Dosen Pengampu :
Kelompok 4
Fakultas Psikologi
BEKASI
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa, karena dengan Rahmatnya dan hidayah-Nyalah penulis dapat
menyelesaikan Makalah yang berjudul “Anak Berkebutuhan Khusus Tuna Ganda”
dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.
Dalam penulisan makalah ini kami ucapkan banyak terima kasih kepada
pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung,
secara materil maupun moril.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………… i
DAFTAR ISI…………………………………………………………... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………… 1
B. Identifikasi Masalah…………………………………………………… 2
C. Rumusan Masalah…………………………………………………….....2
D. Tujuan…………………………………………………………………..2
E. Manfaat…………………………………………………………………2
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Tunaganda dan jenis-jenisnya……………………………....3
2. Pengertian Tunawicara………………………………………………….5
3. Pengertian Tunagrahita………………………………………………....6
4. Aspek Psikososial Anak Tunaganda……………………………………7
5. Aspek Perkembangan pada Anak Tunaganda dan Jenis Pendidikannya..7
BAB III PENUTUP
Keimpulan……………………………………………………………... 9
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………. 10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah anak berkebutuhan khusus dengan berbagai jenis kelainan sudah
sangat familiar di masyarakat umum seperti gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran, hambatan akademik, gangguan motorik, gangguan emosi dan sosial,
autism dan slow learner. Namun anak dengan gangguan lebih dari satu belum
begitu dikenal oleh masyarakat. Di Asia Timur terutama di Indonesia belum
banyak perhatian terhadap anak-anak atau peserta didik yang memiliki kombinasi
keluarbiasaan seperti tunanetra dan tunagrahita, celebral palsy dengan tunarungu,
tunarungu dengan tunanetra, tunalaras dan tunagrahita, atau lainnya yang
memiliki kelainan dua kali lipat atau lebih. Dengan tingkat kelainan yang berat
dan sangat berat, kelainan yang berkembang atau kelainan yang bermacam-
macam (Johnston & Magrab, 1976). Kondisi semacam ini memperburuk sikap
masyarakat terhadap keberadaan anak-anak yang mempunyai kombinasi
hambatan perkembangan.
Berdasakan data Susenas tahun 2012 (Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI), penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas
sebesar 2,45%. Penyandang disabilitas terbanyak adalah penyandang yang
mengalami lebih dari satu jenis keterbatasan, yaitu sebesar 39,7% dari distribusi
penyandang disabilitas di Indonesia. Dengan kata lain, individu yang mengalami
tuna ganda lebih banyak dibandingkan individu yang mengalami satu jenis
hambatan.
Menurut Individuals with Disabilities Education Improvement Act (IDEA)
(dalam National Dissemination Center for Children with Disabilities, 2013), tuna
ganda atau yang sering disebut dengan multiple disabilities adalah orang yang
mengalami ketidakmampuan atau disabilitas dalam lebih dari satu area aktivitas,
serta membutuhkan pendidikan khusus yang dapat mengatasi kombinasi dari
ketidakmampuannya tersebut.
1
B. Identifikasi & Batasan Masalah
Untuk menghindari pembahasan masalah yang terlalu luas, dan pembahasan
masalah lebih terarah, maka penulis membatasi masalah sebagai berikut :
1. Pengertian Tunaganda
2. Pengertian Tunawicara
3. Pengertian Tunagrahita
4. Aspek psikososial pada anak tunaganda
5. Aspek kemampuan perkembangan dan pendidikan pada anak tunaganda
C. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tunaganda?
2. Apa yang dimaksud dengan tunawicara?
3. Apa yang dimaksud dengan tunagrahita?
4. Bagaimanakah kondisi psikologis anak tunaganda dan bagaimanakah
kemampuan sosialisasinya?
5. Bagaimana kemampuan perkembangan anak tunaganda dan jenis pendidikan
seperti apa yang tepat untuk anak tunaganda?
D. Tujuan Penulisan
Agar pembaca dapat mengetahui tentang pengertian dan klasifikasi anak
berkebutuhan khusus tunaganda serta diharapkan dapat menjadi referensi
dalam materi teori anak berkebutuhan khusus.
E. Manfaat
Agar pembaca dapat mengetahui dan menerapkan materi anak berkebutuhan
khusus tunaganda.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
c. Kelainannya terjadi secara terus-menerus atau kelainannya bertendensi ke arah
yang berkelanjutan
d. Kelainan-ganda ini merupakan kelainan-substansi kemampuan seseorang untuk
berfungsi secara normal dalam masyarakat.
4
Oleh karena banyaknya kelainan yang dimiliki oleh anak denga tunaganda,
maka tidak ada perilaku-perilaku khusus yang berlaku umum bagi semua anak
yang tergolong tunaganda. Setiap anak mempunyai perbedaan fisik, intelektual
dan ciri-ciri sosial, serta masing-masing hidup dalam lingkungan yang berbeda.
Dalam pembahasan ini, tuna ganda yang akan menjadi fokus pembahasan adalah
tuna grahita yang memiliki gangguan bicara (tunawicara).
2. Pengertian Tunawicara
Tuna wicara adalah suatu kelainan baik dalam pengucapan (artikulasi)
bahasa maupun suara dari bicara normal, sehingga menimbulkan kesulitan dalam
berkomunikasi lisan dalam lingkungan. Gangguan wicara atau tuna wicara adalah
suatu kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi dari bunyi bicara, dan/atau
kelancaran berbicara. Penyandang tunawicara biasanya berkomunikasi
menggunakan simbol-simbol tertentu.
Tuna wicara dapat disebabkan karena gangguan pada saraf, seperti
penyakit cerebral palsy, dan terutama karena gangguan pendengaran, baik sejak
lahir (congenital) atau didapat kemudian (aqcuired) (Harvey et al, 1995;Muljono
dan Sudjadi, 1994).
Pada anak tuna wicara terjadi penurunan fungsi otot bicara sehingga
menurut teori matriks fungsional akan terjadi gangguan pada pertumbuhan
dentokraniofasial (struktur anatomi yang berhubungan dengan pertumbuhan dan
perkembangan tengkorak, rahang gigi ataupun kombinasi gigi dan rahang yang
akan mempengaruhi bentuk wajah).
Pada anak usia 4 tahun kalimat mereka hampir lengkap, dan setahun
kemudian kalimatnya sudah lengkap. Diperkirakan bahwa rata-rata anak yang
berusia 3-4 tahun menggunakan 15.000 kata setiap hari atau dalam setahunnya
menggunakan kira-kira 5,5 juta kata. Pada anak tuna wicara, ketika keadaan
normal pergerakan rahang dalam berbicara tidak terpenuhi, maka diduga pada usia
sekitar 4 tahun akan mulai nampak gangguan pertumbuhan dentokraniofasial pada
arah vertikal (Soedjatmiko, 2001).
Gangguan pada organ pendengaran berpengaruh pada keseimbangan tubuh
sehingga secara fisik anak tuna wicara cenderung memiliki cara berjalan yang
agak kaku dan cenderung membungkuk. Penelitian Avasthi (2011) di India
5
tentang pola pertumbuhan pada anak tuna wicara menunjukkan bahwa
pertumbuhan anak tuna wicara dibawah anak normal serta cenderung memiliki
tonus otot yang lebih lemah dan tulang yang lebih rapuh dibanding anak normal.
3. Pengertian Tunagrahita
Heward dan Orlansky mengemukakan AA- MD (American Association on
Mental Deficiency) yang telah diterima secara luas dan saat ini dikenal dengan
AAMR (American Association mental retardation) mendefinisikan tunagrahita
sebagai Mental retardation refers to significantly subaverege general intellectual
fuctioning exsist-ing concurrently with deficits in adaptive, and menifested during
development period (1984:70).
Makna pernyataan tersebut adalah tuna-grahita secara signifikan merujuk pada
rendahnya fungsi intelektual umum yang ada bersamaan dengan kelemahan
perilaku adaptif, dan terjadi selama masa perkembangan. Seseorang tidak dapat
dikategorikan tunagrahita apabila tidak memiliki tiga hal tersebut, yaitu
kemampuan inte-lektual yang rendah, kelemahan dalam perilaku adaptif dan
terjadi pada masa perkembangan.
Hallahan dan Kauffman mengklasifikasikan anak tunagrahita ke dalam
tiga kelompok, yaitu mampu didik (educable mentally retarded) untuk kategori
ringan, mampu latih (trainable mentally retarded) untuk kategori sedang, dan
mampu rawat (severely and profoundly handcapped) untuk kategori berat dan
sangat berat. (1991:82).
Santrock (2008:66) mengklasifikasikan tuna-grahita berdasarkan IQ
(Inteligensi Question) adalah sebagai berikut: (1) tunagrahita ringan 55- 70, (2)
tunagrahita sedang 40-55, (3) tunagrahita berat 25-39, dan (4) tunagrahita sangat
berat IQ-nya kurang dari 25. Somantri mengemukakan bahwa anak tunagrahita
dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana, pada umumnya anak
tuna-grahita ringan secara fisik tampak seperti anak normal pada umumnya
(2005:106-107). Hal ini berarti bahwa anak tunagrahita yang tergolong ringan
dapat dididik dalam membaca, menulis, berhitung dan dapat dilatih keterampilan
dalam kehidupan sehari-hari seperti keterampilan makan dan minum, kebersihan,
melepas dan mengenakan pakaian, merias diri. Keterampilan ini tidak di-wariskan
6
secara alami oleh anak tunagrahita namun mereka memerlukan bimbingan dan
latihan secara terus menerus dan berulang-ulang, yang disebabkan oleh karena
rendahnya inteligensi yang dimiliki oleh anak tunagrahita sehingga berdampak
kepada kesulitan dalam belajar. Pada anak tuna grahita dengan taraf kecerdasan
retardasi mental, perkembangan bahasa mengikuti tahap-tahap yang sama dengan
anak normal, tetapi perkembangan bahasa mereka terlambat muncul, lambat
mengalami kemajuan, dan berakhir pada tingkat perkembangan yang lebih rendah
(Mangunsong, 2014).
7
perkembangan (kognitif, bahasa dan komunikasi, sosial, motorik kasar, motorik
halus, orientasi mobilitas, visual, bina-bantu diri). Gambaran tersebut diperoleh
dengan melakukan asesmen pada anak.. Dalam menjalankan peran-perannya,
subjek melakukan metode yang berbeda dari guru kebanyakan seperti melakukan
strategi pemaksaan untuk mengajarkan bahasa isyarat, menerapkan pengobatan
herbal dan diet glutin untuk menangani epilepsi dan gangguan emosi, serta
penerapan sudut individual bagi siswa yang sedang marah.
8
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Anak tunaganda amatlah bervariasi, bahkan ada yang berat dan sangat berat. Anak
tunaganda dan majemuk sebagaimana rekan-rekan penyandang ketunaan lainnya,
memerlukan pelayanan yang khusus baik dalam bidang pendidikan, medis,
psikologis, sosial dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya
berkaitan dengan jenis dan tingkat keturunan yang disandangnya. Tujuan
pelayanan bagi mereka bukanlah “kemandirian”, melainkan upaya keterwujudan
sisa potensi dan tingkat penyesuaian sosialnya secara optimal. Untuk itu perlu
adanya sistem pelayanan khusus yang sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya.
9
DAFTAR PUSTAKA
Pandji, Dewi. Sudahkah Kita Ramah Anak Special Needs. Jakarta: Elex Media
Komputindo
Tim pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. (2007). Ilmu dan aplikasi pendidikan.
Jakarta: Grasindo
Trianisa, Nitrafitri., Rifameutia, Tjut., & Septiana, Eva. (2016). Metode Sintetik
dengan Token Economy Guna Meningktakan Kemampuan Speechreading Anak
Tunagrahita Dengan Gangguan Pendengaran. Universitas Indonesia
10