Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM BAHAN HAYATI LAUT

Nama Praktikan :
Aditya R.A
NIM
Ilmu Kelautan D / Kelompok 2

Nama Asisten :
Marwa Irfan H. 26020115120061 Astiya Luxfi R. 26020115120033
Wita Kristianti S. 26020115120007 Evi Lutfiyani 26020115130121
Azelia Nur A. 26020115130146 Ika Alviani F. 26020115140135
Putri Hutari G. 26020115120016 Rizky Rifatma J. 26020115140143

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
LEMBAR PENILAIAN DAN PENGESAHAN
PRAKTIKUM BAHAN HAYATI LAUT 2019

Nama : Aditya R.A NIM : 26040117130107 Ttd :

NO. KETERANGAN NILAI

1 PENDAHULUAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

3 MATERI DAN METODE

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 PENUTUP

TOTAL

Semarang, 20 Mei 2019

Mengetahui,
Koordinator Asisten, Asisten,

Marwa Irfan Hanif Wita Kristianti S.


NIM. 26020115120061 NIM.26020115120007

Mengesahkan,
Koordinator Dosen Praktikum

Dr. Ir. Delianis Pringgenies, M.Sc


NIP. 19581007 198703 2 001
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T karena hanya dengan rahmat dan hidayah-
Nya hingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Resmi Bahan Hayati Laut ini untuk memenuhi
syarat mata kuliah Bahan Hayati Laut. Laporan Resmi Bahan Hayati Laut ini diharapkan dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam
memahami Ekstraksi Maserasi, Uji Toksisitas dengan BSLT dan Uji Fitokimia Sampel Bahan
Hayati Laut.
Penulis mengucapkan Terimakasih kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Bahan Hayati Laut,
Asisten Bahan Hayati Laut, Orang Tua, Search Engine, Academia dan teman teman Ilmu Kelautan
yang telah memberi kesempatan, dukungan dan motivasi dalam pembuatan dan penyusunan
laporan ini. Laporan Resmi Bahan Hayati Laut ini penulis akui masih banyak kekurangan karena
pengalaman yang penulis miliki masih sangat kurang. Oleh kerena itu penulis harapkan kepada
para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan. Semoga penyusunanLaporan Resmi Bahan Hayati Laut ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak, terutama kepada penulis.

Semarang, 23 Mei 2019

Penulis,

Aditya R.A
NIM. 26040117130107
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Manusia selalu berinovasi dan berekplorasi, termasuk mengekplorasi keuntungan yang bisa
didapatkan di laut. Laut menyediakan bahan-bahan dan banyak hal lainnya yang lebih daripada di
darat, bahkan lebih berkualitas. Contoh dari inovasi manusia ini adalah bahan hayati laut. Bahan
hayati laut merupakan berbagai macam bahan dari alam raya ini yang dipergunakan untuk manusia.
Sumber bahan alam dapat dibedakan berdasarkan habitatnya, yakni sumber bahan hayati darat dan
sumber hayati laut. Sumber daya hayati laut memiliki kekayaan bahan alam jauh lebih besar
dibandingkan darat, karena organisme yang hidup di laut meliputi wilayah permukaan hingga di
kedalaman laut mencapai lebih dari 10.000 m sehingga lebih kaya akan bahan hayatinya.
Disisi lain, karena tekanan ekologi dan intensifnya kompetisi di laut msks mengakibatkan
organismenya mensintesis metabolit sekunder yang digunakan untuk mempertahankan diri dan
kompetisi. Berbeda dengan kondisi di darat bahwa organisme yang mensintesis metabolit sekunder
banyak dari kelompok tingkat tinggi tapi kondisi di laut organisme yang mensintesis metabolit
sekunder banyak pada kelompok tingkat rendah, seperti organisme yang menetap in mobole yakni
kelompok invertebrata, karena kondisi ketidakmampuan melarikan diri dari predator, maka
melalui produksi senyawa metabolit sekunder, organisme laut dapat mereduksi gangguan predator.
Walau pemanfaatan bahan alam laut sudah dikenal sebagai makanan dan obat dari jaman nenek
moyang bangsa Indonesia, namun penelitian tentang bahan hayati alam laut kurang banyak
mendapat perhatian karena berbagai alasan. Karena itulah sebagai mahasiswa ilmu kelautan kita
perlu mempelajari keanekaragaman bahan hayati laut dan menggunakannya untuk keuntungan
umat manusia.
1.2. Tujuan Praktikum
1.2.1. Memahami cara melakukan ekstraksi maserasi menggunakan pelarut organik
1.2.2. Melakukan kegiatan pemekatan sampel menggunakan Rotary Evaporator

1.3. Manfaat
1. Paham dan mengerti kegunaan bahan hayati laut dan pengolahannya.
2. Mengetahui kandungan dalam sampel bahan yang diujikan.
3. Dapat melakukan sendiri uji metabolit sekunder sederhana pada sampel
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Azadirachta indica


Azadirachta indica adalah pohon cemara yang berasal dari anak benua India milik keluarga
Meliaceae dan ordo oleh Rutales. Pohon Mimba dipelajari secara ekstensif untuk produk-produk
alami. Minyak nimba dan limonoidnya seperti azadirachtin, nimbin, salannin antara lain memiliki
nilai ekonomi yang substansial karena beragamnya aplikasi di pertanian, perawatan kesehatan dan
konservasi tanah. Azadirachtin, terisolasi setengah abad yang lalu, telah dipelajari secara intensif
dan formulasi komersialnya diketahui beracun terhadap sejumlah besar spesies serangga,
sementara tetap mempertahankan toksisitas mamalia yang sangat rendah. Keberhasilan baru-baru
ini dalam sintesis total azadirachtin telah memperbarui minat terhadap eksploitasi komersialnya.
Azadirachtin yang diturunkan dari Mimba dan limonoid lain juga digunakan sebagai anti-pro-
liferatif, sitotoksik, larvisidal, dan agen anti-inflamasi, menunjukkan perlunya lebih baik
memahami jalur molekuler yang terlibat dalam sintesis mereka (Krishnan et al., 2012).
Ini telah digunakan dalam pengobatan Ayurvedic selama lebih dari 4000 tahun karena
keberadaan nilai obatnya. Mimba mengandung lebih dari 300 unsur kimia seperti azadirachtin,
meliacin, gedunin, salanin, nimbin, valassin dan banyak turunan lainnya dari prinsip-prinsip ini.
Azadirachtin komponen aktif utama umumnya digunakan sebagai penanda biologis untuk tanaman
ini Neem disebut “arista” dalam bahasa Sansekerta kata yang berarti sempurna, lengkap dan tidak
dapat binasa. Ia dikenal untuk aktivitas pestisida terhadap lebih dari 400 hama serangga dan
aktivitas farmakologis, seperti anti-inflamasi, anti-malaria, anti-kesuburan, antimikroba,
hepatoprotektif, penyembuhan luka (Gupta et al., 2013).

2.2. Holothuria atra


Salah satu invertebrata laut potensial yang digunakan sebagai penghasil senyawa antikanker
adalah teripang. Teripang adalah anggota Holothuroidea yang termasuk dalam filum
Echinodermata. Kelompok hewan ini memiliki bentuk seperti mentimun dan hidup di laut. Jenis
Holothuroidea ini diperkirakan lebih dari 1200 spesies di dunia, tetapi hanya 66 spesies yang
dianggap sebagai teripang. Ada sekitar 350 spesies Holothuroidea di mana sekitar 54 spesies
dikelompokkan sebagai teripang di Indonesia. Teripang adalah salah satu jenis invertebrata laut
yang menarik perhatian para peneliti dan ahli gizi karena memiliki banyak manfaat kesehatan dan
sekarang banyak digunakan dalam pengobatan penyakit radang kronis. Ini dipelajari secara luas
untuk kemanjurannya sebagai anti-inflamasi, imunostimulan, dan pencegahan dan pengobatan
kanker. Sampai sekarang, senyawa bioaktif farmakologis dari teripang telah diidentifikasi,
termasuk senyawa bioaktif antiangiogenik, antikanker, antikoagulan, antihipertensi, antiinflamasi,
antimikroba, antioksidan, antitrombotik, dan sebagai penyembuh luka. Beberapa jenis senyawa
bioaktif yang bertanggung jawab atas bioaktivitasnya adalah triterpen glikosida, kondroitin sulfat,
glikosaminoglikan, olysaccharides sulfate, sterol, fenolat, peptida, serebrosida, dan lektin (Nursid
et al., 2019).
Peningkatan bakteri patogen yang resisten terhadap biotik telah merangsang pencarian agen
antimikroba dari sumber alternatif. Ekstrak kasar dari teripang, juga dikenal sebagai Holothuria
atra (H. atra), mengandung cytostatic, antijamur, hemolitik, antikanker dan senyawa fenolik
antioksidan, sementara itu juga memiliki efek imunomodulator. Ekstrak ini
telah ditemukan memiliki aktivitas hepatoprotektif potensial terhadap cedera hati yang diinduksi
thioacetamide dalam model tikus. Selain itu, efek kuratif ekstrak teripang dilaporkan terhadap
penyakit hepatorenal yang diinduksi DMBA pada tikus. Lebih lanjut, lokalisasi in situ dari caspase-
3 yang terpotong mungkin memiliki aplikasi dalam pelabelan histologis sel dalam apoptosis.
Lisofosfolipid dari H. atra juga terbukti menghambat apoptosis yang diinduksi H2O2 pada
makrofag (Saad et al., 2016).
Taksonomi

Tabel 1. Taksonomi famili Holothuriidae


Nama Takson : Holothuria atra (Jaeger, 1833 dalam Conand et al., 2013).
Menurut Uthicke et al., 2010 dalam Conand et al., 2013, mengatakan bahwa ada dua bentuk
dari H. atra (satu lebih kecil di tepi pantai yang bereproduksi secara aseksual, dan yang lain lebih
besar di terumbu luar tanpa reproduksi aseksual) yang ditemukan identik secara genetik. Spesies
ini tersebar luas di Indo-Pasifik, dan dianggap berlimpah di banyak bagian jangkauannya. Ini tidak
memancing secara luas, dan tidak ada ancaman lain yang diketahui. Terdaftar sebagai Least
Concern.

2.3. Ekatraksi
Ekstraksi adalah langkah pertama untuk memisahkan produk alami yang diinginkan dari
bahan baku. Metode ekstraksi meliputi ekstraksi pelarut, metode distribusi, penekanan dan
sublimasi sesuai dengan prinsip ekstraksi. Ekstraksi pelarut adalah metode yang paling banyak
digunakan. Ekstraksi produk alami berlangsung melalui tahap-tahap berikut: pelarut menembus ke
dalam matriks padat; zat terlarut larut dalam pelarut; solusi tersebar keluar dari matriks padat; zat
terlarut yang dikumpulkan dikumpulkan. Faktor apa pun yang meningkatkan difusi dan kelarutan
dalam langkah-langkah di atas akan memfasilitasi ekstraksi. Pelarut ekstraksi, ukuran partikel
bahan baku, rasio pelarut-padatan, suhu ekstraksi dan lama ekstraksi akan mempengaruhi efisiensi
ekstraksi (Zhang et al., 2018).
Pemilihan pelarut sangat penting untuk ekstraksi pelarut. Selektivitas, kelarutan, biaya dan
keamanan harus dipertimbangkan dalam pemilihan pelarut. Berdasarkan hukum kesamaan dan
intermiscibilitas (seperti suka larut), pelarut dengan nilai polaritas dekat dengan polaritas zat
terlarut cenderung berkinerja lebih baik dan sebaliknya. Alkohol (EtOH dan MeOH) adalah pelarut
universal dalam ekstraksi pelarut untuk investigasi fitokimia. Secara umum, semakin halus ukuran
partikel, semakin baik hasil ekstraksinya. Efisiensi ekstraksi akan ditingkatkan oleh ukuran partikel
kecil karena peningkatan penetrasi pelarut dan difusi zat terlarut. Namun, ukuran partikel yang
terlalu halus akan menyebabkan absorpsi zat terlarut dalam jumlah besar dan kesulitan dalam
penyaringan berikutnya (Zhang et al., 2018).
2.3.1. Jenis – jenis Ekstraksi

Tabel 2. Ringkasan singkat dari berbagai metode ekstraksi


untuk produk alami (Zhang et al., 2018)
Ekstraksi dapat dilakukan secara beruntun dengan metode yang berbeda, seperti teknik
ekstraksi tiga arah baru berdasarkan kombinasi ekstraksi Soxhlet, ekstraksi pelarut berbantuan
membran, dan polimer tercetak secara molekuler menggunakan sludge polycyclic aromatic
hydrocarbon sebagai model senyawa. Dasar teoritis dari teknik SE-MASE-MIP adalah bahwa
ketika analit diekstraksi dari sampel padat menggunakan ekstraksi Soxhlet, mereka segera
ditransfer melintasi membran ke fase akseptor non-polar dan akhirnya ke dalam rongga polimer.
Membran adalah selektif ukuran dan membantu menghilangkan matriks berat molekul tinggi
(HMW), yang memiliki kecenderungan untuk menyumbat rongga-rongga polimer sehingga
mengurangi efisiensinya. Kinerja teknik MASE-MIP telah dibuktikan dalam penelitian lain.
Ekstraksi tiga arah terintegrasi menggunakan teknik SE-MASE-MIP menghilangkan kebutuhan
untuk langkah pembersihan lebih lanjut yang umum dengan ekstraksi Soxhlet dan teknik ekstraksi
padat-cair lainnya dengan memperkenalkan prosedur pembersihan in-situ (Ncube et al., 2017).
2.3.2. Kelebihan dan Kekurangan Maserasi
Ini adalah metode ekstraksi yang sangat sederhana dengan kerugian waktu ekstraksi yang
lama dan efisiensi ekstraksi yang rendah. Ini dapat digunakan untuk ekstraksi komponen
termolabil. Maserasi adalah metode sederhana dan efektif untuk ekstraksi senyawa fenolik
menggunakan maserasi, gelombang mikro dan teknik ekstraksi ultrasonik menunjukkan bahwa
microwave dibantu ekstraksi (MAE) adalah yang paling efektif, tetapi suhu yang lebih rendah
diterapkan dalam maserasi dengan hasil ekstraksi yang hampir sama, yang dapat diterjemahkan ke
dalam manfaat ekonomi. Mengevaluasi efisiensi ekstraksi polifenol menggunakan berbagai teknik
ekstraksi (maserasi, ekstraksi berbantuan panas dan ekstraksi berbantuan ultrasonik). Berdasarkan
kandungan polifenol total, ekstraksi berbantuan ultrasonik memiliki hasil total tertinggi. Hasil
flavonoid tidak ada perbedaan signifikan secara statistik ditemukan antara maserasi dan ekstraksi
berbantuan panas (Zhang et al., 2018).
Metode maserasi memiliki berbagai kelebihan disamping kekurangannya. Dilihat dari sisi
ekonomis metode maserasi dapat menggunakan pelarut hanya air meskipun juga tergantung pada
bahan yang akan diekstrak. Penggunaan suhu metode maserasi juga hanya sebats suhu ruangan dan
dengan tekanan atmosfir saja. Berdasar pada hal tersebut maserasi sangat mudah dilakukan. Meski
demikian metode maserasi memiliki kekurangan seperti metode ini dilakukan dalam jangka waktu
yang lama dan berulang untuk beroleh hasil yang maksimal. Meski penggunaan pelarut dapat
menyesuaikan harga namun kebutuhan akan pelarut lebih banyak karena harus dapat merendam
sampel (Sankeshwari et al., 2018).
2.4. Pelarut
Pelarut organik (disebut pelarut pendek) adalah di antara bahan kimia industri yang paling
umum, dan telah digunakan di berbagai sudut di industri baik di negara maju maupun negara
berkembang. Jenis pelarut yang digunakan dapat bergeser dari satu ke yang lain dalam refleksi dari
berbagai faktor seperti pertumbuhan dan pembusukan industri) serta masalah kesehatan kerja dan
pertimbangan untuk kimia hijau). Dalam kasus Jepang misalnya, kasus baru keracunan akibat kerja
yang disebabkan oleh paparan karbon disulfida), benzena (kemudian pelarut lem)), atau n-heksana)
tidak lagi dilaporkan karena industri rayon sudah tidak ada lagi dan mengutip produksi barang kaki
berbasis bahan sintetis telah pindah ke negara lain. Dengan demikian, pemantauan terus menerus
untuk jenis pelarut yang biasa digunakan dalam industri merupakan masalah penting untuk
manajemen kesehatan kerja yang tepat di tempat kerja pelarut (Nagasawa et al., 2011).

Tabel 3. Pelarut organik terdaftar dalam Peraturan untuk Pencegahan Keracunan Pelarut Organik
(Nagasawa et al., 2011)
2.4.1. N-heksana
Bahan kimia yang terbuat dari minyak mentah yang dicampur dengan pelarut untuk sejumlah
kegunaan. Menghirup n-heksana menyebabkan kerusakan saraf dan kelumpuhan lengan dan kaki.
Sebagian besar n-heksana yang digunakan dalam industri dicampur dengan bahan kimia serupa
yang disebut pelarut. Penggunaan utama untuk pelarut yang mengandung n-heksana adalah untuk
mengekstraksi minyak nabati dari tanaman seperti kedelai. Pelarut ini juga digunakan sebagai
bahan pembersih di industri percetakan, tekstil, furnitur, dan pembuat sepatu. Jenis lem khusus
yang digunakan dalam industri atap dan sepatu serta kulit juga mengandung n-heksana. Beberapa
produk konsumen mengandung n-heksana, seperti bensin, lem cepat kering yang digunakan dalam
berbagai hobi, dan semen karet (Ghouri dan Usman, 2017).
N-Hexane menguap dengan sangat mudah ke udara di mana ia terurai dalam beberapa hari.
Sebagian besar n-heksana yang tumpah di air mengapung di permukaan tempat ia menguap ke
udara. Jika n-heksana tumpah di tanah, sebagian besar menguap sebelum dapat meresap ke dalam
tanah. n-Hexane tidak terkonsentrasi oleh tanaman, ikan, atau hewan. Beberapa spesies jamur telah
dilaporkan nematofag dan antiprotozoan. Penelitian ini melaporkan sifat antiplasmodial dan
sitotoksik dari ekstrak n-heksan dari jamur yang dapat dimakan Pleurotus ostreatus dan isolasi
sterol dari ekstrak (Afieroho et al., 2018).
2.4.2. Etil Asetat
Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus CH3CH2OC(O)CH3/ CH3COOC2H5.
Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Senyawa ini berwujud cairan, tak
berwarna tetapi memiliki aroma yang khas. Menurut Sankeshwari et al. (2018), etil asetat
merupakan pelarut polar menengah yang mudah menguap, tidak beracun dan tidak higroskopis.
Etil asetat dapat melarutkan air hingga 30% dan larut dalam air hingga kelarutan 8% pada suhu
kamar. Kelarutannya meningkat pada suhu yang lebih tinggi, namun senyawa ini tidak stabil dalam
air mengandung basa atau asam. Etil asetat dapat dihidrolisis pada keadaan asam atau basa yang
menghasilkan asam asetat dan etanol kembali. Katalis yang digunakan adalah asam sulfat
(H2SO4), karena berlangsungnya reaksi. Reaksi kebalikan hidrolisis yaitu, esterifikasi ficher.
Untuk memperoleh hasil rasio yang tinggi biasanya digunakan asam kuat dengan proposi
stoikiometris, misalnya natrium hidroksida. Reaksi ini menghasilkan etanol dan natrium asetat
yang tidak dapat di reaksi lagi dengan etanol.
2.4.3. Methanol
Metanol adalah senyawa Alkohol dengan 1 rantai karbon. Rumus Kimia CH3OH, dengan
berat molekul 32. Titik didih 640 -650 C (tergantung kemurnian), dan berat jenis 0,7920-0,7930
(juga tergantung kemurnian). Secara fisik metanol merupakan cairan bening, berbau seperti
alkohol, dapat bercampur dengan air, etanol, chloroform dalam perbandingan berapapun,
hygroskopis, mudah menguap dan mudah terbakar dengan api yang berwarna biru (Sankeshwari et
al., 2018).

2.5. Brine Shrimp Lethality Test


Salah satu metode awal yang sering dipakai untult mengamati toksisitas senyawa dan
inerupakan metode penapisan untuk aktivitas antikanker senyawa kimia dalam ekstrak tanaman
adalah Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), dengan menggunakan cara Meyer. Metode ini
ditujukan terhadap tingltat mortalitas larva udang Artemia salina L. yang disebabkan oleh ekstrak
uji. Hasil yang diperoleh dihitung sebagai nilai LCs0 (Zeta1 concentration) ekstrak uji, yaitu
jumlah dosis atau konsentrasi ekstrak uji yang dapat menyebabkan kematian larva udang sejumlah
50% setelah masa inkubasi 24 jam. Senyawa dengan LCso < 1000 pglrnl dapat dianggap sebagai
suatu senyawa aktif berdasarkan Meyer ('4. 15). Penelitian BSLT ini merupakan uji untuk
mengetahui potensi bio aktifitas biologi berdasarkan metabolit sekunder (Braguini et al., 2018).
Tingkat toksisitas dari ekstrak dapat ditentukan dengan melihat harga LC50. Nilai LC50
dihitung dengan analisis probit. Dari presentase data kematian larva artemia dikonversikan ke nilai
probit untuk menghitung harga LC50. Apabila harga LC50 < 1000 mikron/ml maka dapat
dilanjutkan dengan pengujian antikanker mengguanakan biakan sel kanker. Cara ini dapat
menghemat waktu dan biaya penelitian. Parameter yang digunakan untuk menunjukan adanya
aktivitas biologis suatu senyawa pada artemia adalah kematian (Olowa dan Olga, 2013).
2.6. Lethal Concentration 50 (LC50)
Lethal Concentration 50 (LC50) yaitu konsentrasi yang menyebabkan kematian sebanyak
50% dari organisme uji ayang dapat diestimasi dengan grafik dan perhitungan, pada suatu waktu
pengamatan tertentu, misalnya LC50 48 jam, LC50 96 jam sampai waktu hidup hewan uji. Lethal
Concentration 50 atau biasa disingkat LC 50 adalah suatu perhitungan untuk menentukan keaktifan
dari suatu ekstrak atau senyawa. Makna LC 50 adalah pada konsentrasi berapa ekstrak dapat
mematikan 50 % dari organisme uji, misalnya larva Artemia salina (brine shrimp) (Shaala et al.,
2015).
Untuk mengetahui nilai LC-50 digunakan uji static. Ada dua tahapan dalam penelitian, yaitu
:
1. Uji pendahuluan yaitu untuk menentukan batas kritis konsentrasi yaitu konsentrasi yang
dapat menyebabkan kematian terbesar mendekati 50% dan kematian terkecil mendekati
50%.
2. Uji lanjutan yaitu setelah diketahui batas kritis, selanjutnya ditentukan konsentrasi akut
berdasarkan seri logaritma konsentrasi.
Tingkat Racun Nilai (LC50) (ppm)
Racun Tinggi <1
Racun Sedang >1 dan <100
Racun Rendah >100
Tabel 4. Kriteria tingkatan nilai toksisitas akut LC50-48 jam
pada lingkungan perairan (Narwiyani, 2010)

2.7. Golongan Senyawa Metabolit Sekunder


2.7.1. Saponin
Saponin merupakan senyawa dalam bentuk glikosida yang tersebar luas pada tanaman
tingkat tinggi serta beberapa hewan laut dan merupakan kelompok senyawa yang beragam dalam
struktur, sifat fisikokimia dan efek biologisnya. Saponin yang banyak terkandung dalam tanaman
telah lama digunakan untuk pengobatan tradisional. Saponin merupakan glikosida yang memiliki
aglikon berupa steroid dan triterpenoid. Saponin memiliki berbagai kelompok glikosil yang terikat
pada posisi C3, tetapi beberapa saponin memiliki dua rantai gula yang menempel pada posisi C3
dan C17. Struktur saponin tersebut menyebabkan saponin bersifat seperti sabun atau deterjen
sehingga saponin disebut sebagai surfaktan alami (Yanuartono et al., 2017).
Saponin steroid tersusun atas inti steroid (C 27) dengan molekul karbohidrat dan jika
terhidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang dikenal saraponin. Saponin steroid terutama terdapat
pada tanaman monokotil seperti kelompok sansevieria (Agavaceae), gadung (dioscoreaceae) dan
tanaman berbunga (Liliacea). Saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan senyawa
karbohidrat yang dihidrolisis menghasilkan aglikon yang dikenal sapogenin. saponin triterpenoid
banyak terdapat pada tanaman dikotil seperti kacang-kacangan (leguminosae), kelompok pinang
(Araliaceae), dan Caryophyllaceae. Saponins terdapat pada sejumlah besar tanaman dan beberapa
hewan laut seperti teripang atau timun laut (Thom et al., 2018).
2.7.2. Flavonoid
Flavonoid adalah salah satu metabolit sekunder yang menonjol yang ditemukan di kerajaan
tumbuhan dan merupakan kelompok senyawa polifenol. Polifenolik terhidroksilasi ini disintesis
sebagai respons terhadap infeksi mikroba atau faktor stres lainnya pada tanaman. Jalur
fenilpropanoid mengarah ke sintesis flavonoid dan dilaporkan menginduksi sistem enzim
pelindung pada manusia. Strukturnya rumit karena pusat kiral ganda hadir untuk membuat sintesis
kimianya rumit dan tidak layak dalam skala komersial. Flavonoid, produk alami dan sekelompok
fenil benzopren berat molekul rendah, merupakan bagian penting dari makanan sehari-hari kita.
Flavonoid banyak terdapat di buah-buahan, sayuran, bunga, teh, dan anggur dan dikenal karena
manfaat kesehatan yang dikaitkan dengan sifat antioksidan, anti-inflamasi, antimutagenik,
antimikroba, antikanker, antialergi, dan antivirus. Flavonoid tidak dapat dihindari dalam berbagai
aplikasi obat, nutraceutical, dan kosmetik (Jacob dan Jibu, 2019).
Warna merah, biru, dan ungu di jaringan tanaman adalah karakteristik flavonoid dan
berlimpah di tanaman. Flavonoid memiliki peran berbeda dalam reproduksi tanaman khususnya
dalam penyerbukan dan penyebaran benih. Selain itu, warna yang menarik sangat penting untuk
melindungi sel-sel daun dari kerusakan yang disebabkan oleh fotooksidasi dan selanjutnya
meningkatkan pemulihan nutrisi selama penuaan. Fungsi flavonoid ditentukan oleh strukturnya,
pergantiannya, dan konjugasinya dan secara khusus berdasarkan tingkat hidroksilasi dan
polimerisasi. Inti sel mesofil adalah lokasi untuk flavonoid, dan berada dalam situs sintesis spesies
oksigen reaktif (ROS) (Zhang et al., 2018).
2.7.3. Tanin
Tanin, yang berbiaya rendah dan polimer alami, mengandung senyawa polifenol dengan
berat molekul yang diubah antara 500 dan ribuan Dalton. Dalam proses fotokatalisis, tanin dapat
berfungsi sebagai perangkap dan pembawa elektron untuk memperpanjang usia pasangan lubang
elektron. Jadi, rekombinasi lubang elektron ditekan secara efektif dan efisiensi fotokatalitik
semikonduktor dikembangkan. Sifat antibakteri dari tanin telah dikenal sejak lama. Jumlah dan
lokasi gugus hidroksil dalam struktur fenolik ini memainkan peran penting dalam toksisitasnya
terhadap mikroorganisme. Ketika jumlah gugus hidroksil meningkat, toksisitas juga meningkat.
Jadi, tanin menghambat pertumbuhan jamur, bakteri, dan virus (Güy et al., 2018).
Tanin adalah metabolit polifenol sekunder yang didistribusikan secara luas dalam kayu, kulit
kayu, daun, buah-buahan, akar, dan biji-bijian, dan untuk banyak tanaman yang berbeda mereka
melindungi terhadap infeksi dan serangga. Kompleksitas struktur, sifat, dan kimia mereka sangat
tergantung pada asal mereka, peran dalam kehidupan tanaman, lokasi, dan vegetasi di sekitarnya.
Selain itu, tanin dapat ditemukan di hampir semua tanaman dan iklim dunia yang luas yang dapat
menjelaskan berbagai struktur molekul dan massa molar mereka. Tanin komersial yang paling
umum terutama diperoleh dari kayu Quebracho (Schinopsis balansae dan S. lorentzii), serta dari
kulit pohon Mimosa (Acacia mearnsii), Pinus, dan spesies Eucalyptus (Grenda et al., 2018).
2.7.4. Steroid
Steroid adalah senyawa organik lemak sterol tidak terhidrolisis yang didapat dari hasil reaksi
penurunan dari terpena atau skualena. Steroid merupakan kelompok senyawa yang penting dengan
struktur dasar sterana jenuh dengan 17 atom karbon dan 4 cincin. Senyawa yang termasuk turunan
steroid, misalnya kolesterol, ergosterol, progesteron, dan estrogen. Pada umunya steroid berfungsi
sebagai hormon. Steroid mempunyai struktur dasar yang terdiri dari 17 atom karbon yang
membentuk tiga cincin sikloheksana dan satu cincin siklopentana. Perbedaan jenis steroid yang
satu dengan steroid yang lain terletak pada gugus fungsional yang diikat oleh ke-empat cincin ini
dan tahap oksidasi tiap-tiap cincin (Nocentini et al., 2018).
Steroid mencakup berbagai senyawa yang terkait secara struktural yang banyak
didistribusikan di dunia hewan dan tumbuhan. Fitur kimia umum di antara kelas yang beragam
didasari oleh nukleus perhydrocyclopentanophenanthrene. Steroid termasuk senyawa penting
untuk kehidupan seperti kolesterol, asam empedu, dan hormon seks yang memainkan beberapa
respons fisiologis yang dimediasi oleh aksi genomik dan non-genomik. Sinyal androgen baru-baru
ini disarankan untuk dikaitkan dengan perkembangan kanker kandung kemih. Steroid sulfatase
(STS) adalah enzim aktivasi steroid sulfat, yang dianggap sebagai salah satu enzim kunci dalam
jalur pensinyalan androgen (Shimizu et al., 2018).
III. MATERI dan METODE

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum Bahan Hayati Laut dilaksanakan mulai tanggal 8 April 2019-4 Februari 2019.
Praktikum dilaksanakan satu kali dalam seminggu sebanyak 4 kali pertemuan dan dilakukan tiap
hari Senin pada pukul 08.00-10.00 WIB, di Laboratorium Mikrobiologi lantai 2 sedang pertemuan
3 (2 Mei 2019) di Laboratorium Kimia Dasar Gedung E, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Diponegoro, Semarang. Pertemuan 1-3 merupakan uji laboratorium dan pertemuan ke
4 berupa analisis data. Materi yang digunakan adalah ekstrak daun Rhizopora mucronata yang
dilarutkan dalam 3 pelarut kemudian di uji BSLT untuk potensi dan Fitokim untuk mengtahui
kandungan senyawa bioaktif. Praktikum mata kuliah Bahan Hayati Laut (BHL) yang terdiri atas 3
materi praktikum yaitu Ekstraksi (Maserasi), Uji BSLT dan Uji Fitokimia.

3.2. Alat dan Bahan


3.2.1. Alat
3.2.1.1.Alat dan Bahan Ekstraksi
Tabel 5. Alat bahan ekstraksi
No. Nama alat dan bahan Fungsi
1. Gelas beaker Wadah daun mimba
2. Neraca digital Menimbang daun mimba
3. Gunting Menggunting daun mimba
4. Lateks Melindungi tangan dari pelarut
5. Kamera (HP) Alat untuk dokumentasi
6. Jerigen n- heksana Wadah n-heksana
7. Kertas saring Menyaring larutan daun mimba
8. Botol Wadah pelarut perendaman
9. Spidol Menulis label
10. Alat tulis Mencatat hasil atau data
11. Daun mimba Bahan yang diamati
12. N-heksana Pelarut
13. Aluminium foil Menutup gelas beaker
14. Tisu Membersihkan alat

3.2.1.2.Alat dan Bahan Uji BSLT


Tabel 6. Alat Bahan Uji BSLT
No. Nama alat dan bahan Fungsi
1. Pipet tetes Wadah daun mimba
2. Neraca digital Menimbang daun mimba
3. Botol vial Menggunting daun mimba
4. Gelas beaker Melindungi tangan dari pelarut
5. Kamera (HP) Alat untuk dokumentasi
6. Gelas ukur Wadah n-heksana
7. Senter Menyaring larutan daun mimba
8. Alat tulis Mencatat hasil atau data
9. Artemia salina Bahan yang diamati
10. Air laut Pelarut
11. DMSO Menutup gelas beaker
12. Ekstrak etil Membersihkan alat

3.2.1.3.Alat dan Bahan Uji Fitokimia


Tabel 7. Alat Bahan Uji Fitokimia
No. Nama alat dan bahan Fungsi
1. Pipet tetes Wadah daun mimba
2. Neraca digital Menimbang daun mimba
3. Gelas beaker Melindungi tangan dari pelarut
4. Kamera (HP) Alat untuk dokumentasi
5. Gelas ukur Wadah n-heksana
6. Alat tulis Mencatat hasil atau data
7. Ekstrak daun mimba Bahan yang diamati
8. Etil asetat Pelarut
9. Kloroform pekat Menutup gelas beaker
10. H2SO4 Membersihkan alat

3.3. Prosedur Kerja


3.3.1. Esktrasi (Maserasi)
1. Alat dan bahan disiapkan
2. Daun mimba dipotong kecil – kecil menggunakan gunting
3. Daun mimba ditimbang hingga berat mencapai 150 gr dan diletakkan pada gelas ukur
4. Pelarut n – heksana dimasukkan kedalam gelas beaker hingga daun mimba terendam
seluruhnya
5. Gelas beaker ditutup dengan aluminium foil hingga rapat kemudian diberi tagging
6. Daun mimba dilakukan selama 1x24 jam
7. Daun mimba disaring dengan kertas saring hingga pelarut terpisah dengan daun
mimba di gelas beaker yang berbeda
8. Pelarut dituang kedalam botol lalu di tagging.
3.3.2. BSLT
3.3.2.1.Pengenceran ekstrak
1. Ekstrak hasil rotary evaporator diambil sebanyak 0,01 gram dan dicampurkan dengan
5 mL air laut untuk membuat larutan stok 2000 ppm
2. Larutan stok ditambahkan dengan DMSO untuk membantu pencampuran
3. Larutan stok diambil sebanyak 2,5 mL , dan air laut diambil sebanyak 2,5 mL lalu
dicampurkan untuk membuat larutan uji 1000 ppm
3.3.2.2.Pengujian BSLT
1. Artwmia salina diambil sebanyak 10 ekor lalu dimasukkan kedalam botol vial
2. Air laut ditambahkan sedikit agar larva udang tidak langsung mati saat terkena ekstrak
3. Ekstrak uji ditambahkan sebanyak 2,5 mL
4. Ekstrak uji ditambahkan hingga kadar campuran didalam vial mencapai 5 mL (2,5 mL
air laut)
5. Artemia salina diamati selama satu hari dengan selang waktu setiap 6 jam sekali
6. Data dicatat dan pengamatan di dokumentasikan
3.3.3. Uji Fitokimia
1. Ekstrak daun mimba ditimbang sebanyak 5 mg
2. Ekstrak dilarutkan dengan pelarut etil asetat sebanyak 5 mL dalam gelas beaker
3. Kloroform pekat ditambahkan kedalam larutan sebanyak 2 Ml
4. H2SO4 6M ditambahkan kedalam larutan sebanyak 5 tetes
5. Perubahan warna diamati dan dilakukan dokumentasi
a. Uji Saponin
b. Uji Flavonid
c. Uji Tanin
d. Uji Steroid
3.4. Alur

Gambar 1. Alur Praktikum


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
4.1.1. Ekstraksi

Gambar 2. Hasil ekstrak daun mimba dengan pelarut n-Heksana

Gambar 3. Hasil ekstrak daun mimba dengan pelarut Etil asetat


Gambar 4. Hasil ekstrak daun mimba dengan pelarut Metanol
4.1.2. Rotary Evaporator

7
6
5
8
4
3

Gambar 5. Rotary Evaporator


Keterangan :
1. Hot plate : mengukur suhu pada 3. Boiling flask : labu yang berputar
waterbath berisi ekstrak sampel
2. Waterbath : wadah air yang 4. Motor : penggerak boiliong flask
dipanaskan oleh hot plate 5. Vacum gauge : mengatur suhu
dan kecepatan
6. Inlet : masuk nya air kedalam 8. Katup : pintu keluar air
konsensor 9. Bottom flask : penampung pelart
7. Kondensor : pendingin
4.1.3. Hasil Uji BSLT
a. Hasil Pengamatan BSLT Sampel Ekstrak Metanol Azadirachta indica
Tabel 8. Hasil Pengamatan BSLT Sampel Ekstrak Metanol Azadirachta indica
Waktu Metanol (ppm) Etil Asetat (ppm) N-Heksana (ppm)
Pengamatan 100 200 500 1000 100 200 500 1000 100 200 500 1000
1 x 6 jam 0 0 0 0 2 0 4 0 0 0 1 2
2 x 6 jam 1 0 2 1 1 1 1 6 2 0 1 1
3 x 6 jam 1 0 0 1 0 0 1 4 1 0 1 2
4 x 6 jam 1 0 0 2 0 0 0 0 0 1 1 1
Total 3 0 2 4 3 1 6 10 3 1 4 6
b. Hasil Pengamatan BSLT Sampel Ekstrak Metanol Teripang (H. atra)
Tabel 9. hasil pengamatan H. atra
Waktu Metanol (ppm)
Pengamatan 100 200 500 1000
1 x 6 jam 1 6 4 1
2 x 6 jam 1 1 0 2
3 x 6 jam 1 0 2 4
4 x 6 jam 1 0 2 1
Total 4 7 8 8

4.1.4. Perhitungan LC50


Ekstrak Metanol Sampel Ekstrak Etil Asetat Sampel
Y = ax + b y = ax + b
Y =-1,8468X + (-4,99042) y = 1,879563 x + 0,379767
5 - (-4,99042)=2,875167X 5 = 1,879563 x + 0,379767
=(-9,99042)/- 2,875167 x = (5-0,379767) / 1,879563
Antilog = 10 3,474726 Antilog = 10 2.458142
= 2983,5 = 287,172

Ekstrak N-Heksan Sampel Ekstrak Metanol Teripang


Y = ax + b Y = ax + b
Y = -1,72658x + 9,276461 y=1,050920908x+2,86019773
5-9,276461=-1,72658 5-2,86019773=1,050920908x
=-4,27646/-1,72658 x=2,13980227/1,050920908
Antilog = 10 2.476838606 Antilog = 10 2,036121133
= 299,8048166 = 108,6728691

4.1.5. Hasil LC50 BSLT


Tabel 10. Hasil LC50 BSLT Sampel Ekstrak Azadirachta indica
No Sampel Nilai LC50 Kategori
Toksisitas
1. Metanol Sampel 2983,5 Tidak Toksik
2. Etil Asetat Sampel 287,172 Toksik
3. N Heksana Sampel 300,587536 Toksik
4. Metanol Teripang 108,6728691 Toksik
4.1.6. Hasil Uji Fitokimia (+/-)
Tabel 11. Hasil Uji Fitokimia Sampel Ekstrak Azadirachta indica
Golongan Senyawa Metabolit Sekunder
No Sampel
Flavonoid Saponin Triterpenoid Steroid
1. Metanol Sampel - - + +
2. Etil Asetat Sampel + - + +
3. N Heksana
+ - + +
Sampel
4. Metanol Teripang - + + +
Keterangan: (+) Ada, (-) Tidak Ada
4.1.7. Grafik BSLT
4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
P. 1 P. 2 P.3 P.4 Total

100 200 500 1000

Gambar 6. Grafik hasil LC50 Azadirachta indica dengan pelarut metanol


12

10

0
P. 1 P. 2 P.3 P.4 Total

100 200 500 1000

Grafik 7. Grafik Hasil LC50 Azadirachta indica dengan pelarut etil asetat

0
P. 1 P. 2 P.3 P.4 Total

100 200 500 1000

Gambar 8. Grafik hasil LC50 Azadirachta indica dengan pelarut n-heksana

4.2. Pembahasan
Praktikum ini menggunakan sampel Daun Mimba yang diuji ekstraknya.
Ekstraksi adalah langkah pertama untuk memisahkan produk alami yang diinginkan
dari bahan baku. Metode ekstraksi meliputi ekstraksi pelarut, metode distribusi,
penekanan dan sublimasi sesuai dengan prinsip ekstraksi. Ekstraksi pelarut adalah
metode yang paling banyak digunakan. Ekstraksi produk alami berlangsung melalui
tahap-tahap berikut: pelarut menembus ke dalam matriks padat; zat terlarut larut dalam
pelarut; solusi tersebar keluar dari matriks padat; zat terlarut yang dikumpulkan
dikumpulkan.
Metode ekstraksi menggunakan maserasi, perendaman sampel menggunakan
pelarut organik pada temperatur ruangan. Metode maserasi memiliki berbagai
kelebihan disamping kekurangannya. Dilihat dari sisi ekonomis metode maserasi dapat
menggunakan pelarut hanya air meskipun juga tergantung pada bahan yang akan
diekstrak. Penggunaan suhu metode maserasi juga hanya sebats suhu ruangan dan
dengan tekanan atmosfir saja. Berdasar pada hal tersebut maserasi sangat mudah
dilakukan. Penggunaan metode maserasi terhadap ekstraksi daun mimba ditujukan
untuk mengurai resiko kerusakan hasil ekstraksi sehingga diperoleh hasil yang
maksimal, meski demikian ekstraksi ini memerlukan waktu minimal 1x24 jam. Meski
demikian metode maserasi memiliki kekurangan seperti metode ini dilakukan dalam
jangka waktu yang lama dan berulang untuk beroleh hasil yang maksimal.
Pada saat praktikum menggunakan metode maserasi tunggal dan bukan maserasi
bertingkat. Hal ini karena maserasi bertingakt berpengaruh pada hasil ekstraksi yang
diperoleh, pengaruh sampel yang dipakai dan metode saat pemisahan hasil ekstrak
dengan pelarut. Pengaruh sampel pada metode maserasi adalah karena sampel IK-D
Shift 1 masih dalam kondisi lembab, sehingga digunakan satu pelarut (n-heksan) dan
maserasi tunggal. Pelarut n-heksan digunakan ketika daun lembab karena pada saat
hasil ekstraksi akan membentuk dua fraksi antara air dalam daun mimba dengan
pelarutnya sehingga tidak menyatu dengan pelarut. Metode yang digunakan dalam
pemisahan larutan yaitu rotary evaporator, pemisahan ini akan lebih mudah dilakukan
bila dengan maserasi tunggal sedangkan masersi bertingkat perlu dipisahkan kembali
antar pelarut dengan metode perkolasi.
Salah satu metode awal yang sering dipakai untult mengamati toksisitas senyawa
dan inerupakan metode penapisan untuk aktivitas antikanker senyawa kimia dalam
ekstrak tanaman adalah Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Metode ini ditujukan
terhadap tingltat mortalitas larva udang Artemia salina L. yang disebabkan oleh ekstrak
uji. Hasil yang diperoleh dihitung sebagai nilai LC50 ekstrak uji, yaitu jumlah dosis atau
konsentrasi ekstrak uji yang dapat menyebabkan kematian larva udang sejumlah 50%
setelah masa inkubasi 24 jam.
Hasil dari kelompok 2 konsentrasi 1000 ppm merupakan yang paling tosik,
ditandai dengan jumlah artemia yang mati paling banyak dan kenaikan sangat
signifikan. Berbeda dengan hasil kelompok lain dengan konsentrasi 100 ppm yang
menunjukkan jumlah kematian lebih banyak dari konsentrasi 200 ppm. Ini terjadi
karena meski kadar tosiknya lebih rendah tetapi tingkat keenceran larutannya yang
rendah sehingga dapat memudahkan larutan senyawa mudah masuk dalam tubuh
artemia. Sehingga meski kadar toksik sedikit tapi tersebar merata dan dapat lebih
banyak membunuh artemianya. Hasil dari konsentrasi 200 ppm total kematian artemia
hanya berjumlah 1 ekor artemia, sedangkan pada konsentrasi 500 ppm diperoleh
jumlah kematian artemia sebanyak 6 ekor.
Berdasarkan hasil uji BSLT terhadap daun mimba oleh tiga pelarut menunjukan
hasil yang berbeda-beda. Toksisitas tertinggi diperoleh dari pelarut etil asetat
sedangkan terendah diperoleh oleh pelarut metanol. Berdasarkan analisis terhadap jenis
pelarut, seharusnya metanol merupakan yang paling toksik dikarenakan dapat
menangkap lebih banyak senyawa. Hal ini berhubungan dengan sifat senyawa yang
saling tersambung dan perlu analisis lebih lanjut senyawa yang berpengaruh terhadap
potensi antikanker.
Hasil praktikum menunjukkan bahwa keberadaan suatu senyawa mempengaruhi
hasil BSLT. Ekstrak dengan triterpenoid dan streoid tidak memiliki hasil toksisitas
tinggi. Dapat dilihat pada uji BSLT pelarut metanol memiliki kematian paling sedikit
dari semua pelarut. Disimpulkan dari hasil BSLT bahwa etil asetat dan n-heksan
memiliki petensi antikanker tinggi. Toksisitas tertinggi diperoleh dari senyawa anatara
triterpen, steroid dan saponin. Hal ini dilihat dari perbedaan hasil uji fitokimia. Berbeda
dengan hasil metanol dari teripang, hasil metanol daun mimba yang senyawanya tidak
hanya triterpen dan steroid melainkan ada pula saponin yang pada hasil uji sampel
mimba tidak ditemukan. Dibandingkan hasil BSLT rata-rata dari teripang memiliki
potensi antikanker paling tinggi yang artinya saponin berpengaruh jika berhubungan
dengan triterpen dan steroid yang menghasilkan toksisitas tinggi.
V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan
5.1.1. Teknik Maserasi dan Ekstraksi
1. Ekstraksi maserasi menggunakan pelarut organik dilakukan dengan cara
memotong sampel kecil-kecil lalu direndam dengan pelarut organik selama
1x24 jam.
2. Pemekatan sampel menggunakan Rotary Evaporator dilakukan dengan suhu,
tekanan dan putaran tertentu sesuai dengan sampel yang digunakan
5.1.2. Uji toksisitas dengan Metode BSLT
1. Uji BSLT dilakukan dengan mencampurkan ekstrak sampel kedalam botol vial
yang berisi hewan uji Artemia salina, lalu dihitung jumlah hewan uji yang mati.
2. Nilai LC50 yang didaptkan dari ekstrak Daun Mimba dengan pelarut metanol,
etil asetat dan n-hexana masing-masing menunjukkan bahwa nilai LC50 2983,5
(sangat tidak toksik), 287,172 (toksik) dan 939,1734 (kurang toksik).
5.1.3. Uji Fitokimia
1. Senyawa kimia yang didapatkan dari sampel Daun Mimba berdasarkan uji
fitokimia adalah senyawa jenis flavonoid, triterpenoid dan steroid
2. Uji fitokimia dilakukan dengan penambahan larutan pereaksi kedalam ekstrak
sampel berdasarkan senyawa yang ingin diketahui. Untuk senyawa steroid
ditambahkan larutan H2SO4 6 M dan Kloroform. untuk senyawa flavonoid
ditambahkan HCL. Untuk senyawa triterpenoid ditambahkan larutan H2SO4
dan kloroform.

5.2. Saran
1. Praktikan diharap datang lebih awal agar tidak mengganggu jadwal yang telah
ditentukan
2. Laboratorium praktikum seharusnya di Gedung J yang lebih lengkap.
3. Sebaiknya praktikan belajar lebih dahulu sebelum melakukan praktikum
DAFTAR PUSTAKA

Krishnan N. M., Swetansu P., Prachi J., Prakhar G., Rakshit C., Srividya V., Sa D.,
Arun K. H., PG Bharath K., Jayalakshmi N., Linu V., Naveen K. V., Kunal
D., Krishna R. dan Binay P. 2012. A Draft Of The Genome and Four
Transcriptomes Of a Medicinal And Pesticidal Angiosperm Azadirachta
indica. BMC Genomics 13:464

Olowa L. F. dan Olga M. N. 2013. Brine Shrimp Lethality Assay of the Ethanolic
Extracts of Three Selected Species of Medicinal Plants from Iligan City,
Philippines. Int. Res. J. Biological Sci. 2(11):74-77

Gupta A. K., Nilesh K. A. , Nishant S., Manoj C., Yogendra S. R. dan Avineesh S.
2013. Phytochemical Screening and Antimicrobial Assessment of Leaves of
Adhatoda vasica, Azadirachta indica and Datura stramonium. UK Journal of
Pharmaceutical and Biosciences 1(1):42-47

Braguini W. L., Natalia V. P. dan Bruno B. A. 2018. Phytochemical Analysis,


Antioxidant Properties and Brine Shrimp Lethality of Unripe Fruits of
Solanum viarum. Journal of Young Pharmacists. 10(2)

Zhang L., Dan Z.. dan Qing-Feng Z. 2018. Purification Of Total Flavonoids From
Rhizoma Smilacis Glabrae Through Cyclodextrin-Assisted Extraction And
Resin Adsorption. Food Sci Nutr. 7:449–456

Jacob A., dan Jibu T. 2019. Therapeutic Potential Of Dietary Flavonoids Against Viral-
Borne Infections: A Review. Drug Invention Today. 11(2)

Ncube S., Goitsemang L., Ewa C. dan Luke C. 2017. Development And Optimisation
Of A Novel Three-Way Extractiontechnique Based On A Combination Of
Soxhlet Extraction, Membrane Assisted Solvent Extraction And A
Molecularly Imprinted Polymer Using Sludge Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons As Model Compounds. J Sep Sci. 41:918–928

Sankeshwari R. M., Anil V. A., Kishore B. dan Kirankumar H. 2018. Soxhlet versus
Cold Maceration: Which Method Gives Better Antimicrobial Activity to
Licorice Extract against Streptococcus mutans?. Journal of the Scientific
Society. 45:67‑71

Qing‑Wen Zhang, Li‑Gen L. dan Wen‑Cai Y. 2018. Techniques For Extraction And
Isolation Of Natural Products: A Comprehensive Review. Chinese Medicine.
13:20
Afieroho O. E., Xavier S. N., Chiazor P. O., Osamuyi H. F., Elizabeth C. C., Olutayo
M. A., Michelle I., Heinrich C. H., Rui Wm. K., Kio A. A. Antiplasmodial
Activity of the n-Hexane Extract from Pleurotus ostreatus (Jacq. ex. Fr) P.
Kumm. Turk J Pharm Sci. 16(1):37-42

Conand, C., Gamboa, R. dan Purcell, S. Holothuria atra, Lollyfish. The IUCN Red List
of Threatened Species. : T180421A1628832

Saad D. Y., Ahmed A. B. dan Ahmed A. M. 2016. Antiseptic Effect Of Sea Cucumber
(Holothuria atra) Against Multi-Organ Failure Induced By Sepsis: Molecular
And Histopathological Study. Experimental And Therapeutic
Medicine.12:222-230

Narwiyani S.. 2010. Lethal Concentration 50yo (LC-50) Empat Isolat Edwardsiella
Tarda pada Ikan Air Tawar di Indonesia. Sain Vet. 28(2)

Ghouri A. S., Muhammad R. U. 2017. Synthesis of Zeolite-Zeolite (MFI-FAU)


Composite Catalysts for the Isomerization of n-Hexane. J.Chem.Soc.Pak. 39:6
Nursid M., Endar M. dan Ekowati C. 2019. Cytotoxicity and Apoptosis Induction of
Sea Cucumber Holothuria atra Extracts. Pharmacognosy Research. 11:41-6

Shaalaa N. M. A., Syaizwan Z. Z., Ahmad I., Mohammed N. A. A. dan Ferdaus M. Y.


2015. Lethal concentration 50 (LC50) and effects of Diuron on morphology
of brine shrimp Artemia salina (Branchiopoda: Anostraca) Nauplii. Procedia
Environmental Sciences. 30:279 – 284

Yanuartono, H. Purnamaningsih, A. Nururrozi, dan S. Indarjulianto. 2017. Saponin :


Impact on Livestock (A Review). Jurnal Peternakan Sriwijay. 6:2

Shimizu Y., Satoshi T., Minoru K., Yuji T., Masaki F., Anna K., Tatsuya N.,
Hideki W. dan Min G. 2018. Steroid Sulfatase Promotes Invasion Through
Epithelial-Mesenchymal Transition And Predicts The Progression Of Bladder
Cancer. Experimental And Therapeutic Medicine. 16:4463-4470

Grenda K., Julien A., David H., José A. F. G., dan Maria G. R. 2018. Tannin-based
Coagulants from Laboratory to Pilot Plant Scales for Coloured Wastewater
Treatment. BioResources. 13(2):2727-2747

Thom V. T., Nguyen H. T., Dang V. D., Dang T. T., Nguyen T. H., Dinh D. L., Bui T.
T., Pham T. H., Duong T. L. H. 2018. Antithrombotic Activity and Saponin
Composition of the Roots of Panax bipinnatifidus Seem. Growing in Vietnam.
Pharmacognosy Research
Güy N., Soner C. dan Keziban A. 2018. Role Of Ag And Tannin Modification On
Photocatalytic And Antibacterial Properties Of Zno Nanoplates. Journal Of
Science. 2147-835

Nagasawa Y., Hirohiko U., Satoru O., Hajime S., Kenji I., Jiro M., Sonoko S., Fumiko
O., Shiro T., Tetsuya K. dan Masayuki I. Organic Solvent Use in Enterprises
in Japan. Industrial Health. 49:534–541

Nocentinia A., Alessandro B., Paola G., Bruno C. , Antimo G. dan Claudiu T. S. 2018.
Steroids Interfere With Human Carbonic Anhydrase Activity By Using
Alternative Binding Mechanisms. Journal Of Enzyme Inhibition And
Medicinal Chemistry. 33(1):1453-1459
LAMPIRAN
DOKUMENTASI

Gambar 12. Pemotongan daun mimba Gambar 13. Penimbangan daun mimba

Gambar 14. Penuangan pelarut n- Gambar 15. Penyaringan hasil maserasi


heksana

Gambar 16. Penuangan hasil rendaman Gambar 17. Hasil rotary evaporator
ke dalam botol sampel
Gambar 18. Hasil evaporasi sebelum Gambar 19. Hasil evaporasi setelah
ditambahkan larutan penguji penambahan larutan penguji

Gambar 20. Pengukuran larutan H2SO4 Gambar 21. Penambahan kloroform

Gambar 22. Penambahan larutan uji


pada sampel BSLT

Anda mungkin juga menyukai