Buku MATERI DASAR PENDIDIKAN PROGRAM AKTA MENGAJAR V PDF
Buku MATERI DASAR PENDIDIKAN PROGRAM AKTA MENGAJAR V PDF
AKTA MENGAJAR V
BUKU IA FILSAFAT
ILMU
BAB IV
STRUKTUR PENGETAHUAN ILMIAH ................................................. 37
BAB V
BAHASA..................................................................................................... 47
Pendahuluan ............................................................................................... 47
Bahasa ......................................................................................................... 48
Apakah sebenarnya bahasa.......................................................................... 50
Beberapa Kekurangan Bahasa..................................................................... 54
BAB VI
MATEMATIKA.......................................................................................... 57
Pendahuluan ................................................................................................ 57
Matematika sebagai Bahasa ........................................................................ 58
Sifat Kuantitatif Matematika ....................................................................... 59
Matematika: Sarana Berfikir Deduktif ........................................................ 60
Perkembangan Matematika ......................................................................... 61
Beberapa Aliran dalam Falsafah Matematika ............................................. 65
Matematika dan Peradaban ......................................................................... 67
BAB VII
STATISTIKA. ............................................................................................. 69
Pendahuluan ................................................................................................ 69
Statistika dan Cara Berfikir Induktif ........................................................... 70
Karakteristik Berfikir Induktif .................................................................... 73
BAB VIII
ILMU DAN TEKNOtOGI .......................................................................... 77
Pendahuluan ................................................................................................ 77
Ilmu dan Nilai-nilai ..................................................................................... 78
Hakekat Realitas .......................................................................................... 78
Pengetahuan................................................................................................. 79
Komplementaritas antara ilmu dan pengetahuan ........................................ 80
Teknologi..................................................................................................... 81
Kekuasaan atas Manusia ............................................................................. 82
Kekuasaan atas Kebudayaan ....................................................................... 82
Kekuasaan atas Alam .................................................................................. 83
Pengembangan Ilmu dan Teknologi............................................................ 83
BAB IX
ILMU DALAM PERSPEKTTF MORAL, SOSIAL DAN POLITIK ........ 87
Ilmu dan Moral ............................................................................................ 87
Pendekatan Ontologis .................................................................................. 88
Pendekatan Aksiologis ................................................................................ 89 ,
Pendekatan Epistemologis .......................................................................... 1
Tanggung Jawab Moral Ilmuwan ............................................................... 92
Sikap Politik Formal Ilmuwan .................................................................... 93
Ilmu dalam Perspektif Kehidupan Berbangsa dan Bernegara .................... 94
Ke Arah Pembentukan Ilmuwan yang Bermoral Luhur ............................ 95
Kesimpulan.................................................................................................. 96
Penutup ........................................................................................................ 98
Catatan Akhir .............................................................................................. 99
BAB I
DASAR-DASAR PENGETAHUAN
jalan flkiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Seekor beruk bisa saja
mem-berikan informasi kepada kelompoknya bahwa ada segerombolan gorila
datang me-nyerang^amun bagaimana pun berkembang bahasanya, dia tidak
mampu mengkomunikasikan kepada beruk-beruk lainnya, jalan fikiran yang
analitis mengenai gejala tersebut. Tak ada seekor anjing pun, kata Bertrand
Russel, yang berkata kepada temannya: "Ayahku miskin namun jujur."
Kalimat ini berasal dari drama Shakespeare yang terkenal. Dan tak ada seekor
anjing pun, sambung Adam Smith, yang secara sadar tukar-menukar tulang
dengan temannya. Adam Smith dalam hal ini berbicara tentang prinsip
ekonomi, yakni proses' pertukaran yang dilakukan Homo economicus, yang
mengembangkan pengetahuan berupa ilmu ekonomi.
Sebab kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan
pengetahuannya dengan cepat dan mantap, adalah kemampuan berfikir
menurut suatu alur ke-rangka berfikir tertentu. Secara garis besar cara berfikir
seperti ini disebut penalaran. Binatang mampu berfikir namun tidak mampu
berfikir nalar. Beda utama antara seorang profesor nuklir dengan anak kecil
yang membangun bom atom dari pasir di play-groupnya tempat dia
melakukan riset terletak pada kemampuannya dalam menalar. Instink binatang
jauh lebih peka dari instink seorang insinyur geologi; mereka sudah jauh-jauh
berlindung ke tempat yang aman sebelum gunung meletus. Namun binatang
tak bisa menalar tentang gejala tersebut: mengapa gunung meletus, faktor apa
yang menyebabkannya, apa yang dapat dilakukan untuk mencegah semua itu
ter-jadi.
Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan
pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan fikiran yang
mampu menalar. Tentu saja tidak semua pengetahuan berasal dari proses
penalaran; sebab berfikir pun tidak semuanya berdasarkan penalaran. Manusia
bukan semata-mata mahluk yang berfikir; sekedar homo sepiens yang steril.
Manusia adalah mahluk yang berfikir, merasa dan mengindera; dan totalitas
pengetahuannya berasal dari ketiga sumber tersebut; di samping wahyu: yang
merupakan komunikasi Sang Pencipta dengan mahluknya.
"Memang penalaran otak orang luar biasa," simpul cendekiawan Bos bubalus
membacakan makalahnya (di klinik Fakultas Kedckteran Hewan, Jalan Taman
Ken-cana, Bogor), "meskipun penelitian kami menunjukkan, bahwa secara
kimia dan fisika, otak kerbau rmrip otak manusia..."1)
(Sungguh, kalau digulai, otak Taufiq Ismail lezat juga kelihatannya!)
Hakekat Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berfikir dalam menarik suatu kesimpulan
yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakekatnya merupakan mahluk yang
berfikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya bersumber
pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berfikir.
Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berfikir
dan bukan dengan perasaan, meskipun seperti dikatakan Pascal, hati pun
mempunyai logikanya tersendiri. Meskipun demikian patut kita sadari bahwa
tidak semua kegiatan berfikir menyandarkan diri kepada penalaran. Jadi
penalaran merupakan kegiatan berfikir yang mempunyai karakteristik tertentu
dalam menemukan kebenaran.
Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang
benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama maka oleh
sebab itu kegiatan proses berfikir untuk menghasilkan pengetahuan yang
benar itu pun juga berbeda-beda.
Dapat dikatakan bahwa tiap jalan fikiran mempunyai apa yang disebut sebagai
kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses
penemuan kebe-naran tersebut. Penalaran merupakan suatu-proses penemuan
kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya
masing-ma7ing.
Sebagai sutu kegiatan berfikir rnaka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu.
Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berfikir yang secara luas dapat
disebut logika. ^alam hal ini maka dapat kita katakan bahwa tiap bentuk
penalaran mempunyai logikanya tersendiri. Atau dapat juga disimpulkan
bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berfikir logis, di mana
berfikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan berfikir menurut suatu
pola tertentu, atau dengan perkataan lain, menurut logika tertentu. Hal ini
patut kita sadari bahwa berfikir logis itu mempunyai konotasi yang bersifat
jamak (plural) dan bukan tunggal (singular). Suatu kegiatan berfikir bisa
disebut logis ditinjau dari suatu logika tertentu, dan mungkin tidak logis bila
ditinjau dari sudut logika yang lain. Hal ini sering menimbulkan gejala apa
yang dapat kita sebut sebagai kekacauan penalaran yang disebabkan oleh tidak
konsistennya kita dalam mempergunakan pola berfikir tertentu.
Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berfikirnya.
Penalaran merupakan suatu kegiatan berfikir yang menyandarkan diri kepada
suatu analisis, dan kerangka berfikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut
adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah
merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan
demikian juga penalaran Iainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri
pula. Sifat analitik ini, kalau kita kaji lebih jauh, merupakan konsekuensi dari
adanya suatu pola berfikir tertentu. Tanpa adanya pola berfikir tersebut maka
tidak akan ada kegiatan analisis, sebab analisis pada hakekatnya merupakan
suatu kegiatan berfikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Seperti kita sebutkan terdahulu tidak semua kegiatan berfikir mendasarkan diri
kepada penalaran. Berdasarkan kriteria penalaran tersebut di atas maka dapat
kita katakan bahwa tidak semua kegiatan berfikir bersifat logis dan analitis.
Atau lebih jauh dapat kita simpulkan: cara berfikir yang tidak termasuk ke
dalam penalaran bersifat tidak logis dan tidak analitik. Dengan demikian maka
kita dapat membedakan secara garis besar ciri-ciri berfikir menurut penalaran
dan berfikir yang bukan berdasarkan penalaran.
Perasaan merupakan suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan
penalaran. Kegiatan berfikir juga ada yang tidak berdasarkan penalaran
umpamanya adalah intuisi. Intuisi merupakan suatu kegiatan berfikir yang
non-analitik yang tidak mendasarkan diri kepada suatu pola berfikir tertentu.
Berfikir intuitif ini memegang peran-an yang penting dalam masyarakat yang
berfikir non-analitik, yang kemudian sering bergalau dengan perasaan. Jadi
secara luas dapat kita katakan bahwa cara berfikir masyarakat dapat
dikategorikan kepada cara berfikir analitik yang berupa penalaran dan cara
berfikir yang non-analitik yang berupa intuisi dan perasaan.
Di samping itu masih terdapat bentuk lain dalam usaha manusia untuk
mendapat-kan pengetahuan yakni wahyu. Ditinjau dari hakekat usahanya,
maka dalam rangka menemukan kebenaran, kita dapat bedakan dua jenis
pengetahuan. Yang pertama adalah pengetahuan yang didapatkah sebagai
hasil usaha yang aktif dari manusia untuk menemukan kebenaran, baik
melalui penalaran maupun lewat kegiatan lain seperti perasaan dan intuisi. Di
pihak lain terdapat bentuk pengetahuan yang kedua, yang bukan merupakan
kebenaran yang didapat sebagai hasil usaha aktif manusia. Dalam hal ini maka
pengetahuan yang didapat itu bukan berupa kesimpulan sebagai produk dari
usaha aktif manusia dalam menemukan kebenaran, melainkan berupa
pengetahuan yang diwartakan atau diberitakan, umpamanya wahyu yang
diberitakan Tuhan lewat malaikat-malaikat dan nabi-nabinya. Manusia dalam
menemukan kebenaran ini bersifat pasif sebagai penerima pemberitaan
tersebut, yang kemudian dipercaya atau tidak dipercaya, berdasarkan masing-
masing keyakinannya.
Pengetahuan juga dapat kita tinjau dari sumber yang memberikan pengetahuan
tersebut. Dalam hal wahyu dan intuisi secara implisit kita mengakui bahwa
wahyu (atau dalam hal ini Tuhan yang menyampaikan wahyu) dan intuisi
adalah sumber pengetahuan. Dengan wahyu maka kita mendapa'tkan
pengetahuan lewat keyakinan (kepercayaan) bahwa yang diwahyukan itu
adalah benar; demikian juga dengan intuisi, di mana kita percaya bahwa
intuisi adalah sumber pengetahuan yang benar, meskipun kegiatan berfikir
intuitif tidak mempunyai logika atau pola berfikir tertentu. Jadi dalam hal ini
bukan saja kita berbicara mengenai pola penemuan kebenaran melainkan juga
sudah mencakup materi pengetahuan yang berasal dari sumber kebenaran
tertentu.
Dalam hal penalaran maka kita belum berbicara mengenai materi dan sumber
pengetahuan tersebut, sebab seperti kita katakan terdahulu, penalaran hanya
merupakan cara berfikir tertentu. Untuk melakukan kegiatan analisis maka
kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang
berasal dari suatu sumber kebenaran. Pengetahuan yang dipergunakan dalam
penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio atau fakta. Mereka yang
berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan paham
yang kemudian disebut sebagai rasionalisme. Sedangkan mereka yang
menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia
merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.
Penalaran yang akan dikaji dalam studi ini pada pokoknya adalah penalaran
ilmiah, sebab usaha kita dalam mengembangkan kekuatan penalaran
merupakan bagian dari usaha untuk meningkatkan mutu ilmu dan teknologi.
Penalaran ilmiah pada hakekatnya merupakan gabungan dari penalaran
deduktif dan induktif, di mana lebih lanjut penalaran deduktif terkait dengan
rasionalisme, dan penalaran induktif dengan empirisme. Oleh sebab itu maka
dalam rangka mengkaji penalaran ilmiah maka kita terlebih dulu harus
menelaah dengan seksama penalaran deduktif dan induktif tersebut. Setelah
itu akan ditelaah bermacam-macam sumber pengetahuan yang ada yakni rasio,
pengalaman, intuisi, dan wahyu. Pengetahuan mengenai hakekat hal-hal
tersebut me-mungkinkan kita untuk menelaah hakekat ilmu dengan seksama.
Logika
Alkisah, menurut cerita yang terdapat dalam khasanah humor ilmiah, seorang
peneliti ingin menemukan apa yang sebenarnya menyebabkan manusia itu
mabuk. Untuk itu dia mengadakan penyelidikan dengan mencampur berbagai
minuman keras. Mula-mula dia mencampur air dengan wiski luar negeri yang
setelah dengan habis di-teguknya maka dia pun terkapar mabuk. Setelah
siuman dia mencampur air dengan TKW, wiski lokal yang diminum di pinggir
jalan sambil mengisap kretek, ternyata campuran ini pun menyebabkan dia
mabiik. Akhirnya dia mencampur air dengan tuak yang juga, seperti kedua
campuran terdahulu, menyebabkan dia mabuk. Berdasarkan penelitian itu
maka dia menyimpulkan bahwa airlah yang menyebabkan manusia itu mabuk.
Benar-benar masuk akal, bukan, namun apakah hal itu benar?
Penalaran merupakan suatu proses berfikir yang membuahkan pengetahuan.
Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran
maka proses berfikir itu harus dilakukan melalui suatu cara tertentu. Suatu
penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan
kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan
kesimpulan ini disebut logika bilamana logika secara luas dapat didefinisikan
sebagai "pengkajian untuk berfikir secara sahih."2) Terdapat bermacam-
macam cara penarikan kesimpulan, namun. agar se-suai dengan tujuan studi
yang memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, kita akan me-lakukan
penelaahan yang seksama hanya terhadap dua jenis cara penarikan
kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat
hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata
menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan di pihak lain, kita
mempunyai logika deduktif, yang mem-bantu kita dalam menarik kesimpulan
dari hal yang bersifat umum menjadi kasus bersifat individual.
Induksi merupakan cara berfikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang
bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara
induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang
mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun
argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Katakanlah
umpamanya kita mempunyai fakta bahwa kambing mempunyai mata, gajah
mempunyai mata, demikian juga dengan singa, kucing, dan berbagai binatang
lainnya. Dari kenyataan-kenyataan ini kita dapat menarik kesimpulan yang
bersifat umum yakni semua binatang mempunyai mata. Kesimpulan yang
bersifat umum ini penting artinya sebab mempunyai dua keuntungan.
Keuntungan yang pertama ialah bahwa pernyataan yang bersifat umum ini
bersifat ekonomis. Kehidupan yang beraneka ragam dengan berbagai corak
dan segi dapat direduksikan menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yang
dikumpulkan manusia bukanlah merupakan koleksi dari berbagai fakta
melainkan esensi dari fakta-fakta tersebut. Demikian juga dalam pernyataan
mengenai fakta yang dipaparkan, pengetahuan tidak bermaksud membuat
reproduksi dari obyek tertentu, melainkan menekankan kepada struktur dasar
yang menyangga ujud fakta tersebut. Pernyataan yang bagaimanapun lengkap
dan cermatnya tidak bisa mereproduksikan betapa manisnya semangkuk kopi
atau pahitnya sebutir pel kina. Pengetahuan cukup puas dengan pernyataan
elementer yang bersifat kategoris bahwa kopi itu manis dan pel kina itu pahit.
Pernyataan seperti ini sudah cukup bagi manusia untuk bersifat fungsional
dalam kehidupan praktis dan berfikir teoretis.
Keuntungan yang kedua dari pernyataan yang bersifat umum adalah
dimungkin-kannya proses penalaran selanjutnya baik secara induktif maupun
secara deduktif. Secara induktif maka dari berbagai pernyataan yang bersifat
umum dapat disimpulkan pernyataan yang bersifat lebih umum lagi.
Umpamanya melanjutkan contoh kita terdahulu, dari kenyataan bahwa semua
binatang mempunyai mata dan semua manusia mempunyai mata, dapat ditarik
kesimpulan bahwa semua mahluk mempunyai mata. Penalaran seperti ini
memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis yang mengarah
kepada pernyataan-pernyataan yang makin lama makin bersifat fundamental.
Penalaran deduktif adalah kegiatan berfikir yang sebaliknya dari penalaran
induktif. Deduksi adalah cara berfikir di mana dari pernyataan yang bersifat
umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara
deduktif biasanya mempergunakan pola berfikir yang dinamakan silogismus.
Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan.
Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian
dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan
merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan
kedua premis tersebut. Dari contoh kita sebelumnya kita dapat membuat
silogismus
sebagai berikut:
Semua mahluk mempunyai mata
Si Polan adalah seorang mahluk
Jadi Si Polan mempunyai mata
Kesimpulan yang diambil bahwa si Polan mempunyai mata adalah sah
menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua
premis yang men-dukungnya. Pertanyaan apakah kesimpulan itu benar maka
hal ini harus dikembalikan kepada kebenaran premis yang mendahuluinya.
Sekiranya kedua premis yang men-dukungnya adalah benar maka dapat
dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga adalah benar. Mungkin
saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua premisnya benar, sekiranya cara
penarikan kesimpulannya adalah tidak sah.
Dengan demikian maka ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga
hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan
pengambilan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut
persyaratannya tidak di-penuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah.
Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif. Argumentasi
matematik seperti a sama dengan b dan bila b sama dengan c maka a sama
dengan c merupakan suatu penalaran deduktif. Kesimpulan yang berupa
pengetahuan baru bahwa a sama dengan c pada hakekatnya bukan merupakan
pengetahuan baru dalam arti yang sebenarnya, melainkan sekedar konsekuensi
dari dua pengetahuan yang sudah kita ketahui sebelumnya, yakni bahwa a
sama dengan b dan b sama dengan c. Tak pernah ada kejutan dalam logika,
simpul Wittgenstein, sebab pengetahuan yang diperoleh adalah kebenaran
tautologis.3) Namun benarkah ulangan matematika tak pernah menimbulkan
"surprise", seperti pertanyaan Taufiq Ismail dalam Sajak Ladang Jagung:
bagaimana kalau bumi bukan bulat, tapi segi empat?s)
Sumber Pengetahuan
De omnibus dubitandum! Ragukan segala sesuatu! desak Rene Descartes.
Namun segala yang ada dalam hidup ini dimulai dengan sesuatu, bahkan juga
Hamlet si peragu, yang berseru kepada Ophelia:4 )
Ragukan bahwa bintang-bintang itu api; Ragukan bahwa matahari itu
bergeralc; Ragukan bahwa kebenaran itu dusta: Tapi jangan ragukan cintaku.
Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu!
Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya,
mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya
benar. Kenyata-an ini membawa kita kepada sebuah pertanyaan:
bagaimanakah caranya kita mendapat
lean pengetahuan yang benar itu? Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok
bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama
adalah mendasar-kan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri
kepada pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan paham apa yang kita
kenal dengan rasionalisme. Se'Jangkan mereka yang mendasarkan diri kepada
pengalaman mengembangkan paham yang disebut dengan empirisme.
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun
pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari
idea yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Idea ini menurut
mereka bukanlah ciptaan fikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh
sebelum manusia berusaha memikir-kannya. Paham dikenal dengan nama
idealisme. Fungsi fikiran manusia hanyalah me-ngenali prinsip tersebut yang
lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori
dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berfikir rasionalnya.
Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip dan justru sebaliknya, hanya
dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasional itulah maka
kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa idea bagi kaum rasionalis adalah
bersifat apriori dan pra-pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran
rasional.
Masalah utama yang timbul dari cara berfikir ini adalah mengenai kriteria
untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu idea yang menurut seseorang
adalah jelas dan dapat dipercaya. Idea yang satu bagi si A mungkin bersifat
jelas dan dapat dipercaya namun hal itu belum tentu bagi si B. Mungkin saja
bagi si B menyusun sistem pengetahuan yang sama sekali lain dengan sistem
pengetahuan si A karena si B mempergunakan idea lain yang bagi si B
merupakan prinsip yang jelas dan dapat dipercaya. Jadi masalah utama yang
dihadapi kaum rasionalis adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis yang
dipakainya dalam penalaran deduktif. Karena premis-premis ini semuanya
bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari
pengalaman maka evaluasi semacam ini tak dapat dilakukan. Oleh sebab itu
maka lewat penalaran rasional akan didapatkan bermacam-niacam
pengetahuan mengenai satu obyek tertentu tanpa adanya suatu konsensus yang
dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini maka pemikiran rasional
cenderung untuk bersifat solipsistik7 )dan subyektif.
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa
pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang
abstrak namun lewat pengalaman yang konkrit. Gejala-gejala alamiah menurut
anggapan kaum empiris adalah bersifat konkrit dan dapat dinyatakan lewat
tangkapan pancaindera manusia. Gejala itu kalau kita telaah lebih lanjut
mempunyai beberapa karakteristik tertentu umpamanya saja terdapat pola
yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu. Suatu benda padat kalau
dipanaskan akan memanjang. Langit mendung diikuti dengan turunnya hujan.
Demikian seterusnya di mana pengamatan kita akan membuahkan
pengetahuan mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola-pola tertentu.
Disamping itu kita melihat adanya karakte.ristik lain yakni adanya kesamaan
dan pengulangan umpamanya saja bermacam-macam logam kalau kita
panaskan akan memanjang. Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan
suatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi. Dengan
mempergunakan metode induktif maka dapat disusun pengetahuan yang
berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang
bersifat individual.
Masalah utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan secara empiris ini
ialah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi
suatu kumpulan fakta-fakta. Kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten
dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat konfradiktif. Suatu kumpulan
mengenai fakta, atau kaitan antara berbagai fakta, belum menjamin
terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang sistematis; kecuali kalau dia
hanya "seorang kolektor barang-b,arang serbaneka."5) Lebih jauh Einstein
dalam rftenentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakannya.
Kegiatan intuitif dan analitik bisa bekerja saling membantu dalam menemukan
kebenaran. Bagi Maslow intuisi ini merupakan pengalaman puncak (peak
experience f )sedangkan bagi Nietscnze merupakan intelegensi yang paling
tinggi.6)
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada
manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya
sepanjang zaman. Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai
kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup
masalah-masalah yang bersifat transendental seperti latar belakang penciptaan
manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan
kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib (supernatural). Kepercayaan
kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada
nabi sebagai perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara
penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan ini.
Kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Suatu pernyataan harus
dipercaya dulu untuk dapat diterima. Pernyataan ini bisa saja selanjutnya
dikaji dengan metode yang lain. Secara rasional bisa dikaji umpamanya
apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung di dalamnya bersifat kon-
sisten atau tidak. Di pihak lain, secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta
yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak. Singkatnya, agama dimulai
dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa
meningkat atau rne-nurun. Pengetahuan lain, seperti ilmu umpamanya, bertitik
tolak sebaliknya. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya , dan setelah mulai
proses pengkajian ilmiah, kita bisa diyakinkan atau tetap pada pendirian
semula.
Kriteria Kebenaran
Seorang anak kecil yang baru masuk sekolah, setelah tiga hari berselang,
mogok tidak mau belajar. Orang tuanya mencoba membujuk dia dengan
segala macam daya, dari iming-imingan gula-gula sampai ancaman sapu lidi,
semuanya sia-sia. Setelah di-desak-desak akhirnya iia berterus-terang, bahwa
dia sudah kehilangan hasratnya untuk belajar, sebab ternyata ibu gurunya
adalah seorang pembohong.
"Coba ceritakan bagaimana dia berbohong," pinta orang tuanya sambil ter-
senyum.
"Tiga hari yang lalu dia berkata bahwa 3 + 4 = 7. Dua hari yang lalu dia
berkata 5 + 2 = 7. Kemarin dia berkata 6 + 1 = 7. Bukankah semua ini tidak
benar?"
Permasalahan yang sederhana ini membawa kita kepada apa yang disebut teori
kebenaran. Apakah persyaratannya agar suatu jalan fikiran menghasilkan
kesimpulan yang benar? Tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang
sama terhadap apa yang dianggapnya benar, termasuk anak kecil kita tadi,
yang dengan fikiran kekanak-kanakannya mempunyai kriteria kebenaran
tersendiri. Bagi kita tidak sukar untuk menerima kebenaran bahwa 3 + 4 = 7;5
+ 2= 7; dan 6+1=7; sebab secara deduktif dapat dibuktikan bahwa ketiga
pernyataan tersebut adalah benar. Mengapa hal ini kita sebut benar? Sebab
pernyataan- dan kesimpulan yang ditariknya adalah konsisten dengan
pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang telah dianggap benar.
10) Dikutip dalam Stanley M. Honer dan Thomas G. Hunt, Invitation to
Philosophy (Belmont, Ca!.: Wadsworth, 1968), p. 72.
Teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria tersebut di atas disebut teori
|i. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi
suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau
konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Bila kita menganggap
mengingatkan bahwa tak terdapat metode induktif yang memung-kinkan
berkembangnya konsep dasar suatu ilmu.7)
Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupakan
gejala yang tertangkap oleh pancaindera. Hal ini membawa kita kepada dua
masalah. Pertama, sekiranya kita mengetahui dua fakta yang nyata,
umpamanya rambut keriting dan intelegensi manusia, bagaimana kita merasa
pasti mengenai kaitan antara Ixedua fakta tersebut? Apakah rambut keriting
dan intelegensi manusia mempunyai kaitan satu sama lain dalam hubungan
kausalita? Sekiranya kita mengatakan tidak, bagaimana sekiranya penalaran
induktif membuktikan sebaliknya?
Pertanyaan tersebut mengingatkan kita bahwa hubungan antara berbagai fakta
tidaklah nyata sebagaimana yang kita sangka. Harus terdapat suatu kerangka
pemikiran yang memberi latar belakang mengapa X mempunyai hubungan
dengan Y, sebab kalau tidak, maka pada hakekatnya semua fakta dalam dunia
fisik bisa saja dihubung-kan dalam kaitan kausalita.
Masalah yang kedua adalah mengenai hakekat pengalaman yang merupakan
cara dalam menemukan pengetahuan dan pancaindera sebagai alat yang
menangkapnya. Pertanyaanr.ya adalah apakah yang sebenamya dinamakan
pengalaman? Apakah hal ini merupakan stimulus pancaindera? Ataukah
persepsi? Atau sensasi? Sekiranya kita mendasarkan diri kepada pancaindera
sebagai alat dalam menangkap gejala fisik yang nyata maka seberapa jauh kita
dapat mengandalkan pancaindera tersebut?
Ternyata kaum empiris tidak bisa memberikan jawaban yang meyakinkan me-
ngenai hakekat pengalaman itu sendiri. Sedangkan mengenai kekurangan
pancaindera manusia ini bukan merupakan sesuatu yang baru bagi kita.
Pancaindera manusia sangat terbatas kemampuannya dan terlebih penting lagi
pancaindera manusia bisa melakukan kesalahan. Contoh yang biasa kita lihat
sehari-hari ialah bagaimana tongkat lurus yang sebagian ierendam di dalam air
akan kelihatan menjadi bengkok. Haruskah kita mem-percayai hal semacam
ini sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan?
Di samping rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk
mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting untuk kita ketahui
adalah'J^^^^an-mo^pv Sampai sejauh ini, pengetahuan yang didapatkan
secara rasional maupun secara empiris, kedua-duanya merupakan produk dari
sebuah rangkaian penalaran. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan
tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat
pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas
permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berfikir yang berliku-liku tiba-
tiba saja dia sudah sampai di situ. Jawaban atas permasalahan yang sedang
dipikirkannya muncul di benaknya bagaikan kebenaran yang membukakan
pintu. Atau bisa juga, intuisi ini bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya
sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan tidak pada waktu
orang tersebut secara sadar sedang mengelutnya. Suatu masalah yang sedang
kita fikirkan, yang kemudian kita funda karena menemui jalan buntu, tiba-tiba
saja muncul di benak kita yang lengkap dengan jawabannya. Kita merasa
yakin bahwa memang itulah jawaban yang kita cari namun kita tidak bisa
menjelaskan bagaimana caranya kita sampai ke sana.
Kegiatan intuitif ini sangat bersifat personal dan tidak bisa diramalkan.
Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka intuisi ini
tidak bisa diandal-kan. Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai
hipotesis bagi analisis selanjutnya bahwa "Semua manusia pasti akan mati"
adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa "Si Polan adalah
seorang manusia dan si Polan pasti akan mati" adalah benar pula, sebab
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan ber-
dasarkan pembuktian dan berdasarkan teori koherensi. Sistem matematika
disusun di atas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar yakni
aksioma. Dengan mempergunakan beberapa aksioma maka disusun suatu
teorema. Di atasleorema maka dikembang-kan kaidah-kaidah matematika
yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang konsisten. Plato (427-
347 s.M.) dan Aristoteles (384-322 s.M.) mengembangkan teori koherensi
berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan Euclid dalam menyusun
ilmirukurnya.
Paham lain adalah kebenaran yang berdasarkan kepada teori korespondensi di
mana eksponen utamanya adalah Bertrand Russell (1872-1970). Bagi
penganut teori korespondensi maka suatu pernyataan adalah benar jika materi
pengetahuan yang di-kandung pernyataan itu berkoresponden (berhubungan)
dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Maksudnya jika seseorang
mengatakan bahwa "Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta" maka
pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu berkoresponden dengan
obyek yang bersifat faktual yakni Jakarta yang memang menjadi ibu kota
Republik Indonesia. Sekiranya ada orang lain yang menyatakan bahwa "Ibu
kota Republik Indonesia adalah Bandung" maka pernyataan itu adalah tidak
benar sebab tidak terdapat obyek yang berkoresponden dengan pernyataan ter-
sebut. Dalam hal ini maka secara faktual "Ibu kota Republik Indonesia adalah
bukan Bandung melainkan Jakarta".
Kedua teori kebenaran ini yakni teori koherensi dan teori korespondensi -
kedua-duanya dipergunakan dalam cara berfikir ilmiah. Penalaran teoretis
yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi ini.
Sedangkan proses pembuktian secara, empiris dalam bentuk pengumpulan
fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu mempergunakan teori
korespondensi. Pemikiran ilmiah juga mempergunakan teori kebenaran yang
lain yang disebut teori kebenaran prag-matis.
Teori pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah
makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul "How to Make Our Ideas
Clear". Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli falsafah yang
kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan falsafah ini
sering dikaitkan dengan falsafah Amerika. Ahli-ahli falsafah ini di antaranya
adalah William James (1842— 1910), John Dewey (1859-1952), George
Herbert Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.
Bagi seorang pragmatis maka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau
konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam
kehidupan manusia. Sekiranya ada orang yang menyatakan sebuah teori X
dalam pendidikan, dan dengan teori X tersebut dikembangkan teknik Y dalam
meningkatkan kemampuan belajar, dan ternyata secara ilmiah dibuktikan
bahwa teknik Y tersebut memang dapat meningkatkan kemampuan belajar,
maka teori X itu dianggap benar, sebab teori X ini adalah fungsional dan
mempunyai kegunaan. Pragmatisme bukanlah suatu aliran falsafah yang
mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori dalam penentuan kriteria
kebenaran sebagaimana disebutkan di atas. Kaum pragmatis berpaling kepada
metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan tentang alam ini
sebab metode ini dianggapnya fungsional dan berguna dalam mentafsirkan
gejala-gejala alamiah.12)
Kriteria pragmatis ini Juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan
kebenaran ilmiah dilihat dalam perspektif waktu. Secara historis maka
pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak
lagi demikian. Di-hadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuwan bersifat
pragmatis: selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka
pernyataan itu dianggap benar; sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat
demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan
pernyataan baru, maka pernyataan itu djtinggalkan. Pengetahuan ilmiah
memang tidak berumur panjang, seperti diungkapkan sebuah pe-ngumpulan
pendapat di kalangan ahli-ahli fisika, bahwa teori tentang partikel takkan
berumur lebih dari empat tahun. Untuk ilmu-ilmu lainnya yang agak kurang
berhasil dalam menemukan hal-hal yang baru, seperti embriologi, sebuah
revisi dapat diharap-kan tiap kurun waktu limabelas tahun.13)
Ke arah Pemikiran Filsafat
Manusia mempunyai seperangkat pengetahuan yang bisa membedakan antara
benar dan salah, baik dan buruk serta indah dan jelek. Sekiranya kita ingin
melakukan penilaian terhadap sebuah pernyataan ilmiah apakah pernyataan itu
benar atau salah maka ke mana kita mesti berpaling? Tentu saja penilaian
tentang sebuah pernyataan ilmiah tidak dapat dilakukan oleh ilmu itu sendiri
sebab penilaian yang dapat diandal-kan biasanya diberikan oleh pihak lain.
Demikian juga halnya dengan penilaian tentang sebuah kaidah moral apakah
pesan yang dibawanya bersifat baik atau buruk serta penilaian tentang sebuah
karya seni apakah produk yang dihasilkannya itu indah atau jelek. Mesti ada
pihak lain yang mampu memberikan penilaian secara obyektif dan tuntas, dan
pihak lain yang melakukan penilaian itu dan sekaligus memberikan arti,'4)
adalah pengetahuan yang disebut filsafat.
Filsafat meletakkan dasar-dasar suatu pengetahuan, jadi filsafat ilmu, adalah
pengetahuan yang membahas dasar-dasar ujud keilmuan. Pertanyaan-
pertanyaan seperti apa yang disebut ilmu? Ciri-ciri apa yang membedakan
ilmu dengan pengetahuan yang lainnya? Bagaimana cara menarik kesimpulan
ilmiah secara benar? Sarana-sarana apa yang diperlukan dalam kegiatan
berfikir ilmiah? Semua pertanyaan semacam ini termasuk ke dalam bidang
kajian filsafat ilmu.
BAB II PENGETAHUAN
Seni, agama dan ilmu, - itu semua adalah pengetahuan. Masing-masing jenis
pengetahuan ini mempunyai landasan-landasan ontologis, epistemologis dan
aksiologisnya sendiri. Ilmu berusaha memahami alam sebagaimana adanya
dan hasil-hasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk meramalkan dan
mengendalikan gejala-gejala alam. Pengetahuan keilmuan merupakan seri
penjelasan mengenai alam, yang sifatnya umum dan impersonal.
Sebaliknya, seni bersifat subjektif dan berusaha memberikan makna
sepenuh-penuhnya mengenai objek yang diungkap-kannya.
Seandainya seseorang berkata kepada kita bahwa dia tahu bagaimana
cara bermain gitar, maka seorang lainnya mungkin bertanya: apakah
pengetahuan anda itu merupakan ilmu? Tentu saja dengan mudah dia
dapat menjawabnya bahwa pengetahuan bermain gitar itu bukanlah ilmu,
melainkan seni. Demikian juga sekiranya seseorang me-ngemukakan
bahwa sesudah mati semua manusia akan dibangkitkan kembali, akan
timbul pertanyaan serupa: apakah pengetahuan tentang sesuatu yang
bersifat tran-sendental yang menjorok ke luar batas pengalaman manusia
dapat disebut ilmu? Tentu saja jawabnya adalah "bukan," sebab
pengetahuan yang berhubungan dengan masalah semacam itu adalah
agama. Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang kita
ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu,
jadi ilmu ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh
manusia disamping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan
agama. Bahkan seorang anak kecil pun telah mempunyai berbagai
pengetahuan sesuai dengan tahap pertumbuhan dan kecerdasannya.
Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental yang secara
langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar
untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya
pengetahuan itu tak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban
bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Apa yang harus
kita Iakukan sekiranya anak kita demam panas dan menderita kejang?
Lagu nina bobo apa yang harus kita nyanyikan agar dia tertidur lelap?
Sekiranya insan yang sangat kita cintai itu kemudian meninggalkan kita
maka ke mana kita mesti berpaling dalam kemelut kesedihan?
Tiap jenis pengetahuan pada dasa"rnya menjawab jenis pertanyaan
tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan
segenap pengetahuan kita secara maksimal maka harus kita ketahui
jawaban apa saja yang mungkin bisa diberikan oleh suatu pengetahuan
tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada pengetahuan
mana suatu pertanyaan tertentu harus kita ajukan.
Sekiranya kita bertanya: "apakah yang akan terjadi sesudah manusia
mati?", maka pertanyaan itu tidak bisa diajukan kepada ilmu melainkan
kepada agama, sebab secara ontologis ilmu membatasi diri pada
pengkajian obyek yang berada dalam ling-kup pengalaman manusia,
sedangkan agama memasuki pula daerah penjelajahan bersifat
transendental yang berada di luar pengalaman kita. Ilmu tidak bisa
menjawab pertanyaan itu sebab ilmu dalam tubuh pengetahuan yang
disusunnya' memang tidak mencakup permasalahan tersebut. Atau jika
kita memakai analogi komputer maka komputer ilmu memang tidak
diprogramkan untuk itu.
Tentu saja pada dasamya kita boleh mengajukan pertanyaan kepada siapa
saja, seperti kalau kita sesat jalan dan bertanya kepada seseorang yang
kebetulan nongkrong di tikungau: Eh, tahukah anda jalan ke Kebayoran
Lama? Kalau yang kita tanyai itu seorang yang ramah dan dididik untuk
bersimpati dengan orang yang sedang kesusahan serta suka menolong ala
kadarnya maka \»arangkali ia akan berkata "Mungkin arah ke sana! Dan
ditunjukkanlah jalan ke Kebayoran Baru sebab dia sebenarnya juga tidak
tahu, dan hanya karena didorong oleh aspek kulturalnya saja, maka ia
menjawab begitu. Jawaban seperti itu tentu saja tidak menolong kita dari
kesesatan, tetapi kita masih bisa tenang-tenang saja, toh kita masih di
Jakarta. Namun bagaimana jadinya kalau kita ingin ke surga tetapi malah
ditunjukkan jalan ke neraka?
Jadi pada hakekatnya kita mengharapkan jawaban yang benar, dan
bukannya sekedar jawaban yang bersifat sembarang saja. Lalu timbullah
masalah bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar?
Masalah inilah yang dalam kajian filsafat disebut epistemologi, dan
landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah. Dengan kata lain ,
metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun
pengetahuan yang benar. Lalu apakah yang disebut benar sedangkan
dalam khasanah filsafat terdapat beberapa teori kebenaran?
gambar
Dengan berkembangnya metode ilmiah dan diterimanya metode ini
sebagai paradigma oleh masyarakat keilmuan maka sejarah kemanusiaan
menyaksikan perkembangan pengetahuan yang sangat cepaUDirintis oleh
Copernicus (1473-1543), Kepler (1571-1630), Galileo (1564-1642) dan Newton
(1642-1727) ilmu mendapatkan momentumnya pada abad ketujuh belas dan
seterusnya tinggal landas. Whitehead menyebutkan periode antara 1870-18,80
sebagai titik kulminasi perkembangan ilmu di mana Hemholtz, Pasteur, Darwin
dan Clerk-Maxwell berhasil mengembangkan penemuan ilmiahnya.26) Gejala
ini sebenarnya tidak sukar untuk dijelaskan sebab metode ilmiah memanfaatkan
kelebihan metode-metode berfikir yang ada dan mencoba untuk memperkecil
kekurangannya. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk diterima sebab pada
dasarnya adalah akal sehat meskipun ilmu bukanlah sembarang akal sehat
melainkan akal sehat yang terdidik. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk di-
percaya sebab dia dapat diahdalkan meskipun tentu saja tidak semua masalah
dapat dipecahkan secara keilmuan. Itulah sebabnya maka kita masih
memerlukan berbagai pengetahuan lain untuk memenuhi kehidupan kita sebab
bagaimana pun majunya ilmu secara hakiki dia adalah terbatas dan tidak
lengkap. Ketika teleskop berakhir dan mikroskop memulai, bertanya Victor
Hugo, manakah di antara keduanya yang lebih mampu menyingkap
panorama?2"7)
BAB III
METODE ILMIAH
Metode keilmuan ialah prosedur untuk
mendapatkan ilmu. Langkah-langkahnya misalnya
perumusan masalah, penyu-sunan kerangka berfikir,
pengajuan hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan
kesimpulan.
Hipotesis berpijak di bumi fakta empiris, sebab
kesimpulan atau dugaan sementara yang umum ini
ditarik secara induktif dari kasus-kasus yang diamati,
atau dari gejala yang secara eksperimental ditelaah,
atau dari peristiwa yang di-alami oleh ilmuwan-
peneliti. Bertumpu pada hipotesis ini, suatu teori bisa
dibangun secara logis-matematis, konsisten dengan
pengetahuan keilmuan yang kebenarannya telah teruji.
Kesimpulan yang dideksikan dari teori itu merupakan
prediksi, yang kebenarannya harus diuji dengan
memban-dingkannya dengan gejaia alam.
Pada dasarnya, metode keilmuan itu sama bagi
semua disiplin keilmuan, baik disiplin-disiplin yang
termasuk dalam ilmu-ilmu sosial dan keprilakuan
(social and behavioral sciences), maupun yang berada
dalam kawasan ilmu-ilmu alam (natural sciences).
Kalau ada perbedaan, perbedaan itu lebih menyangkut
teknik-teknik dan penghampiran (ap-proachnya). dan
bukan dalam kerangka berfikirnya.
Keseluruhan langkah ini harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut
ilmiah. Meskipun langkah-langkah ini secara konseptual tersusun dalam
urutan yang teratur, di mana langkah yang satu merupakan landasan bagi
langkah berikutnya, namun dalam prakteknya sering terjadi lompatan-
lompatan. Hubungan antara langkah yang satu dengan langkah yang lainnya
tidak terikat secara statis melainkan bersifat dinamis dengan proses
pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran melainkan
juga imajinasi dan kreativitas.. Sering terjadi bahwa langkah yang satu bukan
saja merupakan landasan bagi langkah yang berikutnya namun sekaligus '"),
juga merupakan landasan koreksi bagi langkah yang lain. Dengan jalan ini
diharapkan \ diprosesnya pengetahuan yang bersifat konsisten dengan
pengetahuan-pengetahuan sebelumnya serta teruji kebenarannya secara
empiris.
Langkah-langkah yang telah kita sebutkan di atas harus dianggap sebagai
patokan utama di mana dalam penelitian yang sesungguhnya mungkin
saja berkembang berbagai variasi sesuai dengan bidang dan
permasalahan yang diteliti. Walaupun demikian bagi mereka yang
sedang mendidik diri untuk menjadi ilmuwan tenia pokok dari metode
ilmiah harus dikuasai, sebab tanpa kemampuan dasar ini dikhawatirkan
bahwa variasi yang dikembangkan itu mungkin saja tidak mencerminkan
ciri yang se harusnya dipenuhi oieh suatu kegiatan keilmuan. Sekiranya
seorang seperti Percy Bridgman berkata bahwa "ilmu adalah apa yang
seseorang lakukan dengan fikirannya tanpa pembatasan apa pun"13),
maka hal ini jangan ditafsirkan sebagai suatu ketinggi-hatian sebab
^erkataan itu diucapkan oleh seorang ilmuwan pemenang Hadiah Nobel
untuk fisika. Tentu saja dia tidak menemukan rumus-rumus yang cukup
layak untuk dianugrahi Hadiah Nobel sekedar hanya dengan lima
langkah metode ilmiah yang dia pelajari di sekolah. Bagi seorang pemula
yang sedang mempelajari pengetahuan, apa pun juga itu namanya,
sebaiknya kita mulai dari dasar-dasar yang bersifat patokan pokok. Sukar
untuk dibayangkan bagaimana seorang gitaris seperti Andres Segovia
menyajikan konser dengan sepenuh kejeniusannya tanpa mengetahui
dasar do-re-mi. Easley menyimpulkan bahwa meskipun prinsip-prinsip
metode ilmiah yang diterima oleh sebagian besar ilmuwan tidak selalu
membantu pengembangan hipotesis dan merupakan kriteria untuk
menolak atau menerima suatu pernyataan ilmiah namun metode ilmiah
ini penting bagi masyarakat ilmuwan dalam melancarkan kritik terhadap
suatu penyelidikan dan dalam kegiatan mendidik calon ilmuwan. u)
Walaupun demikian para pendidik jangan menafsirkan dan mengajarkan
metode ilmiah ini secara mati dan ritualistik, seperti juga cara kita
mempergunakan berbagai pedoman penulisan untuk tesis atau disertasi
yang berasal dari berbagai universitas, melainkan ditekankan pada ;<
logika. berfikir dan alur-alur jalan fikirannya. Dengan demikian maka
kita akan mampu menghindarkan berkembangnya cara berfikir yang
kaku dan simplistis.
Metode ilmiah adalah penting bukan saja dalam proses penemuan
pengetahuan namun lebih-lebih lagi dalam mengkomunikasikan
penemuan ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuwan. Sebuah laporan
penelitian ilmiah mempunyai sistematika cara berfikir tertentu yang
tercermin dalam format dan tekniknya. Perbedaan utama dari metode
ilmiah bila dibandingkan dengan metode-metode pengetahuan lainnya,
menurut Jacob Bronowski, adalah hakekat metode ilmiah yang bersifat
sistematik dan eksplisit.15)
Sifat eksplisit ini memungkinkan terjadinya komunikasi yang intensif
dalam ka-langan masyarakat ilmuwan. Ilmu ditemukan secara individual
namun dimanfaatkan secara sosial. Ilmu merupakan pengetahuan milik
umum (public knowledge) di mana teori ilmiah yang ditemukan secara
individual dikaji, diulangi, dan dimanfaatkan secara komunal.
Karakteristik ini mengharuskan seorang ilmuwan untuk menguasai
sarana komunikasi ilmiah dengan baik yang memungkinkan komunikasi
eksplisit antar ilmuwan secara intensif. Penemuan mesin cetak
merupakan momentum yang sangat mendo-rong perkembangan ilmu.
Ilmu maju dengan cepat pada masyarakat yang telah mempunyai tradisi
komunikasi tertulis yang mantap. Semangat ilmiah seperti kehidupan
yang mengalir, kata Mayer, di mana tiap ilmuwan berhutang budi kepada
ilmuwan-ilmuwan lainnya.16)
Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang
disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris.
Dalam hal ini harus di-sadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu
tidaklah bersifat absolut. Sekiranya se karang kita dapat mengumpulkan
fakta-fakta yang mendukung hipotesis kita maka bukan berarti bahwa
untuk selamanya kita akan mendapatkan hal yang sama. Mungkin saja
suatu waktu, baik secara kebetulan maupun karena kemajuan dalam
peralatan pengujian, kita akan mendapatkan fakta yang menolak
hipotesis yang selama ini kita anggap benar. Jadi pada hakekatnya suatu
hipotesis dapat kita terima kebenarannya selama tidak didapatkan fakta
yang menolak hipotesis tersebut. Hal ini membawa dimensi baru kepada
hakekat ilmu yakni sifat pragmatis dari ilmu. Ilmu tidak bertujuan untuk
mencari kebenaran absolut melainkan kebenaran yang berman-faat bagi
manusia dalam tahap perkembangan tertentu. Hipotesis-hipotesis yang
sampai saat ini tidak ditolak kebenarannya, dan mempunyai manfaat bagi
kehidupan kita, kita anggap sebagai pengetahuan yang sahih dalam
keiuarga keilmuan. Bahwa hipotesis ini kemudian hari ternyata tidak
benar, bagi kita hal itu tidaklah terlalu penting selama hipotesis ini
mempunyai kegunaan. Seperti ucapan Santayana maka dalam ilmu
sekiranya kita menemukan kebenaran baru kita tidak lalu "menyalahkan
pendahulu-penda-hulu itu, kita cuma mengucapkan selamat jalan."17)
Metode ilmiah ini pada dasarnya adalah sama bagi semua disiplin
keilmuan baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu
sosial. Kalau pun terdapat perbedaan dalam kedua kelompok keilmuan
ini,maka perbedaan tersebut sekedar ter-letak pada aspek-aspek
tekniknya dan bukan pada struktur berfikir atau aspek metodo-logisnya.
Teknik pengumpulan data mengenai gejala gunung berapi jelas akan
berbeda dari teknik pengumpulan data tentang sikap kaum remaja
mengenai keiuarga beren-cana. Demikian juga teknik pengamatan
bintang-bintang di langit akan berbeda dengan teknik pengamatan anak
taman kanak-kanak yang sedang belajar mengeja.
Metode ilmiah ini tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan yang tidak
termasuk ke dalam kelompok ilmu. Matematika dan bahasa tidak
mempergunakan metode ilmiah dalam menyusun pengetahuannya sebab
matematika bukanlah ilmu melainkan pengetahuan yang merupakan
sarana berfikir ilmiah.18) Demikian juga halnya dengan bidang sastra
yang termasuk dalam humaniora yang jelas tidak mempergunakan meto-
de ilmiah dalam penyusunan tubuh pengetahuannya.
Meskipun demikian, beberapa aspek pengetahuan tersebut dapat
menerapkan metode ilmiah dalam pengkajiannya, umpamanya saja aspek
pengajaran bahasa, sastra dan matematika. Dalam hal ini masalah
tersebut dapat dimaksudkan ke dalam disiplim ilmu pendidikan yang
mengkaji secara ilmiah berbagai aspek proses belajar-mengajar.
Beberapa disiplin ilmu sosial mengembangkan teknik-teknik tersendiri
dalam melakukan penelitian ilmiah umpamanya saja antropologi dan
sosiologi. Teknik-teknik yang bersifat khusus ini biasanya dikembangkan
untuk meneliti aspek tertentu yang bersifat eksploratoris yang bertujuan
untuk menemukan pola atau struktur secara keseluruhan. Penelitian yang
lebih bersifat kualitatif ini biasanya diikuti oleh penelitian yang bersifat
ku'antitatif dengan penerapan metode ilmiah sepenuhnya.
Penelitian merupakan pencerminan secara konkret kegiatan ilmu dalam
mempro-ses pengetahuannya. Metodologi penelitia'n ilmiah pada
hakekatnya merupakan operasi-onalisasi dari metode keilmuan. Atau
dengan perkataan lain, struktur berfikir yang melatarbelakangi langkah-
langkah dalam penelitian ilmiah adalah metode keilmuan. dengan
demikian maka penguasaan metode ilmiah merupakan persyaratan untuk
dapat memahami jalan fikiran yang terdapat dalam langkah-langkah
penelitian. Bagi pendidikan keilmuan maka aspek-aspek filsafat ilmu
sebaiknya secara langsung dikaitkan dengan kegiatan berfikir ilmiah
pada umumnya dan kegiatan penelitian pada khusirsnya. Langkah-
langkah penelitian yang mencakup apa yang diteliti, bagaimana
penelitian dilakukan serta untuk apa hasil penelitian digunakan adalah
koheren dengan landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis
keilmuan. Dengan demikian maka pengetahuan filsafati yang bersifat
potensial secara konkret memperkuat kemampuan ilmuwan dalam
melakukan kegiatan ilmiah secara operasional.
Demikianlah secara singkat telah dibahas hakekat metode ilmiah yang
alur-alur pikirannya tercermin dalam langkah-langkah tertentu. Alur
pikiran keilmuan inilah yang penting sebab ilmu pada kenyataannya yang
paling asasi adalah produk kegiatan berfikir lewat suatu cara berfikir
tertentu. Langkah-langkah dalam metode ilmiah ini janganlah ditafsirkan
secara mati dan menjadi hafalan baru. Ada baiknya dalam hal ini kita
memperhatikan peringatan yang diberikan oleh Leonard Nash bahwa
terdapat bahaya yang potensial yang mengintai di balik mitos yang
bernama metode, yakni bahwa ilmuwan akan memperlakukannya secara
terlalu bersungguh-sungguh!19)
Dengan metode ilmiah sebagai peradigma maka dibandingkan dengan
berbagai pengetahuan lainnya ilmu dapat dikatakan berkembang dengan
sangat cepat. Salah satu faktor yang mendorong perkembangan ini adalah
faktor sosial dari komunikasi ilmiah di mana penemuan individual segera
dapat diketahui dan dikaji oleh anggota masyarakat ilmuwan lainnya.
Tersedianya alat komunikasi tertulis dalam bentuk majalah, buletin,
jurnal, micro film dan berbagai media massa lainnya sangat menunjang
inten-sitas dan efektivitas komunikasi ini. Suatu penemuan baru di
negara yang satu segera dapat diketahui oleh ilmuwan di negara-negara
lain. Penemuan ini segera dapat diteliti kebenarannya oleh kalangan
ilmiah di mana saja sebab prosedur untuk menilai kesahih-an pernyataan
yang dikandaung pengetahuan tersebut sama-sama telah diketahui oleh
seluruh masyarakat ilmuwan.
Sampai pertengahan abad ketujuhbelas komunikasi ilmiah antar ilmuwan
dilakukan secara korespondensi pribadi dan dengan publikasi makalah
atau pamflet sewaktu-wak-tu.20) Baru pada tahun 1654 the Royal
Society didirikan di London yang disusul oleh Academic Francaise yang
didirikan di Paris pada tahun 1663. Laporan pertemuan ilmiah dari the
Royal Society muncul untuk pertama kali pada tahun 1664. Setelah itu
maka komunikasi dan kerja sama antar ilmuwan dalam bentuk
kelembagaan, him-punan dan penerbitan jurnal berkembang dengan
pesat.21)
Berbagai percobaan ilmiah dapat diulang oleh ilmuwan lainnya yang
berhasrat, dan sekiranya dalam pengulangan tersebut didapatkan hasil
yang sama, serta merta ilmuwan itu menerima dan mendukung
kebenaran yang dimaksud. Akhirnya seluruh kalangan keilmuan akan
menerima kebenaran ilmiah itu dan dengan demikian dunia keilmuan
menganggap permasalahan mengenai hal tersebut telah selesai dan ilmu
mendapatkan pengetahuan baru yang diterima oleh seluruh ilmuwan.
Dengan demikian maka ilmu berkembang dengan cepat dalam dinamika
yang dipercepat karena penemuan yang satu akan menyebabkan
penemuan-penemuan yang lainnya. Hipotesis yang telah teruji
kebenarannya segera menjadi teori ilmiah yang kemudian digunakan
sebagai premis dalam mengembangkan hipotesis-hipotesis selanjutnya.
Secara kumulatif maka teori ilmiah berkembang seperti piramida terbalik
yang makin lama makin tinggi. Di-perkirirakan ilmu berkembang dua
kali lipat tiap jangka waktu sepuluh tahun.22)
Ilmu juga bersifat konsisten karena penemuan yang satu didasarkan
kepada penemuan-penemuan sebelumnya. Sebenarnya hal ini tidak
seluruhnya benar karena sampai saat ini belum satu pun dari seluruh
disiplin keilmuan yang telah berhasil menyusun satu teori yang konsisten
dan menyeluruh. Bahkan dalam fisika. yang merupakan pro totipe bidang
keilmuan yang relatif paling maju, satu teori yang mencakup segenap du-
nia fisik kita belum dapat dirumuskan. Usaha untuk mempersatukan
seluruh konsep-konsep fisika dalam sebuah teori yang koheren sampai
sekarang belum berhasil d/lak-sanakan. "Ilmu tidak selalu sependapat,"
simpul Gilbert Highet, "bahkan dalam beberapa persoalan yang penting
tidak terdapat pertemuan, apalagi bersifat koheren."23)
Teori ilmiah masih merupakan penjelasan yang bersifat sebagian sesuai
dengan tahap perkembangan keilmuan yang masih sedang berjalan.
Demikian juga dalam Jalur perkembangan ini belum dapat dipastikan
bahwa kebenaran yang sekarang diterima oleh kalangan ilmiah akan
benar pula di masa yang akan datang. Sejarah ilmu telah mencatat betapa
banyak kebenaran ilmiah di masa lalu yang sekarang ini tidak dapat
diterima lagi karena manusia telah menemukan kebenaran lain yang
ternyata lebih dapat diandalkan. Sifat pragmatis dari ilmu inilah yang
sebenarnya merupakan kelebih-an'dan sekaligus kekurangan dari hakekat
ilmu. Sikap pragmatis dari ilmu adalah cocok dengan perkembangan
peradaban manusia di mana telah terbukti secara nyata peranan ilmu
dalam membangun peradaban tersebut. Ilmu, terlepas dari berbagai
kekurang-annya, dapat memberikan jawaban positif terhadap
permasalahan yang dihadapi manusia pada suatu waktu tertentu.
Ilmu memandang kebenaran sebagai tujuan yang mungkin dapat dicapai
namun-tak pernah sepenuhnya tangkapan kita itu sampai. Seperti sebuah
asimtot maka leng-kungan kurva mencoba menjamah namun tak pernah
bersinggungan. Meskipun kita bersikap seobyektif mungkin namun
presepsi kita tidak pernah lepas dari faktor subyek-tivitas. Tiap langkah
kita dalam menemukan pengetahuan yang -benar selalu diintai oleh
kekeliruan. Seperti dikatakan oleh pujangga Hasan Mustapa. i4) manusia
itu jarang betulnya, kalau pun betul sekedar kebetulan; manusia itu
jarang salahnya, kalau pun salah sekedar kesalahan. Mungkin dalam
situasi seperti inilah maka menonjol sekali sikap moral dan intelektual
ilmuwan terhadap kebenaran. Kegiatan ilmuwan pada jiwa-nya
merupakan komitmen moral dan intelektual untuk mencoba mendekati
kebenaran dengan cara yang sejujur-jujurnya.25)
Dalam perspektif inilah maka penilaian terhadap ilmu tidaklah
ditentukan oleh kesahihan teorinya sepanjang zaman melainkan terletak
dalam kemampuan memberikan jawaban terhadap permasalahan manusia
dalam tahap peradaban tertentu. Merupakan fakta yang tak dapat
dipungkiri bahwa pada kurun masa kini kita mempergunakan berbagai
kemudahan yang dikembangkan oleh ilmu dan teknologi umpamanya
sarana angkutan seperti mobil dan pesawat terbang. Sarana angkutan
tersebut yang bersifat fungsional dalam kehidupan masa kini
dikembangkan berdasarkan pengetahuan ilmiah yang kebenarannya
diakui pada ini. Di kemudian hari mungkin saja harus diciptakan sarana
angkutan lain yang memerlukan teori lain pula untuk
mengembangkannya. Sarana angkutan seperti yang dikhayalkan dalam
film Star Trek dimana zat ditransportasi-kan ke tempat lain dengan
merubahnya menjadi energi tentu saja membutuhkan teori-teori lain yang
sekarang dipelajari dan diterapkan dalam industri otomotif dan pesawat
terbang. Pada waktu itu mungkin kita telah meninggalkan teori-teori
yang dewasa ini kita anggap benar. Hal itu tidak perlu merisaukan kita
sebab teori-teori yang hidup sekarang inilah justru yang bersifat
fungsional dalam kehidupan kita. Banyak jenius yang buah pikirannya
mendahului zamannya, yang meskipun buah pikiran itu lebih maju dari
pengetahuan sebelumnya, ternyata harus menunggu saat yang tepat untuk
menja-dikan gagasannya itu bermanfaat. Seperti juga mengenakan baju
maka peradaban mengembangkan pengetahuan j-ang cocok untuk
zamannya.
Namun masalah ini menjadi sangat lain bila dihubungkan dengan hal-hal
yang bersifat asasi di mana manusia membutuhkan adanya kemutlakan
dan bukan sekedar kese-mentaraan yang bersifat reJatif. Dalam
mempertanyakan eksistensi dirinya, tujuan hidupnya serta berbagai hal
yang bersifat asasi lainnya maka manusia membutuhkan pe-gangan yang
lebih mantap: Dalam hal ini maka ilmu dengan segala atributnya tidak
dapat memberikan jalan ke luar dan manusia harus berpaling kepada
sumber lain yakni agama. Ilmu tidak berwenang menjawabnya sebab hal
ini berada di luar bidang pene-laahannya. Secara ontologis ilmu
membatasi diri hanya dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Di luar
bidang empiris ilmu tidak bisa mengatakan apa-apa. Sedangkan dalam
batas kewenangannya inipun, ilmu bukan sesuatu tanpa cela, sebab
penalaran dan pancaindera manusia jauh dari sempuma. Kemajuan
manusia tidak bisa diukur hanya dengan perluasan pengetahuan kita,
berkata Daniel Boorstin, melainkan juga harus diukur dengan
bertambahnya kesadaran akan ketidaktahuan kita, yang akan
membuktikan berbagai kemungkinan yang sampai saat ini mungkin
belum terbayang-kan.26)
Demikian juga ilmu yang makin terspesialisasikan menyebabkan bidang
pengkajian suatu disiplin keilmuan makin sempit yang ditambah dengan
berbagai pembatasan dalam pengkajiannya seperti postulat, asumsi dan
prinsip membikin lingkup pengli-hatan keilmuan makin bertambah
sempit pula. Hal inilah yang menimbulkan gejala deformation
professionelle21) yakni perubahan bentuk sebuah ujud dilihat dari kaca-
mata profesional. Bentuk yang bersifat artifisial ini berbeda dengan
kenyataan yang sebenarnya disebabkan keterbatasan ilmu dalam
menangkap sebuah ujud secara keseluruhan. Jadi pada hakekatnya
penglihatan ilmu bersifat sempit dan sektoral yang men-dorong manusia
untuk melakukan pendekatan multi-disipliner terhadap sebuah per-
masalahan. Pendekatan ini menyebabkan berkembangnya sarana berfikir
yang merupakan kerangka yang mengikat berbagai disiplin keilmuan
dalam melakukan penelaahan bersama diantaranya adalah cara berfikir
sistem,26) Berfikir menurut sistem ini bukan -lah disiplin keilmuan baru
melainkan sarana berfikir yang membantu proses pengkajian kita seperti
juga bahasa, logika, matematika dan statistika. Ketidakpuasan kita terha-
dap lingkup analisis keilmuan yang sempit dan sektoral janganlah
diarahkan untuk mengaburkan batas-batas disiplin keilmuan yang makin
lama memang makin terspesialisasikan melainkan dengan jalan
mengikatnya secara federatif dalam suatu pendekatan multi-disipliner.
Dengan demikian kita tidak mengembangkan teori keilmuan baru me-
lainkan sarana-sarana berfikir baru. Spesialisasi, meminjam perkataan
William Barrett, adalah harga yang kita bayar untuk kemajuan
pengetahuan.29) Pendekatan sistem yang berkembang menjadi
paradigma keilmuan setelah perang dunia II diharapkan oleh para
pengembangnya menjadi "kerangka keilmuan" (the skeleton of
science)30) yang mampu mengikat berbagai disiplin keilmuan.
Demikianlah kita telah melihat berbagai keterbatasan yang dipunyai ilmu
yang walaupun demikian kekurangan ini bukan merupakan alasan untuk
menolak eksistensi ilmu dalam kehidupan kita. Sebab terlepas dari segala
keterbatasannya ilmu merupakan pengetahuan yang telah menunjukkan
keampuhannya dalam membangun kemajuan peradaban seperti yang kita
lihat sekarang ini. Kekurangan dan kelebihan ilmu harus digunakan
sebagai pedoman untuk meletakkan ilmu dalam tempat yang sewajarnya,
sebab hanya dengan sikap itulah, kita dapat memanfaatkan kegunaannya
semaksimal mungkin bagi kemaslahatan manusia. Mengatasi segalahya
harus kita sadari bahwa ilmu hanyalah sekedar alat dan semuanya
tergantung kepada kita apakah kita mempergunakan alat itu dengan baik
atau tidak. Menolak kehadiran ilmu dengan picik berarti kita menutup
mata terhadap semua kemajuan masa kini di mana hampir semua aspek
kehidupan modern dipengaruhi oleh produk ilmu dan teknologi.
Sebaliknya dengan jalan mendewa-dewakan ilmu, hal ini menunjukkan
bahwa di sini pun kita gagal untuk mendapatkan pengertian mengenai
hakekat ilmu yang sesungguhnya. Mereka yang sungguh-sungguh
berihnu adalah mereka yang mengetahui kelebihan dan kekurangan ilmu,
di atas dasar itu mereka menerima ilmu sebagaimana adanya,
mencintainya dengan bijak-sana, serta menjadikan dia bagian dari
kepribadian dan kehidupannya. Bersama-sama pengetahuan lainnya, dan
bersama pelengkap kehidupan iainnya seperti seni dan agama, ilmu
melengkapi kehidupan dan memenuhkan kebahagiaan kita. Tanpa
kesadaran itu, maka kita hanya kembali kepada ketidaktahuan dan
kegersangan, seperti disyair-kan Byron dalam Manfred, di mana
pengetahuan tak membawa kita kebahagiaan dan ilmu sekedar bentuk
lain dari ketidaktahuan. . .31)
BAB IV
STRUKTUR PENGETAHUAN ILMIAH
Hipotesis atau teori yang prediksinya telah ternyata j itu menjadi bagian
dari khasanah ilmu. Kalau masukan baru ini memberikari penjelasan
yang lebih umum, atau sama cakup-annya tetapi lebih gamblang dan
gampang, daripada penje-lasan teori yang mendahuluinya, maka ia
menggeser kedu-dukan teori yang lama itu. Pada waktunya nanti ia
sendiri bisajuga tergusur dari khazanah ilmu itu, yakni bila keku-rangan
dan cacatnya menjadi kentara dalam terang penemuan experimental baru,
atau bila muncul teori tandingan yang lebih baik.
Kalau pada asasnya teori itu benar, maka data eksperimental baru atau
sorotan teoretis dari ilmuwan lain justru dapat dipakai untuk merevisi
teori tersebut. Pelintasan siklus hi-potetiko-dedukto-verifikatif secara
iteratif menghasilkan pe-ngetahuan ilmiah yang kadar kebenarannya
makin tinggi. Dan karena masukan baru juga lalu dipakai sebagai premis'
untuk mendeduksikan prediksi yang baru, dengan memadu-kannya
dengan hipotesis lain, maka secara kumulatif ilmu itu berkembang.
Secara deduktif-deterministik, induktif-probabilistik, fung-sional, atau
genetik, atau dengan kombinasi beberapa di antara dan bahkan mungkin
semua cara ini, ilmu menjelas-kan gejala-gejala alam. Penjelasan yang
lebih berguna untuk peramalan dan pengendalian adalah penjelasan yang
didasar-kan atas hukum-hukum kausal, bukan hubungan korelasio-nal.
Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan
pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan dan dengan
demikian dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Seperti tampak
dalam pembahasan terdahulu, pengetahuan ilmiah ini diproses lewat
serangkaian langkah-langkah tertentu yang dilakukan dengan penuh ke-
disiplinan, dan dari karakteristik inilah maka ilmu seringdikbnotasikan
sebagai disiplin. Disiplin inilah yang memungkinkan ilmu berkembang
relatif lebih cepat bila dibanding-kan dengan pengetahuan-pengetahuan
lainnya. Ilmu dapat diibaratkan sebagai piramida terbalik di mana
penemuan pengetahuan ilmiah yang satu memungkinkan penemuan
pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang lainnya.
Sebuah hipotesis yang telah teruji secara formal diakui sebagai
pernyataan pengetahuan ilmiah yang baru yang memperkaya khasanah
ilmu yang telah ada. Sekira-nya pengetahuan ilmiah yang baru ini
kemudian ternyata salah, disebabkan kelengahan dalam salah satu
langkah dari proses penemuannya, maka cepat atau lambat kesalahan ini
akan diketahui dan pengetahuan ini akan dibuang dari khasanah
keilmuan. Metode ilmiah mempunyai mekanisme umpan balik yang
bersifat korektif yang memungkinkan upaya keilmuan menemukan
kesalahan yang mungkin diperbuatnya, Sebaliknya bila ternyata bahwa
sebuah pengetahuan ilmiah yang baru itu adalah benar, maka pernyataan
yang terkandung dalam pengetahuan ini dapat dipergunakan sebagai
premis baru dalam kerangka pemikiran yang menghasilkan hipotesis-
hipotesis baru, yang; bila kemudian ternyata dibenarkan dalam proses
pengujian akan menghasilkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah baru
pula. Pada dasarnya ilmu dibangun secara bertahap dan se dikit demi
sedikit di mana para ilmuwan memberikan sumbangannya menunit
kemamy puannya. Tidaklah benar anggapan bahwa ilmu dikembangkan
hanya oleh para jenius saja yang bergerak dalam bidang keilmuan. Ilmu
secara kuantitatif dikembangkan oleh masyarakat keilmuan secara
keseluruhan, meskipun secara kualitatif beberapa orang jenius seperti
Newton atau Einstein, merumuskan landasan-landasan baru yang bersifat
mendasar.
Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat
menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia
melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut
berdasarkan penjelasan yang ada. Sekiranya kita mengetahui bahwa
banjir disebabkan hutan yang ditebang sampai gundul, umpamanya,
maka penjelasan semacam ini akan memungkinkan kita melakukan
upaya untuk men-cegah timbulnya banjir. Penjelasan 'keilmuan
memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadi dan berdasarkan
ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya untuk mengontrol agar
ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak. Pengetahuan tentang kaitan
antara hutan gundul dengan banjir memungkinkan kita untuk bisa
meramalkan apa yang akan terjadi sekiranya hutan-hutan terus ditebang
sampai tidak tumbuh lagi. Sekiranya kita tidak menginginkan timbulnya
banjir sebagaimana diramalkan oleh penjelasan tadi maka kita harus
melakukan kontrol agar hutan;hutan tidak dibiarkan menjadi gundul.
Demikian juga, jika kita mengetahui bahwa hutan-hutan tidak ditebang
sekiranya ada pengawasan, maka untuk mencegah banjir kita harus
melakukan kontrol agar kegiatan pengawasan dilakukan, agar dengan
demikian hutan dibiarkan tumbuh subur dan tidak mengakibatkan banjir.
Jadi pengetahuan ilmiah pada hakekatnya mempunyai tiga fungsi, yakni
menjelaskan, meramalkan dan mengontrol. Tantum possumus, ujar
Francis Bacon, quantum scimus! (Kita dapat melakukan sesuatu sebatas
yang kita tahu!).
Secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan yakni deduktif,
probabilis-tik, fungsional atau teleologis, dan genetik.' ) Penjelasan
derfu&ft/mempergunakan cara berfikir deduktif dalam menjelaskan
suatu gejala dengan menarik kesimpulan secara logis dari premis-premis
yang telah ditetapkan sebelumnya. Penjelasan probabilistik merupakan
penjelasan yang ditarik secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan
demikian tidak memberikan kepastian seperti penjelasan deduktif
melainkan penjelasan yang bersifat peluang seperti "kemUngkinan",
"kemungkinan besar" atau "hampir dapat dipastikan". Penjelasan
fungsional atau teleologis merupakan penjelasan yang me-letakkan
sebuah unsur dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang
mempunyai karakteristik atau arah perkembangan tertentu. Penjelasan
genetik memperguna-kan faktor-faktor yang timbul sebelumnya dalam
menjelaskan gejala yang muncul ke mudian. Dalam mencari penjelasan
mengenai tingkah laku seorang dewasa umpamanya maka ilmu jiwa
memberikan penjelasan genetik dengan mengkaitkannya pada penga-
laman orang tersebut sewaktu masih kanak-kanak. Tidak satu pun dari
pola-pola tersebut di atas yang mampu menjelaskan secara keseluruhan
suatu kajian keilmuan dan oleh sebab itu dipergunakan pola yang
berbeda untuk menjelaskan masalah yang berbeda pula.
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan
mengenai suatu sektor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan.
Umpamanya dalam ilmu ekonomi dike-nal teori ekonomi makro dan
mikro sedangkan dalam fisika dikenal teori mekanika Newton dan teori
relativitas Einstein. Sebenarnya tujuan akhir dari tiap disiplin keilmuan
adalah mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh dan
konsisten, namun hal ini baru dicapai oleh beberapa disiplin keilmuan
saja seperti umpamanya fisika. Fisika teoretis (theoretical physics)
merupakan disiplin keilmuan yang benar-benar mencerminkan
penjelasan teoretis dari gejala-gejala fisik, namun bahkan disiplin
keilmuan seperti fisika teoretis ini pun, yang dapat dianggap sebagai
disiplin keilmuan yang termasuk paling maju, belum merupakan satu
teori yang utuh dan konsisten. Fisika teoretis terdiri dari berbagai teori
yang dikembangkan oleh Newton, Maxwell, Einstein, Schrodinger dan
ahli-ahli fisika lainnya; yang dalam sektornya masing-masing dapat
memberikan penjelasan teoretis secara ilmiah, namun secara keseluruhan
teori-teori tersebut belum mem bentuk sebuah teori yang utuh. Einstein
mencoba mengem-bangkan teori yang bersifat menyeluruh ini, namun
dia terburU meninggal sebelum upayanya berhasil. Seperti dalam teori
evolusi maka fisika masih mencari mata rantai yang hilang (missing link)
untuk dapat menyatukan keseluruhan teori-teori fisika yang ada.
Bila pada fisika saja keadaannya sudah seperti ini maka dapat
dibayangkan bagai-mana situasi perkembangan penjelasan teoretis pada
disiplin-disiplin keilmuan dalam bidang sosial. Ilmu sosial pada
kenyataannya terdiri dari berbagai teori yang tergagung dalam suatu
disiplin keilmuan yang satu sama lain belum membentuk suatu perspektif
teoretis yang bersifat umum. Teori-teori ini sering mempergunakan
postulat dan asumsi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Mungkin
inilah yang menyebabkan Max Planck menurut- majalah Playboy (sic!)
menganggap ekonomi itu sukar dan mengalihkan bidang studinya ke
fisika, sedangkan Bertrand. Russell berpendapat sebaliknya, ekonomi
baginya dianggap terlalu mudah yang menyebabkan dia beralih kepada
filsafat dan matematika.2
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum. Dalam teori ilmu
ekonomi mikro umpamanya kita mengenai hukum permintaan dan
penawaran: Bila permintaan naik sedangkan penawaran tetap maka harga
akan naik, bila penawaran naik sedangkan permintaan tetap maka harga
akan turun. Hukum pada hakekatnya merupakan pernya-taan yang
menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan
sebab akibat. Seperti dalam hukum ekonomi tersebut di atas maka dapat
dilihat hubungan sebab akibat antara permintaan, penawaran dan
pembentukan harga. Per-nyataan yang mencakup hubungan sebab akibat
ini, atau dengan perkataan lain hubungan kausalita, memungkinkan kita
untuk meramalkan apa yang akan terjadi sebagai akibat dari sebuah
sebab. Apa yang akan terjadi dalam pembentukan harga beras waktu
panen, umpamanya, akan dapat diramalkan dengan hukum ini.
Penawaran yang me-ningkat disebabkan banyaknya beras yang
ditawarkan oleh penjual pada waktu panen-an akan menyebabkan harga
beras menjadi turun bila permintaan konsumen terhadap beras pada
waktu itu adalah tetap. Sedangkan hal yang sebaliknya terjadi pada
waktu paceklik dimana penawaran yang menurun disebabkan
berkurangnya persediaan beras di pasaran akan menyebabkan harga
beras menjadi naik.
Sekiranya perubahan harga seperti ini tidak dikehendaki oleh kita maka
dapat dilakukan usaha untuk mengontrol pembentukan harga tersebut
agar lebih sesuai dengan kehendak kita. Umpamanya agar harga beras
pada waktu panen tidak menurun maka pemerintah dapat membeli beras
sebanyak-banyaknya, seperti apa yang sekarang dilakukan oleh Badan
Urusan Logistik Nasional (BULOG), sehingga keseimbangan antara
penawaran dan permintaan tidak terlalu niengalami perubahan. Hal yang
sama dilakukan oleh BULOG pada waktu paceklik dengan melakukan
"dropping" beras pada waktu penawaran beras di pasaran menjadi
menurun. Demikianlah dengan mengetahui hubungan permintaan dengan
penawaran maka kita dapat menjelaskan mekanisme pembentukan harga,
yang dengan berdasarkan penjelasan ini selanjutnya kita dapat
meramalkan terjadinya harga, dan berdasarkan ramalam ini kita dapat
melakukan upaya untuk mengontrol naik turunnya harga.
Secara mudah kita dapat mengatakan bahwa teori adalah pengetahuan
ilmiah yang memberikan penjelasan tentang "mengapa" suatu gejala
terjadi sedangkan hukum memberikan kemampuan kepada kita untuk
meramalkan tentang "apa" yang mungkin terjadi. Pengetahuan ilmiah
dalam bentuk teori dan hukum ini merupakan "alat" yang dapat kita
pergunakan untuk mengontrol gejala alam. Kebijaksanaan ekonomi yang
dilaksanakan BULOG dalam mempertahankan kestabilan harga beras
merupakan alat untuk mempertahankan kestabilan harga beras.
Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini harus mempunyai
tingkat keumuman yang tinggi, atau secara idealnya, harus bersifat
universal. Sekiranya hukum permintaan dan penawaran hanya berlaku
buat padi dan terbatas di daerah Karawang saja, umpamanya,
pengetahuan semacam ini kurang fungsional sebagai teori ilmiah,
Pertama, karena ha! itu cuma berlaku untuk padi namun tidak untuk
hamburger atau televisi yang kesemuanya merupakan benda ekonomi.
Kedua, pernyataan itu hanya berlaku untuk daerah Karawang saja dan
tidak berlaku untuk daerah lain. Pengetahuan tentang "goyang karawang"
yang memang khas Karawang mungkin berguna dalam diskusi yang
tidak bersifat ilmiah, namun pengetahuan ilmiah tentang pembentukan
harga padi yang terbatas di daerah Karawang saja, kurang bersifat
fungsional. Namun hal ini jangan diartikan bahwa pengetahuan ilmiah
mengenai kasus pembentukan harga padi di daerah Karawang ini sama
sekali ada nilainya, yang penting untuk diingat adalah bahwa demi
kepraktisan ilmu tidak merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat
kasus, melainkan pengetahuan yang bersifat umum yang disimpulkan
dari berbagai-bagai kasus.
Dalam usaha mengembangkan tingkat keumuman yang lebih tinggi ini
maka dalam sejarah perkembangan ilmu kita melihat berbagai contoh di
mana teori-teori yang mempunyai tingkat keumuman yang lebih rendah
disatukan dalam suatu teori umum yang mampu mengikat keseluruhan
teori-teori tersebut. Sejarah perkembangan fisika umpamanya mengenai
teori tentang "jatuh bebas" yang didemonstrasikan oleh Galileo dengan
menjatuhkan dua benda yang berbeda beratnya dari Menara Pisa. Sampai
waktu itu orang masih percaya kepada teori Aristoteles yang menyatakan
bahwa benda yang lebih berat akan jatuh ke tanah dengan lebih cepat.
Galileo (1564— 1642) dengan demonstrasinya yang bersifat teatrik
sekali pukul menjatuhkan teori Aristoteles yang tidak benar itu. Benda-
benda, tanpa melihat beratnya, akan jatuh ke tanah dengan waktu yang
sama.
Copernicus (1473 — 1543) mengefmbangkan Teori baru bahwa bukan
matahari yang berputar mengelilingi bumi melainkan bumi mengelilingi
matahari. Teori ini merupakan perombakan terhadap teori lama yang
dikemukakan oleh Ptolemaeus (150 S.M.) dari Alexandria yang
mengemukakan bahwa bumi adalah pusat jagat raya dengan planet-
planetlah yang berputar mengelilinginya dalam orbit-orbit yang
berbentuk lingkaran. Teori Copernicus ini kemudian disempurnakan oleh
Johannes Kepler (1571 — 1630), yang mendasarkan diri kepada data
yang dikumpulkan Tycho Brache (1546—1601) menyatakan pada tahun
1609 bahwa orbit planet-planet dalam mengelilingi matahari tidaklah
berbentuk lingkaran seperti apa yang dipercayai oleh Ptolemaeus
maupun Copernicus melainkan berbentuk ellips.
Digeleng-gelengkan kepala
itu pertanda tak mau atau tak suka
diangguk-anggukkan kepala
itu pertanda ia mau dan juga setuju
Itu semua isyarat dalam bahasa
tanpa bicara orang mengerti maksudnya
Orang bisa bicara
walau tidak memakai bahasa
untuk menyatakan cinta
cukuplah dengan pandangan mata . .. .
BAB VI MATEMATIKA
Sebuah pasangan muda yang sedang berbulan madu, karena soal yang
sepele, ber-tengkar dan tidak mau berbicara satu dengan yang lain. Setiap
kali dilakukan usaha untuk berdamai maka usaha ini kandas disebabkan
komunikasi yang selalu menjurus kepada emosi yang memang sedang
peka, maklum telah tersinggung per-nya. Diam-diam kedua orang muda
datang kepada seorang tua, satu-satunya tamu yang lain di hotel tempat
mereka berbulan madu, dan mengadukan halnya. Orang tua itu, yang
kebetulan adalah dosen filsafat ilmu, membuka diktat yang dikarangnya
dan berfatwa: "Bicaralah degan bahasa matematika!"
Syahdan, ketika malam pun tiba dan sang rembulan menampakkan rona,
suami muda itu mulai membuka ofensif bulan purnama. Dengan mata
yang menatap tajam-tajam mata hitam isterinya, mata itu mengatakan
segalanya, dia mengacungkan telun-juknya yang membentuk angka satu.
Sang isteri diam sejenak, terperangah dan terpana, pelahan-lahan
menjawab dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Kini
sang suami, melihat angka satunya dijawab dengan dua, terbungkam
seribu bahasa. Mukanya mulai tampak memerah, matanya makin
bertambah nyalang, kelihatan dia ragu-ragu. Namun pelahan-lahan
diangkatnya tangan kanannya yang membentuk angka tiga dengan
telunjuk, jari tengah dan jari manisnya. Sang isteri berteriak, lari dan
menyusup di pelukannya, kasih sayang telah kembali ke sarangnya.
Keesokan harinya sang isteri datang pada orang tua yang bijak itu untuk
meng.-ucapkan terima kasihnya. Biasanya, begitu dia mulai bicara,
sekiranya kami ingin berdamai maka kata-kata pertama selalu diartikan
salah, yang menyebabkan kami kembali bertengkar. Kemarin dia tidak
berkata apa-apa, sekedar menatap saya tajam-tajam dan berkata:
"Dikaulah satu-satunya yang kucintai." Hati saya tersentuh dan trenyuh,
naluri kewanitaan saya luluh, jawab saya: "Kau pun satu-satunya yang
kucintai, kita berdua adalah sepasang gunting, yang kalau sebelah tidak
ada artinya." Eh, mendengar jawab saya itu, dia menjadi binal, muka
saya merah mendengarnya: "Marilah kita bikin belahan ketiga."
Sore harinya sang suami -datang, membusung dada dan berseri-seri,
menjabat tangan profesor itu dan berkata: "Matematika memang adalah
bahasa yang eksak, cermat dan terbebas dari emosi. Sejak hari ini saya
akan secara sungguh-sungguh mempelajari falsafah matematika." Dia
pun lalu menceriterakan halnya, bagaimana perse-lisihan dengan
isterinya diselesaikan dengan sempurna, berkat kemujaraban matematika.
"Karena dia tidak mau mengerti saja, karena setiap kata-kata saya selalu
disalah-artikan olehnya, maka langsung saja saya beri ultimatum: Satu!"
"Lalu bagaimana jawabnya?" tanya profesor itu.
"Dia memang perempuan keras kepala. Dia tidak takuf, atau pura-pura
tidak takut, terhadap ultimatum saya, malahan menantang: Dua!" "Hah?"
desis profesor itu sambil membuka kacamatanya.
"Ya, dua. Dia menantang dengan dua. Artinya, melakukan kontra-ofensif
terhadap ultimatum saya. Saya jadi serba salah. Saya menjadi serba ragu.
Bagaimana kalau ultimatum-ultimatuman ini berakhir dengan tragis?
Tapi, kelelakian saya tersinggung dengan tingkahnya itu, serta mungkin
saja dia pun pura-pura berani, dalam hatinya siapa tahu. Benar juga,
ketika ultimatum saya habis, bersama kesabaran dan harapan saya: Tiga!
dia pun menyerah dan memeluk saya. Eureka! Semoga Tuhan
memberkati matematika!"
Matematika sebagai Bahasa
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari
pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika
bersifat "artifisial" yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna
diberikan padanya. Tanpa itu maka matematika hanya merupakan
kumpulan rumus-rumus yang mati. Yang paling sukar untuk dijelaskan
kepada seseorang. yang baru belajar matematika, keluh Alfred North
Whitehead, ialah bahwa x itu sama sekali tidak berarti.1)
Bahasa verbal seperti telah kita lihat sebelumnya mempunyai beberapa
kekurangan yang sangat mengganggu. Suami isteri yang sedang berbulan
madu itu mengalami sendiri betapa sengsara jadinya disebabkan
komunikasi yang buntu. Perkataan "setan", umpamanya, bisa kedengaran
sangat "sip" bila ditafsirkan secara asyik;2 ) namun bagaimana kalau
suasana sedang "out", dunia lantas terbalik? (Tidak bisa toh kita menga-
dukan seseorang karena menyebut kita "babi", bagaimana kalau
perkataan itu diucap-kan penuh puisi: babiku, my babi, mon cher,
sayang!)
Untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa maka kita
berpaling kepada matematika. Dalam hal ini dapat kita katakan bahwa
matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat
kabur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang
dari matematika dibikin secara artifisal dan individual yang merupakan
perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang sedang kita kaji. Se-
buah obyek yang sedang kita telaah dapat kita lambangkan dengan apa
saja sesuai dengan perjanjian kita. Umpamanya bila kita sedang
mempelajari kecepatan jalan kaki seorang anak, maka obyek "kecepatan
jalan kaki seorang anak" tersebut dapat kita lambangkan dengan x.
Dalam hal ini maka x hanya mempunyai satu arti yakni "kecepatan jalan
kaki seorang anak". Lambang matematika yang berupa x ini kiranya
mempunyai arti yang jelas yakni "kecepatan jalan kaki seorang anak." Di
samping itu lambang x tidak bersifat majemuk sebab x hanya dan hanya
melambangkan "kecepatan jalan kaki seorang anak" dan tidak
mempunyai pengertian yang lain. Demikian juga jika kita hubungkan
"kecepatan jalan kaki seorang anak" dengan obyek lain umpamanya
"jarak yang ditempuh seorang anak" (yang kita lambangkan dengan y)
maka kita dapat melambangkan hubungan tersebut sebagai z = y/x di
mana z melambangkan "waktu berjalan kaki seorang anak". Pernyataan z
= y/x kiranya jelas tidak mempunyai konotasi emosional dan hanya
mengemukakan informasi mengenai hubungan antara x, y, dan z. Secara
ini maka pernyataan matematika mempunyai sifat yang jelas, spesifik
dan informatif dengan tidak menimbulkan konotasi yang bersifat emo
sional. Bahkan juga sebuah sajak di bawah ini:3)
Selamat jalan c Selamat jalan v Selamat jalan x Selamat jalan y Selamat
jalan.
Bandit!
Sifat Kuantitatif Matematika
Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa
verbal. Matematika mengembangkan bahasa numerik yang
memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif.
Dengan bahasa verbal bila kita membandingkan dua obyek yang
berlainan umpamanya gajah dan semut maka kita hanya bisa mengatakan
gajah lebih besar dari semut. Kalau kita ingin menelusur lebih lanjut
berapa besar gajah dibandingkan dengan semut maka kita mengalami
kesukaran dalam mengemukakan hubungan itu. Kemudian jika sekiranya
kita ingin mengetahui secara eksak berapa besar gajah bila dibandingkan
dengan semut maka dengan bahasa verbal kita tidak dapat mengatakan
apa-apa.
Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat
kualitatif. Demikian jUga maka penjelasan dan ramalan yang diberikan
oleh ilmu dalam bahasa verbal semuanya bersifat kualitatif. Kita bisa
mengetahui bahwa logam kalau dipanas-kan akan memanjang. Namun
pengertian kita hanya sampai di situ. Kita tidak bisa mengatakan dengan
tepat berapa besar pertambahan panjangnya. Hal ini menyebabkan
penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh bahasa verbal tidak bersifat
eksak, yang menyebabkan daya produktif dan kontrol ilmu yang kurang
cermat dan tepat.
Untuk mengatasi masalah ini matematika mengembangkan konsep
pengukuran. Lewat pengukuran, maka kita dapat mengetahui dengan
tepat berapa panjang sebatang logam dan berapa pertambahan
panjangnya bila logam itu dipanaskan. Dengan mengetahui hal ini maka
pernyataan ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif seperti "Sebatang
logam bila dipanaskan akan memanjang" dapat diganti dengan pernyata-
an matematik yang lebih eksak umpamanya: Pt = PQ(1 +Xt)
di mana P^ merupakan panjang logam pada temperatur t, PQ merupakan
panjang logam tersebut pada temperatur nol dan A merupakan koefisien
pemuaian iogam tersebut.
Sifat kuantitatif matemarika ini meningkatkan daya prediktif dan kontrol
dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang
memungkinkan pemecahan masalah secara lebih tepat dan cermat.
Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap
kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu hal yang
imperatif bila kita menghendaki daya prediksi dan kontrol yang lebih
tepat dan cermat dari ilmu. Beberapa disiplin keilmuan, terutama ilmu-
ilmu sosial, agak mengalami kesukaran dalam perkembangan ini yang
bersumber pada problema teknis dalam pengukuran. Kesukaran ini
secara bertahap telah mulai dapat diatasi, dan akmr-akhir ini kita melihat
perkembangan yang menggembirakan, di mana ilmu-ilmu sosial telah
mulai memasuki tahap yang bersifat kuantitatif. Pada dasarnya
matematika diperlukan oleh semua disiplin keilmuan untuk
meningkatkan daya prediksi dan kontrol ilmu tersebut.
Matematika: Sarana Berfikir Deduktif
Kita semua kiranya telah mengenai bahwa jumlah sudut dalam sebuah segi tiga
adalah 180 derajat. Pengetahuan ini mungkin saja kita dapatkan dengan jalan mengu-
kur sudut-sudut dalam sebuah segi tiga dan kemudian menjumlahkannya. Di pihak
lain, pengetahuan ini bisa didapatkan secara deduktif dengan mempergunakan
matematika. Seperti diketahui berfikir deduktif adalah proses pengambilan
kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis kebenarannya telah ditentukan.
Untuk menghitung jumlah sudut dalam segi tiga tersebut kita mendasarkan kepada
premis bahwa kalau terdapat dua garis sejajar maka sudut a, 0, dan 7 yang dibentuk
kedua garis sejajar tersebut dengan garis ketiga adalah sama. Premis yang kedua
adalah bahwa jumlah sudut yang dibentuk oleh sebuah garis lurus adalah 180
derajat.
(Pre
mis
1)
(Premis 2)
Premis-Premis Dasar
Kedua premis itu kemudian kita terapkan dalam berfikir deduktif untuk
menghitung jumlah sudut-sudut dalam sebuah segi tiga. Dalam hal ini kita
melihat bahwa dalam segi tiga ABC kalau kita tarik garis p melalui titik A
yang sejajar dengan BC maka pada titik A terjadi tiga sudut yakni a,, a2, dan
a3 yang ketiga-tiganya membentuk suatu garis lurus. Mempergunakan premis
yang pertama maka kita bisa meng-ambil kesimpulan.
«3 = 0
demikian juga dengan premis yang pertama dapat disimpulkan
<*2 =7
sedangkan jumlah sudut-sudut dalam segi tiga ABC adalah 5 di mana
5 = «, + 0 + 7
Karena 0 = a3 dan 7 = a2 maka persamaan (3) dapat ditulis sebagai
5 = a, + a2 + a3
di mana 5 membentuk sebuah garis lurus. Sedangkan berdasarkan premis
kedua yang mengatakan bahwa jumlah sudut dalam sebuah garis lurus adalah
180° maka 5 , yang merupakan jumlah sudut-sudut dalam sebuah segi tiga,
adalah juga 180 derajat. Dengan
demikian maka secara deduktif dapat dibuktikan bahwa jumlah sudut-sudut
dalam sebuah segi tiga adalah 180 derajat. '
Jadi dengan contoh seperti di atas secara deduktif matematika menemukan pe-
ngetahuan baru berdasarkan premis-premis yang tertentu. Pengetahuan yang
ditemukan ini sebenarnya hanyalah merupakan konsekuensi dari pernyataan-
pernyataan ilmi'ah yang telah kita temukan sebelumnya. Meskipun "tak
pernah ada kejutan dalam logi-ka"4) namun pengetahuan yang didapatkan
secara deduktif ini sungguh sangat ber-guna dan memberikan kejutan yang
sangat menyenangkan. Dari beberapa premis yang telah kita ketahui
kebenarannya dapat diketemukan pengetahuan-pengetahuan lain-nya yang
memperkaya perbendaharaan ilmiah kita.
Perkembangan Matematika
Ditinjau dari perkembangannya maka iimu dapat dibagi dalam tiga tahap
yakni tahap sistematika, komparatif dan kuantitatif. Pada tahap sistematika
maka ilmu mulai menggolong-golongkan obyek empiris ke dalam kategori-
kategori tertentu. Penggo-longan ini memungkinkan kita untuk menemukan
ciri-ciri yang bersifat umum dari anggota-anggota yang menjadi kelompok
tertentu. Ciri-ciri yang bersifat umum ini merupakan pengetahuan bagi
manusia dalam mengenali dunia fisik. Dalam tahap yang kedua kita mulai
melakukan perbandingan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain,
kategori yang satu dengan kategori yang lain, dan seterusnya. Kita mulai
mencari hubungan yang didasarkan kepada perbandingan antara berbagai
obyek yang kita kaji. Tahap selanjutnya adalah tahap kuantitatif di mana kita
mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan
melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek yang sedang kita
selidiki. Bahasa verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang
pertama, namun dalam tahap yang ketiga pengetahuan membutuh-kan
matematika. Lambang-lambang matematika bukan saja jelas tetapi juga eksak
dengan mengandung informasi tentang obyek tertentu dalam dimensi-dimensi
pengukuran.
Di samping sebagai bahasa maka matematika juga berfungsi sebagai alat
berfikir. Ilmu merupakan pengetahuan yang mendasarkan diri kepada analisis
dalam menarik ke-simpulan menurut suatu pola berfikir tertentu. Matematika,
menurut Wittgenstein, tak lain adalah metode berfikir logis.5) Berdasarkan
perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin lama makin
rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam
perspektif inilah maka logika berkembang menjadi matematika, seperti
disimpulkan oleh Bertrand Russell, "matematika adalah masa kedewasaan lo-
gika sedangkan logika adalah masa kecil matematika"6)
Matematika pada garis besarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara
konsisten berdasarkan logika deduktif. Bertrand Russell dan Whitehead dalam
karya-nya yang monumental yang berjudul Principia Mathematica mencoba
membuktikan bahwa dalil-dalil matematika pada dasarnya adalah pernyataan
logika7) meskipun tidak seluruhnya berhasil. Pierre de Fermat (1601—1665)
mewariskan teorema yang terakhir*) yang merupakan "teka-teki (enigma)
yang menantang pemikir-pemikir matematik yang paling ulung" 8) dan tak
kunjung terpecahkan. Dia menyatakan bahwa xn + yn = zn dengan x, y, z dan
n adalah bilangan bulat positif, tidak mempunyai jawaban bila n > 2. Atau
dengan perkataan lain hanya bilangan 1 dan 2 yang meme-nuhi persyaratan
irii seperti 3< + 41 = 7l (penjumlahan biasa) dan 32 + 42 =? 52. Fermat sendiri
mengaku bahwa dia dapat membuktikan rumus ini namun disebabkan tempat
yang terbatas 9) (sic!) maka sayang sekali bukti itu tak dapat disampaikan-
nya.10) Sayang sekali memang mengapa Fermat tidak menyertakan
pembuktian rumus tersebul yang sampai sekarang tetap merupakan tantangan
bagi logika deduktif meskipun secara mudah dapat didemonstrasikan
kebenarannya. -
Memang tidak semua ahli filsafat setuju dengan pernyataan bahwa
matematika adalah pengetahuan yang bersifat deduktif. Immanuel Kant (1724-
1804) umpamanya berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan
sintetik a priori di mana ek-sistensi matematika tergantung kepada dunia
pengalaman kita.11) Namun pada dasar-nya dewasa ini orang berpendapat
bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat rasional yang
kebenarannya tidak tergantung kepada pembuktian secara empi-ris.
Perhitungan matematika bukanlah suatu eksperimen,12) kata Wittgenstein,
sebuah pernyataan matematika tidaklah mengekspresikan produk fikiran
(tentang obyek yang faktual).13) Selanjutnya Wittgenstein membuktikan
bahwa 2x2=4 merupakan suatu proses deduktif dengan penalaran sebagai
berikut:14)
(n3)m3X = nPx^3XDef., ft2x2'x = (J22)2'X = (a2)1 + VX
= si2'ft2 'x = nl -1 'n1 +1 'x = (ft'J2)'(ftwx
= n'n'ft'n'x = n1 +1 +1 +1 'x = n4 'x.
Suatu hari seorang anak kecil disuruh ayahnya membeli sebungkus korek api
dengan pesan agar tidak terkecoh mendapatkan korek api yang jelek. Tidak
lama kemudian anak kecil itu datang kembali dengan wajah yang berseri-seri,
menyerahkan kotak korek api yang kosong, dan berkata: "Korek api ini benar-
benar bagus, pak, semua batangnya telah saya coba dan ternyata menyala."
Tak seorang pun, saya kira, yang bisa menyalahkan kesahihan proses
penarikan kesimpulan anak kecil itu, namun bila semua pengujian dilakukan
seperti ini lalu bagaimana nasib tukang duren? Demikian juga halnya dengan
orang yang kecanduan lotere, bertanya pada angin dan rumput-rumput yang
bergoyang: "Bagaimana caranya memenangkan Nalo? Pertanyaan yang rumit
ini jawabanya ternyata sangat sederhana: beli saja semua karcis lotere. Namun
bukan dengan jalan membeli semua karcis lotere itu, tentu saja, yang
menyebabkan orang tidak henti-hentinya berfikir bagaimana caranya
memenangkan perjudian yang berdasarkan untung-untungan ini. Kita lihat di
pinggir-pinggir jalan para1 "ahli matematika kakilima" menguraikan rumus-
rumusnya dalam meramalkan nomor yang akan menang: campuran antara
metafisika, astrologi, astral dan 1001 omongkosong (serta banyak lagi dalil-
dalilnya termasuk sistem analisis dan input-output Leontief).
Sekitar tahun 1654, seorang ahli matematika amatur, Chevalier de Mere,
rneng-ajukan beberapa permasalahan mengenai judi semacam ini kepada
seorang ahli matematika Perancis, Blaise Pascal (1623 — 1662). Pascal,
seorang Junius dalam bidang matematika, dalam umur 16 tahun telah
menghasilkan karya-karya ilmiah yang me-ngagumkan; *) dan Descartes
(1596-1650) pernah dikatakan tidak percaya bahwa karya-karya tersebut
dihasilkan oleh anak semuda itu.1) Pascal tertarik dengan permasalahan yang
berlatar belakang judi ini dan kemudian mengadakan korespondensi dengan
ahli matematika Perancis lairinya Pierre de Fermat (1601-1665), dan keduanya
mengembangkan cikal bakal teori peluang. Dikisahkan bahwa Descartes,
ketika mem-pelajari hukum di Universitas Poitiers antara tahun 1612 sampai
1616, juga bergaul dengan teman-teman yang suka berjudi, namun Descartes
kebanyakan menang karena dia pandai menghitung peluang. 2) Pendeta
Thomas Bayes pada tahun 1763 mengembangkan teori peluang subyektif
berdasarkan kepercayaan (tentu saja, pendeta!) seseorang akan terjadinya
suatu kejadian. Teori ini berkembang menjadi cabang khusus dalam statistika
sebagai pelengkap teori peluang yang bersifat pbyektif. *)
Peluang yang merupakan dasar dari teori statistika, merupakan konsep baru
yang tidak dikenal dalam pemikiran Junani Kuno, Romawi dan bahkan Eropa
dalam abad pertengahan. Teori mengenai kombinasi bilangan sudah terdapat
dalam aljabar yang dikembangkan'sarjana Muslim namun bukan dalam
lingkup teori peluang. Begitu dasar-dasar peluang ini dirumuskan maka
dengan cepat bidang telaahan ini berkembang.3)
Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah
dalain suatu populasi tertentu. Abraham Demoivre (1667-1754)
mengembangkan teori galat atau kekeliruan. (theory of error). Pada tahun
1757 Thomas Simpson menyimpulkan bahwa terdapat suatu distribusi yang
malar (continuous distribution) dari suatu variabel dalam suatu frekuensi yang
cukup banyak. Pierre Simon de Laplace (1749-1827) mengembangkan konsep
Demoivre dan Simpson ini lebih lanjut dan menemukan distribusi normal;
sebuah konsep yang mungkin paling umum dan paling banyak dipergunakan
dalam analisis statistika di samping teori peluang. Distribusi lain, yang tidak
berupa kurva normal, kemudian ditemukan Francis Galton (1922-1911) dan
Karl Pearson (1857-1936).
Teknik kuadrat terkecil {least squares), simpangan baku dan galat baku untuk
rata-rata (the standard error of the mean) dikembangkan oleh Karl Friedrich
Gauss (1777-1855). Pearson melanjutkan konsep-konsep Galton dan
mengembangkan konsep regresi, korelasi, distribusi chi-kuadrat dan analisis
statistika untuk data kualitatif di samping menulis buku The Grammar of
Science sebuah karya klasik yang terkenal dalam falsafah ilmu. William
Searly Gosset (1876-1947), terkenal dengan nama sa-maran "Student"
mengembangkan konsep tentang pengambilan cuplikan (sample). Desain
eksperimen dikembangkan oleh Ronald Aylmer Fisher (1890-1962) di
samping analisis varians dan kovarians, distribusi-z, distribus'-t, uji signifikan
dan teori tentang perkiraan (theory of estimation).
Demikianlah, statistika yang relatif sangat muda dibandingkan dengan
matematika, berkembang dengan sangat cepat terutama dalam dasawarsa lima
puluh tahun be-lakangan ini. Penelitian ilmiah, baik yang berupa survei
maupun eksperimen, dilaku-kan dengan lebih cermat dan teliti
mempergunakan teknik-teknik statistika yang di-perkembangkan sesuai
dengan kebutuhan. Di Indonesia sendiri kegiatan yang sangat meningkat
dalam bidang penelitian, baik merupakan kegiatan akademik maupun untuk
pengambilan keputusan, memberikan momentum yang baik untuk pendidi-kan
statistika. Pengajaran falsafah ilmu di beberapa perguruan tinggi, terutama
pada pendidikan pasca sarjana, memberikan landasan yang lebih jelas lagi
tentang hakekat dan peranan statistika. Dengan memasyarakatnya berfikir
ilmiah, mungkin tidak terlalu berlebihan apa yang dikatakan oleh H.G. Wells
bahwa suatu hari berfikir statis-tiks akan merupakan keharusan bagi manusia
seperti juga membaca dan menulis. Asalkan ingat saja pada banyolan
Alexandre Dumas (1824-1895): Awas-awas, Iho, semua generalisasi adalah
berbahaya, termasuk pernyataan ini!
Statistika dan Cara berfikir Induktif
Ilmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah
teruji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah adalah bersifat factual, dan
subjektif.
nya dapat diuji baik dengan jalan mempergunakan pancaindera, maupun
dengan mem-pergunakan alat-alat yang membantu pancaindera tersebut.4)
Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode
ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Kalau
kita telaah lebih dalam maka pengujian merupakan suatu proses pengumpulan
fakta yang relevan dengan hipotesis yang dia-jukan. Sekiranya hipotesis itu
didukung oleh fakta-fakta empiris maka pernyataan hipotesis tersebut diterima
atau disyahkan kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut bertentangan
dengan kenyataan maka hipotesis itu ditolak.
Pengujian mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum
dari kasus-kasus yang bersifat individual. Umpamanya jika kita ingin
mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di sebuah tempat maka
nilai tinggi rata-rata yang dimaksudkan itu merupakan sebuah kesimpulan
umum yang ditarik dari kasus-kasus anak umur 10 tahun di tempat itu. Jadi
dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif. Di pihak
lain maka penyusunan hipotesis merupakan penarikan kesimpulan yang
bersifat individual dari pernyataan yang bersifat umum dengan
mempergunakan deduktif.Kedua penarikan kesimpulan ini tidak sama dan
tidak boleh dicampuradukan. Logika deduktif berpaling kepada matematika
sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulannya sedangkan logika induktif
berpaling kepada statistika. Statistika merupakan pengetahuan untuk
melakukanpenarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.
Penarikan kesimpulan induktif pada hakekatnya berbeda dengan penarikan ke-
simpulan secara deduktif. Dalam penalaran deduktif maka kesimpulan yang
ditarik adalah benar sekiranya premis-premis yang dipergunakannya adalah
benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah. Sedangkan dalam
penalaran induktif meskipun peremis-premisnya adalah benar dan prosedur
penarikan kesimpulannya adalah sah maka kesimpulan itu belum tentu benar.
Yang dapat kita katakan adalah bahwa kesimpulan itu mempunyai peluang
untuk benar. Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita
untuk menghitung tingkat peluang ini dengan eksak.5)
Penarikan kesimpulan secara indutktif menghadapkan kita kepada sebuah per-
masalahan mengenai banyak kasus yang harus kita amati untuk sampai kepada
suatu kesimpulan yang bersifat umum. Jika kita ingin mengetahui berapa
tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia, umpamanya, lalu
bagaimanakah caranya kita me-ngumpulkan data untuk sampai pada
kesimpulan tersebut? Tentu saja dalam hal ini maka hal yang paling logis
adalah dengan jalan melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh
anak umur 10 tahun di Indonesia. Pengumpulan data seperti ini tak diragukan
lagi akan memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata anak tersebut di
negara kita. Namun kegiatan seperti ini menghadapkan kita kepada masalah
lain yang tak kurang rumitnya, yakni kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya
kegiatan seperti itu membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu yang banyak
sekali. Sensus yang mempunyai arti sangat peqting dalam sejarah
kemanusiaan, namun mungkin kurang dikenal sebagai kejadian yang
mempunyai arti dalam perkembangan statistik adalah sensus penduduk yang
dilakukan penguasa Romawi, yang menyebabkan Jusuf dan Maria harus
pindah ketempat kelahirannya di mana kemudian Jesus Kristus dila-hirkan.
Dapat dibayangkan betapa kegiatan pengujian hipotesis akan mengalami
hambatan yang sukar dapat diatasi sekiranya proses pengujian tersebut harus
dilakukan dengan pengumpulan data seperti itu. Hal ini akan menjadikan
kegiatan ilmiah menjadi sesuatu yang sangat mahal yang mengakibatkan
penghalang bagi kemajuan bidang keilmuan.
Untunglah dalam hal ini statistika memberikan sebuah jalan ke luar. Statistika
memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum
dengan jalan mengamati hanya sebagian daripcpulasi yang bersangkutan. Jadi
untuk mengetahui tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia kita tidak
melakukan pengukuran terhadap seluruh anak yang berumur tersebut di
seluruh Indonesia, namun cukup hanya dengan jalan melakukan pengukuran
terhadap sebagian anak saja. Tentu saja penarikan kesimpulan seperti ini, yang
ditarik berdasarkan cuplikan (sample) dari po-pulasi yang bersangkutan, tidak
selalu akan seteliti kesimpulan yang ditarik berdasarkan sensus yakni dengan
jalan mengamati keseluruhan populasi tersebut. Namun bu-kankah dalam
penelaahan keilmuan yang bersifat pragmatis, di mana teori keilmuan tidak
ditujukan ke arah penguasaan pengetahuan yang bersifat absolut, sesuatu yang
tidak mutlak teliti namun dapat dipertanggungjawabkan adalah sudah
memenuhi syarat?
Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesim-
pulan yang ditarik tersebut, yang pada pokoknya didasarkan pada asas yang
sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil maka makin tinggi
pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Sebaliknya makin sedikit contoh
yang diambil maka makin rendah pulatingkat ketelitiannya. Karakteristik ini
memungkinkan kita untuk dapat memilih dengan seksama tingkat ketelitian
yang dibutuhkan sesuai dengan hakekat permasalahan yang dihadapi. Tiap
permasalahan membutuhkan tingkat ketelitian yang berbeda-beda. Sekiranya
kita ingin mengoperasi otak manusia maka kesala-han beberapa milimeter saja
dalam memotong jaringan yang sangat peka tersebut mungkin akan berakibat
fatal. Pengetahuan kita mengenai jaringan tersebut haruslah bersifat seteliti
mungkin sebab kesalahan yan sedikit saja akan menyebabkan kerugian yang
sangat besar. Namun hal ini tidak demikian halnya bila kita bandingkan
dengan persoalan kita di atas mengenai tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di
Indonesia. Selisih berapa sentimeter dari tinggi rata-rata yang sebenarnya
mungkin tidak akan berarti banyak seperti halnya dengan pembedahan otak
tersebut di atas.
Statistika juga memberikan kemampuan kepada kita untuk mengetahui apakah
suatu hubungan kesulitan antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau
memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris.
Umpamanya saja kita melakukan pemupukan terhadap sejumlah rumpun padi.
Berdasarkan teori yang hipotesisnya sedang kita uji maka secara logis batang
padi yang dipupuk seharusnya bertambah tinggi. Namun bila kita teliti batang
padi yang tidak dipupuk maka mungkin saja beberapa batang diantaranya juga
akan bertambah tinggi disebabkan oleh hal-hal di luar pemupukan tersebut.
Hal ini bisa disebabkan oleh kesuburan tanah yang dit umbuhi batang tersebut
agak berlainan dengan tanah di sekitarnya, atau mungkin juga batang pagi
tersebut mempunyai karakteristik genetik tersendiri meskipun bera-sal dari
species yang sama dengan rumpun padi lainnya, atau mungkin juga
disebabkan berbagai-bagai hal lainnya yang berada di luar hubungan kasalita
antara tinggi batang padi dan pemupukan. Atau dengan perkataan lain, bisa
saja terjadi bahwa hubungan antara tinggi batang padi dengan pemupukan
tersebut hanya terjadi secara kebetulan saja. Pengamatan secara sepintas lalu
sering memberikan kesan kepada kita terdapatnya suatu hubungan kasualita
antara beberapa faktor, di mana kalau kita teliti lebih lanjut ternyata hanya
bersifat kebetulan. Jadi dalam hal ini statistika berfungsi meningkatkan
ketelitian pengamatan kita dalam menarik kesimpulan dengan jalan menghin-
darkan hubungan semua yang bersifat kebetulan.
Terlepas dari semua itu maka dalam penarikan kesimpulan secara induktif
keke-liruan memang tak bisa dihindarkan. Dalam kegiatan pengumpulan data
kita terpaksa mendasarkan ciri kepada berbagai alat yang pada hekekatnya
juga tidak terlepas dari cacat yang berupa ketidakterlitian dalam pengamatan.
Pancaindera manusia sendiri I tidak sempurna yang bisa mengakibatkan
berbagai kesalahan dalam pengamatan kita. Demikian juga dengan alat-alat
yang dipergunakan,semua tak ada yang sempurna. Kegiatan pengamatan
pancaindera manusia dengan mempergunakan berbagai alat jelas t mengarah
kepada ketidak terlitian dalam penarikan kesimpulan. Di atas semua ini
statistika memberikan sifat yang pragmatis kepada penelaahan keilmuan; di
mana dalam kesadaran bahwa suatu kebenaran absolut tidak mungkin dapat
dicapai, kita berpendirian bahwa suatu kebenaran yang dapat
dipertanggungjawabkan dapat di-peroleh.
Penarikan kesimpulan secara statistik memungkinkan kita untuk melakukan
kegiatan ilmiah secara ekonomis, hal yang tanpa statistika tak mungkin dapat
dilakukan. Atau di pihak lain, kita melakukan penarikan kesimpulan induktif
secara tidak syah, dengan mengacaukan logika induktif dengan logika
deduktif. Karakteristik yang dipunyai statistika ini sering kurang dikenali
dengan baik yang menyebabkan orang sering melupakan pentingnya statistika
dalam penelaahan keilmuan. Logika lebih banyak dihubungkan dengan
matematika dan jarang sekali dihubungkan dengan statistika, padahal hanya
logika deduktif yang berkaitan dengan matematika sedangkan logika induktif
justru berkaitan dengan statistika. Hal ini menimbulkan kesan seakan fungsi
matematika lebih tinggi dibandingkan dengan statistika dalam penelaahan ke-
ilmuan. Secara hakiki statistika mempunyai kedudukan yang sama dalam
penarikan kesimpulan induktif seperti matematika dalam penarikan
kesimpulan secara deduktif. Demikian juga penarikan kesimpulan deduktif
dan induktif keduanya mempunyai kedudukan yang sama pentingnya dalam
penelaahan keilmuan. Pada satu pihak, jika kita terlalu mementingkan logika
deduktif maka kita terjatuh kembali kepada paham rasionalisme, sebaliknya di
pihak lain, jika kita terlalu mementingkan logika induktif maka kita mundur
kembali kepada empirisme. Ilmu dalam perkembangan sejarah Deradaban
manusia telah menggabungkan kedua pendekatan ini dalam bentuk metode
lmiah yang mendasarkan diri kepada keseimbangan ini maka harus dijaga pula
kese-mbangan antara pengetahuan tentang matematika dan statistika ini.
Untuk itu pen-lidikan statistika harus ditingkatkan agar setaraf dengan
matematika, Peningkatan ni bukan saja mencakup aspek-aspek teknis namun
lebih penting lagi mencakup pe-igetahuan mengenai hakekat statistika dalam
kegiatan metode ilmiah secara keseluru-lan. Pendidikan statistika, menurut
Ferguson, pada hakekatnya adalah pendidikan ialam metode ilmiah. 6)
HAKEKAT REALITAS
Dalam gambaran konvensional tentang ilmu, khususnya dalam uraian
mengenai ilmu sebagai proses, dikatakan di atas bahwa pemahaman (akan
alam) itu . . . apa adanya. Tetapi bisakah kita, melalui ilmu, sampai kepada
hakekat alam sebagaimana adanya?
Sepotong batu adalah sesuatu yang nyata, bukan khayalan. Batu, kata Hanbury
Brown, adalah bongkahan zat padat yang ! em bam dan tegar, yang jika
dilemparkan ke jendela kaca akan memecahkan kaca tersebut. Apakah ini
berarti bahwa kita telah memahami sepenuhnya hakekat sepotong batu?
Menurut ilmu (Fisika Modern) di dalam batu itu sebagian besar kosong,
karena inti-inti atom yang menyusun molekul-molekul-nya relatif kecil sekali,
dan jarak antara inti-inti itu dengan elektron yang mengendarai-nya relatif
bukan alang kepalang Jauhnya. Ruang kosong itu hanya berisi apa yang di-
sebut fluktuasi vakum dan zarah-zarah virtual. Inti-inti atom dan eiektron-
elektron itu kadang-kadang berperilaku sebagai zarah, tetapi kadang-kadang
juga sebagai gelombang (dualisme/komplementaritas zarah-gelombang), dan
terdiri atas entitas-entitas lain yang misterius yang disebut kuark (quark). Jadi
meskipun batu itu lembam dan jika dilemparkan akan menempuh lintasan
yang bisa diramalkan dengan mekanika Newton atau, kalau kurang teliti,
dengan Teori Kenisbian Umum-nya Einstein, namun kualitas sederhana
seperti kelembaman (inertia) itu sendiri rupanya masih penuh rahasia.
Jelaslah, bahwa konsep kita tentang batu yang nyata itu tak lain daripada suatu
abstraksi yang didasarkan pada sifa-sifat batu yang kita peroleh dari
pengalaman kita sehari-hari dalam meiihat dan merasakan batu. Pengertian itu
hanyalah semacam ibarat, yang menggambarkan sesuatu yang lebih mendasar,
lebih rumit dan pada dasarnya misterius. Jadi keseluruhan gambaran keilmuan
kita tentang dunia dapat kita pan dang sebagai semacam kiasan yang
melukiskan dan menghubungkan abstraksi yang kita buat dengan realitas yang
(mungkin tak-berhingga) kompleks. Abstraksi-abstraksi ini sifat-nya terbatas
dan kita pilih. Terbatas, karena teori kita dan peranti-peranti pengamatan kita
terbatas kemampuannya, dan terpilih karena bagaimana pun kita tak bisa
membe-baskan kegiatan kita (termasuk kegiatan-keilmuan yang membuahkan
ilmu) dari nilai-nilai kita. Dengan kata lain, pemahaman kita akan realitas tak-
bisa-tidak dan mau-tak-mau serantisa tak lengkap dan sifatnya "janggelan"
(provisional).
Lebih-lebih lagi kalau kita sadari bahwa apa yang kita amati, dan karenanya
juga hasil pengamatan kita itu, sedikit banyak juga selalu dipengaruhi oleh
pengamatan kita. Hal ini jelas bukan saja dalam pengamatan perilaku manusia
(pemeriksaan pasien oleh psikologiwan, pengamatan guru-pamong atas
penampilan mahasiswa dalam praktek mengajar, dan sebagainya), tetapi
bahkan di bidang Fisika Inti dan Zarah-Zarah Ke-unsuran pengaruh
pengamatan pada yang diamati itu tak bisa lagi dihindari (Asas
Ketakpastian/Principle of Uncertainty, Wehner Heisenberg).
PENGETAHUAN
Dalam uraian di bawah ini akan kita renungkan lebih lanjut apa-apa yang di
muka telah kita sebut dengan nama "pengetahuan". Konsekuensi penerimaan
takrif (definisi) "ilmu" kita ialah, bahwa semua buah fikiran dan pemahaman
kita tentang dunia, yang kita peroleh tanpa melawati daur hipotetiko-dedukto-
verifikatif, adalah bukan ilmu. Itu semua kita namakan "pengetahuan''. Jadi
pengetahuan yang sifatnya dogmatis, atau terlampau banyak mengandung
spekulasi sehingga tak lagi berpijak pada kenyataan empiris, adalah bikan
ilmu.
Salah satu ciri teori keilmuan ialah bahwa ia berdaya-ramai (prediktif).
Namun, kendati sama-sama bergerak di bidang ramal-meramal, "ramalan
bintang Anda" atau "ramalan buntut SSB (sumbangan sosial berhadiah)"
adalah bukan ilmu. Sebutlah itu "Pengetahuan", kalau mau, tetapi bukan ilmu.
Sebaliknya, ramalan cuaca merupakan bagian ilmu, yakni Ilmu Cuaca atau
Meteorologi. Nujum spekulatif bahwa dunia akan kiamat pada tahun 2001,
misalnya, jelas bukan ilmu. Tetapi teori tentang "lubang hitam" (black hole),
atau skenario futurologiwan tentang keadaan dunia apabila bahan-bakar fossil
sudah terkuras habis dan bukan bahan bakar nuklir (fissil dan fertil).
melainkan tenaga surya. yang kita manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
kita akan energi, bisa memenuhi patokan ilmu, meskipun juga spekulatif
karena penyahihannya belum secara tuntas dapat dilakukan.
Jadi yang penting bukan hanya penyahihannya, melainkan juga cara pelintasan
bagian-bagian lain dari daur hipotetiko-dedukto-varifikatif. Pengimbasan,
yang perlu untuk menurunkan andaian-andaian dasar, harus berRijak di dunia
fakta, entah lewat pengalaman bawah-sa'dar, atau pengamatan yang dilakukan
secara sengaja, atau berkat inspirasi yang "tiba-tiba" membersit dari khazanah
data dan hasil perenungan yang ada dalam fikiran kita. Penjabaran juga harus
merupakan rentetan pemikiran yang logis-matematis dan konsisten. Ia
bertolak dari hipotesis dan/atau postulat, berkulmi-nasi dalam bangunan teori
yang koheren, dan berakhir pada ramalan-ramalan yang dalam penyahihannya
nanti harus sesuai dengan fakta eksperimental. Di atas telah dikatan, bahwa
"ilmu" perlu dibedakan dari "pengetahuan". Tidak dikatakan bahwa "ilmu"
(kalau pun bisa) dipisahkan dari "pengetahuan", -apalagi disiratkan seakan-
akan "pengetahuan" itu tak penting. Kita sependapat dengan fisikawan V.
Weisskopf,2) pengubah pemain-pemimpin musik L. Bernstein3) dan filsuf
C.A. van Peursen,4) bahwa ilmu itu, meskipun amat berguna, adalah terbatas.
Ilmu tak mampu memberikan pemahaman yang lengkap-menyeluruh tentang
hakekat alam dan pengalaman nara (human experience). Bahkan segi-segi
pengalaman nara yang dapat dijelaskan oleh ilmu justru bukan aspek yang
paling penad (relevant) dan bermakna (significant). Karena itu kita
memerlukan disiplin dan penghampiran-penghampiran (approaches) lain,
seperti yang ditempuh dalam filsafat, aesteika, ethika dan agama, misalnya,
dalam usaha kita memahami hakekat alam dan keberadaan kita.
Dalam proses penjabaran (deduksi), yang bisa bsrlangsung semata-mata di
dunia penalaran, terjadi abstraksi. Dalam proses abstraksi yang berkelanjutan,
semakin jauh jarak teori dari realitas, agar proses itu bisa mengendalikan
peristiwa-peristiwa dengan lambang-lambang yang diciptakan secara
keilmuan. Formalisasi logis ini memuncak dalam ilmu-ilmu yang
memproyeksikan struktur-struktur realitas yang mungkin, tanpa menoleh lagi
ke obyek-obyek yang konkret. Dalam artian ini, Matematika Murni mungkin
tak pantas disebut "ilmu", meskipun sebagai "bahasa" atau "alat" mungkin ia
(pada suatu waktu kelak) bisa sangat berguna bagi pengembangan ilmu.
TEKNOLOGI
Telah diterangkan di muka apa yang disebut ilmu dasar (basic science,
fundamental science). Walaupun sangat penting, kini ilmu dasar hanya
merupakan bagian yang kecil saja dari keseluruhan kegiatan keilmuan. Dana
yang dijatahkan bagi pengambang-an ilmu dasar di seluruh dunia dewasa ini
kurang dari 5% biaya total yang disediakan bagi kemajuan ilmu.
Di samping ilmu dasar kita kenal ilmu terapan (applied science). Tujuan
kegiatan keilmuan dalam ilmu terapan bukannya demi kemajuan ilmu itu
seniri, melainkan untuk memecahkan masalah-masalah praktis dan mengatasi
kesulitan-kesulitan yang dihadapi manusia. Jadi berbeda dari ilmu dasar, yang
tujuannya adalah untuk mengetahui iebih banyak dan memahami lebih
mendalam tentang alam dan segenap isinya. Hasil-hasil yang telah dicapai
ilmu dasar menawarkan kepada kita sederetan alternatif. Adalah tugas ilmu
terapan untuk memilih dari antara alternatif-alternatif ini, yang mana yang
bisa dipakai untuk memecahkan persoalan praktis dalam masyarakat.
Hasil-hasil kegiatan ilmu terapan itu masih harus dialihragamkan
(ditransformasi-kan) menjadi bahan, atau peranti, atau prosedur, atau teknik
pelaksanaan sesuatu proses pengelolaan atau produksi. Transformasi ini
biasanya disebut kegiatan pengembangan (development). Di dalamnya
termasuk perancangan industri (industrial design), yakni mencari jalan pintas
yang paling efisien dan paling murah serta paling aman untuk melaksanakan
produksi massal dari produk (bahkan atau peranti) yang protb-tipenya
merupakan hasil-hasil kegiatan ilmu terapan. Tindaklanjut dan hasil kegiatan
pengembangan adalah teknologi. Jadi, teknologi bisa dipandang sebagai
penerapan ilmu. Kemana arah dan terhadap apa atau siapa penerapan itu
dikenakan, amat tergantung pada kepentingan si penguasa teknologi itu dan
nilai-nilai moral ethikanya.
Jika teknologi itu diabdikan bagi kesejahteraan umat manusia dan terciptanya
masyarakat yang adil, partisipatif dan lestari, teknologi itu amat tinggi nilai
dan man-faatnya. Dalam artian ini, ilmu yang melahirkan teknologi, jelas
sangat dibutuhkan manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti
masalah pangan, energi, kesehatan dan sebagainya. Karena itu ilmu bisa
memainkan peranan yang positif, - juga untuk masa depan. Penolakan ilmu,
seperti yang dilakukan oleh gerakan-gerakan anti kebu-dayaan (counter
culture movements)5) atau beberapa kecendemngan Tradisionalisme Timur,
akan mendatangkan malapetaka bagi masyarakat manusia. Sebaliknya, di
tangan binatang ekonomi yang rakus dan tak segan-segan mengkesploitasi
sesamanya manusia, atau dalam penguasaan kaum militer yang gila perang,
ilmu dan teknologi merupakan ancaman yang amat menakutkan.
Seperti dikatakan oleh Francis Bacon, ilmu adalah kekuasaan. Dan kalau ilmu
adalah kekuasaan, maka teknologi merupakan alat kekuasaan itu. Kekuasaan
ilmu dan teknologi itu adalah atas manusia, atas kebudayaan dan atas alam.
Kaitan ilmu dan moral merupakan kontroversi yang tak pernah kunjung
padam. Gejala ini menyebabkan kekacauan dan salah tafsir mengenai hakekat
keilmuan serta "kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap ilmuwan".1)
Menurut hemat saya, kontroversi yang berkepanjangan ini disebabkan oleh
dua hal: pertama, kaitan antara ilmu dan moral dibahas dari segi yang terlalu
umum, yakni dari segi generik ilmu dan moral tersebut, dan bukan dari unsur-
unsur atau komponen-komponen yang membentuknya; kedua, pembahasan
tidak memperhatikan faktor sejarah dalam pengkajiannya. Makalah ini
bermaksud untuk membahas kaitan antara ilmu dan moral dengan
memperhitung-kan kedua faktor termaksud dan mempelajari implikasinya
dalam perspektif sosial dan politik.
Ilmu dan Moral
Kaitan antara ilmu dan moral telah lama menjadi bahan pembahasan para
pemikir, antara lain Merton,2) Popper,3) Polanyi,4) Barber,s) Ravetz,6)
Bridgman,7) Russell,8) Jones9) Richter.10)
Ilmuwan Indonesia sendiri yang mempelajari permasalahan antara ilmu dan
moral tersebut antara lain adalah Wilardjo11), Daldjoeni12), Slamet Iman
Santosol3)dan Suria-sumantri.14)
Ilmu dan moral keduanya termasuk ke dalam genus pengetahuan yang mem-
punyai karakteristik masing-masing. Tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga
komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang
disusunnya. Komponen tersebut adalah ontologi, epistemologi dan'aksiologi.
Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas/ruang lingkup ujud yang
menjadi obyek penelaahan (obyek onto-logis atau obyek formal dari
pengetahuan) serta penafsiran tentang hakekat realitas (metafisika) dari obyek
ontologis atau obyek formal tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai
cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu
tubuh pengetahuan. Aksiologi merupakan asas dalam menggunakan
pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan
tersebut.
Agar mendapatkan pengertian yang jelas mengenai kaitan antara ilmu dan
moral maka sebaiknya pengkajian mengenai hal tersebut didekati secara
terperinci dari ketiga komponen tadi. Sebab pernyataan yang bersifat umum
seperti "ilmu adalah netral" atau "ilmu tidak terbebas dari nilai" bisa
menyesatkan dan hanya bisa ditafsirkan dengan benar sekiranya dikaitkan
dengan aspek atau komponen keilmuan tertentu. Inilah yang menyebabkan
kontroversi yang berlarut-larut mengenai kaitan antara ilmu dan moral. Kedua
pernyataan tersebut di atas yang kelihatannya bertentangan dan menjadi dasar
argumentasi dari dua kutub (aliran) yang berlawanan, yakni bahwa "ilmu
.adalah netral" atau "ilmu tidak terbebas dari nilai", sebenarnya dapat diper-
temukan sekiranya dilihat dalam lingkup yang tepat. Untuk itulah maka
pembahasan mengenai kaitan antara ilmu dengan moral akan didekati secara
lebih terperinci dari segi ontologi, epistemologi dan aksiologi keilmuan.
Pendekatan Ontologis
Secara ontologis maka ilmu membatasi lingkup p^aelaahan keilmuanny1!
hanya pada daefah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman
manuMa. Obyek penelaahan yang berada dalam batas pra-pengalaman (seperti
penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti surga dan neraka)
diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu
pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah
kehidupan dalam batas-batas ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas
penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas
epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris
dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar
secara ilmiah.
Aspek kedua dari ontologi keilmuan adalah penafsiran tentang hakekat
.reajjjas dari obyek ontologis keilmuan sebagaimana disebutkan diatas.
Penafsiran metafisik keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik obyek
ontologis sebagaimana adanya (das Sein) dengan deduksi-deduksi yang dapat
diverifikasi secara fisik. Ini berarti bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari
nilai-nilai yang bersifat dogmatik. Galileo (1564-1642) menolak dogma
agama bahwa "matahari berputar mengelilingi bumi" sebab pernyataan
tersebut tidak sesuai dengan kenyataan faktual sebagaimana diteniukan oleh
Copernicus (1473-1543). Pengadilan terhadap Galileo oleh penguasa agama
pada musim dingin tahun 1633 merupakan tonggak historis dari itikad
keilmuan untuk membebafy kan ilmu dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik
dari mana pun datangnya. Hal ini bukan berarti bahwa ilmu menolak nilai-
nilai yang berkembang dalam kehidupan, namun sifat dogmatik itulah yang
secara asasi ditentang. Suatu pernyataan diterima sebagai premis dalam
argumentasi ilmiah hanya setelah melalui pengkajian/penelitiah berdasarkan
epsitemologi keilmuan. Nilai budaya gotong royong umpanya secara hipotetis
bisa berlaku sebagai asumsi tentang manusia dalam kegiatan manajemen bagi
sub-kultur tertentu di Indonesia. Untuk mensahihkan kebenaran pernyataan
tersebut maka langkah pertama adalah melakukan penelitian untuk penguji
konsekuensi deduk-tifnya secara empiris, sejalan dengan apa yang dikatakan
Einstein: "Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta apa pun juga
teori yang disusun di antara keduanya."15)
Metafisika keilmuan yang berdasarkan kenyataan sebagaimana adanya (das
Sein) menyebabkan ilmu menolak premis moral yang bersifat seharusnya (das
Sollen). Ilmu justru merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan alat untuk
mewujudkan tujuan-tujuan yang mencerminkan das Sollen dengan jalan
mempelajari das Sein agar dapat menjelaskan-meramalkan-mengontrol gejala
alam. Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke
dalam argumentasi ilmiah akan mendorong ilmu surut ke belakang ke zaman
pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlang-sungnya Inkuisisi a la
Galileo pada zaman modern. Namun hal ini jangan ditafsirkan bahwa dalam
menelaah das Sein ilmu terlepas sama sekali dari das Sollen; dari bagan di
sebalik dapat dilihat bahwa dari 18 asas moral yang terkandung dalam
kegiatan keilmuan maka 17 di antaranya bersifat das Sollen.
Dari 17 asas moral tersebut maka terdapat 3 asas yang terkait dengan aspek
pemilihan obyek penelaahan ilmiah secara etis. Kaidah moral ini menyebutkan
bahwa dalam menetapkan obyek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh
melakukan upaya yang bersifat merubah kodrat manusia, merendahkan
martabat manusia dan mencampuri permasalahan kehidupan. Dengan
demikian maka ilmu menentang per-cobaan mengenai genetika (genetic
engineering) sebab bersifat merubah kodrat manusia, percobaan untuk
mengontrol kelakuan manusia (behavioral/social engineering) sebab
merendahkan martabat manusia dan menentang percobaan untuk membentuk
species baru sebab mencampuri masalah kehidupan.
Pendekatan Aksiologis
Konsisten dengan asas moral dalam pemilihan obyek penelaahan ilmiah maka
penggunaan pengetahuan ilmiah mempunyai asas moral tertentu pula. Pada
dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan
manusia. Dalam hal ini maka ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat
dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat
manusia, martabat manusia dan keles-tarian/keseimbangan alam. Salah satu
alasan untuk tidak mencampuri masalah kehidupan secara ontologis adalah
kekhawatiran bahwa hal ini akan mengganggu kese-imbangan kehidupan.
Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh
dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti
bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap
orang berhak memanfaat -
kan ilmu menurut kebutuhannya, sesuai dengan asas komunisme. Universal
berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi parokial seperti ras, ideologi
atau agama. "Ilmu Russia atau ilmu Arya," meminjam perkataan Barber,
"merupakan sesuatu yang dibenci ilmu (abhorrent)."16)
Pendekatan Epistemologis
Landasan epistemologi ilmu te.rcermin secara operasional dalam metoda
ilmiah. Pada dasarnya metoda ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan
menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan: (a) kerangka pemikiran yang
bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan
sebelumnya yang telah berhasil disusun; (b) menjabarkan hipotesis yang
merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut dan (c) melakukan
verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran
pernyataannya secara faktual. Secara akronim metode ilmiah terkenal sebagai
logico-hypothetico-verifikatif atau deducto-hypothetico-verifikatif.
Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional
dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara
empiris berarti evaluasi secara obyektif dari suatu pernyataan hipotetis
terhadap kenyataan faktual. Verifikasi ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk
kebenaran lain selain yang terkandung dalam hipotesis (mungkin fakta
menolak pernyataan hipotesis). Demikian juga verifikasi faktual membuka diri
terhadap kritik terhadap kerangka pemikiran yang men-dasari pengajuan
hipotesis. Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru
mempunyai sifat pragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus)
berdasarkan cara berfikir kritis. Keterbukaan ini merupakan sistem umpan
balik korektif yang di-tunjang dengan cara berfikir kritis yang disebut Merton
sebagai "skeptisisme terorgani-sasi."17) Artinya cara berfikir ilmiah dimulai
dengan sifat skeptis terhadap kebenaran sampai kesahihan kebenaran tersebut
dibuktikan lewat prosedur keilmuan. Cara berfikir ini bcrbeda dengan modus
yang dimulai dengan sikap percaya seperti terdapat umpamanya dalam agama.
Di samping sikap moral yang secara implisit terkait dalam proses logico-hypo-
thetyco-verifikatif tersebut terdapat asas moral yang secara eksplisit
merupakan das Sollen dalam epistemologi keilmuan. Asas tersebut ialah
bahwa dalam proses kegiatan keilmuan maka setiap uapay ilmiah harus
ditujukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh
kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup
yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual.
"Ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan membenci ke-
bohongan," ujar Mangunwijaya, "oleh sebab itu maka ilmu di Indonesia sukar
berkembang selama kita suka bohong."18) Ketidakjujuran dalam kegiatan
keilmuan nampak dalam gejala "kebudayaan nyontek", ijazah "aspal" (asli tapi
palsu) dan me-rajalelanya kebocoran ujian. Demikian juga seperti semboyan
"seni untuk seni" maka ilmuwan bersemboyan "kebenaran untuk kebenaran
tanpa melibatkan dirinya dengan kepentingan langsung dari upaya ilmiahnya.
Raison d'etre suatu buah fikiran ilmiah semata-mata bertopang kepada
kekuatan argumentasi yang dikandungnya dan tidak bersandar kepada
kekuatan sosial atau politik. 9) "Bukan tidak mungkin" meminjam perkataan
Alfian. "bahwa seorang intelektual akan menjadi sangat terikat oleh kepen-
tingan golongan, penguasa, agama, atau partainya, sehingga dia memakai
keintelektual-annya untuk membenarkan setiap kebijaksanaan, tindakan atau
perbuatan golongan, penguasa. agama atau partainya itu."20)
8Landasan moral yang bersifat umum dari filsafat ilmu dapat dikaitkan
lebih lanjut dengan disiplin keilmuan tertentu dalam pengembangan kode
etik profesi.
27) Strategi Pengembangan Kekuatan Penalaran (Jakarta: BP3A, 1979) dan Pendekatan
Kebudayaan dalam Pengembangan Pendidikan: Identiftkasi PokokPokok Kebijakan (Jakarta:
BP3K, 1980).
pendidikan pasca sarjana dan sebagian kecil pendidikan pra-sarjana. Materi
filsafat ilmu yang diberikan terlalu ditekankan kepada aspek penalarannya
serta kurang memperhatikan aspek moral keilmuan. Demikian juga dalam
mata ajaran filsafat ilmu tersebut terlalu banyak materi kefilsafatan yang
kurang relevan dengan hakekat keilmuan serta kurang mempermasalahkan
sarana berfikir ilmiah seperti bahasa, logika, matematika, statistika dan
metoda penelitian ilmiah secara integral. Cara penyampaian yang sukar dan
kurang memperhatikan aspirasi/cara berfikir murid menjadi filsafat menjadi
obyek yang kurang menarik. Sebagai dasar bagi proses pendidikan yang
menghasilkan manusia yang di samping cerdas dan terampil juga bermoral
luhur maka saya menyarankan diberikannya filsafat ilmu pada semua
tingkatan pendidikan dengan tujuan/metoda instruksional yang
memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas.27)
26) Kompas, 25 Mei 1981.
Terdapat dua hal yang terkait erat dengan permasalahan peningkatan kekuatan
penalaran dan sikap moral keilmuan yakni, pertama, sekat-sekat buatan yang
memisah-kan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial harus dihilangkan sebab
ilmu pada dasarnya sama dan dibedakan dari pengetahuan lainnya oleh
landasan ontologis, epistemologis dan axiologis yang sama;28) kedua, ilmu
harus dibahas dalam perbandingan dengan pengetahuan-pengetahuan lain
seperti agama, moral dan seni agar tidak terjadi kecen-derungan mendewa-
dewakan ifmu dan menumbuhkan sikap pluralistik dalam pengetahuan yang
akan merupakan atmosfir yang mendorong bagi berkembangnya ilmu dan
pengetahuan-pengetahuan lainnya
Dalam membahas materi yang tercakup dalam kedua hal tersebut secara men-
dalam maka terdapat satu penghalang yang sangat mengganggu yakni
penggunaan terminologi ilmu pengetahuan yang bersifat ambivalen, tidak
sesuai dengan struktur bahasa Indonesia, memberikan pengertian yang salah
dan didasarkan kepada salah tafsir dalam penetapannya.29) Untuk itu maka
saya mengusulkan agar ter/ninologi ilmu pengetahuan diganti dengan kata
ilmu dan mempergunakan kata pengetahuan untuk knowledge 9) dengan
argumentasi sebagai berikut: (1) ilmu (species) adalah sebagian dari
Kesimpulannya
Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan
moral maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih
terperinci yakni segi ontologi, epistemologi dan aksiologi. Untuk
menghindarkan kekacauan pengertian maka ilmuwan sebaiknya
menghindarkan pernyataan-pernyataan yang bersifat umum sebab hal ini tidak
memperjelas persoalan dan malah menyesatkan. Contoh pernyataan yang
terperinci umpamanya adalah: Secara ontologis bila ilmu x maka nilai adalah
y;
10Dua kata benda yang termasuk ke dalam kategori yang berbeda biasanya menunjukkan satu obyek seperti gun ting tanaman
dan rumah penjara.
30) Ludwig Wittgenstein, Tractus Lugicofhilosophicus (London: Routledge & Kegan Paul, 1972), p. 37.
31) Suriasumantri, "Mana yang Benar," loc. cit.
Menafsirkan hakekat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor
sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri maupun penggunaan ilmu
dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan. Memperhitungkan faktor
sejarah ini menye-babkan ilmu tidak mungkin bersifat netraj dalam
keseluruhan upaya keilmuannya;
(3) Secara ontologis (metafisik) maka ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai
yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakekat realitas sebab ilmu
merupakan upaya manusia untuk mempelajan alam sebagaimana adanya (das
Sein); t (4) Secara ontologis dalam pemilihan ujud yang akan dijadikan obyek
penelaah-annya (obyek ontologis/obyek formal) maka ilmu dibimbing oleh
kaidah moral yang berasaskan tidak merubah kodrat manusia, tidak
merendahkan martabat manusia dan tidak mencampuri masalah kehidupan;
Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kebaikan
manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dengan memperhatikan
kodrat manusia, martabat mariusja dan keseimbangan/kelestarian alam. Upaya
ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah
secara komunal dan universal;
Secara epistemologis maka upaya. ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan
yang berporoskan proses logico-hypothetico-verifikatif dengan kaidah moral
yang berasaskan bertujuan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan
penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan
kekuatan argumentasi;
Asas moral yang terkandung dalam kegiatan keilmuan merupakan sum-
bangan positif baik bagi pembentukan manusia perorangan maupun
pembentukan karakter bangsa. Untuk itu maka aspek moral keilmuan
sebaiknya mendapatkan per-hatian yang lebih sungguh-sungguh dari para
pendidik dan masyarakat keilmuan;
Upaya peningkatan pendidikan moral keilmuan sebaiknya dikaitkan sekal-gus
dengan upaya meningkatkan kemampuan penalaran ilmiah lewat pemberian
mata ajaran filsafat ilmu pada semua tingkat pendidikan.32) Materi filsafat
ilmu ini disusun dengan memperhatikan faktor-faktor ilmu ini disusun dengan
memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: (a) bersifat seimbang dalam
pendekatan ontologis, epistemologis dan aksiologis; (b) bersifat operasional
dengan memfocuskan pembahasan hanya pada masalah kefilsafatan yang
mempunyai kaitan dengan kegiatan keilmuan; (c) memasukkan pembahasan
mengenai sarana berfikir ilmiah seperti bahasa, logika, matematika, statistika
dan metodologi penelitian ilmiah secara integrald; (d) ditujukan untuk
memberikan gambaran umum mengenai perspektif keilmuan secara lengkap
dengan berbagai perangkat lunak dan perangkat keras beserta berbagai
aspeknya; (e) ditujukan bukan saja untuk merubah cara berfikir namun
sekaligus cara bersikap dan bertindak menurut asas-asas keilmuan;. (f)
diberikan dengan metode penyajian yang menarik dengan menekankan segi-
segi afektif; (g) dibahas dalam eksistensi plural-isme pengetahuan yang
bersifat saling menunjang dengan membandingkan ilmu terhadap pengetahuan
lain seperti agama, seni dan moral; dan (h) menghilangkan sekat-sekat buatan
antara berbagai disiplin keilmuan seperti pembedaan antara ilmu-ilmu alam
dengan ilmu-ilmu sosial;
Sikap politik formal ilmuwan yang berorientasi kepada kepentingan nasional
yang dicirikan oleh motivasi untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan
dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan bebas dari
ikatan primordial, sekiranya diberikan dorongan untuk berkembang, akan
menunjang terwujudnya kesatuan dan persatuan bangsa;
Ilmu merupakan alat untuk mewujudkan tujuan politis (yang berdasarkan das
Sollen) secara efektif dan alamiah (dengan metafisika keilmuan yang bersifat
das Sein). Sifat alamiah ini akan menunjang proses kehidupan demokratis.
Penggunaan
nilai-nilai secara dogmatik sebagai premis metafisik dalam menafsirkan alam,
dan mempergunakan analisisnya sebagai alat untuk mewujudkan tujuan
politis, mengharuskan kita untuk secara terus-menerus memaksakan kaidah
moral, yang membuka peluang berkembangnya proses politis yang bersifat
otoriter;
(11) Menyarankan agar dipergunakan terminologi ilmu untuk science dan
pengetahuan untuk knowledge;*3)
Penutup
Pembahasan mengenai ilmu (das Sein) tak pernah bisa dilepaskan dari moral
(das Sollen) sebab ilmu tanpa moral seperti kapai tanpa kompas. Kaitan antara
kebenaran (yang berkonotasi ilmiah) dan keadilan (yang berkonotasi moral),
yang merupakan asas dalam memperjuangkan tegaknya Orde Baru,
merupakan contoh interaksi antara ilmu dan moral yang secara nostalgik bisa
kita simak lewat sebuah puisi per-juangannya:34)
Bila hari ini kebenaran didustakan Bila hari ini kenyataan dipalsukan Tunggu,
hari esok Di mana kemanusiaan dihinakan!
Bila hari ini orang lain ditidakbenarkan Bila hari ini orang lain ditidakadilkan
Tunggulah hari esok Di mana kau sendiri dapat giliran.
Jadi mengapa ragu? Prinsip: Sandaran hukum mesti ditegakkan Kemanusiaan
akan membusuk Dalam kuasa sewenang-wenang.
Catatan Akhir
Dalam penanggulangan masalah-masalah pembangunan, ilmu pengetahuan
me-megang peranan penting. Hal ini berarti penegasan pendirian, bahwa para
ilmuwan selain mempunyai tanggung jawab profesional, mempunyai
tanggung jawab sosial politik pula yang disertai suatu sikap moral yang luhur.
Tanggung jawab profesional mereka terutama bersandar pada asas (1)
kebenaran, (2) kejujuran, (3) bebas kepentingan. dan (4) dukungan
berdasarkan kekuatan argumentasi. Dalam suatu masyarakat yang berasaskan
Pancasila, maka bagi para ilmuwan di Indonesia tidak ada pilihan lain kecuali
secara sadar mengembangkan tanggung jawab sosial dengan Pancasila sebagai
sumber moral sikap formalnya. Atas dasar adanya tanggung jawab sosial yang
bersifat formal itu, maka konsekuensinya adalah, bahwa para ilmuwan harus
mempunyai sikap politik formal, oleh karena sikap itu merupakan
pengejawantahan tanggung jawab sosial itu dalam pengambilan keputusan
politik. Antara para ilmuwan dan penguasa tidak perlu ada pertentangan, oleh
karena peranan ilmuwan dalam proses penentuan kebijaksanaan justru terletak
dalam tahap-tahap sebelum adanya keputusan akhir, di mana perbedaan-
perbedaan paham dan alternatif-alternatif justru bermanfaat untuk mengambil
keputusan yang tepat...
Baku ini merupakan pengantar kepada filsafat ilmu yang ditulis secara
populer. Tidak semua materi yang seharusnya tercakup dalam sebuah kajian
filsafat ilmu dibahas dalam buku ini. Sengaja dipilihkan hanya beberapa
persoalan-pokok yang seharusnya diketahui pada tahap elementer.
Pembahasan ini ditujukan kepada orang awam yang ingin mengetahui aspek
kefilsafatan dari bidang keilmuan dan bukan ditujukan kepada orang awam
yang ingin mengetahui aspek kefilsafatan dari bidang keilmuan dan bukan
ditujukan kepada mereka yang menjadikan filsafat ilmu suatu bidang keahlian.
Pada dasarnya buku ini mencoba membahas apa (ontologis), bagaimana (epis-
temologi) serta untuk apa(aksiologi) ujud kegiatan keilmuan. Selanjutnya juga
dikaji hakekat sarana berfikir ilmiah yang patut dikuasai seperti bahasa.
logika, matematika dan statistika. Teknologi sebagai bentuk konkrit penerapan
pengetahuan ilmiah dalam memecahkan masalah mempunyai implikasi-
implikasi moral dan sosial dalam pelak-sanaannya. Implikasi-implikasi
tersebut yang kian mendesak dewasa ini akan merupakan juga salah satu fokus
pembahasan kita.
Tujuan utama dari buku yang bersifat pengantar ini bukanlah pendalaman
yang bersifat teknis melainkan pengenalan secara menyeluruh.
Pembahasannya dilakukan secara popular dengan menjauhkan semungkin bisa
aspek-aspek teknis yang terlalu sukar untuk dicerna dalam sebuah buku yang
bersifat pengantar. Salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh penerbitan buku
ini ialah agar masyarakat tergerak hatinya untuk mencintai filsafat. Wajah
filsafat yang biasanya kelihatan angker ingin dicoba dirubali menjadi santai
dan menyenangkan.
Materi filsafat ilmu yang terkandung dalam buku ini merupakan kompromi
eklektik dari berbagai aliran yang hidup dalam pemikiran filsafat. Titik berat
pembahasan diletakkan pada kesamaan yang terdapat dalam berbagai aliran
tersebut dan bukan pada perbedaannya. Tenia pokok dari filsafat ilmulah yang
ingin dikemukakan dalam buku ini dan bukan variasi-variasi yang
berkembang sekitar tema pokok tersebut. Untuk pembahasan filsafat yang
bersifat mengantar ini, pendekatan tersebut mungkin dapat
dipertanggungiawabkan.
Untuk semua tujuan itulah maka buku ini dipersembahkan dengan segala
keku-rangannya. Dengan isi yang sederhana dan kata-kata yang bersahaja
semoga buku ini memberi manfaat sekedarnya: 1'nenyingkap tabir filsafat,
menjenguk sejenak isi relungnya.