosa dan amilopektin.
2. Bobot molekul dari fraksi-fraksi tersebut.
3. Distribusi bobot molekul.
4. Derajat percabangan.
5. Panjang dari cabang molekul amilopektin terluar yang berperan dalam
kumpulan ikatan
Pola kelarutan pati dapat diketahui dengan cara mengukur berat
supernatan yang telah dikeringkan dari hasil pengukuran pembengkakan granula
(Pomeranz 1991). Ketika pati dipanaskan dalam air, sebagian molekul amilosa
terutama yang memiliki rantai pendek akan keluar dari granula pati dan larut
dalam air. Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan
keluar dari granula pati. Kelarutan pati semakin tinggi dengan meningkatnya suhu
(Pomeranz 1991). Swelling power dan kelarutan terjadi karena adanya ikatan non-
kovalen antara molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin,
granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian, jumlah air
yang terserap dan pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno
2002). Ketika granula pati dipanaskan dalam air, granula pati mulai mengembang
(swelling).
Faktor-faktor seperti rasio amilosa dan amilopektin, distribusi berat
molekul dan panjang rantai serta derajat percabangan dan konformasinya
menentukan swelling power dan kelarutan (Moorthy 2004). Semakin besar
swelling power berarti semakin banyak air yang diserap selama pemasakan, hal
ini tentu saja berkaitan dengan kandungan amilosa dan amilopektin yang
terkandung dalam tepung. Semakin tinggi kadar amilosa maka nilai
pengembangan volume akan semakin tinggi. Hal ini karena dengan kadar amilosa
yang tinggi maka akan menyerap air lebih banyak sehingga pengembangan
volume juga semakin besar (Murillo 2008). Kelarutan merupakan berat pati yang
terlarut dan dapat diukur dengan cara mengeringkan dan menimbang sejumlah
larutan supernatan. Semakin tinggi nilai kelarutan bahan menunjukkan bahwa
bahan tersebut semakin mudah larut dalam air.
Berdasarkan perhitungan swelling power nilai swelling terbesar adalah
pada pati kentang dengan nilai 61,96% dan swelling terendah adalah pati ubi
merah yaitu 3,38%. Sedangkan nilai kelarutan bahan yang digunakan diperoleh
bahwa pati kentang lebih mudah larut daripada pati yang lain, hal ini dibuktikan
dengan nilai kelarutan pati yang mencapai 93,33%. Sedangkan pati kimpul
merupakan pati yang paling sukar larut dengan persen kelarutan sekitar 5%. Hal
ini juga menunjukkan bahwa kadar amilosa pada pati kentang lebih rendah
daripada pati yang lain. Li dan Yeh (2001) menyatakan terdapat bahwa terdapat
korelasi negatif antara swelling power dengan kadar amilosa. Hal ini terjadi
karena amilosa dapat membentuk kompleks dengan lipida dalam pati sehingga
dapat menghambat swelling.

PENUTUP
Simpulan
Karakteristik dari umbi dapat dianalisis secara organoleptik dan kimia.
Secara organoleptik rata-rata umbi yang diamati itu memiliki bentuk tekstur yang
keras sebelum diolah dan memiliki tekstur yang lembut jika telah dimasak. Hal
tersebut dipengaruhi oleh akibat pemanasan dari pemasakan yang berikan.
Pengaruh pemanasan tersebut pasti akan dialami oleh setiap komoditi pertanian
umumnya. Selain itu, karakteristik lainnya dapat dilihat dari densitas kamba yang
dimiliki oleh masing-masing komoditi umbi dan buah. Besar atau kecilnya
densitas kamba yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh bobot dan ukuran komoditi
yang diujikan.
Tepung merupakan keseluruhan bagian dari bahan (umbi, serealia, atau
leguminosa yang mengalami proses pengolahan menjadi berbentuk bubuk seperti
pengecilan ukuran, pengeringan, dan penggilingan. Pada umumnya proses
ektraksi pati meliputi penggilingan bahan, pelarutan granula, dekantasi,
pengeringan, penggilingan pati, dan pengayakan. Natrium bisulfit pada
pembuatan tepung dan pati berfungsi untuk mencegah proses pencoklatan pada
bahan seperti umbi kentang sebelum diolah, menghilangkan kotoran dan getah
yang masih melekat, menghilangkan bau dan rasa getir terutama pada umbi serta
untuk mempertahankan warna agar tetap menarik dan dapat ber fungsi sebagai
pengawet. Perendaman dengan NaOH pada pembuatan pati dan tepung pada
pembuatan pati serealia (jagung), leguminosa (kacang hijau) dan ketan hita
bertujuan untuk melunakkan struktur kulit kacang, jagung, dan beras agar mudah
diproses selanjutnya juga untuk melarutkan protein yang terkandung dalam bahan.
Faktor yang mempengaruhi rendemen antara lain mutu bahan baku
(kondisi tanaman, umur panen), penanganan pascapanen (pengeringan dan
penyimpanan) dan proses ekstraksi, penyaringan, pengeringan dan penggilingan).
Perbedaan varietas ternyata berpengaruh terhadap rendemen tepung dan pati yang
dihasilkan. Pada praktikum, tepung yang memiliki rendemen terbesar adalah ubi
ungu, sedangkan patinya adalah ketan putih. Bentuk dari pati ubi ungu, pati
kimpul, pati ketan putih, dan pati iles-iles adalah bulat sedangkan bentuk dari pati
kentang adalah bundar(oval). Secara umum pati dan tepung yang digunakan pada
praktikum ini mengandung amilopektin. Kadar pati paling tinggi adalah kimpul
dan bahan yang mengandung kadar pati paling rendah adalah pisang. Pati kentang
lebih tahan terhadap panas daripada pati kimpul.

Faktor-faktor yang mempengaruhi gelatinisasi adalah kandungan amilosa


dan ukuran granula pati. Kejernihan pasta terkait dengan sifat dispersi dan
retrogradasi. Swelling power merupakan kenaikan volume dan berat maksimum
pati selama mengalami pengembangan di dalam air. Bentuk granula dari pati
pregelatinisasi terlihat memiliki granula berbentuk bulat dengan ukuran yang
lebih kecil dibandingkan dengan granula dari pati pregelatinisasi 50oC dan pati
pregelatinisasi 60oC. Selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati
sehingga pati dengan kadar amilosa yang tinggi granulanya akan lebih banyak
mengeluarkan amilosa.

Saran
Pratikum yang dilakukan poduksi dan karakterisasi produk berbasis pati
serta karakteristik pati dan tepung tersebut sangat bagus. Hal tersebut dapat
menambah pengetahuan tentang bagaimana cara memproduksi pati dengan benar
dari berbagai sumber tanaman yang digunakan. Namun ada beberapa uji yang
tidak dilakukan, sehingga jika ingin lebih akurat, uji-uji lainnya dapat dilakukan
untuk menentukan karakteristik yang lebih spesifik lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Angela LMS. 2001. The Molecular Organization in Starch Based Products. The
Influence of Polyol Used a Plasticizer. http. // igistut-archive-library-
uu.nl/dissertation/1979557.
Balagopalan LG, Padmaja SK, Nandi, SM northy. 1988. Cassava Food Feed and
Industry. Boca Ratun (US). CRC Press Inc
Banks W, Greenwood CT, Muir DD. 1973. The Structure of Starch . Di dalam G.
G. Birch dan L. F. Green(eds). Molecular Structure and Function of Food
Carbohydrate. London(UK): Applied Science Publ. Ltd.
Hubeis M. 1985. Pengawasan Mutu Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi.
Bogor(ID) : Institut Pertanian Bogor.
Ikhlas V. 1992. Metode Ekstraksi dan Isolasi serta Karakteristik Fisiko Kimia dan
Fungsional Pati Beberapa Varietas Jagung. [skripsi]. Bogor(ID): IPB.
Greenwood CT. 1970. Starch and Glycogen. Di dalam The Carbohydrates
Chemistry and Biochemistry. New York(US): Academic Press.
Li JY, Yeh AI. 2001. Relationship between thermal rheological, characteristics
and swelling power for various starches. Journal of
Food Engineering. 50(2): 141-148.
Lindeboom et al. 2004. Analytical, biochemical, and physicochemical aspect of
starch granule size with emphasis on small granulastarches : A Review.
Starch/starke. 56(2): 89-99.
Makfoed D. 1983. Toksikan Nabati Dalam Bahan Makanan. Yogyakarta(ID)
:Penerbit Liberty.
Mardiah E. 1996. Penentuan aktivitas dan inhibisi enzim polifenol oksidase
dari apel (Pyrus malus Linn.). Jurnal Kimia Andalas. 2(2).
McDonald M. 1984. Greater Yogyakarta Groundwater Resources Study:
Groundwater. Yogyakarta(ID): Directorate General of Water Resources
Development.
Moorthy SN. 2004. Tropical sources of starch. Florida(US): CRC Press
Muchtadi TR, Purwiyatno, Ahza AA. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor.
Murillo. 2008. Morphological, physicochemical and struktural characteristics of
oxidized barley and corn starches. Starch/ Starke. 60(2): 634-645
Olkku J, Fletcher SW, Rha C. 1978. Studies on Wheat Starch and Wheat Flour
Model Paste Systems. J. Food Science. 43(1): 52-63.
Payne JH, Gaston JL, Akau G. 1941. Processing and Chemical Investigations of
Taro. Hawai(US): University of Hawaii Agriculture
Poedjiadi, Supriyanti T. 2006. Dasar-Dasar Biokimia edisi Revisi.Jakarta(ID) :
UI Press.
Pomeranz D. 1991. Functional Properties of Food Components. San Diego(US):
Academic Press Inc
Rapaille A, Vanhemelrijck J. 1994. Modified Starches. Di dalam Imeson, A (ed).
Thickening and Gelling Agents for Food. London(ID): Chapman and Hall.
Thompson LU. 1976. Preparation of mung bean flour and application in bread
making. J. Food Scientist, Technology 9(1): 1-5
Sunarti TC, Richana N, Kasim F, Purwoko, Budiyanto A, 2007. Karakterisasi
Sifat Fisiko Kimia Tepung dan Pati Jagung Varietas Unggul Nasional dan
Sifat Penerimaannya terhadap Enzim dan Asam. Bogor(ID): IPB.
Suprapti ML. 2003. Tepung Ubi Jalar Pembuatan dan Pemanfaatannya.
Yogyakarta(ID): Kanisius.
Suriani AI. 2008. Mempelajari Pengaruh Pemanasan dan Pendinginan Berulang
terhadap Karakteristik Sifat dan Fisik Fungsional Pati Garut (Marantha
arundinaceae) termodifikasi. [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian
Bogor.
Swinkels. 1988.Source of Starch, its Chemistry and Physics. NewYork(US):M
Dekker.
Winarno FG. 1995. Kimia Pangan. Jakarta(ID): PT Gramedia.
Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta(ID): Gramedia Pustaka
Utama.
Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta(ID): Gramedia Pustaka
Utama.

Anda mungkin juga menyukai