Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN BACAAN

Sebagai Tugas Mata Kuliah Teori Kebudayaan

Dosen Pemberi Tugas :


Dr. Wani Rahardjo

Dikerjakan oleh :
DITA AMELIA (1806163120)

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM PASCASARJANA LINGUISTIK
DEPOK
2018
The Material as Culture: Definitions, Perspectives, Approaches

Hidup dalam Dunia Material


Objek adalah benda material yang ditemui manusia, yang dengannya manusia
berinteraksi, dan yang digunakan pula oleh manusia. Terkait dengan itu, maka secara
umum objek dapat disebut sebagai kebudayaan material (material culture). Konsep
“kebudayaan material” (material culture) ini menekankan pada benda-benda mati yang
berada dalam lingkungan manusia, dan kemudian ditindaklanjuti oleh manusia, untuk
melaksanakan fungsi-fungsi sosial, mengatur hubungan sosial manusia, serta memberi
makna simbolik pada aktivitas / kegiatan sehari-hari manusia. Konsep “kebudayaan
material” (material culture) yang dimaksud tersebut mencakup benda-benda yang
beragam: dari yang berukuran kecil hingga yang berukuran besar, dari yang sederhana
hingga yang kompleks, dari yang dapat dibawa-bawa (portable) hingga yang tidak,
seperti contohnya: alat-alat tulis, peralatan makan, kendaraan bermotor, shopping mall,
alat-alat elektronik, dan lain-lain. Jadi, dalam hal ini material culture bermakna sebagai
pokok bahasan (subject-matter) dalam suatu studi. (Woodward, 2007: 3).
Konsep “kebudayaan material” (material culture) juga dapat dipahami sebagai
suatu studi yang menyelidiki penggunaan dan pemaknaan objek, yang mencakup
hubungan manusia dengan objek. Dalam hal ini, konsep “kebudayaan material”
(material culture) disebut sebagai “material culture studies” (disingkat menjadi MCS).
MCS menggabungkan berbagai studi lainnya, yaitu: anthropology, sociology,
psychology, design, dan juga cultural studies. Dengan mempelajari MCS, maka kita
bisa mendapat pemahaman yang lebih baik tentang struktur sosial dan dimensi sistemik
yang lebih besar, seperti perbedaan sosial, perilaku manusia, emosi manusia dan
maknanya melalui objek. Lalu, mucul pertanyaan: Bagaimana objek menjadi
kebudayaan? Pertanyaan itu dapat diketahui dari peranannya dalam kehidupan
manusia, yaitu: sebagai penanda sosial, sebagai penanda identitas, dan juga sebagai
situs kekuatan kebudayaan dan politik (Woodward, 2007: 4-5). Untuk lebih jelasnya,
dapat dilihat dari penjelasan di bawah ini.

1. Objek sebagai Penanda Sosial


Menurut Bourdieu dalam Woodward (2007), objek sebagai penanda sosial
dapat dibentuk dari nilai estetika dari objek yang dipakai. Artinya, adanya perbedaan
selera, pilihan estetika, dapat membentuk ketidaksetaraan sosial. Contohnya, dalam
kasus kacamata hitam, ada penggemar yang mengidentifikasikan dirinya sebagai
penggemar keindahan. Mereka menilai kacamata hitam tersebut dari segi
keserasiannya bila dipasangkan dengan busana yang dikenakannya. Penggemar jenis
ini akan memperhatikan segi fashion dari kacamata hitam. Selain itu, ada pula yang
menyukai kacamata hitam sebagai sesuatu yang indah dipandang mata dan
menjadikannya koleksi.
Objek sebagai penanda sosial dapat dilihat dari sisi kegemaran terhadap
kacamata hitam berdasarkan keindahan atau estetikanya. Kegemaran dari segi ini
membentuk ketidaksetaraan secara sosial, yang dari sisi ini dapat dilihat pada
ketidaksetaraan ekonomi serta status sosial. Kacamata hitam memiliki berbagai macam
harga, mulai dari yang paling mahal hingga yang paling murah. Kacamata hitam yang
mahal tentu memiliki nilai estetika yang lebih tinggi daripada yang murah, misalnya
saja kacamata dengan merk terkenal tentu saja berbeda harganya dengan kacamata
hitam dengan merk yang tidak terkenal. Penggemar yang memiliki kacamata hitam
seharga jutaan pastilah tergolong dari masyarakat kalangan ekonomi atas. Sebaliknya,
penggemar yang memiliki kacamata hitam seharga puluhan ribu tentu tergolong dalam
kalangan ekonomi menengah ke bawah.

2. Objek sebagai Penanda Identitas


Selain sebagai penanda sosial, objek juga merupakan penanda identitas diri.
Dalam hal ini, objek merupakan sesuatu yang sangat pribadi dengan asosiasi yang
sangat kuat terhadap identitas personal seseorang. Contohnya dalam kasus hijab,
seorang Muslimah mengenakan hijab sebagai penanda identitas dirinya yang
menekankan bahwa dia memang seseorang yang memeluk agama Islam. Jadi dalam
hal ini, hijab merupakan objek yang berfungsi sebagai penanda identitas.
Begitu pula dengan contoh kasus yang diberikan oleh Woodward (2007: 10-
12), yaitu Sarah. Dikatakan bahwa Sarah merupakan seorang Kristiani. Dia memiliki
Alkitab (bible) yang membentuk dan juga mewakili identitasnya sebagai seorang
penganut agama Kristen. Bagi Sarah, Alkitab yang dia miliki itu merupakan simbol
dari kepercayaan yang dia pegang teguh, sehingga Alkitab tersebut merupakan objek
yang sangat penting baginya dan merupakan identitas dirinya. Sampai-sampai dia
mendekorasi Alkitab (bible) yang dia miliki itu, sesuai dengan karakteristik pribadinya,
agar identitas pribadinya benar-benar dapat terwakilkan oleh Alkitab (bible)
kepunyaannya tersebut.

3. Objek sebagai Situs Kekuatan Kebudayaan dan Politik


Dalam hal ini, objek dibangun oleh hubungan kekuasaan tertentu, diproduksi
oleh jaringan budaya dan wacana politik, dalam hubungannya dengan manusia,
memproduksi ulang hubungan tersebut. Contoh yang diberikan oleh Foucault dalam
Woodward (2007: 12-14) adalah mengenai panopticon, yang menjelaskan bahwa objek
berada di pusat wacana dan jaringan kekuasaan. Panopticon pada awalnya merupakan
konsep bangunan penjara yang dirancang oleh filsuf berkebangsaan Inggris, yaitu
Jeremy Bentham. Konsep desain penjara itu memungkinkan seorang pengawas untuk
mengawasi semua tahanan, tanpa tahanan itu bisa mengetahui bahwa sebenarnya
mereka sedang diamati.
Pada perkembangannya kemudian, panopticon bukan lagi sekadar desain
arsitektur, namun itu menjadi suatu model pengawasan dan pendisiplinan masyarakat,
yang juga diterapkan hingga saat ini. Filsuf yang mengulas masalah pendisiplinan
masyarakat dengan konsep panopticon ini adalah Foucault. Ini adalah manifestasi
kekuasaan yang tersembunyi. Sebagai contoh, seragam sekolah menjadi wujud
panopticon. Jika siswa mengenakan seragam sekolah, maka siswa tidak dapat
berperilaku secara bebas. Ketika membolos dengan mengenakan seragam, maka dia
akan dengan mudah dikenali. Selain itu, sekeliling gedung sekolah biasanya dipasang
pagar pembatas agar siswa tidak sembarangan keluar masuk lingkungan sekolah. Pintu
gerbang akan ditutup selama jam belajar di sekolah berlangsung, dan siswa tidak bisa
dengan mudah membuka pintu gerbang ini. Mereka selalu diawasi. Maka dalam hal
ini, pagar sekolah menjadi panopticon, yang menjaga lingkungan sekolah dan
mencegah siswa membolos pada jam sekolah

Kesimpulan:
Objek kebudayaan material (material culture) adalah komponen material yang
dapat dipersepsikan melalui pancaindera manusia dan merupakan hasil budidaya
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup. Objek kebudayaan material (material
culture) tentu saja memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia, yaitu (1) objek
sebagai penanda sosial (objects as social markers), yang dapat dicontohkan dengan
kepemilikan kacamata hitam sebagai penanda kelas sosial seseorang, (2) objek sebagai
penanda identitas (objects as markers of identity), yang dapat dicontohkan dengan
pemakaian hijab sebagai penanda identitas diri seseorang bahwa dia merupakan
seorang penganut agama Islam, dan kepemilikan Alkitab (bible) sebagai penanda
identitas diri seseorang (Woodward mencontohkan Sarah) bahwa dia merupakan
seorang penganut agama Kristen., serta (3) objek sebagai situs kekuatan kebudayaan
dan politik (objects as sites of cultural and political power), yang dapat dicontohkan
dengan pemakaian seragam sekolah terhadap siswa dan adanya pagar sekolah sebagai
panopticon (sebuah situs kekuasaan terhadap pengawasan dan pendisiplinan diri).

Sumber Bacaan:
Woodward, Ian. 2007. Understanding Material Culture – Chapter 1: The Material as
Culture. Definitions, Perspectives, Approaches. London: SAGE Publication.

Anda mungkin juga menyukai