Disusun Oleh :
Ni Kadek Santi Maha Dewi, S.Farm (1808611026)
Ni Luh Putu Indah Aryani, S.Farm (1808611028)
Ni Wayan Wirayanti, S.Farm (1808611029)
Ni Luh Putu Anita Pratiwi, S.Farm (1808611030)
Ni Komang Sri Indriyani, S.Farm (1808611034)
Wayan Eka Heltyani, S.Farm (1808611036)
Ida Bagus Dharma Esa, S.Farm (1808611039)
Disusun Oleh :
Ni Kadek Santi Maha Dewi, S.Farm (1808611026)
Ni Luh Putu Indah Aryani, S.Farm (1808611028)
Ni Wayan Wirayanti, S.Farm (1808611029)
Ni Luh Putu Anita Pratiwi, S.Farm (1808611030)
Ni Komang Sri Indriyani, S.Farm (1808611034)
Wayan Eka Heltyani, S.Farm (1808611036)
Ida Bagus Dharma Esa, S.Farm (1808611039)
HALAMAN SAMPUL
i
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA KOTA DENPASAR
28 JANUARI s/d 20 FEBRUARI 2019
Disetujui Oleh:
Made Ary Sarasmita, S.Farm., M.Farm.Klin, Apt. Ngurah Mahendra, S.Si., Apt.
NIP. 198710122014042002 NIP. 197408102008041001
Mengetahui,
Ketua PSPA Jurusan Farmasi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Udayana
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
karunia yang dilimpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktek
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya tepat pada
waktunya. Laporan ini merupakan tugas akhir bagi mahasiswa Program Studi
Profesi Apoteker di Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Udayana sebagai syarat untuk meraih gelar Apoteker (Apt).
Kegiatan PKPA dilaksanakan mulai tanggal 28 Januari hingga 20 Februari. Laporan
PKPA ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kegiatan kefarmasian
di Rumah Sakit.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan ini tidak terlepas dari
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu kepada:
1. Drs. Ida Bagus Made Suaskara, M.Si. selaku Dekan Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana.
2. Ibu Luh Putu Febryana Larasanty, S.Farm., M.Sc., Apt. selaku Ketua Program
Studi Profesi Apoteker Universitas Udayana.
3. Ibu Dewa Ayu Swastini, S.F., M.Farm., Apt. selaku Ketua Jurusan Farmasi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana
4. Ibu Made Ary Sarasmita, S.Farm., M.Farm.Klin., Apt selaku pembimbing
akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran selama penyusunan
laporan ini
5. Bapak Ngurah Mahendra, S.Si., Apt. selaku Kepala Instalasi Farmasi Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya Kota Denpasar yang telah memberikan
pengarahan, pembinaan dan bimbingan kepada kami.
6. Seluruh Apoteker, tenaga teknis kefarmasian, dan seluruh pegawai RSUD
Wangaya yang telah membimbing dan membantu kami selama masa PKPA di
RSUD Wangaya.
7. Seluruh dosen dan staf pegawai Program Studi Profesi Apoteker, Jurusan
Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
iii
Udayana atas bimbingan dan kemudahan selama penulis menempuh kuliah serta
penyelesaian penulisan laporan ini.
8. Seluruh teman Angkatan XVIII Program Studi Profesi Apoteker atas kerjasama,
motivasi, dan persahabatannya sehingga laporan PKPA ini dapat diselesaikan.
9. Semua pihak terkait yang memberikan dukungan sehingga laporan ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa laporan PKPA di RSUD Wangaya ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak, guna kesempurnaan laporan ini. Penulis berharap
semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
v
2.4.2 Visi, Misi, Motto, dan Budaya RSUD Wangaya ................................ 16
2.4.3 Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Dan Pelayanan Rsud Wangaya ... 17
2.5 Struktur Organisasi dan Tata Kerja RSUD Wangaya.................................. 20
2.6 Akreditasi Rumah Sakit ............................................................................... 21
2.6.1 Akreditasi RSUD Wangaya ................................................................ 28
2.7 Komite Medik RSUD Wangaya .................................................................. 29
2.8 Komite/Tim Farmasi dan Terapi Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya
Kota Denpasar ................................................................................................... 32
2.9 Formularium Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota Denpasar ......... 36
2.10 Instalasi Farmasi RSUD Wangaya ......................................................... 37
2.10.1 Profil Instalasi Farmasi RSUD Wangaya Kota Denpasar .................. 37
2.10.2 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSUD Wangaya ..................... 41
2.10.3 Tata Hubungan Kerja .......................................................................... 58
2.10.4 Pelaporan ............................................................................................ 60
BAB III KEGIATAN PKP APOTEKER DAN PEMBAHASAN TABULAR LOG
BOOK ............................................................................................................... 61
3.1 Kegiatan PKP Apoteker di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota
Denpasar ............................................................................................................ 61
3.2 Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) di RSUD
Wangaya ............................................................................................................ 71
3.2.1 Pengelolaan Perbekalan di Gudang Farmasi A dan B ........................ 71
3.2.2 Alur Pengelolaan Perbekalan Gudang Farmasi RSUD Wangaya ...... 73
3.2.3 Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Apotek ....................................... 82
3.3 Kegiatan Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit Umum Wangaya....... 85
3.3.1 Kegiatan Pelayanan Farmasi Klinik di Apotek Rumah Sakit Umum
Daerah Wangaya ............................................................................................ 85
3.3.2 Kegiatan Farmasi Klinik di Poli Paru ................................................. 90
3.3.3 Kegiatan Farmasi Klinik di Ruang Voluntary Counselling and Testing
(VCT) atau Ruang PIO khusus ODHA........................................................ 100
3.3.4 Pelayanan Farmasi Klinik di Ruang Rawat Inap .............................. 112
3.3.5 Pelayanan Farmasi di Depo Ruang Operasi (OK) ............................ 113
3.4 Unit Instalasi Sterilisasi Sentral (Central Sterilization Supply
Department/CSSD) ......................................................................................... 115
3.4.1 Fungsi, Tugas, dan Wewenang CSSD .............................................. 115
3.4.2 Pekerjaan CSSD pada RSUD Wangaya ........................................... 119
vi
3.5 Sanitasi....................................................................................................... 129
3.5.1 Pengelolaan Limbah Cair.................................................................. 130
3.5.2 Pengelolaan Limbah Padat................................................................ 134
3.5.3 Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)................ 137
3.5.4 Pengolahan Limbah Gas ................................................................... 138
3.5.5 Inspeksi Sanitasi ............................................................................... 138
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 139
4.1 Kesipulan ................................................................................................... 139
4.2 Saran .......................................................................................................... 139
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 140
LAMPIRAN ........................................................................................................ 141
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 15. (A) Label Kemasan berisi Indikator Internal; (B) Kemasan dengan
Tape Indicator; (C) Kemasan dengan plastik Wraping. ...................122
Gambar 16. Mesin Autoklaf dengan Indikator Mekanik pada Layar Monitor. ...123
Gambar 17. (A) Bowie Dick Test; (B) Indikator Internal. ...................................124
Gambar 21. Instalasi Pengolahan Air Limbah RSUD Wangaya. (A) Bak
equalisasi; (B) Bak aerasi; (C) Bak klorinisasi; (D) Bak indikator ...133
Gambar 22. Insenerator Pengolahan Limbah Padat Medis RSUD Wangaya. .....136
viii
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR LAMPIRAN
x
DAFTAR SINGKATAN
AC : Air Conditioner
Alkes : Alat Kesehatan
ARV : Anti Retro Viral
BHP : Bahan Habis Pakai
BLU : Badan Layanan Umum
BLUD : Badan Layanan Umum Daerah
BMHP : Bahan Medis Habis Pakai
BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
CPO : Catatan Penggunaan Obat
ESO : Efek Samping Obat
FEFO : First Expired Date First Out
FIFO : First In First Out
IFRS : Instalasi Farmasi Rumah Sakit
JKN : Jaminan Kesehatan Nasional
KIE : Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
LASA : Look Alike Sound Alike
MESO : Monitoring Efek Samping Obat
MPO : Manajemen dan Penggunaan Obat
MSDS : Material Safety Data Sheet
NICU : Neonatus Intensive Care Unit
NORUM : Nama obat, rupa, ucapan obat mirip
NTB : Nusa Tenggara Barat
NTT : Nusa Tenggara Timur
Nusra : Nusa Tenggara
OAT : Obat Anti Tuberkulosis
ODC : One Day Care
ODD : One Daily Dose
ODDD : One Daily Dose Dispending
xi
OK : Operatie Kamer
PFT : Panitia Farmasi dan Terapi
PICU : Pediatric Intensive Care Unit
PIO : Pelayanan Informasi Obat
PKOD : Pemantauan Kadar Obat dalam Darah
PKPA : Praktek Kerja Profesi Apoteker
PKPA : Praktek Kerja Profesi Apoteker
PKRS : Promosi Kesehatan Rumah Sakit
POR : Penggunaan Obat Rasional
PPI : Pencegahan Pengendalian Infeksi
PTO : Pemantauan Terapi Obat
RI : Rawat Inap
RIS : Republik Indonesia Serikat
RJ : Rawat Jalan
ROTD : Reaksi Obat yang tidak Diinginkan
RS : Rumah Sakit
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah
SDM : Sumber Daya Manusia
SIM-RS : Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit
SIPNAP : Sistem Informasi Pelaporan Narkotika dan Psikotropika
TB DOTS : Tuberculosis- Directly Observed Treatment, Short course
THT : Telinga, Hidung, dan Tenggorokan
TTK : Tenaga Teknis Kefarmasian
UDD : Unit Dose Dispensing
UPT : Unit Pelaksana Teknis
VCT : Voluntary Counseling and Testing
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
diharapkan calon apoteker mengetahui tugas pokok dan fungsi apoteker di Rumah
Sakit, maka pelaksanaan kegiaaan PKPA oleh Program Studi Profesi Apoteker,
Fakultas MIPA, Universitas Udayana bekerjasama dengan Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Wangaya. PKPA merupakan program yang sangat penting bagi
mahasiswa untuk dapat berperan dalam mengaplikasikan ilmu dan keterampilan
kefarmasian yang diperoleh, sehingga melalui program ini maka diharapkan akan
membentuk apoteker yang profesional dan ikut serta dalam upaya peningkatan
kesehatan masyarakat.
2.1 Tujuan PKP Apoteker di Rumah Sakit
a. Menerapkan tugas pokok dan fungsi apoteker di Rumah Sakit sesuaii
dengan standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit bagi calon apoteker
b. Meningkatkan wawasan, keterampilan, dan pengalaman praktis bagi calon
apoteker mengenai pekerjaan kefarmsian di Rumah Sakit
c. Mempersiapkan calon apoteker dalam memasuki dunia kerja agar menjadi
apoteker yang profesional
3.1 Manfaat PKP Apoteker di Rumah Sakit
a. Mengetahui tugas pokok dan fungsi apoteker sesuai perundang-undangan
b. Mendapatkan pengalaman praktik kerja
c. Mendapatkan rasa percaya diri sebagai apoterker yang profesional
4.1 Pelaksanaan PKP Apoteker di Rumah Sakit
Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di RSUD Wangaya Kota Denpasar
dilaksanakan 28 Januari - 20 Februari 2019 dengan jadwal praktik pukul 08.00-
15.00 WITA. Jumlah SKS yang ditempuh adalah sebanyak 4 SKS (160 jam).
Kegiatan PKP yang dilakukan meliputi pembekalan, diskusi, pelayanan
kefarmasian di apotek, gudang farmasi, depo OK, poliklinik paru, apotek VCT
(HIV dan TB), serta penyusunan laporan dengan bimbingan yang dibimbing oleh
Apoteker di Instalasi Farmasi RSUD Wangaya Kota Denpasar.
4
BAB II
TINJAUAN MENGENAI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA
KOTA DENPASAR
sedangkan rumah sakit khusus yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan
utama pada satu bidang atau jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu,
golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya. Rumah sakit umum
dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan
pelayanan rumah sakit. Klasifikasi rumah sakit umum terdiri dari:
a. Rumah sakit umum kelas A
Rumah sakit yang melakukan pelayanan medis dasar (pelayanan kesehatan
yang bersifat umum dan kesehatan gigi), spesialistik (bedah, pelayanan bedah,
penyakit dalam, kebidanan dan kandungan, kesehtan atau THT, kulit dan kelamin,
jantung, saraf, gigi dan mulut, paru-paru, ortopedi, jiwa, radiologi, anastesiologi
(pembiusan), patologi anatomi dan kesehatan dengan pendalaman tertentu dalam
salah satu pelayanan spesialistik yang luas), yang memiliki lebih dari 1000 kamar
tidur.
b. Rumah sakit umum kelas B
Rumah sakit yang melakukan pelayanan medis dasar (pelayanan kesehatan
yang bersifat umum dan kesehatan gigi), spesialistik (bedah, pelayanan bedah,
penyakit dalam, kebidanan dan kandungan, kesehatan atau Telinga Hidung
Tenggorokan (THT), kulit dan kelamin, jantung, saraf, gigi dan mulut, paru-paru,
ortopedi, jiwa, radiologi, anastesilogi (pembiusan), patologi anatomi, dan kesehatan
dengan pendalaman tertentu dalam salah satu pelayanan spesialistik), yang
memiliki kamar tidur 500-1000.
c. Rumah sakit umum kelas C
Rumah sakit yang melakukan pelayanan medis dasar (pelayanan kesehatan
yang bersifat umum dan kesehatan gigi) memilki 100-500 kamar tidur.
d. Rumah sakit umum kelas D
Rumah sakit yang melakukan pelayanan dasar (pelayanan kesehatan yang
bersifat umum dan gigi) memiliki kamar tidur tidak kurang dari 100.
Sedangkan rumah sakit khusus terdiri atas:
a. Rumah sakit khusus kelas A
b. Rumah sakit khusus kelas B
c. Rumah sakit khusus kelas C
(Presiden RI, 2009).
7
kefarmasian, 4 orang apoteker di rawat inap yang dibantu oleh paling sedikit 8
orang tenaga teknis kefarmasian, 1 orang apoteker sebagai koordinator penerimaan,
distribusi dan produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik
di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang
jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian rumah sakit.
d. Kebutuhan Tenaga Farmasi Rumah Sakit Kelas D
1 orang apoteker sebagai kepala instalasi farmasi rumah sakit, 1 apoteker
yang bertugas di rawat inap dan rawat jalan yang dibantu oleh paling sedikit 2 orang
tenaga teknis kefarmasian, 1 orang apoteker sebagai koordinator penerimaan,
distribusi dan produksi yang dapat merangkap melakukan pelayanan farmasi klinik
di rawat inap atau rawat jalan dan dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang
jumlahnya disesuaikan dengan beban kerja pelayanan kefarmasian rumah sakit.
2.3 Instalasi Farmasi Rumah Sakit
2.3.1 Definisi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan
seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Instalasi Farmasi
dipimpin oleh seorang apoteker sebagai penanggung jawab (Menkes RI, 2014).
Kegiatan yang dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah
pelayanan kefarmasian, yang terdiri atas ,perencanaan, pengadaan, produksi;
penyimpanan perbekalan kesehatan atau sediaan farmasi, dispensing obat
berdasarkan resep bagi penderita rawat inap dan rawat jalan, pengendalian mutu,
pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh perbekalan kesehatan di rumah
sakit, pelayanan farmasi klinik umum dan spesialis, mencakup pelayanan langsung
pada penderita dan pelayanan klinik yang merupakan program rumah sakit secara
keseluruhan (Siregar, 2003).
2.3.2 Tugas Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Tugas utama IFRS adalah pengelolaan sediaan farmasi dan alat-alat
kesehatan mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, penyiapan, peracikan,
pendistribusian, pelayanan langsung kepada pasien sampai dengan pengendalian
semua perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan dalam rumah sakit, baik
pasien rawat inap atau rawat jalan, maupun untuk semua unit termasuk poliklinik
rumah sakit. Berdasarkan UU RI No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
10
dipergunakan oleh subyek penelitian dan mencatat Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD) yang terjadi selama penelitian (Menkes RI, 2016).
2.3.6 Fasilitas Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit harus didukung
oleh sarana dan peralatan yang memenuhi ketentuan dan perundang-undangan
kefarmasian yang berlaku. Lokasi harus menyatu dengan sistem pelayanan Rumah
Sakit, dipisahkan antara fasilitas untuk penyelenggaraan manajemen, pelayanan
langsung kepada pasien, peracikan, produksi dan laboratorium mutu yang
dilengkapi penanganan limbah. Sarana dan prasarana yang harus tersedia di
instalasi farmasi rumah sakit antara lain :
a. Sarana
Fasilitas ruang harus memiliki kualitas dan kuantitas yang dapat menunjang
fungsi dan proses pelayanan kefarmasian, menjamin lingkungan kerja yang aman
untuk petugas, dan memudahkan sistem komunikasi rumah sakit.
1. Fasilitas utama kegiatan pelayanan di Instalasi Farmasi, terdiri dari:
a) Ruang Kantor/Administrasi
b) Ruang Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alkes dan BMHP
c) Ruang Distribusi Sediaan Farmasi, Alkes dan BMHP
d) Ruang Konsultasi/Konseling Obat
e) Ruang Pelayanan Informasi Obat
f) Ruang Produksi
g) Ruang Aseptic Dispensing
h) Laboratorium Farmasi
2. Fasilitas penunjang kegiatan pelayanan di Instalasi Farmasi, terdiri dari:
a) Ruang Tunggu Pasien
b) Ruang Penyimpanan Dokumen dan Arsip
c) Tempat Penyimpanan Obat di Ruang Perawatan
d) Fasilitas Toilet dan Kamar mandi
3. Peralatan
Peralatan yang harus disiapkan dalam menunjang kegiatan pelayanan
kefarmasian di Instalasi Farmasi Rumah Sakit terdiri dari:
13
pelayanan kesehatan sangat menurun karena semua dokter dan tenaga kesehatan
dari Belanda dan Eropa ditangkap oleh bangsa Jepang, obat - obatan dan sarana
kesehatan sangat terbatas sehingga derajat kesehatan masyarakat sangat rendah.
3. Masa Revolusi Fisik sampai dengan penyatuan RIS menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (1945 - 1951)
Pada masa ini Rumah Sakit Wangaya utamanya perawatnya banyak
membantu para pejuang saat itu, yang tercatat diantaranya Made Suberata, I Gede
Pelasa, Ida Bagus Kompiang, I Nyoman Purna, I Made Rasna, Ida Bagus Jagra, I
Made Putra, I Gusti Putu Susesa. Disamping banyak membantu pejuang Rumah
Sakit Wangaya pada masa ini sangat berperan dalam mencetak tenaga - tenaga
perawat dengan membuka pendidikan juru rawat.
4. Masa Orde Lama hingga demokrasi terpimpin (1950 - 1959/1959 - 1965)
Masa Pulau Bali sebagai bagian dari Propinsi Sunda Kecil/Nusa Tenggara.
Sunda Kecil adalah satu dari 10 Propinsi pertama Republik Indonesia yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950. Sunda Kecil kemudian
berganti nama menjadi Nusa Tenggara (Nusra) berdasarkan Undang - Undang
Darurat Nomor 9 Tahun 1954. Nama Nusra pun ternyata hanya bertahan empat
tahun, menyusul terjadinya pemekaran Sunda Kecil atau Nusra menjadi tiga
Provinsi yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ketiga Propinsi ini resmi lahir berdasarkan Undang-Undang No. 64 Tahun 1958
pada tanggal 20 Desember 1958. Pada masa ini, pelayanan kesehatan sudah mulai
berkembang dengan baik karena mulainya pemisahan Bali sebagai bagian Propinsi
Sunda Kecil. Apalagi pada tahun 1957/1958 mulai dibangunnya RSUP Sanglah
sebagai RSUP tingkat Regional Nusa Tenggara dan beberapa bagian pelayanan
seperti bagian bedah, penyakit dalam, mata, THT, dan sebagian kesehatan anak
dipindahkan ke RSUP Sanglah. Walaupun demikian, hal ini tidak menyurutkan rasa
pengabdian rumah sakit. Hal tersebut terbukti pada bulan Maret 1963 ketika
Gunung Agung meletus, dibawah pimpinan Ida Bagus Kompiang sebagai
pemimpin perawat pada saat itu mengatur tenaga perawat untuk bertugas selaku
tenaga sukarela membantu korban gunung meletus. Status Rumah Sakit Wangaya
pada saat itu adalah sebagai rumah sakit umum kelas D yang hanya memberikan
pelayanan kesehatan yang bersifat umum.
15
DIREKTUR
BIDANG BIDANG
BIDANG BIDANG PENGEMB. SDM
PELAYANAN MEDIK KEPERAWATAN DAN PROMOSI BAGIAN UMUM BAGIAN KEUANGAN BAGIAN BINA PROGRAM
PENUNJANG DAN PUBLIKASI
KASI. KASI.
KASI. PENUNJANG KASI. PENDIDIKAN DAN SUB.BAG ANGGARAN
RAJAL, RANAP, RASIP PELATIHAN SUB. BAG TU SUB BAG
PELAYANAN KEPERAWATN
MEDIK
PERENCANAAN
KASI.
KASI. SUB.BAG
SUB BAG PENDATAAN DAN
PENGEMBANGAN. PROFESI KASI. PROMOSI SUB. BAG KEPEG PELAPORAN
RADAR KASI. PENUNJANG PERBENDAHARAAN
PERIZINAN
REGISTRASI
AKREDITASI
untuk menerapkan standar tersebut tanpa memandang kelas dan status kepemilikan
(Pemerintah atau Swasta).
Standar pelayanan rumah sakit terdiri dari 16 Kelompok Kerja (POKJA)
yaitu:
a. Administrasi dan Manajemen
b. Pelayanan Medis
c. Pelayanan Gawat Darurat
d. Pelayanan Keperawatan
e. Rekam Medik
f. Pelayanan Farmasi
g. Keselamatan Kerja, Kebakaran dan Kewaspadaan Bencana
h. Pelayanan Radiologi
i. Pelayanan Laboratorium
j. Pelayanan Operasi
k. Pelayanan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit
l. Pelayanan Perinatal Resiko Tinggi
m. Pelayanan Rehabilitasi Medik
n. Pelayanan Gizi
o. Pelayanan Intensif dan Pelayanan Darah
Penilaian tahap satu meliputi point A-E, tahap dua meliputi point A-L, dan tahap
tiga meliputi A-P.
Dalam pelaksanaan proses akreditasi rumah sakit, keputusan atau hasil
akreditasi dapat digolongkan menjadi empat kategori, yaitu:
a. Tidak terakeditasi
Rumah sakit tidak dapat status akreditasi jika belum mampu memenuhi standar
yang ditetapkan (skor kurang dari 65%).
b. Akreditasi Bersyarat
Rumah sakit telah memenuhi syarat minimal, tetapi belum cukup karena ada
beberapa pelayanan dengan rekomendasi khusus (skor minimal 65% dan setiap
bidang tidak mempunyai nilai kurang dari 60%) dan diberikan waktu 1 tahun
untuk perbaikan.
28
c. Akreditasi Penuh
Rumah sakit telah dapat memenuhi standar yang ditetapkan, berlaku untuk 3
tahun (total skor lebih dari 75%).
d. Akreditasi Istimewa
Rumah sakit lulus akreditasi 3 periode berturut-turut memperoleh status
akreditasi untuk 5 tahun ke depan.
(KARS, 2011)
2.6.1 Akreditasi RSUD Wangaya
Periode dimana Bali menjadi bagian dari Provinsi Sunda Kecil sampai dengan
sekarang, secara perlahan-lahan tetapi pasti peranan RSUD Wangaya Kota
Denpasar dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat semakin
meningkat. Lebih-lebih setelah Bali memisahkan diri dari Provinsi Sunda Kecil.
Bulan Maret tahun 1963 pada saat Gunung Agung meletus pengabdian RSUD
Wangaya Kota Denpasar sangat besar. Ida Bagus Kompyang memimpin tenaga
perawat dalam membantu korban bencana alam letusan Gunung Agung. Antara
tahun 1951-2007 RSUD Wangaya dipimpin oleh 28 orang direktur. Dengan
terbentuknya Pemerintahan Kota Denpasar pada tahun 1992 RSUD Wangaya Kota
Denpasar berada dibawah Pemerintahan Kota Denpasar menjadi Unit Swadana
sesuai Peraturan Pemerintah Kota Denpasar Nomor 23 tahun 2001.
Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 538/MENKES/SK/2003 RSUD
Wangaya ditetapkan menjadi Rumah Sakit Kelas B Non Pendidikan. Pada tanggal
23 Juli 2008 dengan Keputusan Wali Kota Denpasar Nomor 96 tahun 2008 RSUD
ditetapkan menjadi Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Umum Daerah
Wangaya Kota Denpasar. Melalui perjalanan panjang sejak tahun 1921 dalam
memberikan pelayanan kesehatan dan seiring berubahnya status RSUD Wangaya
Kota Denpasar menjadi Badan Layanan Umum diharapkan RSUD Wangaya Kota
Denpasar akan dapat meningkatkan mutu pelayanan menuju rumah sakit pilihan
utama masyarakat. Dalam upaya peningkatan mutu pelayanan, RSUD Wangaya
Kota Denpasar telah melalui penilaian ISO 9001: 2008, dan Akreditasi Rumah Sakit
oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) versi 2007, dan versi 2012 dengan
predikat paripurna pada tahun 2014 dan 2017. Penetapan sebagai Rumah Sakit Tipe
29
spesialisasi yang ada di Rumah Sakit, Apoteker Instalasi Farmasi, serta tenaga
kesehatan lainnya apabila diperlukan. Komite/Tim Farmasi dan Terapi harus dapat
membina hubungan kerja dengan komite lain di dalam Rumah Sakit yang
berhubungan/berkaitan dengan penggunaan obat (Menkes RI, 2016).
Komite/Tim Farmasi dan Terapi dapat diketuai oleh seorang dokter atau
seorang apoteker, apabila di ketuai oleh seorang dokter, maka sekretarisnya adalah
seorang apoteker, namun apabila diketuai oleh apoteker, maka sekretarisnya adalah
seorang dokter. Komite/Tim Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara
teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapat diadakan
sekali dalam satu bulan. Rapat Komite/Tim Farmasi dan Terapi dapat mengundang
pakar dari dalam maupun dari luar Rumah Sakit yang dapat memberikan masukan
bagi pengelolaan Komite/Tim Farmasi dan Terapi, memiliki pengetahuan khusus,
keahlian-keahlian atau pendapat tertentu yang bermanfaat bagi Komite/Tim
Farmasi dan Terapi.
A. Kedudukan dan Tanggung Jawab
Komite Farmasi dan Terapi merupakan unit kerja dalam memberikan
rekomendasi kepada Direktur Rumah Sakit tentang kebijakan penggunaan obat di
Rumah Sakit serta bertanggung jawab kepada Direktur.
B. Tugas KFT
Komite/Tim Farmasi dan Terapi mempunyai tugas sebagai berikut :
1. Mengembangkan kebijakan tentang penggunaan obat di Rumah Sakit;
2. Melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam formularium
Rumah Sakit;
3. Mengembangkan standar terapi;
4. Mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan obat;
5. Melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan obat yang rasional;
6. Mengkoordinir penatalaksanaan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki;
7. Mengkoordinir penatalaksanaan medication error;
8. Menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan obat di Rumah
Sakit.
(Menkes RI, 2016).
34
C. Susunan Organisasi Komite Farmasi dan Terapi Rumah Sakit Umum Daerah
Wangaya Kota Denpasar
1. Ketua KFT
2. Sekretaris KFT
3. Anggota KFT
a. Seluruh Kepala SMF
b. Apoteker
c. Perawat
D. Uraian Tugas Organisasi Komite Farmasi dan Terapi
1. Ketua KFT
Memiliki tugas sebagai berikut :
1. Membuat program kerja Komite Farmasi dan Terapi
2. Mengajukan kebijakan tentang penggunaan obat di Rumah Sakit
3. Merumuskan segala keputusan yang berhubungan dengan kegiatan Komite
Farmasi dan Terapi
4. Merencanakan jumlah, jenis dan mutu anggota yang dibutuhkan
5. Merencanakan dan menetukan jenis kegiatan yang akan diselenggarakan KFT
sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan rumah sakit
6. Bekerjasama dengan Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dalam
mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan dan peraturan-peraturan tentang
penggunaan obat di RS sesuai peraturan yang berlaku secara lokal dan nasional.
7. Mengatur, mendistribusikan dan mengkoordinasikan tugas-tugas bawahan
8. Memberikan petunjuk dan bimbingan serta pengawasan kepada
bawahannya
Tanggung Jawab :
Secara struktural dan administratif, ketua Komite Farmasi dan Terapi (KFT)
bertanggung jawab kepada Direktur untuk merencanakan, mengorganisir, serta
mengendalikan / mengarahkan semua kegiatan Komite Farmasi dan Terapi (KFT)
sehingga sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dalam kebijakan Rumah Sakit.
35
2. Sekretaris KFT
Memiliki tugas sebagai berikut :
1. Menetapkan jadwal kegiatan di Komite farmasi dan Terapi
2. Membantu IFRS dalam mengembangkan tinjauan terhadap kebijakan dan
peraturan mengenai penggunaan obat di RS sesuai peraturan yang berlaku
secara lokal dan nasional
3. Menyebarluaskan keputusan yang disetujui pimpinan kepada pihak terkait
4. Melaksanakan keputusan yang sudah disepakati dalam pertemuan
5. Melaksanakan umpan balik hasil pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat
pada pihak terkait
Tanggung Jawab :
Secara struktural dan administratif, Sekretaris Komite Farmasi dan Terapi
(KFT) bertanggung jawab kepada Ketua Komite Farmasi dan Terapi (KFT).
3. Sub Komite Seleksi dan Evaluasi Obat
Memiliki tugas sebagai berikut :
1. Mengusulkan kegiatan di Komite Farmasi dan Terapi (KFT)
2. Melakukan pemilihan item obat, mengacu pada FORNAS dan PPK
3. Membantu ketua KFT dalam menyusun formularium RS
4. Membantu ketua KFT memilah usulan obat baru yang diusulkan oleh anggota
staf medis sebelum dimasukkan dalam formularium
5. Membantu menyebarluaskan keputusan yang disetujui pimpinan kepada pihak
terkait
6. Melaksanakan keputusan yang sudah disepakati dalam pertemuan
Tanggung Jawab :
Secara struktural dan administratif, Sub Komite Seleksi dan Evaluasi Obat
bertanggung jawab kepada Ketua Komite Farmasi dan Terapi (KFT).
4. Sub Komite Penggunaan FORNAS dan Formularium RS
Memiliki tugas sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan Obat;
2. Membantu ketua KFT melakukan tinjauan formularium berdasarkan informasi
mengenai keamanan atau efek samping obat
36
kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus didukung oleh SDM
yang sesuai dengan peraturan yang berlaku dan sesuai analisis beban kerja serta
sarana dan peralatan. Menurut Keputusan Direktur RSUD Wangaya Kota Denpasar
Nomor 114 Tahun 2014, Instalasi Farmasi RSUD Wangaya Kota Denpasar dibagi
menjadi 3 (tiga) bagian utama, yaitu:
6. Pengelolaan Perbekalan Farmasi
Pengelolaan perbekalan farmasi merupakan suatu kegiatan untuk mengelola
perbekalan farmasi yang ada di RSUD Wangaya Kota Denpasar mulai dari obat-
obatan, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai (BMHP). Kegiatan pengelolaan
perbekalan farmasi meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pendistribusian, dan monitoring. Untuk pengelolaan perbekalan farmasi maka
dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
a. Farmasi A
Pada bagian farmasi A bertugas melayani Bahan Medis Habis Pakai (BMHP),
seperti kasa, alkohol swab, aseptan, gynaecology set, perban, kapas, spuit, iv
catheter, dan sebagainya untuk didistribusikan ke ruang rawat inap, poliklinik, HD.
Pada prinsipnya apoteker bagian pengadaan farmasi A membuat perencanaan
kemudian diserahkan ke Pejabat Pengadaan untuk dilakukan pembelian melalui e-
purchasing untuk barang-barang yang masuk dalam e-catalog. Untuk barang-
barang yang tidak tercantum dalam e-catalog dilakukan pembelian dengan
penunjukan langsung distributor dengan mempertibangkan harga. Satu faktur
barang tidak lebih dari Rp. 50.000.000. Pelayanan di farmasi A tidak dipungut biaya
karena merupakan satu paket dalam bentuk jasa sarana yang terintegrasi dalam tarif
rumah sakit.
b. Farmasi B
Pada bagian farmasi B bertugas melayani sediaan farmasi dan alat kesehatan
untuk didistribusikan ke ruang rawat inap, poliklinik, HD, dan OK. Koordinator
apotek dan OK membuat amprahan obat ke gudang farmasi setiap hari, gudang
farmasi menyiapkan amprahan sesuai permintaan. Sedian farmasi dan alat
kesehatan yang akan habis atau kosong, oleh apoteker bagian farmasi B, direkap
dan dibuatkan perencanaan sesuai kebutuhan sebulan, yang akan diajukan ke
39
c) Menyusun daftar usulan obat dan Alkes untuk diketahui Ka. Instalasi dan
diajukan kepada Pejabat Pengadaan
d) Memeriksa realisasi kedatangan sediaan farmasi dan alkes dibandingkan
Surat Pesanan yang sudah masuk ke Distributor.
e) Menyusun rancangan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) melalui aplikasi
e-Monev
f) Membuat laporan SIPNAP
g) Membuat laporan sediaan Kadaluwarsa
h) Melakukan kegiatan Stok Opname
i) Melakukan kegiatan supervisi di bagian perlengkapan perbekalan
farmasi A dan perbekalan farmasi B.
j) Menginformasikan segala kebutuhan obat dan anggaran farmasi A,
farmasi B serta penggunaan sumber daya manusia.
k) Mengevaluasi dan melaporkan semua hasil kegiatan farmasi
4. Tanggung jawab
Bertanggung jawab langsung kepada Kepala Instalasi Farmasi terhadap
pekerjaan/tugas-tugas pengelolaan Perbekalan farmasi di Instalasi Farmasi
5. Wewenang
Melaksanakan fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengawasan, pengendalian, dan penilaian terhadap sistem manajemen logistik
farmasi.
3. Uraian Tugas
a) Menerima obat atau perbekalan farmasi lainnya yang datang dari
distributor
b) Melakukan pengecekan semua perbekalan farmasi yang datang apakah
sudah sesuai dengan faktur yang datang baik mengenai jumlah obat,
expired date, dan kesesuaian dengan surat pesanan
c) Menandatangani faktur yang datang dilengkapi tanggal terima faktur
dan nama terang
d) Mencatat faktur yang datang ke dalam buku catatan faktur
e) Mengarsipkan faktur sesuai dengan nama distributor
f) Menandatangani SPJ Obat sebelum ditandatangani Pejabat Pengadaan
dan PPK
g) Membawa titipan tagihan faktur ke keuangan
h) Melaksanakan tugas-tugas lainnya yang diberikan oleh atasan
4. TanggungJawab
Memastikan perbekalan farmasi yang diterima sesuai dengan Surat Pesanan
dan harga.
5. Wewenang
Menerima dan atau menolak perbekalan farmasi yang tidak sesuai persyaratan
4. Tanggungjawab
Memastikan perbekalan farmasi disimpan sesuai persyaratan dan melakukan
monitoring ketersediaan dan kualitas.
5. Wewenang
Menyimpan dan mendistribusikan perbekalan farmasi sesuai permintaan unit.
5. Wewenang
Memverifikasi permintaan unit-unit sebelum disiapkan dan diberikan ke unit.
5. Wewenang
Memonitor penggunaan obat dan alkes pasien
3.1 Kegiatan PKP Apoteker di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Kota
Denpasar
Kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di RSUD Wangaya
dilaksanakan pada tanggal 28 Januari-20 Februari 2019 yang berlangsung selama
20 hari kerja (160 jam). Kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa Program Profesi
Apoteker Jurusan Farmasi Universitas Udayana selama mengikuti PKPA di
RSUD Wangaya meliputi kegiatan pemberian materi oleh apoteker terkait
pekerjaan kefarmasian di RSUD Wangaya, melakukan praktek kerja
pelayanan kefarmasian di apotek rawat inap dan rawat jalan, depo ruang
bedah sentral atau OK, poliklinik paru, ruang VCT, dan gudang obat.
Selain itu juga mendapatkan materi dan melakukan observasi pada unit Central
Strerilization Supplay Departement (CSSD) mengenai sterilisasi dan Sanitasi di
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) RSUD Wangaya dan juga melakukan
kegiatan visite mandiri yang didampingi oleh apoteker untuk pasien rawat inap di
Ruang Kasuari. Adapun uraian kegian PKPA di RSUD Wangaya dapat dilihat pada
tabel berikut ini.
Tabel 1. Uraian kegian PKPA di RSUD Wangaya
1 Bidang Aspek administrasi dan Perundang-undangan yang terkait
dengan Rumah Sakit dan Instalasi Farmasi Rumah Sakit
(IFRS)
Materi Pengarahan/Penjelasan dari Diklit dan Kepala Instalasi
Farmasi Rumah Sakit mengenai Administrasi dan
Perundang-undangan yang terkait dengan Rumah Sakit
dan Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
61
62
3.2 Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) di RSUD
Wangaya
3.2.1 Pengelolaan Perbekalan di Gudang Farmasi A dan B
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Salah satu contoh yaitu pelayanan
kefarmasian yang mana di RSUD Wangaya pelayanan kefarmasian tergolong
pelayanan penunjang medis. Pelayanan kefarmasian merupakan tolak ukur yang
digunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan yang merupakan pelayanan langsung dan bertanggungjawab kepada
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis
habis pakai (BMHP). Pelayanan kefarmasian merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan di RSUD Wangaya. Apoteker
khususnya yang bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk merealisasikan perluasan
paradigma pelayanan kefarmasian yaitu patient oriented. Pelayanan kefarmasian
dir Ssakit meliputi 2 kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (BMHP)
serta kegiatan pelayanan farmasi klinik. Hal tersebut berdasarkan pada Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 tahun 2016 agar dapat
menyediakan sediaan farmasi yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan
masyarakat.
RSUD Wangaya memiliki gudang farmasi yang melakukan pengelolaan
perbekalan farmasi dan Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) yang melakukan
pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai (BMHP). Pengelolaan perbekalan farmasi di gudang farmasi dilakukan
oleh apoteker RSUD Wangaya yang dibantu oleh staff dan tenaga teknis
kefarmasian (TTK). Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu
apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana farmasi,
ahli madya farmasi, dan analis farmasi. Pengelolaan perberkalan kefarmasian di
RSUD Wangaya dibagi menjadi 2 sistem yaitu perbekalan Farmasi A (Gudang
Farmasi A) dan Farmasi B (Gudang Farmasi B). Farmasi A dan Farmasi B
72
beredar di RSUD Wangaya merupakan tanggung jawab IFRS, sehingga tidak ada
pengelolaan di Rumah Sakit yang dilaksanakan selain oleh IFRS RSUD Wangaya.
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP merupakan suatu siklus
atau alur kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan,
pengendalian, serta administrasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan
kefarmasian.
3.2.2 Alur Pengelolaan Perbekalan Gudang Farmasi RSUD Wangaya
Alur pengelolaan perbekalan farmasi di RSUD Wangaya sebagai berikut:
1. Pemilihan
Langkah pertama dalam pengelolaan perbekalan farmasi adalah pemilihan,
yang dilakukan untuk menentukan apakah perbekalan farmasi benar diperlukan
sesuai dengan jumlah atau kunjungan pasien dan pola penyakit di RSUD Wangaya.
Pemilihan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP merujuk pada Panduan
Praktek Klinis (PPK), Formularium Nasional (FORNAS), Formularium JKN, dan
Formularium RS. Kriteria dasar pemilihan sediaan atau obat yaitu melihat relevan
atau tidaknya dengan perkembangan pola penyakit, memastikan kemanjuran dan
keamanan, memperhatikan efektifitas dan keamanannya, pengobatan berbasis
bukti, mutu, harga, kualitas dan ketersediaannya di pasaran. Apabila unit rumah
sakit mengajukan persediaan alat kesehatan baru akibat adanya kekosongan stok
dari distributor, maka Apoteker Penanggung Jawab akan mempertimbangkan
pengadaan alat kesehatan dengan persyaratan:
A. Harus tersertifikasi atau memiliki Certificate of Origin yang menjamin bahwa
alat kesehatan sudah teruji dan terstandarisasi. Harus memiliki ijin edar yang
dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sehinnga dapat
beredar di Indoensia.
B. Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) harus memiliki Material Safety Data
Sheet (MSDS).
C. Dokter dan atau perawat dari poli yang meminta pengajuan alat kesehatan dan
akan menjadi user, melakukan trial atau uji coba untuk menentukan
kelayakan. Pengadaan nantinya akan dilakukan apabila 2/3 seluruh user
74
melalui e-purchasing sesuai dengan kebutuhan yang telah direncanakan dan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Metode kedua baik gudang farmasi A maupun B
dilakukan dengan penunjukan dan pembelian langsung ke distributor terkait untuk
barang-baramg yang tidak tercantum di e-catalog, dan tentunya tetap
memperhitungkan harga dan kualitas. Satu faktur obat atau alat kesehatan bernilai
tidak lebih dari Rp 50.000.000,-. Pengadaan secara langsung dilakukan dengan
membuat surat pesanan (SP) sementara untuk masing-masing distributor.
Pengadaan secara langsung dilakukan setiap hari kerja dengan melakukan
pemesanan secara langsung ke PBF baik melalui telepon dan penyerahan surat
pesanan (SP) setelah barang pesanan datang. Pengadaan obat yang tergolong
narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi dilakukan dengan pemesanan
langsung ke PBF yang bertanggungjawab sebagai distributor yaitu Kimia Farma
menggunakan surat pesanan (SP). Alur pengadaan barang di gudang farmasi A dan
B di RSUD Wangaya dapat dilihat pada gambar berikut.
Obat alkes yang akan habis atau kosong, direkap dan dibuat oleh apoteker
bagian farmasi A dan B
4. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak
atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua dokumen terkait
penerimaan barang harus tersimpan dengan baik. Penerimaan sediaan farmasi di
RSUD Wangaya dilakukan oleh panitia penerimaan. Sediaan farmasi yang telah
dipesan, diterima dan diperiksa oleh panitia pemeriksaan barang, ditandatangani
dan diserahkan kepada penanggung jawab gudang untuk disimpan, yang diketahui
oleh Kepala Instalasi. Penerimaan sediaan farmasi pertama dilakukan dengan
pemeriksaan dan pencocokan berdasarkan lembar surat pesanan (SP), kedua
disesuaikan dengan faktur pengiriman barang dan dilakukan pemeriksaan
kesesuaian kondisi fisik barang datang oleh apoeteker dan dibantu staff atau asisten
apoteker. Pemeriksaan kondisi barang datang yang dilakukan dilakukan sesuai
faktur meliputi nama barang, jenis sediaan, jumlah atau kekuatan obat, tanggal
kadaluwarsa, no batch, waktu datang, dan waktu kirim. Kemudian pemeriksaan
kondisi fisik atau kualitas produk meliputi pemeriksaan kemasan, pemeriksaan
barang terkait keutuhan, bentuk, warna, suhu waktu datang (untuk sediaan yang
membutuhkan penyesuaian suhu seperti vaksin, insulin), dan waktu datang. Semua
dokumen terkait penerimaan sediaan farmasi pada gudang termasuk narkotika,
psikotropika dan prekursor harus sesuai. Apabila barang yang diterima tidak sesuai
dengan faktur barang maka barang dapat diretur sesuai perjanjian dengan pidahk
distributor. Apabila yang terjadi sebaliknya dalam faktur tidak sesuai dengan
barang yang diterima namun barang tesebut dalam kondisi cito, maka barang
tersebut diterima terlebih dahulu. Petugas instalasi farmasi akan mengembalikan
faktur tersebut dan meminta faktur baru yang sesuai dengan pesanan dan barang
yang diterima. Distributor akan membuat faktur baru sesuai dengan pesanan yang
diminta dan mengirimkan kembali barang yang diminta sesuai pesanan dengan
faktur yang baru. Faktur barang ditandatangani oleh petugas penerimaan barang dan
selanjutnya diserahkan kepada koordinator gudang dan diketahui oleh kepala
instalasi farmasi untuk diserahkan pada bagian Penunjang. Bagian Penunjang akan
77
mengesahkan dan menyerahkan faktur tersebut kepada bagian keuangan agar dapat
dilakukan klaim oleh pihak distributor.
5. Penyimpanan
Setelah barang diterima dilakukan penyimpanan sebelum pendistribusian.
Penyimpanan harus menjamin kualitas dan keamanan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan BMHP sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan
kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi,
cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan BMHP. Metode penyimpanan sediaan farmasi yang diterapkan di
gudang RSUD Wangaya menggunkaan metode alfabetis serta sistem FIFO FEFO
berdasarkan bentuk sediaan itu sendiri. Gudang farmasi A dan B masing-masing
memiliki rak kayu serta dialasi dengan pallet kayu untuk meletakkan sediaan sesuai
jenis dan bentuk sediannya. Kondisi penyimpanan di gudang farmasi A dan B juga
telah diatur untuk menjaga kualitas sediaan. Cara penyimpanan untuk sediaan yang
memerlukan suhu dingin atau sejuk disimpan di dalam cold chain untuk menjaga
mutu sediaan, sedangkan untuk sediaan yang tidak memerlukan kondisi khusus
disimpan dengan menggunakan rak kayu serta dialasi dengan pallet kayu sehingga
obat tidak langsung menyentuh lantai. Ruangan penyimpanan dilengkapi dengan
pendingin ruangan dan termometer untuk memantau suhu ruangan. Sediaan farmasi
yang tidak stabil pada suhu ruang disimpan dalam cold chain dengan suhu antara
2⁰C - 8⁰C. Sediaan farmasi seperti narkotika, dan psikotropika disimpan pada lemari
khusus dan untuk narkotika disimpan pada lemari kayu dengan dua pintu.
Penyimpanan obat yang tergolong High alert juga dokondisikan kusus yaitu
disimpan pada rak kaca kusus dan diberi label “TEMPAT PENYIMPANAN OBAT
HIGH ALERT” pada rak kacanya dan penandaan high alert pada masing-masing
sediaan obat untuk meningkatkan keamanan. High alert medication adalah obat
yang harus diwaspadai karena sering menyebabkan atau terjadi kesalahan serius
(sentinel event) dan obat yang berisiko tinggi menyebabkan reaksi obat yang tidak
diinginkan (ROTD). Kelompok obat high alert diantaranya obat yang terlihat mirip
dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/ NORUM, atau
Look Alike Sound Alike/LASA), elektrolit kosentrasi tinggi (Permenkes, 2014).
78
6. Pendistribusian
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka menyalurkan
atau menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP dari tempat
penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu,
stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu. Distribusi melibatkan unit-unit dalam
RSUD Wangaya dengan menggunakan sistem informasi terintegrasi antara bagian
farmasi, keuangan, dan ruangan. Unit-unit tersebut nantinya akan menggunakan
formulir lembar permintaan bahan habis pakai untuk melakukan pemesanan.
Pemesanan alkes atau BMHP biasanya dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan
selama satu minggu. Kemudian Bukti Permintaan Barang akan keluar dan
ditandatangani oleh petugas yang meminta barang dan petugas penyedia barang di
Farmasi A. Setelah itu, formulir ditandatangani oleh kepala unit. Data amprahan
(pesanan) selanjutnya akan diinput ke sistem informasi. Untuk BMH, setelah
dientry di computer oleh petugas maka stoknya akan dikosongkan yang
menandakan bahwa pada sistem barang tersebut telah habis. Untuk alat kesehatan
yang masuk dalam kategori BMHP seperti spuite, wing needle, blood set, maka
setelah dientry oleh petugas stok yang ada disistem dikurangi dengan jumlah yang
diminta oleh unit. Kemudian Bukti Permintaan Barang akan keluar dan
ditandatangani oleh petugas yang meminta barang dan petugas penyedia barang di
Farmasi A. Distribusi obat atau sediaan farmasi dilakukan berdasarkan amprahan
(pesanan) dari apotek dan depo OK setiap hari ke gudang farmasi B. Permintaan
barang dari apotek dilakukan melalui input langsung ke sistem informasi rumah
sakit menggunakan sistem informasi terkomputerisasi. Setiap pesanan dari apotek
dan depo OK langsung diterima digudang farmasi B kemudian di cetak. Pihak
gudang akan melayani pesanan tersebut sesuai dengan jumlah yang diminta dan
disesuaikan dengan jumlah obat yang tersedia di gudang, kemudian pesanan
tersebut diantarkan ke unit yang memesan beserta dengan bukti mutasi barang yaitu
ke apotek dan depo OK.
7. Pemusnahan dan Penarikan
Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP yang
tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan
80
mencatat nama, umur, jenis kelamis pasien, nama obat, serta jumlah OAT yang
diberikan pada pasien. Stok opname (SO) di IFRS RSUD Wangaya dilakukan tiap
akhir bulan (1 bulan sekali) untuk pengendalian. Kegiatan stok opname meliputi
mencetak stok (nama perbekalan farmasi dan jumlah) yang ada di sistem kemudian
dicocokkan dengan jumlah stok fisik yang ada di gudang farmasi dan kartu stok.
Stok harus sesuai dan seimbang antara stok fisik dengan sistem dicatat dalam kartu
stok. Apabila ada yang tidak sesuai antara kartu stok, jumlah fisik stok, dan sistem,
maka kartu stok disisihkan untuk dilakukan penelusuran kembali terkait riwayat
mutasi. Untuk menjaga keamanan gudang penyimpanan, gedung farmasi telah
dilengkapi dengan terali serta kunci pengaman dan hanya petugas yang
diperbolehkan keluar masuk area gudang farmasi. Pencatatan di gudang farmasi
menggunakan sistem informasi terkomputerisasi yang berisi pemasukan dan
pengeluaran sediaan farmasi. gudang farmasi akan melakukan stok opname setiap
bulannya.
9. Administrasi (Pencatatan dan Pelaporan)
Pelaporan perbekalan kesehatan dilakukan setiap bulan dan per tahun oleh
instalasi farmasi RSUD Wangaya. Pelaporan yang dilakukan setiap bulan oleh
Instalasi Farmasi yaitu:
a. Pelaporan pemakaian obat Narkotika secara online melalui Sistem Informasi
Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP).
b. Pelaporan penggunaan obat di rumah sakit dengan menggunakan formulir
evaluasi penggunaan obat (EPO) setiap tahun ke Dinas Kesehatan Provinsi
melalui e-mail.
c. Pelaporan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) setiap tahun melalui sistem e-
monev obat.
Selain itu, laporan rutin internal yang dibuat setiap bulan diantaranya:
a. Laporan berita acara opnam fisik persediaan farmasi
b. Laporan pembelian farmasi A dan B
c. Laporan pemakaian alkes bagi pasien jaminan kesehatan
d. Laporan pemakaian BMHP ke unit-unit pelayanan
e. Laporan pemakaian obat bagi pasien umum dan pasien jaminan
82
efisien, dan sesuai dengan Permenkes RI No. 72 tahun 2016 mengenai standar
pelayanan kefarmasian di rumah sakit. Obat-obat disimpan terpisah dengan alkes.
Penyimpanan obat dilakukan secara alfabetis, berdasarkan bentuk sediaan,
golongan obat, dan sifat distribusi obat ke pasien, serta telah diberikan penandaan
khusus untuk obat yang tergolong high alert. Obat dan alkes yang fast moving dan
obat berupa injeksi disimpan dibagian depan dekat loket penyerahan resep dan
pemberian KIE kepada pasien. Obat-obat yang tergolong fast moving di apotek
RSUD Wangaya adalah asam mefenamat, parasetamol, valesco, vitamin B
complex, anemolat (asam folat), atorvastatin 10 mg dan 20 mg, amlodipin 5 mg dan
10 mg, allopurinol, bisoprolol 2,5 mg (concor), dan ranitidin. Semua obat fast
moving ini telah dimasukkan ke dalam klip plastik dengan jumlah untuk
penggunaan selama 1 minggu yang rutin diresepkan. Metode ini dapat mempercepat
proses penyiapan obat pasien dan mempersingkat waktu tunggu pasien untuk resep
yang dibawa.
Sediaan-sediaan tablet generik disimpan dalam lemari kayu yang berisi palet.
Obat ditempatkan dalam box karton kemudian box karton diletakkan di pallet kayu
berdasarkan urutan alfabetis. Pihak apotek juga telah hati-hati dalam penyimpanan
sediaan farmasi yang tergolong dalam NORUM (Nama obat, rupa, ucapan obat
mirip). Obat-obat yang tergolong obat NORUM/ LASA disimpan dengan disela 2
box karton obat lain yang memiliki nama, pengucapan dan rupa yang berbeda. Pada
box karton obat yang tergolong LASA telah ditempeli stiker tulisan LASA
berwarna kuning. Selain itu juga diterapkan sistem penulisan TALMAN LATTER
dalam box obat untuk obat-obat yang tergolong LASA. Untuk obat-obat paten
diletakkan dalam lemari kayu yang berisi palet kusus untuk penyimpanan obat
paten dan bermerk sehingga memudahkan dalam pengambilan obat nantinya.
Penyimpanan obat paten dan bermerk juga diletakkan berdasarkan urutan alfabetis.
Obat-obat jenis sirup atau cairan diketakkan pada lemari yang berbeda dengan
bentuk lemari yang berbeda untuk menghindari obat-obat cair jatuh dan pecah.
Sedangkan untuk obat salep dan tetes mata juga diletakkan pada bagian lemari yang
berbeda dengan sistem peletakannya seuai urutan alfabetis. Obat-obat yang
tergolong high alert telah tersimpan tersendiri dalam lemari kayu khusus dan
84
diberikan label berbentuk segitiga berwarna merah dengan tulisan high alert pada
masing-masing item obat untuk menghindari penyalahgunaan jenis obat tersebut.
Obat-obat yang tergolong prekursor farmasi, psikotropika diletakkan pada
lemari tertutup berbeda an terpisah dengan golongan obat lainnya disertai dengan
pelabelan pada lemari yaitu tulisan PREKURSOR untuk sediaan prekursor, dan
PSIKOTROPIKA untuk sediaan psikotropika. Penyimpanan obat juga diletakkan
berdasarkan sistem alfabetis. Obat narkotika telah tersimpan di dalam lemari khusus
narkotika yang dilengkapi dengan pintu ganda dan terkunci. Khusus pada lemari
penyimpanan narkotika disediakan kartu stok manual yang wajib diisi jika
dilakukan pengambilan obat narkotika. Hal ini sebagai tindakan pencegahan
kehilangan stok obat. Khusus sediaan narkotika memiliki dua bukti pencatatan stok
harian barang yang terdiri dari kartu stok barang dan jumlah stok pada sistem
komputer. Teknik pencatatan dapat memudahkan pemeriksaan dan pengendalian
terhadap penggunaan dan kuantitas sediaan narkotika yang ada. Selanjutnya untuk
sediaan-sediaan yang tidak stabil terhadap suhu ruang, diletakkan dalam lemari cold
chain yang berisi keterangan suhu penyimpanan tersendiri. Suhu penyimpanannya
adalah 2o-8oC.
Selanjutnya obat-obat yang berada di apotek akan didistribusikan ke pasien,
baik pasien rawat jalan, rawat inap, IGD. Proses distribusi sediaan dan alkes
dilakukan dengan beberapa sistem yaitu sebagai berikut:
a. Sistem Resep Perorangan (Individual Precribing System)
Pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP dari apotek
berdasarkan resep perorangan atau pasien rawat jalan dan rawat inap melalui apotek
atau instalasi farmasi. Obat yang tersimpan di apotek selanjutnya akan disalurkan
ke pasien sesuai dengan resep yang dibawa langsung oleh pasien rawat jalan dan
rawat inap. Khusus penyaluran obat untuk pasien rawat inap di gedung praja amerta,
resep akan disiapkan dan diantarkan ke masing-masing nurse station secara
kumulatif berdasarkan resep atau permintaan obat sesuai kebutuhan setiap pasien.
b. Sistem ODD dan UDD
Pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP dari apotek
berdasarkan resep perorangan yang disiapkan dalam dosis satu hari (ODD) atau unit
85
dosis tunggal (UDD), untuk penggunaan satu kali dosis/pasien. Sistem ini
digunakan untuk pasien rawat inap. Distribusi obat ke pasien rawat inap semua
ruangan dan rawat inap di gedung Praja Amerta dilakukan berdasarkan resep atau
permintaan obat masing-masing perawat dengan penggunaan sistem distribusi
ODD (One Daily Dose Dispending) menggunakan resep dan lembar catatan
penggunaan obat (CPO). Obat diserahkan kepada pihak perawat di masing-masing
lantai gedung. Selanjutnya perawat akan medistribusikan obat kepada pasien rawat
inap dengan sistem UDD (Unit Dose Dispending) dengan cara mengemas obat ke
dalam klip plastik kecil yang diberikan label sesuai waktu penggunaan obat (pagi,
siang, sore, atau malam).
c. Sistem Persediaan Lengkap (Floor Stock)
Sistem persediaan lengkap (floor stock) ini disiapkan dan dikelola oleh
Instalasi Farmasi. Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
yang disimpan di ruang rawat harus dalam jenis dan jumlah yang sangat
dibutuhkan. Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas farmasi yang
mengelola (di atas jam kerja) maka pendistribusiannya didelegasikan kepada
penanggung jawab ruangan. Setiap hari dilakukan serah terima kembali
pengelolaan obat floor stock kepada petugas farmasi dari penanggung jawab
ruangan. Apabila digunakan oleh pihak ruangan, maka akan diresepkan sesuai
dengan jenis, jumlah, dan pasien yang menggunakan sehingga jumlah floor stock
diharapkan akan tetap setiap bulan. Untuk pengecekan yang dilakukan oleh farmasi
meliputi jumlah, expired date, dan suhu apakah sudah sesuai dengan standar yang
diberikan waktu pertama kali.
Wangaya, mencakup resep dengan jaminan kesehatan dan resep pasien tanpa
jaminan kesehatan (pasien umum/mandiri). Di Apotek RSUD Wangaya memiliki 2
(dua) loket pengambilan obat. Loket sebelah utara adalah loket untuk pengambilan
obat khusus pasien umum dan rawat inap yang hanya dibuka mulai pukul 07.30-
14.00 WITA, setiap Senin hingga Jumat, kecuali hari libur nasional. Loket sebelah
selatan buka 24 jam. Loket di apotek 24 jam melayani pasien dengan jaminan
kesehatan, pasien gawat darurat. Pasien rawat inap juga dilayani di apotek 24 jam,
namun hanya pada hari Libur. Kemudian dalam pelayanan resep akan dipisahkan
menjadi resep dengan jaminan kesehatan dan pasien umum untuk memudahkan
dalam pengumpulan arsip.
Untuk resep dengan pasien jaminan kesehatan biasanya disertai dengan
berkas bukti penggunaan jaminan dan memiliki administrasi pembayaran yang
berbeda dengan pasien umum serta obat yang diberikan secara gratis hanyalah yang
tercantum di dalam Formularium Rumah Sakit yang digunakan. Untuk pasien rawat
inap harus mengikuti persyaratan yaitu membawa lembar resep/CPO. Alur standar
pelayanan farmasi di unit rawat inap dapat dilihat pada gambar berikut.
kemasan, obat dalam bentuk cair diberikan dalam bentuk aslinya dan etiket
ditempelkan pada kemasan aslinya. Obat dalam bentuk sediaan khusus seperti
obat seperti obat tetes mata, tetes telinga, insulin, injeksi serta suppositoria
diberikan etiket dengan penandaan yang jelas untuk mencegah kesalahan
penggunaan obat. Proses peracikan sediaan yang dilakukan meliputi pembuatan
serbuk/pulveres, kapsul serta racikan salep. Sediaan racikan dikemas dalam klip
plastik dan ditempelkan etiket pada bagian luar plastik klip tersebut. Obat yang
disiapkan oleh apoteker untuk pasien rawat jalan diberikan untuk pemakaian obat
selama seminggu, sedangkan untuk pemakaian obat selama 30 hari maka sisa obat
yang belum diberikan dapat diambil di apotek kartini tanpa dituliskan pada salinan
resep. Obat yang tidak tersedia di apotek maka pasien diberikan salinan resep yang
akan ditebus nanti bila obat telah tersedia di apotek atau dapat ditebus diapotek lain
diluar apotek RSUD Wangaya.
Obat yang disiapkan dan telah diperiksa oleh apoteker selanjutya diserahkan
kepada pasien. Apoteker dibagian depan tersebut akan memeriksa kembali obat
sesuai resep, lalu memanggil nomor antrian dan nama pemilik resep. Apabila pasien
telah datang menghampiri loket, apoteker akan meminta pasien untuk menyebutkan
sendiri nama pasien yang bersangkutan untuk meminimalkan kesalahan pemberian
obat. Kemudian apoteker akan menjelaskan obat yang didapatkan oleh pasien
seperti jumlah obat, indikasi obat, cara minum dan efek samping yang sering
muncul. Setelah memberikan penjelasan, apoteker menanyakan kembali ke pasien
apakah penjelasan yang diberikan sudah di mengerti oleh pasien.
Peran apoteker dalam pelayanan farmasi klinis untuk pasien rawat inap
(visite) di RSUD Wangaya belum dapat dilakukan secara maksimal karena
keterbatasan jumlah apoteker. Saat ini jumlah apoteker di RSUD Wangaya adalah
10 orang (5 di gudang farmasi dan 5 di apotek). Jumlah tersebut masih kurang dan
belum sesuai dengan peraturan pemerintah mengenai jumlah apoteker di Rumah
Sakit tipe B. Pelayanan farmasi untuk pasien rawat inap dibantu tenaga teknis
kefarmasian untuk menyiapkan obat dan alkes yang dibutuhkan pasien sesuai
dengan resep, dan perawat membantu memberikan obat dengan sistem UDD
kepada pasien. Pelayanan obat injeksi serbuk kering yang perlu direkonstitusi,
90
dilakukan oleh perawat di ruang jaga karena belum tersedia sarana khusus untuk
rekonstitusi sediaan parenteral.
Sistem pembayaran terdapat sistem pembayaran langsung di kasir BPD Bali
dan sistem pembayaran bon. Biaya/tarif yang dikenakan pasien umum sesuai
Peraturan Walikota Denpasar No. 33 Tahun 2014, sedangkan untuk pasien JKN
diatur sesuai Permenkes No. 4 Tahun 2017.
3.3.2 Kegiatan Farmasi Klinik di Poli Paru
Kegiatan pelayanan farmasi klinik di Poliklinik paru langsung diberikan oleh
apoteker. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan hasil terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat sehingga tercapainya
patient safety (Depkes RI, 2016). Pelayanan kefarmasian bagi penderita TB
dilakukan agar penderita memperoleh obat dan informasi yang baik dan benar,
sehingga pasien dapat sembuh tuntas. Kegiatan farmasi klinik yang dapat dilakukan
oleh mahasiswa PKP Apoteker di poliklinik paru RSUD Wangaya menyiapkan
obat, memberikan konseling, menentukan tanggal kunjungan pasien selanjutnya
dan mencatat dibuku daftar kunjungan pasien, serta melakukan visite (kunjungan
ke ruang rawat inap pasien TB) untuk pasien yang baru dinyatakan TB. Semua
petugas yang berada di Poliklinik paru termasuk mahasiswa dan pasien
mengenakan masker sebagai alat pelindung diri mencegah penyebarana bakteri TB
dari pasien. Selain itu posisi petugas kesehatan searah dengan arah angin untuk
menghindari terpaparnya bakteri TB dari pasien,
Pemberian konseling obat TB oleh Apoteker bertujuan untuk
mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak
dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya
meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien (patient safety). Konseling
di poli paru berbeda dengan konseling yang diberikan untuk pasien lainnya karena
pengobatan TB harus dilakukan secara rutin dan teratur, serta pasien juga di
konseling mengenai pencegahan penularan TB ke anggota keluarga atau kerabat
dekat pasien. Informasi yang diberikan pada saat konseling seperti tidak sembarang
membuang dahak, selalu menutup mulut ketika batuk atau bersin, membuka jendela
dan pintu rumah agar sirkulasi udara terjaga.
91
4. Pelayanan Keperawatan
- Menyelenggarakan penanggulangan, pelayanan perawatan, dukungan, dan
pengobatan yang komprehensif bagi pasien TB.
- Membangun dan memperkuat sistem rujukan internal dan eksternal antara
pelayanan TB serta unit terkait lainnya.
5. Pelayanan Laboratorium
- Melaksanakan kegiatan laboratorium dalam menunjang tegaknya diagnosa
- Melaporkan dan mencatat hasil-hasil yang diperoleh dari semua pasien
tersangka TB sebagai laporan Tim TB-DOTS.
6. Pelayanan Radiologi
- Melaksanakan kegiatan radiologi dalam menunjang tegaknya diagnosa TB.
- Melaporkan dan mencatat hasil-hasil yang diperoleh dari pasien tersangka TB
sebagai laporan Tim TB-DOTS.
7. Pelayanan Farmasi
- Menjamin ketersediaan OAT.
- Menyerahkan OAT kepada pasien.
- Memberikan KIE kepada pasien dan keluarga pasien yang ditunjuk sebagai
Pemantau Minum Obat (PMO).
- Menjadwal kontrol pasien untuk mengambil obat selanjutnya dan
mencatatnya pada buku jadwal pengobatan pasien.
- Memantau kondisi pasien seperti efek samping yang muncul selama terapi
pengobatan yang dijalani pasien.
- Memastikan pasien meminum obat sesuai jadwal.
8. Kolaborasi TB/HIV
- Membantu mekanisme kolaborasi antara program pelayanan TB dan
pelayanan HIV/AIDS.
- Melaksanakan kegiatan teknis dan fungsional di bidang keahliannya.
- Menurunkan beban TB pada ODHA dan menurunkan beban HIV pada TB.
9. Pencatatan dan Pelaporan
Melakukan pencatatan dan pelaporan kejadian penyakit TB.
96
10. Administrasi
Membantu kegiatan pencatatan dan pelaporan kejadian penyakit TB.
Pelayanan kefarmasian di poli paru dilakukan oleh tenaga teknis kefarmasian
yang dibantu dengan tenaga keperawatan dan tenaga administrasi. Adapun tugas
utama yang dilakukan dalam pelayanan kefarmasian yaitu:
- Menyiapkan obat
- Menyerahkan obat kepada pasien
- Memberikan KIE kepada pasien dan keluarga pasien
- Menentukan jadwal kembali pasien untuk pengambilan obat berikutnya
dan melakukan pencatatan pada buku jadwal pengobatan pasien
- Memantau kondisi pasien seperti efek samping yang muncul selama pasien
mengkonsumsi obat
- Memastikan pasien meminum obat sesuai jadwal dan teratur
- Mencatat kartu pengobatan pasien
BB menurun dan sebagainya maka dokter akan merujuk pasien untuk melakukan
tes laboratorium (BTA test atau rontgen).
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan seperti berikut.
S(sewaktu) : Dahak yang dikumpulkan saat pertama kali datang ke poli paru.
Proses ini dipantau oleh petugas kefarmasian.
P(pagi) : Dahak yang diambil pada saat pagi hari sebelum makan dan
diawali dengan berkumur
S2(sewaktu) : Dahak yang diambil saat pasien datang ke poliklinik paru untuk
mengantar dahak pagi (Kemenkes RI, 2011)
Ketiga dahak tersebut kemudian diserahkan ke laboratorium RSUD
Wangaya. Intepretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD
(International Union Against Tuberculosis and Lung Tuberculosis) yang
merupakan rekomendasi dari WHO ditunjukan pada tabel 4.
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT (non fluoroquinolon).
c. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa,
efusi pericarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptysis
berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).
Pemeriksaan dan diagnosa pasien yang menunjukkan hasil negatif (-) TB
maka pasien tidak diberikan OAT. Dokter hanya meresepkan obat sesuai dengan
keluhan pasien (simptomatis) dan pasien dapat menebus obat tersebut di apotek
rumah sakit. Pasien dengan hasil pemeriksaan laboratorium dan diagnosa TB (+)
maka pasien diarahkan menuju bagian farmasi TB DOTS di Poliklinik Paru.
Petugas farmasi akan menjelaskan mengenai penyakit TB yang diderita oleh pasien
dan sistem pengobatan akan dijalani oleh pasien tersebut (Kemenkes RI, 2011).
Setelah pasien benar-benar memahami penyakit yang dideritanya, maka
petugas farmasi akan menyiapkan OAT sesuai dengan kebutuhan pasien dan
meminta pasien untuk menunjuk salah satu anggota keluarga atau kerabat
terdekatnya sebagai Pemantau Minum Obat (PMO). Pemantau Minum Obat
diperlukan untuk memastikan bahwa pasien telah meminum obatnya secara rutin
dan tepat waktu agar tidak terjadinya putus obat yang mengakibatkan penyakit yang
diderita pasien menjadi lebih parah. Sedangkan untuk pasien yang rawat inap yang
akan mengkonsumsi obat TB maka petugas farmasi akan melakukan visite ke ruang
rawat pasien untuk melakukan KIE mengenai pengobatannya dan meminta
persetujuan pasien untuk melakukan pengobatan dengan teratur. Selain itu, pasien
juga diberitahukan mengenai efek samping yang mungkin timbul akibat
penggunaan obat TB tersebut.
(Kemenkes RI, 2011)
d. Pengelolaan OAT
Pengelolaan OAT di poliklinik paru RSUD Wangaya berada dibawah
tanggung jawab petugas farmasi yang bertugas di poliklinik paru tersebut. Petugas
farmasi akan melakukan permintaan OAT ke gudang farmasi A apabila OAT akan
habis dan permintaan tersebut dicatat pada kartu stok obat. Untuk memenuhi
99
kebutuhan obat di gudang farmasi, bagian gudang yang dibantu dengan petugas
farmasi di Poliklinik Paru melakukan permintaan obat ke Dinas Kesehatan Kota
Denpasar. Permintaan ke gudang farmasi Dinas Kesehatan Kota tersebut dilakukan
setiap sebulan sekali. Jumlah permintaan obat dihitung bedasarkan data jumlah obat
yang dibutuhkan RSUD Wangaya selama selama 1 bulan (metode konsumsi selama
1 bulan) kemudian dikurangi dengan jumlah stok obat yang tersisa di gudang
farmasi RSUD Wangaya. Alur permintaan, distribusi dan pelaporan logistik OAT
dapat dilihat pada Gambar 8.
kehamilan, infeksi oportunistik, status TB, obat ARV yang diberikan beserta dosis,
efek samping obat ARV, dan jumlah CD4.
Tabel 5. Panduan Lini Pertama pada Pasien yang belum pernah ARV
yang signifikan terhadap obat yang digunakan, pemberian obat disertai konseling
yang meliputi aturan pakai obat, efek samping dari obat yang diberikan serta
penggunaan obat yang tidak boleh terputus karena dapat memperburuk kondisi
pasien. Kepatuhan pada terapi adalah sesuatu keadaan pasien mematuhi
pengobatannya (minum obat teratur) atas dasar kesadaran sendiri, bukan karena
mematuhi perintah dokter. Kepatuhan harus selalu dipantau dan dievaluasi secara
teratur pada setiap kunjungan. Kepatuhan pasien sangat diperlukan untuk mencapai
supresi virologis yang baik. Penelitian menunjukkan bahwa untuk mencapai tingkat
supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis tidak boleh
terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul jika pasien sering lupa minum obat.
Kerjasama yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien serta komunikasi dan
suasana pengobatan yang baik akan membantu pasien untuk patuh minum obat.
Pemantauan klinis dapat dilakukan pada rekam medis dan kartu pengambilan
obat ARV. Kartu pengambilan obat berfungsi untuk mengingatkan pasien agar
datang kembali ke klinik VCT secara rutin sesuai tanggal yang telah ditentukan
untuk melakukan kontrol, sehingga pasien dapat melakukan pengobatan secara
berkesinambungan. Kepatuhan pasien dapat dipantau dengan menghitung sisa obat
yang ada dan laporan dari keluarga atau pendamping yang membantu pengobatan.
Konseling kepatuhan dilakukan pada setiap kunjungan dan dilakukan secara terus
menerus dan berulang kali dan perlu dilakukan tanpa membuat pasien merasa
bosan.
Monitoring terapi yang dilakukan pada pasien meliputi berat badan, status
kehamilan, infeksi oportunistik, status TB, obat ARV yang diberikan serta dosis,
efek samping obat ARV, dan jumlah CD4. Obat-obat ARV yang terdapat di RSUD
Wangaya merupakan hibah dari pemerintah karena merupakan obat program
sehingga pasien tidak dikenakan biaya untuk pengambilan obat karena telah
ditanggung oleh BPJS. Dalam melakukan amprah obat, apoteker atau petugas yang
bertugas di poli VCT akan mengisi lembar daftar permintaan obat ke gudang
farmasi A secara manual. Proses perencanaan pengadaan jumlah obat ARV
dirancang oleh apoteker dengan buffer stock sebanyak persediaan selama 3 bulan.
Lembar permintaan obat selanjutnya diserahkan kepada pihak gudang farmasi A
111
untuk dipersiapkan obatnya. Apabila obat telah disiapkan, maka pihak gudang akan
mengirimkan obat ke klinik VCT-Merpati. Apoteker atau petugas VCT yang
menerima obat akan menghitung obat yang diterima, menata obat di lemari obat
serta mengisi kartu stok masing-masing obat.
Setiap dilakukan pelayanan farmasi selalu dilakukan pencatatan jumlah obat
yang diberikan pada lembar pencatatan pengambilan obat harian. Lembar tersebut
membantu apoteker untuk memonitor stok obat dan penggunaan obat pasien.
Jumlah obat yang dikeluarkan setiap hari dan tercatat pada lembar tersebut akan
direkap oleh apoteker dan diperiksa kesesuaiannya dengan stok setiap hari sehingga
jumlah ketersediaan stok obat terkendali dan berguna untuk penyusunan
rekapitulasi kebutuhan obat. Selain itu, ODHA yang datang ke Klinik VCTMerpati
juga diberikan kartu kecil yang mudah untuk dibawa setiap kontrol dan diisi setiap
pengambilan obat. Isi dari kartu tersebut adalah identitas pasien, tanggal kedatangan
pasien, obat yang digunakan, tanggal kontrol kembali. Pencatatan pada kartu ini
bertujuan untuk membantu apoteker dan tenaga kesehatan untuk memonitoring
kepatuhan penggunaan obat pasien. Dokumen lainnya yang dimanfaatkan adalah
lembar follow up pasien, catatan penggunaan obat, hasil laboratorium pasien dan
dokumen lainnya yang telah disimpan dalam rekam medis masing-masing pasien.
Apoteker di VCT juga bertugas melakukan pelaporan penggunaan obat setiap
bulan sebanyak 5 rangkap dengan tembusan ke Dirjen Bina Upatya Kesehatan
ditujukan kepada direktur BUK rujukan, Dirjen PP&PL yang ditujukan kepada
Direktur PPMLUD, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Kepala Dinas
Kesehatan Kabupoaten/ Kota Denpasar, dan sebagai arsip. Pelaporan lainnya yang
dilakukan oleh apoteker adalah pelaporan secara online melalui Sistem Informasi
HIV/AIDS dan IMS (SIHA). Laporan ini diperlukan untuk melakukan perencanaan
kebutuhan obat ARV untuk RSUD Wangaya serta melaporkan jumlah pasien yang
menjalani terapi ARV lini 1 dan lini 2 di RSUD Wangaya. Laporan SIHA yang
telah dibuat juga dikirimkan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Bali sebanyak 2
rangkap, kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota sebanyak 1 rangkap, dan 1
lembar sebagai arsip di bagian VCT-Merpati RSUD Wangaya.
112
terintegrasi, dan form rekonsiliasi obat. Pada bagian form rekonsiliasi obat,
apoteker menanyakan pengobatan apa saja yang diterima pasien sebelum masuk
rumah sakit, dan apakah obat tersebut dilanjutkan untuk dikonsumsi atau tidak.
Ketika visite kondisi pasien menjadi perhatian utama yang harus ditanyakan oleh
Apoteker, apakah keluhan pasien sebelum masuk rumah sakit sudah dapat teratasi
selama pasien dirawat atau ada yang bertambah parah. Karena pasien notabene
adalah anak-anak, maka Apoteker yang bertugas memberikan KIE (Konseling,
Informasi dan Edukasi) kepada orang tua atau pendamping dari pasien, sehingga
pengobatan pasien dapat terkontrol dengan baik dan tujuan terapi tercapai. KIE
yang harus diberikan Apoteker terkait obat-obat yang diterima oleh pasien selama
dirawat dirumah sakit, dimana Apoteker menjelaskan nama obat, indikasinya, jalur
pemberian obat, aturan pakai atau dosis yang diberikan, serta adanya kemungkinan
efek samping yang akan dirasakan oleh pasien sehingga pendamping pasien tidak
panik.
Selama visite dan KIE Apoteker dapat mengetahui apakah tujuan terapi yang
diinginkan telah tercapai atau belum, apabila adanya interaksi antara obat-obat yang
diterima pasien ataupun adanya keluhan pasien yang belum teratasi, maka Apoteker
dapat menyarankan terapi tambahan kepada perawat yang bertugas untuk
selanjutnya diinformasikan kepada dokter yang bertanggung jawab terhadap pasien
tersebut. Sehingga dalam menjalankan pelayanan farmasi klinik Apoteker tetap
harus menjaga hubungan komunikasi yang baik antar profesi apoteker, perawat dan
dokter untuk mencapai tujuan terapi yang diinginkan.
3.3.5 Pelayanan Farmasi di Depo Ruang Operasi (OK)
Depo OK atau depo ruang farmasi adalah tempat penyimpanan dan distribusi
obat dan alat kesehatan khusus untuk kegiatan operasi. Depo ini terletak didekat
kamar operasi dan berfungsi untuk mempermudah dalam menyediakan sediaan
farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya yang berhubungan dengan kegiatan di
kamar operasi. Penanggung jawab depo ini adalah seorang asisten apoteker. Depo
OK bertugas untuk memberikan atau memfasilitasi petugas operasi meliputi dokter
dan perawat untuk mendapatkan obat dan alat kesehatan yang diperlukan untuk
operasi yang akan berlangsung ataupun selama operasi berlangsung. Sumber
114
sediaan farmasi yang terdapat pada depo farmasi berasal dari gudang Farmasi
RSUD Wangaya, dimana obat-obatan dan alat kesehatan tersebut dibagi menjadi
dua, yaitu yang digunakan untuk anestesi (total dan blok) dan untuk pembedahan
(operasi).
Tenaga kefarmasian yang bertanggung jawab di depo OK ini bertugas untuk
menyiapkan alat-alat kesehatan, injeksi untuk anestesi ataupun obat-obatan lain
yang diperlukan untuk operasi yang akan berlangsung. Setiap operasi atau
pembedahan yang dilakukan memerlukan alat dan obat yang berbeda, sehingga
untuk mempermudah pekerjaan, tenaga kefarmasian memiliki catatan sendiri (list
standar) terkait yang perlu dipersiapkan sesuai dengan jenis operasinya, misalnya
untuk operasi hernia, amandel, katarak ataupun yang lainnya; sehingga dokter atau
perawat tidak perlu menyebutkan satu per satu obat dan alat kesehatan yang
diperlukan. Berikut adalah list injeksi dan alat kesehatan yang dipersiapkan untuk
proses anestesi.
a. General Anestesi
Cedantron 4/8 inj; Ondansentron inj, Dexamethasone inj, Ephedrin inj, Asam
Tranexamat inj, Fentanyl inj, Lidocain inj, Catapres inj, Neostigmin inj, Propofol
inj, Atropin sulfas inj, Atracurium, Noveron inj, Tramadol inj, Ketorolac inj,
Ranitidine inj, Diphenhidramine inj, Midazolam inj.
Widahes 6% infus, Dextrose 5% infus, Ringer Laktat infus, NaCl 100 cc, Spuit
1 cc, Spuit 3 cc, Spuit 5 cc, Spuit 10 cc, Spuit 20 cc, Wing Needle 25 G,
Electroda, Gelang Kuning, Needle 18, 3 Way berekor, Underpad, Filter atau
Barier Bag.
b. Blok Anestesi
Cedantron 4/8 inj; Ondansentron inj, Dexamethasone inj, Ephedrin inj, Asam
Tranexamat inj, Fentanyl inj, Lidocain inj, Catapres inj, Neostigmin inj,
Bupivacaine (Regivel) inj, Atropin sulfas inj, Atracurium, Noveron inj,
Tramadol inj, Ketorolac inj, Ranitidine inj, Diphenhidramine inj, Midazolam inj.
Widahes 6% infus, Dextrose 5% infus, Ringer Laktat infus, NaCl 100 cc, Spuit
1 cc, Spuit 3 cc, Spuit 5 cc, Spuit 10 cc, Spuit 20 cc, Wing Needle 25 G,
115
Electroda, Gelang Kuning, Needle 18, 3 Way berekor, Underpad, Filter atau
Barier Bag.
Selain itu terdapat pula beberapa injeksi narkotika, psikotropika dan high alert
yang penyimpanannya dipisahkan di Depo OK, antara lain:
1. Injeksi Narkotika
Pethidin HCl, Morfin HCl, dan Fentanyl.
2. Injeksi Psikotropika
Midazolam (Miloz), Diazepam, dan Amiodarone HCl.
3. High Alert
Natrium Phenitoin, Norephineprine, Ephineprine, Nicardipine HCl, Dopamine
(Udopa), Nifedipine tablet, Amlodipine tablet yang diberikan secara sub lingual
apabila tekanan darah pasien tinggi sebelum operasi berlangsung, Fasorbid
(ISDN), Sodium Bicarbonate (Meylon), Dobutamine (Doburan), Calsium
Gluconate, Heparin Sodium (Inviclot).
Penanggung jawab depo farmasi RSUD Wangaya adalah seorang tenaga
teknis kefarmasian yang cakupan tugasnya hanya meliputi pengelolaan perbekalan
farmasi. Pengelolaan perbekalan farmasi yang dilakukan mencakup proses
perencanaan, pengadaan, penyimpanan, distribusi serta pencatatan dan pelaporan.
3.4 Unit Instalasi Sterilisasi Sentral (Central Sterilization Supply
Department/CSSD)
3.4.1 Fungsi, Tugas, dan Wewenang CSSD
Unit kerja CSSD (Central Sterilization Supply Department) atau Instalasi
Pusat Sterilisasi merupakan unit yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan
proses pencucian/dekontaminasi, pengemasan, dan sterilisasi semua alat dan bahan
yang diperlukan dalam kondisi steril di rumah sakit.
Fungsi Instalasi Sterilisasi Sentral:
1. Menerima dan memilah bahan-bahan kotor yang digunakan di rumah sakit
2. Menentukan apakah barang-barang tersebut akan digunakan kembali atau
dibuang
3. Melaksanakan proses dekontaminasi atau desinfeksi sebelum disterilisasi
4. Melaksanakan pembersihan khusus dari peralatan dan bahan-bahan
116
6. Mengarahkan semua aktivitas staf yang berkaitan dengan supply alat medis
steril bagi perawatan pasien di rumah sakit.
7. Menentukan metode yang efektif bagi penyiapan dan penanganan
alat/bahan steril.
8. Bertanggung jawab agar staf mengerti akan prosedur dan penggunaan mesin
strilisasi secara benar.
9. Memastikan bahwa teknik aseptis diterapkan pada saat penyiapan dan
penanganan alat steril baik yang sekali pakai atau pemakaian ulang.
10. Melakukan seleksi untuk calon tenaga di pusat sterilisasi, menyiapkan
konsep dan rencana kerja serta melakukan evaluasi pada waktu yang telah
ditentukan.
11. Membuat laporan kinerja steriliasi.
bertujuaan agar alat ataupun linen dalam kondisi kering sebelum menjalani proses
sterilisasi, menghindari timbulnya karat dan memudahkan pengambilan, alat ini
dapat juga digunakan untuk mencuci peralatan yang telah dilakukan proses
perendaman tetapi akan membutuhkan waktu yang lama oleh karena itu pencucian
dilakukan dengan mengkombinasikan dengan mesin dan manual, sehingga alat ini
lebih sering digunakan untuk mengeringkan instrumen yang telah di cuci dan
direndam dengan enzim protease. Ketika akan menggunakan mesin washer and
drying dipastikan terlebih dahulu bahwa mesin telah dikalibrasi dan siap digunakan.
tergantung pada jenis barang yang akan disterilisasi. Barang yang terbuat dari karet,
kaca, dan barang sensitif terhadap panas disterilisasi pada suhu 121°C selama 20
menit, sedangkan untuk linen, kapas, kasa dan instrumen disterilisasi pada suhu
134°C selama 7 menit. Penentuan keberhasilan proses sterilisasi dapat diamati
melalui proses kontrol alat dan penggunaan indikator. Berikut indikator yang
digunakan untuk memastikan proses sterilisasi berjalan dengan baik:
Indikator Mekanik
Penggunaan indikator mekanik ini adalah dengan mengamati parameter-
parameter proses sterilisasi yang tercantum dalam monitor alat autoklaf, seperti
suhu, tekanan, dan waktu.
Gambar 16. Mesin Autoklaf dengan Indikator Mekanik pada Layar Monitor
Indikator Kimiawi
Indikator kimiawi dapat dilaksanakan menggunakan Tes Bowie Dick yang
merupakan indikator internal. Tes Bowie Dick dilakukan dengan cara memasukkan
kertas indikator ke dalam autoklaf selama ±2 menit. Kertas indikator Bowie Dick
akan mengalami perubahan warna dari biru ke merah muda. Apabila perubahan
warna tidak merata, menunjukkan bahwa vakum dalam autoklaf tidak dalam
kondisi yang baik sehingga terjadi kebocoran udara. Perubahan warna yang
sempurna menunjukkan vakum pada autoklaf dalam kondisi yang baik dan siap
digunakan untuk proses sterilisasi. Selain itu, dapat digunakan kertas indikator
internal. Apabila alat-alat telah disterilisasi dengan baik, maka indikator internal
yang dipasangkan akan berubah warna menjadi hitam.
124
(A) (B)
Gambar 17. (A) Bowie Dick Test; (B) Indikator Internal
Indikator Biologi
Untuk menjamin hasil dari proses sterilisasi yang dilakukan maka dilakukan
evaluasi sterilisasi dengan indikator biologi yaitu dengan memasukkan tabung yang
berisikan spora bakteri Bacillus stearothermopilus ke dalam mesin autoklaf
kemudian setelah proses selesai maka tabung akan dipecahkan dan diinkubasi pada
alat khusus (inkubator) dalam kurun waktu 12 jam. Penggunaan bakteri Bacillus
stearothermopilus dalam indikator biologi karena karakteristiknya yang tahan
terhadap panas sehingga dianggap bakteri yang paling susah dimusnahkan. Selain
itu, dilakukan uji mikrobiologi yang idealnya dilakukan setiap 3 bulan sekali
dengan metode swab. Hasil swab selanjutnya akan diinkubasi pada media dan
diamati adanya pertumbuhan bakteri atau tid ak terdapat pertumbuhan bakteri.
(A) (B)
Gambar 18. (A) Bakteri Bacillus stearothermopilus; (B) Inkubator biakan Bakteri
g. Penyimpanan
Setelah melakukan proses sterilisasi dengan autoklaf maka dilakukan
pemeriksaan terlebih dahulu dengan melihat indikator eksternal dan internal, yaitu
tape indicator yang berubah warna menjadi hitam dan garis pada pouches yang
125
Pencucian / pembersihan
Pengeringan / penyusunan
Pengepakan / pengemasan
Pemberian label
Proses sterilisasi
Pendistribusian
Pencatatan
b. Pemisahan
Proses ini merupakan kegiatan untuk memisahkan linen yang berwarna dan
tidak berwarna dan memisahkan linen yang terkena bahan infeksius. Proses
pemisahan bertujuan agar tidak adaya kontaminasi silang, sehingga nantinya linen
infeksius akan terpisah secara khusus dalam proses pencucian dengan linen non
ifeksius
c. Pencucian
Linen yang telah dipisahkan dimasukan ke dalam mesin washing dan untuk
linen yang terkena bahan infeksius dimasukan ke dalam mesin washing yang
berbeda. Berikut proses pencuciannya:
Tahap pertama, proses perendaman dengan memasukkan linen ke dalam
mesin washing, kemudian diberikan emulsifier yang digunakan untuk
melarutkan lemak dan cairan tubuh selama 15 menit
Tahap kedua, detergen ditambahkan ke dalam linen yang telah direndam
dan mesin washing akan bekerja selama 15 menit
Tahap ketiga, densifektan ditambahkan ke dalam mesin washing untuk
membunuh bakteri yang masih terdapat pada linen. Cairan desinfektan
yang di gunakan adalah klorin (linen yang tidak berwarna), oksigen dan
hidrogen peroksida ( linen yang berwarna)
Tahap keempat, penambahan bahan kimia alkali untuk menetralkan hasil
reaksi dari proses densifeksi sebelumnya
Tahap kelima, penambahan softener untuk melembutkan linen yang telah
dibersihkan.
d. Pengeringan
Linen yang telah dicuci kemudian dikeringan pada mesin drying selama
kurang lebih 15 menit. Proses ini bertujuan untuk mengeringkan linen yang telah
dicuci sehingga dapat siap digunakan kembali.
e. Pelipatan linen
Linen yang telah di keringkan kemudian didistribusikan ke dalam ruang
pelipatan. Pada ruangan ini, linen yang sudah kering disetrika dan dilipat kemudian
129
langsung dikemas secara manual. Linen pada proses ini juga diberikan parfum
sebagai pengharum, kemudian linen akan dipisahkan kembali sesuai dengan catatan
jumlah dari masing masing ruangan sebelum dicuci. Linen tersebut kemudian akan
didistribusikan ke ruangan.
f. Distribusi
Linen yang telah siap didistribusikan adalah linen yang telah mengalami
pemeriksaan kembali dan pelipatan. Proses ditribusi akan dilaksanakan oleh
petugas ruangan, yang akan mengambil sendiri linen siap pakai pada ruang
distribusi.
Berikut adalah alur proses pencucian linen atau Laundry di RSUD Wangaya:
Pencucian / pembersihan
Pengeringan
Distribusi
3.5 Sanitasi
Pengelolaan sanitasi di RSUD Wangaya Kota Denpasar berada dibawah
Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit (IPSRS). Tugas dari IPSRS adalah
130
melakukan pengelolaan limbah cair, pengelolaan limbah padat, limbah gas, dan
manajemen kesehatan lingkungan di RSUD Wangaya. Menurut Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, limbah rumah sakit adalah semua
limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair dan gas.
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) perlu melakukan koordinasi terkait
pengelolaan limbah dengan bagian IPSRS. Hal tersebut terkait dengan pelaksanaan
pekerjaan kefarmasian di RS oleh apoteker di IFRS yang bertanggung jawab
terhadap pengelolaan obat dan bahan medis habis pakai (BMHP). Pada pengelolaan
obat dan BMHP tersebut terdapat proses pemusnahan sesuai dengan Standar
Pelayanan Kefarmasian di RS. Proses pemusnahan melibatkan IPSRS karena setiap
item obat dan BMHP yang akan dimusnahkan merupakan limbah rumah sakit yang
kemudian akan diolah oleh IPSRS. Terdapat pula obat dan BMHP yang
mengandung Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), sehingga pada proses
pemusnahan diperlukan perlakuan khusus agar limbah B3 tidak mencemari
lingkungan dan keamanan pasien serta staf RS dari kontaminasi limbah B3 dapat
terjamin.Mahasiswa Apoteker mendapatkan penjelasan dari Ibu Muvida dari
Bagian Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan terkait pengelolaan limbah di RSUD
Wangaya. Berdasarkan pemaparan yang diberikan, adapun jenis limbah yang
dikelola yaitu limbah cair, limbah padat, limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(B3), dan limbah gas. Pemaparan terkait masing-masing pengelolaan limbah akan
dipaparkan sebagai berikut.
3.5.1 Pengelolaan Limbah Cair
Menurut Kepmenkes No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, limbah cair adalah semua air buangan
termasuk tinja yang berasal dari kegiatan rumah sakit yang kemungkinan
mengandung mikroorganisme, bahaya kimia beracun dan radioaktif yang
berbahaya bagi kesehatan. Pengelolaan limbah cair di RSUD Wangaya Kota
Denpasar dilakukan oleh Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang bertujuan
untuk menampung dan mengelola air limbah dari seluruh jaringan pembuangan air
limbah yang terdapat di RSUD Wangaya sehingga dapat memenuhi batasan baku
131
mutu air limbah serta tidak mencemari lingkungan sekitar. Pengelolaan limbah cair
di lingkungan RSUD Wangaya Kota Denpasar dilakukan dengan sistem biofilter.
IPAL sistem biofilter adalah IPAL yang dalam prosesnya memanfaatkan
biomassa/bakteri yang dilekatkan dan tumbuh pada media untuk menguraikan
polutan dan zat-zat organik dalam air limbah. Sistem tersebut dapat menurunkan
kandungan zat organik dalam air limbah seperti BOD, COD, ammonia, padatan
tersuspensi (TSS), fosfat dan lain-lain sehingga air output proses IPAL dapat
memenuhi mutu effluent sesuai peraturan yang dipersyaratkan oleh pemerintah
dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah
Sakit. Adapun tahapan pengolahan limbah cair di IPAL RSUD Wangaya yaitu:
a. Bak equalisasi
Limbah cair dari masing-masing ruangan ditampung ke dalam satu wadah
yaitu bak equalisasi. Di IPAL RSUD Wangaya terdapat tiga bak equalisasi, dimana
di dalam setiap bak ini terjadi proses equalisasi yang bertujuan untuk
menghomogenkan limbah cair yang datang dari sumber limbah dengan kuantitas
dan kualitas yang berbeda.
b. Bak aerasi
Selanjutnya limbah cair dialirkan menuju bak aerasi. Pada bak aerasi akan
terjadi penguraian limbah yang belum terdegradasi pada tahap sebelumnya. Proses
penguraian dilakukan secara organik dengan bantuan mikroorganisme aerob. Di
bak aerasi, zat-zat organik diubah kedalam bentuk karbon dioksida dan air, serta
akan dihasilkan sejumlah energi sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak.
Pada bak aerasi juga terdapat blower yang bekerja terus selama 24 jam untuk
memberikan suplai udara agar tidak menimbulkan bau dan menjaga bakteri aerob
yang menguntungkan untuk proses penguraian tetap hidup. IPAL RSUD Wangaya
memiliki tiga bak aerasi, yang terdiri dari dua bak aerasi dengan pengadukan tinggi
dan satu bak aerasi dengan pengadukan rendah. Setelah diuraikan, air limbah
selanjutnya dialirkan menuju bak sedimen (bak prasedimenentasi dan bak
sedimentasi).
132
tersebut terdapat ikan sebagai indikator terhadap kebersihan air yang telah diolah
melalui IPAL. Sebelum air hasil pengolahan limbah cair dialirkan ke lingkungan,
maka dilakukan pengkondisian air hasil olahan terhadap lingkungan, dimana
didalamnya terdapat kolam ikan yang dapat diamati kehidupannya. Secara singkat
dan dapat disimpulkan jika ikan dapat hidup dengan baik maka air olahan
diperkirakan telah memenuhi baku mutu. Air hasil pengolahan limbah cair di
RSUD Wangaya dibuang ke Sungai Badung sebagai tempat pembuangan air
limbah yang telah diolah. Air limbah pada bak penampungan akhir ini seharusnya
sudah memenuhi baku mutu air limbah sesuai dengan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah. Oleh karena
itu, untuk melakukan kontrol terhadap mutu air limbah yang dihasilkan pihak
RSUD Wangaya melakukan pemeriksaan hasil pengelolaan limbah cair yang
dilakukan sebulan sekali di laboratorium Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Beberapa
indikator yang diperiksa terkait mutu air limbah di fasilitas pelayanan kesehatan
antara lain organoleptis, suhu, pH, BOD, COD, kandungan logam berat dan bahan
B3, dan total coliform.
(A) (B)
(C) (D)
Gambar 21. Instalasi Pengolahan Air Limbah RSUD Wangaya. (A) Bak
equalisasi; (B) Bak aerasi; (C) Bak klorinisasi; (D) Bak indikator
134
Limbah
infeksius, Plastik kuat dan anti
3. Kuning
patologi dan bocor atau kontainer
anatomi
Limbah
Kantong plastik atau
5. kimia dan Cokelat -
kontainer
farmasi
b. Pengumpulan
Proses pengumpulan limbah medis dari setiap ruangan dilakukan oleh
petugas kebersihan.
c. Pengangkutan
Pengangkutan limbah medis dari setiap ruangan dilakukan menggunakan
gerobak khusus yang dapat menampung beberapa kantong secara sekaligus.
Pengangkutan dilakukan dari setiap ruangan menuju ke tempat pengolahan yaitu
insenerator.
d. Pengolahan
Pengolahan limbah medis yang dimaksudkan disini adalah proses
pembakaran dengan menggunakan incinerator. Pembakaran dilakukan pada suhu
800-10000C sampai limbah menjadi abu. Kapasitas limbah padat yang dibakar
adalah sebanyak 100 kg yang menghasilkan residu lebih kurang 10 kg.
e. Pengolahan Lanjutan
Abu dari sisa pembakaran ini kemudian dikemas dalam wadah khusus untuk
selanjutnya diangkut oleh pihak ketiga.
lingkungan limbah medis padat. Adapun biaya pengelolaan untuk limbah B3 adalah
3 juta rupiah per drum limbah, sedangkan untuk limbah lampu bekas 2 juta rupiah
per drum lampu bekas.
3.5.4 Pengolahan Limbah Gas
Limbah yang berupa gas di RSUD Wangaya dapat berasal dari genset (jika
listrik padam), dapur, dan insenerator. Gas tersebut langsung dibuang tanpa
mengalami proses pengolahan terlebih dahulu tetapi rutin dilakukan pemeriksaan
emisi gas buang setiap 6 bulan sekali. Parameter yang diamati selama pengelolaan
limbah gas antara lain partikel debu dan sulfida.
3.5.5 Inspeksi Sanitasi
Inspeksi sanitasi dari pihak IPSRS Wangaya dilakukan setiap bulannya
dengan penjadwalan ke masing-masing ruangan. Adapun pemeriksaan yang
dilakukan meliputi pemeriksaan suhu, kelembaban, kebisingan, pencahayaan serta
pengendalian binatang pengganggu seperti kecoak, tikus dan kucing. Pengendalian
binatang pengganggu dilakukan dengan bantuan dari pihak ketika yaitu Biopros.
Disamping pemeriksaan atau inspeksi tersebut pihak IPSRS Wangaya juga
melakukan pemeriksaan air bersih rutin. Sumber air bersih di RSUD Wangaya
adalah dari PDAM dan Sumur Bor. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menjaga
kualitas air bersih untuk persediaan lingkungan rumah sakit meliputi ruangan
operasi atau OK, ruang ICU, Perinatalogi, Grunteng, ruang Hemodialisa, dan
terutama Gizi. Pemeriksaan disetiap ruangan dilakukan secara bergantian rutin
setiap ruangannya selama 1 tahun. Pemeriksaan di ruang Gizi dilakukan setiap 3
bulan sekali melihat kualitas air minum dan air bersih, apakah terpengaruh oleh
pemberian kaporit atau tidak. Pemberian kaporit atau kaporitisasi yang dilakukan
oleh pihak IPSRS dilakukan setiap 1 bulan sekali sebanyak 1 tablet.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesipulan
a. Peran apoteker di rumah sakit adalah sebagai penanggung jawab kegiatan
kefarmasian di rumah sakit. Tugas pokok dan fungsi apoteker di rumah sakit
dibagi menjadi dua yaitu manajerial dan pelayanan. Dalam hal manajerial,
apoteker dapat berperan sebagai kepala instalasi farmasi, anggota dalam sub
komite farmasi dan terapi, dan apoteker juga ikut berperan dalam
penyusunan formularium rumah sakit. Selain itu fungsi dan tanggung
jawab yang harus dijalankan apoteker di rumah sakit adalah
mengelola perbekalan farmasi dan melakukan pelayanan kefarmasian
b. Wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman praktis yang
diperoleh mahasiswa selama kegiatan PKPA di Rumah Sakit Umum Daerah
Wangaya, yaitu belajar mengenai pengelolaan perbekalan farmasi dan alat
kesehatan, serta ikut berpartisipasi dalam melakukan pelayanan kefarmasian
di Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
c. Dalam rangka mempersiapkan calon apoteker dalam memasuki dunia
kerja sebagai tenaga farmasi yang profesional, pelaksanaan PKPA di
RSUD Wangaya Kota Denpasar, yaitu penerapan keilmuan yang diperoleh
selama menjalani pendidikan dengan terlibat langsung dalam pengelolaan
perbekalan farmasi, pelayanan kefarmasian di apotek RSUD Wangaya,
mampu berkomunikasi dan memberikan KIE kepada pasien yang dapat
diaplikasikan ke dunia kerja. Mendapatkan dan mempelajari gambaran
tentang permasalahan yang terjadi dalam pekerjaan kefarmasian dan metode
penyelesaian di Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya
4.2 Saran
Terkait dengan banyaknya pekerjaan kefarmasian yang dilakukan di RSUD
Wangaya, perlu dilakukan penambahan jumlah tenaga Apoteker sehingga semua
kegiatan pelayanan farmasi klinik dapat terlaksana. Selain itu, Apoteker diharapkan
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam melakukan visite ke ruangan.
139
DAFTAR PUSTAKA
140
LAMPIRAN
Lampiran 1. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi di RSUD Wangaya
KA. UNIT PERBEKALAN FARMASI KA. UNIT PELAYANAN FARMASI KLINIK KA. UNIT MANAJEMEN MUTU
PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI
141
142
Lampiran 2. Ruangan VCT di Apotek, Kartu Pasien, dan Catatan Pengambilan Obat
STUDI KASUS
PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA) DI RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH WANGAYA KOTA DENPASAR
RETENTION URINE DENGAN HIPERPLASIA PROSTAT
Oleh :
Ni Luh Putu Indah Aryani (1808611028)
Ni Komang Sri Indriyani (1808611034)
Wayan Eka Heltyani (1808611036)
STUDI KASUS
RETENTION URINE DENGAN HIPERPLASIA PROSTAT
I. DOKUMENTASI REKAM MEDIS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
No RM -
Nama Made Purna
Umur 72 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki
Alamat Denpasar
DIAGNOSA
Retention urine dengan hiperplasia prostat
DATA LABORATORIUM
WBC 16,94 x 103
Hb 17,6
HCT 51,4
PLT 231
BUN 34
SCr 1,2
GDS 8p
Na 144
K 3,4
Cl 104
DATA TERAPI
Tanggal Kondisi Klinis dan Hasil Regimen Terapi
Pemeriksaan
3/2/2019 MRS dengan keluhan - IVFD NaCl 0,9% loading dose
utama demam sejak tadi 500 ml bila TD tidak naik,
pagi. Mual dan muntah, dopamin drip 1 ampul
penurunan nafsu makan - 500 cc NS (16 tpm)
dan minum. Batuk tidak - Cefoperazone 2 x 2 g
- Esomeprazol 1 x 40 mg
berdarah - Ambroxol tab 3x1
TTV : - Parasetamol tab 3x500 mg
- TD : 80/60 mmHg
- RR : 20x/menit
- Suhu : 38,80C
- Nadi : 102x/menit
4/2/2019 Demam (+), mual (+), - IVFD D 10% 20 tpm
batuk (+), muntah (-) - 500 cc NS (16 tpm)
TTV : - Cefoperazone 2 x 2 g
- TD : 110/80 mmHg - Esomeprazol 1 x 40 mg
- RR : 20x/menit - Ambroxol tab 3x1
- Suhu : 38,60C - Parasetamol tab 3x500 mg
- Nadi : 82x/menit
5/2/2019 Mual (+), batuk (+), - IVFD D 10% 20 tpm
muntah (-) - 500 cc NS (16 tpm)
TTV : - Cefoperazone 2 x 2 g
- TD : 100/70 mmHg - Esomeprazol 1 x 40 mg
145
- Cefoperazone 2 x 2 g
- Esomeprazol 1 x 40 mg
- Ambroxol tab 3x1
- Parasetamol tab 3x500 mg
10/2/2019 - IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
- 500 cc NS (16 tpm)
- Cefoperazone 2 x 2 g
- Esomeprazol 1 x 40 mg
- Ambroxol tab 3x1
- Parasetamol tab 3x500 mg
11/2/2019 - IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
- 500 cc NS (16 tpm)
- Cefoperazone 2 x 2 g
- Esomeprazol 1 x 40 mg
- Parasetamol tab 3x500 mg
2.2 Objektif
- TD : 120/80 mmHg (120/80 mmHg)
- RR : 20x/menit (20 x/menit)
- Suhu : 36,80C (36,1 – 37,5oC)
- Nadi : 80x/menit (60 – 100 x/menit)
- WBC : 16,94 x 103 (↑) (normal 3,5 - 10 x 103/mm3)*
- HB : 17,6 (normal: 13-18 g/dL)
- HCT : 51,4% (↑) (normal: 40-50%)*
- PLT : 231 (normal: 170-380 x 109/L)
- BUN : 34 (↑) (7 – 18 mg/dL)*
- SCr : 1,2 (0,2 – 1,2 mg/dL)
- GDS : 8p (100 mg/dL)
- Na : 144 (135 – 144 mmol/L)
- K : 3,4 (↓) (3,6 – 4,8 mmol)*
- Cl : 104 (97 – 106 mmol/L)
150
2.3 Assesment
2.3.1 Guideline Therapy
A. Retention Urine dengan Hiperplasia Prostat
Pasien MRS dengan keluhan utama demam sejak tadi pagi, mual dan muntah,
penurunan nafsu makan dan minum, serta batuk tidak berdarah. Benign Prostate
Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak merupakan suatu keadaan
terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan menyebabkan pembesaran dari
kelenjar prostat (Kapoor, 2012). Pertumbuhan kelenjar prostat terjadi secara
konstan selama dua puluh tahun pertama kehidupan lalu berhenti antara usia 20-40
tahun dan mulai kembali pada usia 50 tahun (Jiwanggana, 2016). Keadaan ini
biasanya dialami oleh pria yang berusia diatas 60 tahun sebanyak 70% dan
meningkat hampir 90% pada usia diatas 80 tahun. Pembesaran kelenjar prostat akan
mengakibatkan terganggunya aliran urine sehingga menimbulkan gangguan miksi
(Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2015).
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) merupakan penyebab tersering retensi
urine yaitu sekitar 65% pada laki-laki dewasa. Retensi urin dapat menjadi faktor
risiko untuk terjadinya pertumbuhan bakteri karena adanya stasis aliran urin.
Pembesaran prostat jinak juga menyebabkan masih tersisanya urin di dalam
kandung kemih karena mengalami dekompensasi sehingga juga meningkatkan
risiko pertumbuhan bakteri di saluran kemih. Penyempitan lumen uretra prostatika
akibat pembesaran prostat akan menghambat aliran urin sehingga terjadi
peningkatan tekanan intravesikal. Buli-buli harus berkontraksi lebih kuat untuk
dapat mengeluarkan urin. Kontraksi yang terus menerus menyebabkan perubahan
anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sakula, dan divertikel buli-buli. Pasien akan merasakannya sebagai keluhan pada
saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom (LUTS)
(Purnomo, 2011).
151
Gambar 1. Algoritma Pria dengan dugaan BPH (Ikatan Ahli Urologi Indonesia,
2015).
152
2. Tepat Obat
Untuk menilai ketepatan pemilihan obat, maka didasarkan pada algoritma
terapi, yang didasarkan pada keluhan yang disampaikan oleh pasien. Berdasarkan
keluhan pasien dimana pasien mengalami demam, mual dan muntah, penurunan
nafsu makan dan minum, serta batuk tidak berdarah. Pasien diberikan IVFD NaCl
0,9% karena saat MRS pasien mengeluh mengalami penurunan nafsu makan, mual
dan muntah, serta tekanan darah rendah yaitu 80/60 mmHg sehingga saat MRS
157
pasien diberikan juga dopamine drip 1 ampul yang bertujuan untuk meningkatkan
kekuatan pompa jantung dan aliran darah karena tekanan darah pasien rendah saat
MRS. Sehingga dapat dikatakan tepat obat karena hari kedua tekanan darah pasien
sudah kembali normal.
Pasien diberikan infus NS 500 cc (16 tpm) sebagai terapi cairan elektrolit
selama pasien dirawat, pemberian cairan elektrolit didukung dengan data
laboratorium nilai K yang rendah yaitu 3,4 mEq/L. Selanjutnya pasien diberikan
pula Cefoperazone yang merupakan antibiotik golongan cephlosporin generasi
ketiga. Berdasarkan tatalaksana terapi Cefoperazone diberikan sebagai terapi
empiris infeksi saluran kandung kemih sehingga dapat dikatakan tepat obat.
Pasien mengeluhkan mual dan muntah selama dirawat, sehingga diberikan
esomeprazole, yang tergolong Proton Pump Inhibitor (PPI) merupakan
penghambat asam lambung dengan menghambat kerja enzim K+H+ATPase yang
akan memecah K+H+ATPase menghasilkan energi yang digunakan untuk
mengeluarkan asam hidroklorida dari sel parietal ke dalam lumen lambung.
3. Tepat Dosis
Tepat dosis adalah jumlah obat atau dosis yang diresepkan kepada pasien
sesuai dengan kebutuhan individual dari pasien dan dosis yang diberikan berada
dalam rentang terapi. Penilaian tepat dosis didasarkan atas dosis pustaka dan dosis
yang diterima pasien.
Tabel 3. Perbandingan Dosis Pustaka dan Dosis pada Resep.
Nama Obat Dosis Pustaka Dosis Resep Keterangan
IVFD NaCl 0,9% - 20 tpm -
500 cc NS infus - 16 tpm -
2-4 gram/hari (dosis
Cefoperasone 2 x 2g Sesuai
terbagi setiap 12 jam)
Esomeprazole 1x 20-40 mg 1 x 1 40 mg Sesuai
Ambroxol tab 2-3x 30 mg 3 x 1 30 mg Sesuai
Parasetamol tab 4-6x 500-1000mg 3 x 1 500 mg Sesuai
(Team Medical Mini Note, 2017).
Berdasarkan hasil perbandingan dosis pustaka dan resep, diketahui dosis
sesuai dengan dosis pustaka.
159
4. Tepat Pasien
Obat yang diresepkan mempertimbangkan kondisi individu yang
bersangkutan dan tidak kontraindikasi dengan kondisi pasien yang menerima resep
dan sebaiknya menimbulkan efek samping yang paling minimal. Pada resep, bentuk
sediaan yang diberikan kepada pasien adalah dalam bentuk injeksi dan tablet.
Pemilihan bentuk sediaan intravena tepat untuk kondisi pasien yang
membutuhkan penanganan cepat dan respon terapi yang cepat. Pasien pada kasus
ini tidak memiliki alergi obat dan tidak ada riwayat penyakit menyertai, sehingga
dengan mempertimbangkan kondisi individu yang bersangkutan dapat disimpulkan
resep ini sudah tepat pasien (Kemenkes RI, 2011). Pasien adalah laki laki berumur
72 tahun dengan kondisi dapat mengonsumsi obat dalam bentuk padat seperti tablet,
oleh karena itu pasien diberikan obat dalam bentuk tablet
5. Waspada Efek Samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi (KepmenKes RI,
2011). Dari seluruh pengobatan yang diterima pasien, tidak ada interaksi yang
terjadi antara satu obat dengan yang lainnya. Efek samping yang dapat muncul
pada penggunaan obat sesuai resep dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4. Efek Samping Obat
Nama obat Indikasi Efek Samping
IVFD NaCl Terapi cairan
Kelebihan kadar Natrium dalam darah
0,9% dan elektrolit
500 cc NS Terapi cairan
Kelebihan kadar Natrium dalam darah
infus dan elektrolit
Reaksi lokal pada tempat suntikan,
Cefoperasone Antibiotik
hipersensitivitas, ruam, eritema.
PPI (mual
Esomeprazole Urtikaria, konstipasi, perut kembung, nyeri
dan muntah)
Mukolitik
Ambroxol tab Hipersensitif, gangguan saluran cerna
(batuk)
Antipiretik
Parasetamol tab Reaksi hipersensitif, eritema, alergi
analgesik
(Team Medical Mini Note, 2017).
160
2.4 Plan
2.4.1 Terapi Farmakologi
Apoteker bersama dengan dokter penulis resep berdiskusi terkait obat yang
digunakan terhadap pasien. Adapun terapi yang diperoleh yaitu Cefoperazone 2 x
2 g, Esomeprazol 1 x 40 mg, Ambroxol tab 3x1, Parasetamol tab 3x500 mg.
yaitu Parasetamol tablet (500 mg). Berikut adalah KIE yang diberikan apoteker kepada
keluarga pasien terkait obat yang diresepkan kepada pasien:
Bentuk Aturan
Nama Obat Indikasi Penyimpanan Efek Samping
Sediaan Pakai
Disimpan
pada suhu
Hepatotoksisitas,
Parasetamol Untuk kamar dan
3xsehari rash, anemia,
tablet (500 mengobati Tablet terhindar dari
1 tablet dan
mg) nyeri sinar
hipersensitivitas
matahari
langsung
162
DAFTAR PUSTAKA
STUDI KASUS
PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA) DI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WANGAYA
APENDISITIS PERFORASI POST APPENDECTOMI
DISUSUN OLEH:
I. PEMAPARAN KASUS
Seorang pasien bernama Ny. Dharmini, 51 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan
utama nyeri perut dan mual. Pasien dirawat akibat abdominal pain dan akut abdomen.
Dokter mendiagnosis pasien apendix.
2.2 Objektif
- RR : 22x/menit (14-20 x/menit)
- TD : 110/70 (120/80 mmHg)
- HR : 82x/menit (60 – 100 x/menit)
- WBC : 22290 (3,5 – 10,0 x 103/mm3)
- HB : 14,3 (13 – 18 g/dL)
- HCT : 41,4 (40 – 50 %)
- SGOT : 25 (5-40 µ/L)
- SGPT : 16 (5-35 µ/L)
- Na : 135 (135 – 144 mmol/L)
- K : 3,9 (3,6 – 4,8 mmol)
- Cl : 99 (97 – 106 mmol/L)
- PLT : 303000 (170 – 380. 109/L)
2.3 Assesment
2.3.1 Appendicitis
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit apendisititis umumnya disebabkan
oleh infeksi bakteri, namun faktor pencetus adanya beberapa kemunkinan diantaranya
168
penyumbatan (obstruksi) pada saluran (lumen) appendiks oleh timbunan tinja/feses yang
keras (fekalit), hyperplasia (pembesaran) jaringan linfoid, erosi mukosa oleh cacing askaris
dan E.histolytica, parasit, benda asing dalam tubuh, kanker primer dan striktur
(Sjamsuhudajat and Wim, 1996). Selain itu penelitian epidemiologi disebabkan oleh
kebiasaan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi (Zinner and Ashley, 2007). Jika
dilihat dari jenis kelamin pasien bedah apendiks, bahwa pasien perempuan lebih banyak
dibandingkan dengan pasien perempuan. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya
hubungan endometriosis dan IUD. Endometriosis merupakan salan satu hal yang dapat
menyebabkan obstruksi pada apendiks dan IUD juga dapat menjadi salah satu faktor
penyebab terjadinya apendiks yang menyebabkan apendisitis (Eylin, 2009)
Apendisitis diklasifikasikan menjadi dua yaitu apendisitis akut dan apendisitis
kronik. Pada kasus ini pasien mengalami apendisitis akut. Apendisitis dibedakan menjadi
beberapa bagian yaitu apendisitis akut sederhana, apendisitis akut purulenta, apendisitis
akut gangrenosa, apendisitis akut infiltrasi, apendisitis abses, dan apendisitis perforasi.
Hasil klasifikasi apendisitis tersebut, pasien didiagnosa mengalami apendisitis perforasi
post apendictomy berdasarkan data rekam medis. Apendisitis perforasi adalah pecahnya
apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut
sehingga terjadi perionitis umum. Pada dinding apendiks terlihat daerah perforasi
dikkelilingi oleh jaringan nekrotik.
Pemeriksaan laboratorium merupakan pemeriksaan penunjang yang dapat
membantu menegakkan diagnosis apendisitis. Ummnya jumlah normal leukosit didalam
darah 5.000-10.000 sel/mm3. Pada pasien apendisitis jumlah leukosit diatas 10.000
sel/mm3, apabila jumlah leukosit diatas 18.000 sel/mm3 menunjukkan apendisitis perforasi.
Berikut merupakan diagram diagnosis teraupetik.
169
krisis hipertensi saat tekanan darah ≥ 180/120 mmHg. Hipertensi tidak dapat disembuhkan
nanmun dapat dikendalika (Sassen dan Carter, 2005). Gejala hipertensi seperti pusing,
gangguan penglihatan, dan sakit kepala, seringkali terjadi pada saat hipertensi sudah
lanjut disaat tekanan darah sudah mencapai angka tertentu yang bermakna (Depkes RI,
2006).
pendarahan. Sehingga
diperlukan asam
tranexamat untuk
menurunkan jumlah
pendarahan -> Tepat
indikasi
Omeprazole Mengurangi asam Subjektif : nyeri, Pasien mengalami nyeri,
lambung dan mual, dan muntah mual, dan muntah.
termasuk golongan Objektif : - Kemungkinan mual dan
PPI (Proton Pump muntah diakibatkan oleh
Inhibitor) peningkatan asam
(Medscape, 2019) lambung sehingga
diberikan omeprazole
golongan PPI untuk
menghentikan produksi
asam lambung -> Tepat
Indikasi
Ondansetron Antiemetik Subjektif : mual dan Kondisi pasien mengalami
muntah mual dan muntah sehingga
Objektif : dapat diberikan antiemetik
-> tepat indikasi
Paracetamol Analgesik dan Subjektif : nyeri Pasien mengeluhkan nyeri
antipiretik Objektif : nyeri sehingga diberikan
dengan intensitas 5 analgesik untuk
mengurangi rasi nyeri ->
Tepat indikasi
Candesartan Menurunkan Subjektif : - Terjadi peningkatan
tekanan darah. Anti Objektif : tekanan darah dari MRS
hipertensi golongan TD : 110/70; sehingga perlu diberikan
ARB. 120/80; 160/90; anti hipertensi -> Tepat
140/90; 170/100 ; indikasi
160/100 ; 140/90 ;
130/90
Amlodipin Menurunkan Subjektif : - Terjadi peningkatan
tekanan darah. Objektif : tekanan darah dari MRS
176
2. Tepat Obat
Ketepatan dalam pemilihan obat didasarkan pada algoritme terapi yang didasarkan
oleh keluhan dan hasil diagnosa dokter. Hasil dari anamnesa dokter terhadap pasien dan
data penunjang maka ditegakkan diagnosa bahwa pasien mengalami kista endometriosis,
apendicitis perforasi post apendectomy, HHD, dan DM Tipe 2.
Pasien dengan kista endometriosis dan apendisitis perforasi memiliki gejala yang
sama yaitu nyeri pada bagian abdomen. Sedangkan mual dan muntah bisa disebabkan oleh
apendisitis (Echazarreta-Gallego et.al., 2015). Dari diagnosis tersebut maka diberikan
diberikan ceftriaxone iv, ketorolac iv, metronidazole iv, ondansetron tablet, paracetamol
tablet. Antibiotik (ceftriaxone iv dan metronidazole iv) diberikan sebagai profilaksi untuk
177
mg/hari (Medscape,
2019)
Metronidazole iv Tidak lebih 4g/hari 3x500 mg iv Sesuai
(3x500 mg iv) iv (Medscape,
2019)
Cefadroxil 2 g PO/ hari untuk 2x500 mg PO Sesuai
(2x500 mg) profilaksis
(Medscape, 2019)
Asam tranexamat 1-1,5 g 2-3 kali/hari 3x500 mg Sesuai
(3x500 mg) (MIMS, 2019)
Omeprazole 20-40 mg/hari 2x40 mg Tidak sesuai
(2x40 mg) (MIMS, 2019) (Dose too high)
Ondansetron 16 mg/hari untuk 3x4 mg Sesuai
(3x4 mg) profilaksis nausea
dan vomiting
(MIMS, 2019)
Paracetamol 0,5-1 g 4-6 jam. 3x500 mg Sesuai
(3x500 mg) Maksimal 4
gram/hari (MIMS,
2019)
Candesartan 8 mg/hari. 1x8 mg Sesuai
(1x8 mg) Maksimum 32
mg/hari dengan
single atau dosis
terbagi (MIMS,
2019).
Amlodipin 5 mg/hari. 1x5 mg Sesuai
(1x5 mg) Maksimum 10
mg/hari
Lantus DM Tipe 2 0-0-10 Sesuai
(0-0-10) maksimum insulin
10 unit/hari
4. Tepat Pasien
Obat yang diresepkan ke pasien sudah sesuai dengan kondisi pasien. Dimana
sediaan obat yang diberikan berupa kombinasi injeksi dan oral. Pemilihan sediaan injeksi
179
agar dipeoleh respon terapi yang lebih cepat. Pada kasus ini antibiotik yang digunakan
golongan betalaktam dimana pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap betalaktam.
Setelah pemberian obat-obatan tersebut telah sesuai dengan kondisi pasien
5. Waspada Efek Samping
Pemberian obat polifarmasi rentang terjadi efek samping yaitu efek yang tidak
diinginkan pada pemberian obat dengan dosis terapi (Kemenkes RI, 2011). Dari
keseluruhan obat yang diterima pasien, tidak ada interaksi yang terjadi antar obat. Adapun
beberapa efek samping yang mungkin terjadi pada setiap individu yang mengkonsumsi
obat tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Efek Samping Obat
Nama Obat Indikasi Efek Samping
NaCl 0,9% Terapi cairan dan elektrolit Detak jantung cepat, kemerahan,
bengkak pada tubuh (Medscape,
2019)
Ceftriaxone iv Antibiotik Eosinophilia, trombositosis,
diare, leukopenia, rash,
peningkatan BUN (Medscape,
2019).
Ketorolac iv Analgesik Sakit kepala, somnolence,
dispepsia, nyeri pada GI, nausea,
diare (Medscape, 2019)
Metronidazole iv Antibiotik Jarang: anafilaksis. Sangat
jarang: agranulositosis,
neutropenia, trombositopenia,
gangguan psikotik termasuk
kebingungan dan halusinasi
(PIONAS, 2019)
Cefadroxil Antibiotik Diare (Medscape, 2019/
Asam tranexamat Antifibrinolitik Sakit kepala, nasal dan sinus
simptom, nyeri abdominal, nyeri
otot (Medscape, 2019)
Omeprazole Mengurangi asam lambung Sakit kepala, diare dan nausea
(Medscape, 2019)
Ondansetron Antiemetik Sakit kepala, malaise, konstipasi
(Medscape, 2019)
180
Pengatasan DRP
Berdasarkan DRP yang dijumpai pada kasus ini, apoteker dapat
mengomunikasikan terkait dosis terlalu tinggi pada pemberian omeprazole dengan dokter
penulis resep. Rekomendasi yang diberikan apoteker adalah frekuensi minum omeprazol
dikurangi menjadi 1x40 mg/hari.
2.4 Plan
2.4.1 Terapi Farmakologi
a. Apoteker menghubungi dokter penulis resep dan mendiskusikan terkait
penyesuaian dosis dari obat Omeprazole yang dosisnya lebih tinggi jika
dibandingkan dengan dosis acuan (20-40 mg/hari) (MIMS, 2019). Apabila
dokter menyetujui penyesuaian dosis, maka obat Omeprazole yang diberikan
disesuaikan dosisnya menjadi 2x20 mg/hari. Apoteker harus memberikan
informasi terkait penyesuaian dosis obat Omeprazole.
b. Pasien diberikan obat sesuai dengan yang telah diresepkan oleh dokter dan
diinformasikan untuk mengkonsumsi obat sesuai aturan pakai.
2.4.2 Terapi Non Farmakologi
a. Pasien dan keluarga pasien diberitahukan terkait informasi dari penyakit
apendisitis tersebut, terkait faktor penyebab peningkatan resikonya.
Pencegahan terhadap munculnya kembali apendisitis dapat dilakukan dengan
cara mengkomsumsi makanan yang kaya akan serat. Kurangnya makanan
berserat akan memicu terjadinya konstipasi dan terjadinya sumbatan sehingga
ada peradangan yang dapat memicu apendisitis (Sjamsuhidayat dan de Jong,
2004). Apabila pasien mengalami nyeri, disarankan untuk melaksanakan
pengaturan nafas atau relaksasi nafas. Teknik relaksasi nafas dilakukan dengan
cara tarik nafas dari hidung pelan-pelan dan dada mengembang, tahan dan
dikeluarkan dari mulut (Fahriani, 2012). Jika rasa sakit tidak berkurang dapat
diberikan obat analgesik NSAID atau segera hubungi tenaga medis untuk
penanganan lebih lanjut.
b. Tekanan darah tinggi pasien harus diperhatikan sehingga diberikan obat
antihipertensi oral Candesartan dan Amlodipin. Selain terapi farmakologi,
pasien perlu diberikan beberapa informasi untuk mengontrol tekanan darah.
Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah:
- Menerapkan pola hidup sehat dengan melaksanakan pola makan DASH
(Dietary Approach to Stop Hypertension), dimana diet yang diperoleh adalah
dengan mengkonsumsi makanan kaya akan kalium dan kalsium, seperti
182
konsumsi buah, sayur-sayuran, dan susu rendah lemak. Pola makan seperti ini
akan membantu pasien menjaga berat badan tubuh sehingga mengurangi faktor
pemicu tekanan darah tinggi.
- Diet rendah sodium/natrium, dimana pasien dianjurkan untuk mengontrol
konsumsi garam sehari-hari untuk mengurangi resiko tekanan darah tinggi.
Konsumsi sodium/natrium yang disarankan adalah < 2,4 gram (100 mEq/L).
- Pasien disarankan untuk melakukan aktifitas fisik, seperti berjalan kaki atau
berlari (apabila memungkinkan). Aktifitas fisik ini disarankan dilakukan
selama 30 menit/hari dan dilakukan sebanyak 3-4 kali dalam seminggu.
(PERKI, 2015).
c. Pasien juga didiagnosis dengan DM tipe 2 sehingga perlu perhatian khusus
untuk perawatan ketika sudah meninggalkan rumah sakit. Pasien sudah
diberikan obat berupa injeksi insulin (Lantus) sebagai terapi farmakologi,
untuk mendukung terapi tersebut maka diperlukan terapi non farmakologi,
diantaranya:
- Mengikuti pola makan sehat, disarankan untuk konsumsi makanan kaya akan
serat dan rendah gula serta lemak jenuh
- Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani secara teratur, dilakukan
selama 30-60 menit/hari sebanyak 3-4 kali sehari
- Menggunakan obat DM sesuai dengan aturan pakai sehingga mampu
meningkatkan efektivitas terapi, dalam hal ini penggunaan injeksi insulin
glargin (Lantus)
- Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan
hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan.
- Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut
dengan tepat sehingga penanganan lebih lanjut dapat dilakukan dengan segera.
(PERKENI, 2015).
2.4.3 KIE Pengobatan pada Pasien
Pasien yang sudah diperbolehkan untuk pulang oleh dokter menunjukkan bahwa
kondisi pasien sudah membaik. Untuk pemeliharaan kondisi pasien, maka
diberikan obat-obatan yang akan digunakan atau dikonsumsi di rumah. Berikut
obat yang diberikan pada pasien:
- Lantus (Insulin Glargin) 1x10 unit
- Candesartan 1x8 mg
- Amlodipin 1x5 mg
Informasi yang diberikan pada pasien dirangkum pada tabel di bawah ini:
183
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Melitus. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dipiro, J.t., R. Albert, Y. Gary, G.W. Barbara, P. Michael. 2008. Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach 7th Edition. New York: Mc-Graw-Hill
Echazarreta-Gallego, E., Elia-Guedea, M., Ramirez-Rodriguez, J.M., Allue-Cabanuz, M.,
Gascon-Dominguez, M., Millan-Gallizo, G., and Anguilella-Diago, V. 2015.
Appendicitis Management Protocol. Surgery Departement, Hospital Clinico
Universitario de Zaragoza.
Eylin. 2009. Karakteristik pasien dan diagnosis histologi pada kasus apendisitis
berdasarkan data registrasi di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran.
Fahriani, R. Z. 2012. Pengaruh Teknik Relaksasi terhadap Reson Adaptasi Nyeri pada
Pasien Apendektomi. Jurnal Health & Sport. Vol 5(3): 640-645.
Guyton AC. 2007. Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit. Edisi ke-3. Jakarta: EGC.
Hijrineli, M. S. Harahap, S. Soenarjo. 2013. Pengaruh Asam Tranexamat pada Profil
Koagulasi Pasien yang Mendapatkan Ketorolac. Jurnal Anastesi Indonesia Vo.5(3).
James, P. et al. 2014. Evidence-Based Guidline for the management of High Blood
Pressure in Adults. Journal of America Medical Association. 31(5):507-520.
Misnadiarly. 2006. Diabetes Melitus: Menangani Gejala, Menanggulangi dan Mencegah
Komplikasi. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
NICE. 2017. Endometriosis: Diagnosis And Management. National Institute for Health and
care Excellence.
PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular. Edisi
Pertama. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
PERKENI. 2015. Konsensus: Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
Sassen J.J., dan Carter, L.B. 2005. Hypertension dalam Pharmacotherapy: a
Phathophysiologic Approach. Sixth Edition. McGraw-Hill Companie, Inc.
Sjamsuhidajat R, dan Wim De Jong. 1996. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC
Sjamsuhidajat, R. dan W. de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
185
Universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo pada
Tahun 2003-2007. Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran.
Zinner MJ, dan Ashley SW.2007. Maingot’s Abdominal Operation. 11th Edition. New
York: McGraw-Hill.