Anda di halaman 1dari 38

BAB 7

KONDISI AGRONOMI DAERAH RAWA

7.1 BUDIDAYA PERTANIAN

7.1.1 PENGANTAR

Upaya memanfaatkan lahan rawa (gambut) di indonesia selalu menimbulkan kontroversi


pendirian, hal ini sulit dihindari karena terbawa oleh sifat dan perilaku lahan gambut itu
sendiri. Di satu sisi, lahan gambut oleh penduduk setempat dimanfaatkan secara turun
temurun untuk menghasilkan kebutuhan hidup, terutama bahan pangan pokok (beras dan
sagu) serta ikan. Hutan rawa gambut juga dimanfaatkan untuk memungut kayu bangunan
dan rotan. Di sisi lain, lahan gambut secara alami berfungsi mengatur lingkungan,
khususnya pada gatra hidrologi, emisi karbon, dan kekhasan warisan cagar alam hayati.

Memang tidak mudah menyusun satu uraian yang secara tersurat menggambarkan
pemaduan kedua sisi masing-masing yang saling bertentangan, misalnya pengatusan lahan
gambut untuk keperluan budidaya pertanian berhadapan dengan mempertahankan
keutuhan lahan gambut sebagai lumbung air. Namun, justru gatra-gatra yang saling
berlawanan ini menjadi dasar perencangan tataguna lahan gambut agar dapat memenuhi
syarat konservasi dan berkelanjutan pengembangan lahan gambut. Dalam dasar
perancangan tataguna lahan gambut, gatra yang saling berlawanan dari sisi produksi dan
dari sisi perlindungan lingkungan perlu diatur sehingga perpaduan secara komprehensif.

Indonesia adalah negara keempat yang mempunya lahan gambut terluas di dunia, tetapi
pemanfaatan dan pengembangannya masih sangat terbatas. Di kawasan Asia, termasuk
Indonesia, lahan gambut lebih banyak dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian. Di
balik potensi yang masih cukup besar, lahan gambut termasuk lahan piasan ( marginal) dan
mudah mengalami degradasi.

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 1


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

7.1.1.1 KAWASAN BUDIDAYA

Pengelolaan kawasan budidaya bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
pemanfaatan ruang dan sumber daya untuk menyerasikan pemanfaatan ruang dan
kelestarian lingkungan hidup. Sasaran pengelolaan kawasan budidaya adalah:

a. Terselenggaranya pemanfaatan ruang dan sumber daya alam untuk


kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan;

b. Terhindarkannya konflik pemanfaatan sumber daya dengan pengertian


pemanfaatan ruang yang berdasarkan pada prioritas pemanfaatan bagi kegiatan
yang memberikan keuntungan terbesar pada masyarakat. Kawasan budidaya
yang relevan dengan pengembangan lahan rawa adalah kawasan pemukiman,
kawasan pertanian, dan kawasan hutan produksi.

7.1.1.2 KAWASAN PERMUKIMAN

Sesuai dengan kriteria teknis sektoral, khusunya data dukung dan kesesuaian lahan, maka
areal lahan rawa yang paling sesuai untuk kawasan pemukiman adalah tanah-tanah di
daerah tanggul sungai yang relatif lebih kering dibandingkan daerah rawa belakang. Juga
dekat dengan sumber air tawar yang berupa air sungai di depan perkampungan, dan
sungai (besar) sendiri sebagai sarana transportasi. Hanya perlu ditetapkan adanya
kawasan lindung berupa daerah sempadan sungai sekurang-kurangnya 100 m di kiri dan
kanan sungai besar, dan 50 m di kiri dan kanan anak sungai yang berada di luar
permukiman.

7.1.1.3 KAWASAN PERTANIAN

Sesuai dengan daya dukung dan kesesuaian lahan, maka untuk kawasan pertanian dapat
digunakan tanah marin dan tanah gambut dengan tebal < 3 m. Apabila tanggul sungai
cukup besar, tanah endapan di sinipun dapat diperuntukkan guna kawasan pertanian,
khususnya kawasan pertanian lahan kering dan kawasan tanaman tahunan/perkebunan.

7.1.1.4 KAWASAN PERTANIAN LAHAN BASAH

Persawahan pasang surut dapat dikembangkan pada tanah sulfat masam potensi dan
aktual, dan pada tanah marin yang bahan sulfidanya sudah relatif dalam (50-150). Upaya-
upaya pengelolaan air tanah, pencegahan proses pemasaman oleh oksidasi pirit,
pengembangan sistem surjan, dan pencegahan penyusupan/intrusi air laut/payau perlu

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 2


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

dilakukan. Penggunaan pupuk majemuk NPK, bahan kapur, dan bahan ameliorasi tanah
lainnya, misal abu sisa pembakaran dan abu vulkan perlu dilaksanakan untuk
meningkatkan produktivitas tanah.

Pada lahan gambut, yang paling sesuai untuk sawah adalah tanah bergambut (20-50 cm)
dan gambut dangkal (50-100 cm). Kondisi demikian memungkinkan aplikasi pemupukan
majemuk NPK, pengapuran, dan penggunaan unsur mikro khususnya Cu.

7.1.1.5 KAWASAN PERTANIAN LAHAN KERING

Pertanian lahan kering dapat dikembangkan pada tanah-tanah marin dengan


melaksanakan sistem surjan. Tanaman palawija, hortikultura, atau tanaman lahan kering
lainnya dibudidayakan pada bagian tembokan atau tabukannya. Senyawa toksik hasil
oksidasi pirit, dapat dibiarkan tercuci oleh air hujan, atau dipercepat menetralisasinya
dengan penggunaan kapur, abu sisa pembakaran, abu vulkan atau bahan ameliorasi tanah
lainnya. Pencucian dengan air payau atau air salin/laut, jika tersedia dan mungkin,
bermanfaat dan cukup efektif.

Pada lahan gambut, yang sesuai untuk tanaman semusim selain gambut dangkal, juga
gambut sedang (100 - 200 cm). Pengelolaan air perlu diperhatikan agar air tanah tidak
turun terlalu dalam dan drastis, untuk mencegah terjadinya gejala kering tak balik dan
penurunan permukaan gambut, kalau memungkinkan dilaksanakan pemupukan lengkap,
pengapuran dan penggunaan unsur mikro antara lain Cu, Bo, Mn, atau Zn tergantung dari
varietas tanaman yang dibudidayakan.

7.1.1.6 KAWASAN TANAMAN TAHUNAN/PERKEBUNAN

Seperti kawasan pertanian lahan kering, tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada
tanah marin, menggunakan sistem surjan. Tanaman tahunan/perkebunan ditanam pada
bagian tabukan. Pemupukan lengkap, kapur, abu sisa pembakaran, abu vulkan dan bahan
ameliorasi tanah lainnya dapat digunakan untuk memperbaiki produktivitas tanah.

Pada lahan gambut, yang sesuai untuk tanaman tahunan/perkebunan selain gambut
sedang, juga gambut dalam (200-300 cm). Seperti pada tanaman semusim, pengelolaan
air perlu diperhatikan agar air tanah tidak turun terialu dalam secara drastis, untuk
mencegah terjadinya gejala kering tak balik dan penurunan permukaan gambut yang
berlebihan. Untuk mempertinggi produktivitas tanah dapat dilakukan pemupukan lengkap

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 3


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

dan pengapuran, serta penggunaan unsur mikro antara lain: Cu, Bo, Mn, atau Zn yang
sesuai dengan jenis tanaman yang dibudidayakan.

7.1.1.7 KAWASAN PETERNAKAN

Untuk peternakan yang sesuai adalah ternak kandang, khususnya temak ruminansia besar
(sapi dan kerbau) dan ternak unggas (ayam dan itik). Lahan yang paling sesuai adalah
daerah tanggul sungai, atau tanah tabukan pada sistem surjan. Pada lahan gambut,
asalkan tempatnya relatif kering, yang sesuai nampaknya tanah bergambut dan gambut
dangkal (50 - 100 cm). Kesesuaian ternaknya sendiri terhadap lingkungan masih harus
diteliti dan dikaji.

7.1.1.8 KAWASAN PERIKANAN

Untuk kawasan perikanan yang sesuai di lahan rawa adalah perairan alami seperti: sungai-
sungai alami kecil (natural creeks), danau-danau kecil, cekungan-cekungan alami, lebung-
lebung, atau lebak lebung (di rawa lebak) yang airnya secara alami masih sesuai untuk
kehidupan ikan dan biota air lainnya. Air buangan yang berasal dari daerah berpirit yang
telah teroksidasi, biasanya jernih tetapi bereaksi sangat masam atau masam, sama sekali
tidak sesuai untuk kehidupan ikan dan biota air lainnya.

7.1.1.9 KAWASAN HUTAN PRODUKSI

Sesuai dengan kriteria teknis sektoral, wewenang menetapkan kawasan hutan produksi
berada di sektor kehutanan, dalam hal ini Departemen Kehutanan. Namun sesuai dengan
daya dukung dan kesesuaian lahan, maka untuk kawasan hutan yang pantas adalah lahan
gambut, khususnya gambut dalam (200 - 300 cm).

Pada lahan ini wujud hutan yang sesuai adalah hutan produksi tetap, atau hutan produksi
terbatas.

Kalau masih memungkinkan, sebagian dari kawasan lindung yang gambutnya memiliki
ketebalan antara 300 - 500 cm, yaitu di pinggiran sekeliling kubah gambut yang alami
ditempati hutan campuran (mixed forests) dan hutan peralihan, masih dapat dipilih untuk
kawasan hutan terbatas.

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 4


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

7.1.1.10 PEMANFAATAN LAHAN UNTUK BUDIDAYA PERTANIAN

Meskipun disebutkan sebagai lahan rawa, namun hal ini merupakan suatu kawasan
sehingga tetap memiliki daratan dan bagian yang tergenang sementara maupun
selamanya. Disini orang dapat mengatur/memodifikasi bentuk daratan untuk keperluan
usaha pertaniannya. Dengan demikian di lahan rawa dapat pula orang menanam tanaman,
baik tanaman semusim maupun tahunan.

Dipertimbangkan dengan kepentingan manusia dan keadaan lahan, orang dapat


mengusahakan sistem pertaniannya dengan sistem monokultur (hanya terdapat satu jenis
tanaman sepanjang tahun) misalnya tanaman karet, kopi, dll. Dapat pula orang
mengusahakan secara multikultur (ditanam secara berurutan sepanjang tahun) atau
ditanam secara bersama sepanjang tahun tersebut, misalnya: kopi bersama dengan pisang
petai dan tanaman buah tahunan lainnya. Umumnya sistem ini banyak dilakukan pada
lahan di dekat pemukiman (di Jawa disebut pekarangan).

Khususnya untuk tanaman semusim, dapat dilakukan pertanaman dengan pola (dalam
musim yang sama) tanam tunggal (monocropping) yakni menanam satu jenis tanaman
pada lahan yang sama, pada musim yang sama, misal tanam padi sawah atau padi gogo
(padi huma). Dapat juga orang menanam secara pola tanam ganda/tumpangsari yakni
menanam lebih dari satu jenis tanaman pada satu lahan yang sama dan pada musim yang
sama, misalnya tanam jagung bersama kacang tanah atau menanam padi huma bersama
jagung.

Pada dasamya untuk setiap jenis tanaman, memerlukan tempat tumbuh yang cocok untuk
tumbuhnya agar dapat memberikan hasil baik. Kemungkinan ada banyak persamaan
persyaratan namun banyak juga perbedaan persyaratan. Sebagai contoh persyaratan
untuk tanaman mangga berbeda dengan tanaman kopi, meski keduanya memerlukan
tanah yang subur, gembur dan pH mendekati netral. Demikian pula tanaman kentang,
kobis memilih tempat yang bersuhu dingin dibanding tanaman dataran rendah seperti
kedelai atau jagung. Untuk ini diperlukan pencermatan terhadap persyaratan tumbuh
tanaman khususnya di lahan rawa yang spesifik.

Ketersediaan air (yang merupakan salah satu faktor tumbuh tanaman utama) pada lahan
rawa dapat berasal dari air hujan (ada kawasan yang merupakan tadah hujan dengan
sebaran hujan merata atau tidak merata), dapat pula berasal dari aliran sungai (bila tinggi
permukaan tanah tak berselisih jauh dari permukaan air sungai/saluran) dengan aliran

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 5


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

gravitasi yang dapat menggenangi permukaan tanah/lahan. Pada lahan rawa pasang surut,
pengairan berasal dari air pasang (dampak air pasang laut yang meluapkan aliran sungai
ke samping) baik langsung maupun tak langsung.

Ketersediaan air ini perlu dicermati apakah mampu memenuhi kebutuhan tanaman, baik
selama semusim maupun sepanjang tahun. Dari pencermatan ini dapat dibuat sistem dan
pola tanamnya.

Suhu dan panjang penyinaran matahari di lahan rawa (di Indonesia) tak terlalu menjadi
masalah, karena selalu cocok untuk tanaman daerah tropika basah. Meskipun didapatkan
tanaman (padi) yang berbunga menurut musim (photo period sensitive).

7.1.2 SISTEM PERTANIAN

Pengertian sistem merupakan gabungan dari elemen-elemen (obyek, manusia, informasi,


dsb.) yang saling dihubungkan oleh suatu proses atau struktur dan berfungsi sebagai satu
kesatuan organisatoris dalam usaha menghasilkan sesuatu. Sistem juga dapat diartikan
sebagai seperangkat kompleks dari komponen-komponen yang saling berkaitan dalam
suatu kerangka kerja yang bersifat otonom.

Spedding (1979) mengatakan bahwa "sistem" merupakan sekelompok komponen yang


saling berinteraksi bersama-sama, bekerja untuk suatu tujuan tertentu, mampu bereaksi
sebagai satu kesatuan (keseluruhan) dalam menanggulangi rangsangan dari luar.

MASUKAN PROSES KELUARAN

INSTRUMENTAL

Gambar -1 : Bagan Keterkaitan antara Masukan, Proses, Instrumental, dan Keluaran


sebagai Satu Kesatuan Sistem.

Dari beberapa pendapat di atas, maka sistem adalah satu kesatuan unsur-unsur yang
saling berinteraksi secara fungsional yang memproses masukan menjadi keluaran.
Ciri-ciri sistem meliputi adanya: (1) masukan (input), (2) proses (interaksi unsur-unsur),
dan (3) keluaran (output) (Gambar -1).

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 6


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

7.1.2.1 MACAM-MACAM SISTEM PERTANIAN (FARMING SYSTEM)

Sistem pertanian adalah seluruh kompleks pengembangan, pengelolaan dan alokasi


sumberdaya maupun keputusan dan kegiatan yang dalam suatu unit usahatani atau
kombinasi usahatani menghasilkan produksi pertanian, pengelolaan dan pemasaran
produknya.

1. Sistem Pertanian Sawah

Sistem pertanian sawah merupakan usaha pertanian yang dilaksanakan pada sebidang
tanah yang dibatasi oleh pematang/galengan, misalnya sawah berpengairan dan
sawah tadah hujan.

Padi membutuhkan air yang berlebihan, sehingga pengairannya memakai sistem air
tergenang. Petani sawah biasanya tetap dan tidak berpindah-pindah, di samping
mengandalkan pupuk, juga mengandalkan pengairan dari sungai/waduk walaupun
tidak semua air sungai baik untuk pengairan. Misalnya sungai Merawu di daerah
Banyumas yang tanahnya mengandung cadas dan lumpur sehingga jika endapannya
menutup lapisan tanah sawah akan menyebabkan tanah kekurangan oksigen.

2. Sistem Pertanian Ladang

Sistem pertanian ladang merupakan usaha pertanian yang dilaksanakan di daerah-


daerah yang imbangan tanah dan penduduknya masih memadai (penduduk masih
jarang). Biasanya ladang ini dilaksanakan secara berpindah-pindah dan kembali ke
tanah semula setelah 5 atau 10 tahun.

3. Sistem Pertanian Pekarangan

Sistem pertanian pekarangan merupakan usaha pertanian yang dilaksanakan di sekitar


rumah, umumnya merupakan usaha sampingan/sambilan dengan hasil berupa pangan
tambahan, bumbu-bumbu/biofarmaka, bahan bangunan, kayu bakar, bahan kerajinan,
keperiuan pribadi, dsb.

4. Sistem Pertanian Lahan Kering

Sistem pertanian lahan kering merupakan usaha pertanian yang dilaksanakan di


sebidang tanah tanpa batas pematang dan tidak mendapat pengairan kecuaii dari air
hujan, biasanya curah hujannya hanya 250 mm/tahun.

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 7


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

5. Sistem Pertanian Pasang Surut

Sistem pertanian pasang surut merupakan usaha pertanian yang diusahakan pada
sebidang tanah yang keadaan airnya dipengaruhi oleh pasang surutnya air sungai atau
laut. Jenis-jenis padi lokal pasang surut peka terhadap fotoperiodisitas.

7.1.2.2 SISTEM PERTANAMAN (CROPPING SYSTEM)

Sistem pertanaman dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Pola tanam yang digunakan pada budidaya tanaman (usahatani) dan


interaksinya dengan sumberdaya yang digunakan termasuk ketrampilan (skill) dan
teknologi; atau

2. Suatu pola pertanaman yang diterapkan pada suatu usahatani/pertanian dan


interaksinya dengan sumberdaya pertanian, dengan sistem pertanian lain dan dengan
teknologi yang tersedia menentukan susunannya.

Sementara itu obyek sistem pertanaman adalah berbagai macam tanaman/varietas dan
komponen lingkungan (biasanya di atas dan di bawah permukaan tanah).

7.1.2.3 PENGATURAN SISTEM PERTANAMAN

Pengaturan sistem pertanaman meliputi dimensi ruang dan waktu:

1. Pengaturan ruang meliputi vertikal (tanaman semusim/annua/atau tahunan/ perennial)


dan horisontal (sampai ketinggian yang terbatas).

2. Pengaturan waktu meliputi penentuan peramalan waktu tanam, umur tanaman,


maupun jenis tanaman disesuaikan pola tanam (cropping pattern).

7.1.2.4 POLA TANAM (CROPPING PATERN)

Pengertian pola tanam dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Kombinasi jenis tanaman secara spatial dan atau temporal pada suatu areal dalam
suatu periode waktu, biasanya satu tahun (termasuk beronya), atau

b. Pengaturan urutan ruang tanaman pada suatu lahan tertentu (bukan waktu).

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 8


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

7.1.2.5 USAHA PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TANAH PERTANIAN DI INDONESIA

Usaha tersebut dilatarbelakangi oleh adanya pemiiikan tanah yang sempit dan adanya
faktor pembatas produksi tanaman seperti: ketersediaan air, serangan hama/penyakit,
cekaman lingkungan, dsb. Usaha peningkatan produktivitas ditempuh dengan penanaman
secara pertanaman ganda (multiple cropping).

Andrews dan Kassam (1976) mengatakan bahwa "pertanaman ganda" adalah


menumbuhkan dua tanaman atau lebih pada tanah yang sama dalam waktu satu tahun.
Sementara itu, menurut Nuryadi (1978), pertanaman ganda adalah penanaman pada satu
lahan selama satu tahun dan didapatkan hasil panen lebih dari satu kali.

7.1.2.6 BENTUK-BENTUK PERTANAMAN GANDA (MULTIPLE CROPPING)

1. Pertanaman Berurutan (Sequential Cropping)

Pengertian pertanaman berurutan adalah penanaman dua tanaman atau lebih secara
berurutan pada lahan yang sama selama satu tahun, biasanya tanaman kedua
ditanam setelah tanaman pertama dipanen. Intensifikasi hanya pada dimensi waktu,
tidak terjadi kompetisi antar tanaman, petani hanya mengelola satu tanaman
tertentu pada lahan yang sama dan dapat 1- 4 kali berurutan dalam satu tahun.

2. Tumpangsari (Intercropping)

Tumpangsari diartikan sebagai penanaman dua tanaman atau lebih secara bersamaan
pada lahan yang sama. Intensifikasi pada dimensi ruang dan waktu, terjadi kompetisi
antar tanaman pada densitas optimum, kompetisi tidak terjadi selama musim
pertumbuhan atau sebagai waktu pertumbuhan, dan petani mengelola lebih dari satu
tanaman pada periode tertentu pada lahan yang sama. Tumpangsari dibedakan
menjadi:

a. Campuran (mixed intercropping)

Pada tanaman sistem campuran tidak ada pengaturan baris bagi masing-masing
jenis tanaman penyusun, letaknya tidak diatur, kompetisi antar tanaman besar
dan sulit dihitung.

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 9


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

b. Bans (row intercropping)

Sistem baris memungkinkan adanya pengaturan jenis tanaman pada barisnya


saja.

c. Stright intercropping

Masing-masing tanaman penyusun ditanam pada petakan yang luas yang


memungkinkan pengolahan tanah yang terpisah.

d. Jalur (strip intercropping)

Pada sistem jalur, tanaman diatur dalam jalur tertentu saja.

e. Tumpanggilir (relayintercropping)

Pengertian tumpanggilir adalah penanaman dua tanaman atau lebih secara


bersama-sama pada lahan yang sama yang sebagian periode tumbuh tanaman
penyusunnya bersamaan. Tanaman kedua ditanam pada/setelah tanaman
pertama mencapai tahap generatif tetapi sebelum tanaman tersebut dipanen.

Sistem pertanaman ganda mempunyai beberapa manfaat (meskipun agak sulit


pengaturannya):

1. Peningkatan produktivitas sumberdaya, dari berbagai hasil penelitian produksinya lebih


besar daripada monokultur.

2. Jaminan keberhasilan panen ada terhadap budidaya tanaman yang bersangkutan


(resiko kegagalan panen relatif rendah).

3. Pengamanan kondisi lingkungan (adanya keberadaan berbagai macam tanaman)


erosi tanah berkurang, kondisi lengas lebih baik (lebih baik bila melibatkan tanaman
tahunan/perennial).

4. Keberlanjutan/kontinyuitas pekerjaan tetap ada yang memungkinkan membuka


peluang pekerjaan bagi petani menjadi lebih besar.

5. Keseimbangan ekosistem lebih terjaga dibandingkan penanaman monokultur.

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 10


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

Gambar -2 : Diagram Alir yang Menyatakan Hubungan antara Teknologi


Produksi dan Faktor Lingkungan dalam Proses Produksi Tanaman

7.1.2.7 FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PADA SISTEM PERTANAMAN GANDA

1. Lengas Tanah

Lengas tanah berhubungan erat dengan curah hujan dan hari hujan serta jenis
tanaman. Meliputi semua air yang jatuh dari atmosfir ke permukaan bumi, berupa:
hujan, salju, kabut dan embun. Faktor hujan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
tanaman adalah jumlah/volume hujan, penyebaran/distribusi hujan dan efektivitas
hujan.

Jumlah dan distribusi hujan sangat berpengaruh terhadap macam/jenis tanaman yang
dapat dibudidayakan pada suatu daerah. Jumlah hujan yang tinggi dengan distribusi
merata sepanjang pertumbuhan tanaman akan berpengaruh baik pada tanaman
tertentu tetapi tidak baik untuk tanaman yang lain. Oleh karena itu perlu adanya
pemilihan tanaman yang sesuai dengan keadaan iklim di suatu derah. Untuk daerah-
daerah yang curah hujannya tinggi seperti di Indonesia bagian barat baik digunakan
untuk pembudidayaan tanaman padi pada dataran rendah, tanaman teh dan kopi pada

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 11


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

dataran tinggi. Daerah dengan curah hujan yang kurang (Indonesia bagian timur) baik
untuk membudidayakan tanaman jagung, sorghum, kacang hijau, kapas, dan
sebagainya.

Di daerah tropis basah seperti di Indonesia, adanya curah hujan yang tinggi dengan
suhu yang tinggi menyebabkan susunan atau formasi vegetasi yang tumbuh paling
banyak. Efektivitas hujan diukur dari kemanfaatan air hujan untuk pertumbuhan
tanaman. Curah hujan yang tinggi belum tentu efektif apabila evaporasi (penguapan
lewat permukaan tanah) dan transpirasi (penguapan lewat permukaan tanaman) lebih
besar dari jumlah curah hujan yang jatuh di suatu daerah. Jadi efektivitas tidak dapat
diukur dengan besamya jumlah curah hujan. Di Sulawesi Selatan, curah hujan 10 mm
yang jatuh pada musim hujan lebih efektif dari 10 mm yang jatuh pada musim
kemarau.

Presipitasi merupakan fungsi linear dari evaporasi, transpirasi, run off (aliran
permukaan), dan infiltrasi (air yang masuk ke dalam tanah). Infiltrasi merupakan
fungsi linear dari perkolasi, rembesan dan kelembaban tanah. Rumusnya adalah
sebagai berikut (Whiteman, 1974):
P=E+T+R+l
Dimana:
P = presipitasi
E = evaporasi
T = transpirasi
R = run off (aliran permukaan)
I = Infiltrasi
I =U+S+A
Dimana:
U = perkolasi (hilang ke bawah)
S = rembesan (aliran ke samping)
A = kelembaban yang disimpan dalam tanah

Kelembaban yang tersimpan dalam tanah (A) berpengaruh sangat nyata untuk
pertumbuhan tanaman, terutama kelembaban tanah yang sesuai ( available soil
moisture) yang terdapat antara kapasitas lapangan ( field capacity) dan titik layu
permanan (the wilting point). Presipitasi yang didominasi oleh air hujan, setelah jatuh
ke bumi akan menjadi:

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 12


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

a. Air higroskopis: air yang terlalu kuat terikat oleh partikel-partikel tanah dengan
kekuatan 15 atm. Air ini tidak dapat diserap tanaman karena kekuatan akar
untuk menyerap air hanya 2 atm.

b. Air gravitasi: air yang mengalir ke bawah (perkolasi) karena adanya gaya
gravitasi bumi. Air ini tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman karena bergerak
dengan cepat.

c. Air kapiler: air yang mengisi pori-pori mikro tanah yang berasal dari air
rembesan (lateral seepage). Air ini tersimpan lama dalam tanah, sehingga
dapat dimanfaatkan oleh tanaman untuk pertumbuhannya.

2. Suhu

Suhu berkaitan dengan radiasi matahari, ketersediaan energi di permukaan bumi (net
radiation/radiasi bersih) juga menentukan macam tanaman yang dapat tumbuh di
suatu tempat. Kisaran suhu untuk pertumbuhan tanaman pada umumnya berkisar
antara 15 - 40°C (59 - 140°F). Suhu suatu tempat ditentukan oleh altitude
(ketinggian) dan latitude (garis lintang).

Setiap komunitas tanaman mengenal adanya titik kardinal, untuk daerah tropis titik
kardinal tersebut adalah:

1. Suhu minimum (5 - 15 °C): apabila suhu suatu daerah kurang dari suhu ini
tanaman akan terganggu pertumbuhannya bahkan dapat menyebabkan kematian
apabila suhu tersebut berlangsung cukup lama.

2. Suhu optimum (sekitar 30°C): suhu yang paling baik untuk pertumbuhan
tanaman.

3. Suhu maksimum (sekitar 40°C): apabila suhu lingkungannya di atas suhu


maksimum, pertumbuhan tanaman juga akan terganggu bahkan dapat
menyebabkan kematian.

Suhu atmosfer yang tinggi akan mempercepat pertumbuhan tanaman dan respirasi.
Akan tetapi juga dapat merugikan tanaman apabila kelembaban kurang memadai
sehingga dapat menyebabkan keguguran bunga, buah muda maupun daun. Udara
panas dan angin yang kering akan meningkatkan kerusakan tanaman lebih lanjut.
Suhu tanah dapat mempengaruhi penyerapan air oleh tanaman, sebagai contoh: (1)
pada tanaman kapas, apabila suhu tanah mencapai 10°C menyebabkan penyerapan

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 13


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

air hanya 20% dari keadaan normal, (2) pada tanaman kubis, suhu tanah 10°C
menghasilkan penyerapan air masih sebesar 75% dari keadaan normal. Oleh karena
itu tanaman kubis tennasuk tanaman yang tahan terhadap suhu rendah. Suhu tanah
yang rendah (20°C) pada tanaman ubi-ubian memacu pembentukan dan pembesaran
umbi, kecuali pada tanaman bawang merah.

o Tanaman yang adaptabel, tersedia dan diatur dalam pertanaman ganda.

o Kebanyakan dirakit dalam kondisi monokultur daripada polikultur.

o Tujuan dari petani/kelompok tani itu sendiri, macam tanaman dalam


sistem pertanaman ganda.

Masalah-masalah pada sistem pertanaman ganda lebih banyak daripada monokultur,


terutama pada masalah lingkungan seperti atmosfer, mikroklimat dan tanah (erosi dan
pengawetan tanah).

Beberapa pertimbangan agronomi dalam menyusun tanaman pada sistem pertanaman


ganda, yaitu:

1. Sistem pertanaman dan geometri

Populasi tanaman sama dengan jumlah tanaman per satuan luas, yang sering
digunakan adalah yang telah direkomendasikan dan ini berdasarkan sistem
monokultur. Sebenamya populasi selalu berubah tergantung tempat, geometri juga
berubah-ubah, dimana populasi a dan b 50 : 50 tetapi geometri bisa
berubah/berbeda.

Kondisi lingkungan pada geometri tanaman A tidak sama


dengan tanaman B yaitu lingkungan mikronya.

Arah baris (timur barat sama dengan utara selalan)

Oleh karena itu sistem bertanam ganda harus dikembangkan spesifik lokasi sehingga
beberapa jarak tanam yang digunakan untuk satu tanaman dapat diterapkan,

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 14


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

misalnya: luas lahan sebesar 600 cm 2 ditanami tanaman pangan semusim (misal
kedelai) dapat menggunakan jarak tanam: 30 cm x 20 cm, 40 cm x 15 cm, atau 60 cm
x 10 cm untuk 2 tanaman per lubang.

2. Waktu tanam

Pada sistem pertanaman ganda waktu tanam tidak harus selalu bersamaan,
pertimbangannya:

a. Kebutuhan puncak akan unsur hara maupun faktor tumbuh lainnya (cahaya
dan air) tidak terjadi pada waktu yang bersamaan untuk menghindari dan
menekan kompetisi.

b. Supaya mendapatkan nilai LER predicted yang tinggi, tanaman satu


kemungkinan berumur lebih panjang daripada tanaman kedua, misalnya
nilam (2 tahun) dengan jagung (3 bulan) atau bawang daun (70 hari).

c. Pengaturan tenaga kerja lebih efektif.

3. Pemilihan varietas/klon yang akan ditanam

a. Bagian tanaman di atas permukaan tanah:

o Habitus tanaman: tanaman yang lebih tinggi morfologinya harus lebih


tegak
daripada tanaman yang lebih rendah, sehingga cahaya yang diteruskan
masih dapat dimanfaatkan oleh tanaman lainnya, sirkulasi udara ( aerasi)
dapat berlangsung dengan baik, suhu lingkungan pertanaman dapat
terjaga, tanaman yang lebih tinggi dapat berfungsi sebagai penahan angin
maupun penaung bagi tanaman yang lebih rendah.

o Sistem fotosintesis tidak sama, sehingga memungkinkan bidang pemuliaan


tanaman untuk merancang seleksi varietas tanaman pada sistem
pertanaman ganda, misalnya tanaman tebu pada umur 0-4 bulan masih
dapat diselingi dengan tanaman semusim yang umur panennya kurang dan 4
bulan.

o Pemanfaatan ruang tumbuh dapat ditingkatkan sekaligus bertujuan


meningkatkan hasil dan pendapatan.

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 15


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

o Perlu penyesuaian berdasarkan tipe pertumbuhan tajuk antara tanaman


determinate dan indeterminate.

o Tanaman kedua dapat berfungsi sebagai tanaman perangkap hama


sehingga dapat mengalihkan pematian hama terhadap tanaman utama yang
diharapkan dapat menyelamatkan hasil tanaman utama.

b. Bagian tanaman di bawah permukaan tanah:

o Harus ada perbedaan sistem perakaran, diharapkan kombinasi tanaman


yang mempunyai perakaran dalam dan dangkal agar tidak terjadi kompetisi
dalam menyerap air dan unsur hara, bisa juga dikombinasikan antara
tanaman dengan perakaran tunggang dan serabut misalnya cabai dengan
bawang merah atau bawang daun.

o Dihindarkan tanaman yang mempunyai sifat alelopati terutama pada


bagian akar sehingga tidak terjadi penghambatan pertumbuhan tanaman
lainnya.

Penanaman terus menerus dengan jenis tanaman yang sama memiliki beberapa
kerugian:

1. Terjadinya penurunan hasil yang disebabkan oleh hama dan penyakit.

4. Rhizosfer sama maka dapat terjadi kekurangan air dan unsur hara.

5. Terjadi perubahan-perubahan fisik tanah yang seringkali tidak dipertimbangkan


karena perubahan sangat sedikit tetapi sangat penting, misalnya terbentuknya
lapisan olah tanah yang mampat pada pola tanam padi terus menerus secara
intensif.

7.2 TEKNOLOGI PERTANIAN LAHAN RAWA

Lahan rawa dapat merupakan rawa lebak (kawasan cekungan yang terisi air hujan
sehingga membentuk genangan yang sangat luas, selama berbulan-bulan), atau rawa pada
aliran sungai yang saling berhubungan karena persamaan elevasi (umumnya tergenang
sepanjang tahun) dan rawa pasang surut (dekat dengan pantai, sehingga terbentuk karena
dampak air pasang, yang meluapkan air sungai ke samping aliran sungai tersebut. Karena
adanya tanggul alami sungai, air tersekap menjadi rawa-rawa).

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 16


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

Dilihat dari bahan organik yang terdapat di dasar rawa, ada rawa yang memiliki bahan
organik yang sangat banyak (tebal) berupa gambut, dengan ketebalan beberapa puluh cm
sampai beberapa meter. Bila tetap berupa rawa seperti semula, rawa ini akan berair
masam (mutu aimya untuk pertanian tidak layak). Demikian pula ada rawa yang tidak
banyak memiliki lapisan organik, melainkan endapan lumpur saja, umumnya pada rawa
sungai. Rawa pasang surut umumnya memiliki lapisan gambut.

Lapisan tanah dasar rawa juga berbeda untuk satu kawasan dengan yang lain. Lahan rawa
dengan lapisan tanah lempung (lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah) dan lapisan tanah berupa pasir (rawa pasang surut di Kalimantan
Barat). Untuk ini menjadikan perlunya kehati-hatian dalam melakukan pengolahan tanah.

Seperti telah dikemukakan di depan, pada prinsipnya, kecuali tanaman padi sawah, perlu
media tanam yang tidak tergenang bahkan tidak boleh jenuh air. Untuk ini perlu dilakukan
pembuatan tabukan-tabukan (pada kawasan yang selalu tergenang/kemungkinan
genangan yang akan mematikan tanaman) dengan harapan daerah perakaran tidak pernah
jenuh air, namun juga tetap terjangkau kelembaban tanah. Untuk tanah yang bergambut,
sangat perlu dilakukan pengolahan tanah, agar gambut segera menjadi pupuk kompos
yang benar, namun jangan sampai bahan organik ini tererosi oleh aliran air, keluar dari
kawasan/petak sawah.

Dari hasil Penelitian, justru lahan gambut, pada awalnya masih memerlukan pupuk
nitrogen (sedikit) untuk membantu penguraian gambut, setelah itu banyak digunakan
pupuk fosfat. Pada dasarnya gambut adalah bahan baku kompos, yang perlu penguraian
lebih lanjut, yang memerlukan kondisi yang lebih baik (pH air).

Tanah rawa belum sepenuhnya langsung dapat diolah dengan menggunakan alat mesin
(traktor), karena kedalaman tanah yang tidak seragam. Bahkan di beberapa kawasan
pengolahan tanah hanya dilakukan minimum (pembersihan gulma) dan memanfaatkannya
menjadi pupuk organik (di kawasan persawahan pasang surut Kalimantan Selatan).

Hama penyakit, pada lahan rawa, cukup banyak karena ekologi kawasan yang lembab dan
hangat, memungkinkan hama dan penyakit berkembang pesat. Contoh hama tanaman
padi: wereng, penggerek batang, ulat daun, burung, dan tikus, sedangkan penyakit
tanaman padi salah satunya adalah bercak daun.

Indeks pertanaman (cropping index), sangat dipengaruhi oleh kondisi lahan, ketersediaan
air, jenis tanaman yang ada dan motivasi penduduk serta keadaan sosial lingkungan.

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 17


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

Namun demikian karena umumnya lahan rawa, memiliki ketersediaan air yang cukup,
indeks pertanaman dan jenis tanaman dapat dikembangkan dengan lebih lengkap, lebih
baik dan dimungkinkan peningkatan usaha taninya.

Indek pertanaman adalah angka yang menunjukkan perbandingan luas panen dengan luas
lahan yang ada, dengan kata lain berapa kali lahan yang sama ditanami, pada kurun waktu
setahun. Jadi IP (indek pertanaman) = luas panen selama setahun/luas lahan dimaksud.
Semakin tinggi IP menunjukkan pemakaian lahan semakin intensif dan sebaliknya (IP = 0
berarti bero).

7.2.1 PRODUKTIVITAS TANAMAN DI LAHAN RAWA

Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas tanaman pangan (padi, palawija,


dan ubi-ubian) dan tanaman hortikultura (sayuran dan buahan) di lahan
gambut/bergambut di Kalimantan (termasuk Serawak) dan Sumatera, baik gambut
pasang surut maupun gambut pedalaman cukup beragam, yang memberikan
prospek hasil yang baik (Tabel -1 dan Tabel -2). Produktivitas rata-rata tanaman,
khususnya tanaman pangan, yang dapat dicapai di lahan gambut pasang surut
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan gambut pedalaman (rawa lebak). Hal ini
disebabkan oleh lahan gambut pasang surut mempunyai tingkat kesuburan dan sifat
kimia yang lebih baik.

Penelitian dan pengembangan tanaman perkebunan dan industri di lahan gambut sangat
terbatas, salah satu sebabnya adalah sebagian besar bentuk perkebunannya masih
berskala perkebunan rakyat. Tanaman perkebunan/industri yang banyak dikembangkan di
lahan gambut adalah kelapa, karet, kelapa sawit, kopi, jahe, jarak, nanas, tembakau, dan
rotan dengan tingkat hasil yang cukup memadai. Hasil produksi kelapa berumur 3 tahun
mencapai 1.675 butir/Ha/tahun dan yang berumur 6 tahun mencapai 9.250 butir/Ha/tahun
(Sutarta, 1989). Hasil produksi (baku) karet yang ditanam tahun 1980 selama 4 tahun
(1986-1989) di perkebunan Labuhan Batu berturut mencapai 400, 500, 950, dan
1.200 Kg/Ha/tahun (Sihotang dan Istianto, 1989). Hasil produksi karet di lahan gambut
(tebal < 2 m) dapat menyamai hasil di lahan mineral (Darmandono, 1998). Produksi
Kopi Liberica yang dibudidayakan dengan baik dapat mencapai 1.000-5.000 kg buah
segar/Ha/tahun (Kueh dan Wong, 1992). Penulis lain melaporkan hasil yang dapat
dicapai di lahan gambut untuk karet, kopi, kelapa sawit, dan nanas masing-masing 450,
6-13, 20-25, dan 40-48 Kg/Ha/tahun (Setiadi, 1999).

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 18


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

Tabel -1 : Kisaran Hasil Tanaman Pangan pada Lahan Gambut/Bergambut di


Kalimantan dan Sumatera
Jenis Tanaman Hasil (ton kering per hektar)
Gambut Pasang Surut Gambut Pedalaman
Padi sawah:
* Varietas lokal 2,0-2,8 -
* Varietas unggul 3,4-5,5 2,4-5,6
Padi gogo - 1,3-3,2
Kedelai 0,6-1,7 1,0-2,0
Kacang tanah 0,8-1,5 0,2-0,8
Jagung 0,5-2,0 -
Kacang hijau 0,3-1,0 -
Kacang tunggak 2,1 -
Sorghum 1,5-2,5 -
Ubi kayu (bentuksegar) 13-50 35-60
Ubi jalar (bentuk segar) 14-25 4-55
Talas 4-5 -
Sagu (bentuk pati) 6,0 -
Keterangan: - = data tidak tersedia
Sumber: Diolah dari Taher ef al. (1985), Tim FP-IPB (1992), Noor dan AH (1994) dan sumber lainnya cit. Noor, 2001.

Data lain mengenai tingkat produktivitas tanaman perkebunan/industri yang dapat dicapai
di lahan gambut disajikan pada Tabel -1.

Tabel -2 : Kisaran Hasil dan Intensitas Pertanaman Hortikultura di Lahan


Gambut Kalimantan Barat dan Malaysia

Hasil Segar Produksi


Jenis Tanaman Hasil (ton/Ha)"*
(ton/Ha) (ton/tahun)*
Pepaya(buah) 12,2 (-) 12,2 20-30
Sawi 3,3 (3) 9,9 -
Bawang kucai 3,6(1) 3,6 -
Bayam 0,9 (3) 2,7 -
Gambas 3,4 (3) 10,2 -
Kacang panjang 1,5(2) 3,0 20-22
Kangkung 4,0(1) 4,0 -
Seledri 3,1 (1) 3,1 -
Terong 4,7(1) 4,7 -

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 19


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

Hasil Segar Produksi


Jenis Tanaman Hasil (ton/Ha)"*
(ton/Ha) (ton/tahun)*
Bawang daun 1,0(1) 1,0 -
Lobak 1,3(1) 1,3 -
Mentimun 9,0(1) 9,0 -
Buncis 2,7(1) 2,7 -
Cabai 2,2(1) 2,2 16-21
Tomat - 28-30
Kubis - - 26-31
Keterangan: ( ) = intensitas pertanaman, - = data tidak tersedia
Sumber: *= Rachman (1988), **= Shah et al. (1989) tit. Noor (2001)

Tabel -3 : Kisaran Hasil Beberapa Tanaman Perkebunan di Lahan Gambut


Kalimantan/Serawak dan Selangor Barat Malaysia

Hasil (ton per hektar)


Jenis Tanaman
Gambut Serawak Gambut Selangor
Kelapa sawit (tandan segar) 19,0 -
Kopi (buah segar) 1,7 -
Jahe (rimpang segar) 15,0 15,0
Nanas (buah segar) 2,5 -
Jarak (biji kering) 40,0 40,0
Tembakau (daun kering) 0,7 1,0
Keterangan: - = data tidak tersedia
Sumber: Tie dan Kueh (1979) cit. Noor (2001)

Tingkat produktivitas tanaman yang dapat dihasilkan di lahan gambut berhubungan erat dengan
sifat (watak) dari tanah gambut, kesesuaian lahan dengan tanaman, dan kemampuan
pengetahuan yang digunakan dalam pengelolaan dan budidaya tanaman. Dengan beberapa
keterbatasan seperti tanah dan lingkungan fisik lahan gambut dan kemampuan ilmu
dan teknologi dalam pengelolaan, maka delianisasi wiiayah pengembangan penting
artinya untuk mencapai tingkat produktivitas tanaman yang memadai.

7.2.2 BUDIDAYA TANAMAN PANGAN DI LAHAN GAMBUT

Pembukaan lahan gambut berkaitan erat dengan program transmigrasi yang pada awalnya
diarahkan untuk pengembangan tanaman pangan. Padi dikenal sebagai jenis tanaman
budidaya yang sangat adaptif dengan kondisi lahan gambut. Padi sangat toleran terhadap

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 20


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

tingkat kesuburan yang rendah dan sifat kimia tanah yang bermasalah di lahan gambut.
Lahan gambut dengan kondisi reklamasi yang sederhana dan pengaruh luapan air
pasang (langsung) cukup tinggi lebih cocok untuk pengembangan padi sawah atau
padi pasang surut. Di wilayah yang lebih tinggi, umumnya tidak dipengaruhi oleh pasang,
ketebalan gambut > 50 cm, lebih cocok untuk pengembangan padi lahan kering (padi
gogo).

Budidaya tanaman pangan di lahan gambut banyak menggunakan sistem surjan.


Sistem surjan merupakan salah satu upaya mengatasi pengaruh luapan air pasang agar
budidaya selain padi dapat dilakukan sebagai tindakan untuk optimalisasi pemanfaatan
lahan. Dengan surjan dapat dilakukan pengembangan pola tanam dan
penganekaragaman jenis komoditas (Ismunadji et a/., 1992 dan Notohadiprawiro, 1997).
Bagian lahan ledokan (sunken beds) pada sistem surjan dapat ditanami padi, sedangkan
bagian tabukan/guludan (raised beds) dapat ditanami palawija, hortikultura,
maupun tanaman perkebunan. Lebar ledokan dianjurkan mencapai 8 m dan
lebar tabukan/guludan mencapai 6 m. Tinggi tabukan disesuaikan dengan jeluk air
tanah dan lapisan pirit berkisar 60-80 cm (Ismail et al., 1993). Surjan dapat dibentuk
sekaligus, tetapi sebaiknya secara bertahap karena memerlukan tenaga sekitar 500
HOK (hari orang kerja) per hektar. Sistem surjan tidak dianjurkan untuk lahan gambut
yang mempunyai kedalaman > 200 cm, karena dapat menimbulkan masalah-masalah
kemerosotan kesuburan dan resiko tinggi bila terjadi kebakaran lahan.

Aspek-aspek budidaya tanaman pangan di lahan gambut secara umum meliputi


penyiapan lahan, pengelolaan hara dan air, dan pola tanam/usahatani.

7.2.3 PENYIAPAN LAHAN

Penyiapan lahan adalah kegiatan yang dilakukan sebelum tanam yang meliputi
penebasan atau pengendalian gulma dan pengolahan tanah. Pengendalian gulma
dapat dilakukan dengan cara konvensional, kimiawi maupun biologis. Pengendalian
gulma di lahan rawa dan gambut dapat dilakukan dengan kombinasi dari dua atau
tiga cara di atas sekaligus. Pemilihan pengendalian gulma yang diterapkan sangat
tergantung pada jenis gulma, tingkat kerapatan gulma, dan kemampuan petani. Di
lahan gambut terdapat jenis gulma rumputan yaitu purun tikus (Eleocharis Dulcis)
yang umumnya merajai di lahan yang telah terdegradasi akibat kebakaran dan
mengalami kemasaman. Penggunaan herbisida sekalipun tidak efektif dalam
mengendalikan jenis gulma ini.

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 21


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

Secara konvensional dalam menyiapkan lahan, petani tradisional menggunakan sejenis


parang bertangkai panjang yang disebut tajak. Tajak berfungsi selain dapat menebas
gulma juga memapas lapisan permukaan tanah 5-10 cm sehingga sekaligus bersifat
pengolahan tanah minimum. Pengoiahan tanah dengan menggunakan traktor tidak
dianjurkan, terutama di lahan gambut dalam (> 100 cm). Tidak sedikit petani yang
melakukan sistem tebas bakar dalam penyiapan lahan. Sistem tebas bakar
seyogyanya dihindarkan karena akan menghabiskan lapisan gambut yang selanjutnya
dapat menurunkan produktivitas lahan.

7.2.4 PENGELOLAAN HARA DAN KESUBURAN TANAH

Pengelolaan hara dan kesuburan tanah menyangkut cara-cara peningkatan


kesuburan dan upaya pelestarian produktivitas lahan. Tingkat kesuburan lahan gambut
alami dengan cepat mengalami penurunan. Lahan gambut setelah dibuka antara 2-3
tahun mulai mengalami kemerosotan kesuburan. Hal ini menyebabkan kesuburan
lahan gambut tergolong rendah, sehingga diperlukan masukan berupa bahan
ameliorasi tanah seperti kapur, fosfat alam, serta pupuk makro dan mikro. Berbagai
bahan alami seperti abu sisa pembakaran (abu sekam, abu kayu gergajian), abu vulkan,
garam dapur, zeolit, trusi, lumpur rawa, dan limbah peternakan (pupuk kandang),
dapat digunakan sebagai bahan amelioran.

Hasil penelitian mengenai pemberian kapur dan pupuk untuk budidaya tanaman pangan
menunjukkan tanggapan tanaman secara baik (Radjagukguk, 1982; Widjaja Adhi, 1988).
Pencampuran bahan mineral tanah yang bermuatan basa tinggi (besi) dapat
meningkatkan produktivitas lahan gambut (Halim, 1989). Pemberian atau
pencampuran abu vulkan dapat meningkatkan hasil kedelai di lahan gambut (Setiadi,
1992).

Menurut pengalaman petani, bahwa pada tahun-tahun pertama sampai ketiga,


penggunaan pupuk sangat sedikit bahkan sebagian tidak sama sekali dengan hasil
tanaman yang cukup tinggi. Untuk mengembalikan kesuburan lahannya tidak sedikit
petani membakar gambut untuk mendapatkan abu gambut yang disebarkan sebagai
pupuk. Namun, kesuburan lahan yang diberi abu gambut ini hanya bertahan
memberikan hasil yang baik antara 2-3 kali musim tanam saja. Selanjutnya, petani
kembali mengadakan pembakaran gambut untuk mendapatkan hasil tanaman yang
memadai. Dalam jangka panjang, lambat laun pembakaran gambut ini akan

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 22


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

menghabiskan lapisan gambut yang membahayakan jika substratum bagian bawah


gambut adalah lapisan marin (pirit).

Tabel -4 : Kisaran Kebutuhan Kapur dan Pupuk untuk Tanaman Padi di Lahan
Gambut
Jenis Bahan Padi Lokal Padi Unggul

Kapur (ton CaCO3/ha) 0,0 - 0,5 0,5 - 2,0


Nitrogen (kg N/ha) 20 - 40 45 - 125
Fosfat (kg P2Os/ha) 15 - 30 45 - 60
Kalium (kg K2O/ha) sangat jarang diberikan 25 - 50
Tembaga (kg CuSO4/ha) sangat jarang diberikan 2-5
Seng (kg ZnSO4/ha) tidak diberikan 2-5
Boron (kg Borax/ha) tidak diberikan 0,1 - 0,5
Sumber: Noor(2001)

Hasil penelitian menunjukkan penggunaan kapur dan pupuk seperti urea, TSP, KCI, dan
pupuk mikro Cu (khusus untuk padi) merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
hasil tanaman yang memadai. Sebagai tolok ukur kisaran pemberian kapur dan pupuk
untuk budidaya tanaman pangan di lahan gambut disajikan pada Tabel -4 sampai Tabel
-6.

Tabel -5 : Kisaran Kebutuhan Kapur dan Pupuk untuk Tanaman Palawija di


Lahan Gambut
Kacang
Jenis Bahan Kedelai Kacang Tanah Jagung
Hijau
Kapur (ton CaCO3/ha) 0,5 - 1,0 1,0 - 2,0 0,5 - 1,0 0,5 - 1,0
Nitrogen (kg N/ha) 30 - 45 30 - 45 60 - 90 30 - 45
Fosfat (kg P2O5/ha) 45 - 60 45 - 90 45 - 60 30 - 45
Kalium (kg K2O/ha) 45 - 60 45 - 60 25 - 50 30 - 60
Tembaga (kg CuSO4/ha) 2-5 - 2-5 2-5
Boron (kg Borax/ha) 2-5 - 5 - 10 2-5
Molibdenum (kg Mo/ha) 0,01-0,05 - Td -
Keterangan: - = sangat jarang diberikan, td = tidak diberikan
Sumber: Noor (2001)

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 23


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

Tabel -6 : Kisaran Kebutuhan Kapur dan Pupuk untuk Tanaman Ubi-ubian di


Lahan Gambut
Jenis Bahan Ubi Jalar Ubi Kayu

Kapur (ton CaCO3/ha) 0,0 - 0,5 0,5 - 1,0


Nitrogen (kg N/ha) 45 - 90 25 - 50
Fosfat (kg P2Os/ha) 30 - 45 45 - 60
Kalium (kg K2O/ha) 50 - 90 60 - 120
Sumber: Noor(2001)

Pemberian 4 ton dolomit/ha dapat meningkatkan pH tanah dari 3,3 menjadi 4,5 - 4,8
dan meningkatkan kejenuhan basa dari 23% menjadi 35,6% (Haim, 1987). Kejenuhan
basa yang ideal buat tanaman budidaya berkisar 30%. Pemberian Cu sebesar 50 ppm
selain dapat meningkatkan berat kering padi juga dapat menurunkan kadar asam-asam
organik yang meracun tanaman hingga 68 - 80% (Koswara et a/., 1994).

Padi varietas lokal (Pandak, Bayar, dan Siyam) mempunyai respon terhadap pupuk sangat
rendah, sementara padi varietas unggul cukup tinggi.

Padi varietas lokal merupakan jenis padi berumur panjang (8 - 10 bulan) yang peka
terhadap panjang penyinaran matahari atau peka fotoperiod (photopheriode
sensitive variety).

Dalam pembudidayaan kedelai, lahan gambut yang belum pernah sama sekali ditanami
kedelai sebaiknya diberi inokulasi bakteri pengikat N atau Rhizobium seperti Legin,
Rhizogin, Nitragin, Rhizo-Plus dan sejenisnya. Caranya adalah benih kedelai dicampur
atau dipoles dengan inokulan yang diberi air, terutama untuk lahan yang belum pernah
ditanami kedelai. Cara lain, lahan di sepanjang barisan tanaman disebari tanah bekas
pertanaman kedelai. Inokulasi dengan menggunakan tanah bekas tanaman kedelai
(leguminosa lainnya ) ini diperlukan antara 0,3 - 0,4 ton/Ha. Pemupukan P dan K
yang dikombinasi dengan inokulasi Rhizobium (150 g Nitragin/Ha) pada tanaman kedelai
di lahan gambut dapat meningkatkan pembentukan bintil akar, sehingga dapat lebih
menghemat pemberian pupuk N (Ridwan dan Basri, 1987). Tanaman kedelai yang
berbintil akar efektif dapat memenuhi sekitar 65 - 75% dari jumlah N yang dibutuhkan
tanaman.

Umbi-umbian umumnya merupakan tanaman yang tergoiong tahan terhadap kondisi


asam dan miskin hara, sehingga kapur yang diberikan cukup rendah atau tidak diberikan

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 24


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

sama sekaii. Demikian juga pemberian pupuk mikro jarang disarankan, tetapi menuntut
pemberian pupuk kalium yang tinggi. Kalium mempunyai peranan penting dalam
memberikan hasil umbi yang besar dan sehat.

7.2.5 PENGELOLAAN AIR

Pengelolaan air yang dimaksud di sini adalah pengelolaan air skala mikro, yaitu yang
berada di tingkat petani yang meliputi pembuatan saluran-saluran keliling, pengatusan dan
kemalir, tabat, dan pintu air. Pengelolaan air di lahan gambut terutama dimaksudkan
untuk mempertahankan muka air tanah pada batas layak untuk tanaman pangan. Untuk
padi, muka air tanah perlu dipertahankan pada jeluk antara 30 - 40 cm dan untuk
palawija 40 - 50 cm. Pengelolaan air juga penting untuk menjaga agar tidak terjadi
amblesan yang besar.

Sistem tabat lazim digunakan oleh petani tradisional untuk mempertahankan air
selama musim tanam (lacak) bagi padi lokal berumur 8 - 10 bulan, yang bersifat peka
fotoperiod pada sekitar bulan Maret-April. Tabat dibuka pada akhir musim kemarau
atau menjelang musim hujan untuk mengeluarkan unsur dan senyawa racun berupa
asam-asam organik dan ion-ion logam lainnya. Sistem tabat ini memberikan peluang
bagi pengembangan padi sekaligus perbaikan mutu lahan, terutama dalam menurunkan
kadar unsur pencemaran (Al, Fe, dan H2S).

Dalam budidaya tanaman palawija, pembuatan saluran pengatusan keliling dan kemalir di
lahan gambut dari hasil penelitian terbukti dapat memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah
serta hasil tanaman jagung dan kedelai (Vadari et al., 1995). Dimensi ukuran saluran
kemalir lebar 40 cm, dalam 30-50 cm, dengan jarak antara kemalir 9 m. Penerapan
sistem pengatusan dangkal untuk pengembangan tanaman palawija di lahan pasang surut
Tipe B Unit Tatas, Kapuas (Kalimantan Tengah) dan Tipe C Unit Barambai (Kalimantan
Selatan) memberikan hasil kedelai rata-rata sebesar 1,99 ton/ha, kacang tanah 1,53 -
2,70 ton/Ha, dan jagung 4,32 - 4,69 ton/Ha (Sarwani et al., 1994).

Pengelolaan air tingkat mikro atau tingkat petani ini dianjurkan menerapkan sistem tata
air satu arah sehingga pelindian senyawa atau unsur racun yang menghambat
pertumbuhan tanaman lebih mempan . Pintu air yang dipasang di muara saluran
tersier (handil) dapat bersifat semi-otomatis (aeroflapgate) yang bersifat membuka
ke dalam (tersier) untuk pintu air irigasi dan membuka ke luar untuk pintu air
drainasi/pengatusan. Hasil penelitian pada lahan pasang surut Tipe B Kapuas

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 25


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

Kalimantan Tengah menunjukkan penerapan sistem tata air satu arah dapat
meningkatkan hasil padi dari 1,26 - 1,43 ton gkg/Ha menjadi 3,19 - 4,00 ton gkg/Ha
pada musim hujan dan 2,34 ton - gkg/Ha pada musim kemarau (Noor, 1996).

Hasil padi juga dipengaruhi oleh mutu air yang dipergunakan. Dari tiga sumber air yang
digunakan, ternyata air dari saluran sekunder/kanal memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan air dari hutan galam atau dari hujan yang dikonservasi,
masing-masing memberikan hasil padi 2.04, 1.45, dan 1.35 ton/Ha. Mutu air dan hutan
galam kurang baik karena mempunyai pH 3.29, kadar Fe 1.69 cmol(+)/l, Al 1.24 cmol(+)/l,
dan SO4 5.88 cmol(+)/l (Klepper et al., 1992) dibandingkan dengan air saluran sekunder yang
mempunyai pH 3.65, kadar Fe 0.92 cmol(+)/l, Al 0.89 cmol(+)/l, dan SO 4 3.66 cmol(+)/l (Vadari
et al., 1990).

Mutu air sungai yang belum memasuki saluran sekunder umumnya lebih baik dibandingkan
dengan yang ada di saluran primer atau sekunder. Air sungai yang mempunyai mutu lebih
baik inilah yang diharapkan dapat masuk untuk mengencerkan atau menetralkan senyawa
atau unsur logam dan asam organik yang bersifat racun sebagai hasil pengatusan.

7.2.6 POLA TANAM USAHATANI

Dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, maka penganekaragaman yang


meliputi jenis komoditas dan ragam usahatani diperlukan. Sebagian petani di lahan gambut
menerapkan pola tanam padi-ubi jalar dan padi-kacang tanah yang dimaksudkan agar
produktivitas lahan dapat dipertahankan. Pengalaman petani Unit Belawang Kalimantan Selatan
dan UPT Pangkoh Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa dengan menanam ubi jalar dan
kacang tanah sebagai selingan setelah tanam padi beberapa musim tanam, ternyata dapat
meningkatkan hasil padi pada musim tanam berikutnya. Jadi selain tingkat produksi tanaman
dapat ditingkatkan, produktivitas lahan dapat dipertahankan.

Beberapa tanaman perkebunan seperti kelapa, kelapa sawit, karet, dan kopi dapat
dikembangkan di lahan gambut dan dapat dipadukan (integrated farming system) dengan
tanaman padi maupun palawija dalam rangka optimalisasi sumber daya lahan. Pola tanam ini
dapat dilakukan dengan model sistem surjan. Selain itu, petani juga dapat memelihara
ternak unggas (ayam dan itik) maupun ternak besar (sapi, kerbau, dan kambing) yang ternyata
cukup berhasil (Siregardan Rangkuti, 1977).

Petani tradisional dalam melakukan pengaturan pola tanam atau suksesi tanaman secara
bertahap. Setelah pembukaan lahan pada 1 - 4 tahun pertama dilakukan penanaman

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 26


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

padi, kemudian setelah 4 - 6 tahun dilakukan penanaman kelapa pada bagian tabukan
dengan sistem surjan dan padi ditanam pada bagian ledokan. Setelah tanaman kelapa
berumur 4 tahun, secara bertahap tanaman padi dihilangkan dan diganti dengan kelapa
dengan pembuatan surjan (tukungan), sehingga penggantian atau pembentukan kebun
kelapa secara keseluruhan banjir dicapai setelah 15 - 20 tahun.

Upaya penganekaragaman komoditas (dengan memasukkan ternak dan tanaman


perkebunan) dalam konteks di atas tentu memerlukan dana/investasi modal, sedangkan
petani umumnya jarang mempunyai modal yang besar. Untuk itu bantuan berupa
modal dan bimbingan dalam sistem pengelolaan, baik dari pemerintah maupun swasta,
terutama yang berminat dalam pengembangan pertanian sangat diperlukan. Dengan
meningkatnya pendapatan usahatani yang dapat dicapai di lahan gambut, maka petani
menjadi lebih berminat dalam mengelola lahannya secara baik sehingga terhindar dari
terjadinya lahan tidur, yang sekarang menjadi tantangan dalam pengembangan
lahan gambut. Dengan demikian, usahatani di lahan gambut dapat berkelanjutan
dan kelestarian sumber daya lahan gambut dapat dipertahankan.

7.3 POTENSI PRODUKSI DAN PRODUKTIFITAS, DAN PASCAPANEN


PERTANIAN DI LAHAN RAWA

Semakin menyusutnya lahan sawah beririgasi yang subur di pulau Jawa akibat tekanan
pembangunan, pemukiman, maupun industri mengharuskan pemerintah mengembangkan
lahan sawah baru di luar pulau Jawa. Pengalaman di tahun 1990-an dalam program
SIADP (Sumatera Irrigation Agriculture Development Project) menemukan betapa
sulitnya mencari lahan potensial untuk sawah irigasi di Provinsi Sumatera Barat, Jambi, dan
Riau. Lahan yang tersedia dengan kesesuaian marjinal dan rawa, di samping rentan sering
diserobot oleh investor untuk menjadi perkebunan kelapa sawit.

Diperkirakan bahwa sampai tahun 2010, luas panen padi akan cenderung berkurang dari
11,77 juta Ha di tahun 2005 menjadi 11,25 juta Ha, dan produktivitas per hektar tidak
akan banyak meningkat, sementara kebutuhan pangan selalu meningkat. Sehingga pada
tahun 2010 diperkirakan terjadi defisit padi nasional sebesar 1,097 juta ton. Di samping
itu, juga potensi sumber daya air pulau Jawa tiap tahunnya diperkirakan 51,21% terpakai
hanya untuk menghasilkan padi. Sementara permintaan air semakin meningkat seiring
dengan pertambahan penduduk dan perkembangan pembangunan, sehingga dapat
menimbulkan krisis air dan konflik antar berbagai kepentingan. Oleh karenanya, lahan
rawa yang terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua dapat menjadi alternatif pilihan

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 27


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

untuk dikembangkan karena potensi yang masih luas serta besamya potensi sumber daya
airnya. Pengembangan lahan rawa yang baru serta optimalisasi jaringan rawa yang
selama ini "tidur" harus diikuti dengan berfungsinya operasi dan pemeliharaan (O&P).

7.3.1 PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS PERTANIAN LAHAN RAWA

Perkembangan produksi komoditas utama yaitu padi, jagung, dan kedelai dari tahun 2001 -
2005 meningkat (Tabel -7), namun dengan peningkatan jumlah penduduk sebesar
1,6%/tahun, Indonesia masih diharapkan dapat meningkatkan produksi sampai tahun
2025 mendatang dengan rerata 0,85%/tahun untuk tanaman padi, 4,26%/tahun untuk
tanaman jagung, dan 7%/tahun untuk tanaman kedelai. Pemenuhan atas kebutuhan
peningkatan produksi ini harus dijawab melalui pendayagunaan sumberdaya lahan yang
tersedia yang peluangnya masih besar. Lahan rawa baik lebak maupun pasang surut
merupakan pilihan yang sangat menjanjikan, karena selain potensi luasannya besar,
teknologinya sudah mulai dikuasai, dan kesenjangan produksi (yield gap) antara
produktivitas aktual dan potensialnya masih sangat tinggi. Pilihan lima komoditas strategis
seperti padi, jagung, kedelai, tebu, dan daging ini sangat sesuai dengan karakteristik
lahan rawa yang secara umum dapat untuk penerapan budidaya komoditas tersebut
(Irianto, 2005).

Tabel -7 : Perkembangan Produksi Komoditas Utama Tahun 2001 - 2005

Daging Sapi
Tahun Padi (ton) Jagung (ton) Kedelai (ton) Tebu (ton)
(ton)
2001 50.451.000 9.347.000 827.000 1.755.345 338.685
2002 51,490.000 9.654.000 673.000 1.755.354 330.290
2003 52.138.000 10.886.000 672.000 1.634.358 369.711
2004 54.088.000 11.225.000 723.000 2.171.714 447.573
2005* v 54.056.282 12.413.353 808.054 - 463.819
Sumber: Rencana Strategis Departemen Pertanian 2005-2009

Peranan daerah rawa dalam mendukung ketahanan pangan di tingkat Provinsi Kalimantan
Barat tercermin dari kinerja ketiga kabupaten, yang areal sawahnya dominan daerah rawa,
yakni kabupaten Pontianak, Sambas, dan Ketapang. Data BPS Kalimantan Barat tahun
2005 mencatat bahwa dengan luas panen 182.927 Ha atau 50,09% dari total luas panen
provinsi, ketiga kabupaten menyumbang produksi padi sebesar 563.477 ton atau 53,13%
total produksi padi seluruh provinsi Kalimantan Barat. Produksi padi Kalimantan Barat
meningkat secara konstan sejak tahun 2000.

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 28


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

Pemerintah Kalimantan Barat dalam mengembangkan pertanian tanaman pangan dan


agribisnis telah meluncurkan dan melaksanakan beberapa program. Program-program ini
diantaranya dilaksanakan dengan dukungan jaringan irigasi dan rawa yang handal sehingga
memerlukan kegiatan O&P yang rutin dan efisien.

Sumbangan sektor pertanian terhadap pembangunan di Provinsi Kalimantan Barat


cukup besar, salah satu contohnya adalah PDRB Kabupaten Sambas tahun 2003 sebesar
Rp1.099.289,59 juta dengan nilai kontribusi paling dominan (43,79%). Subsektor tanaman
pangan memberikan kontribusi paling besar dalam sektor pertanian, yaitu sebesar 29,09%.

Sampai tahun 2002 dari sembilan sektor ekonomi terdapat dua sektor yang menopang
perekonomian Barito Kuala, sektor industri menjadi sektor pertama penopang ekonomi
karena mampu memberikan kontribusi yang sangat besar (51,97%), kemudian sektor
pertanian menjadi sektor kedua penopang ekonomi (27,96%). Di samping kontribusi
sektor pertanian terhadap PDRB cukup besar, juga mampu menghidupi sekitar 69,98%
penduduk Barito Kuala.

Sektor Pertanian tetap perlu mendapatkan perhatian khusus, hal ini disebabkan hampir
seperlima produksi padi sawah Kalimantan Selatan dihasilkan oleh kabupaten Barito Kuala,
yaitu mampu memproduksi 268.825 ton. Selain itu, beberapa kecamatan di Barito Kuala
bersama dengan beberapa kecamatan di Kabupaten Banjar telah ditetapkan sebagai
Kawasan Sentra Produksi dengan produk unggulannya berupa padi sawah, rambutan, dan
jeruk (BPS, 2003).

Jenis Luas Tanam Luas Rusak Luas Panen Produksi Produktivitas


No.
Tanaman (Ha) (Ha) (Ha) (ton) (ku/Ha)
1 Padi sawah 87.669 125 84.357 269.198 31,91
2 Padi ladang - - - - -

3 Jagung 123 - 90 59 24,58

4 Kedelai 10 7 2 1 10,00

5 Kacang tanah 70 7 105 118 11,48

6 Kacang hijau - - - - -

7 Ubi kayu 244 35 196 2.521 123,62


8 Ubijalar
Volume 43
I : Aspek Umum Pengembangan -
Daerah Rawa108 1.055 97,72 29

9 Sayuran 349 - 343 1.533 4,46

10 Buah-buahan 7.577 - 3.754 30.475,45 83,69


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

Tabel -8 : Luas Tanam, Rusak, Panen, Produksi, dan Produktivitas Menurut Jenis
Tanaman Tahun 2004 di Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan

Sumber: Kabupaten Barito Kuala dalam Angka Tahun 2004

Peluang untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan dan hortikultura
seperti ditunjukkan pada Tabel -8, masih sangat dimungkinkan, hal ini dikarenakan
sentuhan teknologi tepat guna untuk mendukung pembangunan pertanian di lahan rawa
masih belum optimal. Di Indonesia, aspek pembangunan yang akan berkaitan dengan
gambut adalah:

1. Peningkatan produksi pertanian sebagai cara meningkatkan pendapatan,


membuka lapangan kerja baru, dan mendorong pembangunan nasional;

6. Diversifikasi energi sebagai pengganti minyak dan pencurian kayu bakar


sekaligus mengurangi perambah hutan di wilayah bergambut;

7. Pembangunan pengairan di wilayah pasang surut;

8. Pengembangan pemanfaatan hutan gambut, efisiensi pemanfaatan hutan


bergambut, dan

9. Pengembangan areal transmigrasi.

Beberapa aspek lain yang dapat dikembangkan di lahan gambut adalah pariwisata di
wilayah hutan gambut, pengelolaan lingkungan hidup, industri pengolahan buah-buahan,
industri media tanam dan semai gambut.

7.3.2 PROGRAM STRATEGIS PENGEMBANGAN LAHAN RAWA

Provinsi Kalimantan Barat mempunyai Program Gerakan Satu Juta Ton Gabah Kering
Giling atau GENTATON, pelaksanaan tahap pertama dimulai tahun 1998 - 2002 yang
bertujuan untuk:

1. Meningkatkan produksi padi dari 829.106 ton menjadi 1.000.000 ton, produksi
jagung dari 40.981 ton menjadi 50.000 ton, dan produksi kedelai dari 5.629 ton
menjadi 10.000 ton.

2. Mengurangi jumlah impor beras dari luar dan memperkuat ketahanan pangan
daerah sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 30


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

Sejak tahun 2005, pemerintah Kalimantan Barat meluncurkan program pengembangan


Kawasan Unggulan Agrobisnis Terpadu atau KUAT yang merupakan kawasan khusus,
yang diharapkan cepat tumbuh menjadi sentra agribisnis dengan tujuan:

a. Mencetak kawasan untuk tumbuh lebih cepat,

b. Mengembangkan sistem agribisnis yang terintegrasi antara hulu-hilir, dan

c. Mendorong perbaikan kesejahteraan masyarakat di kawasan.

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui Program Pembangunan


Transmigrasi Baru (PTB), merencanakan mengembangkan Kawasan Terentang dengan
potensi lahan seluas 32.440 Ha yang merencakan lahan rawa pasang surut terletak di
kecamatan Terentang Kabupaten Pontianak, untuk menjadi pemukiman transmigrasi
dengan komoditas tanaman pangan lahan kering, tanaman pangan lahan basah (padi,
palawija, dan hortikultura), perkebunan (kelapa, kopi, kelapa sawit, dan karet), dan
peternakan unggas serta perikanan air tawar.

Jenis tanaman pada lahan rawa, adalah jenis tanaman yang suka air/kelembaban tanah
dengan tanaman utama padi pada lahan basah (sawah air dangkal, dalam, dan sangat
dalam). Pada lahan kering (daratan: kebun) banyak ditemui rambutan, nangka, ketapi,
durian, kelapa, duku, petai, juga kopi robusta.

Bila produktivitas tanaman ini rendah, karena belum banyak diterapkan iptek, sehingga
masyarakat masih memilih untuk menanam varitas lokal, dengan cara budidaya tanaman
yang masih tradisional. Meskipun demikian, varietas lokal ini telah terbukti memiliki daya
adaptasi yang sangat kuat, dan selalu mampu memberikan hasil setiap tahunnya.

Beberapa introduksi tanaman, misalnya jeruk (siem) atau jeruk Kalimantan telah terbukti
memberikan hasil yang luar biasa (Rp22.000.000,00/tahun/hektar), umur tanaman 5
tahun, dalam tabukan selebar 2,0 m sebanyak 8 jalur di antara tanaman padi sawah (Desa
Transmigrasi Blok Terantang, Kecamatan Terantang, Kabupaten Barito Kuala). Jenis
tanaman ini akan menjadi komoditas andalan di kawasan Kalimantan Selatan di daerah
rawa pasang surut.

Produksi tanaman padi rawa, dengan masa tanam (varitas lokal) 10 - 11 bulan (mulai dari
pesemaian bertingkat 2 - 3 kali pindah) dan pertanaman sebenamya selama 7 bulan. Hasil
tanaman padi lokal sebanyak 2,5 - 3,0 ton/ha. Percobaan untuk menanam varietas baru
(IR 64) pernah dilakukan di Kolam Kiri Dalam Unit Barambai, Kalimantan Selatan, dan telah

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 31


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

berhasil dengan baik (hasil 5 - 6 ton/Ha). Persoalannya, pada waktu itu adalah masalah
hama tanaman (tikus) dan burung, karena jumlah penanam yang kurang banyak,
sehingga tanaman kurang luas. Di samping itu, juga jumlah tenaga yang kurang,
utamanya pada saat panen padi IR 64, yang bersamaan dengan musim tanam varietas lokal.

7.3.3 PEMANENAN

Hasil tanaman dapat dipanen apabila telah memenuhi kriteria masak fisiologis atau
masak komersial. Masak fisiologis terjadi apabila pertumbuhan dan kemasakan suatu buah,
biji ataupun sayuran sudah mencapai maksimum. Masak komersial adalah tercapainya
kondisi organ tanaman (bagian tanaman yang akan dipanen) sesuai dengan selera
konsumen. Penentuan saat panen hasil tanaman didasarkan atas:

1. Perubahan kenampakan (visual), meliputi: perubahan wama, perubahan


bentuk dan ukuran, adanya daun-daun yang menua, tanaman mengering, dan
buah atau biji telah berkembang atau berukuran penuh,

2. Perubahan fisik, meliputi: mudah lepas dari pohon induknya, perubahan


kekerasan daging buah, dan meningkatnya berat jenis dan padatan tertarut,

3. Perubahan kimiawi, meliputi: meningkatnya kandungan gula, menurunnya


kandungan asam, dan meningkatnya kandungan lemak dan protein,

4. Perubahan fisiologi, misalnya kelakuan respirasi dapat digunakan untuk


menera/mengukur tingkat kemasakan hasil tanaman terutama tanaman buah,
dan

5. Umur tanaman sejak penanaman sampai hasil siap dipanen atau sejak bunga
mekar sampai hasil siap dipanen (misal pada tanaman semangka, melon,
mentimun, terung, dan sebagainya).

Tanda-tanda hasil tanaman sudah siap untuk dipanen sangat bervariasi tergantung
jenis/macam tanaman, bagian tanaman yang dipanen, kegunaan/pemanfaatan hasil
tanaman (misal untuk sayur ataukah untuk buah). Setelah panen perlu adanya
penanganan pascapanen sebelum hasil dipasarkan agar hasil tersebut tidak cepat
mengalami penurunan kualitas. Tindakan pascapanen pada komoditas hortikultura antara
lain adalah: trimming (perempelan/perempesan), cleaning and washing (pembersihan dan
pencucian), grading and sorting (pengelompokan/penggolongan dan pemilahan),
packaging (pengemasan), precooling (pendinginan awal) dan storage (penyimpanan).

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 32


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

Untuk field crops seperti kedelai, padi, jagung, sorghum, kacang tanah, dan
sebagainya, penanganan pascapanen yang harus dilakukan adalah pengeringan sampai
kadar air tertentu (untuk padi 12%), agar dapat disimpan dalam jangka waktu yang
cukup lama.

Panen produk pertanian dapat dilakukan dengan cara manual atau mekanis. Pada cara
manual, penerapan tenaga manusia lebih menonjol daripada alat yang digunakan,
sedangkan cara mekanis lebih mengutamakan peran alat yang digunakan daripada
tenaga manusia. Umumnya, kualitas produk yang dipanen secara manual lebih baik,
tetapi memerlukan tenaga manusia dan waktu lebih banyak. Panen secara mekanis
menggunakan mesin jauh lebih menghemat tenaga manusia dan lebih cepat, sehingga
cocok untuk hamparan pertanaman yang luas, pada lahan datar, dan ketersediaan tenaga
kerja sedikit.

Tanaman padian atau serealia produknya berupa biji tua atau kering, yang tersusun dalam
suatu malai dan relatif mudah rontok. Sifat mudah rontok ini menyebabkan kehilangan
hasil cukup besar pada waktu panen, lebih-lebih panennya secara mekanis atau semi-
mekanis dengan pemotongan memakai sabit. Panen tanaman padi unggul biasanya
dilakukan dengan memotong sepertiga batang dengan menggunakan sabit bergerigi.
Sementara panen padi lokal biasanya menggunakan ani-ani secara bertahap dengan
memilih tanaman yang siap untuk dipanen. Gabah dirontokkan dengan menggunakan
treser, atau dipukul-pukulkan pada kayu atau batu, bahkan perontokan gabah kadang
dengan diinjak-injak. Kemudian gabah dikeringkan sampai kering dan siap untuk digiling.

Pada tanaman padi, terutama padi lokal saat panen atau pemungutan hasil dapat
dilakukan secara bertahap menyesuaikan kondisi tanaman maupun kebutuhan
petaninya. Namun tidak demikian halnya untuk padi unggul, pemanenan harus
dilakukan secara serempak, yaitu dengan memperhatikan beberapa ketentuan sebagai
berikut:

1. Kondisi tanaman yang akan dipanen harus menunjukkan tingkat kematangan


minimal 30% dari total populasi tanaman (terutama umur tanaman telah
memasuki kelayakan panen),

2. Kenampakan gabah sudah masak fisiologis (bemas, ukuran maksimum, kulit


gabah kuning penuh, dan sudah merunduk), dan

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 33


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

3. Kenampakan daun tanaman padi jerami) sudah mengalami senesen (penuaan)


ditunjukkan dengan wama kuning sampai kuning kecoklatan.

Pada tanaman palawija khususnya tanaman kacangan (kedelai, kacang tanah, maupun
kacang hijau), pemanenan dilakukan apabila:

1. Tanaman telah memasuki umur panen berkisar 70 - 90 hari tergantung jenis


tanamannya,

2. Daun tanaman telah berubah menguning sampai coklat kering dan sebagian
besar mulai rontok, batang tanaman mulai coklat kering, dan

3. Kenampakan polong telah berwama coklat kering, polong ukuran maksimal, biji
bemas.

Apabila petani ingin menyimpan benih kacangan maka dalam penyimpanan kadar air benih
harus dipertahankan sekitar 9 - 10%, sehingga viabilitas dapat terjaga dengan baik.
Sementara untuk tanaman jagung, apabila dimaksudkan untuk jagung semi (baby
corn) biasanya pemanenan ditentukan berdasarkan umur sekitar 40 hari setelah tanam
dengan memperhatikan ukuran panjang dan diameter tongkolnya, serta kemunculan
bunga jantan tidak sampai menyerbuki bunga betinanya. Apabila dimaksudkan untuk
jagung rebus, maka pemanenan selain memperhatikan umur sekitar 70 hari setelah tanam
juga mendasarkan pada ukuran panjang dan diameter tongkol serta biji telah tersusun
sempurna, sementara untuk jagung pipilan sebagai pakan ternak dapat dipanen umur 90 -
105 hari tergantung jenis tanamannya.

7.3.4 PASCAPANEN

Periode pascapanen dimulai dari saat panen, yaitu pengambilan tanaman atau bagian
tanaman yang dianggap sebagai produk sampai produk tersebut habis dikonsumsi atau
dijual. Pengelolaan faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan dan penjualan produk itu
akan menentukan kepuasan yang dicapai dari produk pertanian tersebut

Bagian tanaman yang dipanen dianggap mempunyai nilai ekonomis sehingga bagian
tersebut dinamakan produk ekonomis sedangkan sisanya dikatakan sebagai limbah
pertanian. Produk ekonomis dan limbahnya merupakan bagian tanaman, seluruhnya
dinamankan produk bilogis. Berdasarkan perbandingan berat kering produk ekonomis dan
produk biologis menggambarkan efisiensi penggunaan hasil fotosintesis untuk kepentingan
manusia, perbandingan ini disebut indeks panen. Berdasarkan indeks panen tersebut,

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 34


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

varietas unggul adalah varietas yang dapat menghasilkan biomass atau produk biologis
tinggi dengan indeks panen tinggi. Sebenamya indeks panen tidak ada artinya lagi
apabila tidak ada limbah pertanian, karena semua limbah dapat diubah menjadi produk
ekonomis. Jadi, rendahnya indeks panen di bawah nilai satu sebenamya menggambarkan
kurang efisiennya manusia dalam memanfaatkan tanaman.

Setelah produk dipanen dapat langsung dijual di lapangan atau di pasar maupun diproses
lebih lanjut. Adakalanya penjualan itu bahkan sudah dilakukan sebelum waktu panen, yaitu
pada waktu tanaman masih hijau, penjualan demikian dinamakan sistem ijon.

Pada waktu panen raya, harga produk tanaman relatif lebih rendah sehingga kurang
menguntungkan apabila penjualannya dilakukan pada waktu tersebut. Dengan menunda
penjualan atau menyimpan lebih dulu sampai naiknya harga, adakalanya lebih
menguntungkan. Untuk itu, produk tanaman harus dipersiapkan lebih dahulu agar tidak
rusak dalam penyimpanan, misalnya dengan pengeringan, pembersihan, atau dengan cara
pengawetan lain.

Produk pertanian yang cepat rusak atau merosot kualitas hasilnya setelah dipanen, luas
panennya perlu disesuaikan dengan kuantitas yang dapat dijual, dikonsumsi, atau diproses
lebih lanjut, sehingga panennya secara bertahap. Tetapi untuk tanaman yang produknya
tidak cepat rusak setelah dipanen, panennya dapat dilakukan secara serentak pada saat
masak panen. Untuk tanaman yang panennya memerlukan saat tepat sedang produknya
cepat merosot kualitasnya setelah dipanen, misalnya tebu, maka luas areal tanam, waktu
tanam, dan perbandingan luas jenis klon-klon yang ditanam sudah harus direncanakan
dengan baik sejak semula untuk disesuaikan dengan kemampuan pengolahan produknya
setelah panen. Untuk tebu, disesuaikan dengan kapasitas giling pabrik gula yang
mengolahnya.

Pengangkutan produk pertanian tertentu dari lapangan ke tempat pembersihan atau


pengeringan perlu perhatian agar tidak ada atau banyak kehilangan hasil selama di
perjalanan. Begitu pula, selama proses pengeringan mencapai 5 - 25% pada negara-
negara maju, dan 20 - 50% pada negara-negara sedang berkembang.

Tindakan untuk mengurangi kehilangan hasil baik secara kuantitas maupun kualitas
bertujuan untuk:

1. Memahami faktor-faktor biologi dan lingkungan yang terlibat dalam proses


kerusakan (deteriorasi), dan

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 35


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

2. Menggunakan teknologi pascapanen yang dapat menunda senesen dan dapat


mempertahankan kualitas yang baik.

Bila kehilangan hasil ini dapat ditekan maka nilai tambah jualnya akan meningkat
terutama bagi petani. Pencegahan kehilangan hasil pascapanen merupakan suatu
program untuk meningkatkan pendapatan petani maupun devisa negara. Oleh karena itu,
pengetahuan mengenai sifat-sifat komoditi hortikultura yang mudah rusak sangat
diperlukan agar cara penanganannya dapat ditentukan secara tepat sehingga kesegaran
komoditi dapat dipertahankan lebih lama.

Setelah mengalami pengolahan atau proses lebih lanjut, produk pertanian dapat
mempunyai nilai tambah apabila dipasarkan. Akan tetapi, produk olahan tersebut tidak
selalu langsung dipasarkan apabila harga pasar dirasa masih belum cukup tinggi, sehingga
perlu ditunda lagi dalam penyimpanan. Produk olahan dari pabrik, umumnya dapat
disimpan jauh lebih lama tanpa menurunkan kualitasnya, sementara produk olahan bukan
dari pabrik lebih memerlukan banyak perhatian terhadap faktor-faktor yang berpengaruh
dalam penyimpanannya.

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam penyimpanan produk pertanian yang sudah


mengalami pengolahan, apalagi yang hanya mengalami pengeringan dan pembersihan,
adalah suhu, kelembaban, sirkulasi udara ruang simpan, serta kebersihan dan
keamanan ruang simpan dalam hubungannya dengan kemungkinan terjadinya
serangan hama dan penyakit pascapanen. Produk tersebut harus bersih dari sumber
hama dan penyakit yang dapat menyerang selama penyimpanan, dan kadar aimya
harus cukup rendah untuk menghindari kemungkinan tumbuhnya jamur.

Tujuan akhir dari usaha pertanian adalah memasarkan produknya guna mendapatkan
pendapatan yang sebanyak-banyaknya tiap satuan luas lahan. Untuk itu, harus ada
jaminan bahwa produk pertanian lahan rawa akan dapat dipasarkan dengan mudah
oleh petani. Karenanya peran Bulog sangat diharapkan, khususnya dalam menangani
masalah beras. Demikian juga untuk produk lainnya, misalnya jeruk yang kesegarannya
tidak dapat bertahan lama sehingga membutuhkan industri yang dapat menyerap
kelebihan produk saat panen raya.

7.3.5 KONDISI PERTANIAN (FARMING) DI LAHAN RAWA

Perlu menjadi perhatian bahwa kesempatan bertani di lahan rawa adalah bukan hanya
pada tanaman pangan namun juga pada perikanan dan petemakan. Hasil pertanian adalah

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 36


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

pokok, karena sangat dibutuhkan, sementara produk yang banyak menghasilkan uang
dan memungkinkan adalah usaha peternakan (merupakan kerja sambilan) petani, di
samping mengusahakan tanamannya. Jenis ternak utama adalah: unggas, kambing, sapi,
dan kerbau (khusus kerbau rawa ada di kawasan hulu kabupaten Barito Kuala).

Farming memberikan pengertian upaya untuk memperoleh hasil dengan memanfaatkan


secara optimal unsur biotik (tumbuhan/tanaman, hewan baik ikan maupun ternak),
dipadukan dengan unsur abiotik (lingkungan yakni iklim, tanah dan ketersediaan air) dan
dikelola dengan sistem pengelolaan yang memadai (optimal dan konservasi, sehingga
mampu berkelanjutan). Farming mampu menghasilkan bahan makanan, bahan industri,
dan bahan keperluan lainnya yang memberikan peluang untuk melakukan kegiatan
lanjutan, dan menjadi kegiatan yang disebut industri rumah tangga. Contoh industri rumah
tangga misalnya pembuatan tempe, tahu, produk produk dan jagung, ubi kayu, dll.

Telah dibuktikan bahwa bahwa farming (farmer=petani) adalah kegiatan mengusahakan


tanaman, ternak, dan bahkan ikan secara bersamaan pada lahan yang dikuasainya dan
merupakan kegiatan yang saling memanfaatkan satu sama lainnya. Secara bersama
kegiatan ini memberikan hasil yang beraneka, dengan waktu yang berurutan dan total
hasil yang mampu mencukupi kebutuhan.

Iklim merupakan faktor alam yang tidak dapat dikuasai, sehingga iklim (curah hujan,
sinar matahari, suhu, dsb.) perlu dicermati dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sementara
itu tanah (fisik, kimia, dan biotik) dapat dimodifikasi meskipun terbatas dan dapat
disesuaikan dengan keperluan tanaman dan kegiatan lainnya. Ketersediaan air
dipengaruhi curah hujan, elevasi, dan topografi lahan secara fisik dan kimia juga dapat
dikendalikan disesuaikan dengan kepentingan penggunaan didalam kegiatan farming
bahkan keperluan rumah tangga. Karena suhu, sinar matahari, dan curah hujan di kawasan
Barito Kuala Kalimantan Selatan berada pada kondisi relatif sama, maka farming lebih
ditentukan oleh ketersediaan air (termasuk mutu air) dan mutu lahan (tanah). Mutu air
adalah air cenderung masam (ke arah pedalaman), atau cenderung salin (dekat pantai),
sementara mutu tanah dengan lapisan atas berbahan gambut tipis sampai tebal dan
bahan lempung masam pada lapisan bawahnya.

Mutu lahan yang ada merupakan perpaduan antara kondisi air dan kondisi tanah,
menjadikan beberapa bagian dari kawasan Barito Kuala Kalimantan Selatan berbeda
kharaktemya. Merespon kharakter lahan ini, menjadikan sistem dan pola farming di setiap
kondisi yang berbeda tersebut seharusnya juga berbeda.

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 37


Penyusunan Manual Perencanaan Teknis
Jaringan Reklamasi Rawa dan Tambak

Volume I : Aspek Umum Pengembangan Daerah Rawa 38

Anda mungkin juga menyukai