7.1.1 PENGANTAR
Memang tidak mudah menyusun satu uraian yang secara tersurat menggambarkan
pemaduan kedua sisi masing-masing yang saling bertentangan, misalnya pengatusan lahan
gambut untuk keperluan budidaya pertanian berhadapan dengan mempertahankan
keutuhan lahan gambut sebagai lumbung air. Namun, justru gatra-gatra yang saling
berlawanan ini menjadi dasar perencangan tataguna lahan gambut agar dapat memenuhi
syarat konservasi dan berkelanjutan pengembangan lahan gambut. Dalam dasar
perancangan tataguna lahan gambut, gatra yang saling berlawanan dari sisi produksi dan
dari sisi perlindungan lingkungan perlu diatur sehingga perpaduan secara komprehensif.
Indonesia adalah negara keempat yang mempunya lahan gambut terluas di dunia, tetapi
pemanfaatan dan pengembangannya masih sangat terbatas. Di kawasan Asia, termasuk
Indonesia, lahan gambut lebih banyak dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian. Di
balik potensi yang masih cukup besar, lahan gambut termasuk lahan piasan ( marginal) dan
mudah mengalami degradasi.
Pengelolaan kawasan budidaya bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
pemanfaatan ruang dan sumber daya untuk menyerasikan pemanfaatan ruang dan
kelestarian lingkungan hidup. Sasaran pengelolaan kawasan budidaya adalah:
Sesuai dengan kriteria teknis sektoral, khusunya data dukung dan kesesuaian lahan, maka
areal lahan rawa yang paling sesuai untuk kawasan pemukiman adalah tanah-tanah di
daerah tanggul sungai yang relatif lebih kering dibandingkan daerah rawa belakang. Juga
dekat dengan sumber air tawar yang berupa air sungai di depan perkampungan, dan
sungai (besar) sendiri sebagai sarana transportasi. Hanya perlu ditetapkan adanya
kawasan lindung berupa daerah sempadan sungai sekurang-kurangnya 100 m di kiri dan
kanan sungai besar, dan 50 m di kiri dan kanan anak sungai yang berada di luar
permukiman.
Sesuai dengan daya dukung dan kesesuaian lahan, maka untuk kawasan pertanian dapat
digunakan tanah marin dan tanah gambut dengan tebal < 3 m. Apabila tanggul sungai
cukup besar, tanah endapan di sinipun dapat diperuntukkan guna kawasan pertanian,
khususnya kawasan pertanian lahan kering dan kawasan tanaman tahunan/perkebunan.
Persawahan pasang surut dapat dikembangkan pada tanah sulfat masam potensi dan
aktual, dan pada tanah marin yang bahan sulfidanya sudah relatif dalam (50-150). Upaya-
upaya pengelolaan air tanah, pencegahan proses pemasaman oleh oksidasi pirit,
pengembangan sistem surjan, dan pencegahan penyusupan/intrusi air laut/payau perlu
dilakukan. Penggunaan pupuk majemuk NPK, bahan kapur, dan bahan ameliorasi tanah
lainnya, misal abu sisa pembakaran dan abu vulkan perlu dilaksanakan untuk
meningkatkan produktivitas tanah.
Pada lahan gambut, yang paling sesuai untuk sawah adalah tanah bergambut (20-50 cm)
dan gambut dangkal (50-100 cm). Kondisi demikian memungkinkan aplikasi pemupukan
majemuk NPK, pengapuran, dan penggunaan unsur mikro khususnya Cu.
Pada lahan gambut, yang sesuai untuk tanaman semusim selain gambut dangkal, juga
gambut sedang (100 - 200 cm). Pengelolaan air perlu diperhatikan agar air tanah tidak
turun terlalu dalam dan drastis, untuk mencegah terjadinya gejala kering tak balik dan
penurunan permukaan gambut, kalau memungkinkan dilaksanakan pemupukan lengkap,
pengapuran dan penggunaan unsur mikro antara lain Cu, Bo, Mn, atau Zn tergantung dari
varietas tanaman yang dibudidayakan.
Seperti kawasan pertanian lahan kering, tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada
tanah marin, menggunakan sistem surjan. Tanaman tahunan/perkebunan ditanam pada
bagian tabukan. Pemupukan lengkap, kapur, abu sisa pembakaran, abu vulkan dan bahan
ameliorasi tanah lainnya dapat digunakan untuk memperbaiki produktivitas tanah.
Pada lahan gambut, yang sesuai untuk tanaman tahunan/perkebunan selain gambut
sedang, juga gambut dalam (200-300 cm). Seperti pada tanaman semusim, pengelolaan
air perlu diperhatikan agar air tanah tidak turun terialu dalam secara drastis, untuk
mencegah terjadinya gejala kering tak balik dan penurunan permukaan gambut yang
berlebihan. Untuk mempertinggi produktivitas tanah dapat dilakukan pemupukan lengkap
dan pengapuran, serta penggunaan unsur mikro antara lain: Cu, Bo, Mn, atau Zn yang
sesuai dengan jenis tanaman yang dibudidayakan.
Untuk peternakan yang sesuai adalah ternak kandang, khususnya temak ruminansia besar
(sapi dan kerbau) dan ternak unggas (ayam dan itik). Lahan yang paling sesuai adalah
daerah tanggul sungai, atau tanah tabukan pada sistem surjan. Pada lahan gambut,
asalkan tempatnya relatif kering, yang sesuai nampaknya tanah bergambut dan gambut
dangkal (50 - 100 cm). Kesesuaian ternaknya sendiri terhadap lingkungan masih harus
diteliti dan dikaji.
Untuk kawasan perikanan yang sesuai di lahan rawa adalah perairan alami seperti: sungai-
sungai alami kecil (natural creeks), danau-danau kecil, cekungan-cekungan alami, lebung-
lebung, atau lebak lebung (di rawa lebak) yang airnya secara alami masih sesuai untuk
kehidupan ikan dan biota air lainnya. Air buangan yang berasal dari daerah berpirit yang
telah teroksidasi, biasanya jernih tetapi bereaksi sangat masam atau masam, sama sekali
tidak sesuai untuk kehidupan ikan dan biota air lainnya.
Sesuai dengan kriteria teknis sektoral, wewenang menetapkan kawasan hutan produksi
berada di sektor kehutanan, dalam hal ini Departemen Kehutanan. Namun sesuai dengan
daya dukung dan kesesuaian lahan, maka untuk kawasan hutan yang pantas adalah lahan
gambut, khususnya gambut dalam (200 - 300 cm).
Pada lahan ini wujud hutan yang sesuai adalah hutan produksi tetap, atau hutan produksi
terbatas.
Kalau masih memungkinkan, sebagian dari kawasan lindung yang gambutnya memiliki
ketebalan antara 300 - 500 cm, yaitu di pinggiran sekeliling kubah gambut yang alami
ditempati hutan campuran (mixed forests) dan hutan peralihan, masih dapat dipilih untuk
kawasan hutan terbatas.
Meskipun disebutkan sebagai lahan rawa, namun hal ini merupakan suatu kawasan
sehingga tetap memiliki daratan dan bagian yang tergenang sementara maupun
selamanya. Disini orang dapat mengatur/memodifikasi bentuk daratan untuk keperluan
usaha pertaniannya. Dengan demikian di lahan rawa dapat pula orang menanam tanaman,
baik tanaman semusim maupun tahunan.
Khususnya untuk tanaman semusim, dapat dilakukan pertanaman dengan pola (dalam
musim yang sama) tanam tunggal (monocropping) yakni menanam satu jenis tanaman
pada lahan yang sama, pada musim yang sama, misal tanam padi sawah atau padi gogo
(padi huma). Dapat juga orang menanam secara pola tanam ganda/tumpangsari yakni
menanam lebih dari satu jenis tanaman pada satu lahan yang sama dan pada musim yang
sama, misalnya tanam jagung bersama kacang tanah atau menanam padi huma bersama
jagung.
Pada dasamya untuk setiap jenis tanaman, memerlukan tempat tumbuh yang cocok untuk
tumbuhnya agar dapat memberikan hasil baik. Kemungkinan ada banyak persamaan
persyaratan namun banyak juga perbedaan persyaratan. Sebagai contoh persyaratan
untuk tanaman mangga berbeda dengan tanaman kopi, meski keduanya memerlukan
tanah yang subur, gembur dan pH mendekati netral. Demikian pula tanaman kentang,
kobis memilih tempat yang bersuhu dingin dibanding tanaman dataran rendah seperti
kedelai atau jagung. Untuk ini diperlukan pencermatan terhadap persyaratan tumbuh
tanaman khususnya di lahan rawa yang spesifik.
Ketersediaan air (yang merupakan salah satu faktor tumbuh tanaman utama) pada lahan
rawa dapat berasal dari air hujan (ada kawasan yang merupakan tadah hujan dengan
sebaran hujan merata atau tidak merata), dapat pula berasal dari aliran sungai (bila tinggi
permukaan tanah tak berselisih jauh dari permukaan air sungai/saluran) dengan aliran
gravitasi yang dapat menggenangi permukaan tanah/lahan. Pada lahan rawa pasang surut,
pengairan berasal dari air pasang (dampak air pasang laut yang meluapkan aliran sungai
ke samping) baik langsung maupun tak langsung.
Ketersediaan air ini perlu dicermati apakah mampu memenuhi kebutuhan tanaman, baik
selama semusim maupun sepanjang tahun. Dari pencermatan ini dapat dibuat sistem dan
pola tanamnya.
Suhu dan panjang penyinaran matahari di lahan rawa (di Indonesia) tak terlalu menjadi
masalah, karena selalu cocok untuk tanaman daerah tropika basah. Meskipun didapatkan
tanaman (padi) yang berbunga menurut musim (photo period sensitive).
INSTRUMENTAL
Dari beberapa pendapat di atas, maka sistem adalah satu kesatuan unsur-unsur yang
saling berinteraksi secara fungsional yang memproses masukan menjadi keluaran.
Ciri-ciri sistem meliputi adanya: (1) masukan (input), (2) proses (interaksi unsur-unsur),
dan (3) keluaran (output) (Gambar -1).
Sistem pertanian sawah merupakan usaha pertanian yang dilaksanakan pada sebidang
tanah yang dibatasi oleh pematang/galengan, misalnya sawah berpengairan dan
sawah tadah hujan.
Padi membutuhkan air yang berlebihan, sehingga pengairannya memakai sistem air
tergenang. Petani sawah biasanya tetap dan tidak berpindah-pindah, di samping
mengandalkan pupuk, juga mengandalkan pengairan dari sungai/waduk walaupun
tidak semua air sungai baik untuk pengairan. Misalnya sungai Merawu di daerah
Banyumas yang tanahnya mengandung cadas dan lumpur sehingga jika endapannya
menutup lapisan tanah sawah akan menyebabkan tanah kekurangan oksigen.
Sistem pertanian pasang surut merupakan usaha pertanian yang diusahakan pada
sebidang tanah yang keadaan airnya dipengaruhi oleh pasang surutnya air sungai atau
laut. Jenis-jenis padi lokal pasang surut peka terhadap fotoperiodisitas.
Sementara itu obyek sistem pertanaman adalah berbagai macam tanaman/varietas dan
komponen lingkungan (biasanya di atas dan di bawah permukaan tanah).
a. Kombinasi jenis tanaman secara spatial dan atau temporal pada suatu areal dalam
suatu periode waktu, biasanya satu tahun (termasuk beronya), atau
b. Pengaturan urutan ruang tanaman pada suatu lahan tertentu (bukan waktu).
Usaha tersebut dilatarbelakangi oleh adanya pemiiikan tanah yang sempit dan adanya
faktor pembatas produksi tanaman seperti: ketersediaan air, serangan hama/penyakit,
cekaman lingkungan, dsb. Usaha peningkatan produktivitas ditempuh dengan penanaman
secara pertanaman ganda (multiple cropping).
Pengertian pertanaman berurutan adalah penanaman dua tanaman atau lebih secara
berurutan pada lahan yang sama selama satu tahun, biasanya tanaman kedua
ditanam setelah tanaman pertama dipanen. Intensifikasi hanya pada dimensi waktu,
tidak terjadi kompetisi antar tanaman, petani hanya mengelola satu tanaman
tertentu pada lahan yang sama dan dapat 1- 4 kali berurutan dalam satu tahun.
2. Tumpangsari (Intercropping)
Tumpangsari diartikan sebagai penanaman dua tanaman atau lebih secara bersamaan
pada lahan yang sama. Intensifikasi pada dimensi ruang dan waktu, terjadi kompetisi
antar tanaman pada densitas optimum, kompetisi tidak terjadi selama musim
pertumbuhan atau sebagai waktu pertumbuhan, dan petani mengelola lebih dari satu
tanaman pada periode tertentu pada lahan yang sama. Tumpangsari dibedakan
menjadi:
Pada tanaman sistem campuran tidak ada pengaturan baris bagi masing-masing
jenis tanaman penyusun, letaknya tidak diatur, kompetisi antar tanaman besar
dan sulit dihitung.
c. Stright intercropping
e. Tumpanggilir (relayintercropping)
1. Lengas Tanah
Lengas tanah berhubungan erat dengan curah hujan dan hari hujan serta jenis
tanaman. Meliputi semua air yang jatuh dari atmosfir ke permukaan bumi, berupa:
hujan, salju, kabut dan embun. Faktor hujan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
tanaman adalah jumlah/volume hujan, penyebaran/distribusi hujan dan efektivitas
hujan.
Jumlah dan distribusi hujan sangat berpengaruh terhadap macam/jenis tanaman yang
dapat dibudidayakan pada suatu daerah. Jumlah hujan yang tinggi dengan distribusi
merata sepanjang pertumbuhan tanaman akan berpengaruh baik pada tanaman
tertentu tetapi tidak baik untuk tanaman yang lain. Oleh karena itu perlu adanya
pemilihan tanaman yang sesuai dengan keadaan iklim di suatu derah. Untuk daerah-
daerah yang curah hujannya tinggi seperti di Indonesia bagian barat baik digunakan
untuk pembudidayaan tanaman padi pada dataran rendah, tanaman teh dan kopi pada
dataran tinggi. Daerah dengan curah hujan yang kurang (Indonesia bagian timur) baik
untuk membudidayakan tanaman jagung, sorghum, kacang hijau, kapas, dan
sebagainya.
Di daerah tropis basah seperti di Indonesia, adanya curah hujan yang tinggi dengan
suhu yang tinggi menyebabkan susunan atau formasi vegetasi yang tumbuh paling
banyak. Efektivitas hujan diukur dari kemanfaatan air hujan untuk pertumbuhan
tanaman. Curah hujan yang tinggi belum tentu efektif apabila evaporasi (penguapan
lewat permukaan tanah) dan transpirasi (penguapan lewat permukaan tanaman) lebih
besar dari jumlah curah hujan yang jatuh di suatu daerah. Jadi efektivitas tidak dapat
diukur dengan besamya jumlah curah hujan. Di Sulawesi Selatan, curah hujan 10 mm
yang jatuh pada musim hujan lebih efektif dari 10 mm yang jatuh pada musim
kemarau.
Presipitasi merupakan fungsi linear dari evaporasi, transpirasi, run off (aliran
permukaan), dan infiltrasi (air yang masuk ke dalam tanah). Infiltrasi merupakan
fungsi linear dari perkolasi, rembesan dan kelembaban tanah. Rumusnya adalah
sebagai berikut (Whiteman, 1974):
P=E+T+R+l
Dimana:
P = presipitasi
E = evaporasi
T = transpirasi
R = run off (aliran permukaan)
I = Infiltrasi
I =U+S+A
Dimana:
U = perkolasi (hilang ke bawah)
S = rembesan (aliran ke samping)
A = kelembaban yang disimpan dalam tanah
Kelembaban yang tersimpan dalam tanah (A) berpengaruh sangat nyata untuk
pertumbuhan tanaman, terutama kelembaban tanah yang sesuai ( available soil
moisture) yang terdapat antara kapasitas lapangan ( field capacity) dan titik layu
permanan (the wilting point). Presipitasi yang didominasi oleh air hujan, setelah jatuh
ke bumi akan menjadi:
a. Air higroskopis: air yang terlalu kuat terikat oleh partikel-partikel tanah dengan
kekuatan 15 atm. Air ini tidak dapat diserap tanaman karena kekuatan akar
untuk menyerap air hanya 2 atm.
b. Air gravitasi: air yang mengalir ke bawah (perkolasi) karena adanya gaya
gravitasi bumi. Air ini tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman karena bergerak
dengan cepat.
c. Air kapiler: air yang mengisi pori-pori mikro tanah yang berasal dari air
rembesan (lateral seepage). Air ini tersimpan lama dalam tanah, sehingga
dapat dimanfaatkan oleh tanaman untuk pertumbuhannya.
2. Suhu
Suhu berkaitan dengan radiasi matahari, ketersediaan energi di permukaan bumi (net
radiation/radiasi bersih) juga menentukan macam tanaman yang dapat tumbuh di
suatu tempat. Kisaran suhu untuk pertumbuhan tanaman pada umumnya berkisar
antara 15 - 40°C (59 - 140°F). Suhu suatu tempat ditentukan oleh altitude
(ketinggian) dan latitude (garis lintang).
Setiap komunitas tanaman mengenal adanya titik kardinal, untuk daerah tropis titik
kardinal tersebut adalah:
1. Suhu minimum (5 - 15 °C): apabila suhu suatu daerah kurang dari suhu ini
tanaman akan terganggu pertumbuhannya bahkan dapat menyebabkan kematian
apabila suhu tersebut berlangsung cukup lama.
2. Suhu optimum (sekitar 30°C): suhu yang paling baik untuk pertumbuhan
tanaman.
Suhu atmosfer yang tinggi akan mempercepat pertumbuhan tanaman dan respirasi.
Akan tetapi juga dapat merugikan tanaman apabila kelembaban kurang memadai
sehingga dapat menyebabkan keguguran bunga, buah muda maupun daun. Udara
panas dan angin yang kering akan meningkatkan kerusakan tanaman lebih lanjut.
Suhu tanah dapat mempengaruhi penyerapan air oleh tanaman, sebagai contoh: (1)
pada tanaman kapas, apabila suhu tanah mencapai 10°C menyebabkan penyerapan
air hanya 20% dari keadaan normal, (2) pada tanaman kubis, suhu tanah 10°C
menghasilkan penyerapan air masih sebesar 75% dari keadaan normal. Oleh karena
itu tanaman kubis tennasuk tanaman yang tahan terhadap suhu rendah. Suhu tanah
yang rendah (20°C) pada tanaman ubi-ubian memacu pembentukan dan pembesaran
umbi, kecuali pada tanaman bawang merah.
Populasi tanaman sama dengan jumlah tanaman per satuan luas, yang sering
digunakan adalah yang telah direkomendasikan dan ini berdasarkan sistem
monokultur. Sebenamya populasi selalu berubah tergantung tempat, geometri juga
berubah-ubah, dimana populasi a dan b 50 : 50 tetapi geometri bisa
berubah/berbeda.
Oleh karena itu sistem bertanam ganda harus dikembangkan spesifik lokasi sehingga
beberapa jarak tanam yang digunakan untuk satu tanaman dapat diterapkan,
misalnya: luas lahan sebesar 600 cm 2 ditanami tanaman pangan semusim (misal
kedelai) dapat menggunakan jarak tanam: 30 cm x 20 cm, 40 cm x 15 cm, atau 60 cm
x 10 cm untuk 2 tanaman per lubang.
2. Waktu tanam
Pada sistem pertanaman ganda waktu tanam tidak harus selalu bersamaan,
pertimbangannya:
a. Kebutuhan puncak akan unsur hara maupun faktor tumbuh lainnya (cahaya
dan air) tidak terjadi pada waktu yang bersamaan untuk menghindari dan
menekan kompetisi.
Penanaman terus menerus dengan jenis tanaman yang sama memiliki beberapa
kerugian:
4. Rhizosfer sama maka dapat terjadi kekurangan air dan unsur hara.
Lahan rawa dapat merupakan rawa lebak (kawasan cekungan yang terisi air hujan
sehingga membentuk genangan yang sangat luas, selama berbulan-bulan), atau rawa pada
aliran sungai yang saling berhubungan karena persamaan elevasi (umumnya tergenang
sepanjang tahun) dan rawa pasang surut (dekat dengan pantai, sehingga terbentuk karena
dampak air pasang, yang meluapkan air sungai ke samping aliran sungai tersebut. Karena
adanya tanggul alami sungai, air tersekap menjadi rawa-rawa).
Dilihat dari bahan organik yang terdapat di dasar rawa, ada rawa yang memiliki bahan
organik yang sangat banyak (tebal) berupa gambut, dengan ketebalan beberapa puluh cm
sampai beberapa meter. Bila tetap berupa rawa seperti semula, rawa ini akan berair
masam (mutu aimya untuk pertanian tidak layak). Demikian pula ada rawa yang tidak
banyak memiliki lapisan organik, melainkan endapan lumpur saja, umumnya pada rawa
sungai. Rawa pasang surut umumnya memiliki lapisan gambut.
Lapisan tanah dasar rawa juga berbeda untuk satu kawasan dengan yang lain. Lahan rawa
dengan lapisan tanah lempung (lahan rawa pasang surut di Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah) dan lapisan tanah berupa pasir (rawa pasang surut di Kalimantan
Barat). Untuk ini menjadikan perlunya kehati-hatian dalam melakukan pengolahan tanah.
Seperti telah dikemukakan di depan, pada prinsipnya, kecuali tanaman padi sawah, perlu
media tanam yang tidak tergenang bahkan tidak boleh jenuh air. Untuk ini perlu dilakukan
pembuatan tabukan-tabukan (pada kawasan yang selalu tergenang/kemungkinan
genangan yang akan mematikan tanaman) dengan harapan daerah perakaran tidak pernah
jenuh air, namun juga tetap terjangkau kelembaban tanah. Untuk tanah yang bergambut,
sangat perlu dilakukan pengolahan tanah, agar gambut segera menjadi pupuk kompos
yang benar, namun jangan sampai bahan organik ini tererosi oleh aliran air, keluar dari
kawasan/petak sawah.
Dari hasil Penelitian, justru lahan gambut, pada awalnya masih memerlukan pupuk
nitrogen (sedikit) untuk membantu penguraian gambut, setelah itu banyak digunakan
pupuk fosfat. Pada dasarnya gambut adalah bahan baku kompos, yang perlu penguraian
lebih lanjut, yang memerlukan kondisi yang lebih baik (pH air).
Tanah rawa belum sepenuhnya langsung dapat diolah dengan menggunakan alat mesin
(traktor), karena kedalaman tanah yang tidak seragam. Bahkan di beberapa kawasan
pengolahan tanah hanya dilakukan minimum (pembersihan gulma) dan memanfaatkannya
menjadi pupuk organik (di kawasan persawahan pasang surut Kalimantan Selatan).
Hama penyakit, pada lahan rawa, cukup banyak karena ekologi kawasan yang lembab dan
hangat, memungkinkan hama dan penyakit berkembang pesat. Contoh hama tanaman
padi: wereng, penggerek batang, ulat daun, burung, dan tikus, sedangkan penyakit
tanaman padi salah satunya adalah bercak daun.
Indeks pertanaman (cropping index), sangat dipengaruhi oleh kondisi lahan, ketersediaan
air, jenis tanaman yang ada dan motivasi penduduk serta keadaan sosial lingkungan.
Namun demikian karena umumnya lahan rawa, memiliki ketersediaan air yang cukup,
indeks pertanaman dan jenis tanaman dapat dikembangkan dengan lebih lengkap, lebih
baik dan dimungkinkan peningkatan usaha taninya.
Indek pertanaman adalah angka yang menunjukkan perbandingan luas panen dengan luas
lahan yang ada, dengan kata lain berapa kali lahan yang sama ditanami, pada kurun waktu
setahun. Jadi IP (indek pertanaman) = luas panen selama setahun/luas lahan dimaksud.
Semakin tinggi IP menunjukkan pemakaian lahan semakin intensif dan sebaliknya (IP = 0
berarti bero).
Penelitian dan pengembangan tanaman perkebunan dan industri di lahan gambut sangat
terbatas, salah satu sebabnya adalah sebagian besar bentuk perkebunannya masih
berskala perkebunan rakyat. Tanaman perkebunan/industri yang banyak dikembangkan di
lahan gambut adalah kelapa, karet, kelapa sawit, kopi, jahe, jarak, nanas, tembakau, dan
rotan dengan tingkat hasil yang cukup memadai. Hasil produksi kelapa berumur 3 tahun
mencapai 1.675 butir/Ha/tahun dan yang berumur 6 tahun mencapai 9.250 butir/Ha/tahun
(Sutarta, 1989). Hasil produksi (baku) karet yang ditanam tahun 1980 selama 4 tahun
(1986-1989) di perkebunan Labuhan Batu berturut mencapai 400, 500, 950, dan
1.200 Kg/Ha/tahun (Sihotang dan Istianto, 1989). Hasil produksi karet di lahan gambut
(tebal < 2 m) dapat menyamai hasil di lahan mineral (Darmandono, 1998). Produksi
Kopi Liberica yang dibudidayakan dengan baik dapat mencapai 1.000-5.000 kg buah
segar/Ha/tahun (Kueh dan Wong, 1992). Penulis lain melaporkan hasil yang dapat
dicapai di lahan gambut untuk karet, kopi, kelapa sawit, dan nanas masing-masing 450,
6-13, 20-25, dan 40-48 Kg/Ha/tahun (Setiadi, 1999).
Data lain mengenai tingkat produktivitas tanaman perkebunan/industri yang dapat dicapai
di lahan gambut disajikan pada Tabel -1.
Tingkat produktivitas tanaman yang dapat dihasilkan di lahan gambut berhubungan erat dengan
sifat (watak) dari tanah gambut, kesesuaian lahan dengan tanaman, dan kemampuan
pengetahuan yang digunakan dalam pengelolaan dan budidaya tanaman. Dengan beberapa
keterbatasan seperti tanah dan lingkungan fisik lahan gambut dan kemampuan ilmu
dan teknologi dalam pengelolaan, maka delianisasi wiiayah pengembangan penting
artinya untuk mencapai tingkat produktivitas tanaman yang memadai.
Pembukaan lahan gambut berkaitan erat dengan program transmigrasi yang pada awalnya
diarahkan untuk pengembangan tanaman pangan. Padi dikenal sebagai jenis tanaman
budidaya yang sangat adaptif dengan kondisi lahan gambut. Padi sangat toleran terhadap
tingkat kesuburan yang rendah dan sifat kimia tanah yang bermasalah di lahan gambut.
Lahan gambut dengan kondisi reklamasi yang sederhana dan pengaruh luapan air
pasang (langsung) cukup tinggi lebih cocok untuk pengembangan padi sawah atau
padi pasang surut. Di wilayah yang lebih tinggi, umumnya tidak dipengaruhi oleh pasang,
ketebalan gambut > 50 cm, lebih cocok untuk pengembangan padi lahan kering (padi
gogo).
Penyiapan lahan adalah kegiatan yang dilakukan sebelum tanam yang meliputi
penebasan atau pengendalian gulma dan pengolahan tanah. Pengendalian gulma
dapat dilakukan dengan cara konvensional, kimiawi maupun biologis. Pengendalian
gulma di lahan rawa dan gambut dapat dilakukan dengan kombinasi dari dua atau
tiga cara di atas sekaligus. Pemilihan pengendalian gulma yang diterapkan sangat
tergantung pada jenis gulma, tingkat kerapatan gulma, dan kemampuan petani. Di
lahan gambut terdapat jenis gulma rumputan yaitu purun tikus (Eleocharis Dulcis)
yang umumnya merajai di lahan yang telah terdegradasi akibat kebakaran dan
mengalami kemasaman. Penggunaan herbisida sekalipun tidak efektif dalam
mengendalikan jenis gulma ini.
Hasil penelitian mengenai pemberian kapur dan pupuk untuk budidaya tanaman pangan
menunjukkan tanggapan tanaman secara baik (Radjagukguk, 1982; Widjaja Adhi, 1988).
Pencampuran bahan mineral tanah yang bermuatan basa tinggi (besi) dapat
meningkatkan produktivitas lahan gambut (Halim, 1989). Pemberian atau
pencampuran abu vulkan dapat meningkatkan hasil kedelai di lahan gambut (Setiadi,
1992).
Tabel -4 : Kisaran Kebutuhan Kapur dan Pupuk untuk Tanaman Padi di Lahan
Gambut
Jenis Bahan Padi Lokal Padi Unggul
Hasil penelitian menunjukkan penggunaan kapur dan pupuk seperti urea, TSP, KCI, dan
pupuk mikro Cu (khusus untuk padi) merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
hasil tanaman yang memadai. Sebagai tolok ukur kisaran pemberian kapur dan pupuk
untuk budidaya tanaman pangan di lahan gambut disajikan pada Tabel -4 sampai Tabel
-6.
Pemberian 4 ton dolomit/ha dapat meningkatkan pH tanah dari 3,3 menjadi 4,5 - 4,8
dan meningkatkan kejenuhan basa dari 23% menjadi 35,6% (Haim, 1987). Kejenuhan
basa yang ideal buat tanaman budidaya berkisar 30%. Pemberian Cu sebesar 50 ppm
selain dapat meningkatkan berat kering padi juga dapat menurunkan kadar asam-asam
organik yang meracun tanaman hingga 68 - 80% (Koswara et a/., 1994).
Padi varietas lokal (Pandak, Bayar, dan Siyam) mempunyai respon terhadap pupuk sangat
rendah, sementara padi varietas unggul cukup tinggi.
Padi varietas lokal merupakan jenis padi berumur panjang (8 - 10 bulan) yang peka
terhadap panjang penyinaran matahari atau peka fotoperiod (photopheriode
sensitive variety).
Dalam pembudidayaan kedelai, lahan gambut yang belum pernah sama sekali ditanami
kedelai sebaiknya diberi inokulasi bakteri pengikat N atau Rhizobium seperti Legin,
Rhizogin, Nitragin, Rhizo-Plus dan sejenisnya. Caranya adalah benih kedelai dicampur
atau dipoles dengan inokulan yang diberi air, terutama untuk lahan yang belum pernah
ditanami kedelai. Cara lain, lahan di sepanjang barisan tanaman disebari tanah bekas
pertanaman kedelai. Inokulasi dengan menggunakan tanah bekas tanaman kedelai
(leguminosa lainnya ) ini diperlukan antara 0,3 - 0,4 ton/Ha. Pemupukan P dan K
yang dikombinasi dengan inokulasi Rhizobium (150 g Nitragin/Ha) pada tanaman kedelai
di lahan gambut dapat meningkatkan pembentukan bintil akar, sehingga dapat lebih
menghemat pemberian pupuk N (Ridwan dan Basri, 1987). Tanaman kedelai yang
berbintil akar efektif dapat memenuhi sekitar 65 - 75% dari jumlah N yang dibutuhkan
tanaman.
sama sekaii. Demikian juga pemberian pupuk mikro jarang disarankan, tetapi menuntut
pemberian pupuk kalium yang tinggi. Kalium mempunyai peranan penting dalam
memberikan hasil umbi yang besar dan sehat.
Pengelolaan air yang dimaksud di sini adalah pengelolaan air skala mikro, yaitu yang
berada di tingkat petani yang meliputi pembuatan saluran-saluran keliling, pengatusan dan
kemalir, tabat, dan pintu air. Pengelolaan air di lahan gambut terutama dimaksudkan
untuk mempertahankan muka air tanah pada batas layak untuk tanaman pangan. Untuk
padi, muka air tanah perlu dipertahankan pada jeluk antara 30 - 40 cm dan untuk
palawija 40 - 50 cm. Pengelolaan air juga penting untuk menjaga agar tidak terjadi
amblesan yang besar.
Sistem tabat lazim digunakan oleh petani tradisional untuk mempertahankan air
selama musim tanam (lacak) bagi padi lokal berumur 8 - 10 bulan, yang bersifat peka
fotoperiod pada sekitar bulan Maret-April. Tabat dibuka pada akhir musim kemarau
atau menjelang musim hujan untuk mengeluarkan unsur dan senyawa racun berupa
asam-asam organik dan ion-ion logam lainnya. Sistem tabat ini memberikan peluang
bagi pengembangan padi sekaligus perbaikan mutu lahan, terutama dalam menurunkan
kadar unsur pencemaran (Al, Fe, dan H2S).
Dalam budidaya tanaman palawija, pembuatan saluran pengatusan keliling dan kemalir di
lahan gambut dari hasil penelitian terbukti dapat memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah
serta hasil tanaman jagung dan kedelai (Vadari et al., 1995). Dimensi ukuran saluran
kemalir lebar 40 cm, dalam 30-50 cm, dengan jarak antara kemalir 9 m. Penerapan
sistem pengatusan dangkal untuk pengembangan tanaman palawija di lahan pasang surut
Tipe B Unit Tatas, Kapuas (Kalimantan Tengah) dan Tipe C Unit Barambai (Kalimantan
Selatan) memberikan hasil kedelai rata-rata sebesar 1,99 ton/ha, kacang tanah 1,53 -
2,70 ton/Ha, dan jagung 4,32 - 4,69 ton/Ha (Sarwani et al., 1994).
Pengelolaan air tingkat mikro atau tingkat petani ini dianjurkan menerapkan sistem tata
air satu arah sehingga pelindian senyawa atau unsur racun yang menghambat
pertumbuhan tanaman lebih mempan . Pintu air yang dipasang di muara saluran
tersier (handil) dapat bersifat semi-otomatis (aeroflapgate) yang bersifat membuka
ke dalam (tersier) untuk pintu air irigasi dan membuka ke luar untuk pintu air
drainasi/pengatusan. Hasil penelitian pada lahan pasang surut Tipe B Kapuas
Kalimantan Tengah menunjukkan penerapan sistem tata air satu arah dapat
meningkatkan hasil padi dari 1,26 - 1,43 ton gkg/Ha menjadi 3,19 - 4,00 ton gkg/Ha
pada musim hujan dan 2,34 ton - gkg/Ha pada musim kemarau (Noor, 1996).
Hasil padi juga dipengaruhi oleh mutu air yang dipergunakan. Dari tiga sumber air yang
digunakan, ternyata air dari saluran sekunder/kanal memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan air dari hutan galam atau dari hujan yang dikonservasi,
masing-masing memberikan hasil padi 2.04, 1.45, dan 1.35 ton/Ha. Mutu air dan hutan
galam kurang baik karena mempunyai pH 3.29, kadar Fe 1.69 cmol(+)/l, Al 1.24 cmol(+)/l,
dan SO4 5.88 cmol(+)/l (Klepper et al., 1992) dibandingkan dengan air saluran sekunder yang
mempunyai pH 3.65, kadar Fe 0.92 cmol(+)/l, Al 0.89 cmol(+)/l, dan SO 4 3.66 cmol(+)/l (Vadari
et al., 1990).
Mutu air sungai yang belum memasuki saluran sekunder umumnya lebih baik dibandingkan
dengan yang ada di saluran primer atau sekunder. Air sungai yang mempunyai mutu lebih
baik inilah yang diharapkan dapat masuk untuk mengencerkan atau menetralkan senyawa
atau unsur logam dan asam organik yang bersifat racun sebagai hasil pengatusan.
Beberapa tanaman perkebunan seperti kelapa, kelapa sawit, karet, dan kopi dapat
dikembangkan di lahan gambut dan dapat dipadukan (integrated farming system) dengan
tanaman padi maupun palawija dalam rangka optimalisasi sumber daya lahan. Pola tanam ini
dapat dilakukan dengan model sistem surjan. Selain itu, petani juga dapat memelihara
ternak unggas (ayam dan itik) maupun ternak besar (sapi, kerbau, dan kambing) yang ternyata
cukup berhasil (Siregardan Rangkuti, 1977).
Petani tradisional dalam melakukan pengaturan pola tanam atau suksesi tanaman secara
bertahap. Setelah pembukaan lahan pada 1 - 4 tahun pertama dilakukan penanaman
padi, kemudian setelah 4 - 6 tahun dilakukan penanaman kelapa pada bagian tabukan
dengan sistem surjan dan padi ditanam pada bagian ledokan. Setelah tanaman kelapa
berumur 4 tahun, secara bertahap tanaman padi dihilangkan dan diganti dengan kelapa
dengan pembuatan surjan (tukungan), sehingga penggantian atau pembentukan kebun
kelapa secara keseluruhan banjir dicapai setelah 15 - 20 tahun.
Semakin menyusutnya lahan sawah beririgasi yang subur di pulau Jawa akibat tekanan
pembangunan, pemukiman, maupun industri mengharuskan pemerintah mengembangkan
lahan sawah baru di luar pulau Jawa. Pengalaman di tahun 1990-an dalam program
SIADP (Sumatera Irrigation Agriculture Development Project) menemukan betapa
sulitnya mencari lahan potensial untuk sawah irigasi di Provinsi Sumatera Barat, Jambi, dan
Riau. Lahan yang tersedia dengan kesesuaian marjinal dan rawa, di samping rentan sering
diserobot oleh investor untuk menjadi perkebunan kelapa sawit.
Diperkirakan bahwa sampai tahun 2010, luas panen padi akan cenderung berkurang dari
11,77 juta Ha di tahun 2005 menjadi 11,25 juta Ha, dan produktivitas per hektar tidak
akan banyak meningkat, sementara kebutuhan pangan selalu meningkat. Sehingga pada
tahun 2010 diperkirakan terjadi defisit padi nasional sebesar 1,097 juta ton. Di samping
itu, juga potensi sumber daya air pulau Jawa tiap tahunnya diperkirakan 51,21% terpakai
hanya untuk menghasilkan padi. Sementara permintaan air semakin meningkat seiring
dengan pertambahan penduduk dan perkembangan pembangunan, sehingga dapat
menimbulkan krisis air dan konflik antar berbagai kepentingan. Oleh karenanya, lahan
rawa yang terdapat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua dapat menjadi alternatif pilihan
untuk dikembangkan karena potensi yang masih luas serta besamya potensi sumber daya
airnya. Pengembangan lahan rawa yang baru serta optimalisasi jaringan rawa yang
selama ini "tidur" harus diikuti dengan berfungsinya operasi dan pemeliharaan (O&P).
Perkembangan produksi komoditas utama yaitu padi, jagung, dan kedelai dari tahun 2001 -
2005 meningkat (Tabel -7), namun dengan peningkatan jumlah penduduk sebesar
1,6%/tahun, Indonesia masih diharapkan dapat meningkatkan produksi sampai tahun
2025 mendatang dengan rerata 0,85%/tahun untuk tanaman padi, 4,26%/tahun untuk
tanaman jagung, dan 7%/tahun untuk tanaman kedelai. Pemenuhan atas kebutuhan
peningkatan produksi ini harus dijawab melalui pendayagunaan sumberdaya lahan yang
tersedia yang peluangnya masih besar. Lahan rawa baik lebak maupun pasang surut
merupakan pilihan yang sangat menjanjikan, karena selain potensi luasannya besar,
teknologinya sudah mulai dikuasai, dan kesenjangan produksi (yield gap) antara
produktivitas aktual dan potensialnya masih sangat tinggi. Pilihan lima komoditas strategis
seperti padi, jagung, kedelai, tebu, dan daging ini sangat sesuai dengan karakteristik
lahan rawa yang secara umum dapat untuk penerapan budidaya komoditas tersebut
(Irianto, 2005).
Daging Sapi
Tahun Padi (ton) Jagung (ton) Kedelai (ton) Tebu (ton)
(ton)
2001 50.451.000 9.347.000 827.000 1.755.345 338.685
2002 51,490.000 9.654.000 673.000 1.755.354 330.290
2003 52.138.000 10.886.000 672.000 1.634.358 369.711
2004 54.088.000 11.225.000 723.000 2.171.714 447.573
2005* v 54.056.282 12.413.353 808.054 - 463.819
Sumber: Rencana Strategis Departemen Pertanian 2005-2009
Peranan daerah rawa dalam mendukung ketahanan pangan di tingkat Provinsi Kalimantan
Barat tercermin dari kinerja ketiga kabupaten, yang areal sawahnya dominan daerah rawa,
yakni kabupaten Pontianak, Sambas, dan Ketapang. Data BPS Kalimantan Barat tahun
2005 mencatat bahwa dengan luas panen 182.927 Ha atau 50,09% dari total luas panen
provinsi, ketiga kabupaten menyumbang produksi padi sebesar 563.477 ton atau 53,13%
total produksi padi seluruh provinsi Kalimantan Barat. Produksi padi Kalimantan Barat
meningkat secara konstan sejak tahun 2000.
Sampai tahun 2002 dari sembilan sektor ekonomi terdapat dua sektor yang menopang
perekonomian Barito Kuala, sektor industri menjadi sektor pertama penopang ekonomi
karena mampu memberikan kontribusi yang sangat besar (51,97%), kemudian sektor
pertanian menjadi sektor kedua penopang ekonomi (27,96%). Di samping kontribusi
sektor pertanian terhadap PDRB cukup besar, juga mampu menghidupi sekitar 69,98%
penduduk Barito Kuala.
Sektor Pertanian tetap perlu mendapatkan perhatian khusus, hal ini disebabkan hampir
seperlima produksi padi sawah Kalimantan Selatan dihasilkan oleh kabupaten Barito Kuala,
yaitu mampu memproduksi 268.825 ton. Selain itu, beberapa kecamatan di Barito Kuala
bersama dengan beberapa kecamatan di Kabupaten Banjar telah ditetapkan sebagai
Kawasan Sentra Produksi dengan produk unggulannya berupa padi sawah, rambutan, dan
jeruk (BPS, 2003).
4 Kedelai 10 7 2 1 10,00
6 Kacang hijau - - - - -
Tabel -8 : Luas Tanam, Rusak, Panen, Produksi, dan Produktivitas Menurut Jenis
Tanaman Tahun 2004 di Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan
Peluang untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan dan hortikultura
seperti ditunjukkan pada Tabel -8, masih sangat dimungkinkan, hal ini dikarenakan
sentuhan teknologi tepat guna untuk mendukung pembangunan pertanian di lahan rawa
masih belum optimal. Di Indonesia, aspek pembangunan yang akan berkaitan dengan
gambut adalah:
Beberapa aspek lain yang dapat dikembangkan di lahan gambut adalah pariwisata di
wilayah hutan gambut, pengelolaan lingkungan hidup, industri pengolahan buah-buahan,
industri media tanam dan semai gambut.
Provinsi Kalimantan Barat mempunyai Program Gerakan Satu Juta Ton Gabah Kering
Giling atau GENTATON, pelaksanaan tahap pertama dimulai tahun 1998 - 2002 yang
bertujuan untuk:
1. Meningkatkan produksi padi dari 829.106 ton menjadi 1.000.000 ton, produksi
jagung dari 40.981 ton menjadi 50.000 ton, dan produksi kedelai dari 5.629 ton
menjadi 10.000 ton.
2. Mengurangi jumlah impor beras dari luar dan memperkuat ketahanan pangan
daerah sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
Jenis tanaman pada lahan rawa, adalah jenis tanaman yang suka air/kelembaban tanah
dengan tanaman utama padi pada lahan basah (sawah air dangkal, dalam, dan sangat
dalam). Pada lahan kering (daratan: kebun) banyak ditemui rambutan, nangka, ketapi,
durian, kelapa, duku, petai, juga kopi robusta.
Bila produktivitas tanaman ini rendah, karena belum banyak diterapkan iptek, sehingga
masyarakat masih memilih untuk menanam varitas lokal, dengan cara budidaya tanaman
yang masih tradisional. Meskipun demikian, varietas lokal ini telah terbukti memiliki daya
adaptasi yang sangat kuat, dan selalu mampu memberikan hasil setiap tahunnya.
Beberapa introduksi tanaman, misalnya jeruk (siem) atau jeruk Kalimantan telah terbukti
memberikan hasil yang luar biasa (Rp22.000.000,00/tahun/hektar), umur tanaman 5
tahun, dalam tabukan selebar 2,0 m sebanyak 8 jalur di antara tanaman padi sawah (Desa
Transmigrasi Blok Terantang, Kecamatan Terantang, Kabupaten Barito Kuala). Jenis
tanaman ini akan menjadi komoditas andalan di kawasan Kalimantan Selatan di daerah
rawa pasang surut.
Produksi tanaman padi rawa, dengan masa tanam (varitas lokal) 10 - 11 bulan (mulai dari
pesemaian bertingkat 2 - 3 kali pindah) dan pertanaman sebenamya selama 7 bulan. Hasil
tanaman padi lokal sebanyak 2,5 - 3,0 ton/ha. Percobaan untuk menanam varietas baru
(IR 64) pernah dilakukan di Kolam Kiri Dalam Unit Barambai, Kalimantan Selatan, dan telah
berhasil dengan baik (hasil 5 - 6 ton/Ha). Persoalannya, pada waktu itu adalah masalah
hama tanaman (tikus) dan burung, karena jumlah penanam yang kurang banyak,
sehingga tanaman kurang luas. Di samping itu, juga jumlah tenaga yang kurang,
utamanya pada saat panen padi IR 64, yang bersamaan dengan musim tanam varietas lokal.
7.3.3 PEMANENAN
Hasil tanaman dapat dipanen apabila telah memenuhi kriteria masak fisiologis atau
masak komersial. Masak fisiologis terjadi apabila pertumbuhan dan kemasakan suatu buah,
biji ataupun sayuran sudah mencapai maksimum. Masak komersial adalah tercapainya
kondisi organ tanaman (bagian tanaman yang akan dipanen) sesuai dengan selera
konsumen. Penentuan saat panen hasil tanaman didasarkan atas:
5. Umur tanaman sejak penanaman sampai hasil siap dipanen atau sejak bunga
mekar sampai hasil siap dipanen (misal pada tanaman semangka, melon,
mentimun, terung, dan sebagainya).
Tanda-tanda hasil tanaman sudah siap untuk dipanen sangat bervariasi tergantung
jenis/macam tanaman, bagian tanaman yang dipanen, kegunaan/pemanfaatan hasil
tanaman (misal untuk sayur ataukah untuk buah). Setelah panen perlu adanya
penanganan pascapanen sebelum hasil dipasarkan agar hasil tersebut tidak cepat
mengalami penurunan kualitas. Tindakan pascapanen pada komoditas hortikultura antara
lain adalah: trimming (perempelan/perempesan), cleaning and washing (pembersihan dan
pencucian), grading and sorting (pengelompokan/penggolongan dan pemilahan),
packaging (pengemasan), precooling (pendinginan awal) dan storage (penyimpanan).
Untuk field crops seperti kedelai, padi, jagung, sorghum, kacang tanah, dan
sebagainya, penanganan pascapanen yang harus dilakukan adalah pengeringan sampai
kadar air tertentu (untuk padi 12%), agar dapat disimpan dalam jangka waktu yang
cukup lama.
Panen produk pertanian dapat dilakukan dengan cara manual atau mekanis. Pada cara
manual, penerapan tenaga manusia lebih menonjol daripada alat yang digunakan,
sedangkan cara mekanis lebih mengutamakan peran alat yang digunakan daripada
tenaga manusia. Umumnya, kualitas produk yang dipanen secara manual lebih baik,
tetapi memerlukan tenaga manusia dan waktu lebih banyak. Panen secara mekanis
menggunakan mesin jauh lebih menghemat tenaga manusia dan lebih cepat, sehingga
cocok untuk hamparan pertanaman yang luas, pada lahan datar, dan ketersediaan tenaga
kerja sedikit.
Tanaman padian atau serealia produknya berupa biji tua atau kering, yang tersusun dalam
suatu malai dan relatif mudah rontok. Sifat mudah rontok ini menyebabkan kehilangan
hasil cukup besar pada waktu panen, lebih-lebih panennya secara mekanis atau semi-
mekanis dengan pemotongan memakai sabit. Panen tanaman padi unggul biasanya
dilakukan dengan memotong sepertiga batang dengan menggunakan sabit bergerigi.
Sementara panen padi lokal biasanya menggunakan ani-ani secara bertahap dengan
memilih tanaman yang siap untuk dipanen. Gabah dirontokkan dengan menggunakan
treser, atau dipukul-pukulkan pada kayu atau batu, bahkan perontokan gabah kadang
dengan diinjak-injak. Kemudian gabah dikeringkan sampai kering dan siap untuk digiling.
Pada tanaman padi, terutama padi lokal saat panen atau pemungutan hasil dapat
dilakukan secara bertahap menyesuaikan kondisi tanaman maupun kebutuhan
petaninya. Namun tidak demikian halnya untuk padi unggul, pemanenan harus
dilakukan secara serempak, yaitu dengan memperhatikan beberapa ketentuan sebagai
berikut:
Pada tanaman palawija khususnya tanaman kacangan (kedelai, kacang tanah, maupun
kacang hijau), pemanenan dilakukan apabila:
2. Daun tanaman telah berubah menguning sampai coklat kering dan sebagian
besar mulai rontok, batang tanaman mulai coklat kering, dan
3. Kenampakan polong telah berwama coklat kering, polong ukuran maksimal, biji
bemas.
Apabila petani ingin menyimpan benih kacangan maka dalam penyimpanan kadar air benih
harus dipertahankan sekitar 9 - 10%, sehingga viabilitas dapat terjaga dengan baik.
Sementara untuk tanaman jagung, apabila dimaksudkan untuk jagung semi (baby
corn) biasanya pemanenan ditentukan berdasarkan umur sekitar 40 hari setelah tanam
dengan memperhatikan ukuran panjang dan diameter tongkolnya, serta kemunculan
bunga jantan tidak sampai menyerbuki bunga betinanya. Apabila dimaksudkan untuk
jagung rebus, maka pemanenan selain memperhatikan umur sekitar 70 hari setelah tanam
juga mendasarkan pada ukuran panjang dan diameter tongkol serta biji telah tersusun
sempurna, sementara untuk jagung pipilan sebagai pakan ternak dapat dipanen umur 90 -
105 hari tergantung jenis tanamannya.
7.3.4 PASCAPANEN
Periode pascapanen dimulai dari saat panen, yaitu pengambilan tanaman atau bagian
tanaman yang dianggap sebagai produk sampai produk tersebut habis dikonsumsi atau
dijual. Pengelolaan faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan dan penjualan produk itu
akan menentukan kepuasan yang dicapai dari produk pertanian tersebut
Bagian tanaman yang dipanen dianggap mempunyai nilai ekonomis sehingga bagian
tersebut dinamakan produk ekonomis sedangkan sisanya dikatakan sebagai limbah
pertanian. Produk ekonomis dan limbahnya merupakan bagian tanaman, seluruhnya
dinamankan produk bilogis. Berdasarkan perbandingan berat kering produk ekonomis dan
produk biologis menggambarkan efisiensi penggunaan hasil fotosintesis untuk kepentingan
manusia, perbandingan ini disebut indeks panen. Berdasarkan indeks panen tersebut,
varietas unggul adalah varietas yang dapat menghasilkan biomass atau produk biologis
tinggi dengan indeks panen tinggi. Sebenamya indeks panen tidak ada artinya lagi
apabila tidak ada limbah pertanian, karena semua limbah dapat diubah menjadi produk
ekonomis. Jadi, rendahnya indeks panen di bawah nilai satu sebenamya menggambarkan
kurang efisiennya manusia dalam memanfaatkan tanaman.
Setelah produk dipanen dapat langsung dijual di lapangan atau di pasar maupun diproses
lebih lanjut. Adakalanya penjualan itu bahkan sudah dilakukan sebelum waktu panen, yaitu
pada waktu tanaman masih hijau, penjualan demikian dinamakan sistem ijon.
Pada waktu panen raya, harga produk tanaman relatif lebih rendah sehingga kurang
menguntungkan apabila penjualannya dilakukan pada waktu tersebut. Dengan menunda
penjualan atau menyimpan lebih dulu sampai naiknya harga, adakalanya lebih
menguntungkan. Untuk itu, produk tanaman harus dipersiapkan lebih dahulu agar tidak
rusak dalam penyimpanan, misalnya dengan pengeringan, pembersihan, atau dengan cara
pengawetan lain.
Produk pertanian yang cepat rusak atau merosot kualitas hasilnya setelah dipanen, luas
panennya perlu disesuaikan dengan kuantitas yang dapat dijual, dikonsumsi, atau diproses
lebih lanjut, sehingga panennya secara bertahap. Tetapi untuk tanaman yang produknya
tidak cepat rusak setelah dipanen, panennya dapat dilakukan secara serentak pada saat
masak panen. Untuk tanaman yang panennya memerlukan saat tepat sedang produknya
cepat merosot kualitasnya setelah dipanen, misalnya tebu, maka luas areal tanam, waktu
tanam, dan perbandingan luas jenis klon-klon yang ditanam sudah harus direncanakan
dengan baik sejak semula untuk disesuaikan dengan kemampuan pengolahan produknya
setelah panen. Untuk tebu, disesuaikan dengan kapasitas giling pabrik gula yang
mengolahnya.
Tindakan untuk mengurangi kehilangan hasil baik secara kuantitas maupun kualitas
bertujuan untuk:
Bila kehilangan hasil ini dapat ditekan maka nilai tambah jualnya akan meningkat
terutama bagi petani. Pencegahan kehilangan hasil pascapanen merupakan suatu
program untuk meningkatkan pendapatan petani maupun devisa negara. Oleh karena itu,
pengetahuan mengenai sifat-sifat komoditi hortikultura yang mudah rusak sangat
diperlukan agar cara penanganannya dapat ditentukan secara tepat sehingga kesegaran
komoditi dapat dipertahankan lebih lama.
Setelah mengalami pengolahan atau proses lebih lanjut, produk pertanian dapat
mempunyai nilai tambah apabila dipasarkan. Akan tetapi, produk olahan tersebut tidak
selalu langsung dipasarkan apabila harga pasar dirasa masih belum cukup tinggi, sehingga
perlu ditunda lagi dalam penyimpanan. Produk olahan dari pabrik, umumnya dapat
disimpan jauh lebih lama tanpa menurunkan kualitasnya, sementara produk olahan bukan
dari pabrik lebih memerlukan banyak perhatian terhadap faktor-faktor yang berpengaruh
dalam penyimpanannya.
Tujuan akhir dari usaha pertanian adalah memasarkan produknya guna mendapatkan
pendapatan yang sebanyak-banyaknya tiap satuan luas lahan. Untuk itu, harus ada
jaminan bahwa produk pertanian lahan rawa akan dapat dipasarkan dengan mudah
oleh petani. Karenanya peran Bulog sangat diharapkan, khususnya dalam menangani
masalah beras. Demikian juga untuk produk lainnya, misalnya jeruk yang kesegarannya
tidak dapat bertahan lama sehingga membutuhkan industri yang dapat menyerap
kelebihan produk saat panen raya.
Perlu menjadi perhatian bahwa kesempatan bertani di lahan rawa adalah bukan hanya
pada tanaman pangan namun juga pada perikanan dan petemakan. Hasil pertanian adalah
pokok, karena sangat dibutuhkan, sementara produk yang banyak menghasilkan uang
dan memungkinkan adalah usaha peternakan (merupakan kerja sambilan) petani, di
samping mengusahakan tanamannya. Jenis ternak utama adalah: unggas, kambing, sapi,
dan kerbau (khusus kerbau rawa ada di kawasan hulu kabupaten Barito Kuala).
Iklim merupakan faktor alam yang tidak dapat dikuasai, sehingga iklim (curah hujan,
sinar matahari, suhu, dsb.) perlu dicermati dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sementara
itu tanah (fisik, kimia, dan biotik) dapat dimodifikasi meskipun terbatas dan dapat
disesuaikan dengan keperluan tanaman dan kegiatan lainnya. Ketersediaan air
dipengaruhi curah hujan, elevasi, dan topografi lahan secara fisik dan kimia juga dapat
dikendalikan disesuaikan dengan kepentingan penggunaan didalam kegiatan farming
bahkan keperluan rumah tangga. Karena suhu, sinar matahari, dan curah hujan di kawasan
Barito Kuala Kalimantan Selatan berada pada kondisi relatif sama, maka farming lebih
ditentukan oleh ketersediaan air (termasuk mutu air) dan mutu lahan (tanah). Mutu air
adalah air cenderung masam (ke arah pedalaman), atau cenderung salin (dekat pantai),
sementara mutu tanah dengan lapisan atas berbahan gambut tipis sampai tebal dan
bahan lempung masam pada lapisan bawahnya.
Mutu lahan yang ada merupakan perpaduan antara kondisi air dan kondisi tanah,
menjadikan beberapa bagian dari kawasan Barito Kuala Kalimantan Selatan berbeda
kharaktemya. Merespon kharakter lahan ini, menjadikan sistem dan pola farming di setiap
kondisi yang berbeda tersebut seharusnya juga berbeda.