Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH FITOKIMIA

REVIEW JURNAL
“Komposisi Kimia, Antioksidan, dan Aktivitas Antibakteri Minyak
Essensial Tanaman Obat Cymbopogon nardus dari Lembang Jawa
Barat ”
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Fitokimia yang diampu
oleh Ibu Hesti Riasari, S.Si.,M.Farm

Disusun Oleh :
Kelompok 1

Anita A 183 003


Lovelyta Barani A 183 021
Rina Mardyah S A 183 035

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA


BANDUNG
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga kami panjatkan kepada Allah SWT,
karena atas pertolongan-Nya kami dapat menyusun tugas makalah yang berjudul
Komposisi Kimia, Antioksidan, dan Aktivitas Antibakteri Minyak Essensial
Tanaman Obat Cymbopogon nardus dari Lembang Jawa Barat” hingga selesai.
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata Fitokimia. Dan
kami berterimakasih kepada Ibu Hesti Riasari S.Si.,M.Farm. selaku dosen mata
kuliah Fitokimia yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami menyadari bahwa tugas makalah yang kami buat ini masih jauh dari
kesempurnaan, masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Namun demikian
dengan segala kekurangan dan keterbatasan kemampuan yang kami miliki, kami
meminta maaf atas segala kekurangan pada makalah yang kami susun ini. Kami
berharap makalah ini tetap dapat tersusun dengan baik serta dapat mencapai
tujuan yang diharapkan.
Kami harap makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacannya. Sekiranya makalah ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun
orang yang membacannya. Sebelumnnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata – kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca demi perbaikan makalah ini di waktu yang
akan datang.

Bandung, Mei 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR . .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 4
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 15
3.1 Preparasi Bahan dan Determinasi.......................................................... 15
3.1.1 Preparasi Tanaman ............................................................. 15
3.1.2 Determinasi Tanaman .......................................................... 15
3.2 Isolasi Minyak Atsiri ............................................................................. 15
3.3 Skrining Fitokimia................................................................................. 15
3.4 Destilasi ................................................................................................ 17
3.5 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH ................................. 18
3.6 Uji aktivitas antimikroba ....................................................................... 20
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 24
4.1 Hasil Penelitian...................................................................................... 24
4.2 Pembahasan ........................................................................................... 24
BAB V. Kesimpulan ............................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 31

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Serai ( Cymbopogon citratus) merupakan salah satu tanaman yang biasa
digunakan sebagai rempah oleh masyarakat Indonesia. Namun, pemanfaatan serai
sebagai rempah masakan hanya terletak pada bagian batangnya saja, sedangkan
daun serai masih menjadi limbah. Padahal daun serai diketahui memiliki
kandungan senyawa aktif fenol yang dapat berperan sebagai antioksidan
(Nambiardan Matela 2012). Hal ini didukung oleh beberapa hasil penelitian,
seperti penelitian Putraet al.(2013) yang melaporkan bahwa kandungan
antioksidan minyak atsiri daun serai lebih tinggi dibandingkan pada batang
sehingga memiliki potensi dalam bidang kesehatan. Cymbopogon adalah keluarga
Gramineae yang merupakan ramuan yang dikenal di seluruh dunia karena
kandungan minyak atsiri yang tinggi. Mereka tersebar luas di semua benua di
mana mereka digunakan untuk beberapa fungsi. Penggunaan komersial dan
spesialisasi medis dari berbagai spesies Cymbopogon dimanfaatkan dengan baik.
Minyak atsiri adalah minyak yang memiliki aroma khas dan memiliki
berbagai kegunaan sebagai pengawet, antioksidan dan antimikroba, yang biasanya
diekstraksi dari daun, cabang, akar, batang, buah dan biji. Minyak atsiri adalah
cairan yang halus, aromatik dan mudah menguap yang diekstrak dari berbagai
bagian tanaman sebagai metabolit sekunder. Metabolit sekunder memainkan
peran ekologis dan biologis yang penting dan penting untuk pertahanan tanaman
karena sering mengandung sifat antimikroba dan antioksidan.
Radikal bebas merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan sel.
Radikal bebas yang tidak memiliki elektron pada lapis luarnya memiliki sifat yang
sangat reaktif, sehingga mencoba memperoleh elektron pasangannya dengan
menyerang molekul stabil terdekat, seperti protein, lipid, karbohidrat, serta DNA
dan mengambil elektron molekul tersebut. Zat yang terambil elektronnya akan
menjadi radikal bebas yang baru (Marks et al. 2000). Upaya yang biasanya
dilakukan untuk meredam kereaktifan radikal bebas adalah dengan penambahan
antioksidan (Winarsi 2007).

1
Antioksidan yang umum digunakan berupa antioksidan sintetis, seperti
BHA (Butil Hidroksi Anisol), BHT (Butil HidroksiToluen), dan TBHQ (Tert-
Butil Hidroksi Quinon). Penggunaan antioksidan sintetis mulai mendapat respon
negatif karena diduga berpotensi menyebabkan kanker. Sehingga antioksidan
alami semakin diminati karena dipercaya lebih aman untuk kesehatan. Tanaman
Cymbopogon nardus L ini juga memiliki efek sebagai antitumor dan obat
kemopreventif yang manjur. Kasus kemoterapi genus ini telah digunakan sebagai
biomarker untuk identifikasi kanker. Bukti farmakologis Ethno menunjukkan
bahwa Cymbopogon nardus L memiliki berbagai sifat yang membenarkan
penggunaannya untuk pengendalian hama, kosmetik dan sebagai agen anti
inflamasi.
Aplikasi farmakologis dari Cymbopogon nardus L bekerja dengan baik,
meskipun penelitian menunjukkan bahwa spesies lain juga mungkin berguna
secara farmasi. Terlepas dari penggunaannya yang luas dalam makanan atau
minuman, minyak esensial Cymbopogon nardus L. banyak dimanfaatkan dalam
wewangian, produk perawatan tubuh, pembuatan sabun, dan juga berperan
penting dalam penggunaan farmasi. Oleh karena itu penelitian ini bermaksud
membahas spesies ini dan mengeksplorasi kepentingan potensial ekonomi dari
tanaman obat Cymbopogon nardus L.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut masalah yang dapat dianalisis adalah
1. Apakah tempat tumbuh yang berbeda memberikan perbedaan dalam
kandungan minyak esensial daun Cymbopogon nardus L ?
2. Apakah kandungan kima dari tanaman obat daun Cymbopogon
nardus L memiliki aktivitas antioksidan dan antibakteri?
3. Bagaimanakah cara identifikasi kandungan senyawa kimia yang
diukur dari minyak essensial daun Cymbopogon nardus L ?

2
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi komposisi kimia, antioksidan,
dan aktivitas antibakteri minyak essensial tanaman obat Cymbopogon nardus L
serta mengeksplorasi kepentingan potensial ekonomi dari tanaman obat tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil dari penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan pengetahuan
mengenai komposisi kimia, antioksidan, dan aktivitas antibakteri minyak essensial
dari tanaman Obat Cymbopogon nardus yang berasal dari Lembang Jawa Barat.
Serta bisa digunakan sebagai refrensi dalam melakukan penelitian lebih lanjut
untuk menyelidiki kegiatan potensial lainnya.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sereh wangi (Cymbopogon nardus (L.)


Sereh wangi dibudidayakan dipekarangan, tegalan, dan sela-sela
tumbuhanlain. Biasanya sereh wangi ditanam sebagai tanaman bumbu atau
tanaman obat. Tanaman sereh dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu, Sereh
Lemon atau Sereh Bumbu (Cymbopogon citratus) dan Sereh wangi atau Sereh
Sitronellal (Cymbopogon nardus). Sereh Wangi di Indonesia ada 2 jenis yaitu
Mahapengiri dan Lenabatu. Mahapengiri dapat dikenal dari bentuk daun yang
lebih pendek dan lebih luas dibandingkan Lenabatu. Jenis Mahapengiri
memberikan hasil minyak atsiri yang lebih tinggi dengan kualitas yang lebih baik,
artinya kandungan geraniol dan sitronellalnya lebih tinggi dari jenis Lenabatu.
Selain itu jenis Mahapengiri memerlukan tanah yang lebih subur, hujan yang lebih
banyak dan pemeliharaan yang lebih baik (Ketaren & B. Djatmiko, 1978).
Salah satu tanaman yang dipercaya dapat dijadikan obat dan menjaga
kebugaran adalah sereh wangi yaitu tanaman herba yang tinggi dengan rimbunan
daun yang lebat. Tanaman ini mampu tumbuh sampai 1.0–1.5 m. Panjang
daunnya mencapai 70–80 cm dan lebarnya 2–5 cm, berwarna hijau muda, kasar
dan mempunyai aroma yang lebih kuat jika dibandingkan dengan sereh dapur.
Sereh wangi dipercaya dapat menyembuhkan beberapa penyakit. Salah satu
khasiatnya adalah sebagai obat kumur (Wijayakusumah, 2001).
Tabel 2.1 Karakteristik serai wangi jenis Mahapengiri dan Lenabatu.

4
2.1.1 Manfaat Sereh Wangi
Secara tradisional sereh wangi digunakan sebagai pembangkit cita rasa pada
makanan, minuman dan sebagai obat tradisional (Wijayakusumah 2002). Sebagai
pembangkit cita rasa, sereh banyak digunakan pada saus pedas, sambal goreng,
sambal petis dan saus ikan (Oyen 1999). Dibidang industri pangan minyak sereh
wangi sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam minuman, permen,
daging, produk daging, dan lemak (Leung dan Foster 1996). Penggunaan sereh
wangi kemudian berkembang, terutama dalam industri parfum yang sebagian
besar terdiri dari citral, yaitu bahan utama untuk produksi α dan β ionon, yang
digunakan sebagai bahan pewangi pada sabun, detergen, krim dan lotion
(Oyen 1999).
Sebagai obat tradisional ekstrak sereh wangi sering diminum untuk
mengobati radang tenggorokan, radang usus, radang lambung, diare, obat kumur,
sakit perut (Wijayakusumah 2001), batuk, pilek dan sakit kepala (Leung dan
Foster 1996), juga digunakan sebagai obat gosok, untuk mengobati eksema dan
rematik (Oyen 1999).

2.1.2 Komposisi Kimia Sereh Wangi


Sereh wangi mengandung saponin, flavonoid, polifenol, (Syamsuhidayat
dan Hutapea 1991), alkaloid dan minyak atsiri, (Leung dan Foster 1996). Saponin
merupakan kelompok glikosida yang tersusun oleh aglikon bukan gula yang
berikatan dengan rantai gula. Sifat antimikrob dari senyawa saponin disebabkan
oleh kemampuan senyawa tersebut berinteraksi dengan sterol pada membran
sehingga menyebabkan kebocoran protein dan enzim-enzim tertentu
(Oleszek 2000).
Senyawa flavonoid merupakan kelompo pigmen-pigmen tanaman aromatik
dengan atom C15 (Naidu et al 2000). Flavonoid terdiri dari flavon, flavonon,
isoflavon, antosianin, dan leukoantosianidin (Ikan 1991). Flavonoid merupakan
senyawa polifenol yang merupakan turunan dari 2-fenil kromon atau 2-fenil
benzopiron (Hall III dan Cuppet 1997). Flavonoid dapat berfungsi sebagai
antioksidan dan antimikrob. Sebagai antioksidan flavonoid dapat mencegah
oksidasi lipid dengan mengikat (mengkelat) logam-logam yang bersifat

5
prooksidan (Hall III dan Cuppe 1997). Senyawa flavonoid lipofilik memiliki
kemampuan penetrasi dalam membran sel (Naidu et al 2000). Senyawa flavonoid
lipofilik memiliki aktivitas antimikrob karena memiliki kemampuan penetrasi
dalam membran sel (Naidu et al, 2000).

2.2 Minyak Atsiri


Minyak atsiri atau yang disebut juga dengan essential oils, etherial oils,
atau volatile oils adalah komoditi ekstrak alami dari jenis tumbuhan yang berasal
dari daun, bunga, kayu, biji-bijian bahkan putik bunga. Setidaknya ada 150 jenis
minyak atsiri yang selama ini diperdagangkan di pasar internasional dan 40 jenis
diantaranya dapat diproduksi di Indonesia. Meskipun banyak jenis minyak atsiri
yang bisa diproduksi di Indonesia, baru sebagian kecil jenis minyak atsiri yang
telah berkembang dan sedang dikembangkan di Indonesia (Gunawan 2009).
Minyak atsiri ini merupakan minyak yang mudah menguap, dengan komposisi
dan titik didih yang berbeda-beda. Setiap substansi yang dapat menguap memiliki
titik didih dan tekanan uap tertentu dan hal ini dipengaruhi oleh suhu
(Guenther, 2006).
Minyak atsiri didefinisikan sebagai produk hasil penyulingan dengan uap
dari bagian-bagian suatu tumbuhan. Minyak atsiri dapat mengandung puluhan
atau ratusan bahan campuran yang mudah menguap (volatile) dan bahan
campuran yang tidak mudah menguap (non-volatile), yang merupakan penyebab
karakteristik aroma dan rasanya (Tavish dan Haris, 2002). Kata essential oil
diambil dari kata quintessence, yang berarti bagian penting atau perwujudan
murni dari suatu material, dan pada konteks ini ditujukan pada aroma atau essence
yang dikeluarkan oleh beberapa tumbuhan (misalnya rempah-rempah, daun-
daunan dan bunga). Kata volatile oil adalah istilah kata yang lebih jelas dan akurat
secara teknis untuk mendeskripsikan essential oil, dengan pengertian bahwa
volatile oil yang secara harfiah berarti minyak terbang atau minyak yang
menguap, dapat dilepaskan dari bahannya dengan bantuan dididihkan dalam air
atau dengan mentransmisikan uap melalui minyak yang terdapat di dalam bahan
bakunya (Green, 2002).
Minyak atsiri dapat dipisahkan dari jaringan tanaman melalui proses
distilasi. Pada proses ini jaringan tanaman dipanasi dengan air atau uap air.

6
Minyak atsiri akan menguap dari jaringan bersama uap air yang terbentuk atau
bersama uap air yang dilewatkan pada bahan. Campuran uap air dan minyak atsiri
dikondensasikan pada suatu saluran yang suhunya relatif rendah. Hasil kondensasi
berupa campuran air dan minyak atsiri yang sangat mudah dipisahkan karena
kedua bahan tidak dapat saling dilarutkan (Indriyanti , 2013).

2.3 Antioksidan
Antioksidan adalah unsur kimia atau biologi yang dapat menetralisasi
potensi kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas tadi. Beberapa antioksidan
endogen (seperti enzim superoxide-dismutase dan katalase) dihasilkan oleh tubuh,
sedangkan yang lain seperti vitamin A, C, dan E merupakan antioksidan eksogen
yang harus didapat dari luar tubuh seperti buah-buahan dan sayur-sayuran
(Iorio, 2007).
Antioksidan bekerja dengan melindungi lipid dari proses peroksidasi oleh
radikal bebas. Ketika radikal bebas mendapat elektron dari antioksidan, maka
radikal bebas tersebut tidak lagi perlu menyerang sel dan reaksi rantai oksidasi
akan terputus. Setelah memberikan elektron, antioksidan menjadi radikal bebas
secara definisi. Antioksidan pada keadaan ini berbahaya karena mereka
mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan elektron tanpa menjadi
reaktif. Tubuh manusia mempunyai pertahanan sistem antioksidan. Antioksidan
yang dibentuk di dalam tubuh dan juga didapat dari makanan seperti buah-buahan,
sayur-sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan, daging, dan minyak. Ada dua garis
pertahanan antioksidan di dalam sel. Garis pertahanan pertama, terdapat di
membran sel larut lemak yang mengandung vitamin A (betakaroten) E, dan
koensim Q (Clarkson dan Thompson, 2000).
Mekanisme yang paling umum terjadi dimana radikal bebas dapat melawan
pertahanan antioksidan, radikal bebas tersebut akan menyerang komponen
biokimia di dalam tubuh dan membentuk hydroperoksida. Dalam bentuk
patofisiologis tersebut, sel akan mulai memproduksi radikal bebas dalam jumlah
banyak, dikarenakan stres eksogen (unsur kimia, fisik dan biologi) dan atau
aktivitas metaboliknya (khususnya pada membran plasma, mitokondria, retikulum
endoplasma, dan sitosol), sitosol diantaranya terdapat radikal hidroksil (HOH)
yang berbahaya, merupakan salah satu reaktive oxygen species (ROS) yang paling

7
berbahaya. Radikal hidroksil dapat menyarang setiap macam molekul (termasuk
karbohidrat, lemak, asam amino, peptide, protein, nukleotid, asam nukleat dan
lain-lain). Akibat dari proses ini, setiap molekul akan kehilangan satu elektron dan
kemudian menjadi radikal. (Iorio, 2007).

2.4 Uji Antoksidan


Uji aktivitas antioksidan terdiri atas metode in vivo dan in vitro. Para
peneliti lebih mengembangkan metode in vitro karena metode in vivo
membutuhkan waktu pengerjaan yang lama. Metode antioksidan secara in vitro
terbagi menjadi metode 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), xantin oksidase,
tiosianat, dan deoksiribosa (Sharma, 2014).

a. Metode DPPH
Metode absorbansi radikal DPPH merupakan metode yang sederhana,
mudah, dan menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dengan waktu yang
singkat (Hanani, 2005). Pengukuran aktivitas antioksidan sampel dilakukan pada
panjang gelombang 517 nm yang merupakan panjang gelombang maksimum
DPPH, dengan konsentrasi DPPH 50 μM. Adanya aktivitas antioksidan dari
sampel mengakibatkan perubahan warna pada larutan DPPH dalam etanol yang
semula berwarna violet pekat menjadi kuning pucat (Andayani dkk, 2008).
Metode DPPH merupakan pengukuran penangkal radikal bebas sintetik
dalam pelarut organik pada suhu kamar oleh suatu senyawa yang mempunyai
aktivitas antioksidan. Proses penangkalan radikal bebas ini melalui mekanisme
pengambilan atom hidrogen dari senyawa antioksidan oleh radikal bebas sehingga
radikal bebas menangkap satu electron dari antioksidan. Metode ini juga
merupakan pengujian aktivitas antioksidan yang paling cocok bagi pelarut etanol
dan metanol seperti yang dilakukan oleh Rochmantika dkk, (2012).

b. Metode Xantin Oksidase


Metode xantin oksidase menentukan nilai inhibisi sampel terhadap radikal
bebas. Perhitungan aktivitas inhibisi radikal bebas menggunakan superoksida
dismutase (SOD) (Giri dkk, 2014). Metode xantin oksidase adalah metode dengan
prinsip metabolisme xantin-xantin oksidase, yang menghasilkan radikal anion

8
superoksida. Superoksida dismutase (SOD) mengubah superoksida menjadi
hidrogen peroksida (H2O2) sehingga metode ini dapat digunakan untuk mengukur
aktivitas antioksidan dalam meredam radikal anion superoksida. Metode ini tidak
memerlukan waktu yang lama pada pengukuran, namun metode ini melewati
beberapa tahap inkubasi dalam pembentukan radikal bebas. (Young dkk, 2013).

c. Metode Tiosianat
Metode tiosianat menentukan aktivitas radikal bebas menggunakan senyawa
pembanding sebagai kontrol positif. Sebanyak 2 mL sampel dicampur dengan
2,05 mL asam linoleat dan bufer fosfat pH 7,0 diinkubasi di tempat gelap pada
suhu 37o C. Jumlah peroksida yang terbentuk ditentukan dari serapan warna
merah pada panjang gelombang 500 nm dengan penambahan FeCl2 dan amonium
tiosianat. Pengukuran dilakukan setiap 24 jam hingga dicapai absorbansi
maksimum (Sharma, 2014).
Metode tiosianat adalah metode dengan prinsip lipid peroksidasi. Metode ini
menggunakan asam linoleat, yaitu asam lemak tidak jenuh yang bertindak sebagai
radikal bebas (Hanani dkk, 2006). Metode ini secara spesifik dapat mengukur
jumlah radikal bebas berdasarkan peroksidasi lipid, yaitu pembentukan radikal
alkoksi. Namun, metode ini memerlukan proses pengukuran serapan yang lama.
Pengukuran serapan harus terus dilakukan hingga dicapai nilai absorbansi
maksimum (Sharma, 2014).

d. Metode Deoksiribosa
Metode deoksiribosa menggunakan reaksi degradasi deoksiribosa dengan
radikal bebas yang dihasilkan dari larutan besi (II) sulfat dan hidrogen peroksida.
Radikal bebas dicampurkan dengan ekstrak dan 2-deoksiribosa. Reaksi ini
membentuk malonaldehida (MDA). Antioksidan dalam ekstrak tanaman akan
mencegah radikal hidroksil merusak 2-deoksiribosa, sehingga produk MDA
terhambat. Kemudian larutan diberikan tiobarburat (TBA) yang akan berikatan
dengan MDA dan menyebabkan warna merah (Young dkk, 2013).
Metode ini memerlukan senyawa pembanding sebagai kontrol positif.
Jumlah MDA diamati sebagai hasil dari peredaman radikal bebas oleh

9
antioksidan. Reaksi pembentukan radikal bebas oleh FeSO4 dan H2O2
menghasilkan radikal hidroksil yang diukur dengan metode deoksiribosa. Metode
ini dapat mengukur potensi antioksidan yang menghambat radikal hidroksil32.
Metode ini memerlukan tahapan yang lebih banyak dibandingkan metode in vitro
yang lainnya karena produk MDA harus dihentikan terlebih dahulu oleh TBA
sebelum dilakukan pengukuran nilai serapan pada panjang gelombang yang
ditentukan (Atun, 2010)

2.5 Antibakteri
Antibakteri adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik yang
mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam
organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Proses tersebut
dilakukan melalui penghambatan sintesis dinding sel, sintesis protein, sintesis
asam nukleat, serta menghambat jalur metabolisme sehingga menghancurkan
struktur membran sel (Tenover 2006).
Senyawa antibakteri adalah senyawa yang dapat mengganggu pertumbuhan dan
metabolisme bakteri (Pelczar dan Chan 1986). Berdasarkan aktivitasnya zat
antibakteri dibedakan menjadi dua jenis yaitu bakteriostatik dan bakterisidal.
Berdasarkan spektrum aksinya, zat antibakteri dibagi menjadi tiga, yaitu spektrum
luas, spectrum sempit dan spektrum terbatas. Spektrum luas jika senyawa tersebut
efektif melawan prokariot baik membunuh maupun menghambat bakteri Gram
positif dan Gram negatif. Disebut sebagai antibakteri berspektrum sempit jika
senyawa tersebut efektif melawan sebagian bakteri Gram positif atau Gram
negatif. Senyawa antibakteri yan dapat melawan satu spesies bakteri tertentu saja
disebut antibakteri berspektrum terbatas (Todar 1977).

2.5.1 Pengukuran Aktivitas Antibakteri


Pengukuran aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan beberapa metode
yaitu metode difusi dan metode pengenceran. Salah satu metode yang paling
umum digunakan adalah metode difusi (Pelczar & Chan 1988). Metode difusi
dapat dilakukan dengan tiga cara, yang pertama adalah metode silinde yaitu
silinder steril dengan diameter 8 mm ditetesi larutan uji dan ditempatkan pada
permukaan agar yang telah ditanami bakteri uji. Daerah hambat yang terbentuk

10
terlihat sebagai daerah bening di sekeliling silinder. Keuntungan cara ini adalah
jumlah larutan dalam silinder dapat diperbanyak untuk menjamin tersedianya zat
antibakteri dalam silinder selama masa inkubasi. Sedangkan kerugiannya adalah
agak sukar mengatur kedalaman silinder secara manual, sehingga difusi yang
terjadi ada kemungkinan tidak homogen yang berakibat daerah hambatan tidak
berupa lingkaran.
Kedua metode perforasi, media agar yang telah ditanami bakteri uji dibuat
lubang atau sumur dengan diameter 6 mm dan larutan uji sebanyak 10 μL
dimasukkan ke dalamnya. Daerah hambatan yang terjadi terlihat sebagai daerah
bening di sekeliling lubang. Sedangkan yang ketiga adalah metode difusi cakram
yang merupakan metode paling banyak digunakan diantara kedua metode tersebut
di atas. Metode ini di kenal sebagai metode Kirby- Bauer. Sejumlah bakteri uji
diinokulasi pada media agar dan cakram yang mengandung larutan uji atau
antibakteri tertentu diletakkan pada permukaan media agar yang telah memadat.
Setelah diinkubasi terlihat daerah hambatan sebagai daerah bening yang tidak
ditumbuhi bakteri di sekeliling cakram. Keuntungan cara ini adalah jumlah larutan
obat yang diserap dapat diatur sesuai dengan kapasitas kertas cakram, tergantung
dari diameter serta ketebalan kertas cakram. Sedangkan kerugiannya adalah bila
komposisi serat kertasnya heterogen, dapat menyebabkan variasi difusi zat
antibakteri sehingga diameter zona hambatan dapat bervariasi pula. Pada
pemilihan jenis kertas, sifat kapilaritas sangat penting untuk diperhatikan, karena
mempengaruhi laju dan kualitas difusi.

2.6 Gas Chromatography-Mass Spectroscopy (GC-MS)


GC-MS merupakan kombinasi Gas Chromatography dan Mass
Spectroscopy. Mass Spectroscopy disambungkan dengan keluaran gas
chromatography. Mass Spectroscopy digunakan sebagai detektor akan
memberikan data struktur kimia senyawa yang tidak diketahui. Ketika gas solut
memasuki mass spectroscopy maka molekul-molekul organik akan ditembak
dengan elektron bertenaga tinggi dan pecah menjadi molekul- molekul yang lebih
kecil. Kemudian komponen campuran yang sudah terpisahkan dengan gas
chromatography akan tergambar dalam satu spektra massa (Hendayana, 2006;
Gandjar dan Rohman, 2009).

11
2.7 Destilasi
Menurut Mc.Cabe (1999), distilasi adalah suatu proses pemisahan dua atau
lebih komponen dalam suatu campuran berdasarkan perbedaan titik didih dari
masing-masing komponen dengan menggunakan panas sebagai tenaga pemisah.
Dapat ditarik kesimpulan destilasi merupakan suatu metode pemisahan campuran
yang didasarkan pada perbedaan tingkat volalitas ( kemudahan suatu zat untuk
menguap ) pada suhu dan tekanan tertentu. Destilasi merupakan proses fisika dan
tidak terjadi adanya reaksi kimia selama proses berlangsung.
Adapun beberapa macam destilasi lainya, yaitu:
a. Destilasi Normal (sederhana). Biasanya destilasi sederhana digunakan untuk
memisahkan zat cair yang titik didih nya rendah, atau memisahkan zat cair
dengan zat padat atau miniyak. Proses ini dilakukan dengan mengalirkan uap
zat cair tersebut melalui kondensor lalu hasilnya ditampung dalam suatu
wadah, namun hasilnya tidak benar-benar murni atau biasa dikatakan tidak
murni karena hanya bersifat memisahkan zat cair yang titik didih rendah atau
zat cair dengan zat padat atau minyak.
b. Destilasi Bertingkat (Fraksionasi). Proses ini digunakan untuk komponen yang
memiliki titik didih yang berdekatan. Pada dasarnya sama dengan destilasi
sederhana, hanya saja memiliki kondensor yang lebih banyak sehingga mampu
memisahkan dua komponen yang memliki perbedaan titik didih yang
bertekanan. Pada proses ini akan didapatkan substan kimia yang lebih murni,
karena melewati kondensor yang banyak.
c. Destilasi Azeotrop. Teknik destilasi ini digunakan dalam memisahkan
campuran azeotrop (campuran dua atau lebih komponen yang sulit di
pisahkan), biasanya dalam prosesnya digunakan senyawa lain yang dapat
memecah ikatan azeotro tersebut, atau dengan menggunakan tekanan tinggi.
d. Destilasi Vakum (Destilasi Tekanan Rendah) Destilasi vakum adalah distilasi
yang tekanan operasinya 0,4 atm (300 mmHg absolut), yaitu memisahkan dua
komponen yang titik didihnya sangat tinggi, metode yang digunakan adalah
dengan menurunkan tekanan permukaan lebih rendah dari 1atm sehingga titik
didihnya juga menjadi rendah, dalam prosesnya suhu yang digunakan untuk
mendestilasinya tidak terlalu tinggi.

12
2.8 Penetapan Kadar Minyak Atsiri
2.8.1 Bahan yang diperiksa
Bahan digiling menjadi serbuk kasar atau dimemarkan. Untuk pembuatan
serbuk, bahan setelah dikeringkan ditas kapur tohor sebaikya digiling
menggunakan penggiilng sederhana yang diigerakkan dengan tangan, supaya
penggiling tidak menjadi panas. Pememaran dikerjakan dalam sebuah mortir,
kemudiann mortir dibalilas dengan cairan penyuling (MMI, 1995).

2.8.2 Cara Destilasi


Sebuah labu 500 ml (A) dihubungkan dengan pendingin air balik (C)
dengan pertolongan alata penampung (B). Tabung penerima 5 ml (E), berskla0,1
ml. Pemanas yang digunakan sebaiknya pemanas listrik yang suhunya dapat
diatur atau penagas minyak. Bagian atas labu tabung penyambung (D) sebaiknya
dibungkus dengan asbes (MMI, 1995).

2.8.3 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air


Keringkan serbuk (4/18) di udara, maserasi selama 24 jam 5,0 g serbuk
dengan 100 ml air kloroform P, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali
dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring,
uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah
ditara, panaskan sisa pada suhu 1050 hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam
persen sari yang larut dalam air, dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan
di udara (MMI, 1995).

2.8.4 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol


Keringkan serbuk (4/18) di udara, maserasi selama 24 jam 5,0 g serbuk
dengan 100 ml etanol (95 %), menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali
dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring
cepat dengan meghindarkan penguapan etanol (95 %), uapkan 20 ml filtrat hingga
kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, panaskan sisa pada
suhu 1050 hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen sari yang larut dalam

13
etanol (95 %), dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara
(MMI, 1995).

14
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Preparasi Bahan dan Determinasi


3.1.1 Preparasi tanaman Sereh (Cymbopogon nardus)
Tahap preparasi bahan dilakukan dengan mencuci sereh hingga bersih,
setelah bersih, dilakukan variasi perlakuan awal bahan baku yaitu dengan
proses perajangan dilakukan dengan merajang daun sereh dapur tanpa
bonggol menggunakan pisau. Adapun sereh tersebut dirajang dengan posisi
membujur dengan masing-masing ketebalan rajangan 10 mm.

3.1.2 Determinasi tanaman


Daun-daun Cymbopogon nardus dikumpulkan oleh Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO), Manoko, Kecamatan Lembang,
Kabupaten Bandung Barat. Spesies diidentifikasi dan disimpan oleh
Herbarium Jatinangor, Tanaman Laboratorium Taksonomi, Jurusan Biologi,
Universitas Padjadjaran.

3.2 Isolasi Minyak Atsiri


Pembuatan minyak sereh dapur (Cymbopogon cit ratus) dilakukan dengan
cara destilasi menggunakan daun segar Cymbopogon nardus ( 1000 g), diisolasi
dengan destilasi air dan uap selama tiga jam, selanjutnya menghasilkan 5 ml
minyak essensial (0, 5%). Sampel minyak esensial ditandai dan disimpan pada
suhu 4 ° C sampai digunakan untuk analisis. Minyak dipisahkan dari pelarutnya
dengan menggunkan corong pemisah. Analisis data yang dilakukan dengan GC-
MS. Komposisi minyak essensial ditentukan dengan menggunakan kromatografi
Ultra gas Shimadzu GC MS-QP2010. Suhu oven dimulai pada 60 ºC. Injector dan
detektor suhu yang ditetapkan sekitar 280 ºC. Analisis dilakukan dengan
menggunakan helium sebagai gas pembawa dengan laju alir 1,31 mL / menit.

3.3 Skrining Fitokimia


Skrining fitokimia dilakukan terhadap simplisia dan ekstrak sereh wangi.
Berdasarkan metode Farnsworth (1966) dan MMI (1995), untuk mengetahui

15
golongan senyawa alkaloid, flavonoid, fenol, kuinon, saponin, tanin, dan
steroida/triterpenoida. Di mana skrining fitokimia dilakukan terhadap simplisia
dan ekstrak sereh wangi.

a. Pemeriksaan alkaloid
Simplisia atau ekstrak etanol rimpang kencur ditimbang sebanyak 0,5 g
kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di
atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh
dipakai untuk uji alkaloida: diambil 3 tabung reaksi, lalu kedalamannya
dimasukkan 0,5 ml filtrat.
Pada masing-masing tabung reaksi:
1) Ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer
2) Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat
3) Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendroff
Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruhan paling sedikit dua dari tiga
percobaan diatas (Depkes, 1995).

b. Pemeriksaan flavonoid
Sebanyak 10 g simplisia atau ekstrak etanol rimpang kencur ditambahkan
10 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke
dalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida
pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoida positif
jika warna merah atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth,
1966).

c. Pemeriksaan saponin
Simplisia atau ekstrak etanol rimpang kencur ditimbang sebanyak 0,5 g dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, dinginkan
kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1 - 10
cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1
tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes, 1995).

16
d. Pemeriksaan tanin
Simplisia atau ekstrak etanol rimpang kencur ditimbang sebanyak 1 gram,
dididihkan selama 30 menit dalam 100 ml air suling lalu didinginkan dan disaring.
Pada filtrat ditambahkan 1 - 2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi
warna biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin
(Farnsworth, 1966).

e. Pemeriksaan steroida/triterpenoida
Sebanyak 1 g simplisia atau ekstrak etanol rimpang kencur dimaserasi
dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan
penguap. Pada sisa ditambahkan beberapa tetes pereaksi Lieberman-Burchard.
Timbulnya warna biru atau biru hijau menunjukkan adanya steroida, sedangkan
warna merah, merah muda atau ungu menunjukkan adanya triterpenoida
(Harborne, 1987).

f. Pemeriksaan kuinon
Pemeriksaan kuinon dilakukan terhadap 2 mL fase air dari pemeriksaan
flavonoid dan 2 mL fase air di atas endapan gelatin pada pemeriksaan tanin di
dalam dua tabung reaksi berbeda. Ke dalam dua tabung tersebut masing-masing
ditambahkan beberapa tetes larutan NaOH. Hasil positif kuinon ditunjukkan
dengan perubahan warna menjadi merah (Farnsworth, 1966).

g. Pemeriksaan fenol
Identifikasi senyawa fenolik dilakukan dengan mereaksikan sampel dengan
reagen FeCl3 yang akan membentuk larutan hijau kehitaman.

3.4 Destilasi
Sebuah labu 500 ml (A) dihubungkan dengan pendingin air balik (C)
dengan pertolongan alata penampung (B). Tabung penerima 5 ml (E), berskla0,1
ml. Pemanas yang digunakan sebaiknya pemanas listrik yang suhunya dapat
diatur atau penagas minyak. Bagian atas labu tabung penyambung (D) sebaiknya
dibungkus dengan asbes (MMI, 1995).

17
3.5 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH
3.5.1 Metode DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhidrazyl
Penggunaan DPPH berguna untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan.
Metode ini didasarkan pada pengurangan larutan metanol DPPH dengan
adanya molekul donor hidrogen. Pengurangan solusi DPPH dipantau dengan
pengukuran penyerapan pada 517 nm. Aktivitas antioksidan dalam metode ini
dinyatakaan dalam persen inhibisi,yaitu persentase penghambatannya
terhadap radikal bebas DPPH. Berdasarkan nilai persen inhibisi ini dapat
ditentukan nilai IC50, yaitu konsentrasi zat antioksidan yang dapat
menghasilkan persen penghambatan DPPH sebesar 50%. Nilai IC50
ditentukan berdasarkan konsentrasi dan persen inhibisi
menggunakan persamaan regresi linier yang diperoleh. Secara spesifik, suatu
senyawa dikatakan sebagai antioksidan yang sangat kuat bila nilai IC50 < 50
mg/L, kuat bila nilai IC50 bernilai 50-100 mg/L, sedang bila nilai IC50
bernilai 100-150 mg/L, dan lemah bila nilai IC50 bernilai 150-200 mg/L
(Kadji et al.2013).

3.5.2 Pembuatan Larutan DPPH


Larutan DPPH 40 ppm dibuat dengan cara menimbang DPPH sebanyak
4mg dilarutkan dengan 100 ml metanol absolut dalam labu tentukur (Brand
Williams, 1995).

3.5.3 Pembuatan Larutan Sampel


Dibuat larutan dengan konsentrasi sampel 500 ppm dengan cara
menimbang ekstrak sebanyak 5 mg dan dilarutkan dengan metanol absolut
sambil diaduk dan dihomogenkan lalu dicukupkan volumenya hingga 10 ml.
Selanjutnya dibuat variasi konsentrasi tertentu. (Brand Williams, 1995).

3.5.4 Pembuatan Konsentrasi Vitamin C (Pembanding)


Vitamin C ditimbang 10 mg dan dilarutkan dengan metanol sampai
volumenya 10 mL, didapatkan larutan induk konsentrasi 1000 ppm,
diambil 1 mL larutan induk vitamin C dan dilarutkan dengan metanol

18
sampai volumenya 10 mL, sehingga didapat konsentrasi vitamin C 100
ppm. Dari konsentrasi vitamin C 100 ppm selanjutnya dibuat variasi
konsentrasi tertentu dengan menggunakan mikro pipet (Brand Williams,
1995).

3.5.5 Pengujian Antioksidan secara Kualitatif


Pengujian dilakukan dengan cara sampel ekstrak dilarutkan dengan
metanol. Kemudian ditotolkan pada lempeng silika gel F254 dengan
menggunakan pipa kapiler. Lempeng yang sudah ditotol dielusi dengan
eluen yang sesuai. Selanjutnya disemprot dengan larutan DPPH. Lempeng
dibiarkan selama beberapa menit, kemudian bercak yang muncul diamati.
Setelah itu diamati profil KLT pada sinar UV 254 nm dan UV 366 nm
(Brand Williams, 1995).

3.5.6 Pengujian Antioksidan secara Kuantitatif


Pengujian antioksidan secara kuantitatif dimulai dengan pembuatan
larutan standar Vitamin C. Setelah itu dilakukan pengukuran panjang
gelombang maksimum Vitamin C yang nantinya akan digunakan untuk
mengukur serapan dari sampel.

3.5.7 Pengukuran daya antioksidan blanko


Pengujian dilakukan dengan memipet 4 ml DPPH. Divortex dan
diinkubasi pada suhu 37⁰C pada ruangan gelap. Diukur absorbansinya
pada panjang gelombang 517 nm (Brand Williams, 1995).

3.5.8 Pengukuran daya antioksidan ekstrak


Pengujian dilakukan dengan memipet 0,5 ml larutan sampel dari
berbagai konsentrasi. Kemudian masing-masing ditambahkan 3,5 ml
DPPH. Kemudian Divortex dan diinkubasi pada suhu 37⁰C pada ruangan
gelap. Diukur absorbansinya pada panjang gelombang 517 nm (Brand
Williams, 1995).

19
3.5.9 Pengukuran daya antioksidan sampel pembanding Vitamin C
Pengujian dilakukan dengan memipet 0,5 ml larutan standar
(Vitamin C) dari berbagai konsentrasi (2 ppm, 4 ppm, 6 ppm dan 8 ppm).
Kemudian masing-masing ditambahkan 3,5 ml DPPH. Kemudian Divortex
dan diinkubasi pada suhu 37⁰C pada ruangan gelap. Diukur absorbansinya
pada panjang gelombang 517 nm (Brand Williams, 1995). Setelah
diperoleh nilai absorban hitung % inhibisi radikal bebas oleh DPPH dalam
persen (I%) yang diperoleh :
% Penghambatan = (AC - AS / AC) × 100
dimana AC adalah absorbansi reaksi kontrol (mengandung volume yang
sama dari larutan DPPH dan metanol tanpa sampel apa saja) dan AS
adalah absorbansi sampel (Minyak atsiri dan standar). Ditentukan IC50
yaitu konsentrasi yang mampu menghambat 50% radikal bebas. Kemudian
dilakukan analisis data.

3.6 Uji Aktivitas Antimikroba


Antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk mengendalikan
pertumbuhan bakteri yang bersifat merugikan. Pengendalian pertumbuhan
mikroorganisme bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit dan infeksi,
membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi, dan mencegah
pembusukan serta perusakan bahan oleh mikroorganisme. (Sartika, 2013)
Mekanisme penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri oleh senyawa
antibakteri dapat berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat
pembentukannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk, perubahan
permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan keluarnya bahan
makanan dari dalam sel, perubahan molekul protein dan asam nukleat,
penghambatan kerja enzim, dan penghambatan sintesis asam nukleat dan protein.
(Jawetz, dkk. 2005)

3.6.1 Metode Mikrodilusi


Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun
secara bertahap, baik dengan media cair atau padat. Media diinokulasi

20
bakteri uji dan dieramkan. Pada tahap akhir, antimikroba dilarutkan
dengan kadar yang menghambat atau mematikan. Uji kepekaan cara dilusi
agar memakan waktu dan penggunaannya dibatasi pada keadaan tertentu
saja. Uji kepekaan cara dilusi cair dengan menggunakan tabung reaksi,
tidak praktis dan jarang dipakai, namun kini ada cara yang lebih sederhana
dan banyak dipakai, yakni menggunakan microwell plate. Keuntungan uji
mikrodilusi cair adalah bahwa uji ini memberi hasil kuantitatif yang
menunjukkan jumlah antimikroba yang dibutuhkan untuk mematikan
bakteri. (Jawetz et al., 2005)
Aktivitas antimikroba pada penelitian ini dilakukan dengan metode
difusi agar dan mikrodilusi. Metode mikrodilusi digunakan untuk
menentukan Minimal Inhibitory Concentration (MIC)/ Kadar Hambat
Minimum (KHM) atau konsentrasi terkecil agen antimikroba yang
dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Mikrodilusi
merupakan metode yang cocok digunakan untuk skrining aktivitas
antimikroba karena merupakan metode yang sensitif dengan waktu
pengujian yang relatif singkat. (Efendi,dkk. 2013)

3.6.2 Bakteri Uji


Ada 6 bakteri yang diuji, 4 diantaranya adalah bakteri gram positif
dan 2 bakteri lainnya adalah bakteri gram negatif.
Bakteri gram positif :
1. Staphylococcus aureus ATCC11778
2. Bacillus subtilis ATCC6633
3. Bacillus cereus ATCC11778
4. MRSA (Methicillin resistant staphylococcus aureus)
Bakteri gram negatif :
1. Pseudomonas aeruginosa ATCC9027
2. Escherichia coli ATCC8939

21
3.6.3 Penyiapan Bakteri Uji
Bakteri-bakteri ini kemudian dikultur pada media Mueller-Hinton
pada suhu 37o C. Adapun media Mueller-Hinton ini merupakan media
universal yang dapat ditumbuhi oleh mayoritas mikroorganisme, dan
tempat berkembangbiaknya suatu bakteri. Kandungan dari Mueller-Hinton
ini adalah beef extract 2 gram, acid hydrolysate of casein 17,5 gram, starch
1,5 gram, agar 17 gram dan aquadest 1 liter. Kemudian dilakukan
pembuatan suspensi bakteri uji dengan cara mengambil biakan bakteri dan
dilarutkan dalam larutan salin (0,9% NaCl) secara aseptik. Kemudian
dipipet sebanyak 100 μl dan ditambahkan media dilusi (nutrient broth)
hingga 10 ml sehingga diperoleh suspensi mikroba dengan jumlah koloni
1-2 x 106 CFU/ml. Suspensi bakteri ini yang selanjutnya digunakan untuk
uji aktivitas, dan harus digunakan tidak lebih dari 30 menit setelah
pembuatan. (Aristyawan, dkk. 2017)

3.6.4 Penyiapan Sampel Uji


Pembuatan Kontrol Negatif DMSO 5%
DMSO (dimethylsulfoxide) diambil sebanyak 5 ml dan ditambah
dengan aquadest 95 ml.

Penentuan Konsentrasi Hambat Minimum


Konsentrasi hambat minimum merupakan konsentrasi terkecil dari
sampel yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Pada penelitian ini
digunakan metode mikrodilusi.

Uji Aktivitas
Suspensi bakteri kemudian diinokulasikan ke dalam tiap-tiap
sumuran pada microplate yang telah diberi seri larutan uji. Plat diinkubasi
pada suhu 37°C selama 24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan yang
menandakan adanya pertumbuhan bakteri. Selanjutnya pada setiap lubang
microplate ditambahkan 20 μl INT (p – iodonitrotetrazolium chloride)
yang telah dilarutkan sebanyak 0,2 mg/ml aquades steril. 96-well

22
microtiter plates diinkubasi kembali selama 10-60 menit pada suhu 37° C.
Apabila pada lubang plate terjadi kekeruhan dan disertai dengan
perubahan warna menjadi merah setelah penambahan pereaksi warna INT
maka menandakan adanya pertumbuhan bakteri. (Efendi, dkk 2013)

3.6.5 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri


Hasil uji menunjukkan bahwa kontrol negatif DMSO 5% tidak
menunjukkan aktivitas antibakteri, sedangkan minyak atsiri daun sereh
wangi menunjukkan adanya aktivitas antibakteri dengan konsentrasi daya
hambat minimum 250 μl/ml – 1000 μl/ml.

23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Komposisi kimiawi dari minyak atsiri sebanyak 53 komponen diidentifikasi
dan diukur.

Tabel 4.1 Komposisi minyak atsiri Cymbopogon nardus diidentifikasi oleh GC-
MS.

Essential oil
composition of
Cymbopogon nardus Chemical compounds %
identified by GC-MS.
S.N.
1 Citronella 26,27
2 δ-cadinene 6,97
3 Methyl Isoeugenol 5,87
4 Caryophyllene 5,87
5 Geranyl butyrate 5,6
6 Geranyl acetate 4,41
7 Citronellyl propionate 4,97
8 Germacrene-D 2,97
9 α-Bergamotene 2,84
10 Eugenol 2,54
11 β-Elemene 2,34
12 δ-Guaiene 1,81
13 (-)-Isolongifolof 1,7
14 Farnesol Isomer B 1,62
15 Linalool 1,61
16 δ-Limonene 1,58

24
17 1,2,4-Metheno-1H-indene, 1,5
octahydro-1,7a-dimethyl-
5-(1-methylethyl)
18 geranyl hexanoate 1,4
19 α-Humulene 1,38
20 Citral 1,23
21 γ-Cadinene 1,06
22 Epi- 0,96
Bicyclosesquiphellandrene
23 α-Guaiene 0,9
24 trans-β-Farnesene 0,82
25 3a(1H)-Azulenol, 0,78
2,3,4,5,8,8a-hexahydro-
6,8a-dimethyl-3-(1-
methyl ethyl)
26 δ-Cadinene 0,65
27 Z-Citral 0,56
28 Naphthalene 0,56
29 Seychellene 0,55
30 cis-Ocimene 0,48
31 β-Ocimene 0,47
32 1,2,4-Metheno-1H-indene, 0,44
octahydro-1,7a-dimethyl-
5-(1- methyl ethyl)
33 2-N-Butyldecalin 0,39
34 β-Myrcene 0,39
35 α-Patchoulene 0,39
36 n-Decanal 0,38
37 Neryl acetate 0,36
38 β-Sesquiphellandrene 0,35
39 β-Patchoulene 0,35

25
40 Naphthalene, 1,2,3,4,4a,7- 0,34
hexahydro-1,6-dimethyl-
4-(1- methyl ethyl)
41 Thiogeraniol 0,31
42 (-)-Caryophyllene oxide 0,29
43 α-Cubebene 0,21
44 Germacrene B 0,2
45 Citronellyl butyrate 0,19
46 Β-Bourbonene 0,19
47 Neophytadiene 0,16
48 Isomenthone 0,16
49 β-Selinene 0,15
50 Geraniol formate 0,14
51 Geranyl Isovalerate 0,13
52 n-Dodecanal 0,12
53 δ-Elemene 0,11

Gambar 4.1 profil GC-MS kromatografi Cymbopogon nardus


Konstituen utama dari minyak atsiri adalah citronella (26,27%), δ-cadinene
(6,97%), metil Isoeugenol (5,87%), caryophyllene (5,87%), geranyl butyrate
(5,6%), geranyl asetat (4,41%), citronellyl propionate (4,97%), germacrene

26
(2,97%), α bergamotene (2,84%), eugenol (2,54%), β-elemen (2,34%), δ-guaiene
(1,81%), (-) -isolongifolol (1,7%), farnesol isomer B (1,62%), linalool (1,61%), δ-
limonene (1,58%) dan komponen kecil lainnya (Tabel 1)

4.2 Pembahasan
4.2.1 Kandungan utama minyak atsiri Cymbopogon nardus
Minyak atsiri adalah produk metabolit sekunder tanaman. Profil
kandungan kimiawi minyak atsiri cenderung menunjukkan bahan kimia yang
berbeda, disebabkan oleh faktor ekologis, kondisi geografis, usia dan waktu
memanen tanaman. Perbedaan dalam sifat kimia akan memiliki efek pada
aktivitas biologis untuk menghasilkan an aktivitas biologis. Analisis
komponen utama dapat digunakan sebagai alternatif dasar penentuan kualitas
minyak esensial. Kandungan utama minyak atsiri Cymbopogon nardus adalah
citronella, citronellol, geraniol, geranial, methyl isoegeunol dan neral.

4.2.2 Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH


Tubuh kita memerlukan suatu substansi yang dapat meredam efek
negatif dari radikal bebas yaitu antioksidan. Peranan antioksidan sangat
penting dalam menjaga kesehatan tubuh karena berfungsi sebagai penangkap
radikal bebas yang banyak terbentuk dalam tubuh. Untuk mengetahui
besarnya persentase perendaman radikal DPPH (%AA) dari ekstrak metanol
dan daun serai (Cymbopogon nardus) maka dilakukan uji aktivitas
antioksidan dengan menggunakan metode perendaman radikal DPPH.
Dimana metode ini memiliki keunggulan yaitu mudah, cepat, sederhana dan
murah untuk menentukan aktivitas antioksidan. Serta metode DPPH dapat
digunakan untuk sampel cairan atau padat untuk komponen antioksidan yang
khas tetapi digunakan untuk seluruh aktivitas antioksidan pada sampel.
Radikal bebas DPPH adalah sebuah molekul yang mengandung
senyawa radikal bebas yang stabil. Suatu senyawa dikatakan memiliki
aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom
hidrogennya pada radikal bebas yang digunakan DPPH. Pergerakan elektron
di dalam radikal bebas DPPH memberikan perubahan yang dapat diamati

27
pada panjang gelombang 517 nm dan memberikan warna ungu yang khas.
Apabila bereaksi dengan suatu senyawa antioksidan maka terjadi perubahan
warna larutan dari ungu menjadi kuning. Hasil perubahan warna dari ungu
menjadi kuning sebanding dengan jumlah elektron yang ditangkap
(Molyneux, 2004).
Parameter yang digunakan untuk uji penangkapan radikal DPPH adalah
nilai IC50 (Inhibition Concentration 50). Nilai IC50 didefinisikan sebagai
besarnya konsentrasi ekstrak yang dapat menghambat aktivitas radikal bebas
DPPH sebesar 50%. Dimana nilai IC50 diperoleh dari suatu persamaan
regresi linear yang menyatakan hubungan antara konsentrasi ekstrak uji
dengan persen penangkapan radikal. Nilai IC50 yang semakin kecil
menunjukkan aktivitas antioksidan pada bahan yang diuji semakin besar
(Molyneux, 2004).
Hasil uji aktivitas antioksidan dengan metode perendaman radikal
DPPH, bila semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas
antioksidan. Secara spesifik bila suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan
sangat kuat apabila nilai IC50 kurang dari 50 ppm, kuat apabila nilai IC50
antara 50-100 ppm, sedang apabila nilai IC50 antara 101-150 ppm dan lemah
apabila nilai IC50 diantara 151-200 ppm (Blois, 1958 dalam Molyneux,
2004). Berdasarkan klasifikasi diatas dapat bahwa minyak esensial
Cymbopogon nardus menunjukkan kemampuan antioksidan untuk
mengurangi DPPH radikal dengan IC50 2.405 μg / mL. Potensi antioksidan
dari ekstrak juga dibandingkan dengan asam askorbat (vitamin C) sebagai
senyawa refrensi dengan antioksidan kuat untuk mengikat radikal bebas.
Telah dilaporkan juga pada penelitian sebelumnya bahwa keluarga
Cymbopogon memiliki aktivitas antioksidan.

4.2.3 Aktivitas Antibakteri


Setelah dilakukan penelitian data hasil menunjukkan bahwa kontrol
negatif DMSO 5% tidak menunjukkan aktivitas antibakteri, sedangkan

28
minyak atsiri daun sereh wangi menunjukkan adanya aktivitas antibakteri
dengan konsentrasi daya hambat minimum 250 μl/ml – 1000 μl/ml. Tentu
saja ini membuktikan bahwa daun sereh wangi dapat digunakan sebagai obat
tradiosional untuk penggunaan sebagai antioksidan dan antibakteri.

KESIMPULAN

29
Minyak atsiri dari daun Cymbopogon terbukti memiliki aktivitas
antioksidan da antibakteri. Dengan hasil antioksidan kuat yaitu dengan nilai IC50
2405 μl/ml dan aktivitas antibakteri terhadap Bacillus subtilis, Escherichia coli,
Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, dan MRSA (Methicillin
resistant staphylococcus aureus).

DAFTAR PUSTAKA

30
Aristyawan, Andhika, dkk. 2017. Potensi Antibakteri dari Ekstrak Etanol Spons
Agelas cavernosa. Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia Vol.
4 No. 1. Surabaya : Airlangga University

Ditjen POM. 1995. Materia Medika Indonesia.Jakarta : Departemen Kesehatan RI

Efendi, Yuli, dkk. 2013. Antimicrobial potency of ant-plant Extract


(myrmecodiatuberosa jack.) against candida albicans, escherichia
coli,and staphylococcus aureus. Traditional Medicine Journal Vol. 18(1).
Yogyakarta: Gajah Mada University

Guenther E. 1952. The Essensial Oils. New York: Van Nostrands Company.

Hall III CA, Cuppett SL. 1997. Structureactivities of natural antioxidants. Di


dalam: Aruoma OI, Cuppett SL, editor. Antioxidan Metodology: in vivo and
in vitro concepts. Champaigh Illinois: AOCS press.

Jawetz, E., Melnick, J.L. & Adelberg, E.A., 2005, Mikrobiologi Kedokteran.
Jakarta : Salemba Medika

Ketaren S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. PN Balai Pustaka. Jakarta.


Hlm 204-220.

Somaatmadja, D. 1973. Pembinaan mutu minyak atsiri minyak citronella.


Proceedings minyak atsiri I. BPK, Bogor. hal. 17-30.

Naidu AS, Bidlack WR, Crecelius AT. 2000. Flavonoids. Di dalam: Naidu AS.
Editor. Natural food antimicrobial systemsi. New York: CRC Press.

Wijayakusuma HMH. 2001. Tumbuhan berkhasiat obat Indonesia: rempah,


rimpang, dan umbi. Jakarta: Milenia populer.

Oleszek WA. 2000. Saponins. Di dalam. Naidu AS, Editor. Natural food
antimicrobial system. New York: CRC Press.

31
Oyen LPA. 1999. Cimbopogon citratus (DC) Staff. Di dalam: Oyen LPA, Nguyen
XD, editor. Plant resources of South-East Asia No 19. Esential oil plant.
Bagor: Prosea Bogor Indonesia.
Pelczar MJ Jr, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume ke-1, 2.
Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta:
UI Press. Terjemahan dari: Element of Microbiology.

Leung AY, Foster S. 1996. Encyclopedia of common natural ingredients used in


food, drugs and cosmetic. Ed ke-2. New York: John Wiley & Sons.

Ikan R. 1991. Natural Products: A laboratory guide. California: Academic Press


Guenther, E. 2006. Minyak Atsiri. Jilid I. diterjemahkan oleh S, Kataren. Jakarta :
UI-press.

Iorio, E.L. 2007. The Measurement of Oxidative Stress. International Observatory


of Oxidative Stress, Free Radicals and Antioxidant Systems. Specia
supplement to Bulletin.

32

Anda mungkin juga menyukai